Anda di halaman 1dari 14

REVIEW BUKU

Antara Barat dan Timur (Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas UAS


Mata Kuliah: Hermeneutika Klasik, Tengah, dan Kontemporer
Dosen Pengampu: Al Makin, M.A, Ph.D

Disusun Oleh:
Nama: Shinta Nurani
NIM: 1620010080

PROGRAM STUDI INTERDISCIPLINARY ISLAMIC STUDIES


KONSENTRASI HERMENEUTIKA AL-QUR’AN
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2017

Page | 0
REVIEW BUKU

Antara Barat dan Timur (Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi)


Oleh: Shinta Nurani (1620010080)

Judul Buku : Antara Barat dan Timur (Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi)
Pengarang : Al Makin, Ph.D
Penerbit : SUKA-Press
Tempat Terbit : Yogyakarta
Cetakan : Ke-2
Tahun Terbit : Februari 2015
Bahasa : Indonesia
Jumlah Halaman : xii + 258 halaman
Ukuran : 15 x 23 cm
Berat : 350 gram
ISBN : 978-602-1326-52-7

Salah Persepsi Barat dan Timur: Dari Orientalisme Menuju Oksidentalisme


Berbicara mengenai Barat dan Timur sudah bukan menjadi hal yang baru dalam
peradaban dunia saat ini. Barat digunakan untuk menyebut kemajuan dalam berbagai
aspeknya, sedangkan Timur untuk menyatakan ketertinggalan dalam segala aspek kehidupan.
Definisi Barat dan Timur yang selama ini dipahami sebagai peta imajinatif yang memang
sengaja dibuat oleh Eropa dengan kemajuan yang melingkupinya untuk menghancurkan
Timur (dunia Islam). Pandangan tersebut lahir atas trauma kolonialisasi yang sering
disalahpahami karena Barat dengan negaranya yang maju dan berkembang tersebut
menguasai dunia Timur dan dunia yang sedang berkembang sejak masa Barat menjajah
hingga saat ini di era globalisasi.
Padahal, persoalan antara Barat dan Timur adalah persoalan persepsi yang harus dilihat
secara objektif dan tidak parsial. Oleh karena itu, buku ini hadir menjelaskan duduk perkara
hubungan antara Barat dan Timur, bagaimana Barat mempelajari dan menulis tentang Timur
atau yang disebut dengan kajian Orientalisme. Kenyataannya, dari era klasik penjajahan
hingga era globalisasi, Barat terus membuka studi tentang Islam dan mengembangkannya
dalam segala bidang baik sejarah, sosiologi, antropologi, filologi, filsafat, agama, budaya, dan
politik. Atas dasar itu, Barat menjadikan Timur sebagai objek kajian dan Timur

Page | 1
menanggapinya dengan menjadikan Barat sebagai objek kajian pula yang disebut dengan
kajian Oksidentalisme. Hubungan antara Barat dan Timur yang dipandang secara
komprehensif dan holistik menjadi suatu kebutuhan pokok bagi para pengkaji Islam
khususnya bagi akademisi baik mahasiswa, dosen, maupun masyarakat pada umumnya. Ini
berarti mempelajari dan memahami dengan baik hubungan antara Barat dan Timur menjadi
hal yang mutlak dibutuhkan bagi para pengkaji dan pemeluk agama Islam untuk menghindari
kesalahpahaman yang berkepanjangan.
Buku yang berjudul Antara Barat dan Timur: Batasan, Dominasi, Relasi, dan
Globalisasi merupakan bacaan yang sangat berharga dan menarik bagi setiap orang yang
memiliki perhatian terhadap kajian Islam kontemporer terutama kajian Orientalisme dan
Oksidentalisme. Buku ini ditulis oleh Al Makin, Ph.D, seorang peneliti, penulis produktif,
dan dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kaliaga yang juga menjadi peneliti dan dosen
tamu di beberapa universitas luar negeri di antaranya University of Western Sydney, Australia
(2014), Heidelberg University, Jerman (2014), Asia Research Institute, National University of
Singapore (2011-2012), French Business School ESSEC, Asia Pacific, Singapore (2012),
Bochum University, Jerman (2009-2010), McGill University (2009), International
Consortium for Religious Studies, and Consortium for the Study of Religions and Cross
Cultures, UGM Yogyakarta (sampai kini), dan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Buku
yang ditulisnya sangat banyak, diantara bukunya yang terbit secara internasional yaitu
Representing the Enemy Musaylima in Muslim Literature (Peter Lang 2010) dan Challenging
Islamic Orthodoxy: Accounts of Lia Eden and Other Prophets in Indonesia (Springer).
Bahkan, Al Makin, Ph.D juga menjadi editor in chief of international Journal Al Jamiah dan
telah menerbitkan sejumlah artikel di jurnal internasional ternama.
Selain itu, buku Antara Barat dan Timur: Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi
ini juga disajikan secara komprehensif terdiri dari sepuluh bab yang saling berkaitan dengan
membahas tema-tema sentral dalam kajian Orientalisme dan Oksidentalisme yang sering
terlupakan. Buku ini bukan hanya membahas Barat dan Timur secara historis-sosiologis,
perkembangannya, para tokoh Orientalisme dan Oksidentalisme secara global tetapi buku ini
berusaha mengungkap isu Barat dan Timur termasuk Orientalisme dan Oksidentalisme
dengan lebih jernih, terbuka dan didukung dengan pemahaman literatur secara akademis dan
dikaitkan dengan ranah Indonesia secara komprehensif. Secara tematik tulisan ini
memfokuskan pada bagian-bagian yang mencakup pembahasan tentang Ilmu Alat Kekuasaan,
Mengenal Timur dan Barat, Salah Kaprah tentang Barat, Para Pengkaji Awal, Pengkaji
Selanjutnya, Ranah Indonesia, Menggagas Ilmu tentang Barat, Kaburnya Batas Barat dan

Page | 2
Timur, diakhiri dengan penutup sebagai simpulan dari buku ini. Uraian lebih detailnya
sebagai berikut.
Bab pertama, Sekapur Sirih. Di dalamnya mengungkapkan harapan mulia dari
penulis, Al Makin, Ph.D dalam menulis buku ini. Harapan penulis, kehadiran buku ini tidak
hanya sebagai bahan mata kuliah di kelas tetapi juga dapat dinikmati oleh semua kalangan
baik yang sudah akrab dengan isu Barat dan Timur dalam kajian Orientalisme dan
Oksidentalisme, maupun yang masih menerka apa yang dimaksud dengan Barat dan Timur.
Penulis menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan disusun berdasarkan refleksi
pengalaman penulis selama lima belas tahun menjadi dosen pengampu mata kuliah ini.
Bab kedua tentang Ilmu Alat Kekuasaan. Dimulai dengan pembahasan rasa
keingintahuan manusia yang sangat besar menjadi pembeda manusia dengan makhluk lainnya
sehingga manusia dapat mengembangkan pengetahuan, kebudayaan, dan peradaban. Rasa
ingin tahu yang dimiliki oleh manusia Eropa dikembangkan dengan pengetahuan dalam
konteks industrialisasi melalui revolusi industri, produksi pangan, dan ekonomi. Kemudian,
rasa ingin tahu manusia Eropa tidak hanya terbatas pada pengetahuan dan pengembangan
ekonomi tetapi juga kepada daerah baru untuk berpetualang, lalu berkembang menjadi motif
mencari keuntungan secara materi, pendudukan, penjajahan, dan kekuasaan. Motif terakhir
ini menjadi dasar dalam kajian ketimuran dan kebaratan (Orientalisme dan Oksientalisme).
Dalam hal ini, adanya senjata nonfisik berupa pengetahuan itu lebih efektif dan lebih penting
disamping juga senjata fisik berupa teknologi untuk menciptakan dan mempertahankan
kekuasaan. Hal ini karena pengetahuan adalah kunci dalam kekuasaan untuk
mempertahankan dominasi. Eropa pada masa jayanya penjajahan sangat getol memperdalam
ilmu pengetahuan tentang dunia yang dijajahnya itulah yang disebut dengan ilmu ketimuran
(Orientalisme).
Dunia sekarang, antara Timur dan Barat saling menyatu tetapi pada masa kolonialisasi,
batas antara dunia Barat dan Timur sangat jelas juga pembedaan antara terjajah dan penjajah
sangat jelas. Penjajah adalah orang Eropa (Barat) yang mempunyai pengetahuan dan senjata
sedangkan Timur adalah terjajah yang terdiri dari orang yang sederhana, tergilas, dan
membayar pajak. Di penghujung abad 19 dan awal abad 20, partai Liberal di parlemen
Belanda mencanangkan politik etis yaitu mendidik dan memberi kemakmuran pada warga
pribumi sebagai balas budi atas pendudukan mereka pada tanah Nusantara. Pendidikan bagi
pribumi juga berguna untuk kolonialisasi yaitu setelah para pribumi dididik mereka akan
bekerja sebagai pegawai negeri pada birokrasi Belanda. Hal ini karena pengetahuan sangat
diperlukan bagi kekuasaan.

Page | 3
Adapun pengetahuan yang dimaksud pada masa kolonial adalah proyek untuk
menguasai negeri jajahan yang mencakup penguasaan adat istiadat, bahasa, budaya dan
artefak negeri jajahan. Studi ketimuran tidak terbatas teks dan filologi sejarah tetapi praktek
antropologi yang hidup. Timur merupakan dinamika masyarakat yang perlu belajar bahasa
dan hidup di dalamnya sebagaimana yang dilakukan oleh Clifford Geertz. Orientalisme
adalah bagaimana ilmu-ilmu yang berkembang, sosial, dan humaniora, sebagai turunan dari
semangat kekuasaan. Dengan demikian ilmu merupakan bentuk perpanjangan tangan dan
superioritas Barat atas obyek Timur.
Meskipun ilmu adalah alat kekuasaan dan senjata kolonialisasi, tetapi peran ilmuan
yang terlibat dalam pengetahuan adalah orang yang berdedikasi tinggi pada bidangnya.
Ketekunan ilmuan Barat sejak masa kolonialisasi cukup terlihat. Hal yang sama dengan
bagaimana Islam di Damaskus dan Baghdad pada Daulah Umayah dan Abasyiyah. Pada
Daulah Abasyiyah terdapat perkawinan antara budaya Persia dan Arab. Inilah letak kemajuan
dan keterbukaan untuk memakai ilmu orang lain dan mempelajarinya. Barat juga
menggunakan sikap yang sama. Oleh karena itu, orientalis merupakan contoh yang baik dari
semangat keilmuan sebab para ilmuan Barat awal dalam mengkaji Timur memberikan
inspirasi yang luar biasa. Para pengkaji Timur yaitu orang Barat berhasil mengkaji Timur
secara masif dari generasi ke generasi secara ilmiah dan profesional. Berbeda dengan Timur
yang kehilangan semangat bahkan lupa bagaimana mengkaji dirinya sendiri. Orang Timur
harus berguru balik kepada Barat jika ingin mendalami dunianya sendiri. Barat telah
mendedikasikan diri mereka untuk Timur yang kesemuanya dalam kerangka berpikir Barat.
Bab Tiga, Mengenal Timur dan Barat. Terlebih dahulu Al-Makin memberikan
pandangan tentang dominasi Barat dengan menyatakan bahwa walaupun saat ini dunia telah
menyatu dalam era globalisasi tetapi sebelum era ini, dunia terbelah menjadi dua yaitu Timur
dan Barat. Dunia Timur meliputi Asia, Afrika, Amerika Selatan, dan Rusia sedangkan dunia
Barat meliputi Amerika Utara, Eropa, dan Australia. Dunia Barat identik dengan kemajuan
terutama Amerika yang menjadi tolak ukur dunia dalam berbagai bidang seperti politik,
senjata, teknologi, dan lainnya.
Adapun pengertian dari ilmu ketimuran (Orientalisme), berasal dari kata Orient berarti
Timur, lawan kata Occident yaitu Barat. Dunia timur adalah dunia yang bertempat di belahan
Timur dan mungkin selatan. Dunia timur dipenuhi dengan sinar matahari atau dikaitkan
dengan tempatnya matahari terbit sedang Barat tempat matahari tenggelam. Namun,
pembagian Timur dan Barat itu batasan yang bersifat imajiner. Dengan demikian,
Orientalisme berarti ilmu yang membahas segala sesuatu tentang Timur mulai dari bahasa,

Page | 4
budaya, politik, ekonomi dan sejarah. Pada awalnya Orientalisme menjadi alat bagi Barat
untuk menguasai Timur tetapi pada akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri yang
berkembang dan orang-orang Timur yang menyumbang perkembangan pengetahuan
ketimuran tersebut. Ilmu tentang kritik terhadap Orientalisme adalah temuan baru, yang lahir
pada Era Post-Modernisme. Edward Said yang berjasa dalam mengungkap pembagian dunia
dari sisi Barat dan Timur juga bagaimana pembagian dunia itu mempengaruhi sikap para
ilmuan dalam menyikapi subyek studinya baik sejarah, sosiologi, antropologi, sastra, filologi,
filsafat, maupun lainnya dengan spirit kekuatan Orientalisme yang dilahirkan dalam
semangat Barat dan Timur.
Dalam wacana Orientalisme, Barat merupakan ilmuan yang serba ingin tahu, telaten,
totalitas, dan siap berkorban. Sedangkan Timur adalah obyek kajian yang unik, khas, dan
eksotik. Kesemuanya dilahirkan dengan semangat menguasai, mempelajari, berempati, dan
bersatu dengan Timur. Kekuatan wacana itu telah memproduksi semua ilmu pengetahuan
tentang ketimuran di bawah perangkat kolonialisasi dan berpegaruh kuat terhadap cara
berpikir dalam bidang ilmu pengetahuan. Dari segi sejarahnya, awal mula Orientalisme
adalah masa Romantisme Era Penjajahan. Diawali pertemuan budaya Eropa dan budaya lain
yang mendominasi abad ke-15 hingga abad 20, setelah gerakan Renaissans yang berakibat
pada rasionalisasi di Eropa dan mengarah pada industrialisasi serta persaingan antar bangsa di
Eropa. Disinilah semangat Orientalisme.
Selanjutnya, Bab empat membahas Salah Kaprah tentang Barat. Banyak anggapan
yang salah kaprah tentang Barat, budaya Barat dan para peneliti tentang Barat yang seolah-
olah berniat jahat hendak menghancurkan Timur, terutama Islam. Rata-rata tanggapan ini
berbau traumatik sejarah bahwa Barat selalu menjajah Timur. Kesalahpahaman semacam
prejudice dalam ilmu sosial belandaskan teologi, yaitu Islam selalu disalahpahami oleh orang
luar Islam yang punya tujuan untuk menghancurkan Islam. Teori ini termasuk dalam kategori
teori konspirasi yang banyak diterima di media sosial. Semua yang berbau Barat ditolak dan
dianggap tidak Islami sehingga filter harus dipasang agar virus Barat tidak menggerogoti
iman orang-orang Timur. Banyak cendekiawan Muslim Indonesia seperti Sayyid Qutb, Adian
Husaini, dan lainnya langsung mengembangkan teori konspirasi bahwa Barat adalah
penghalang Islam, isu-isu seputar liberalisme, feminisme, dan lainnya yang berasal dari Barat
diharamkan. Pandangan penyudutan Barat yang dianggap sangat berbahaya ini tentu
mengandung banyak kesalahpahaman yang sangat ideologis.
Dari sisi ilmiah, kritik pertama pada rasa benci berlebihan dan anti Barat adalah apa
yang disebut Barat itu bukanlah suatu kekuatan tunggal (monolitik) tetapi Barat itu sangat

Page | 5
luas. Masa lalu Barat bercerai-berai dan saling bersaing, tapi dewasa ini Eropa membentuk
Uni Eropa sebagai kekuatan politik. Barat tidak secara bersama-sama sedang dan akan
menghancurkan Islam bahkan Barat tidak anti Islam karena Islam sekarang juga ada di Barat.
Begitu pula Timur yang tidak anti Kristen karena agama juga berpartisipasi dan berkontribusi
membentuk dunia Timur termasuk Indonesia.
Studi kritis para orientalis terhadap Timur terutama dalam kasus studi agama Islam,
msyarakat Muslim, teks suci al-Qur’an dan Hadits bukan semata-mata Barat ingin merusak
Islam dan bukan pula karena dorongan semangat perang antara Barat dan Islam dalam
naungan Perang Salib memperebutkan Yerussalem di era dahulu. Namun, sikap kritis studi
Barat terhadap Islam diantaranya adalah timbulnya semangat pemberontakan para ilmuan
untuk rasionalisme terhadap agama dan mitos secara umum bukan hanya terhadap Islam. Ini
karena di Eropa dahulu, institusi Gereja sangat dominan dalam kehidupan masyarakat. Pada
masa rasionalisasi, dominasi dipertanyakan dan dalam hal ilmiah, ilmu positivisme muncul
untuk menggantikan jawaban agama dalam memuaskan rasa ingin tahu manusia. Jadi, Barat
kritis terhadap agama merupakan bagian dari pemberontakan mereka terhadap dominasi
agama pada masa lalu di Eropa.
Bab lima tentang Para Pengkaji Awal. Para intelektual Barat banyak yang tertarik
studi tentang Islam. Bahkan teori-teori mereka menjadi dasar kajian Islam selanjutnya, bahan
kritikan, kajian ulang, dan perubahan teori sesuai semangat zaman dan penelitian. Pengaruh
ini masih terasa dimulai dari tradisi Jerman kemudian Inggris. Meskipun Barat kurang
familiar dengan Islam namun Islam menjadi agama Timur yang menarik untuk dikaji dan
menjadi bagian dari rasa ingin tahu, sesuatu yang asing dan tidak biasa bagi mereka,
sebagaimana Timur merasa terhadap Barat. Oleh karena itu, Eropa mengkaji Islam berarti
mengkaji dunia lain. Eropa mencurahkan segenap energi dan karir untuk mempelajari agama
Islam, yang bukan agama mereka sendiri.
Setiap kajian Orientalis awal mempunyai ciri khas tersendiri. Pertama, pengkaji awal
sangat terpengaruh dengan latar belakang Yahudi dan Kristennya. Kentalnya tradisi Yahudi
dan Kristen membuahkan kritik di kalangan mereka sendiri. Sebagaimana Noldeke
mengaitkan pemahaman al-Qur’an dengan perjanjian lama dan baru, Richard Bell melihat
sejarah Islam dengan tidak melepaskan pengaruh Kristen, Geiger melihat Islam tidak bisa
dipisahkan dari tradisi Yahudi yang kuat di Timur Tengah terutama Madinah, I Katsh juga
memahami al-Qur’an dari kacamata perjanjian lama dan tradisi Yahudi. Kesemua ini bukan
berarti negatif, tetapi kacamata Yahudi dan Kristen membantu mereka memahami Islam.

Page | 6
Kedua, Islam, al-Qur’an, dan hadits merupakan satu tradisi dengan Yahudi dan Nasrani,
sama-sama dari Timur Tengah dan satu tradisi Monoteisme Semitik. Al-Qur’an
menghadirkan kisah dan narasi biblikal, hadits dan tafsir al-Qur’an yang memunculkan
Israilliyat. Oleh karena itu, membandingkan Islam dengan dua agama pendahulunya wajar
karena Islam lebih muda dari agama-agama sebelumnya. Silang pertemuan antara Yahudi,
Kristen dan Islam hendaknya dipahami sebagai dialog dan proses dialektika. Ketiga, Islam
diletakkan dalam sejarah manusia dan bingkai sejarah dunia. Islam sebagai penerus dari
sejarah dan peradaban yang dibangun manusia. Islam merupakan kekuatan dalam pendirian
dinasti di Bagdad dan Suriah. Inilah pendekatan historis secara umum.
Diantara tokoh awal dalam kajian Timur yaitu Goldziher, Schacht, Noldeke, dan
Richard Bell.
Ignaz (Yitzhaq Yehuda) Goldziher berasal dari Hungaria, tahun 1850 dan meninggal
tahun 1921, berasal dari keluarga bertradisi Yahudi. Goldziher menjadi peletak fondasi dasar
Orientalisme Eropa awal tentang kapan Islam timbul, tumbuh, dan berkembang di
masyarakat Arab sehingga menjadi fenomena yang mampu menyaingi tradisi Barat.
Karyanya yang terkenal Muhammadanische Studien. Goldziher memusatkan perhatian pada
sumber sejarah Islam. Menurut Goldziher, sebagian besar dari hadis adalah hasil dari
perkembangan agama, sejarah dan sosial Islam pada masa dua abad pertama. Hal ini karena
Goldziher melihat tradisi sebagai narasi manusiawi dan hadis sebagai produk sejarah bukan
keyakinan teologi yang jika ditelisik produksi literatur Islam memang muncul di penghujung
masa Umawiyah dan Abbasyiyah. Inilah fondasi awal mazhab skeptis, yaitu mempertanyakan
kembali keabsahan sejarah Islam yang dipersepsikan oleh ulama Muslim dalam sumber-
sumbernya.
Joseph Schact lahir di kota Ratibor, Ckoslavakia, Polandia. Hidup dalam tradisi Katolik
tetapi secara tidak sengaja ia belajar tradisi Yahudi. Kaya monumentalnya The Origins of
Muhammadan Juisprudence. Schact sejak awal studinya yakin bahwa inti ajaran Islam
terletak di hukumnya (fiqh) sehingga titik perhatiannya pada fiqh yang dikaitkan dengan
hadis. Schact melanjutkan Goldziher dengan menegaskan kembali bahwa hadis tidak bisa
dikembalikan ke abad 7 dimana Muhammad hidup. Menurut Schact matan atau sanad hadis
merupakan hasil dari teori projecting back yaitu pada abad-abad kedua dan ketiga hijriyah (8-
9 M). Para ulama yang memproduksi hadis berusaha mencari legitimasi dengan mengklaim
bahwa ia mempunyai otoritas abad sebelumnya. Penelitian Schact memberikan kontribusi
bagi mazhab skeptis dengan menyatakan bahwa sanad yang ada pada kitab-kitab hadis yang
diakui umat Islam sebagai rujukan keagamaan itu hanyalah fiktif belaka sebab hadis dan fikih

Page | 7
tidak berasal dari Nabi Muhammad tetapi dari masa sesudahnya dan masa Syafi’i mengalami
puncaknya.
Theodor Noldeke lahir di Hamburg Jerman pada 1836 dan meninggal tahun 1930. Ia
adalah peletak dasar sejarah al-Qur’an di kalangan Barat. Noldeke berpengalaman dalam
bahasa Syiriak dan Aramaik disamping juga bahasa Arab. Karyanya menjadi rujukan studi
sejarah al-Qur’an, Geschict des Koran, yang mengkaji sejarah teks, penulisan, variasi bacaan
dan hal lain terkait dengan mushaf Utsmani termasuk sumber-sumbernya. Ia pertama kali
mengkaji sumber lain selain teks Utsmani yaitu mushaf Abdullah ibn Mas’ud dan Ubay ibn
Ka’ab. Noldeke menunjukkan adanya perubahan dan penulisan serta variasi bacaan al-Qur’an
dalam mushaf yang ditelitinya. Teks Utsmani sebagai teks resmi yang saat ini diterima
seluruh umat Islam bukanlah satu-satunya teks dan banyak teks lain yang populer tapi tidak
terpakai dalam teologi Islam terkini. Noldeke melihat banyak variasi dalam bacaan dan
penulisan al-Qur’an. Dalam perbedaan ini Utsman menunjuk komisi untuk melakukan
kompromi atas al-Qur’an. Adapun prestasi Noldeke yang berpengaruh dalam studi al-Qur’an
adalah kronologinya membagi al-Qur’an menjadi Makkah dan Madinah sesuai dengan al-
Itqan. Noldeke membagi surah berdasarkan gaya, kosa kata, dan isi.
Richard Bell lahir di Skotland tahun 1876 dan meninggal 1952. Bell pertama kali
menerjemahkan al-Qur’an dalam Bahasa Inggris lalu memberi komentar atau tafsir.
Argumennya tentang pengaruh Gereja Timur terhadap al-Qur’an yang menurut penelitiannya,
pengaruh itu ada pada masa Arab pra Islam yaitu kontak antara Arab dan ajaran Kristen. Di
masa Muhammad melakukan kontak dengan Kristen dan Yahudi di Makkah dan Madinah.
Pengaruh Kristen atas Arab lewat tiga pusat Suriah di barat daya, Mesopotamia di timur laut,
dan Abisinia di Barat. Menurut Bell, tidak ada pengaruh yang jelas baik dari tradisi Kristen
maupun Bibel yang langsung diadopsi oleh Islam tetapi hanya ada serpihan kata Bibel yang
terdapat pada al-Qur’an. Sebab, proses produksi kitab suci adalah proses manusiawi dan
proses kreatif individual yang dilakukan Muhammad sebagai Nabi. Bell berasumsi bahwa
Muhammad tidak secara langsung menjiplak Kristen namun Muhammad mendapatkan
sumber selama masa pewahyuan al-Qur’an dari sumber kedua atau ketiga. Inilah dasar dari
Bell menghubungkan al-Qur’an dan sejarah hidup Nabi Muhammad. Ia menarik kesimpulan
bahwa al-Qur’an lebih banyak mengandung perjanjian baru daripada perjanjian lama yang
lebih banyak bersumber dari Kristen daripada Yahudi.
Kemudian Bab enam, membahas tentang Pengkaji Selanjutnya. Orientalis
memandang Islam bukan sebagai dogma tetapi sebagai obyek kajian yang luas. Begitu pula
Nabi Muhammad oleh Barat, ditempatkan sebagai manusia biasa berasal dari suku Quraisy

Page | 8
Arab, pelaku sejarah, dan politisi. Sebagaimana Gustav Weil, berasumsi bahwa Muhammad
mengidap epilepsi atas kewahyuan yang diterima Nabi. Aloys Sprenger, mengatakan bahwa
nabi mengidap histeria. Pandangan tersebut karena latar belakang tradisi positivisme Barat
yang berpengaruh sangat erat. Namun, seiring berjalannya waktu, argumentasi mereka
bergeser. Tradisi kajian Timur di Barat adalah proses dialektis dan tidak statis. Mazhab
skeptis yang meragukan sumber-sumber tentang nabi kemudian berubah dan berusaha
mengerti bagaimana Islam dan Muslim memahaminya, dengan menempatkan nabi pada
posisi tertinggi (Annimarie Schimmel), Watt yang tidak hanya memperhatikan nabi dari sisi
religiusitasnya tetapi juga kepribadiannya.
Selain itu, para pengkaji al-Qur’an di Barat seperti Newrith ini sangat menghargai al-
Qur’an sebagaimana Muslim menghargainya. Ia awalnya meneliti tentang nada al-Qur’an,
perbedaan dan bagaimana susunan surat misalnya Surat Makiyah. Menurut Newrith, al-
Qur’an hendaknya dipahami bukan sebuah buku modern tetapi sumber keagamaan bagi
Muslim. Selanjutnya, studi asal muasal al-Qur’an oleh Jeffery. Ia mengamati bahwa al-
Qur’an tidaklah murni Arab sebagaimana yang berkembang pada masa kejayaan Islam di
Damaskus yaitu pada Dinasti Umayyah dan Abbasyiyah. Jeffery menyusun buku tentang
kata-kata al-Qur’an yang dekat dengan bahasa tersebut karena bagi Jeffery, mempelajari al-
Qur’an hendaknya juga mempelajari bahasa-bahasa kuno yang berkembang di abad ke-7
ketika al-Qur’an turun. Dengan demikian, studi al-Qur’an di Barat bukanlah sesuatu yang
statis namun tetap dinamis dan memiliki banyak mazhab.
Dalam bidang hadis, peletak dasar awal adalah Goldziher yang dipertajam oleh Joseph
Schacht. Pengkaji yang sangat berpengaruh pada dasawarsa mutakhir dalam karya-karyanya
adalah Juynboll dari Belanda yang mengembangkan teori common link dan mencoba
membuktikan pertumbuhan sanad. Common link adalah perawi yang menjadi asal dari berita
itu dan ditandai dengan tempat bertemunya perawi sebelum maupun sesudahnya. Rata-rata
studi Barat, tidak sampai melacak abad pertama, tapi statis sampai abad kedua atau ketiga
hijriyah. Para pengkritik mazhab skeptis di Barat juga mempertimbangkan kembali metode
tradisional Islam masa lalu. Akurasi, otentisitas, dan originalitas pesan lewat tradisi oral
masih merupakan enigma (teka-teki) sejauh mana itu bisa diandalkan dalam proses transmisi
selama beberapa generasi apakah sikap kritis (skeptis) atau percaya dan mempertimbangkan
(kritik terhadap skeptik).
Dengan demikian, studi Islam di Barat mempunyai kontribusi tersendiri untuk dunia
Muslim. Banyak dari para pemikir Muslim yang belajar pada tradisi akademik Barat, karena

Page | 9
komitmen dan semangat yang ditunjukan. Jadi, tidak selamanya orientalis menyerang dan
menghancurkan Islam. Sebagaimana misalnya Montgomery Watt, Crone dan Cook.
Montgomery Watt adalah mahasiswa Richard Bell yng meneruskan kajiannya tentang
Islam. Watt lebih konsentrasi pada bagaimana sejarah Islam awal. Karyanya Muhammad at
Mecca dan Muhammad at Medina. Ia lebih dekat dengan keyakinan dan metodologi Muslim
dalam mengambil kesimpulan. Watt lebih banyak sumber utama yang ditulis oleh ulama
Islam sendiri seperti Ibn Ishaq, Tabari, Ibn Sa’d, Bukhari, Muslim dan lainnya. Watt
mempercayai sumber Islam. Bahkan Watt meringkas kisah-kisah zaman nabi dari sumber-
sumber Islam itu sendiri. Watt percaya bahwa sumber itu berasal dari zaman Muhammad jika
ada perubahan dalam redaksi, tapi intinya tidak berubah. Watt menceritakan tentang
kepribadian Muhammad yang baik hati dan selalu menyenangkan orang. Watt yakin bahwa
al-Qur’an adalah wahyu Tuhan dan Muhammad menerima pengalaman keagamaan asli dari
Tuhan. Watt mengecam orang-orang Barat yang mencoba mempertahankan pandangan kuno
yang salah tentang Nabi umat Islam.
Patricia Crone mempunyai cara lain yaitu mencoba melihat Islam tidak dari sumber
Islam tetapi sumber lain seperti sumber Yahudi, Kristen, Yunani, dan Mesir dengan perspektif
yang berbeda. Crone tidak melihat permulaan Islam dari sisi Muhammad tapi Umar bin
Khattb yang muncul pertama kali secara terang-terangan dari sumber Yahudi. Ia datang
membuka kembali Yerussalem dan diakui sebagai kekuatan Mesianik (penyelamat). Dari
konsep ini yang dipahami Crone dan Cook untuk menggambarkan kemunculan Islam yang
dipenuhi perjuangan identitas dan hubungannya dengan komunitas agama lama, Yahudi dan
Kristen. Crone lebih suka menyebut Islam sebagai keturunan Ismail dari istri Abraham Hajar
maka disebut sebagai Hagarenes. Adapun kebudayaan Islam terbentuk tidak sejak masa
lahirnya Islam tetapi masa puncak kebudayaan Islam yaitu Abbasyiyah dengan mengambil
kebudayaan yang telah ada.
Bab 7, Ranah Indonesia. Pembahasan ini dikaitkan dengan konteks dan ranah
Indonesia. Hefner menyatakan bahwa Indonesia bisa menjadi model masyarakat demokrasi di
dunia Islam karena cukup optimis dengan keterbukaan, keragaman, dan perkembangan
masyarakat Indonesia. Studi Indonesia oleh Barat, tentu Belanda yang memulainya. Mukti
Ali menerangkan studi awal tentang Islam Indonesia yang dilakukan oleh Belanda selama
masa kolonialisasi paling tidak ada tiga motivasi. Pertama, para penasehat yang memberi
masukan kepada pemerintah kolonial tentang urusan negeri Hindia-Belanda (Indonesia)
penuh dengan kepentingan kolonialisasi dan relasi yang kuat antara power and knowledge.
Kedua, misionaris yang menyebarkan ajaran agama Kristen dan Katolik juga mempelajari

Page | 10
banyak budaya dan bahasa di Nusantara dengan besifat apologis karena dalam rangka
berdebat dengan semangat dakwah meeka atau usaha membuktikan kebenaran agama
mereka. Ketiga, para akademisi yang mempelajari Timur dengan lebih bersifat netral.
Kilas balik untuk kondisi saat ini, dahulu Belanda menjajah dan menguasai Indonesia,
kini para intelektual kedua negara saling belajar dan bersahabat. Misalnya Hurgronje
mengarahkan perkembangan Islam di Indonesia ke arah sekularisasi sebagaimana yang telah
terjadi pada tradisi di Eropa dan Kristen sekaligus mengarah ke positivisme Eropa. Ia yakin
bahwa Islam di Indonesia bisa berkembang dan berevolusi menjadi Islam yang tercerahkan
dan menundukkan watak konservatif. Hurgronje menggunakan poitik etis untuk bersama-
sama memperbaiki nasib dengan menggabungkan studi teks klasik Orientalis dengan
observasi praktek di lapangan. Dengan demikian, studi Indonesia oleh Belanda dan
cendekiawan Barat lainnya dengan pemahaman luas dari teks, sufisme, tradisi, kultur,
keagamaan dan politik yang berkembang setelah masa kemerdekaan memberikan kontribusi
dan dedikasi bagi perkembangan studi manuskrip, sejarah, teks, dan masyarakat Indonesia.
Sejarah tentang Indonesia telah dirambah sejak awal oleh studi Barat bahkan para sarjana
Indonesia yang mengkaji Indonesia juga harus kembali pada sumber-sumber Barat untuk
mengembangkan perspektifnya sendiri. Sebagaimana yang dilakukan oleh Clifford Geertz,
Benedict Anderson, William Liddle, Woodward, dan lainnya.
Para pengkaji Indonesia juga bersahabat dengan intelektual Indonesia yang
membuahkan lingkaran intelektual tersendiri. Para ilmuan saling bekerjasama, saling
mendukung, menyelenggarakan seminar, menulis buku, dan mengadakan penelitian
bersaama. Kesan sekarang, tidak ada lagi pembagian Orientalisme dan Oksidentalisme. Para
peneliti bersama-sama menggarap suatu obyek penelitian dan menghasilkan tesis untuk
dipertahankan bersama-sama.
Selanjutnya, Bab delapan, Menggagas Ilmu tentang Barat. Dimulai dengan
membahas dunia Barat yang melihat Timur dengan kacamata dan budaya Barat. Maka Barat
meletakkan dirinya pada posisi superior, Timur sebagai orang lain, budaya dan tradisi lain
yang diletakkan pada posisi inferior. Dalam kajian Orientalisme, Barat adalah pengkaji,
ilmuan, dan pemerintah yang menguasai. Sedangkan Timur adalah obyek kajian, yang
diduduki, diperintah, dan perlu dipahami. Orientalisme adalah ilmu yang mengkaji wacana
bagaimana Timur bermula, berubah, berkembang, agar Timur bisa dipahami oleh Barat
melalui penerjemahan dalam studi Timur. Hasan Hanafi menyatakan perlu adanya gerakan
tandingan berupa pembalikan posisi Barat dan Timur bahwa Timur harus bisa melihat,

Page | 11
mengkaji, dan mempelajari Barat. Hasan Hanafi tidak hanya mengusulkan konterwacana
berupa epistemologi tetapi juga gagasan yang sedikit ideologis.
Sayyid Qutb memproyeksikan sejarah awal Islam dan kehidupan kitab suci al-Qur’an
ke dalam dunianya sendiri. Qutb sangat kritis, benci dan antipati terhadap hegemoni, budaya
serta tradisi Barat. Hasan Hanafi dan Sayyid Qutb sama-sama kritis terhdap Barat karena
hegemoni dan ketertindasan Timur tetapi Hanafi memakai epistemologi Marxis, sifatnya
protes, sedangkan Quthb kritisnya terhadap Barat dibahasakan dengan teologi. Intinya,
perasaan anti Barat baik berupa kebencian dan rasa kritis harus dibedakan. Edward Said
menunjukan daya kitis terhadap hegemoni Barat dalam bentuk pengetahuan yang diproduksi
Barat penuh dengan bias terhadap kepentingan hegemoni Barat terutama pada masa
kolonialisasi. Walaupun dunia terus menyatu dalam globalisasi, kajian Oksidentalisme masih
tetap relevan karena perbedaan antara Barat dan Timur tidak benar-benar sirna.
Bab sembilan, Kaburnya Batas Barat dan Timur. Pembagian masa lalu hasil trauma
kolonialisasi sudah tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Dalam era online misalnya,
batasan dunia terkikis pelan-pelan dan menyatu dengan banyaknya fasilitas seperti fb, google,
youtube, twitter, koran, smartphone, dan sarana online yang lain. Batasan Timur dan Barat itu
masih ada dan sebagai identitas individu serta kolektif, namun pemisahan itu telah berubah
hanya sebagai tanda geografi. Garis itu tidak lagi membatasi komunikasi, informasi, dan
saling berhubungan satu dengan lainnya. Batas dunia antar negara tidak hanya dalam arti
online tetapi juga secara fisik. Amerika saat ini menguasai dunia sekaligus berfungsi sebagai
wahana dunia untuk saling berbagi dan bekerjasama. Oleh sebab itu, Barat dan Timur perlu
dilihat ulang bukan sebagai pembagian yang ketat tetapi sebagai sarana pengembangan karir
dan network sehingga para intelektual Timur menikmati susana akademik Barat untuk
dikembangkannya sebagai model dari segala sesuatu.
Terakhir yakni Bab sepuluh, Penutup. Di bagian ini, penulis menyimpulkan bahwa
pembagian dunia antara Timur dan Barat layak dipelajari sebagai ilmu sejarah dan ilmu
budaya kontemporer. Meskipun Barat dan Timur dari sisi pandangan, karya, ideologi dan
misi terdapat perbedaan satu sama lain. Tetapi faktanya, perkembangan mutakhir Barat dan
Timur semakin dekat dan semakin kompleks terutama dalam dunia akademis. Hal ini karena,
dalam dunia akademis, Barat dan Timur adalah milik bersama. Keduanya, Barat dan Timur
harus saling bekerjasama dalam pendidikan, penelitian, dan penulisan.
Demikianlah gambaran umum mengenai buku Antara Barat dan Timur: Batasan,
Dominasi, Relasi, dan Globalisasi. Dalam buku ini ketika mengungkapkan gagasan melalui
kajian tematiknya sangat komprehensif, holistik, mendetail dan sistematis. Selain itu, bahasa

Page | 12
yang disajikan juga mudah dipahami. Namun, dalam beberapa bagiannya terdapat sisi
kekurangan seperti adanya pengulangan kata dan kalimat yang mungkin bertujuan untuk
memberikan penekanan dan perhatian lebih terhadap kalimat tersebut.
Telepas dari kekurangan di atas, buku ini sangat bermanfaat dan patut dibaca oleh
semua kalangan baik akademisi, peminat kajian Islam ataupun masyarakat umum karena
dengan membaca buku ini akan menjadikan wawasan kita bertambah untuk mengetahui
persepsi Barat dan Timur yang tidak hanya dipandang sebagai musuh tetapi persepsi
Orientalisme dan Oksidentalisme yang saling bekerjasama serta memberikan dedikasi
keilmuan dalam berbagai bidang kehidupan. Oleh karena itu, bagi siapapun yang mau
membaca dan memahami secara komprehensif serta menerapkan gagasan ini, maka dunia
akan menjadi semakin bersatu, saling berbagi, dan berkerjasama dalam menciptakan
perdamaian dunia.

Page | 13

Anda mungkin juga menyukai