Anda di halaman 1dari 264

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbi al-‘alamin, Puji Syukur kehadirat Allah swt yang telah
melimpahkan rahmat derta hidayah-Nya sehingga kompilasi makalah mata kuliah
“History of Islamic Civilization” dapat diselesaikan. Kompilasi makalah ini
merupakan salah satu tugas akhir semester satu mahasiswa Magister Pengkajian
Islam Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tentunya makalah-makalah ini
telah disajikan dan didiskusikan dalam perkuliahan selama satu semester dengan
bimbingan team teaching dosen mata kuliah ini. Untuk itu penyusun sampaikan
terima kasih kepada para pembimbing:
1. Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A, CBE (GBPMK);
2. Prof. Dr. Didin Saepudin, M.A;
3. Prof. Dr. Budi Sulistiono, M.Hum;
4. Dr. Abdul Choir, M.A;
5. Saiful Umam, Ph.D
Berkat bimbingan beliau-beliau kegiatan perkuliahan dan kompilasi makalah ini
dapat terwujud dengan baik.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam kompilasi makalah ini.
Untuk itu, kritik dan saran dalam rangka menyempurnakan kompilasi makalah ini
sangat diharapkan dari para pembaca. Besar harapan penyusun semoga kompilasi
makalah ini dapat memberi sumbangsih khazanah keilmuan dan manfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.

Ciputat, 01 Januari 2020

Penyusun
Mahasiswa Magister Pengkajian
Islam Kelas Program Beasiswa
PMLD

1
DAFTAR ISI

Historiografi Arab Pra Islam .............................................................................3


Sumber Sejarah Islam .......................................................................................16
Metode Historiografi Islam ...............................................................................29
Sejarah Politik dan Sejarah Sosial dalam Penulisan Sejarah Islam...................40
Problematika Penulisan dalam Sejarah Islam ...................................................55
Sektarianisme dalam Sejarah Islam...................................................................79
Perempuan dalam Historiografi dan Sejarah Islam ...........................................90
Hubungan antara Ulama dan Umara dalam Sejarah Islam................................104
Hubungan Ulama dan Penguasa dalam Sejarah Islam ......................................115
Islam Asia Tenggara: Dinamika Historis dan Distingsi ....................................130
Islam Asia Tenggara: Mayoritas dan Minoritas ................................................144
Islam Asia Tenggara: Mayoritas dan Minoritas ................................................160
Islam di Nusantara: Seputar Teori Kedatangan.................................................175
Seputar Teori Kedatangan Islam di Nusantara ..................................................190
Historiografi dan Pendekatan Sejarah Islam Nusantara ....................................206
Islam Indonesia: Diskursus Islam Kultural dan Islam Politik ...........................220
Islam Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global ........................................236
Islam Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global ........................................252

2
HISTORIOGRAFI ARAB PRA ISLAM
Tubagus Muhammad Syukron (21191200000001)

Abstrak

Nabi Muhammad saw diutus oleh Allah dalam kondisi peradaban arab
yang masih jāhiliyyah. Peradaban itu, sebagai tempat lahirnya Islam,
bukanlah daerah yang terkenal. Peradaban dunia kala itu masih
dikuasai oleh peradaban Romawi Timur dan peradaban Persia. Dua
peradaban itu merupakan adi kuasa pada saatnya. Kaitannya dengan
historiografi, sebagai salah satu bentuk penyajian bahan-bahan
sejarah, ditampilkan perkembangan sejarah baik dalam pemikiran
maupun dengan pendekatan ilmiah dalam hal pertumbuhan,
perkembangan dan kemunduran arab pra Islam, telah diketahui
memang belum mengenal atau mahir dalam tradisi tulis menulis.
Peristiwa sejarah disimpan dalam ingatan mereka. Selain karena tidak
berkembangnya tulis menulis, juga karena anggapan mereka bahwa
kemampuan mengingat itu lebih terhormat. Sehingga, historiografi
arab pra islam dapat dipastikan hanya berupa tradisi lisan yaitu berupa
Ayyām al-‘Arab dan al-Ansāb.
Kata Kunci: Historiografi, Ayyām al-‘Arab, al-Ansāb

A. Pendahuluan
Historiografi pra Islam, walau berada pada fakta minimnya sumber primer
bahkan tertulis yang bisa ditelaah oleh sejarawan, seharusnya secara faktual kondisi
ini mampu memengaruhi sejarawan untuk lebih tajam dalam mengkaji sumber-
sumber awal, sehingga penulisan selanjutnya bisa menjadi rujukan yang bernilai
sepadan dengan sumber primer dan bisa menjadi sandaran yang layak bagi generasi
selanjutnya untuk menemukan materi-materi sejarah yang penting dan berharga.
Evolusi historiografi pra Islam sudah seharusnya menjadi kajian yang penting
dan wajib untuk dibahas oleh penuntut ilmu agama maupun ilmu umum. Hal ini
dikarenakan, perkembangannya manjadi bukti kemampuan yang menakjubkan dari
bangsa Arab dalam penyampaikan informasi yang sudah berabad-abad usianya
dengan menggunakan media lisan dan ingatan. Lebih dari itu pejalanan historiografi
pra Islam mampu menjadi pengalaman budaya yang kaya untuk memberi umat
muslim akses kepada sumber kronologis guna memenuhi dan meningkatkan
keingintahuan mereka tentang sejarah agama islam dan budaya pra Islam.

B. Pengertian Historiografi
Kata historiografi, secara semantik terdiri dari dua kata yaitu history dan grafi.
History berarti sejarah dan grafi berarti penulisan atau deskripsi. Historiografi
disebut bermakna penulisan sejarah. Kata sejarah sendiri dalam bahasa latin disebut
3
dengan historia atau histoire1. Secara umum, kata history berarti masa lampau
manusia. Menurut Gottschalk, kata history berasal dari kata benda istoria yang
berarti ilmu. Filosof Yunani sering menggunakan kata istoria dalam memaparkan
hal-hal yang berhubungan dengan gejala alam, namun lebih spesifik kepada hal
ihwal manusia.2
Kemudian kata istor inilah yang memiliki kesamaan bunyi dalam bahasa Arab
dengan kata ‫ أسطورة‬/‫ أسطور‬yang berasal dari kata ‫ سطر‬kata ini memiliki makna yang
sama dengan ‫كتب أو كتابة‬. Selain itu bentuk jamaknya adalah ‫ الساطري‬yang berarti ‫أحاديث‬
‫النظام لها‬. Akan tetapi Bangsa Arab menamai istilah historiografi dengan ‫تأرخي‬.3 Dengan
demikian, historiografi dapat disebut sebagai penulisan sejarah.
Tidak semua peristiwa tindakan manusia pada masa lampau itu dapat
dikategorikan sebagai sejarah secara ilmiah. Beberapa peristiwa sebenarnya hanya
berupa letupan-letupan atau kepingan-kepingan yang dapat dipertimbangkan
menjadi sejarah. Sebuah peristiwa dapat dikategorikan sebagai sejarah jika sudah
diseleksi oleh sejarawan apakah memang masuk dalam bagian dari dinamika sejarah
yang kemudian menjadi karya sejarah. Dengan demikian, hanya yang dianggap
“penting” dan “berkaitan” dengan dinamika sejarah saja yang dapat dikategorikan
sebagai sejarah. Hal tersebut menunjukkan bahwa tahapan historiografi merupakan
tahapan yang didahului oleh analisis terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu.4
Penyusunan historiografi dinilai sangat penting dalam tahapan penyusunan
sejarah. Historiografi penting untuk mengetahui pandangan, metode penelitian dan
metode penulisan sejarah yang dilakukan para sejarawan di masa silam. Dengan
demikian, dapat dilakukan kajian kritis terhadap karya-karya mereka. Di samping
itu, penulisan historiografi dalam masa tertentu dapat menunjukkan perkembangan
konsep sejarah baik dalam hal pemikiran maupun dalam hal pendekatan ilmiah yang
digunakan. Sehingga, dapat diketahui pertumbuhan, perkembangan dan kemunduran
bentuk-bentuk ekspresi yang digunakan dalam penyajian bahan-bahan sejarah.5
Penyusunan historiografi harus menggunakan bahasa yang baik dan benar.
Disajikan di dalamnya bukti-bukti yang sebenar-benarnya dan seobjektif mungkin.
Sedangkan substansinya harus terpenuhi suatu kesatuan sejarah.6 Peneliti sejarah
dalam menyusun historiografi, pemaparannya harus argumentatif, dalam arti
didasarkan pada bukti yang cukup dan fakta yang akurat.7 Adapun dalam

1
Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 1.
2
Imas Emalia, Historiografi Indonesia: Sejak Masa Awal Sampai Masa Kontemporer
(Tangerang: UIN Jakarta Press, 2006), h. 6.
3
Wajih Kawtharani, History of Historiography: Trends, Schools and Methodologies
(Beirut: Arab Centre for Research and Policy Studies, 2012) cet.2, h. 12.
4
Imas Emalia, Historiografi ..., h. 6.
5
A. Mu‘in Umar, Historiografi Islam (Jakarta: Rajawali, 1988), h. 1.
6
Achmad Choirul Rofiq, Menelaah Historiografi Nasional Indonesia (Yogyakarta:
Deepublish, 2016), h. 10.
7
Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah Islam (Yogyakarta: Ombak,
2011), h. 118.
4
penyajiannya, historiografi setidaknya terdiri dari pengantar, hasil penelitian dan
kesimpulan.8

C. Kondisi Arab Pra Islam


Membahas sejarah berarti membahas dinamika peristiwa masyarakat.
Sehingga, membahas sejarah haruslah diiringi dengan pengetahuan kondisi sekitar
peristiwa hal ihwal masyarakat setempat. Begitupun dalam pembahasan historiografi
arab pra islam, sangat penting lebih dahulu membahas kondisi wilayah dan
masyarakat arab masa sebelum kedatangan islam.9
Arab pra islam acap kali disebut-sebut sebagai masa jāhiliyyah. Ke-
jāhiliyyah-an bangsa Arab kala itu berkonotasi kepada kebodohan. Dalam hal ini
bukan berarti kebodohan dalam konteks kemampuan akademis, melainkan dalam
konteks peradaban manusia yang masih belum mengenal norma-norma
antarsesama.10 Dengan demikian, dalam hal kemampuan akademis seperti membaca
dan menulis, bukan berarti sama sekali buta. Bahkan, telah diketahui bahwa
beberapa sahabat nabi memang sudah dapat membaca dan menulis sejak kedatangan
islam. Hanya saja, kala itu baca tulis belum menjadi tradisi dan tidak dinilai sebagai
sesuatu yang penting dan bukan ukuran kepandaian bagi mereka.11
Bahkan, di masa itu, sastra begitu pesat perkembangannya terutama Arab
bagian utara. Hal itu terbukti oleh sebagian orang yang memiliki kemampuan tinggi
dalam menggubah syair. Syair-syair itu kemudian diperlombakan dan yang menang,
maka syairnya akan digantung di ka‘bah. Tradisi sastra mereka itulah yang
kemudian dapat menggambarkan peristiwa-peristiwa penting mereka yang bernilai
sejarah. Semua itu mereka abadikan dalam berbagai bentuk seperti kisah, dongeng,
nasab, nyanyian, syair dan sebagainya.12
Philip K. Hitti dalam bukunya History of The Arabs menyebutkan ciri khas
orang arab badui13 yang tercermin dari karya-karya sastra mereka adalah mempunyai
nilai-nilai kebajikan tertinggi yang kemudian disebutnya dengan istilah murūʼah
(harga diri), ‘irḍ (kehormatan) dan kewibawaan. Unsur-unsur yang terdapat dalam
nilai murūʼah tadi adalah keberanian, loyalitas dan kedermawanan. Kedermawanan

8
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1997), h. 96.
9
Lapidus, A History of Islamic Scietes (Amerika: Cambridge University Press, 1988),
h. 3.
10
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), h. 47.
11
Badri Yatim, Historiografi ..., h. 27.
12
Badri Yatim, Historiografi ..., h. 27.
13
Badui adalah sebutan untuk untuk masyarakat yang masih berpindah-pindah dari
suatu tempat ke tempat lainnya dan masih dianggap sebagai golongan manusia liar. Lihat:
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, terj., Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2008), cet. 7, h. 57.
5
bagi mereka berarti bersedia mengorbankan untanya untuk menyambut tamu atau
untuk kepentingan orang miskin dan yang membutuhkan bantuan.14
Kebiasaan masyarakat Arab yang terbentuk oleh determinisme alam yang
keras melahirkan tindakan yang seringkali tidak sesuai dengan akal budi.15 Sejarah
membuktikan, bahwa sebelum kedatangan islam, masyarakat Arab dikenal memiliki
pola pikir dan tingkah laku yang terpuji dan tercela. Hasan Ibrahim Hasan
menyebutkan beberapa kebiasaan tercela mereka diantaranya ialah politeisme,
pemujaan kepada Ka‘bah yang berlebihan, perdukunan, khurafat, mabuk-mabuk dan
sebagainya.16 Sementara itu, Ahmad Amin menyebutkan sifat-sifat terpuji
masyarakat Arab diantaranya semangat, keberanian, kedermawanan, dan kebaktian
terhadap suku mereka. Bahkan kala islam datang, islam mengembangkan sifat-sifat
terpuji itu dan menyempurnakannya.17

C.1 Geografi dan Etnografi Arab Pra Islam


Kala itu, mayoritas Bangsa Arab mendiami suatu daerah yang dikenal dengan
jazīrah ‘arab. Meski demikian, ada juga Bangsa Arab yang mendiami daerah di
sekitar daerah tersebut. Istilah jazīrah dalam Bahasa Arab berarti pulau, maka jazīrah ‘arab
berarti Pulau Arab.18 Demikianlah sebutan orang Arab terhadap wilayah mereka,
meski sebenarnya hanya tiga bagian saja yang berbatasan langsung dengan lautan19,
yaitu dengan Laut Merah, Lautan Hindia dan Teluk Persia.20 Sedangkan sebagian
sejarawan menyebut wilayah itu dengan syibh al-jazīrah yang berarti
semenanjung.21
Negeri Arab berada di bagian barat Asia.22 Negeri Arab, pada umumnya,
merupakan wilayah padang pasir atau sahara, meski ada juga wilayah yang subur.
Wilayah sahara tersebut terletak di tengah-tengah wilayah dan memiliki keadaan
serta sifat yang berbeda-beda. Berdasarkan hal tersebut, sahara tersebut terbagi
menjadi tiga bagian:
1. Sahara Langit: membentang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil
dari timur ke barat. Sahara yang disebut juga dengan Sahara Nufud ini
sangat jarang ditemui oase dan mata air. Tiupan angin di wilayah ini
seringkali menimbulkan kabut debu yang mengakibatkan sukar ditembus;
2. Sahara Selatan: membentang dari Sahara Langit ke arah timur sampai
dengan bagian selatan Persia. Sahara yang disebut juga dengan ar-Rub

14
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj., R. Cecep Lukman dan Dedi Slamet
Riyadi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), cet. 2, h. 119; Ahmad Amin, Fajr al-Islām
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, tt.), cet. 2, h. 23.
15
Philip K. Hitti, History of ..., h. 15-16.
16
Hasan Ibrahim Hasan, Tārīkh al-Islam (Kairo: Maktabah an-Nahḍah al-Miṣriyyah,
1967), h. 196.
17
Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Kairo: Maktabah an-NAhḍah al-Miṣriyyah, 1975), h.
76-77.
18
Amany Lubis dkk, Sejarah Peradaban Islam (Tangerang: Pusat Studi Wanita UIN
Jakarta, 2005), h. 14.
19
A. Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983), h. 31.
20
Samsul Munir Amin, Sejarah ..., h. 55.
21
A. Syalabi, Sejarah ..., h. 31.
22
Samsul Munir Amin, Sejarah ..., h. 55.
6
al-Khālī (bagian yang sepi) ini hampir seluruhnya merupakan dataran
keras, tandus dan pasir bergelombang;
3. Sahara Harrat: suatu daerah yang terdiri dari tanah liat yang berbatu
hitam23 dengan jumlah 29 buah yang tersebar di luasnya sahara ini.24
Arabia merupakan wilayah terpencil bagi wilayah imperial Timur Tengah.
Penduduknya disebut Kaum Badawi dan bertahan hidup sebagai penggembala unta
dan domba. Mereka mempunyai gaya hidup pedesaan dan nomaden yakni
berpindah-pindah ke daerah lain untuk mencari air. Arabia selalu terasing dari
pergaulan dan berada di bawah pengaruh wilayah-wilayah imperial. Salah satu
keistimewaan mereka adalah memiliki gari keturunan (nasab) yang murni, karena
tidak pernah dimasuki oleh orang asing. Hal tersebut juga menyebabkan bahasa
mereka masih sangat murni dan terpelihara. Keadaan itu berbeda dengan yang
tinggal di daerah pesisir. Mereka sudah menetap dengan mata pencaharian bertani
dan berniaga. Oleh karenanya masyarakat pesisir sempat membina berbagai budaya
bahkan kerajaan.25
Berdasarkan asal-usul garis keturunan, penduduk Jazirah Arab dibagi menjadi
dua golongan besar yaitu Qaḥṭāniyyūn (keturunan Qaḥṭān) dan Adnāniyyūn
(keturunan Ismā‘īl bin Ibrāhīm). Penyebarannya, wilayah utara banyak ditinggali
oleh kalangan Qaḥṭāniyyūn dan selatan sebaliknya. Meskipun selanjutnya kedua
kalangan itu membaur seiring perpindahan masyarakat dari utara ke selatan dan
sebaliknya.26
Adapun para ahli geografi purba membaginya ke dalam tiga wilayah yaitu
Arabia Petrix, Arabia Deserta dan Arabia Felix. Arabia Petrix adalah bagian sebelah
barat daya lembah Syiria. Arabia Deserta adalah daerah Syiria itu sendiri.
Sedangkan Arabia Felix adalah Negeri Yaman yang terkenal dengan sebutan Bumi
Hijau. Sedangkan para sejarawan membaginya kepada tiga bagian kaum,
berdasarkan silsilah keturunan dan cikal bakalnya.27 Ketiga bagian kaum itu adalah
Arab Bā‘idah, Arab Bāqiyyah dan Arab Musta‘ribah. Arab Ba‘īdah adalah Bangsa
Arab yang telah punah seperti kaum Ṡamūd dan ‘Ād. Arab Bāqiyyah adalah Bangsa
Arab yang masih lestari atau disebut juga Arab Aribah yang merupakan kalangan
Qaḥṭāniyyūn. Di antara mereka adalah Jurhum dan Ya‘rab yang tinggal di daerah
Yaman. Dari Ya‘rablah lahir suku Kahlan dan Himyar. Adapun yang ketiga adalah
Arab Musta‘ribah. Mereka inilah mayoritas penduduk Arab. Mereka mendiami
bagian tengah Jazirah Arab dan Negeri Hijaz sampai ke Lembah Syiria. Selanjutnya,
dari kalangan inilah muncul berbagai macam suku arab, diantaranya ialah Suku
Quraisy yang tumbuh dari Suku Adnān.28
Adapun mengenai agama yang dianut oleh Bangsa Arab pra islam umumnya
adalah agama samawi yaitu Yahudi dan Nasrani. Yahudi dianut oleh sebagian

23
Amany Lubis dkk, Sejarah ..., h. 14.
24
Ahmad Amin, Fajr al-Islām (Kairo: Maṭba‘ah ‘Īsā Albābī al-Ḥalabī, tt.), h. 95
25
Amany Lubis dkk, Sejarah ..., h. 14.
26
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h.
9.
27
Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam (Delhi: Idarah Adabiyat, tt.), h. xiii.
28
Penyebutan musta‘ribah dikarenakan pada saat Jurhum mendiami Makkah, mereka
tinggal bersama dengan Nabi Ibrāhīm as. serta ibunya. Dari situlah kemudian Ibrāhīm as
beserta puteranya mempelajari Bahasa Arab. Lihat: Amany Lubis dkk, Sejarah ..., h. 19.
7
Bangsa Yaman dengan rajanya Żū Nu‘as. Nasrani dianut oleh Bangsa Yaman bagian
utara yaitu daerah Najran. Ada pula agama Zoroaster yang dianut oleh bangsa
Manazirah yang merupakan bentukan raja persia. Di samping itu, ada juga penganut
agama Hanif dan agama Wasani atau animisme29 Kendati demikian, Bangsa Arab
masih menganut agama asli mereka yaitu percaya kepada dewa yang diwujudkan ke
dalam bentuk patung berhala. Setiap kabilah memiliki berhalanya masing-masing.
Berhala-berhala tersebut dipusatkan di Ka‘bah. Berhala yang terpenting adalah
Hubal yang dianggap sebagai dewa yang terbesar dan diletakkan di Ka‘bah.
Selanjutnya Lata yakni berhala tertua yang terletak di Ṭāʼif. Uzza bertempat di Ḥijāz
yang kedudukannya di bawah Hubal dan Manat yang ada di Yaṡrib. Mereka
menjadikan berhala-berhala tersebut sebagai tempat bertanya dan mengetahui nasib
baik dan buruk.30

Gambar 1. Peta Jazirah Arab Pra Islam


Sumber: Internet

C.2 Tradisi dan Bahasa


Dalam tradisi Bangsa Arab pra islam, nilai kaum wanita sangat rendah.
Mereka hanya dianggap sebagai anggota masyarakat kelas dua yang tidak
mempunyai hak kepemilikan harta serta tidak memiliki kebebasan terhadap dirinya
sendiri. Bahkan, kaum wanita kala itu dapat dijadikan warisan bagi keturunan
suaminya. Bukan hanya nilai kaum perempuan, tetapi juga nilai seorang pemimpin
juga seakan tak ada harganya. Pemimpin atau yang disebut dengan syekh atau amīr
itu hanya berperan dalam hal ihwal yang berkenaan dengan peperangan dan
pembagian harta rampasan perang. Situasi-situasi seperti demikian terus berlangsung
hingga islam datang.31
Dalam bidang seni dan bahasa, bangsa Arab pra islam dapat dikatakan sangat
maju. Bahasa mereka begitu indah dan kaya. Syair-syair mereka sangat banyak.
Bahkan seorang penyair begitu dihormati di kalangan mereka. Tiap tahunnya, di

29
Philip K. Hitti, History of ..., h. 119; Samsul Munir Amin, Sejarah ..., h. 52.
30
Amany Lubis dkk, Sejarah ..., h. 19.
31
Amany Lubis dkk, Sejarah ..., h. 17.
8
Pasar ‘Ukaz, diadakan deklarasi atau semacam festival sajak yang amat bagus. 32
Dari festival tersebut, terpilih syair terbaik yang kemudian akan digantung di Ka’bah
yang biasa disebut sebagai ‘alaqah.33
Selain tentang syair-syair, mereka pun sangat maju dalam hal khiṭābah dan
adanya tradisi Majlis al-Adab dan Sauqu ‘Ukaz. Khiṭābah berarti retorika dan
merupakan satu-satunya alat komunikasi yang sangat luas. Bangsa Arab pun sangat
fasih dalam berpidato dengan bahasa-bahasa yang indah. Sama halnya penyair, ahli
pidato pun mendapatkan derajat yang tinggi di tengah-tengah mereka. Majlis al-
Adab adalah bagian dari tradisi mereka yaitu diadakannya majlis atau nadwah
(klub). Di sanalah mereka kerap membacakan sajak, bertanding pidato, tukar
menukar berita dan sebagainya. Maka terkenal sudah sebutan “Nadir Quraisy” dan
“Darun Nadwah”. Adapun Sauqu ‘Ukaz merupakan bagian dari aswaq (pekan atau
festival). Sama halnya dengan Majlis al-Adab, perayaan Sauqu ‘Ukaz merupakan
pegelaran para saudagar dengan barang dagangannya, para penyair dengan sajak-
sajaknya, ahli pidato dengan khutbah-khutbahnya dan seterusnya. Sauqu ‘Ukaz atau
Pekan ‘Ukaz biasa diselenggarakan di tempat yang tidak jauh dari Kota Mekkah
menuju arah Ṭāʼif.34
Berbeda dengan bangsa Arab pesisir. Mereka selalu mengalami perubahan
situasi dan kondisi. Mereka mampu membuat alat-alat atau perkakas yang
dibutuhkan seperti yang terbuat dari besi. Bahkan mereka mampu mendirikan
kerajaan. Saat kehadiran nabi, daerah pesisir merupakan daerah perniagaan dan
perdagangan, karena memang berada di jalur perdagangan yang menghubungkan
Syam dan Samudera Hindia35
Pada perkembangan berikutnya, bangsa Arab banyak dipengaruhi oleh
kebudayaan-kebudayaan luar yang masuk. Pengaruh tersebut masuk dengan
beberapa jalur penting diantaranya melalui hubungan dagang, melalui kerajaan-
kerajaan protektorat seperti Hirah dan Ghassan dan masuknya misi yahudi dan
kristen. Dalam bidang perdagangan, bangsa Arab menjalin hubungan dengan bangsa
Syiria, Persia, Habsyi Mesir dan Romawi yang kesemuanya itu lebih dahulu telah
dipengaruhi budaya hellenisme.36
Melihat situasi budaya yang sedemikian maju, Gustav Leboun berkesimpulan
bahwa tidak mungkin bangsa Arab tidak pernah memiliki peradaban yang tinggi.
Apalagi hubungan dagang mereka sudah berlangsung selama 2000 tahun. Ia yakin,
bangsa Arab pasti ikut andil terhadap peradaban dunia sejak sebelum islam datang.
Buktinya, golongan Qaḥṭāniyyūn misalnya pernah mendirikan Kerajaan Sabaʼ dan

32
Samsul Munir Amin, Sejarah ..., h. 61.
33
Amany Lubis dkk, Sejarah ..., h. 14.
34
Samsul Munir Amin, Sejarah ..., h. 61.
35
Amany Lubis dkk, Sejarah ..., h. 17.
36
Amany Lubis dkk, Sejarah ..., h. 17.
9
Kerajaan Himyar di Yaman.37 Bahkan pada masa Sabaʼ, bangsa Arab sudah menjadi
penghubung perdagangan antara Eropa dan dunia timur.38

D. Historiografi Arab Pra Islam


Secara historis, sebelum penulisan sejarah dimulai, kejadian di masa lalu
dapat diketahui melalui lisan. Sebagai salah satu bentuk komunikasi, tradisi lisan
berfungsi sebagai sarana atau media transformasi nilai, norma dan hukum dari satu
individu ke individu lainnyaataupun antargenerasi. Sehingga, tradisi lisan
merupakan proses panjang sistem pewarisan pengetahuan, termasuk di dalamnya
adalah sejarah atau peristiwa masa lalu. Tradisi lisan kemudian disebut sebagai
sejarah lisan, sebuah konsep turun temurun yang juga diregenerasikan secara pasti39
Pada masa Jāhiliyah, masih belum mengenal penulisan sejarah dalam
pengertian sebenarnya. Negeri-negeri yang lebih maju saja kala itu, seperti Yaman,
Kerajaan Hirah, Kerajaan Ghassan juga tidak mewariskan tulisan-tulisan.40 Sejarah
Arab pra islam yang paling akurat adalah berupa tinggalan arkeologis yang ada di
Haḍramaut, Yaman sebelah utara Hijaz dan sebelah selatan Syiria. Satu-satunya
yang dapat dilihat adalah penggalan-penggalan sejarah yang terdapat di gereja-
gereja daerah Hirah. Daripada itu, data-data sejarah masa pra islam, menurut Husein
Nashar, harus diterima dengan keraguan mendalam. Di samping itu, pengetahuan
orang Arab tentang negeri-negeri tetangganya seperti Persia dan Romawi masih
bercampur dengan berbagai legenda.41
Bangsa Arab secara umum dibagi menjadi dua kelompok besar, pertama
kelompok Arab Utara dan kedua kelompok Arab Selatan. Masing-masing kelompok
ini mempunyai warisan riwayat syafahiyah yang berkaitan dengan berita mengenai
Tuhan-tuhan yang mereka sembah, garis keturunan, kondisi sosial dan jenis-jenis
peperangan yang terjadi diantara mereka42 sehingga ada beberapa jenis yang terkenal
diantara riwayat tersebut yakni al-ayyam dan al-ansab.
Menurut Badri Yatim tidak ada jalan lain untuk mengetahui secara mendalam
sejarah perjalanan dan warisan asli penduduk Jazirah Arab sebelum munculnya
Islam selain mengenal dan menginterpretasikan tradisi lisan mereka yang kemudian
disebut dengan al-ayyām dan al-ansāb.43 Berbeda dengan Badri Yatim, Nisar

37
Gustav Leboun, Ḥaḍrah al-‘Arab (Kairo: Maṭba‘ah ‘Īsā Albābī al-Ḥalabī, tt.), h.
95.
38
Amany Lubis dkk, Sejarah ..., h. 19.
39
Cin Hapsari Tomoidjojo, Jawa-Islam-Cina, Politik Jatidiri dalam Safar Cina
Sajadah (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2012), h. 3-5.
40
Muhammad Ahmad Tarhini, al-Muarrikhūn wa at-Tārīkh al-‘Arab (Beirut: Dār al-
Kutub al-‘Ilmiyah, 1991), h. 11.
41
Husein Nashar, Nasyʼah at-Tadwīn at-Tārīkhī ‘ind al-‘Arab (Kairo: Maktabah an-
Nahḍah al-Miṣriyyah, tt.), h. 5.
42
Kawtharani, History of Historiography ..., h. 45.
43
Badri Yatim, Historiografi ..., h. 29.
10
Ahmad Faruqi mengklasifikasikan tradisi lisan itu menjadi tiga jenis: Battle-day
Narrative, Arabic Poetry dan Genealogy.44

D.1 Battle-day Narrative / Ayyām al-‘Arab


Istilah Ayyām al-‘Arab yang merupakan Bahasa Arab hari-hari penting bangsa
Arab. Di kalangan masyarakat Arab pra islam memang sering terjadi konflik
antarkabilah. Hal itu biasanya terjadi karena perselisihan dalam mencapai
kepemimpinan, perebutan sumber air dan padang rumput untuk penggembalaan
ternak. Kemudian konflik tersebut seringkali menyebabkan terjadinya peperangan
antarmereka. Hari-hari terjadinya peperangan itulah yang kemudian dikenal dengan
Ayyām al-‘Arab atau dalam versi Bahasa Inggris disebut Battle-day Narrative.
Disebut dengan kata Ayyām karena peperangan yang terjadi di waktu siang.45
Ayyām al-‘Arab merupakan sumber sejarah pra islam yang diwariskan dari
wilayah Arab Utara. Sumber ini terbentuk dalam tradisi lisan berupa narasi-narasi
dalam bentuk syair maupun prosa. Pembahasan utama narasi ini adalah peperangan46
diantara berbagai suku yang bersaing di kalangan Arab. Selain itu, narasi ini pun
berisi kisah-kisah dari dewa-dewa orang Arab, keadaan sosial budaya dan
keagamaan mereka secara umum, silsilah dan karakteristik suku-suku Arab seperti
perilaku sosial dan pandangan politik mereka. Mereka meriwayatkan kisah-kisah
tersebut dengan maksud untuk membanggakan diri mereka terhadap kabilah lain.
Meskipun tidak seluruh isinya terklarifikasi menggambarkan kenyataan, melalui
sumber inilah, para sejarawan dapat mengetahui kondisi Arab masa pra islam.47
Salah satu contoh kandungan ayyām al-‘arab, misalnya adalah kualitas
manusia yang paling dihormati di kalangan Arab yaitu kepala suku yang mempunyai
murūʼah yang paling baik dan mampu memberikan kebijakan dan gagasan
cemerlang, tidak hanya terhadap anggota sukunya, namun juga kepada suku-suku
yang lain.48 Tradisi Ayyām al-‘Arab ini terus berlangsung hingga abad 2 H dan
banyak memengaruhi langgam penulisan sejarah islam pada masa berikutnya.49

D.2 Arabic Poetry (Dīwān al-‘Arab)


Dīwān al-‘Arab merupakan himpunan puisi Arab yang kadang-kadang
dikaitan dengan ritual ibadah. Menurut ahli filologi, setelah kemunculan islam,
kumpulan puisi ini juga mendapat posisi penting di bidang historiografi. Dīwān al-
‘Arab yang biasa disampaikan bersamaan dengan Ayyām al-‘Arab juga berisi

44
Nisar Ahmad Faruqi, Early Muslim Historiography: A Study of Arab History from
the Rise of Islam up to the end of Umayya Period (Delhi: Idharah Adabiyyat, 1997), h. 37-55.
45
Badri Yatim, Historiografi ..., h. 30.
46
Diantara peperangan yang terjadi adalah Perang al-Basus, Perang Dahis, Perang al-
Ghabra, Yaum Fujjār dan Yaum Ṭakhfah. Lihat: Badri Yatim, Historiografi ..., h. 31.
47
Ignaz Goldziher, Muslim Studies (London: S.M Stern, 1967), vol. 1, h. 11-13; Badri
Yatim, Historiografi ..., h. 30.
48
Goldziher, Muslim Studies ..., h. 11-13.
49
Badri Yatim, Historiografi ..., h. 31.
11
aktivitas budaya dan intelektual Arab pra Islam dan berpotensi menjadi subjek
penelitian berkenaan dengan berbagai suku dan daerah Arab.50
D.3 Genealogy (al-Ansāb)
al-Ansāb adalah bentuk jamak dari nasab yang berarti silsilah (geneology).
Sejak masa Jāhiliyyah, orang Arab sangat memerhatikan dan memelihara silsilah
mereka. Kala itu, pengetahuan tentang silsilah ini merupakan salah satu yang
dianggap penting. Setiap kabilah pasti menghafal silsilahnya, setiap anggota
keluarga juga demikian agar silsilah itu terjaga kemurniannya dan dapat
dibanggakan kepada kabilah-kabilah lain.51
Dalam beberapa syairan, mereka pun memasukkan silsilah mereka. Topik
utama syair-syair mereka juga berkenaan dengan silsilah mereka. Melalui syair-syair
itulah mereka membanggakan silsilah mereka yang berhubungan dengan
kehormatan dan kejayaan. Kehormatan suatu kabilah sangat tergantung pada
prestasi-prestasi yang pernah dicapai oleh nenek moyang mereka. Bahkan Ayyām al-
‘Arab juga terkadang berisi nasab.52

50
Goldziher, Muslim Studies ..., h. 11-13.
51
Badri Yatim, Historiografi ..., h. 38.
52
Badri Yatim, Historiografi ..., h. 38.
12
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung, Metodologi Penelitian Sejarah Islam, Yogyakarta: Ombak,
2011.
Ali, Syed Ameer, The Spirit of Islam, Delhi: Idarah Adabiyat, tt.
Amin, Ahmad, Fajr al-Islām, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiah, tt.
̄̄̄̄
̄̄̄̄____________, Fajr al-Islam, Kairo: Maktabah an-NAhḍah al-Miṣriyyah, 1975.
____________, Fajr al-Islām, Kairo: Maṭba‘ah ‘Īsā Albābī al-Ḥalabī, tt.
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009.
Emalia, Imas, Historiografi Indonesia: Sejak Masa Awal Sampai Masa
Kontemporer, Tangerang: UIN Jakarta Press, 2006.
Faruqi, Nisar Ahmad, Early Muslim Historiography: A Study of Arab History from
the Rise of Islam up to the end of Umayya Period, Delhi: Idharah Adabiyyat,
1997.
Goldziher, Ignaz, Muslim Studies, London: S.M Stern, vol. 1, 1967.
Hasan, Hasan Ibrahim, Tārīkh al-Islam, Kairo: Maktabah an-Nahḍah al-Miṣriyyah,
1967.
Hitti, Philip K., History of The Arabs, terj., R. Cecep Lukman dan Dedi Slamet
Riyadi, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, terj., Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2008.
Kawtharani, Wajih, History of Historiography: Trends, Schools and Methodologies,
Beirut: Arab Centre for Research and Policy Studies, 2012.
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang, 1997.
Lapidus, A History of Islamic Scietes, Amerika: Cambridge University Press, 1988.
Leboun, Gustav, Ḥaḍrah al-‘Arab, Kairo: Maṭba‘ah ‘Īsā Albābī al-Ḥalabī, tt.
Lubis, Amany dkk, Sejarah Peradaban Islam, Tangerang: Pusat Studi Wanita UIN
Jakarta, 2005.
Nashar, Husein, Nasyʼah at-Tadwīn at-Tārīkhī ‘ind al-‘Arab, Kairo: Maktabah an-
Nahḍah al-Miṣriyyah, tt.
Rofiq, Achmad Choirul, Menelaah Historiografi Nasional Indonesia, Yogyakarta:
Deepublish, 2016.
Syalabi, A., Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983.
Tarhini, Muhammad Ahmad, al-Muarrikhūn wa at-Tārīkh al-‘Arab, Beirut: Dār al-
Kutub al-‘Ilmiyah, 1991.
Tomoidjojo, Cin Hapsari, Jawa-Islam-Cina, Politik Jatidiri dalam Safar Cina
Sajadah, Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2012.
Umar, A. Mu‘in, Historiografi Islam, Jakarta: Rajawali, 1988.
Yatim, Badri, Historiografi Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
___________, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.

13
14
15
SUMBER SEJARAH ISLAM
Muhammad Alwi Al Maliki (21191200000006)

Abstrak

Sejarah adalah cerita tentang kejadian yang berbentuk cerita dan


berurutan. Akan tetapi pemahaman sejarah dari tersebut tidak
semuanya dapat dikatakan kejadian historis. Peristiwa atau kejadian
yang penting yang terjadi pada manusia yang membawa perubahan
dan perkembangan bagi kehidupan manusia itu sendiri. Dalam
spektrum ini, Sejarah diartikan sebagai suatu tentang apa yang telah
dikerjakan dan dipikirkan oleh manusia pada masa yang lampau.
Sejarah sebagai sebuah ilmu memiliki beberapa sumber yang menjadi
tolok ukur peristiwa yang terjadi di masa lalu dapat dikategorikan
sebagai sejarah. Dalam Islam, terdapat beberapa sumber sejarah yang
dapat diverifikasi. Makalah ini akan menjelaskan tentang beberapa
sumber sejarah dalam Islam.
Kata Kunci: Sumber, Sejarah, Islam.

PENDAHULUAN
Sejarah merupakan bagian integral dalam kehidupan. Segala hal yang terjadi di
dunia ini memiliki dimensi sejarah termasuk agama islam. sebagai agama yang
bersejarah, islam telah mengalami beberapa peradaban dari masa ke masa mulai dari
awal mula diproklamirkan oleh nabi Muhammad Saw di tanah Arab hingga saat ini
menjadi salah satu agama yang paling berpengaruh dan memiliki banyak pemeluk di
seluruh dunia. Pada setiap masa dalam islam memiliki bagian sejarah masing-
masing yang dapat dijadikan pelajaran bagi umat muslim saat ini dengan melihat
kepada kejadian sejarah masa lalu. Hal ini selain keharusan secara alamiah juga
merupakan instruksi dari Allah yang termaktub dalam al-qur’an yang berisi perintah
bagi umat manusia untuk melihat, mengintrospeksi diri, mengambil pelajaran
terhadap sesuatu yang telah terjadi di masa lalu guna menjadi bekal refleksi dan
antisipasi di masa yang akan datang (al-Hasyr: 18).
Bentang sejarah yang panjang dari masa ke masa membuat transformasi sejarah
pada tiap masanya menjadi perdebatan dalam keabsahan sumbernya termasuk
sejarah islam. Oleh karena itu dibutuhkan batasan-batasan dalam menentukan
sumber yang dapat diakui sebagai sejarah yang benar secara objektif. Hal ini
menjadi perlu untuk dibahas karena ketiadaan batasan terhadap identifikasi sumber
sejarah dapat mengakibatkan kesalahan dalam memahami sejarah dan asal-asalan
dalam penyampaiannya. Dalam rangka mengidentifikasi hal ini, para ahli membuat
batasan terhadap sumber-sumber sejarah yang dapat diakui secara objektif. Berdasar
hal tersebut dalam penulisan makalah ini penulis bertujuan untuk menganalisa
tentang: 1) bagaimana sumber sejarah? Dan 2) bagaimana sumber sejarah dalam
islam? Semoga bermanfaat.
16
PEMBAHASAN
A. SUMBER SEJARAH

1. Definisi
Secara etimologi, sumber sejarah terdiri dari dua kata : sumber dan
sejarah. Adapun sumber ialah tempat keluar atau asal dari suatu hal.53
Sedangkan sejarah ialah kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi
pada masa lampau; riwayat; tambo.54 Sementara itu, menurut Badri Yatim
sejarah sebagai sebuah ilmu berasal dari bahasa Yunani Istoria yang
berkaitan dengan permasalahan manusia dalam rentetan peristiwa di masa
lalu.55 Lebih lanjut menurut beliau terdapat batasan-batasan yang menjadi
syarat sebuah peristiwa dapat disebut dengan sejarah. Batasan-batasan
tersebut antara lain: 1) batasan waktu; 2) batasan peristiwa; 3) batasan
tempat; 4) batasan seleksi.56 Adapun sumber sejarah adalah suatu hal yang
menjadi perantara antara peneliti dengan suatu peristiwa dalam rangka
upaya identifikasi peristiwa tersebut sehingga dapat dikategorikan sebagai
sebuah sejarah dengan batasan yang telah ditentukan.

2. Klasifikasi Sumber Sejarah


Sumber sejarah bila ditinjau dari sifat kegunaannya sebagai bahan
identifikasi sejarah terbagi menjadi dua macam: Primer dan Sekunder.
Sedangkan bila ditinjau dari bentuk keadaannya terklasifikasikan menjadi
dua macam: Sumber tertulis dan Benda. Berikut penjelasan masing-masing
sumber tersebut.57
1) Sumber primer adalah sumber yang berkaitan dengan peristiwa baik
berupa subjek (perorangan atau kelompok) yang mengalami peristiwa
itu secara langsung maupun objek atau catatan di masa lalu yang
berbentuk tulisan dan ditemukan semasa dengan peristiwa tersebut.
2) Sumber Sekunder adalah sumber yang berkaitan dengan peristiwa baik
berupa subjek perorangan atau kelompok) yang tidak mengalami
peristiwa itu secara langsung maupun objek atau catatan yang berbentuk
tulisan dan ditemukan tidak semasa dengan peristiwa tersebut.
3) Sumber tertulis adalah sumber yang memuat bukti berupa keterangan
yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di masa lalu secara tertulis.
Sumber ini dapat berupa dokumen-dokumen manuskrip, atau tulisan
tangan kuno mengenai peristiwa yang terjadi di masa lalu seperti: babad,
prasasti, kronik, arsip, surat kabar dan lain-lain.

53
KEMENDIKBUD, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sumber, diakses pada
23/09/2019 pukul 10:25.
54
KEMENDIKBUD, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sejarah, diakses pada
23/09/2019 pukul 10:28.
55
Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 1.
56
Badri Yatim, Historiografi..., h. 2.
57
Dwi Ari Listiyani, Sejarah I, (Jakarta: Pusat Perbukuan, Depdiknas, 2009), h. 56.
17
4) Sumber benda adalah sumber tak tertulis atau sumber korporal yang
terdiri dari beberapa macam benda-benda peninggalan peradaban masa
lalu seperti keberadaan bangunan masjid, gereja, patung , candi dan lain
sebagainya.

3. Kritik Sumber Sejarah


Beberapa hal yang telah diidentifikasi sebagai sumber sejarah dalam
suatu peristiwa tersebut kemudian diverifikasi dalam rangka
mengkonfirmasi otentisitas sumber tersebut sebagai bukti sejarah dari
peristiwa tersebut benar adanya. Adapun verifikasi sumber sejarah memiliki
dua tahap: 1) Kritik Internal; 2) Kritik Eksternal.58
Kritik Internal adalah kritik yang dilakukan dalam rangka
memverifikasi kredibilitas dan reliabilitas sumber tersebut dalam
mengkonfirmasi fakta-fakta sejarah dalam suatu peristiwa. Sedangkan kritik
eksternal adalah kritik yang dilakukan dalam rangka menganalisa
keotentikan dan keabsahan sumber tersebut sebagai bukti sejarah. Selain itu,
pada sumber yang berupa benda, kritik eksternal sangat diperlukan dalam
upaya verifikasi apakah benda tersebut benar-benar berasal dari masa saat
peristiwa tersebut terjadi atau tidak.59

B. SUMBER SEJARAH ISLAM

1. Sumber tertulis
a. Al-Qur’an
Al-qur’an sebagai sumber sejarah berkaitan dengan eksistensi al-
qur’an sebagai kitab agama islam yang menjadi risalah penyempurna
ajaran agama-agama terdahulu dan tentunya ajaran-ajaran tersebut
memiliki dimensi sejarah yang disebutkan dalam al-qur’an. Seperti
perintah puasa yang menjadi syari’at umat terdahulu juga diwajibkan
bagi umat islam (al-Baqarah:183). Selain itu, al-qur’an sebagai wahyu
Allah yang turun berangsur-angsur, dalam beberapa kesempatan turun
dalam rangka menjawab persoalan yang terjadi dalam sebuah peristiwa
tertentu. Peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat al-qur’an itu
disebut dengan asbab al-nuzul.60
Pada pembahasan sumber sejarah, peran asbab al-nuzul dibutuhkan
dalam mengetahui situasi dan kondisi yang menjadi sebab turunnya
sebuah ayat. Seperti yang disampaikan oleh al-Wahidi, ibn Daqiq dan
ibn Taymiyah dalam kitab Asbab al-Nuzul milik al-Suyuthi bahwa
posisi asbab al-nuzul sangat penting dalam memahami suatu ayat.61

58
Muhammad Arif, Pengantar Kajian Sejarah, (Bandung: Yrama Widya, 2011), h.
38.
59
M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar, (Jakarta:
Prenada, 2014), h. 224.
60
Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an , (Bandung, Pustaka Setia, 2000) h. 60.
61
Jalal al-Din Abu ‘Abd al-Rahman al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul,
(Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyah, 2002), h. 7.
18
Oleh karenanya menjadi perlu memahami asbab al-nuzul dalam suatu
ayat agar memahami dimensi sejarah pada ayat tersebut.

b. Hadis
Hadis dalam disiplin ilmu sejarah islam memiliki pengaruh yang
cukup kuat. Keberadaannya sebagai sumber sejarah islam tidak bisa
dipungkiri. Kontribusi hadis terhadap perkembangan penulisan sejarah
dapat ditemui dalam beberapa kitab sejarah seperti kitab Tarikh al-Islam
yang ditulis oleh al-Dzahaby, ‘Uyun al-Atsar yang ditulis oleh Ibn
Sayyid al-Nas dan lain-lain yang merujuk pada beberapa kitab rujukan
utama (mu’tabar) dalam hadis yakni kutub al-sittah. Hal ini menujukkan
bahwa kodifikasi hadis membawa dampak yang signifikan dalam
perkembangan ilmu sejarah.62
Seperti yang lazim dipahami bahwa hadis adalah setiap sesuatu
yang disandarkan kepada nabi baik berupa ucapan, perbuatan maupun
ketetapan. Keberadaan hadis nabi Saw selain sebagai sumber otoritatif
syari’at islam dalam waktu yang sama dalam sisi yang lain juga menjadi
peristiwa menyejarah yang darinya kita mengambil ibrah dalam
mengatasi problema kehidupan saat ini dan di masa yang akan datang.
Beberapa menyangkut peristiwa baik yang bersifat private maupun
public. Beberapa bersifat sosial kemasyarakatan dan lain sebagainya.63
Adapun hal yang perlu untuk dipahami pada kedudukan hadis
sebagai sumber sejarah adalah pemahaman kita terhadap posisi nabi
Saw dalam setiap peristiwa yang terjadi.64 Setiap sesuatu yang
disandarkan kepada nabi dalam konteks sejarah perlu ditelaah dari aspek
yang lebih luas sehingga dapat diperoleh pemahaman yang
komprehensif terhadap peristiwa yang terjadi dalam hadis tersebut. Hal
ini seperti pada saat nabi berkata kepada para sahabat bahwa mereka
lebih paham terhadap urusan dunia daripada nabi Saw.

‫ أَبُو‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫َس َو ِد بْ ِن َع ِام ٍر‬ ِ ِ


ْ ‫ ك ََل ُُهَا َع ِن ْاْل‬،‫ َو َع ْم ٌرو النَّاق ُد‬،َ‫َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَِِب َش ْي بَة‬
‫ َع ْن‬،‫ َع ْن أَبِ ِيه‬،َ‫ش ِام بْ ِن عُ ْرَوة‬ َ ‫ َع ْن ِه‬،َ‫َّاد بْ ُن َسلَ َمة‬ ِ
ُ ‫ َحدَّثَنَا ََح‬،‫َس َو ُد بْ ُن َعام ٍر‬ ْ ‫ َحدَّثَنَا أ‬،‫بَ ْك ٍر‬
:‫ال‬َ ‫ فَ َق‬،‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َم َّر بَِق ْوٍم يُلَ ِق ُحو َن‬ َّ ِ‫َن الن‬
َ ‫َِّب‬ َّ ‫ أ‬،‫س‬ ٍ َ‫ َع ْن أَن‬،‫ت‬ ٍ ِ‫ و َعن ََثب‬،َ‫شة‬
ْ َ َ ‫َعائ‬
ِ
َ ‫ قُل‬:‫ « َما لِنَ ْخلِ ُك ْم؟» قَالُوا‬:‫ال‬
‫ْت‬ َ ‫ فَ َم َّر ِبِِ ْم فَ َق‬،‫يصا‬
ً ‫جش‬
ِ ‫ فَ َخر‬:‫ال‬
ََ َ َ‫َصلُ َح» ق‬ َ ‫«ل َْو ََلْ تَ ْف َعلُوا ل‬
»‫ «أَنْ تُ ْم أَ ْعلَ ُم ِِب َْم ِر ُدنْ يَا ُك ْم‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫َك َذا َوَك َذا‬

62
Fatihunnada, “Hadis dan Sirah dalam Literatur Sejarawan Nusantara”, dalam Jurnal
Living Hadis, Vol. 1, No. 2, Oktober 2016, h. 375.
63
Suryadi, “Pentingnya Memahami Hadis dengan Mempertimbangkan Setting
Historis Perspektif Yusuf al-Qardhawi”, dalam Jurnal Living Hadis, Vol. 1, No. 1, Mei 2016,
h. 31.
64
Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, (Bandung: Mizan, 1990), h.
165-168.
19
Lalu bandingkan dengan saat beliau bersabda: ”sholatlah
sebagaimana kalian melihat aku sholat.”

ِ ِ‫ َعن أَِِب سلَْيما َن مال‬،َ‫ َعن أَِِب قَِلَبة‬،‫ حدَّثَنَا أَيُّوب‬،‫اعيل‬ ِ


‫ك بْ ِن‬ َ َ ُ ْ َ ْ ُ َ ُ َ‫ َحدَّثَنَا إِ ْْس‬،‫س َّد ٌد‬ َ ‫َحدَّثَنَا ُم‬
ِ
ُ‫ فَأَقَ ْمنَا ع ْن َده‬،‫ َوََْن ُن َشبَ بَةٌ ُمتَ َقا ِربُو َن‬،‫صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ‫َِّب‬َّ ِ‫ أَتَ ْي نَا الن‬:‫ال‬
َ َ‫ ق‬،‫ث‬ ِ ‫احلوي ِر‬
ْ َُ
ِ
‫ َوَكا َن َرفِي ًقا‬،ُ‫ فَأَ ْخ ََْبََّنه‬،‫ َو َسأَلَنَا َع َّم ْن تَ َرْكنَا ِِف أ َْهلنَا‬،‫ فَظَ َّن أَ ََّّن ا ْشتَ ْقنَا أ َْهلَنَا‬،ً‫ين ل َْي لَة‬ ِ
َ ‫ع ْش ِر‬
،‫ُصلِي‬ ِ ِ ِ
َ ‫صلُّوا َك َما َرأَيْ تُ ُم ِوِن أ‬ َ ‫ َو‬،‫وه ْم‬ ُ ‫وه ْم َوُم ُر‬ ُ ‫ فَ َعل ُم‬،‫ « ْارِج ُعوا إِ ََل أ َْهلي ُك ْم‬:‫ال‬ َ ‫ فَ َق‬،‫يما‬ ً ‫َرح‬
» ‫َبُك ْم‬ ِ ِ ِ ‫ضر‬ ِ
َُ ‫ ُُثَّ ليَ ُؤَّم ُك ْم أَ ْك‬،‫َح ُد ُك ْم‬
َ ‫ فَلْيُ َؤذ ْن لَ ُك ْم أ‬،ُ‫الصَلَة‬َّ ‫ت‬ َ َ ‫َوإ َذا َح‬
Kedua hadis diatas sama-sama disampaikan oleh Nabi Muhammad
Saw tetapi keduanya memiliki perbedaan dalam konten yang
disampaikan. Hadis yang pertama menunjukkan bahwa dalam
kompetensinya sebagai manusia beliau tidak paham dengan hal
keduniawian yang terjadi sehingga menimbulkan kekeliruan dalam
pemberian rekomendasi kepada sahabat dalam bercocok tanam.
Sedangkan dalam hadis yang kedua, kedudukan Rasul sebagai “corong
kebenaran” terlihat jelas dalam perintah tentang tatacara sholat.
Hadis sebagai sebuah sejarah tidak pernah lepas dari ruang dan
waktu yang melatarbelakanginya. Asbab al-wurud adalah salah satu
ilmu yang digunakan oleh para ulama untuk mengetahui situasi dan
kondisi yang terjadi pada saat hadis tersebut muncul dan bertujuan
mengidentifikasi sebab-sebab yang mendasari kemunculan hadis
tersebut65 sehingga dapat diambil poin inti : mengapa muncul hadis itu?
Yang dalam bahasa lain pertanyaan tersebut berkaitan dengan tujuan
syari’at66 dalam hadis tersebut.
Penulisan sejarah tidak hanya terbatas pada pribadi nabi saja tetapi
juga tentang para sahabat nabi yang disanjung dan dipuji oleh beliau
seperti yang terekam dalam beberapa kitab hadis mu’tabar macam bab
Fadhail al-Ashhab al-Nabi, bab al-Manaqib al-Muhajirin dan bab al-
Manaqib al-Anshar dalam kitab Sahih Bukhari. Selain dalam Sahih
Bukhari, keterangan serupa juga terdapat dalam kitab Sahih Muslim
dalam bab Fadhail al-Shahabah dan dalam kitab Jami’ al-Shahih milik
imam Turmudzi abwab al-Manaqib ‘an Rasulillah Saw.67
Eksistensi hadis sebagai sumber hukum maupun sejarah Islam
mendapatkan kritik dari para orientalis. Mereka menganggap bahwa
bentang waktu yang lama antara wafatnya Rasulullah Saw dengan

65
Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud Studi Kritis
Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h.
7.
66
Jasser ‘Audah, Al-Maqasid untuk Pemula, terj. Ali ‘Abdelmon’im, (Yogyakarta:
SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, 2013), h. 4.
67
Ajid Thohir, “Hisotoriografi Islam: Bio-Biografi dan Perkembangan Madzhab Fikih
dan Tasawuf”, dalam Jurnal MIQOT, Vol. 36, No. 2, Juli-Desember 2012, h. 440-441.
20
pengkodifikasian hadis pada masa dinasti Umar ibn Abdul Aziz
membuat banyak kejanggalan yang teridentifikasi oleh mereka.68
Kritik tersebut ditentang oleh para ulama hadis kontemporer.
Menurut mereka, pandangan orientalis terhadap validitas hadis sebagai
sumber sejarah Islam sangat dangkal dan mudah dibantah. A’dhami
menjelaskan bahwa memang benar jarak antara wafatnya nabi dan
pengkodifikasian hadis memang jauh. Akan tetapi yang perlu dipahami
oleh mereka adalah bahwa tradisi tulis menulis yang mereka sangkakan
terhadap umat islam dalam kodifikasi hadis adalah tidak benar. Beliau
menjelaskan bahwa penulisan hadis tidak dimulai pada abad kedua
hijriyah tetapi jauh sebelum itu telah ada yang menulis hadis. Adapun
asumsi negatif para orientalis terhadap hadis adalah hasil dari
ketidaktulusan mereka mempelajari hadis sehingga yang tersisa
hanyalah keraguan semata.69

c. Sirah Nabawiyah
Secara etimologi, sirah berarti jalan (thariqah), atau prilaku
(sunnah).70 Menurut Badri Yatim bila hanya disebut sirah saja tanpa
penyandaran terhadap tokoh tertentu maka yang dimaksud adalah
perjalanan hidup nabi Muhammad Saw.71 Adapun secara terminologi,
sirah nabawiyah bermakna rekam jejak hidup nabi Muhammad Saw
sejak masa sebelum diutus: kelahiran, masa remaja, masa dewasa hingga
beliau diutus sebagai nabi sampai akhir hayatnya.72 Dari definisi ini
tampak perbedaan antara kedudukan hadis dan sirah dalam sumber
sejarah meskipun keduanya sama-sama berasal dari kehidupan nabi,
namun sirah lebih umum karena mencakup setiap peristiwa yang
dialami dan dilakukan oleh nabi sejak sebelum diutus. Sedangkan hadis
terbatas pada fase pasca nabi Muhammad menjadi utusan Allah.
Menurut Badri Yatim, Ilmu Sirah kaitannya dengan Ilmu sejarah,
merupakan bagian khusus dan penting dari objek sejarah islam yang
hanya berisi informasi tentang beberapa perang nabi Saw, riwayat
hidup, perkembangan pertama dakwah Islam di Mekkah hingga hijrah
ke Madinah, perkembangan pertama negara islam di Madinah, relasi
muslim-non muslim, dan relasi dengan negara tetangga. Sedangkan
kaitannya dengan ilmu hadis, sirah membincang tentang sifat-sifat
kehidupan nabi Saw dan kepribadiannya yang juga dihimpun oleh ahli
hadis. Perbedaan antara keduanya berada pada metode pengumpulan
dan pembukuan riwayat. Adapun urgensi mempelajari sirah adalah
sebagai salah satu upaya pemerolehan faidah dan hikmah dari kehidupan

68
Ahmad Isnaeni, “ Pemikiran Goldziher dan Azami tentang Penulisan Hadis”, dalam
Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 6, No. 2, Desember 2012, h. 380.
69
Ahmad Isnaeni, “ Pemikiran Goldziher..., h. 388.
70
Muhammad ibn Mukrim ibn Ali ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar al-
Shadr, tt), 309.
71
Badri Yatim, Historiografi..., h. 196.
72
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, “Sirah Nabawiyah dan Demitologisasi Kehidupan
Nabi”, dalam Journal of Qur’an and hadith Studies, Vol. 1, No. 2, 2012, h. 257.
21
nabi Saw yang oleh sayyidah ‘Aisyah disebutkan bahwa akhlak nabi
adalah al-qur’an. Selain itu, dengan mempelajari sirah, kita menjadi
tahu tentang bagaimana gaya nabi dalam berdakwah sesuai dengan
konteks sosial yang terjadi.73

d. Sejarah Khulafa al-Rasyidun


Pada masa Khulafa al-Rasyidun terjadi beberapa perkembangan
yang tercatat dalam sejarah serta mengandung makna-makna
kemaslahatan universal yang dapat ambil konsepnya secara manhaji
sehingga dapat dikontekstualkan dalam keadaan masa kini. Berikut
adalah sebagian perkembangan peradaban islam pada masa sahabat.

1) Baitul mal sebagai sarana pengarusutamaan ekonomi berbasis


ummat
Pada masa kepemimpinan Abu Bakar, baitul mal didirikan sebagai
wadah penampung harta yang menjadi hak umat muslim dari hasil zakat
dan pajak yang didapat dari baik dari orang islam maupun orang non
muslim yang tunduk pada kepemimpinan islam di madinah. Adapun
pengelolaan baitul mal ini dikoordinir oleh sahabat Abu Ubaidah yang
mendapat gelar amin al-ummah (orang kepercayaan ummat) atas
instruksi langsung Abu Bakar selaku Khalifah Rasulullah Saw.
Selanjutnya, Baitul Mal ini berhasil dikembangkan oleh Umar menjadi
sebuah sumber kekuatan ekonomi umat islam.
Peristiwa sejarah ini menunjukkan bahwa dalam peradaban islam
ekonomi yang berbasis kerakyatan adalah prioritas sehingga sarana yang
mewujudkannya menjadi penting untuk didirikan. Selain itu,
penunjukan sahabat Abu Ubaidah memberikan ibrah bahwa sosok ideal
dalam pengelolaan urusan ekonomi kerakyatan adalah orang yang
terpercaya dan dikenal amanah oleh khalayak umum.74

2) Kontekstualisasi syari’at Islam dalam ranah kebijakan publik


Dalam beberapa peristiwa sejarah islam, tercatat beberapa
pengambilan keputusan para sahabat khulafa al-rasyidun yang
mencerminkan nilai kemaslahatan umum dalam membuat kebijakan
utamanya terkait dengan hukum yang berlaku bagi masyarakat muslim
di madinah. Beberapa kebijakan tersebut seperti pembagian terhadap
harta rampasan perang secara sama rata oleh Abu Bakar dengan
argumen bahwa ganjaran perjuangan atas nama agama Islam ada di sisi
Allah dan akan dituai kelak di akhirat maka seyogyanya mereka
mendapat bagian yang sama dalam urusan dunia (ghanimah).75
Ijtihad dalam kebijakan demi kemaslahatan umum juga pernah
dilakukan oleh Umar ibn Khattab ketika berbeda pandangan dengan

73
Badri Yatim, Historiografi..., h. 197-199.
74
Kharidatul Mudhiiah, “Analisis Sejarah Ekonomi Islam Masa Klasik”, dalam Jurnal
Iqtishadia, Vol. 8, No. 2, September 2015, h. 200-204.
75
Darmawati, “Sepak terjang Demokrasi Dalam Masyarakat Islam”, dalam Jurnal
Sulesana, Vol. 8, No. 2, 2013, h. 49.
22
Abu bakar dalam hak muallaf sebagai mustahiq zakat. Pada saat itu,
Umar berpandangan bahwa kebijakan pemberian zakat bagi muallaf
tidak tepat guna dan sasaran karena perbedaan konteks sosial yang
terjadi pada masa turunnya ayat tentang zakat dengan kondisi pada masa
itu. Beliau berpandangan bahwa orang muallaf pada masa nabi berbeda
dengan masa saat itu. Pada masa nabi saat turun ayat tentang perintah
zakat -yang mana muallaf menjadi salah satu mustahiqnya- keadaan
Islam belum sekuat dan sebesar masa itu. Karena itu diberikan zakat
pada mereka agar hatinya lembut dan semakin yakin dalam memeluk
agama Islam. Sedangkan realitas sosial pada masa itu kekuatan kaum
muslimin lebih kuat dan berjumlah lebih banyak daripada sebelumnya.
Ekspansi juga sudah mulai dilakukan sehingga keberadaan muallaf
bukan suatu hal yang sangat penting seperti sebelumnya sehingga perlu
diberi bagian dari harta muslimin yang dizakatkan.76
Berdasar dua peristiwa ijtihad tersebut, dapat dipahami bahwa nilai
universalisme islam telah dipraktikkan oleh para khalifah bahkan bila
harus berbeda dengan teks otoritatif secara tekstual tetapi secara
kontekstual mengandung kemaslahatan maka jalan itu yang utama
diambil. Selain itu, dialog antara Abu Bakar sebagai khalifah dengan
Umar ibn Khattab mencerminkan adanya keterbukaan aspirasi dan
kebebasan berpendapat yang dilandasi pengetahuan dan kebijaksanaan
dalam ranah kebijakan publik.

3) Pembangunan infrastruktur
Salah satu perkembangan peradaban islam pada masa khulafa al-
rasyidun adalah pembangunan infrstruktur demi kemajuan dan kejayaan
agama islam di dunia. Perkembangan ini terjadi pada masa
kepemimpinan Utsman ibn ‘Affan salah satunya dengan membangun
armada laut guna kepentingan ekspansi agama islam. Adapun hasil dari
dibentuknya armada laut ini adalah kemenangan agama islam pada
perang bersejarah “dzat al-sawar” yang berarti tiang kapal dimana
armada perang islam dibawah kepemimpinan beliau berhasil
mengalahkan armada Romawi.77
Teladan Utsman dalam kepemimpinannya seharusnya menjadi
cerminan bagi pemimpin setelahnya dalam hal inovasi dan kevisioneran
beliau yang dapat membaca peluang besar kemajuan agama islam
dengan mendirikan armada laut.

Masa Pasca Khulafa al-Rasyidun

Adapun sepeninggal khulafa al-Rasyidun, beberapa sahabat yang


masih hidup melanjutkan transformasi hadis di beberapa tempat yang
berbeda. Adapun dalam pembahasan ilmu sejarah, terdapat tiga tempat

76
Fauzi, Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), h. 33.
77
Darmawati, “Sepak terjang...,h. 54.
23
yang menjadi tolok ukur perkembangan sejarah pada masa pasca
khulafa al-rasyidun yakni78:

1. Aliran Yaman
Adapun tokoh sahabat pada aliran ini diantaranya adalah :
Ka’ab al-Ahbar, Wahab Ibn Munabbih, ‘Abid ibn Syariyah al-
Jurhumi.

2. Aliran Madinah
Adapun tokoh sahabat dan penerusnya pada aliran ini
diantaranya adalah: ‘Abdullah ibn ‘Abbas, Sa’ad ibn al-Musayyab,
Aban ibn ‘Utsman ibn ‘Affan, ‘Urwah ibn Zubair ibn ‘Awwam,
‘Ashim ibn ‘Umar ibn Qatadah al-Zafari, Musa ibn ‘Uqbah,
Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhri.

3. Aliran Irak
Adapun tokoh sahabat pada aliran ini adalah : ‘Ubaidullah ibn
Rafi’, ‘Awanah ibn al-Hakam, Zayd ibn Abih, Abu Amr ibn al-
A’la, Nasr ibn Muzahim, Hammad al-Rawiyah, Abu Mikhnaf, Saif
ibn ‘Umar al-Asadi al-Tamimi dan masih banyak yang lainnya.

e. Riwayat Israiliyat
Adapun riwayat israiliyyat dalam kaitannya sebagai sumber sejarah
islam beroroientasi pada keterangan-keterangan sejarah versi kalangan
masyarakat Yahudi dan Nasrani.79 Pada awalnya, istilah penyebutan
Israil adalah sebutan yang disematkan kepada Nabi Ya’qub berserta
anak cucunya namun belakangan ini terjadi reduksi dalam pengistilahan
israil atau israiliyyat menjadi terbatas pada pemeluk agama Yahudi dan
Nasrani.80
Adapun beberapa tokoh periwayat kisah israiliyyat ini terdapat pada
beberapa masa baik dari kalangan sahabat, tabiin maupun pengikut
tabiin, diantaranya adalah: Abu Hurairah, Abdullah ibn ‘Abbas, Ka’ab
al-Akhbar, Wahab ibn Munabbih, Muhammad ibn Sa’id al-Kahbi dan
Abdul Malik ibn Abdul Aziz ibn Juraij.81

2. Sumber Benda

a. Artefak
Artefak, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan
sumber sejarah yang dapat berupa dokumen, prasasti, manuskrip dan

78
Badri Yatim, Historiografi..., h. 48-90.
79
Badri Yatim, Historiografi..., h. 24.
80
Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir: Berinteraksi dengan al-Qur’an Versi Imam al-
Ghazali, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2007), h. 135.
81
Shalahuddin Hamid, Study Ulum al-Qur’an, (Jakarta: Intimedia Cipta Nusantara,
2002), h. 353-354.
24
lain-lain yang berasal dari masa lalu yang memuat sejarah dan
digunakan untuk mengidentifikasi sebuah peristiwa di masa lalu sebagai
sebuah sejarah.
b. Bangunan
Selain artefak, sumber sejarah yang berupa benda juga terdapat pada
bangunan-bangunan peninggalan peradaban islam yang menjadi bukti
bahwa islam pernah berada di tempat tersebut dan mempengaruhi
peradaban pada masanya. Beberapa peninggalan berupa bangunan
tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Ka’bah
Ka’bah sebagai sumber sejarah adalah icon agama islam dan simbol
pemersatu kebhinekaan masyarakat muslim dari segala aspek.
Segala perbedaan yang menjadi background masing-masing
individu menjadi lebur ketika melakukan ritual ibadah haji.
2) Masjid Quba
Masjid Quba adalah masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasul
ketika berhijrah ke Madinah. Keberadaannya menjadi manifestasi
kerukunan dan sikap gotong royong masyarakat Yatsrib yang saat
itu terdiri dari kaum pendatang yang berhijrah (Muhajirin) dan
penduduk asli yang dengan sukarela menerima mereka (Anshar).82
3) Makam Baqi’
Makam baqi’ atau yang juga disebut jannah al-Baqi’ menjadi
tempat bersejarah dan dimuliakan dalam dunia islam. Hal ini
dikarenakan komplek makam tersebut disemayami oleh jasad-jasad
orang yang mulai seperti para isteri nabi, putri nabi, para sahabat
nabi dan para salaf al-salih.83
4) Gua Hira’
Gua Hira’ adalah tempat nabi Muhammad Saw menerima risalah
kenabian untuk pertama kalinya dengan perintah iqra’. Gua ini
menjadi saksi bisu peristiwa sakral dan bersejarah dimana awal
mula lahirnya islam sebagai sebuah ajaran dan al-qur’an sebagai
pedoman hidup umat muslim di seluruh dunia.84
5) Masjid Jami’ Cordova
Selain di Arab, peninggalan islam yang bersejarah juga terdapat di
Spanyol. Peradaban gemilang islam di Spanyol selain berpengaruh
kepada kemajuan pemikiran islam disana juga terlihat berpengaruh
kepada bangunan-bangunan yang bercorak islam. Salah satu
bangunan islam bersejarah di Spanyol adalah masjid Jami’
Cordova.85
6) Universitas Cordova

82
Ali Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 144.
83
https://id.wikipedia.org/wiki/Jannatul_Baqi
https://id.wikipedia.org/wiki/Jannatul_Baqi, diakses pada 27/09/2019 pukul 16.50.
84
https://id.wikipedia.org/wiki/Gua_Hira, diakses pada 27/09/2019 pukul 17.14.
85
Dedi Sahputra Napitupulu, “Romantika Sejarah Kejayaan Islam di Spanyol”, dalam
Jurnal Mukaddimah, Vol. 3, No. 1 tahun 2019, h. 14.
25
Selain Masjid, terdapat pula perguruan tinggi islam di Spanyol pada
masanya yakni Universitas Cordova yang dibangun oleh Khalifah
al-Hakam II. Universitas ini memiliki tenaga pendidik yang
berkualitas seperti al-Qutaybah seorang ahli bahasa dan Abu Ali al-
Qali yang ahli dalam bidang filologi. Pada masanya, mahasiswa
yang menimba ilmu di universitas tersebut mencapai 1000 orang.
Dan disana terdapat prasasti yang bertuliskan “Dunia ditopang oleh
4 hal: pengajaran tentang kebijaksanaan, keadilan penguasa, ibadah
orang saleh dan keberanian pantang menyerah.”86
Selain Universitas, al-Hakam II juga mendirikan perpustakaan yang
berisi lebih dari 400.000 koleksi buku dan menjadi perpustakaan
terbesar pada masa pemerintahannya dan pada masa dinasti
Umayyah selama bertahta di Spanyol.87

86
Dedi Sahputra, “Romantika Sejarah..., h. 13-14.
87
http://www.suaramuhammadiyah.id/2019/03/27/perpustakaan-islam-cordoba-suluh-
pengetahuan-islam-dan-eropa/, diakses pada 27/09/2019 pukul 18.30.
26
DAFTAR PUSTAKA

Badri Yatim, Historiografi Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997


Dwi Ari Listiyani, Sejarah I, Jakarta: Pusat Perbukuan, Depdiknas, 2009
Muhammad Arif, Pengantar Kajian Sejarah, Bandung: Yrama Widya, 2011
M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar, Jakarta:
Prenada, 2014
Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an ,Bandung, Pustaka Setia, 2000
Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan, 1990
Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud Studi Kritis
Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001
Jasser ‘Audah, Al-Maqasid untuk Pemula, terj. Ali ‘Abdelmon’im, Yogyakarta:
SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, 2013
Jalal al-Din Abu ‘Abd al-Rahman al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul,
Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyah, 2002
Muhammad ibn Mukrim ibn Ali ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dar al-Shadr,
tt
Fauzi, Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Prenadamedia Group, 2018
Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir: Berinteraksi dengan al-Qur’an Versi Imam al-
Ghazali, Bandung: Cita Pustaka Media, 2007
Shalahuddin Hamid, Study Ulum al-Qur’an, Jakarta: Intimedia Cipta Nusantara,
2002
Sayyid Ismail Kasyif, Mashadir al-Tarikh al-Islamiy, Kairo: Maktabah al-Khanji,
1976
Ali Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Fatihunnada, “Hadis dan Sirah dalam Literatur Sejarawan Nusantara”, dalam Jurnal
Living Hadis, Vol. 1, No. 2, Oktober 2016
Suryadi, “Pentingnya Memahami Hadis dengan Mempertimbangkan Setting Historis
Perspektif Yusuf al-Qardhawi”, dalam Jurnal Living Hadis, Vol. 1, No. 1, Mei 2016,
h. 31.
Ajid Thohir, “Hisotoriografi Islam: Bio-Biografi dan Perkembangan Madzhab Fikih
dan Tasawuf”, dalam Jurnal MIQOT, Vol. 36, No. 2, Juli-Desember 2012
Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah, “Sirah Nabawiyah dan Demitologisasi Kehidupan Nabi”,
dalam Journal of Qur’an and hadith Studies, Vol. 1, No. 2, 2012
Kharidatul Mudhiiah, “Analisis Sejarah Ekonomi Islam Masa Klasik”, dalam Jurnal
Iqtishadia, Vol. 8, No. 2, September 2015
Darmawati, “Sepak terjang Demokrasi Dalam Masyarakat Islam”, dalam Jurnal
Sulesana, Vol. 8, No. 2, 2013
Dedi Sahputra Napitupulu, “Romantika Sejarah Kejayaan Islam di Spanyol”, dalam
Jurnal Mukaddimah, Vol. 3, No. 1 tahun 2019
https://id.wikipedia.org/wiki/Jannatul_Baqi
https://id.wikipedia.org/wiki/Gua_Hira
http://www.suaramuhammadiyah.id/2019/03/27/perpustakaan-islam-cordoba-suluh-
pengetahuan-islam-dan-eropa/
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sumber,
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sejarah,

27
28
METODE HISTORIOGRAFI ISLAM
Fuji Zakiyatul Fikriyah (21191200000010)

Abstrak
Dalam prosesnya, setiap penelitian atau penulisan membutuhkan
sebuah metode, tak terkecuali dalam penelitian sejarah. Hal ini
dibutuhkan untuk memberi jalan para ilmuan sejarah dalam usahanya
mengumpulkan data-data asli sesuai dengan tema yang dibahasnya.
Secara umum, dalam melakukan penelitian sejarah, diperlukan tiga
tahap yang harus dipenuhi, yaitu: metode penggalian sejarah, metode
penulisan sejarah, dan teknik penulisan sejarah. Selanjutnya dalam
historiografi Islam sendiri, metode penulisan sejarah diklasifikasikan
dalam dua bagian, yaitu: Metode riwayah dan metode dirayah.
Mengingat pentingnya peradaban Islam untuk dipelajari, maka
makalah ini akan mencoba menjelaskan mengenai metode penulisan
sejarah Islam.
Kata kunci: Metode, Historiografi Islam, Riwayat, Dirayat.

A. Pendahuluan
Membaca sejarah umat manusia, khususnya umat Islam, tentu
sangat luas dan selalu menarik perhatian. Berusaha memahami Islam, ada
baiknya juga perlu memahami sejarah muncul, berkembang, dan sampai
pada problematika-problematika yang terjadi dalam proses penegakkannya.
Dalam hal ini, Ilmu Sejarah merupakan jalan yang tepat untuk menggali
lebih dalam mengenai umat Islam.
Dalam melakukan sebuah kajian, termasuk dalam kajian sejarah
Islam, dibutuhkan seperangkat instrument aturan atau petunjuk untuk
membantu ketepatan hasilnya. Dalam ruang lingkup sejarah, hal ini disebut
dengan metode sejarah. Metode sejarah inilah kemudian yang dapat
dijadikan pijakan, sehingga hasil dari pengkajian akan dipengaruhi oleh
metode yang digunakan.
Dalam perkembangannya, karya-karya sejarah dalam peradaban
Islam sangat dibutuhkan. Mengingat kaitanya dengan kepentingan
mempelajari Al-Qur’an dan Hadis. Bagi umat Islam, sejarah juga
bermanfaat sebagai alat untuk memahami secara lebih tepat sumber-sumber
Islam.
Berangkat dari keperluan tersebut, kemudian lahirlah karya-karya
sejarah. Namun, pada awal kemunculan karya tersebut belum menggunakan
metode ilmiah sebagai metode penulisannya. Hal ini menunjukan bahwa,

29
penulisan sejarah bercampur dengan topik-topik lain dan belum menjadi
satu disiplin ilmu.88
Berdasarkan uraian di atas, penulis akan memaparkan lebih lanjut
mengenai metode sejarah Islam. Mulai dari pengertian, metode penggalian
sejarah, metode penulisan sejarah, teknik penulisan sejarah, sampai pada
historiografi Islam.

B. Pembahasan
1. Pengertian
Secara Etimologis, kata metode dan sejarah memiliki banyak arti.
Metode sendiri berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari kata
“meta” (sepanjang) dan “hodos” (jalan). Metode ialah cara; jalan;
petunjuk pelaksanaan. Metode juga dapat diartikan sebagai suatu cara
untuk melakukan sesuatu; suatu prosedur untuk mengerjakan sesuatu,
dll.89
Adapun yang dimaksud dengan penelitian menurut Florence M.A.
Hilbish yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman adalah pemeriksaan
yang seksama dan teliti pada suatu masalah untuk mendukung atau
menolak suatu teori90.
Selanjutnya, untuk pengertian sejarah. Ibnu Khaldun dalam Kitab
Muqaddimahnya, mengartikan sejarah sebagai catatan tentang umat
manusia atau peradaban dunia. Di dalamnya mencakup perubahan-
perubahan yang terjadi seperti kelahiran, kerahmatan, solidaritas,
revolusi dan pemberontakan, sebab-sebab lahirnya kerajaan dan
Negara, lahirnya berbagai macam ilmu pengetahuan tentang segala
macam perubahan yang terjadi pada umat manusia.91 Maka, sama
dengan ilmu sosial lainnya bahwa objek sejarah sebagai sebuah ilmu
yaitu manusia dalam masyarakat yang menyangkut perubahan, proses,
waktu, tempat dan bersifat diakronik.92
Pengertian Metode Sejarah lebih khusus diungkapkan oleh
Garraghan (1967: 102), ia mendefenisikan metode sejarah sebagai:
“Kerangka sistematis yang prinsip dan desain hukum untuk
mengefektifkan pencarian sumber, yang merupakan materi sejarah,
memberi kritik dan menilai sintesis, yang merupakan gerenalisasi
dalam format tulisan, untuk mencapai hasil yang baik”.93
Maka dapat disimpulkan bahwa Metode Sejarah Islam merupakan
cara; langkah; jalan yang ditempuh dalam menguji dan menganalisis

88
Yakub Amin, Historiografi Sejarawan Informal, (Medan: Perdana Publishing,
2015), 2.
89
Helius Sjamsuddin, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016), 9.
90
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), 43.
91
Lihat Tarikh Ibnu khaldun, Jilid 1, 46.
92
Dedi Irwanto, dkk., Metodologi dan Historiografi Sejarah Islam, (Yogyakarta: Eja
Publisher, 2104), 10.
93
Garraghan, Gilbert J., A Guide to Historical Method, (New York: Fordham
University Press, 1963), 102.
30
secara kritis terhadap peristiwa dan peninggalan pada masa lalu.
Sehingga akan menghasilkan sebuah tulisan sejarah (Historiografi).
Pengertian lain diungkapkan oleh Samsul Munir Amin, bahwa
metode sejarah adalah suatu kegiatan menelaah dan menganalisa lebih
detail rekam jejak peninggalan pada masa terdahulu. Kegiatan
menganalisa ini disebut dengan historiografi, hal yang dilakukan yaitu
menguji dan merunutkan kronologis waktu kejadian dari masa lampau
sehingga akan menghasilkan sejarah yang imajinatif.94
Berdasarkan pengertian tersebut, penulis mencoba menguraikan
secara umum terlebih dahulu mengenai metode sejarah dalam tiga
bagian, yaitu metode penggalian sejarah, metode penulisan sejarah, dan
teknik penulisan sejarah.

2. Metode Penggalian Sejarah


Dalam melakukan suatu penelitian sejarah, dibutuhkan sumber-
sumber data valid yang berhubungan dengan sejarah, untuk itu
diperlukan metode penggalian sejarah yang tepat, sehingga sebuah
penelitian dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Pada umumnya, metode penggalian sejarah dilakukan menggunakan
metode lisan, observasi, dan dokumenter.
a. Metode Lisan (Interview)
Metode lisan merupakan usaha penggalian sejarah dengan
cara merekam seluruh peristiwa-peristiwa sejarah yang ada dalam
ingatan individu manusia. Maka, dengan jelas dipahami bahwa
sejarah lisan sebetulnya ada dalam memori manusia. Untuk dapat
memanfaatkannya menjadi sumber sejarah, dibutuhkan cara untuk
mengeksplorenya dari memori manusia.
Bahkan banyak diantara para ahli yang mengistilahkan
sejarah lisan sebagai humanizing history, yaitu tempat di mana
sentiment, emosi dan hal-hal yang pribadi berkumpul, sehingga
dapat dijadikan sebagai sumber sejarah.95
b. Metode Observasi
Dengan metode ini, observer mengamati secara langsung
objeknya, yang kemudian dicatat secara sistematis mengenai objek
sejarah yang sedang diselidiki. Morris mendefinisikan metode ini
sebagai aktivitas merekam semua gejala yang terjadi dengan
bantuan instrumen ilmiah. Kegiatan ini juga dapat dilakukan
dengan menggunakan kemampuan daya tangkap pancaindera
manusia untuk mengumpulkan kesan tentang dunia sekitar.96
c. Metode Dokumenter
Metode ini merupakan metode penelitian dalam menggali
data dan fakta sejarah melalui pengkajian secara cermat terhadap

94
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2013), 4.
95
Paul Thompson, Suara dari Masa Silam: Teori dan Metodologi Sejarah Lisan,
(Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012), 25.
96
W. Morris , The American Heritage Dictionary of English Language, (Boston:
Houghton Miffin, 1973), 906.
31
dokumentasi baik yang resmi ataupun tidak. Dilihat dari
penggunaannya, metode ini dinilai sangat efektif dan efisien,
namun tetap diperlukan ketelitian yang tinggi, mengingat dalam
setiap tulisan tidak menutup kemungkinan terdapat berbagai
asumsi dan interpretasi penulis yang dipengaruhi oleh persepsi
penulis.

3. Metode Penulisan Sejarah


Mengingat pentingnya sejarah, maka tersusunlah metode penulisan
sejarah, sebagai berikut:
a. Metode Deskriptif
Metode ini menggambarkan sejarah berdasarkan apa adanya
sesuai fakta sejarah Islam. Contohnya dalam pengunaan metode ini,
ada pada penulisan peradaban Islam yang dibawa Nabi Muhammad
saw. diuraikan sebagaimana adanya, dengan tujuan untuk
memahami isi sejarah yang terkandung.
b. Metode Komparatif
Metode komparatif adalah metode yang berusaha
membandingkan sebuah sejarah peradaban Islam dengan peradaban
Islam lainnya. Metode ini bertujuan untuk mengetahui persamaan
dan perbedaan yang terjadi dalam situasi peradaban tertentu, jalan
yang ditempuh yaitu dengan mengkomparasikan ajaran-ajaran Islam
dengan fakta-fakta yang terjadi dan berkembang dalam waktu dan
suatu tempat tertentu.
c. Metode Analisis Sintesis
Metode ini menceritakan sejarah dengan melihat peradaban
Islam secara lebih kritis, ada analisis dan bahasan yang luas serta
kesimpulan yang spesifik. Dengan metode ini, kelebihan dan ke-
khasan suatu peradaban akan lebih jelas dan mempermudah untuk
diteliti.

4. Teknik Penulisan Sejarah


Mayoritas ahli ilmu sejarah menyepakati bahwa teknik dalam
melaukan penulisan sejarah dapat dilakukan dengan melalui beberapa
kegiatan pokok di bawah ini:

a. Heuristik
Hueriskan yang berarti memperoleh, ialah kata Yunani yang
digunakan dalam istilah Heuristik.97 Heuristik adalah sebuah teknik
yang digunakan dalam usaha menemukan sumber sejarah.
Penemuan sumber ini bisa didapat melalui studi kepustakaan,
observasi, atau melalui interview untuk sejarah kontemporer.98

97
G.J. Renier, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997), 113
98
Alian, Metodologi Sejarah dan Implementasi dalam Penelitian (Jakarta: Unsri,
2012), 8.
32
Lebih singkatnya, heuristik adalah tahapan mengumpulkan
sebanyak-banyaknya sumber sejarah yang relevan dengan tulisan
yang akan dikaji. Sumber sekunder dimungkinkan dapat digunakan
oleh peneliti, namun sumber primer yang terkait dengan topic
penelitian tetap harus ditelusuri.
b. Kritik sumber / Verifikasi
Verifikasi dilakukan oleh peneliti terhadap sumber-sumber
sejarah yang diperolehnya. Tahapan ini dilakukan setelah peneliti
melakukan tahapan heuristic. Meskipun peneliti meyakini bahwa
sumber sejarah yang ia peroleh benar-benar asli, hal ini tidak
membuktikan bahwa segala yang dikandungnya memiliki nilai
kesejarahan yang besar. Maka kritik sumber dari segala sisi masih
harus dilakukan.99 Kritik sumber mempunyai dua bentuk yaitu kritik
ekstern dan kritik intern.100
1) Ktitik Ekstern
Kritik ekstern berkenaan dengan seleksi authentic atau
authenticitynya sebuah sumber sejarah.101 Kritik ini dalam
prosesnya bertujuan mempertanyakan keaslian bahan kertas,
tinta, gaya tulisan, dan tanda tangan yang digunakan. Dan
memverifikasi sumber menyangkut aspek-aspek luar seperti di
mana; kapan dan siapa penulis sumber tersebut.

2) Kritik Intern
Kritik intern bertugas menentukan berhak atau tidaknya
suatu keterangan dalam dokumen digunakan sebagai fakta
sejarah. Dalam hal ini, jika ditemukan keterangan yang tidak
benar atau kurang valid dapat tetap digunakan, keterangan
tersebut dapat membuktikan bahwa ada pihak yang berusaha
menyembunyikan kebenaran sejarah.102
c. Interpretasi
Interpretasi ialah usaha dalam penafsiran fakta sejarah dan
merangkai fakta tersebut menjadi satu kesatuan yang harmonis dan
masuk akal. Sejarah sebagai suatu peristiwa bisa diungkap kembali
oleh para sejarawan melalui berbagai sumber dan dokumen
perpustakaan sehingga bisa terkumpul dan mendukung dalam proses
interpretasi. Dengan demikian, setelah kritik selesai maka langkah
berikutnya adalah melakukan interpretasi dan analisis terhadap data
yang diperoleh dari berbagai sumber.
Interpretasi sangat dibutuhkan, karena tanpanya fakta
sejarah tidak akan mempunyai arti sama sekali, peristiwa dan
fenomena tersebut akan menjadi tidak bermakna.103 Menghasilkan

99
Dedi Irwanto, dkk., Metodologi dan Historiografi Sejarah Islam, 77-78.
100
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah: Edisi Kedua, (Yogyakarta: Tiara Wacana.
1996), 97.
101
Dedi Irwanto, dkk., Metodologi dan Historiografi Sejarah Islam, 77.
102
Alian, Metodologi Sejarah dan Implementasi dalam Penelitian, 10-11.
103
Dedi Irwanto, dkk., Metodologi dan Historiografi Sejarah Islam, 90.
33
sejarah yang objektif mungkin adalah hal yang sedikit sulit, maka
yang harus dilakukan seorang sejarawan ialah meminimalisir unsur
subjektivitas terhadap penulisan sejarah.
d. Historiografi
Puncak teratas dalam penelitian sejarah ialah penulisan atau
Historiografi. Historiografi ialah rekontruksi yang imajinatif dari
masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh
proses instrumen yang tersedia.104 Penulisan hasil penelitian disusun
berdasarkan serialisasi (kronologis, kausasi dan imajinasi). Dalam
penulisan sejarah usahakan untuk menyusunnya berdasarkan
kronologis, ini sangat penting agar peristiwa sejarah tidak menjadi
kacau.105
Selanjutnya, agar penulisan sejarah tidak hanya dipandang
dari segi sejarah, dibutuhkan pendekatan-pendekatan dengan sudut
pandang yang berbeda, yaitu bisa menggunakan ilmu-ilmu bantu
sejarah lain, seperti Sosiologis, Antropologis, Ilmu Politik dan lain-
lain. Pendekatan yang digunakan akan menunjukan dari sudut mana
peneliti memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-
unsur apa mana yang diungkapkan. Hasil pelukisannya akan sangat
ditentukan oleh jenis pendekatan yang dipakai.106

5. Metode Historiografi Islam


'Effat al-Sharqawi menyebutkan bahwa dalam Historiografi Islam
setidaknya ada dua metode yang dipakai. Pertama: Metode
Historiografi dengan Riwayat dan historiografi dengan Dirayat.107
a. Historiografi dengan Riwayat
Bermulanya ketertarikan kaum muslimin terhadap sejarah
adalah tidak lain karena tumbuhnya motivasi untuk mengkaji Al-
Quran dan Hadis sebagai sumber syariat dan pedoman hidup bagi
kaum muslimin.108 Kajian sejarah pertama yang dilakukan pada saat
itu berkenaan dengan kisah kehidupan Nabi Muhammad saw., yang
kemudian berlanjut pada sejarah persoalan peperangan, urusan ke-
pemerintahan, masalah sosial-politik, sampai hal ihwal yang
berkaitan dengan sahabt Nabi.
Berangkat dari ketertarikan kaum muslimin pada hal
tersebut, mereka menciptakan suatu metode ilmiah yang
menghubungkan informasi sejarah (riwayat) dengan sumber-
sumbernya. Awalnya metode ini digunakan oleh para perawi hadis
untuk memvalidasi atas keshahihan riwayat hadis, kredibilitas dan

104
Alian, Metodologi Sejarah dan Implementasi dalam Penelitian, 12.
105
Kuntowijaya, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,
1995), 103.
106
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Ilmu Sejarah (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1983), 4.
107
'Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka,
1986), 240.
108
Badri Yatim, Perkembangan Historiografi Islam, (Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Jakarta, 2009), 122.
34
orisinalitas data sumber hadis. Namun, mengingat penulisan masih
menjadi barang yang langka pada masa periode klasik, metode ini
merupakan metode yang paling banyak digunakan dan biasa dikenal
dengan tradisi hadis. Kemudian dalam konteks sejarah dikenal
dengan metode Historiografi dengan Riwayat.
Hal ini sekaligus mengungkapkan bahwa, proses
pertumbuhan ilmu sejarah dikalangan kaum muslimin berbaur
dengan ilmu hadis dari segi materi, konten, maupun metodenya.
Dilihat dari segi materi dan kontennya selalu berkisar pada seputar
kisah Nabi Muhammad saw. Sedangkan dari segi metode, lebih
diarahkan pada hal mengemukakan sanad-sanad dan penjelasan
sebuah riwayat dalam mendeskripsikan sebuah berita.109
Salah satu tokoh yang mengembangkan metode ini ialah
Imam Al-Thabari. Ia berpendapat bahwa karya sejarah tidak otentik
jika hanya bersandar pada logika dana nalogi, maka dalm hal ini
Imam Al-Thabari menyajikan kitab sejarahnya kepada para perawi.
Metode sejarah pertama kali yang dilakukan menurut Al-Thabari
ialah: pengecekan, penelitian teks, kajian sanad, dan kontemplasi
filosofis terhadap isinya.110
Lebih lanjut lagi, metode historiografi Al-Thabari adalah:
Bersandar kepada riwayat, memperhatikan sanad, Sistematika
kronologi, informasi yang bersifat umum, menyajikan teks sastra
(syair).111

b. Historiografi dengan Dirayat


Jika pada masa Al-Thabari dan pendahulunya, penulisan
sejarah dilakukan dengan berdasar pada riwayat, kemudian di masa
sesudahnya mulai muncul upaya untuk memeriksa secara rinci
sumber pertama. Inilah yang dikembangkan oleh historiografi
dirayat. Metode ini berusaha melengkapi metode sebelumnya.
Historiografi dirayat merupakan metode sejarah yang
menaruh perhatian terhadap pemahaman langsung dari satu sisi, dan
interpretasi dari sisi lain. Historiografi dengan dirayat berpijak
terhadap apa yang tertuang dalam isi teks sejarah yang dituturkan,
tetapi teks itu baru diterima setelah melalui proses panjang yaitu
kritik intelektual dan rasional. Sejarawan historiografi dirayat ini
memfokuskan kajiannya pada pengalaman, penyaksian, dan
pengamatan secara langsung, dibandingkan pada perhatian terhadap
riwayat yang dituturkan.112
Seolah meninggalkan metode yang lama, historiografi
dengan dirayat semakin menunjukan perkembangan dan kemajuan
hingga puncaknya pada diri Ibnu Khaldun, yang mana al-Mas'udi

109
Badri Yatim, Perkembangan Historiografi Islam, 123.
110
Badri Yatim, Perkembangan Historiografi Islam, 125.
111
Badri Yatim, Perkembangan Historiografi Islam, 91-95.
112
Badri Yatim, Perkembangan Historiografi Islam, 144.
35
(w. 345 H) diyakini sebagai pelopor pertamanya, dengan karyanya
yang terkenal yaitu Muruj al-Dzahab dan al-Tanbih wa al-Isyraf.
Tidak sampai di situ, Al-Mas’udi melakukan pembaruan
baru dalam corak penulisan sejarah. Ia menyusun karyanya Muruj
al-Zahab dengan menggunakan urutan Negara, raja, dan terkahir
bangsa. Kemudian muncul banyak tokoh sejarah muslim lainnya
yang mempunyai andil besar dalam metode ini, seperti Ibnu
Miskawaih.

C. Kesimpulan
Historiografi lahir berkat perkembangan ilmu pengetahuan yang
bertujuan mengabadikan kondisi peradaban Islam. Sebagai sebuah ilmu,
sejarah memiliki metode dan langkah-langkah dalam menulis dan
menelusuri data-datanya, hal ini juga tentu tidak berbeda dalam penulisan
sejarah peradaban Islam.
Metode Sejarah adalah cara atau langkah yang ditempuh dalam
menguji dan menganalisis secara kritis terhadap peristiwa dan peninggalan
pada masa lalu. Sehingga akan menghasilkan sebuah tulisan sejarah
(Historiografi). Dengan metodologi, seorang peneliti diharapkan dapat
menyajikan karya yang objektif, otentik, dan mudah untuk dibaca.

36
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999.
Alian, Metodologi Sejarah dan Implementasi dalam Penelitian. Jakarta: Unsri, 2012.
al-Sharqawi, 'Effat, Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Penerbit Pustaka, 1986.
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2013.
Amin, Yakub, Historiografi Sejarawan Informal, Medan: Perdana Publishing, 2015.
Gilbert, J. Garraghan. A Guide to Historical Method, New York: Fordham
University Press, 1963.
Ibrahim, Alfian, T. Metode Peneliian Sejarah: Sebuah Makalah Penataran
Kesejarahan. Aceh: Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, 1994.
Irwanto, Dedi dkk., Metodologi dan Historiografi Sejarah Islam. Yogyakarta: Eja
Publisher, 2104.
Kuntowijaya, Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,
1995.
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah: Edisi Kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1996.
Morris, W. The American Heritage Dictionary of English Language, Boston:
Houghton Miffin, 1973.
Paul Thompson, Suara dari Masa Silam: Teori dan Metodologi Sejarah Lisan,
Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2012.
Renier, G.J. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Ilmu Sejarah (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1983.
Sjamsuddin, Helius, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016.
Yas, Marzuki AB. Metodologi Sejarah dan Historiografi. Diktat Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya, 2004.
Yatim, Badri, Perkembangan Historiografi Islam, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Jakarta, 2009.
Yatim, Badri. Historiografi Islam. Jakarta: Logos, 1997.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam: Dirasat Islamiyah II. Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2000.

37
38
39
SEJARAH POLITIK DAN SEJARAH SOSIAL DALAM PENULISAN
SEJARAH ISLAM
Amiroh Nichayatun Munir Azizah (21191200000015)

Abstrak

Berbicara mengenai sejarah politik dan sejarah sosial, tentunya tidak


akan lepas dari sejarah Islam. pertumbuhan politik Islam tidak dapat
dipisahkan dari pertumbuhan Islam sendiri. Sejarah politik merupakan
bagian integral dalam agama Islam, karena Islam adalah agama yang
mengatur berbagai aspek kehidupan yang di dalamnya terdapat sosial
dan politik. Perjalanan sejarah politik Islam sangatlah panjang,
dimulai sejak zaman Rasul hingga berlanjut pada munculnya beberapa
kerajaan-kerajaan Islam. Adapun sejarah sosial dalam penulisan
sejarah Islam tidak terlepas dari pengaruh peradaban Arab baik
sebelum maupun sesudah hadirnya Islam.

Keywords: Sejarah, Politik, Sosial, Islam

Pendahuluan
Islam sebelum datang, bangsa Arab sudah memiliki beberapa macam peraturan-
peraturan, agama dan adat istiadat. Kemudian agama Islam datang dengan membawa
peraturan-peraturan, akhlaq dan hukum-hukum tertentu, hal inilah yang
menyebabkan adanya persilisihan antara agama Islam dan agama Jahiliyah yang
cukup lama berlangsung.
Nabi Muhammad SAW lahir di dunia pada abad IV M sebagai harapan terbesar
untuk menyelamatkan umat manusia. Kemudian Islam dimulai ketika Nabi
Muhammad hijrah dari Makkah ke Madinah pada tahun 622 M. Hijrah beliau
dikarenakan adanya kekuatan yang belum bisa dipatahkan oleh Islam. Adapun di
Madinah sangat berbeda dengan Makkah, di mana disana belum muncul kekuasaan
seperti di Makkah, membuat Nabi Muhammad untuk berdakwah di Madinah yang
kemudian beliau dapat memegang kekuasaan sehingga Islam dengan mudah dapat
disebarluaskan.
Tidak diragukan lagi bahwa pertumbuhan politik Islam tidak pernah
terpisahkan dari pertumbuhan Islam itu sendiri. Pandangan bahwa Islam adalah din
wa siyasah itu sebenarnya dalam agama Islam tidak ada sekat antara bahasa agama
dan bahasa politik. Bahasa politik merupakan bagian integral dari bahasa agama.113
Di dalam Islam, politik merupakan integral dari agama terlihat jelas dalam
gambaran keagamaan dan politik pada masa Nabi Muhammad SAW, hal ini masih
berlanjut ketika beliau meninggal dunia dan dilanjutkan oleh para khulafa al-
Rasyidin sebagai pengganti beliau dalam mendakwahkan dan menyebarkan agama
Islam. Hal yang sama juga terjadi pada kekhalifahan Bani Ummayah dan bani

113
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalis, Modernisme
Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 229.
40
Abbasiyah serta beberapa kerajaan-kerajaan Islam sesudahnya. Meskipun, praktek
politik dan pemerintahan setelah khalifah empat ini berakhir, sulit lagi untuk diklaim
secara absah seiring dengan konspesi politik dan kekuasaan yang diperaktek oleh
Nabi Muhammad.
Selain berbicara tentang sejarah politik Islam, makalah ini juga berbicara
tentang aspek sosial dalam sejarah Islam. Tentunya, aspek sosial dalam sejarah
Islam tidak terlepas dari peradaban bangsa Arab sendiri sebelum dan sesudah Islam
datang. Pada dasarnya, sejarah sosial terjadi karena adanya perubahan-perubahan
kondisi sosial primer yang menjadi unsur yang mempertahankan keseimbangan
masyarakat, seperti unsur agama, politik dan ekonomi.114
Setelah melihat secara singkat tentang bagaimana aspek politik dan aspek sosial
dalam sejarah Islam yang sudah banyak ditulis oleh para sejarawan Islam, maka
wajib bagi kita sebagai umat Muslim untuk selalu mempelajari dan memahami
bagaimana hakikat sejarah politik dan sejarah sosial Islam. Dalam makalah ini,
penulis berusaha untuk memaparkan bagaimana aspek politik dan aspek sosial dalam
penulisan sejarah Islam agar dapat dijadikan bahan pembelajaran khususnya untuk
umat Muslim di dunia.

Sejarah Politik Islam


Tahun Islam dimulai ketika Nabi Muhammad hijrah dari Makkah ke Madinah
pada tahun 622 M. Hijrah beliau dikarenakan adanya kekuatan yang belum bisa
dipatahkan oleh Islam. Adapun di Madinah sangat berbeda dengan Makkah, di mana
disana belum muncul kekuasaan seperti di Makkah, membuat Nabi Muhammad
untuk berdakwah di Madinah yang kemudian beliau dapat memegang kekuasaan
sehingga Islam dengan mudah dapat disebarluaskan.
Dalam buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Nasution membagi
periodesasi sejarah politik Islam ke dalam tiga fase sebagai sejarah dominan, sebagai
berikut:
a. Periode Awal (650-1250 M)
Periode klasik ini disebar ke dalam dua fase, yaitu fase kemajuan Islam I
pada tahun 650-1000 M yang dimulai pada zaman Khulafa al-Rasyidin, Bani
Umayyah lalu Bani Abbas dan masa Disintegrasi pada tahun 1000-1250 M.
b. Periode Pertengahan (1250-1800 M)
Periode pertengahan ini dibagi juga ke dalam dua masa, yaitu masa
kemunduran I pada tahun 1250-1500 M dan masa tiga kerajaan besar pada
tahun 1500-1800 M, di mana masa ini dibagi ke dalam dua fase, fase kemajuan
pada tahun 1500-1700 M dan fase kemunduran pada tahun 1700-1800 M.
c. Periode Modern (1800 M – Sekarang)
Periode modern merupakan zaman kebangkitan Islam yang dimulai pada
tahun 1800 M hingga saat ini.115

114
Muhammad Tholhah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosio Kultural (Jakarta:
Lantabora Press, 2005), h. 15.
115
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 2018), h. 86.
41
Islam Periode Klasik (Masa Khulafa al-Rasyidin Hingga Masa Bani Abbasiyah)
Pemikiran politik Islam abad klasik dimulai sejak Nabi Muhammad
membangun sebuah komunitas Islam di Madinah. Lalu, setelah Rasulullah wafat
timbul masalah mengenai siapa yang akan layak menjadi pengganti Nabi dalam
kepemimpinan yang pada akhirnya dalam kendali pemerintahan dipegang oleh
Khulafa al-Rasyidin (pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat).
Khulafa al-Rasyidin merupakan jabatan yang diserahkan untuk para Sahabat setelah
Nabi wafat, yaitu pengganti Rasulullah sebagai pemimpin umat, bukan
menggantikan jabatan Rasul sebagai Nabi.116
Rasulullah sebelum wafatnya, tidak memberikan wasiat tentang siapa yang
akan dan pantas menggantikan beliau sebagai pemimpin umat Islam setelah nantinya
meninggal dunia. Rosulullah secara ikhlas menyerahkan secara penuh urusan ini
kepada kaum Muslimin untuk menentukan siapa yang layak menggantikan
kepemimpinannya.
Setelah Nabi Muhammad wafat dan masih dalam pengurusan pemakamannya,
sejumlah tokoh dari Muhajirin dan Anshar berkumpul dan bermusyawarah perihal
siapa yang akan dipilih dan ditetapkan sebagai pemimpin. Dalam musyawarah ini
berjalan cukup sengit, karena masing-masing pihak baik dari golongan Muhajirin
maupun Anshar merasa sama-sama berhak menjadi pemimpin umat Islam.117
Musyawarah tentang penentuan siapa yang layak untuk menggantikan Rasul
berlangsung di Saqifah Bani Saidah, dari golongan Anshar, “Sa’id bin Ubadah”
sebagai juru bicara sekaligus calon dari pengganti Nabi untuk memimpin umat
Islam.118
Ketika peristiwa di Saqifah Bani Saidah terjadi, “Umar bin Khattab” memberi
usulan bahwa “Abu Bakar” adalah umat yang pantas sekali dalam menduduki tugas
sebagai pengganti Rasul karena kedekatan dan senioritasnya.119 Penetapan dan
diangkatnya Abu Bakar menjadi kepala negara bukan disebabkan memiliki
hubungan keluarga sama “Rasul”, akan tetapi dikarenakan intelektual dirinya yang
disimbolkan ketika “Nabi” sedang tidak enak badan, beliaulah yang menjadi imam
sholat. .120
Jadi, pengangkatan “Abu Bakar ash-Shidiq” sebagai khalifah atau pengganti
Rasul untuk memimpin umat Islam dilakukan secara demokratis, di mana awalnya
ditunjuk oleh satu orang saja yakni “Umar Bin Khattab” kemudian oleh semua orang
yang hadir pada saat itu menyetujuinya.121 Abu Bakar kemudian menerimanya, lalu
dibaiat oleh Umar Bin Khattab dan orang-orang yang hadir di Saqifah Bani Saidag,
baiat ini dinamakan dengan “Bai’at Khassah”. Kemduain baru di hari selanjutnya
“Abu Bakar” dibaiat lagi oleh umat di masjid Nabi Nabawi Madinah dan perjanjian
ini dinamakan dengan Bai’at ‘Ammah.122

116
Ratu Suntiah & Maslani, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2017), h. 67.
117
Suntiah, Sejarah, ..., h. 68.
118
Didin Saefuddin, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Penerbit Seram Alam Media,
2017), h. 53.
119
Saefuddin, Sejarah, ..., h. 53
120
Jurji Zaidan, Tarikh al-Tamaddun al-Islamiy (Kairo: Dar al-Hilal, t.t), h. 59.
121
Saefuddin, Sejarah, ..., h. 54.
122
Hasan Ibrahim Hasan, Taarikh al-Islam wa al-Diniy wa al-Tsaqafiy wa al-Ijtima’iy
(Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-mishriyyah, 1976), h. 432.
42
Sistem yang dijalankan Abu Bakar masih sama pada zaman Rasulullah yaitu
bersifat sentralis, di mana kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif terpusat di
satu tangan.123 Abu Bakar dalam menjadi khalifah sangat singkat hanya kurang lebih
dua tahun saja karena ajal datang menjemputnya. Masa kepemimpinannya itu ia
gunakan untuk penyelesaikan “perang riddah” yang dimunculkan oleh suku-suku
Arab yang tidak lagi menghormati kepada Madinah.124
Dalam perang riddah ini juga beliau berhasil memerangi orang-orang yang
keluar dari agama Islam, memerangi para nabi palsu dan orang-orang yang enggan
membayar zakat.125 Dalam kekhalifahannya, Abu Bakar juga mencapai keberhasilan
dalam hal pembagian wilayah kekuasaan negara Madinah dan kodifikasi al-Qur’an.
Adanya pengumpulan dan pembukuan ayat-ayat al-Qur’an dikarenakan pada
masa itu ayat-ayat al-Qur’an masih berserakan dan kemudian menjadi satu kesatuan
naskah pada tahun 11 H atas inisiatif Umar bin Khattab karena mendapatkan
inspirasi setelah perang Yamamah.126 Dalam perang ini, 70 jiwa para penghafal al-
Qur’an tewas terbunuh. Pada saat itu panitia pembukuan al-Qur’an dipimpin oleh
Zaid bin Tsabit. Seluruh ayat-ayat al-Qur’an berhasil dikumpulkan dan disatukan,
kemudian disimpan oleh Abu Bakar sampai meninggalnya beliau. Selanjutnya,
naskah itu disimpan oleh Umar bin Khattab sampai ia meninggal yang kemudian
disimpan oleh salah seorang putrinya yang bernama Siti Hafshah yang pernah
menjadi istri nabi Muhammad SAW.127
Jika khalifah Abu Bakar diangkat berdasarkan penerimaan secara aklamasi,
Umar bin Khattab ditetapkan berdasarkan penunjukan dari Khalifah sebelumnya
yaitu Abu Bakar yang masih memegang jabatan yang kemudian disetujui
masyarakat. Usaha-usaha yang telah dijalankan oleh Abu Bakar dilanjutkan oleh
Umar bin Khattab. Umar berjasa dalam menyusun dewan-dewan dalam
pemerintahan, mendirikan baitul mal, membuat mata uang emas, membentuk korps
tentara untuk menjaga tapal batas, mengatur gaji, mengangkat hakim-hakim,
mengatur perjalan pos, menciptakan tahun hijriah dan mengontrol hisbah.128
Umar membagi kekuasaan Islam yang berpusat di Madinah ke dalam
beberapa provinsi, yaitu Makkah, Madinah, Syam, Jazirah, Bashrah, Kufah, Mesir
dan Palestina.129 Umar memimpin kurang lebih sepuluh tahun. Beliau dibunuh oleh
Abu Lu’luah yang berasal dari Persia yang masuk Islam setelah Persia ditaklukkan
Umar. Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadinya terhadap Umar,
di mana ia merasa sakit hati dan tidak terima atas kalahnya Persia.130
Kepemimpinan umat Islam kemudian dilanjutkan oleh Usman bin Affan yaitu
sebagai khalifah ketiga setelah wafatnya Umar bin Khattab, ia ditetapkan sebagai

123
Suntiah, Sejarah, ..., h. 72.
124
Nasution, Islam, ..., h. 50.
125
Suntiah, Sejarah, ..., h. 73.
126
Peperangan antara kaum Muslimin yang tulen dan yang palsu (murtad).
127
Suntiah, Sejarah, ..., h. 75.
128
Hisbah adalah pengawasan terhadap pasar, pengontrolan terhadap timbangan dan
takaran, pengawasan terhadap tata tertib kesusilaan, sampai pengawasan terhadap kebersihan
jalan, dalam buku Didin Saefuddin, h. 62.
129
Saefuddin, Sejarah, ..., 62.
130
Toha Husain, as-Syaikhan, Terj. Ali Audah, Dua Tokoh Besar dalam Sejarah
Islam: Abu Bakar dan Umar (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1986), h. 141.
43
khalifah tiga hari setelah dimakamkannya khalifah Umar bin Khattab.131 Usman
adalah seorang yang lemah lembut, meskipun memiliki banyak kelebihan tapi dalam
hal pemikiran kreatif beliau kurang menonjol. Kelemahan beliau inilah yang
dipergunakan oleh keluarga bani Umayyah yang pernah memegang kekuatan politik
sebelum Islam untuk mengembalikan kedudukannya sebagai pemimpin kaum
Quraisy pada masa Islam.132
Representasi para ahli sejarah tentang Usman bin Affan sebagai orang yang
lemah dalam hal mencegah ambisi para keluarganya yang kaya dan berpengaruh
dalam masyarakat Arab pada waktu itu. Ia mengangkat satu persatu dari mereka
menjadi gubernur-gubernur di daerah-daerah yang tunduk pada kekuasaan Islam.
Gubernur-gubernur yang diangkat Umar sebagai khalifah sebelumnya, khalifah yang
dikenal sebagai orang yang kuat dan tidak mementingkan kepentingan sendiri atau
kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh Usman.133
Sebagaimana nasib “Amr bin al-Ash yang awalnya menduduki sebagai
gubernur Mesir dengan tiba-tiba dilengserkan dan digeser oleh “Ibn Abi Sarh” yang
merupakan salah satu dari nasab “Usman bin Affan”. Akibat kejadian ini, orang
Mesir datang ke Madinah membawa kurang lebih lima ratus pasukan untuk
melakukan pemberontakan, di mana pada akhirnya menyebabkan “Usman bin
Affan” wafat karena dibunuh.
Pada hari jumat tanggal 8 Zulhijjah tahun 35 H/656 M waktu shubuh,
Khalifah ketiga Usman bin Affan wafat pada usia 82 tahun sambil memeluk al-
Qur’an yang sedang dibacanya dan pembunuhnya adalah salah seorang dari pasukan
pemberontak yang datang dari Mesir ke Madinah bernama al-Gafiki.134
Setelah terjadinya pembunuhan yang menyebabkan Usman bin Affan
meninggal dunia, peduduk Madinah al-Munawwarah yang didukung tiga pasukan
dari Mesir, Bashrah dan Kuffah meminta Ali untuk menjadi khalifah keempat dan
menggantikan Usman bin Affan.135 Menurut Mahmudunnasir, bahwa orang yang
pertama membaiat Ali menjadi khalifah adalah Abdullah bin Saba’.136 Ketika Ali
diangkat sebagai khalifah, Bani Umayyah tidak setuju dan tidak menerimanya. Hal
ini dikarenakan masih adanya dendam masa lalu antara Bani Umayyah dan Bani
Hasyim sebelum Islam datang.
Dari konflik inilah terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Muawiyah di
Shiffin. Tragedi ini merupakan malapetaka amat besar yang patut disesalkan. Saat
perang dahsyat itu berkecamuk, pasukan Ali hampir memenangkan pertempuran.
Demi menghindari kekalahan tekaj, maka atas saran Amr bin Ash (dari pihak

131
Imam as-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, Terj. Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2005), h. 177.
132
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam
(Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 33.
133
Nasution, Islam, ..., h. 89.
134
Suntiah, Sejarah, ..., h. 94.
135
Suntiah, Sejarah, ..., h. 97.
136
Syed Muhammadunnasir, Islam its Concepts and History (New Delhi: Kitab
Bhavan, 1994), h. 144.
44
Muawiyah), Muawiyah mengangkat al-Qur’an tinggi-tinggi sebagai tanda
perdamaian. Naluri perang Ali mencium bahwa ini hanyalah siasat untuk melakukan
penipuan sehingga ia tidak terpancing, akan tetapi atas saran sebagaian tentaranya,
Ali menerima gencatan senjata yang ditawarkan musuh.137
Alhasil, perselisihan kemudian diselesaikan melalui pertemuan kedua belah
pihak yang masing-masing pihak mengajukan juru bicara. Dari pihak Ali adalah
Abu Musa al-Asy’ari dan dari pihak Muawaiyah adalah Amr bin Ash. Dalam
pertemuan mereka berdua, kelicikan Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa,
keduanya bermufakat agar Ali dan Muawiyah sama-sama hancur. Kebiasaan disana
ketika ada yang lebih tua maka harus didahulukan, sebagaimana posisi Abu Musa
yang tertua maju dan berpidato kemudian memberi kabar kepada khalayak yang
hadir untuk menjatuhkan kedua belah pihak baik Ali maupun Muawiyah karena
keduanya saling bertentangan. Selanjutnya, Amr maju dan berbicara di depan
sebagai perwakilan dari Muawiyah, ia mengumumkan untuk menjatuhkan pihak Ali
saja, tidak Muawiyah. Kejadian inilah yang membuat rugi pihak Ali dan memberi
keuntungan Muawiyah.138
Keadaan Ali menerima tipu muslihat Amr mengadakan tahkim atau arbitrase
dalam keadaan sungguh terpaksa, para tentara Ali tidak menyetujui. Lalu pada
akhirnya tentara ini mengasingkan diri dan ke luar dari barisan Ali. Mereka
mengatur barisan mereka dan menentang Ali sehingga terjadi peperangan antara Ali
dan mereka. Dalam peperangan ini kaum yang keluar dari Ali kalah, tetapi tentara
Ali telah lemah untuk dapat meneruskan peperangan melawan Muawiyah.
Dari sejarah singkat diatas,dapat dilihat bahwa pada waktu itu telah timbul
tiga golongan politi. Pertama, golongan Ali yang dikenal dengan nama Syi’ah,
kedua, golongan yang keluar dari barisan Ali yang dikenal dengan nama Khawarij
dan ketiga golongan Muawiyah yang kemudian membentuk Dinasti Bani Umayyah.
Setelah periode Khulafa al-Rasyidin, pemerintahan dalam Islam beralih
kepada dinasti Umayyah. Nama dinasti Umayyah itu berasal dari nama Umayyah
ibnu ‘Abdi Syams ibnu ‘Abdi Manaf, yaitu salah seorang dari pemimpin-pemimpin
kabilah Quraisy di zaman jahiliyah.139 Dengan penobatannya itu, ibu kota provinsi
Suriah, Damaskus berubah menjadi ibu kota kerajaan Islam. Meskipun telah
dinobatkan sebagai dinasti, Muawiyah memiliki kekuasaan yang terbatas karena
beberapa wilayah Islam tidak mengakui kekhalifahannya.140
Muawiyah mengubah sistem pemerintahan menjadi monarki (turun-temurun),
penyebutan gelar bagi pimpinannya masih tetap “khalifah”. Abul A’la (dalam Didin
Saefuddin) di dalam bukunya Khilafah dan Kerajaan menyebut pemerintahan Bani
Umayyah dengan istilah kerjaan. Menurut Maududi, kekuasaan Bani Umayyah tidak
berdasarkan persetujuan kaum Muslimin dan tidak pula ia dipilih oleh rakyat dengan

137
Saefuddin, Sejarah, ..., h. 69.
138
Nasution, Islam, ..., h. 90.
139
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta: PT. Alhusna Zikra, 1995),
h. 24.
140
Philip K. Hitti, History of the Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: PT
Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 235.
45
pemilihan yang bebas, melainkan atas dasar kekuatan pedangnya.141 Dengan
demikian, jabatan khalifah yang dipilih atas dasar syura (demokrasi) berubah
menjadi turun temurun.
Dinasti Bani Umayyah berkuasa kurang lebih 90 tahun (41-132 H/ 661-750
M).142 Wilayah Islam pada masa itu mencakup beberapa daerah yaitu Irak,
Semenanjung Arabia, Palestina, Suriah, Afrika Utara, Spanyol, Sebagian dari Asia
Kecil, Persia Afghanistan, dan beberapa daerah di Asia tengah yang sekarang lebih
dikenal dengan Pakistan, Rukmenistan, Uzbek, dan Kirgis.143
Masa Bani Umayah tidak hanya ditandai dengan perluasan wilayah,
perkembangan budaya Arab juga mempengaruhi beberapa perubahan yang terjadi di
masa ini, dimana bahasa Yunani dan bahasa Pahlawi yang enjadi bahasa
administrasi pemerintahan dirubah menjadi bahasa Arab. Disamping kedua hal
tersebut pengembangan dan perhatian keilmuan khususnya pada bidang Ilmu Kalam,
Fiqh, Hadits, dan Tafsir dilakukan di kota Kufah dan Bashrah, sehingga kota
tersebut dijuluki kota pusat ilmiah pada masa itu. Pada zaman ini juga berhasil
mengubah mata uang yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam.144
Selanjutnya umat Islam dipimpin oleh Bani Abbasiyah setelah selesainya
masa kepemimpinan dinasti Bani Umayyah. Berdirinya dinasti Bani Abbasiyah
dipelopori oleh Abu Abbas al-Saffah, dinasti ini adalah keturunan dari paman Rasul
yang bernama Abbas sehingga diberi nama dinasti Abbasiyah.145 Sistem dan bentuk
pemerintahan, Tidak banyak perbedaan yang terjadi antara dinasti Umayyah dan
Abbasiyah, kedunya terlihat mirip dalam mengusung sistem pemerintahan, model
pemerintahan, struktur dalam organisasi pemerintahan dan juga dalam sistem
administrasi pemerintahan. Kemiripan tersebut dapat dilihat dari diteruskannya
sistem pemerintahan monarki yang dicetuskan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan, dan
juga pemakaian gelar khilafah didalam menjalankan sistem tersebut.146
Masa dinasti Abbasiyah merupakan masa keemasan Islam, seperti,
diantaranya dalam bidang ilmu dan kebudayaan telah mencapai tingkat yang sangat
tinggi, perekonomian mulai meningkat dari hasil pertanian, pertimbangan dan lain
sebagainya, pengangkatan wazir dalam lembaga eksekutif dan yudikatif, membentuk
sekretaris negara dan membentuk kepolisian negara di samping melanjutkan
angkatan bersenjata.147
Pada Dinasti Abbasiyah ini terjadi masa distegrasi, hal tersebut sebenarnya
telah terlihat pada akhir-akhir masa bani Umayah masih memimpin, namun
puncaknya terlihat jelas pada masa bani Abbasiyah berkuasa. Disintegrasi tersebut
dapat dilihat dari terjadinya pelepasan diri daerah - daerah kecil yang berada jauh
dari pusat kekuasaan khilafah, sehingga hal ini menjadi awal tumbuhnya dinasti-

141
Saefuddin, Sejarah, ..., h. 76.
142
Suntiah, Sejarah, ..., h. 108.
143
Nasution, Islam, ..., h. 57.
144
Nasution, Islam, ..., h. 58.
145
Suntiah, Sejarah, ..., h. 123.
146
Saefuddin, Sejarah, ..., h. 106.
147
Suntiah, Sejarah, ..., h. 126.
46
dinasti kecil pada masa itu. Pengaruh distegrasi tersebut merambat pada bidang
kebudaan dan juga agama.
Periode Pertengahan
Pada periode pertengahan ini, ditandai dengan adanya tiga kerajaan besar,
yaitu kerajaan Utsmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di
India.
a. Kerajaan Turki Ustsmani

Turki Utsmani didirikan oleh ibn Erthughol, diteruskan oleh keturunannya


yang berjumlah total 36 Sultan. Masa emas dinasti ini terjadi pada 4 sultan
keturunannya yang mana diagungkan sebagai era Penaklulan dan Pembuakaan
Wilayah Baru guna memperluas wilayah kekuasaan yang ada, mereka adalah
Muhammad II, Bayazid II, Salim I dan Sulaiman I.148
Turki Utsmani dalam menjalankan Pemerintahannya lebih dominan dengan
penggunaan sistem Militer, mereka mengklaimnya sebagai penyatuan antara
Militer dengan Syariat. Turki Ustmani mulai menyandang gelar kekhalifahan
pada saat sultan Salim I menaklukan Mesir pada 1517 yang mana pada saat itu
juga khalifat terakhir Abbasiyah yaitu Almutawakil menyerahkan gelar khilafah
pada kesultanan Turki Utsmani. Gelar jabatan rangkap Kekhalifahan dan
Kesultanan yang bernilai syariat Islam terus dipelhara sampai pada tahun 1924,
Kemal Attaturk menghapusnya.
Kemajuan kerajaan Turki Utsmani adalah dalam bidang kemajuan militer,
kekuatan militer Turki terletak pada mesin perangnya bernama jenissary. Pada
paham keagamaan, di masa ini kerajaan Turki Utsmani adalah perkembangan
tarekat yaitu tarekat Bektasyi dan tareka Maulawi yang banyak dianut oleh
kalangan sipil dan militer, kerajaan Turki Utsmani memiliki keterikatan yang
kuat dengan syariat Islam sehingga fatwa ulama menjadi hukum yang berlaku.
Mufti sebagai pejabat urusan agama tertinggi berwenang memberi fatwa resmi
terhadap problema keagamaan yang dihadapi masyarakat, tanpa legitimasi
mufti, keputusan hukum kerajaan tidak bisa berjalan. Pada masa ini juga
berkembang seni arsitektur yang berkembang pesat.149 Masjid yang asalnya
gereja Aya Shopia dirubah menjadi Masjid Raya Aya Shopia setelah penaklukan
Konstatinopel dianggap sebagai masjid paling penting di ibu kota Imperium
Turki Utsmani.150
Kesultanan Turki Ustmani mengalami era sulit dan kemunduran setelah
kepemimpinan Sulaiman I berakhir, hal ini terlihat dimana kesultanan hanya
berfokus pada penguatan pertahanan benteng – benteng dari ancaman serangan
Barat dan mengabaikan aspek lainnya. Era Sulit dan Kemunduran ini memuncak
dengan naiknya sultan Salim II yang sering digaungkan sebagai awal

148
Suntiah, Sejarah, ..., h. 193.
149
Saefuddin, Sejarah, ..., h. 291.
150
Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam: Imperium Turki Utsmani
(Jakarta: Kalam Mulia, 1988), H. 46.
47
kehancuran dan akhir era Keemasan kesultanan Turki Utsmani dan ditandai juga
dengan melemahnya semccangat pejuangan prajurit Utsmani yang menyebabkan
sejumlah kekalahan dalam pertempuran menghadapi musuh.151
b. Kerajaan Safawi di Persia

Kerajaan Safawi berasal dari gerakan tarekat yang diberi nama tarekat
Safawiyah karena pendirinya bernama Syekh Safiyudin Ishaq (1252-1334 M).
Kerajaan Safawi beraliran Syiah dan dapat dianggap sebagai peletak dasar
terbentuknya negara Iran dewasa ini.152 Tarekat ini mengubah gerakan
keagamaan menjadi gerakan politik.153
Di bidang politik, keberhasilan menyatukan wilayah-wilayah Persia yang
luas dibawah satu atap merupakan kesuksesannya di bidang politik. Lalu,
kemajuan ekonomi dicapai pada kerajaan ini dan kemajuan di bidang tasawuf
ditandai dengan berkembangnya filsafat ketuhanan yang kemudian terkenal
dengan sebutan filsafat dan ilmu pengetahuan semakin mengalami kemajuan.154
c. Kerajaan Mughal di India

India adalah wilayah yang sangat luas. Peradabannya pun tergolong paling
tua di dunia. Kendati penduduknya mayoritas beragama Hindu, Islam pernah
menjadi penguasa disana dengan hadirnya kerajaan-kerajaan, diantara kerajaan
yang pernah berkuasa dan paling besar adalah Mughal. Kekuatan Khilafah bani
Umayyah yang sangat luas dan Kuat dalam bidang militer dan politik
memungkinkannya untuk melakukan perluasan ke wilayah - wilayah yang
sangat jauh, diantaranya adalah India. Untuk pertama kalinya India berada
dibawah kekuasaan Islam pada saat itu.155
Cucu sultan Lodi yang bernama Ibrahim Lodi yaitu sultan Delhi terakhir
memasukkan ke penjara beberapa bangsawan yang tidak sependapat
dengannya. Lalu akibat dari kejadian ini muncul pertarungan sengit antara cucu
Timur Lenk yang bernama Zahiruddin Babur dengan Ibrahim Lodi pada tahun
1526 M di Panipazh yang menyebabkan Ibrahim Lodi wafat karena terbunuh.
Sejak saat itulah ibu kota menjadi dinasti Mughal di India Delhi.
Kepemimpinan selanjutnya diduduki oleh Nashiruddin Humayun setelah
ayahnya Zahiruddin Babur meninggal dunia, kemudian pemerintahan
selanjutnya dikuasai oleh keturunan di bawahnya yakni Akbar Khan yang mana
atas kepemimpinannya dinasti Mughal sangat berjaya.156
Dalam menjalankan amanat pemerintahan, Akbar Khan menggunakan
sistem yang bersifat milliter. Model ini terlihat dari Raja yang memimpin pusat
pemerintahan, Kepala Komandan yang memimpin pemerinatahan daerah dan
Komandan yang memimpin sub-sub daerah. Pada bidang sosial, akhbar khan
151
Suntiah, Sejarah, ..., h. 197.
152
Saefuddin, Sejarah, ..., h. 301.
153
Suntiah, Sejarah, ..., h. 199.
154
Saefuddin, Sejarah, ..., 306.
155
Saefuddin, Sejarah, ..., h. 312.
156
Suntiah, Sejarah, ..., h. 202.
48
mencetuskan pandangan bahwasanya semua penduduk memiliki derajat yang
sama, hal ini lebih dikenal dengan politik toleransi universal (Sulh e-kul).
Kemantapan di bidang politik membawa kemajuan di bidang lain, seperti
ekonomi dengan mengembangkan program pertanian, pertambangan dan
perdagangan. Karya sastra gubahan penyair istana yang menggunakan bahasa
India dan Persia, menjadi salah satu bukti perkembangan dalam bidam seni dan
budaya.
Dinasti Mughol mencatatkan masa keemasannya kurang lebih selama satu
setengah abad lamanya. Kemunduran dinasti ini terjadi saat memasuki abad ke-
18 M. diawali dengan perebutan kekuasaan di tingkat pusat pemerintahan,
pelemahan kekuasaan di bidang politik, dan timbulnya gerakan pemberontakan
Hindi di India tengah dan puncaknya pada tahun 1858 M kemunduran dan
kehancuran menghantam dinasti ini.
Periode Modern
Periode Modern, adalah era Islam kembali bangkit. Dunia Islam khususnya di
Turki dan Mesir mulai sadar akan kemunduran dan kelemahan yang dialami oleh
umat Islam, hal ini terlihat dari kemajuan barat dengan Ekspedisi Napoleon pada
tahun 1805 M yang berakhir di Mesir. Pada era ini, orang-orang besar yang
berpengaruh dalam Islam mulai menggunakan inisiatif dan kemampuannya untuk
mengambalikan keseimbangan dalam Islam (Balance of Power). Pada era ini
hubungan Islam dengan Barat berbanding terbalik dengan hubungan meraka di era
lama.157
Inisiatif yang terus diupayakan pada akhirnya menelurkan Aliran
Pembaharuan atau gerakan kebangkitan dan modernisasi dalam Islam. Para
pemimpin dan pembesar dalam Islam tanpa henti dengan pemikiran – pemikira
meraka mengupayakan Islam untuk kembali berjaya sebagaimana kejayaan Islam di
era lama. Segala usaha yang mereka lakukan beruah dikit demi sedikit, diamaping
itu kemajuan Barat terus berlanjut tanpa henti.

Sejarah Sosial Islam


Sejarah Islam dalam aspek Sosial sangat berkaitan erat dengan budaya dan
Peradaban Arab baik sebelum maupun sesudah kehadiran Islam pada era itu. Sejarah
sosial pada lazimnya terjadi karena adanya perubahan-perubahan kondisi sosial
primer yang menjadi unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat,
seperti unsur agama, politik dan ekonomi.158
Masyarakat, baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya
kesukuan. Orgaisasi dan identitias sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu
rentang komunitas yang luas. Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah
(clan), beberapa kelompok kabilah membentuk suku (tribe), dan dipimpin oleh

157
Nasution, Islam, ..., h. 86.
158
Hasan, Islam, ..., h. 15.
49
seorang shaikh.159 Hal ini menjadikan, bila sesama kabilah mereka loyal karena
masih kerabat sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah.
Bangsa Arab pra Islam menjadikan adat sebagai hukum dengan berbagai
bentuknya.160 Disamping itu, setelah kehadiran Islam, Rasulullah Muhammad SAW
melakukan banyak perubahan dari sisi sosial yang ada padabangsa Arab. Diantara
perubahannya yang dipengaruhi oleh Islam adalah sebagai berikut:
a. Masalah perkawinan

Dalam hal perkawinan sebelum Islam datang, mereka mengenal beberapa


macam. Diantaranya hubungan poliandri di mana wanita dapat bercampur
dengan beberapa laki-laki, hubungan istidla di mana seorang suami merelakan
istrinya bercampur dengan laki-laki yang dipandang mulia atau memiliki
kelebihan seperti kecerdasan dan keberanian dengan tujuan seorang istri bisa
memberikan anak yang cerdas sebagaimana laki-laki yang sudah menyetubuhi
istrinya itu, hal ini dilakukan karena sang suami tidak memiliki karakter seperti
yang ia dambakan untuk anak-anaknya nanti dan hubungan badal, yaitu tukar
menukar istri tanpa bercerai terlebih dahulu dengan tujuan memuaskan
hubungan seks dan menghindari kebosanan dan masih banyak lagi hal-hal yang
menyangkut hubungan wanita dengan laki-laki diluar kewajaran.
Setelah Islam datang, laki-laki dibatasi menikah maksimal hanya empat
kali menikah dan harus bersikap adil. Sebagaimana firman Allah SWT:
ِ
‫ع ۖ فَِإ ْن‬ َ ‫اب لَ ُك ْم ِم َن النِ َساء َمثْ َ َٰن َوثََُل‬
َ ‫ث َوُرََب‬
ِ ِ ِ ِ
َ َ‫َوإ ْن خ ْفتُ ْم أَاَّل تُ ْقسطُوا ِِف الْيَ تَ َام ٰى فَانْك ُحوا َما ط‬
ِ ِ ِ ِ
َ ‫ت أَْْيَانُ ُك ْم ۖ َٰذل‬
‫ك أ َْد َٰن أَاَّل تَعُولُوا‬ ْ ‫خ ْفتُ ْم أَاَّل تَ ْعدلُوا فَ َواح َد ًة أ َْو َما َملَ َك‬
Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain)
yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu
berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu
miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim” (QS. an-Nisa: 3).
Allah juga mengatur untuk memberi mahar sebagai hak perempuan yang
akan dinikahi juga memerintahkan supaya mahar mereka direlakan secara
penuh, kecuali dia merelakannya. Hal ini Allah jelaskan di dalam surat an-Nisa
ayat 4:

‫ب لَ ُك ْم َع ْن َش ْيء ِمْنهُ نَ ْف ًسا فَ ُكلُوهُ َهنِيئًا َم ِريئًا‬ ِ ِ ِِ ِ


َ ْ ‫ص ُدقَاِت ان ِْنلَةً ۖ فَِإ ْن ط‬
َ َ‫َوآتُوا الن َساء‬
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian
itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya” (QS. an-Nisa: 4)

159
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h.
11.
160
Suntiah, Sejarah, ..., h. 35.
50
b. Bidang mu’amalat

Diantara kebiasaan mereka sebelum Islam datang adalah memperbolehkan


riba.161 Selanjutnya, Kehadiran Islam mempengaruhi praktek riba yang ada.
Islam melarang praktek riba karena riba dapat menggerus rasa malu pada diri
seorang muslim, sebagaimana firman Allah SWT:

‫اّللَ لَ َعلا ُك ْم تُ ْفلِ ُحو َن‬


‫اع َف ًة ۖ َواتا ُقوا ا‬
َ‫ض‬ َ ‫َض َعافًا ُم‬ ِ ‫ين َآمنُوا ََّل ََتْ ُكلُوا‬
ْ ‫الرََب أ‬
ِ‫ا‬
َ ‫ََي أَيُّ َها الذ‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keburuntungan” (QS. Ali ‘Imran: 130)

Selain riba, Islam dengan sangat keras memberlakukan larangan untuk


mendapatkan suatu harta dengan cara yang bathil (Al-Baqarah 275). Disamping
larangan yang diberlakukan, Islam tak lupa untuk menetapkan rambu-rambu
dalam bermuamalah, rambu-rambu itu berupa asas dan prinsip yang harus
dipatuhi oleh setiap masyarakat, sebagai contoh asas dan prinsip dalam jual
beli.
c. Kedudukan wanita

Masyarakat Arab sebelum Islam datang tidak memikirkan akan harkat dan
martabat seorang perempuan, masyarakat Arab dulunya banyak muncul
kejahatan-kejahatan sosial terutama kepada wanita, dahulu jika seorang wanita
melahirkan keturunan yang berjenis kelamin perempuan, maka bayinya harus di
bunuh, perempuan dapat diwariskan dan perempuan tidak memperoleh harta
pusaka.
Setelah datangnya Islam di Arab, Islam mulai memposisikan perempuan
lebih tinggi dan perempuan diposisikan sebagai manusia yang layak. Allah
berfirman dalam QS. al-Hujurat ayat 13 yang artinya “wahai orang-orang
beriman, sesungguhnya kami telah menciptakan kalian menjadi pria dan
wanita”. Dalam QS. an-Nisa ayat 19, Allah juga mengharamkan dianggapnya
wanita termasuk barang yang diwarisi.

Kesimpulan
Aspek Politik dan Aspek Sosial dalam sejarah adalah hal penting untuk
menguraikan sebuah sejarah dalam suatu tulisan, karena keduanya memiliki peranan
yang sangat menonjol. Hal ini dibuktikan secara sangat jelas dalam sejarah, baik
pada masa awal kelahirannya maupun di masa modern kontemporer sekarang ini.
Politik Islam abad klasik dimulai sejak Nabi Muhammad membangun sebuah
komunitas di Madinah di mana setelah wafatnya Rasulullah, maka pemegang
kekuasaan setelahnya adalah Khulafa al-Rasyidin, kemudian dilanjutkan oleh dinasti

161
Suntiah, Sejarah, ..., h. 37.
51
Bani Umayyah hingga digantikan oleh dinasti Bani Abbasiyah sampai
kehancurannya akibat serangan tentara Mongol sekitar tahun 1250 M.
Pada periode pertengahan, ditandai dengan adanya tiga kerajaan besar, yaitu
kerajaan Utsmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia dan kerajaan Mughal di India.
Lalu pada periode modern, raja dan permuka-pemuka Islam mulai berpikir dan
mencari jalan untuk mengembalikan balance of power. Kontak Islam dengan Barat
sekarang berlainan sekali dengan kontak Islam dengan Barat di periode klasik.
Aspek sosial dalam sejarah Islam tidak terlepas dari pengaruh peradaban Arab
baik sebelum maupun sesudah hadirnya Islam. Sebelum kedatangan Islam, bangsa
Arab menerapkan hukum sesuai dengan adatnya, namun setelah kehadiran Islam,
banyak perubahan yang dilakukan Rasulullah Muhammad SAW dalam aspek sosial
pada bangsa Arab.

52
DAFTAR PUSTAKA

As-Suyuthi, Imam. 2005. Tarikh Khulafa’, Terj. Samson Rahman. Jakarta: Pustaka
al-Kautsar.
Azra, Azyumardi. 1996. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalis,
Modernisme Hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina.
Hasan, Hasan Ibrahim. 1976. Taarikh al-Islam wa al-Diniy wa al-Tsaqafiy wa al-
Ijtima’iy. Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-mishriyyah.
Hasan, Muhammad Tholhah. 2005. Islam dalam Perspektif Sosio Kultural. Jakarta:
Lantabora Press.
Hitti, Philip K. 2010. History of the Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta.
Husain, Thoha. as-Syaikhan, Terj. Ali Audah. 1986. Dua Tokoh Besar dalam
Sejarah Islam: Abu Bakar dan Umar. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Muhammadunnasir, Syed. 1994. Islam its Concepts and History. New Delhi: Kitab
Bhavan.
Nasution, Harun. 2018. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.
Palawa, Alimuddin Hasan. Pemikiran Politik Islam: Tinjauan Sejarah Awal Islam
Klasik, dalam Jurnal al-Fikra, Vol. 5, No. 1 tahun 2006.
Saefuddin, Didin. Sejarah Politik Islam. Jakarta: Penerbit Seram Alam Media, 2017.
Sunanto, Musyrifah. 2004. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Islam. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Suntiah, Ratu & Maslani. 2017. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Syalabi, Ahmad. 1988. Sejarah dan Kebudayaan Islam: Imperium Turki Utsmani.
Jakarta: Kalam Mulia.
__________. 1995. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Jakarta: PT. Alhusna Zikra.
Yatim, Badri. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Zaidan, Jurji. t.t. Tarikh al-Tamaddun al-Islamiy. Kairo: Dar al-Hilal.

53
54
PROBLEMATIKA PENULISAN DALAM SEJARAH ISLAM
Suci Ramadhan (21191200000014)

Abstrak
Problematika historiografi yang terdapat dalam kitab-kitab sejarah
Islam sejak masa klasik hingga saat ini menyebabkan pentingnya
penulisan sejarah Islam untuk terus dikaji dan dianalisis secara kritis.
Beberapa faktor yang perlu ditinjau dalam historiografi adalah
penggunaan metode penulisan, objektifitas dan subjektifitas,
kelemahan verifikasi, orientalisme dalam penulisan sejarah serta
distorsi yang dilakukan dalam historiografi sejarah Islam. Hal itu
untuk memberikan pemahaman yang benar dan komprehensif
terhadap sebuah sejarah. Selain itu, urgensitas historiografi sejarah
Islam tidak hanya untuk melihat aspek penulisan melainkan juga
bagaimana Islam berkembang dari masa ke masa.

A. Pendahuluan
Penulisan sejarah atau historiografi telah menduduki tempat yang sangat
penting bagi sejarawan dan disiplin ilmu sejarah. Sejarah dari penulisan sejarah
berkisar dari perkembangan dan pertumbuhan dari ukuran penting dalam seleksi
faktor dan tanpa batas dalam usaha menerangkan fakta-fakta.162 Keterlibatan para
sejarawan dalam menetukan arah dan corak penulisan sejarah terdapat kepentingan
besar di dalam studi sejarah dan orientasinya. Oleh karena itu, historiografi Islam
saat ini penting untuk terus dikaji dan digunakan.
Fenomena tersebut dapat membuktikan bahwa tugas seorang sejarawan
tidaklah mudah, karena seorang sejarawan bukanlah sekedar penyusun cerita-cerita
klasik dan kontemporer atau peristiwa-peristiwa politik, tetapi seorang sejarawan
adalah seorang penulis sejarah yang berusaha merekontruksi peristiwa yang terjadi
pada masa lampau dengan cara melakukan penelitian, penulisan dan pembuktian.163
Penelitian membutuhkan kemampuan untuk menemukan, menguji dan menganalisis
sumber-sumber yang valid dan kredible. Adapun penulisan membutuhkan keahlian
penyusunan terhadap fakta dan sumber sejarah yang bersifat pragmentaris dan
dituangkan dalam sebuah uraian yang bersifat utuh, sistematis dan komunikatif.164
Historiografi Islam menelaah secara kritis mengenai sejarah perkembangan
penulisan peristiwa sejarah yang terjadi pada umat Islam. Sejarah umat Islam penuh
dengan peran keagamaan dan pesan eskatologis. Sejarah umat Islam adalah sejarah

162
Samee-Ullah Bhat, Islamic Historiography: Nature and Development (India:
Educreation Publishing, 2019), h. 1.
163
Imas Emalia, Historiografi Indonesia, 1st edn (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2006),
h. 8.
164
Ajid Thohir, ‘Historiografi Islam: Bio-Biografi Dan Perkembangan Mazhab Fikih
Dan Tasawuf’, MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 36.2 (2012), 427–451
<https://doi.org/10.30821/miqot.v36i2.126>, h. 428.
55
yang unik berkaitan dengan hal-ihwal amal perbuatan umat Islam165. Perkembangan
umat Islam yang dinamis telah banyak direkonstruksikan oleh sejarawan dan ahli
sejarah. Para sejarawan merekonstruksikan hal-hal yang berkaitan dengan keunikan
historitas Islam dalam peran religiositas dan eskatologisnya. Namun, seringkali
rekonstruksi sejarah sengaja dibuat untuk memenuhi daftar problematika
historiografi Islam. Padahal dari historiografi tersebut, kita tidak hanya melihat
bagaimana corak teori, metodologi serta teknik penulisan sejarah, melainkan bisa
menilai telah sampai di mana kita sekarang dan keprihatinan terhadap zaman.166
Tidak sampai di situ, problem historiografi Islam tidak hanya terjadi pada
ranah klasik dan tradisional, justru terus berjalan ke masa modern saat ini. Meskipun
banyak kritik terhadap metodologi dan historiografi sejarah Islam masa klasik,
namun ternyata masa modern juga tidak luput dalam permasalahan dalam
historiografi tersebut, baik dari segi definisi, sumber, penjelasan, dan sebagainya. 167
Dapat dikatakan bahwa penulisan sejarah Islam mengalami banyak dinamika
dan problematika dalam penulisannya sejak awal kemunculan ilmu sejarah itu
sendiri hingga kini. Hal itu berpengaruh pula terhadap hasil kajian sejarah tersebut.
Di sini, penulis akan menguraikan dan menganalisis problematika apa saja yang
terjadi dalam penulisan sejarah Islam.
B. Pembahasan
1. Definisi Penulisan Sejarah Islam
Penulisan sejarah atau yang disebut dengan historiografi adalah suatu usaha
merekonstruksi peristiwa yang telah terjadi di masa lalu. Rekonstruksi peristiwa
yang dimaksud sebenarnya harus memberikan gambaran tentang kejadian yang
benar terjadi, sebagaimana yang dikatakan oleh Leopold von Ronke seorang
sejarawan Jerman. Meskipun hal itu dirasa sulit, paling tidak mendekati
sebagaimana yang sesungguhnya terjadi.
Historiografi secara etimologi adalah penulisan sejarah, tulisan dan literatur
sejarah. Secara terminologi menurut Louis Gottschalk, historiograafi adalah
rekonstruksi imajinatif terhadap peristiwa masa lalu melalui data yang diperoleh dari
proses pengujian, penelitian dan analisis kritis terhadap peristiwa tersebut. Menurut
Nisar Ahmed Faruqi, historiography is the science of committing anecdots and their
causes to writting with reference to time of their occurence. Badri Yatim juga
memberikan pengertian historiografi sebagai sebuah penulisan sejarah yang
dilakukan melalui tahapan penelitian dan analisis terhadap suatu peristiwa di masa
lampau.168

165
Chase F Robinson, Islamic Historiography (Cambridge: Cambridge University
Press, 2003).
166
Taufik Abdullah, Nasionalisme Dan Sejarah, ed. by Nina H Lubis, 1st edn
(Bandung: Satya Historika, 2001), h. 250.
167
New Perspective on Historical Writing, ed. by Peter Burke, 2nd edn (United State
of America: The Pennsylvania State Univesity Press, 2001), h.6-19 .
168
Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis Dan Historiografi Islam: Kajian Lintas
Aliran, Cetakan I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 48.
56
Berdasarkan pernyataan beberapa ahli di atas, dapat dikatakan bahwa secara
umum historiografi diartikan sebagai proses rekonstruksi sejarah dalam sebuah
tulisan.
Menurut Rosenthal, historiografi Islam merupakan hasil karya sejarah yang
ditulis oleh para penulis muslim dari berbagai aliran manapun. Rumusan yang
dijelaskan oleh Rosenthal tampaknya memaknai bahwa historiografi Islam sebagai
hasil karya yang mencakup sebuah penulisan sejarah Islam.169 Adapun menurut
H.A.R. Gibb, historiografi Islam adalah sebuah ilmu. Dengan demikian dapat
disimpulkan secara lebih komprehensif bahwa historiografi Islam adalah suatu ilmu
atau karya penulisan sejarah Islam yang ditulis atau dihasilkan oleh umat Islam.
Rosenthal secara terminologis juga telah menggunakan term historiografi
Islam untuk menyebut karya sejarah Islam, meskipun lebih sering memakai term
historiografi muslim untuk menyebut hal yang sejenis itu. Faruqi juga lebih
cenderung menggunakan term historiografi muslim dan terkadang historiografi Arab
untuk pengertian yang sedikit lebih luas. Sedangkan Lichtenstadter menggunakan
term historiografi Arab untuk merujuk penulisan sejarah di kalangan masyarakat
Arab pra-Islam dan menggunakan istilah historiografi Islam untuk menunjuk
penulisan sejarah Islam. Barangkali perbedaan penyebutan itu lebih dari sekedar
pilihan kata, tetapi berakar pada perbedaan pandangan para ahli yang menyebut
kebudayaan dalam komunitas muslim dengan kebudayaan Islam, kebudayaan
muslim dan kebudayaan Arab.170
2. Bentuk-bentuk Dasar Historiografi Islam
Rosenthal membagi historiografi Islam dalam tiga bentuk: a. khabar (khabar
history); b. Kronologis (the annalistic form); dan c. Tematik (lesser forms of
historical periodization). Muin Umar membagi bentuk-bentuk dasar historiografi
Islam menjadi lima macam: a. khabar; b. Bentuk analistik; c. Historiografi dinasti; d.
Pembagian thabaqat; dan e. Nasab. Sementara itu, Tarhiniy membagi menjadi lima
bentuk dasar historiografi Islam: a. khabar; b. kronologis; c. tematik; d. sejarah
universal; dan e. sejarah lokal.
a. khabar
Secara etimologis, khabar berarti berita dan pembicaraan yang masih
mengandung kemungkinan benar atau dusta. Khabar adalah tipe sejarah yang
bersifat naratif, yang tidak begitu mementingkan penanggalan kronologis. Jenis
khabar ini termasuk corak historiografi Islam paling tua dalam dunia sejarah yang
berhubungan langsung dengan kisah-kisah peperangan yang diuraikan dengan
sempurna, dan biasanya peristiwa tersebut dituliskan hanya dalam beberapa halaman
saja171. Ciri-ciri jenis khabar adalah antara satu riwayat dengan riwayat lainnya tidak
terjalin hubungan sebab-akibat, setiap khabar sudah melengkapi dirinya sendiri dan
membiarkan cerita itu tanpa dukungan referensi yang lain, riwayat dalam khabar

169
Franz Rosenthal, A History of Muslim Historiography, 2nd Revise (Leiden: E.J.
Brill, 1968), h. 30.
170
Saifuddin,... h. 49.
171
Chase F Robinson, Islamic Historiography (Cambridge: Cambridge University
Press, 2003), h. 24.
57
ditulis dalam bentuk cerita yang biasanya dalam bentuk dialog selain itu jenis
penulisan khabar biasanya disisipin oleh syair yang digunakan sebagai sebagai
pendukung dan penguat isi dari khabar tersebut.
Pada dasarnya para sejarawan yang menggunakan corak khabar hanya
mengumpulkan sumber sejarah melalui periwayatan dan menuliskan melalui sumber
ingatan dan hafalan. Sehingga peran para sejarawan dalam hal ini tidak lebih dari
penyampai riwayat yang menuangkannya dalam tulisan. Dalam historiografi Islam,
bentuk khabar yang masih murni sudah jarang sekali ditemukan. Biasanya bentuk itu
selalu dikombinasikan dengan unsur-unsur lain172. Sejarawan yang menyusun
historiografi Islam bentuk khabar di antaranya adalah al-Mada’niy (w. 215 H) yang
menuliskan sejarah Islam berisi tentang pertempuran perorangan, dan deskripsi
perjuangan perorangan. Selain itu juga ada Abu Mihnaf (w. 157 H) dan Haitsam ibn
‘Adiy (w. 206 H).173
b. kronologis (hauliyyat)
Kronologis adalah bentuk penulisan sejarah dengan menggunakan pendekatan
tahun demi tahun sebagai alur penulisannya. Bentuk kronologis dihimpun dari
berbagai macam peristiwa sejarah pada tiap tahun. Materi dasar yang digunakan
sebagai bahan penulisan sejarah secara krnologis ini pada hakikatnya berasal dari
materi khabar yang belum disusun secara kronologis. Bentuk kronologis ini,
diungkapkan sejumlah pemerhati historiografi Islam mengalami perkembangan
secara lengkap pada masa al-Thabary (w. 310 H). karya monumentalnya yang diberi
judul Tarikh al- Umam wa al-Muluk ditulis menggunakan bentuk kronologis.
Menurut Qureshi, karya tersebut merupakan historiografi Islam pertama yang ditulis
dalam bentuk annalistic (kronologis). Hanya saja, Rosenthal mengatakan bahwa
karya itu bukanlah karya pertama dalam bentuk hauliyyat. Ia mencatat bahwa telah
ada karya sebelumnya yang menggunakan bentuk penulisan hauliyyat yaitu Tarikh
Khalifah ibn Khayyath (w. 240 H) yang masih ada hingga sekarang, Tarikh Ya’qub
ibn Sufyan (w. 277 H) dan Tarikh ibn Abi Haitsamah (w. 279 H). Abdul Ghani
Abdullah meyakini bahwa pelopor historiografi Islam bentuk hauliyyat adalah
Haitsam ibn ‘Adiy yang menulis karya berjudul al-Tharikh ‘ala al-Sinin.174
Rosenthal mengatakan bahwa historiografi Islam berdasarkan tahun ini
ternyata bukan temuan sejati para sejarawan muslim, melainkan diilhami oleh
penulisan sejarah tradisi Yunani dan Suryani. Jika tidak ada pengaruh dari luar,
model penulisan sejarah semacam ini tidak akan muncul di dunia Islam, karena sejak
awal historiografi Islam dicatat sesuai dengan urutan bulan. Pernyataan itu dibantah
oleh ‘Abd al-Aziz Salim yang menegaskan bahwa karya-karya tulis sejarawan
muslim belum dipengaruhi oleh karya Yunani dan Suryani pada saat itu, dan apa
yang dikutip oleh para sejarawan muslim terbatas pada masalah-masalah yang
berhubungan dengan studi filsafat, geografi, matematika, astronomi, kedokteran,
kimia dan obat-obatan. Lebih lanjut, Abd al-Aziz tidak meyakini bahwa penulisan

172
Fred McGraw Donner, Narratives of Islamic Origins: The Beginnings of Islamic
Historical Writing (Studies in Late Antiquity and Early Islam) (Princeton: The Darwin Press,
1998), h. 260.
173
Saifuddin,... h. 50.
174
Saifuddin,... h. 51.
58
sejarah Islam dalam bentuk kronologis mengambil atau meniru karya sejarah
Yunani. Ia menyatakan bahwa sejarah Yunani diketahui muslim melalui Syria
melalui perantara para pemeluk kristen dan karyanya tidak mempunya hubungan
dengan historiografi dalam corak kronologis.
c. Tematik (Maudlu’iyyat)
Bentuk tematik dalam historiografi Islam adalah bentuk penulisan sejarah
berdasarkan tema. Hal itu bisa ditempuh dengan cara memaparkan sejarah dinasti-
dinasti atau periode-periode pemerintahan khalifah dan penguasa, atau memaparkan
biografi-biografi dan thabaqat. Umumnya para ahli historiografi Islam membagi
bentuk ini menjadi tiga macam: historiograsi dinasti, pembagian thabaqat dan
susunan geneologis.
Historiografi dinasti sudah dikenal sejak awal penulisan sejarah Islam.
Menurut Rosenthal yang menulis sejarah dinasti dalam hal ini dinasti abbasiyah
yaitu Muhammad ibn Shalih ibn Mihran ibn al-Naththan (w. 120 H). Namun, Ibn al-
Nashriy, guru ibn al-Nathtah, telah pernah menulis sebuah buku tentang dinasti yang
menjadi sumber bagi ibn al-Naththan. Kemudian, Historiografi Islam berdasarkan
thabaqat dapat ditemukan dalam sejumlah karya sejarawan muslim, seperti Tarikh
al-Islam wa Thabaqat Masyahir al-A’lam karya al-Dzahabiy, Thabaqat al-Kubra
karya al-Sya’raniy, ‘Uyun al-Anba fi Thabaqat al-Athibba’ karya Ibn Abi
Ushaibi’ah, dan lainnya. Adapun historiografi Islam berdasarkan nasab telah
mendapat perhatian yang cukup besar dari bangsa Arab sejak masa pra-Islam dan
terus berlanjut hingga masa Islam175
3. Corak Penulisan Sejarah Islam
a. Penulisan Sejarah Islam Klasik
Penulisan sejarah Islam pada masa klasik dimulai sejak masa Nabi
Muhammad SAW hingga masa keruntuhan dinasti Abbasiyah pada tahun 1258 M.
Adapun kemunculan dan perkembangan historiografi pra-Islam memiliki
pembahasan tersendiri disebabkan kajian sejarah yang relatif ilmiah dan memiliki
banyak bentangan masa dan yang panjang. Permasalahan yang ditemui dalam
bentuk ini adalah persinggungan antara legenda dan tradisi populer Arab pra-Islam
dengan kajian sejarah yang bersifat ilmiah masih memiliki jurang pemisah dan
belum dapat dijelaskan. Salah satu penyebabnya adalah para penulis sejarah pada
masa itu banyak mengikuti pola penulisan seperti penulisan buku raja-raja yang
banyak ditulis oleh sejarawan Persia. Di samping itu penyebab lainnya adalah
muncul dari gabungan beberapa arus komposisi sejarah dan quasi sejarah.176
Secara konseptual, sejarah Islam klasik dibangun oleh para penulis sejarah
muslim yang banyak mengacu kepada format bangsa Arab pra-Islam mengenai
sejarah yang identik dengan peristiwa elitis dan politik. Konsep tersebut
memberikan pengaruh terhadap corak penulisan sejarah Islam yang sarat akan tema
dan pembahasan politik, sehingga corak penulisan sejarah Islam yang bersifat politik

175
Saifuddin,... h. 53.
176
Setia Gumilar, Historiografi Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern, Cetakan I
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2017), h. 136.
59
menjadi suatu hal yang mainstream dalam karya sejarah awal Islam dan di kalangan
sejarawan muslim.
Penggunaan sumber primer dalam penulisan sejarah oleh para penulis sejarah
Islam banyak menggunakan dokumen-dokumen yang terkait politik khususnya oleh
para sejarawan Islam pada masa klasik seperti Ibn Ishaq, al-Wakidi dan Ath-
Thabari. Para sejarawan muslim Islam klasik tersebut banyak dipengaruhi oleh
konsep dan sumber kesejarahan Islam yang berasal dari buku dan dokumen politik.
Pada saat yang sama pula, mereka juga memiliki hubungan yang erat dengan para
penguasa saat itu yakni pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah serta
dipengaruhi oleh pandangan dunia dan aliran mazhabnya.177
Metode periwayatan hadits secara metodologis yang digunakan oleh para
sejarawan muslim pada masa klasik telah memberikan pengaruh besar dalam
kemunculan dan perkembangan historiografi Islam klasik. Namun, tidak lepas dari
persoalan yang mereka tinggalkan disebabkan metode yang digunakan hanya sebatas
pada periwayatan, penukilan dan penyampaian kisah dan peristiwa yang
diriwayatkan oleh para perawi dan pemisah dengan perawi lainnya. Hal itu
menyebabkan kisah yang dihasilkan terbatas pada cerita dan kisah yang hanya
sampai pada sejarawan muslim tersebut. Dengan kata lain, metode periwayatan yang
digunakan pada masa Islam klasik hanya sebatas meminjam lahirnya saja, belum
sampai pada pemaknaan sejarah secara batin yaitu yang berkaitan dengan masalah
hakikat dari peristiwa yang terjadi saat itu.178
Pasca aliran-aliran penulisan sejarah pada masa klasik (aliran Yaman,
Madinah dan Iraq) dilebur dalam suatu karya sejarah Ibn Ishaq, al-Waqidi dan
Muhammad Ibn Sa’ad, muncul para sejarawan besar Islam yang giat dalam
mengumpulkan informasi-informasi sejarah baik berupa lisan maupu tulisan. Di
antara sejarawan besar tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ibnu Qatadah al-Dinawari (w. 276 H/889 M)
Ibn Qatadah al-Dinawari merupakan sejarawan muslim yang masyhur dalam
dunia sejarah. Karyanya yaitu ‘Uyun al-Akhbar merupakan literatur sejarah
umum tertua di dunia. Di samping itu, ia juga menulis karya sejarah yang
berbeda dari karya sebelumnya seperti Thabaqat al-Syu’ara. Jumlah
keseluruhan karyanya adalah sekitar 46 buku. Kristisisme yang ia paparkan
adalah salah satu keistimewaaan atas karya-karyanya. Al-Dinawari tidak
hanya bersikap kritis dalam menulis sejarah dan sumber sejarah, tetapi juga
terhadap pernyataan dan opini yang berkembang di masyarakat. Sumber
penulisan sejarah yang ia gunakan tidak lagi hanya bersumber pada riwayat
lisan melainkan literatur dan dokumen-dokumen kesejarahan lainnya.179
b. al Ya’qubi (w. 284/897 M)
Beliau adalah sejarawan muslim yang juga seorang pengembara, ia hidup di
Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Abbasiyah yaitu khalifah al-

177
Setia Gumilar,... h. 137.
178
McGraw Donner, h. 263.
179
Yatim,... h. 92.
60
Mu’tamid. Al-Ya’qubi telah mengarang beberapa buku, di antaranya kitab al-
Buldan pada tahun 891 di Mesir. Dalam buku itu ia memaparkan geografi
sejarah, menghimpun informasi dari negeri-negeri yang telah ia kunjungi.
Buku itu juga memuat informasi tentang dinasti-dinasti apa saja yang
berkuasa di negeri itu, seperti dinasti at-Tahiriah di Transoksania dan dinasti
Thulun di Mesir. al-Ya’qubi juga telah menulis sebuah kitab sejarah yang
dikenal dengan nama Tarikh al-Ya’qubi (2 jilid). Kitab itu dituliskan secara
kronologis dan tidak begitu mengikuti metode isnad (periwayatan)
sebagaimana yang banyak digunakan oleh para sejarawan muslim
sebelumnya, meskipun begitu ia tetap menyebutkan sumber pengutipan yang
ia ambil.180
c. al-Baladzuri (w. 279/892M)
beliau dikenal juga sebagai sejarawan istana, dikarenakan banyak sumber
sejarah yang ia gunakan berasal dari khalifah pada masa itu. Hubungan al-
Baladzuri dengan khalifah al-Mutawakkil sangatlah dekat. Bahkan pada masa
khalifah setelahnya yaitu al-Mu’tazz, al-Baladzuri diangkat sebagai pendidik
bagi putra khalifah yang bernama Abdullah. Beliau sangat produktif dalam
penulisan buku-buku, di antaranya kitab Futuh al-Buldan yang membahas
tentang sejarah ekspansi Islam ke negeri-negeri di wilayah Timur dan Barat.
Buku tersebut juga menjelaskan mengenai penaklukkan Iraq dan Syria secara
luas, dan sedikit membahas mengenai penaklukkan Andalusia.
Karya sejarahnya tidak hanya memperhatikan faktor kronologi saja,
melainkan faktor geografi negeri yang dimasuki oleh Islam. Metode yang
digunakan olehnya bukanlah secara hauliyat melain secara tematik yaitu
berdasarkan pada wilayah-wilayah atau negeri-negeri. Setiap wilayah yang
dimasuki oleh Islam dijelaskan sampai ke masa hidupnya, dengan tetap
memperhatikan faktor kronologi serta terkadang pula mengkolaborasikannnya
dengan metode isnad. Metode isnad yang ia gunakan terkadang hanya
mencantumkan isnad per-individu saja sebagaimana yang dilakukan oleh ahli
hadits.181
d. Abu Hanifah Al-Dinawari (w. 282 H/895 M)
Karya Abu Hanifah al-Dinawari yang masyhur ialah Kitab al-Akhbar al-
Thiwal. Kitab yang dimulai dengan sejarah anak-anak Nabi Adam alaih salam
hingga Nabi Muhammad dan selanjutnya masuk pada sejarah bangsa Persia
dan bagaimana ekspansi Islam ke negeri Persia tersebut. Penulisan yang ia
gunakan tidak menggunakan metode isnad sebagaimana sejarawan pada
umumnya, ia juga tidak menyebutkan sumber pengambilan informasi sejarah
dan yang dikutipnya. Pada penulisan sejarah khalifah Harun Ar-Rasyid, ia
sedikit menyimpang dari metode penulisan yang digunakannya di dalam buku
ini, yaitu menghimpun peristiwa-peristiwa yang terjadi dan disusunnya
berdasarkan tahun (kronologis).182

180
Yatim,... h. 93.
181
Yatim,... h. 95.
182
Yatim,... h. 97.
61
b. Penulisan Sejarah Islam Abad Pertengahan
Abad pertengahan Islam berlangsung sejak keruntuhan Bani Abbasiyah di
tangan pasukan Mongol pada tahun 1258 hingga masa awal kolonialisme Barat atas
dunia Islam (1800 M). Pada masa itu ditandai juga oleh dominasi lima kerajaan
besar Islam yaitu Turki Ustmani, Safawiyah Persia, Mughal India, Aceh Darussalam
di Melayu dan Mataram Islam di Jawa.183
Penulisan sejarah Islam pada abad pertengahan merupakan ledakan besar
dalam penulisan sejarah Islam baik dari segi bentuk, metode dan materi. Gaya
penulisan sejarah Madinah, Irak dan Yaman telah dilebur menjadi gaya penulisan
sejarah Islam yang baru masa itu184
Salah satu tokoh sejarawan Islam pada abad pertengahan (abad ke-14) adalah
Ibnu Khaldun. Tidak satupun pengalaman hidupnya yang tidak ia tuliskan, termasuk
hal-hal yang tampak buruk di mata orang lain. Kitab yang berisi informasi tentang
beliau adalah kitab al-Ta’rif yang telah menempatkannya sebagai perintis tradisi
baru dalam penulisan autobiografi di dunia Islam. Adapun pembahasan sejarahnya
terdapat dalam kitab Muqaddimah dan Al-‘Ibar yang jauh meluas meliputi sejarah
dunia, tentang seluruh bangsa terkenal yang hidup pada masanya dan masa
sebelumnya.185
Metode yang digunakan dalam penulisan kitab al-‘Ibar dianggap berbeda
dengan kecenderungan para sejarawan umumnya. Hal itu disebabkan banyaknya
penulisan yang ditulis secara kronologis yakni berdasar pada tahun, tempat
kejadiannya. Sedangkan metode yang digunakan oleh Ibn Khaldun lebih teliti, ia
tidak hanya sekedar menggunakan corak kronologis pada umumnya, ia bahkan
melakukan penelusuran sejarah di setiap negara dan dinasti dengan teliti sejak awal
hingga akhir sehingga peristiwa itu lebih mudah dipahami. Ibnu Khaldun
mempunyai kelebihan dalam penyusunan dan penarasian peristiwa-peristiwa secara
gamblang dan teliti dalam menguraikan objek pembahasannya. Sebagaimana yang ia
lakukan dalam dalam kitab Muqaddimah terutama dalam menyangkut kritik sejarah
atau metode pembahasan dan pengkajian atas sejumlah berita yang terdapat dalam
kitab sejarawan sebelumnya, yang menurutnya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
logika, hukum alam dan hukum sosial.186 Karya Ibnu Khaldun merupakan contoh
terbaik dalam penulisan sejarah secara general atau total history pada masa itu dan
pada masa kontemporer dapat dilihat karya sejarawan mazhab Annales, seperti Marc
Bloch, Fernand Brandel, atau Anthony Reid.187
Di samping itu, banyak pula yang mengkritik dan mengomentari terhadap
tulisan Ibnu Khaldun, di antaranya Zainab Al-Khudairi yang menyatakan bahwa

183
Gumilar,... h. 181.
184
Johan Wahyudhi, ‘Membincang Historiografi Islam Abad Pertengahan’, 39–48, h.
43.
185
Gumilar,... h. 197.
186
Gumilar,... h. 234.
187
Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, Dan
Aktor Sejarah, ed. by Idris Thaha, Cetakan I (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002),
h. 69.
62
komposisi dalam penulisan Muqaddimah merupakan tulisan mengenai asas-asas
baru dalam kajian sejarah sosial-masyarakat. Oleh karena itu komposisinya tidak
diwarnai dengan retorika yang berbelit-belit dan merupakan komposisi ilmiah dalam
pengertian luas, yang menekankan pada ketelitian, keringkasan dan kejelasan dalam
mengungkapkan pikiran dan kesinambungan ide-ide di dalamnya.
Tidak sampai di situ saja, penulisan sejarah Islam muncul dengan corak yang
relatif baru sekitar abad ke 12 hingga 15 Masehi yang berbeda dengan kebanyakan
historiografi pada generasi ath-Thabari. Corak historiografi Islam tersebut bergerak
ke arah penulisan yang lebih luas dengan memasukkan aspek-aspek lainnya yang
dianggap penting dan selama ini kurang diperhatikan oleh kebanyakan penulis
sejarah seperti aspek sosial dan ekonomi.188
c. Penulisan Sejarah Islam Abad Modern
Penulisan sejarah Islam pada abad modern ditandai dengan masa penjajahan
kolonialisme Barat terhadap wilayah-wilayah kekuasaan Islam, baik yang dilakukan
secara langsung maupun yang tidak langsung. Masa penjajahan tersebut mulai
terlihat dengan adanya perkenalan budaya Barat ke dalam dunia Islam khususnya
pada segi budaya dan teknologi.189 Di sini lain, akhir abad ke-18 mulai terlihat
tanda-tanda kebangkitan Mesir setelah lama mengalami kemunduran dan
kejumudan. Contohnya ditandai banyaknya para ahli sejarah yang semangat dalam
menuliskan sejarah dan berbagai disiplin ilmu lainnya, di antaranya ialah Abd al-
Rahman al-Jabarti yang disebut sebagai pelopor dan perintis kebangkitan ilmu
sejarah pada abad ke 19.
Historiografi yang ditulis oleh al-Jabarti merupakan kolaborasi antara biografi
(terjemahan) dengan kronikel (khabar). Gaya penulisan biografi dan kronikel telah
populer di kalangan sejarawan muslim sejak awal Islam. Akan tetapi kolaborasi
antara kedua gaya penulisan secara bersamaan merupakan sebuah inovasi yang
dilakukan oleh al-Jabarti. Ketertarikannya dalam dunia historiografi muncul sejak
tahun 1776 M, yang mana ia terinspirasi oleh al-Murtadha (w. 1791 M) yakni
gurunya sendiri dan al-Jabarti diminta untuk mengumpulkan bahan-bahan dan
informasi sejarah guna penulisan kumpulan biografi yang saat itu disponsori oleh
sejarawan Syria, al-Muradi (w. 1791). Pasca kematian keduanya, al-Jabarti terus
melanjutkan dan mengembangkan penulisan sejarahnya secara mandiri hingga
akhirnya lahir sebuah karya yang berjudul Ajaib al-Atsar fi al-Tarajim wa al-
Akhbar.190
Al-Jabarti merupakan seorang historiografer yang unggul dibandingkan
sejarawan lainnya pada masa Turki Utsmani. Hal itu dikarenakan tulisan yang ia
berikan memberikan gambaran sempuran tentang masyarakat Mesir pada saat itu
dan berusaha untuk meneliti secara kritis terhadap peristiwa yang ia tuliskan. Al-
Jabarti menegaskan bahwa penulisan sejarah yang ia lakukan adalah murni atas
ketertarikannya dalam dunia sejarah bukan atas perintah atau permintaan penguasa

188
Azra,... h. 48-49.
189
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, ed. by Lihhiati, Cet. I (Jakarta:
Amzah, 2009), h. 5.
190
Fajrudin,... h. 130.
63
saat itu. Justru dalam tulisannya ia sangat kritis terhadap penguasa. Metode yang
digunakan olehnya masih menggunakan corak hauliyat sebagai yang banyak
digunakan sejarawan sebelumnya. Penulisan yang dilakukan secara kronologis
memang menggunakan pendekatan tematik, akan tetapi tema-tema yang ia
tampilkan tidak lebih dari sekedar corak penulisan khabar dikarenakan tidak adanya
korelasi antara tema yang satu dengan lainnya. Gerakan kebangkitan penulisan itu
sempat terputus sejak masa penjajahan Napoleon terhadap Mesir pada tahun 1798-
1802 M.191
Pasca penjajahan Prancis atas Mesir, Muhammad Ali Pasha mulai kembali
membangkitkan semangat pembangunan Mesir dengan banyak mengambil unsur-
unsur Barat. Pasha juga menggalakkan semangat penerjemahan kitab-kitab. Pada
awal paruh abad ke 19 muncul dua orang tokoh yaitu Rifa’ah al-Thahthawi dan Ali
Mubarak yang menjadi pelopor penulisan sejarah pasca al-Jabarti. Penulisan sejarah
yang ditulis mereka banyak dipengaruhi oleh literatur dan pengetahuan terhadap
kebudayaan Perancis. Referensi yang digunakan ialah buku-buku sejarah pada masa
klasik dan pertengahan serta menggunakan referensi Barat modern.
Tulisan-tulisan yang mereka hasilkan semakin disempurkan melalui penelitian
arkeologi dan sejarah. Hal itu tentu berbeda dengan penulisan sejarah masa
sebelumnya yang hanya sedikit menampilkan kritik, analisis dan perbandingan
sejarah. Penulisan sejarah yang dilakukan pada abad ke 19 ini banyak dipengaruhi
oleh metode pengetahuan baru dengan banyak mencampurkan aspek sejarah Eropa.
Di samping itu, mereka juga berusaha untuk mengkritisi, menganalisis dan
membandingan serta memberikan pandangan mereka dalam tulisan tersebut.192
The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization
merupakan sebuah karya tulis oleh Marshall G. S. Hodgson, guru besar University
of Chicago. Buku tersebut merupakan salah satu contoh penulisan yang sangat baik
mengenai historiografi Islam tepatnya sejarah kaum muslimin setelah Perang Dunia
II. Sebagaimana karya yang ditulis Ibnu Khaldun pada masanya, tulisan Hudgson
juga memakai civilization approach untuk menggambarkan secara utuh tentang
sejarah masyarakat muslim saat itu. Melalui pendekatan itu pula, ia bergerak dalam
analisis tekstual yang biasa disebut orientalisme meskipun belum bisa menandingi
penulisan sejarah Ibnu Khaldun yang bergerak dalam sebuah analisis yang lebih
luas.193
Selain Hudgson, sejarawan Barat yang ikut berkontribusi dalam historiografi
Islam adalah Ira M. Lapidus, seorang guru besar sejarah University di California Los
Angeles, dalam karyanya A History of Islamic Society yang dapat dikatakan sebagai
karya pertamanya yang paling lengkap disebabkan karena secara substantif,
pembahasan yang ditulis mencakup dari Islam kontemporer pada 1980-an. Sebagai
perbandingan, karya sejarawan lainnya yang terhenti hanya pada masa Dinasti
Abbasiyah, atau paling jauh pada masa tiga kerajaan besar Islam. Penulisan sejarah

191
Fajrudin,... h. 82.
192
Fajrudin,... h. 124.
193
Azra,... h. 68.
64
yang dilakukan Lapidus juga berbeda dari kebanyakan sejarawan lainnya, ia
menuliskan sejarah masyarakat Islam dalam perspektif sejarah sosial.194
4. Problematika Penulisan Sejarah Islam
a. Kritik Terhadap Penggunaan Metode Penulisan Sejarah
Metode penulisan sejarah yang banyak menuai kritik penggunaannya adalah
metode hauliyat atau kronologis. Hal itu disinyalir bahwa corak itu banyak memiliki
kelemahan melalui pemutusan kontinuitas sejarah panjang yang saling berhubungan
dan berkelanjutan satu sama lain dalam beberapa tahun. Para sejarawan yang
menggunakan metode tersebut tidak memberika gambaran peristiwa sejarah kecuali
yang terjadi pada tahun itu, hal itu tentu membuat terpisahnya informasi dan
peristiwa sejarah. Imam Ath-Thabari merupakan salah satu historiografer yang
menggunakan jenis penulisan sejarah kronologis. Umumnya, penulisan ini
memaparkan narasi historis dengan gerakan berbicara bebas sepanjang sumbu
temporal195.
Sejarawan besar yakni Ali ibn Muhammad ibn Abd al-Karim ibn Abd al-
Walid al-Syaybani atau dikenal dengan Ibn al-Atsir, telah mengkritik historiografi
semacam ini yang ia jelaskan pada pendahuluan karyanya yaitu al-Kamil fi al-
Tarikh. Ibn al-Atsir mengkritik penggunaan corak penulisan terhadap satu peristiwa
yang ditulis dalam beberapa tahun sedangkan menggambarkan beberapa tahun
dalam satu tahun tertentu saja. Padahal sebuah peristiwa yang terputus tentu tidak
akan memperoleh hasil yang dibutuhkan dan sulit dipahami kecuali setelah
menelaah lebih jauh dan serius. Di samping itu, penulis besar Syihab al-Din Ahmad
ibn ‘Abd al-Wahhab al-Nuwayri juga mengkritisi corak historiografi hauliyat ini.196
Seorang sejarawan muslim yang ingin menulis ulang sejarah Islam harus
memanfaatkan seluruh metode yang pernah digunakan penulis sebelumnya di masa
klasik sampai kontemporer, termasuk juga yang ada di Barat. Sebab, baik positif
ataupun negatif, metode tersebut telah mempengaruhi bangsa-bangsa Timur. Akan
tetapi, dia harus melihat metode tersebut dengan pandangan objektif dan netral.
Tidak memusuhinya sebelum mempelajarinya terlebih dahulu, serta tidak
menjadikannya sebagai sebuah hal aksiomatik.
Jika dalam metode tersebut terdapat hal positif yang bisa membantu penulisan
ulang sejarah Islam, kita dapat memanfaatkan itu. Terutama, hal yang berkaitan
dengan penggunaan alat-alat ilmiah yang dihasilkan oleh ilmu-ilmu sosial dan
humaniora. Baik berupa data, observasi, analogi, analisa, komparasi, dan lain-lain.
Metode-metode tersebut tidak mungkin ditolak oleh akal. Namun, jika ada hal yang
bertentangan dengan nilai-nilai aksiomatik agama dan pemikiran Islam, maka kita
tidak boleh menerimanya. Karena, tidak ada yang mewajibkan umat Islam untuk
mengambil hal yang tidak bermanfaat atau bertentangan dengan dasar-dasar
identitas akidah, tradisi, dan peradaban Islam. Lebih lanjut, kita pun perlu berhati-

194
Azra,... h. 67.
195
Boaz Shoshan, Poetics of Islamic Historiography, ed. by Wadad Kadi and Rotraud
Wielandt, Vol. 53 (Leiden: Brill, 2004), h. 61.
196
Badri Yatim, Historiografi Islam, Cetakan I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
h. 107.
65
hati terhadap upaya pendistorian sejarah Islam demi kepentingan falsafah atau tradisi
bangsa lain yang sering dilakukan dengan alasan bacaan modern.197
b. Pandangan Komprehensif Terhadap Sejarah
Keharusan memandang sejarah Islam secara komprehensif perlu dilakukan
dalam penulisan sejarah Islam. Hal itu dikarenakan apabila pandangan sejarah hanya
dilihat dari satu atau beberapa bagian saja yang tidak objektif dan proposional, maka
bisa berpengaruh terhadap hasil tulisan sejarah tersebut. Misalnya, tidak hanya
melihat dari aspek militer, politik, dan para raja saja sebagaimana yang sering ditulis
dalam buku-buku sejarah masa silam. Hal itu akan menyimpulkan suatu kondisi
yang menyeramkan tentang sejarah Islam. Sebagaimana yang diungkapkan Peter
Burke bahwa paradigma sejarah masa lalu selalu diselimuti oleh esensi politik.198
Penulisan sejarah perlu melihat sejarah Islam yang meliputi seluruh
masyarakat dan kehidupan yang ada. Sehingga, dia bisa menulis sejarah untuk
masyarakat sebagaimana ia menulis sejarah untuk para penguasa. Juga bisa menulis
sejarah untuk para ulama dan orang salih. Perlu perhatian terhadap kelas masyarakat
seperti petani, pedagang, dan sebagainya.199 Dengan cakupan luasnya wawasan
terhadap perkembangan sejarah Islam yang utuh dan komprehensif kontinuitas sejak
awal kemunculannya hingga saat ini.
c. Subjektifitas dan Objektifitas dalam Historiografi Islam
Penulisan sejarah adalah proses pengkisahan peristiwa-peristiwa pada masa
lalu. Peristiwa sejarah adalah jelas sebagai kenyataan yang subjektif karena setiap
generasi dapat memberikan pandangannya terhadap peristiwa yang ia lihat sehingga
menyebabkan interpretasi subjektif bagi masing-masing individu. Perbedaan
pandangan yang pada awalnya objektif dan absolut dapat menjadi suatu kenyataan
yang relatif. Contohnya perang pada masa Nabi Muhammad SAW adalah peristiwa
yang telah lampau dan pelaku dalam perang itu juga sudah tiada, akan tetapi penulis
sejarah dapat memberikan penafsiran dan paradigma tertentu terhadap perang itu
seperti perang di jalan Allah, ekspansi Islam, pola dakwah dan lain sebagainya.
Relativisme historis yang dianut oleh sejarawan akan berpengaruh pada sikap
netral dalam mengkaji dan menulis sejarah. Hal itu disebabkan karena pengetahuan
sejarah pada dasarnya banyak mengalihkan falta-fakta kepada bahasa lain atau
memberikan bentuk dan corak dan kategori khusus. Proses pemilihan unsur tertentu
mengenai perjuangan tokoh seperti yang dilakukan dalam penulisan biografi dengan
mendekatkan diri pada interpretasi historis atas peristiwa-peristiwa yang
dikehendakinya dan disusun dalam kisah yang baru. Kecenderungan subjektifitas itu
akan selalu mewarnai corak penulisan sejarah lainnya, seperti sejarah politik, sosial,
budaya dan lainnya.
Kerangka pengungkapan atas peristiwa sejarah pada umumnya dapat
ditentukan oleh sejarawan, sedangkan kejadian sejarah sebagai sebuah peristiwa
aktual juga ditentukan dan dikonstruksikan menurut penulis sejarah tersebut.

197
Al-Qardhawi,... h. 315.
198
New Perspective on Historical Writing, ed. by Peter Burke, 2nd edn (United State
of America: The Pennsylvania State Univesity Press, 2001), h. 3.
199
Al-Qardhawi,... h. 316.
66
Ibnu Khaldun (1332-1406) menjelaskan tujuh alasan praktis yang
menyebabkan subjektifitas para sejarawan yaitu sikap keberpihakan sejarawan
kepada mazhab tertentu, sejarawan terlalu percaya kepada penukil informasi sejarah,
sejarawan gagal dalam menangkap maksud dari apa yang ia lihat dan dengar,
sejarawan memberikan asumsi tanpa sumber valid, ketidaktahuan sejarawan dalam
mencocokkan keadaan dengan peristiwa yang sebenarnya, hubungan sejarawan
dengan penguasa atau semisalnya, ketidaktahuan sejarawan terhadap watak dari
kondisi yang muncul dalam peradaban.200
Ketujuh faktor tersebut dapat memengaruhi sejarawan yang satu dengan yang
selanjutnya dalam menulis sebuah sejarah. F.R Ankersmit memberi alasan induksi
bahwa setiap telaah historis selalu bersifat subjektif. Alasan itu juga tampak pada
tataran relativisme terutama disebabkan kepribadian seorang sejawaran dalam
memberikan penilaia dan sifat kebahasaan yang ia gunakan. Seperti halnya
penalaran seorang sejarawan yang menganut paham Marxis akan berbeda dengan
seorang sejarawan idealis. Sejarawan idealis memandang kenyataan historis
merupakan hasil dari budi manusia, sedangkan paham Marxis memandang bahwa
pengetahuan seorang sejarawan bersumber dari pergaulannya dengan kenyataan
yang terjadi, sehingga subjektifitas bagi dua paham tersebut tidak dapat dielakkan.201
Pada dasarnya, penulisan sejarah tidaklah seluruhnya bersifat relatif
dikarenakan karya sejarah dapat diperoleh melalui sumber-sumber absolut yang
tidak diragukan lagi kesahihannya. Kecenderungan pribadi sejarawan merupakan
pangkal terjadinya subjektivitas. Menurut Walsh bahwa sebenarnya tidak selalu
menjadi penghalang bagi objektivitas karena sejarawan pun mengetahui perasaan
subjektif yang ada pada dirinya dan dia akan selalu berusaha untuk menghindari itu
dan berhati-hati agar tidak masuk ke dalam subjektivitas tersebut. Dengan demikian
para sejarawan bisa saja menulis sejarah hanya menyoroti latar belakang sosial,
budaya atau ekonomi saja. Kajian-kajian berdasarkan pendekatan yang berbeda itu
akan saling melengkapi sehingga pada gilirannya bisa tercapai objektivitas. 202
Bagaimanapun upaya sejarawan untuk menegakkan segi-segi objektivitas itu
hanyalah tampak di dalam perlawanannya terhadap alasan-alasan subjektivitas. Oleh
karena itu, jalan tengah yang perlu ditempuh seorang penulis sejarah (Islam) adalah
senantiasa mengutamakan realitas, bersikap jujur atas kecenderungan pribadinya,
dan jelas pendekatan yang dipergunakannya. Khusus mengenai pendekatan di dalam
penulisan sejarah akhir-akhir ini para sejarawan modern menganjurkan adanya
berbagai pendekatan, terutama pada ilmu-ilmu sosial.203
Martin Bunzl dalam karyanya Reflection on Historical Practice melakukan
upaya sintesis terhadap perdebatan mengenai objektivitas di kalangan sejarawan dan
argumen filosofis terbaru tentang realisme. Praktik sejarah dalam kaitannya dengan
filsafat sejarah terdiri atas dua dunia, yaitu filsafat dan sejarawan. Bunzl
mengungkapkan bahwa para pakar dalam dunia yang berbeda jarang bekerja sama.

200
Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah Islam (Yogyakarta: Ombak,
2011), h. 4-6.
201
Abdurahman,... h. 6.
202
Abdurahman,... h. 8.
203
Abdurahman,... h. 9.
67
Padahal kepentingannya tumpah tindih. Perdebatan ini seputar penyebutan istilah
yang berbeda pada kalangan filosofis dan kalangan sejarawan. Kalangan filosofis
menyebutnya realisme, sedangkan sejarawan menyebutnya objektivitas. Dua
perbedaan ini disintesiskan oleh Bunzl dengan merumuskan model filsafat sejarah,
yaitu objektivitas dan realisme dalam sinar baru.
Mengenai objektivitas ini ada dua aliran, yaitu objektivitas yang berkeyakinan
bahwa kebenaran objektif bisa dicapai dengan penjelasan sejarah. Aliran kedua
menyadari bahwa kemungkinan semacam itu tidak pernah ada. Aliran ini biasa
disebut aliran relativis.
Mewakili kaum objektivis, Von Ranke mengatakan bahwa past as it actually
happened. Menurutnya, sejarah bisa objektif selama dipakai penelitian yang benar.
Sebaliknya, kaum relativis berkeyakinan bahwa sejarah selalu relatif. Mewakili
aliran ini, Charles Beard memerinci bahwa sejarawan tidak bisa meneliti subject
matter-nya, seperti ahli kimia. Sejarah sangat bergantung pada dokumen, sedangkan
dokumen bersifat fragmentaris (rekaman sejarah parsial sifatnya). Oleh karena itu,
sejarawan harus membuat suatu struktur sehingga tidak ada pemikiran yang netral.
Pendapat ini menjadi lebih lengkap berkat dukungan Carl Becker yang mengatakan
bahwa setiap orang adalah sejarawan bagi dirinya sendiri. Kaum relativis sangat
berkeberatan dengan sejarah teknis ini karena adanya pendapat bahwa sejarah
hampir selalu terlibat dengan pertimbangan moral, misalnya dalam mendeskripsikan
peristiwa, seperti kekejaman militer/perang, penderitaan, kemiskinan, konflik
agama, selera seni, dan sebagainya.204
Menurut Taufik Abdullah bahwa ada sebuah prasangka yang kasar terhadap
pengetahuan subjetif sebagai sesuatu yang lebih rendah dari pengetahuan objektif, di
mana kata subjektif diartikan sebagai suatu yang berdasarkan pertimbangan pribadi.
Akan tetapi pengetahuan sejarah dapat dilakukan melalui proses penyelidikan yang
tidak memihak dan bebas mengenai gambaram, proses, konsep dan proses mental
yang berbeda satu atau dua langkah dari realitas objektif. Meskipun, sikap objektif
mungkin lebih sulit memperoleh data semacam itu, dan karenanya hasil tulisan itu
akan mungkin dibantah, tetapi data dan kesimpulan semacam itu, jika benar, tidak
dengan sendirinya lebih rendah daripada pengetahuan yang lainnya.205
d. Penulisan Ulang Sejarah Islam
Penulisan ulang sejarah masih terus berjalan hingga saat ini dengan metode
dan corak yang bermacam-macam. Hal itu penting juga untuk menjaga eksistensi
karya sejarah Islam. Namun, penulisan ulang sejarah Islam juga bisa menjadi jalan
licin yang berbahaya dikarenakan setiap golongan dengan pahamnya masing-masing
akan menuliskan sejarah melalui jalan pemikiran yang dipahaminya. Asumsi tanpa
data dan informasi yang valid tentu akan membuat sebuah penulisan yang
membahayakan bagi sebuah peradaban. Sekularisme liberal dengan ideologinya
akan menulis sejarah sesuai dengan falsafah individualisem-kapitalismenya.
Begitupula Marxisme dan materialisme. Bahkan dalam sirah nabawiyyah, hal itu

204
Setia Gumilar, Historiografi Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern, Cetakan I
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2017), h. 88.
205
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, ed. by Nugroho Notosusanto, Terjemahan
(Universitas Indonesia Press, 2008), h. 34.
68
bisa menyebabkan pandangan terhadap sahabat dalam sebuah pertentangan yang
mengada-ada antara.
Adapun bagi bangsa yang memiliki kekuatan besar di dunia ingin menjadi
wakil dalam menentukan masa depan umat Islam. Masuk ke dalam sejarah umat dan
memberikan gambaran dan merubah sesuai dengan keinginan mereka. Sehingga
tidak aneh jika banyak sejarah Islam yang ingin dibumi hanguskan oleh mereka.
Penulisan sejarah semacam ini jauh dari kata manfaat bahkan hanya menimbulkan
suatu kemudharatan yang lebih besar. Dengan demikian kita perlu menulis ulang
dari awal tentang sejarah itu dari apa yang telah ditulis oleh mereka.206
Kuntowijoyo menyatakan bahwa perlu adanya subjek pendidikan sejarah, baik
dari segi substansi, metode dan cara untuk menulis sejarah itu. Hal itu menjadi
penting mengingat perkembangan historiografi muslim saat ini banyak dibayang-
bayangi oleh historiografi bangsa Barat, sementara mereka saat ini terus melakukan
upaya melihat dan menulis sejarah kaum muslim, dan umat muslim sendiri jarang
menyadari untuk hal itu, sehingga banyak timbul historiografi yang barat-oriented.207
e. Kelemahan Verifikasi
Verifikasi dalam penulisan sejarah juga memiliki urgensi yang vital. Bagi
penulis sejarah diharuskan mencari tahu tentang kebenaran para perawi, tingkat
keadilan mereka dan halafan yang mereka punya. Hal itu bisa dijadikan cara tepat
dalam menuliskan sejarah. Seorang perawi yang menganut mazhab tertentu akan
menyebarkan fanatismenya, dan berpengaruh terhadap hadits-hadits yang
diriwayatkannya. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah perawi yang dianggap
dusta dan sering melakukan suatu kesalahan, tidak tsiqah dan lainnya sebagainya.
Perawi semacam itu banyak menyebabkan keraguan terhadap kevaliditas sebuah
sumber. Dalam hal ini, perlunya menggunakan metode yang seperti yang dilakukan
oleh para ahli hadits yaitu dengan metode al-jarh wa ta’dil untuk menjaga kevalidan
data sejarah yang dilihat dari sanad dan matan208. Meskipun hal itu sering ditolak
dan tidak dipakai oleh para sejarawan.
Dalam sebuah seminar internasional untuk Sunnah dan sirah yang
diselenggarakan di Qatar pada awal abad kelima belas Hijriyah, beberapa peserta
bertanya kepada al-Qardhawi, jika dalam penulisan sejarah itu dilakukan dengan
menggunakan metode seperti metode para muhadditsin, maka tidak akan ditemui
sejarah yang dapat dijadikan sebuah sumber. Al-Qardhawi menjawab bahwa
minimal kita harus menggunakan metode tersebut terhadap peristiwa atau kejadian
yang sering menjadi perdebatan besar di antara kalangan sejarawan atau kelompok
lainnya. Dengan begitu, kita bisa menjadikannya sebagai argumen dalam
menghadapi para penentang yang menuliskan sejarah secara keliru.
f. Orientalisme dan Penulisan Sejarah Islam

206
Al-Qardhawi,... h. 284.
207
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, ed. by AE Priyono
(Bandung: PT. Mizan Pustaka, 1991), h. 594.
208
Bhat,... h. 6.
69
Problematika yang dihadapi para penulis sejarah Islam dari kalangan sarjana
Barat adalah kesulitan dikarenakan tidak memiliki ilmu-ilmu bantu yang memadai
dalam menuliskan sejarah Islam. Hal itu menyebabkan penelitian yang dilakukan
oleh para sarjana Barat banyak menggunakan pendekatan filologi yang sulit. Para
sejarawan Barat banyak yang enggan mempelajari bahasa Timur karena memerlukan
kesungguhan dan waktu lama, sehingga sumber-sumber sejarah dari Timur banyak
disalahpahami dan interpretasi yang keliru dan mereka lebih memilih untuk
mengambil hasil terjemahan dari para orientalis yang tidak bisa diyakini
sepenuhnya.209
Bernard Lewis, seorang sarjana Barat terkemuka, mengungkapkan bahwa
banyak sejarah Arab yang ditulis di Eropa oleh para ahli sejarah yang tidak
memahami dan menguasai bahasa Arab. Sedangkan para penulis sejarah yang
menguasai bahasa Arab tidak pula memiliki keahlian dalam bidang sejarah sehingga
banyak kritik yang lontarkan tetapi tidak seluruhnya benar. Kajian sejarah dan kajian
ketimuran di banyak Universitas Timur dan Barat memisahkan dua disiplin itu,
pengajar yang berbeda serta metode yang digunakan berbeda pula.
Para orientalis sebagaimana yang dikatakan oleh Bernard Lewis, banyak
menggunakan filologi dalam menganalisis suatu sejarah dan untuk ilmu filsafat,
seni, sosiologi, kesusasteraan dan ekonomi untuk menghindari kesalahan dalam
penulisan. Sedangkan penyajian uraian berdasarkan teori sejarah yang diberikan oleh
para ahli sejarah telah banyak menggambarkan sejarah Islam di Spanyol tanpa
menguasai bahasa Arab, pembahasan masalah Timur tanpa menguasai bahasa Turki
dan juga menjelaskan tentang kemajuan penduduk yang dilakukan oleh orang Eropa
tanpa menguasai bahasa rakyat setempat.210
Kritik dari Muhammad Quthub terhadap cara penulisan sejarah yang
dilakukan para orientalis juga disampaikan lewat karyanya Kaifa Naktub At-Tarikh
Al-Islami, dia menjelaskan bahwa motif beragam dari para orientalis untuk berusaha
mendistorsi sejarah Islam secara keseluruhan. Mereka berusaha membunuh fakta
sejarah kegemilangan dan kebanggaan Islam, karena sejarah masa itu merupakan
fakta tentang kemuliaan umat Islam.211
g. Distorsi dalam Penulisan Sejarah Islam
Seringkali kita menemukan data tulisan sejarah yang keliru dan tidak sesuai
dengan sumber sejarah. Distorsi penulisan sejarah banyak ditemukan pada penulisan
sejarah yang berorinetasi pada politik, khususnya masa-masa sahabat, kekhalifahan,
dinasti-dinasti dan sebagainya. Hal itu dimungkinkan karena penulisan sejarah
banyak dilakukan oleh penulis yang tidak selayaknya menuliskan sejarah Islam
dengan benar atau telah dipengaruhi oleh hegemoni orientalisme. Di samping itu,
adanya celah dalam menulis sejarah yang tidak diatasi dengan serius, sehingga
sejarah Islam mengalami perdebatan kontroversial. Distorsi sejarah telah membuat

209
A. Umar Muin, Historiografi Islam, Cetakan I (Jakarta: CV. Rajawali, 1988), h.
131.
210
Orientalism and History, ed. by Denis Sinor (Cambridge: W. Heffer and Sons
LTD, 1954), h. 16.
211
Al-Qardhawi,... h. 304.
70
kesempatan kepada musuh-musuh Islam untuk melakukan pengklaiman atau
pengubahan fakta sejarah Islam.212
Menurut Ibnu Khaldun yang dikutip oleh al-Qardhawi bahwa ada empat
alasan penting yang mengharuskan para sejarawan Islam bertanggungjawab terhadap
pendistorsian yang terjadi dalam penulisan sejarah. 213
Pertama: selalu mempermudah periwayatan hadits tentang fitnah antarsahabat
Tidak sedikit para sejarawan Islam yang selalu menganggap suatu
periwayatan hadits sebagai suatu yang sepele, khususny terkait dengan fitnah
antarsahabat dan bani Umayyah. Para penulis sejarah tidak pernah meneliti secara
kritis mengenai riwayat dan sanad hadits dengan menggunakan ilmu al-jarh wa at-
ta’dil sebagaimana yang banyak dilakukan para ahli fikih dalam mencari sebuah
hukum. Seperti Imam Ath-Thabari yang mana ia tidak melakukan hal yang sama
dalam kitab sejarahnya Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk, dan mengambil para perawi
yang dipandang lemah dan tidak pernah dikuatkan oleh para imam al-jarh wa at-
ta’dil. Pada saat menulis sejarah, Ath-Thabari menggunakan metode pengumpulan
dan perekaman tanpa melakukan selektifitas serta klarifikasi terhadap sumber-
sumber peristiwa. Hal itu dilakukannya karena dia tidak ingin terlewatkan dari
satupun sumber berita, meskipun kurang memenuhi syarat.
Kedua: para sejarawan yang kagum terhadap hal-hal irrasional dan lemahnya
nalar kritis terhadap hal itu.
Banyak para sejarawan yang menuliskan terlalu berlebihan dalam penyebutan
angka, jumlah dan kadar yang tidak mungkin bisa diterima akal kecual akal tersebut
diberikan sebagai dispensasi. Alasan itu terjadi karena lemahnya rasa kritis, dan akal
kritis tentunya tidak akan mengambil pendapat lemah dan segal hal yang diterianya
dengan tanpa diteliti terlebih dahulu. Ulama hadits menyatakan bahwa banyak hadits
maudhu’ yang memiliki makna matan yang terlalu berlebihan dan tidak masuk akal
dalam hal janji dan ancaman. Hal itu seharusnya diperhatikan oleh para sejarawan
untuk menghindari suatu peristiwa sejarah yang tidak benar. Seperti halnya nukilan
oleh Ibnu Khallikan tentang biaya pernikahan Bauran binti al-Hasan bin Sahl dengan
Khalifah al-Makmun. Dalam nukilan tersebut, disebutkan kejadian dan angka yang
tidak masuk akal.
Ketiga: Mereduksi sejarah menjadi sejarah penguasa saja
Permasalahan berikutnya dalam penulisan sejarah terbatas pada politik dan
penguasa yang membatasi ruang sejarah masyarakat dan lainnya. Padahal golongan
lainnya mempunyai tempat yang luas dan penting dalam sejarah. Sejarawan besar
muslim al-Hafidz Syamsuddin Adz-Dzahabi dalam I’lan at-Taubikh li Man Dzamma
Ahl At-Tarikh, telah membuat pembagian sejarah yang mencapai 40 sejarah dari
seluruh kelas masyarakat. Namun demikian, para sejarawan hanya mengambil tema
besar dalam penulisan sejarah Islam yakni sejarah para raja, menteri, dan para
penguasa.

212
Luthfi Romdhon and Andri Permana, ‘Distorsi Sejarah Islam Pada Masa Al-
Khulafa Ar-Rasyidun Dan Daulah Umayyah (Tinjauan Kritis Buku Ajar Sejarah Kebudayaan
Islam Madrasah Aliyah)’, Profetika: Jurnal Studi Islam, 17.02 (2016), 59–71, h. 69.
213
Al-Qardhawi,... h. 304.
71
Keempat: melupakan kegemilan sejarah Islam
Tidak adanya penitikberatan kepada sisi kegemilangan yang ada dalam
sejarah Islam juga menjadi problematika dalam penulisan sejarah. Hal itu
dikarenakan titik tekan yang dibuat berpusat pada sejarah politik yang lebih banyak
daripada sejarah reformasi dan pembaruan, serta perhatian terhadap sejarah khalifah
dan penguasa lebih banyak daripada kepada sejarah lainnya, baik itu ulama,
pendidik, masyarakat, dan sebagainya.
C. Penutup
Penulisan sejarah atau historiografi telah menduduki tempat yang sangat
penting dalam disiplin ilmu sejarah. Sejarah dari penulisan sejarah berkisar dari
perkembangan dan pertumbuhan dari ukuran penting dalam seleksi faktor dan tanpa
batas dalam usaha menerangkan fakta-fakta. Sesuatu dapat dianggap sebagai sebuah
peristiwa sejarah atau tidak adalah tergantung pada wawasan sejarawan yang
berkembang dari masa ke masa berikutnya. Sejarah merupakan proses interaksi yang
berkesinambungan antara sejarawan dan fakta yang dimiliki olehnya sehingga fakta
dan interpretasi baru akan selalu muncul dan senantiasa berkembang, tidak heran
jika banyak sejarawan antara satu dengan lainnya memiliki pandangan berbeda
terhadap suatu sejarah.
Seorang sejarawan juga harus jujur dalam menulis sejarah dan tidak boleh
terpengaruh oleh sentiment golongan, ideologi, afiliasi politik dan sebagainya.
Sejarawan yang baik harus netral agar dapat mengungkapkan fakta apa adanya. Dan
hal ini merupakan tantangan terberat yang dihadapi oleh seorang sejarawan.
Permasalahan kontroversi tidak pernah lepas dari penulisan sejarah, problematika
penulisan sejarah masih terus berjalan hingga hari ini.
Keterlibatan para sejarawan dalam menetukan arah dan corak penulisan
sejarah terdapat kepentingan besar di dalam studi sejarah dan orientasinya. Tidak
heran jika historiografi Islam saat ini masih terus dikaji dan digunakan oleh para
penulis sejarah. Fenomena tersebut dapat membuktikan bahwa tugas seorang
sejarawan tidaklah mudah, karena seorang sejarawan bukanlah sekedar penyusun
cerita-cerita klasik dan kontemporer atau peristiwa-peristiwa politik, tetapi seorang
sejarawan adalah seorang penulis sejarah yang berusaha merekontruksi peristiwa
yang terjadi pada masa lampau dengan cara melakukan penelitian, penulisan dan
pembuktian.
Al-Qardawi berpendapat bahwa penulis perlu mengetahui cara yang
digunakan oleh para sejarawan Islam pertama dalam menulis sejarah Islam,
mengetahui kelemahan cara tersebut, dan referensi-referensi yang bisa dijadikan
rujukan oleh sejarah (bukan hanya rujukan umum saja). Dia perlu meneliti kejadian-
kejadian sensitif dari riwayat-riwayat yang dibesar-besarkan atau cerita yang
menyesatkan. Terutama kejadian pada zaman fitnah dan ketegangan. Dengan
demikian, problematika dalam penulisan sejarah Islam perlu untuk diatasi secara
serius untuk menghasilkan kajian sejarah yang baik.

72
REFERENSI
Abdullah, Taufik, Nasionalisme Dan Sejarah, ed. by Nina H Lubis, 1st edn
(Bandung: Satya Historika, 2001)
Abdurahman, Dudung, Metodologi Penelitian Sejarah Islam (Yogyakarta: Ombak,
2011)
Al-Qardhawi, Yusuf, Distorsi Sejarah Islam, ed. by Abduh Zulfidar Akaha, Cet. I
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005)
Amin, Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, ed. by Lihhiati, Cet. I (Jakarta:
Amzah, 2009)
Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, Dan Aktor
Sejarah, ed. by Idris Thaha, Cetakan I (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2002)
Bhat, Samee-Ullah, Islamic Historiography: Nature and Development (India:
Educreation Publishing, 2019)
Burke, Peter, ed., New Perspective on Historical Writing, 2nd edn (United State of
America: The Pennsylvania State Univesity Press, 2001)
Emalia, Imas, Historiografi Indonesia, 1st edn (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2006)
Fajrudin, Historiografi Islam: Konsepsi Dan Asas Epistemologi Ilmu Sejarah Dalam
Islam, 1st edn (Jakarta: Prenadamedia Group, 2018)
Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, ed. by Nugroho Notosusanto, Terjemahan
(Universitas Indonesia Press, 2008)
Gumilar, Setia, Historiografi Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern, Cetakan I
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2017)
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, ed. by AE Priyono
(Bandung: PT. Mizan Pustaka, 1991)
McGraw Donner, Fred, Narratives of Islamic Origins: The Beginnings of Islamic
Historical Writing (Studies in Late Antiquity and Early Islam) (Princeton: The
Darwin Press, 1998)
Muin, A. Umar, Historiografi Islam, Cetakan I (Jakarta: CV. Rajawali, 1988)
Robinson, Chase F, Islamic Historiography (Cambridge: Cambridge University
Press, 2003)
Romdhon, Luthfi, and Andri Permana, ‘Distorsi Sejarah Islam Pada Masa Al-
Khulafa Ar-Rasyidun Dan Daulah Umayyah (Tinjauan Kritis Buku Ajar
Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah)’, Profetika: Jurnal Studi Islam,
17 (2016), 59–71
Rosenthal, Franz, A History of Muslim Historiography, 2nd Revise (Leiden: E.J.
Brill, 1968)
Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadis Dan Historiografi Islam: Kajian Lintas
Aliran, Cetakan I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011)
Shoshan, Boaz, Poetics of Islamic Historiography, ed. by Wadad Kadi and Rotraud
Wielandt, Vol. 53 (Leiden: Brill, 2004)
Sinor, Denis, ed., Orientalism and History (Cambridge: W. Heffer and Sons LTD,
1954)
Thohir, Ajid, ‘Historiografi Islam: Bio-Biografi Dan Perkembangan Mazhab Fikih
Dan Tasawuf’, MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 36 (2012), 427–51
<https://doi.org/10.30821/miqot.v36i2.126>
Wahyudhi, Johan, ‘Membincang Historiografi Islam Abad Pertengahan’, 39–48

73
Yatim, Badri, Historiografi Islam, Cetakan I (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)

74
75
76
77
78
SEKTARIANISME DALAM SEJARAH ISLAM
Humaira Azzahra (21191200000004)

Abstrak
Kemunculan sekte-sekte dalam sejarah Islam tidak tumbuh begitu
saja. Ada motif penyebab yang membuatnya eksis dan memiliki
banyak pengikut. Secara garis besar, kehadiran sektarianisme dalam
agama pada mulanya ditunggangi oleh faktor politik. Mereka terlahir
sebagai aliran politik yang memiliki andil dalam kekuasaan
pemerintah. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, aliran-aliran ini
mulai berpijak pada tataran aqidah dan ketuhanan. Masing-masing
sekte memiliki pemahaman tersendiri mengenai prinsip ketuhanan,
politik, dan nilai-nilai keislaman. Tak dapat dipungkiri, hal ini juga
menjadi kecemasan global kaum muslimin karena berpotensi
menimbulkan perpecahan. Diantara sekte-sekte yang terekam oleh
sejarah Islam adalah Syiah, Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah,
Mu’tazilah, Asy’Ariyah, dan Maturidiyah. Pentingnya mempelajari
sektarianisme dalam sejarah Islam ini adalah untuk memahami corak
keislaman yang ada diberbagai negara Islam sehingga membuat kita
memiliki sudut pandang yang lebih bijak dalam melihat keberagaman
dalam keagamaan.

Kata kunci: aliran teologi, politik islam

PENDAHULUAN
Sejarah Islam menunjukkan ada banyak aliran atau sekte yang muncul sejak
masa sahabat Rasulullah SAW. Hal ini disebabkan oleh perbedaan perspektif dalam
pemikiran setiap orang sehingga melahirkan gagasan yang berbeda-beda. Penyebab
utama timbulnya aliran –aliran ini adalah upaya untuk melakukan pembaharuan pada
aliran yang telah berlaku sejak lama. Adanya pembaharuan ini menghasilkan hal-hal
baru terhadap ajaran-ajaran klasik. Hal ini mengakibatkan terbentuknya sebuah
ajaran baru bahkan sebuah aliran yang baru pula.
Awal mula timbulnya perpecahan di antara umat Islam ditunggangi oleh
faktor politik.214 Sejarah mencatat bahwa sebelum jasad Rasulullah dimakamkan,
pertentangan di masyarakat Islam telah muncul terutama perihal kandidat pengganti
Nabi Muhammad SAW yang akan menjadi pemimpin negara, siapakah kira-kira
yang paling pantas dan berhak menduduki posisi Nabi. Dalam hal ini, umat terpecah
menjadi 2 kelompok dikarenakan pandangan mereka yang berbeda satu sama lain.
Kelompok pertama mengambil sikap bahwa keputusan kepemimpinan selanjutnya
harus melibatkan seluruh rakyat. Rakyat memiliki otoritas penuh untuk menentukan

214
Ahmad Ibrahim Hamur, Shadrat min Tarikh al-Daulah al-Umawiyah fi al-Sharq,
(Cet.IV, Kairo: Daar al-Tiba’ah al-Muhammadiyah, 1998), h. 115
79
siapa yang akan meminpin berikutnya, terutama setelah Nabi Muhammad tiada.
Adapun kelompok lainnya beranggapan bahwa masalah kepemimpinan tidak perlu
melibatkan rakyat, cukuplah Allah dan Nabi Muhammad yang menentukannya.
Disisi lain mereka juga meyakini bahwa Nabi Muhammad sebelum berpulang ke
pangkuan-Nya telah menentukan menantunya, Ali bin Abi Thalib, sebagai pengganti
posisinya kelak.215
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa adanya perpecahan yang muncul
pada mulanya bersumber dari pertentangan pendapat mengenai kepemimpinan.
Masing-masing memiliki pandangan tersendiri mengenai kandidat yang seharusnya
menjadi pemimpin umat, menggantikan posisi Nabi Muhammad yang telah wafat.
Seiring dengan berjalannya zaman, politik sektarian ini kemudian membentuk
aliran-aliran teologi yang mewarnai peradaban sejarah umat Islam.

A. Pengertian Sektarianisme
Sektarianisme secara etimologis berasal dari kata sekte, yang memiliki arti
suatu kelompok yang memiliki suatu kepercayaan atau pandangan agama yang
sama. Menurut istilah KBBI, “sektarianisme merupakan sebuah semangat membela
suatu sekte atau mazhab, kepercayaan atau pandangan agama yang berbeda dari
pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama tersebut”.216
Dalam Colle Dictionary secara singkat sektarianisme diartikan sebagai “dukungan
kuat seseorang kepada kelompok agama atau politik yang sering melibatkan konflik
dengan kelompok yang lain”.217 Menurut pengertian yang lain, sektarianisme adalah
kebencian intra dan antar agama atau antar mazhab, aliran, denominasi agama, antar
kelas sosial, antarkelompok etnis dan budaya, dan juga di antara faksi-faksi dalam
kekuatan dan gerakan politik.218 Sedangkan bila ditinjau dari perspektif sosiologi
agama, sekte diartikan dengan sekelompok masyarakat religius yang relatif kecil jika
dibandingkan dengan sekelompok masyarakat yang lebih luas dan menentang aturan
atau sistem yang telah ada pada (ada yang menyebutnya “mengacaukan”)
masyarakat yang lebih luas.219

B. Sejarah Munculnya Sektarianisme dalam Islam


Kekuatan politik dan semangat kegamaan muncul sepeninggal Nabi
Muhammad SAW. Banyak pertentangan dan perselisihan pandangan dikalangan

215
Zainal Abidin, “Syiah dan Sunni dalam Perspektif Pemikiran Islam”, Jurnal
Hunafa, Vol. 3, No. 2, Tahun 2006, h. 117-128
216
Dendy Sugono, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008) h. 1287
217
Sainul Rahman, “Tensi Sektarianisme dan Tantangan Demokrasi di Timur Tengah
Pasca Arab Spring: Kasus Tunisia dan Yaman” Jurnal ICEMS Vol. 3, No. 1, Juni 2019, h.
104
218
Azyumardi Azra, Transformasi Politik Islam. (Jakarta: Prenadamedia Group,
2016), h. 274
219
Zainal Abidin, “Syiah dan Sunni dalam Perspektif Pemikiran Islam”, h. 117
80
masyarakat Islam sehingga memicu adanya perpecahan antar umat. Hal ini
dikarenakan Nabi sama sekali tidak menunjuk seorang pengganti yang akan
menduduki posisi jabatannya sebagai kepala negara jika Ia telah tiada. Beberapa
kalangan kemudian ada yang berpendapat bahwa ini merupakan suatu tanda yang
Nabi berikan bahwa keputusan mengenai kekhalifahan sudah seharusnya ditunjuk
langsung oleh rakyat.
Pemilihan pemimpin negarapun dipilih melalui musyawarah terbuka yang
berakhir dengan terpilihnya Abu Bakar As-Shiddiq sebagai pemimpin negara
menggantikan Nabi Muhammad SAW. Di masa-masa setelahnya, pemilihan
pemimpin menggunakan jalur yang berbeda-beda. Umar bin Khattab ditetapkan
sebegai khalifah atas penunjukkan pemimpin sebelumnya. Sedangkan Utsman bin
Affan resmi menjadi pemimpin setelah disetujui oleh sebuah lembaga masyarakat.
Adapun Ali bin Abi Thalib diberikan mandate sebagai khalifah setelah melalui
persetujuan sebuah pertemuan terbuka.220
A. Hasyimi menggaris bawahi sebuah peristiwa yang dianggap paling sering
dikaitkan dengan perpecahan umat Islam pada zaman itu adalah perang Shiffin
dimasa Ali bin Abi Thalib. Perang memperebutkan kekuasaan ini timbul sebagai
akibat dari gejolak politik yang sangat kuat antara pengikut Ali bin Abi Thalib dan
lawannya, Muawiyah bin Abi Sufyan. Ditengah situasi perang yang sedang
berkecamuk, Muawaiyah yang terhimpit oleh kondisi pasukannya yang melemah,
melakukan siasat perang yang dikenal dengan nama tahkim. Hal inilah yang
dianggap sebagai pemicu perpecahan, baik pada kubu ali maupun Muawiyah sendiri.
Banyak kalangan yang kemudian tidak sepaham dengan kebijakan yang diambil oleh
pemimpinnnya dalam perang tersebut sehingga terjadilah perpecahan kaum
muslimin.
Menurut kacamata politik, secara garis besar terdapat 3 kelompok yang
memiliki pemahaman berbeda satu sama lain, yaitu (1) Syiah, merupakan bagian
dari kubu Ali bin Abi Thalib, (2) Murjiah, yaitu golongan pendukung Muawiyah,
dan (3) Khawarij, kelompok yang menganggap bahwa Syiah dan Murjiah telah
memisahkan diri dari mereka. Khawarij memiliki pandangan bahwa keputusan Ali
untuk menerima arbitrase dari Muawiyah adalah tidak tepat. Disamping itu orang-
orang yang sepakat dengan arbitrase dianggap telah menjadi seorang pecundang.
Adanya perselisihan ini menyulut api kegelisahan ditengah masyarakat umum
karena hingga saat ini masih terus berlangsung.221
Ditinjau dari sisi histori, aqidah Islam memiliki kaitan yang erat dengan
dunia perpolitikan. Identitas agamis yang tumbuh dari hari ke hari tidak pernah lepas
dari permasalahan kemasyarakatan, termasuk juga politik. Anggapan din wa daulah
(agama dan kedaulatan negara) merupakan contoh bukti otentik dari perkembangan

220
A. Dzujali, Fiqh as-Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat Islam dalam
Rambu-Rambu Syariah, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 27-28
221
A. Hasyimi, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h.157
81
tersebut. Agama dan pemerintah turut andil memberikan pengaruh yang luar
biasa.222
Machasin menyebutkan kehadiran tiga aliran teologi Islam yang masyhur
hingga saat ini. Mereka adalah Khawarij, Syiah, dan Sunni. Kemunculan tiga aliran
ini ditunggangi oleh hawa politik yang saat itu tengah bergejolak.223 Memperebutkan
kekuasan adalah target utama dari kelompok ini. Kita bisa melihat dari sisi
perlawanan Khawarij atas keputusan Ali bin Abi Thalib yang menerima tahkim.
Mereka memegang teguh prinsip laa hukma illallah (suatu hukum itu hanyalah milik
Allah)224. Di kemudian hari kelompok ini membentuk komunitasnya sendiri.
Berbeda degan Khawarij, Syiah adalah kelompok tidak sepakat untuk
memproklamirkan Abu Bakar sebagai khalifah pengganti Nabi pada saat kejadian
tsaqifah. Mereka menganggap bahwa Ali telah diwasiatkan oleh Nabi untuk
menduduki posisinya. Untuk itu, mereka tidak setuju ada orang lain yang berusaha
merenggut posisi Nabi tersebut. Hal ini juga diamini oleh Fatimah, Ali, dan cucu
Nabi. Penobatan terhadap khalifah Abu Bakarpun baru dilaksanakan setelah Fatimah
wafat.225
Lain halnya dengan Sunni, kelompok ini mempercayai bahwa antara agama
dan negara tidak dapat terpisahkan. Menurut anggapan mereka, seorang kepala
negara tidak ubahnya sebagai inti dari sebuah pergerakan Islam yang akan
menentukan arah kebijakan dan visi umat. Oleh karena itu, kebijakan dan keputusan
yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin tidak boleh di lawan. Dalam kondisi
tertentu malah ketaatan terhadap pimpinan adaalah sebuah keniscayaan.226
Munculnya aliran-aliran teologi ini dimotori oleh faktor politik yang
menghangat. Akan tetapi, lampat laun terjadi pergeseran permasalahan politik yang
tadinya fokus pada kekuasaan menjadi lebih intens dengan memasuki wilayah-
wilayah aqidah, prinsip, dan kepercayaan. Hal ini berujung pada tataran hakikat
muslim dan kafir serta menuduh kelompok tertentu telah melenceng atau masih
dalam nilai-nilai keislaman.227
Permasalahan ini melahirkan beberapa aliran teologi, yaitu: Khawarij,
Murjiah, dan Mu’tazilah. Pada masa-masa berikutnya, aliran-aliran lain ikut
bermunculan, diantaranya Asy’ariyah, Maturidiyah, dan Syi’ah. Aliran-aliran

222
Arfan Sanusi, “Pemikiran Islam dalam Bingkai Pergolakan Politik Sektarian”,
Jurnal Yaqhzan, Vol.2, No.2, Tahun 2016, h.180
223
Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis, Lokalitas, Pluralisme, dan Terorisme,
(Yogyakarta: LKIS, 2017), h. 97-98
224
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Cet. V, Jakarta: UI-Press, 1986), h. 15
225
Fahmi Farid Purnama, “Khawarijisme: Pergulatan Politik Sektarian dalam Bingkai
Wacana Agama”, Jurnal Al-A’raf Pemikiran Islam dan Filsafat, Vol.3, No.2, Tahun 2016,
h.217
226
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (London: Macmillan Press, 1970), h. 191
227
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 8
82
tersebut turut mewarnai ranah perpolitikan pada itu, namun dari segi pemikiran
teologi, tampaknya baru muncul belakangan.228

C. Bentuk-Bentuk Sekte dalam Sejarah Islam


Sektarianisme memiliki beberapa bentuk sebagai akibat dari gejolak politik
dan teologi Islam. Diantara bentuk aliran tersebut adalah sebagai berikut.
1. Syi’ah
Kata Syiah berasal dari kata sya’a yang berarti tersiar, menyiarkan, mengisi,
mengikuti, dan menemani.229 Istilah Syi’ah merupakan penyebutan untuk sebuah
kelompok yang menyokong Ali bin Abi Thalib dan lebih mengutamakannya
dibanding para sahabat Nabi yang lainnnya.230 Menurut Syahrastani, Syiah
mempercayai bahwa Ali bin Abi Thalib kandidat yang telah dipilih oleh Nabi dan
dipesankan untuk menggantikan posisinya sebagai kepala negara. Syiah juga
menganggap bahwa seorang pemimpin harus berasal dari garis nasab keturunan Ali
bin Abi Thalib. Bagi yang bukan merupakan keturunan Ali, maka ia tidak bisa
menjadi pemimpin suatu negara.231
Syiah merupakan sekte politik pertama dalam sejarah Islam.232 Aliran ini
muncul dari kalangan sahabat Nabi SAW. yang ketika Nabi wafat dan yang tepat
untuk menggantikan kepemimpinannya adalah Ali bin Abi Thalib dibandingkan
dengan para sahabat lainnya. Aliran ini menampakkan diri setelah peperangan
terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang berujung
dengan diadakannya arbitrase (tahkim). Harun Nasution dalam karangannya
menyatakan bahwa eksistensi 3 kelompok politik berikut telah ada sejak masa itu,
yaitu Syiah, Khawarij, dan Muawiyah.
2. Khawarij
Khawarij menurut bahasa adalah jama’ dari isim fail Kharij, artinya sesuatu
yang keluar. Dalam kitab Al-Milal wa an-Nihal dijelaskan bahwa setiap orang ynag
keluar dari imam yang telah disepakati bersama dinamakan Kharijiy.233 Khawarij
merupakan penyebutan atas suatu kelompok yang menolak arbitrase yang digunakan
oleh Muawiyah dalam perang Shiffin.

228
Ris’an Rusli, Teologi Islam; Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-Tokohnya,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), h. 3
229
Ahmad Warson Munawir, Kamus Munawir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Pustaka Progresif, 2007), h. 756
230
Abu Hasan Al-Asy’ari, Maqallat al-Islamiyyin wa Ikhtilafu al-Mushallin, (Juz 1,
Kairo: Maktabah An-Nahdhah al-Misriyyah, 1969), h. 65
231
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa an-Nihal: Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah
Umat Islam, terj. Asywadi Syukur, (jilid I, Surabaya: Bina Ilmu, tt), h. 124
232
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abd.
Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Cet. I, Jakarta: Logos Publishing House, 1996), h. 34
233
Abu Al-Fath Asy-Syahrastani, al-Milal wa An-Nihal (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah), h. 150
83
Beberapa pendapat menyebutkan bahwa Khawarij memberikan nama kaum
Syurah untuk kelompok mereka yang memiliki makna segolongan orang yang
mengorbankan dirinya demi keridhaan Allah.234 Ada pula pendapat yang
menyatakan bahwa Khawarij juga disebut sebagai Haruriyah. Kata ini dinukilkan
dari kata ‘Harura’ yang merupakan nama sebuah tempat di kota Raqqah yang
berlokasi di sekitar Kuffah.
Pada tahun 37 H, Khawarij lahir pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
sebagai sebuah sekte. Kemunculan kelompok ini seiring dengan adanya perseteruan
antara para pendukung Ali dan Muawiyah. Perseteruan ini terus berlanjut dan
menjadi cikal bakal konflik antar umat Islam. Tak hanya berhenti disitu,
permasalahan yang awalnya karena isu politik melebar ke permasalahan aqidah dan
agama.
Khawarij dikenal sebagai aliran kalam tertua dalam sejarah peradaban Islam.
Khawarij memiliki pandangan bahwa saat Ali menerima arbitrase yang diajukan
oleh Muawiyah, maka ia termasuk kafir dan darahnya halal untuk dibunuh. Dalam
rangka menegakkan agama Allah, Khawarij cukup teguh dan tegas menjalankan
prinsip ideologinya. Karena itu, kelompok ini dikenal sangat mudah menyerang
sekte-sekte diluar mereka dan taat menjalankan nilai-nilai agama.235
3. Murjiah
Nama Murjiah berasal dari Bahasa Arab yaitu Irja’, yang memiliki 2 arti.
Pertama, artinya menunda atau membelakangkan. Dan kedua, artinya memberi
pengharapan.236 Dalam terminologi Islam, Murjiah dikenal sebagai kelompok aliran
yang memiliki harapan besar akan ampunan Allah bahkan bagi pelaku dosa besar
sekalipun. Aliran ini merespon pemikiran Khawarij yang terlalu keras dengan
menyatakan kafir seorang pelaku dosa besar.
Aliran Murjiah pada dasarnya memiliki kecenderungan politik terhadap
Muawiyah pada permasalahan arbitrase. Akan tetapi pada praktiknyaa, aliran ini
lebih bersifat netral dengan tidak menetapkan siapa yang salah dan yang benar pada
perselisihan politik (dalam hal ini Syiah dan Khawarij). Mereka tidak ingin
mendapat hujatan ketika harus memilih salah satunya sehingga aliran ini condong
untuk tidak ikut campur atau memisahkan diri dari benang perselisihan tersebut.
4. Qadariyah
Qadariyah berakar pada ‘qadara’ yang berarti memutuskan dan memiliki
kekuatan atau kemampuan. Harun Nasution dalam karangannya berpendapat bahwa
Qadariyah merupakan sebutan untuk kelompok menganggap bahwa semua orang
memiliki kebebasan dalam menjalankan hidupnya. Artinya, hidup manusia tidak
serta merta dipaksa untuk patuh pada apa yang telah ditakdirkan Allah.

234
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 124
235
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah wa al-Islamiyyah al-
Mu’ashirah, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), h. 57
236
Ummu Tamim, Menyingkap Aliran dan Paham Sesat, terj. Sufyan bin Zaidin
Sinaga Abu Yazid, (Cet. I, Jakarta: Pustaka Imam Ahmad, 2010), h. 127
84
Ada banyak pendapat terkait sejarah berkembangnya aliran ini. Menurut
Ahmad Amin, kemunculan aliran Qadariyah dipelopori oleh Ma’bad al Jauhani dan
Ghilan ad-Dimasyqi pada tahun 70H/689 M. Adapun pandangan dari Ibnu Nabatah,
seorang pengarang kitab, menyatakan bahwa yang berjasa dalam memperkenalkan
pemahaman-pemahaman dari aliran ini adalah penduduk Irak.
Adapula pendapat yang mengatakan bahwa keberadaan aliran Qadariyah ini
merupakan trik untuk melawaan kebijakan politik Bani Umayah yang dirasa telah
melampaui batas. Sebagai contoh, Ma’bad Al-Jauhani adalah korban keotoriteran
Bani Umaiyah. Ia dihukum mati di Damaskus karena dianggap terlalu fanatik
terhadap prinsipnya.237

5. Jabariyah
Kata Jabariyah berasal dari ‘Jabar’ yang berarti memaksa. Aliran ini
pertama kali dipelopori oleh Al-Ja’ad bin Dirham. Prinsip yang terdapat dalam
pemahaman ini adalah sebagai seorang manusia, segala perbuatan baik dan buruk
kita telah ditakdirkan oleh sang pencipta. Pemahaman ini tersebar luas oleh kerja
keras Jahm bin Safwan. Beliau merupakan tokoh pemuka Jabariyah telah berjasa
menanamkan paham Jabariyah.
Di kisahkan oleh Abu Zahrah, kehadiran aliran ini telah ada sejak zaman
Bani Umayah menyatakan bahwa aliran ini telah tumbuh dan mulai menyebar sejak
masa sahabat dan masa bani Umayyah. Kala itu berbagai persoalan menganai qada
dan qadar sering menjadi bahan diskusi oleh para tokoh agama. Adapun Harun
Nasution memiliki perspektif lain terkait aliran ini. Beliau menyatakan bahwa
Jabariyyah meyakini bahwa sejak lahir segala takdir perbuatan baik dan buruk telah
diciptakan oleh Allah.238
6. Mu’tazilah
Secara harfiah, Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala dalam bahasa Arab yang
berarti memisahkan diri, menjauhkan diri, menyalahi pendapat orang lain. Adapun
mu’tazilah adalah kalimat masdar yang artinya orang-orang yang menjauhkan diri
mereka dari kelompok orang yang lebih banyak. Mengikuti pengertian ini, kaum
Mu’tazilah adalah sebutan bagi mereka yang memilih untuk memisahkan diri dari
jamaah yang telah ada. Oleh karena itu, mereka disebut juga mu’tazilin. Aliran ini
termasuk ke dalam aliran teologi Islam tertua yang dibangun oleh Wasil bin Atha.239
Terdapat beberapa pendapat mengenai asal-usul nama Mu’tazilah. Salah
satunya adalah disebut Mu’tazilah karena Wasil bin Atha’ dan Amr bin ‘Ubaid
menjauhkan diri (i’tazala) dari pengajian Hasan Basri di masjid Basrah dan mereka

237
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, h. 139
238
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h.
31
239
Abdul Aziz Dahlan, Teologi dan Aqidah dalam Islam, (Cet. I, Padang: IAIN-IB
Press, 2001), h. 75
85
membentuk pengajian sendiri. Pendapat lainnya mengatakan bahwa penyebutan
nama Mu’tazilah adalah karena mereka menjauhkan diri dari masyarakat. Adapun
latar belakang hal tersebut dikarenakan kekecewaan mereka atas keputusan Hasan
bin Ali bin Abi Thalib yang memberikan kedudukannya sebagai khalifah (pemimpin
negara) kepada Muawiyah.240 Kaum Mu’tazilah dalam memberikan solusi atas
sebuah problematika lebih banyak mempegunakan logika dan akal. Untuk itu,
mereka dikenal dengan sebutan “kaum rasionalis Islam”.
7. Asy’ariyah
Aliran As’ariyah berawal dari dua tokoh, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari dan
Abu Manshur al-Maturidi yang cukup kompak untuk menyelisihi pandangan
Mu’tazilah.241 Kedua tokoh ini hidup pada akhir abad ke 3 Hijriyah. Al-As’ariyah
adalah pengikut Abu Hasan Ali bin Ismail Al-Asyari, yang pada kelanjutannya
tumbuh menjadi salah satu aliran teologi Islam. Aliran ini disebut Al- Asy’ariyah.
Nama aliran ini dinisbatkan pada pelopor yang telah melahirkan dasar pemahaman
dalam aliran ini, yaitu al-Hasan Al-Asy’ari.
Pada awalnya, Asy’ari merasa mendapatkan ilham dari Allah melaui mimpi
yang didalamnya ia bertatapmuka dengan Rasulullah. Ia kemudian mulai
memisahkan diri dari ajaran Mu’tazilah dan mulai memperkokoh aqidahnya pada
Al-Quran dan Sunnah. Mimpi tersebut merupakan jawaban dari permasalahan pelih
yang belum ia dapati solusinya bahkan tidak dari gurunya sendiri, Al-Jubba’i.
Seiring dengan kelemahan Mu’tazilah yang lambat laun membawanya pada
kehancuran, Al-Asyari muncul sebagai sebuah aliran yang memiliki nilai-nilai
pembaharuan didalamnya. Aliran Asy’ari meyakini bahwa Mu’tazilah tidak diterima
sebagai bagian dari agama Islam.
8. Maturidiyah
Abu Mansur al- Maturidi merupakan pelopor dari aliran ini. Maturidiyah
dilahirkan di wilayah Samarkand yang tumbuh sebagai respon dari pemahaman
Mu’tazilah yang dianggap tidak sesuai. Maturidiyah ini mempunyai teologi yang
berbeda dengan Mu’tazilah dan Al-Asyariyah. Secara kaidah susunannya, Al-
Maturidi lebih banyak menggunakan akal dibandingkan al-Asyari, sehingga
sebagian para pemuka paham akidah memandang al-Asyariyah sebagai aliran yang
memilih jalan tengah antara Mu’tazilah dan Ahl al-Hadits, sedangkan Maturidiyah
memilih jalan tengah antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah.242
Semasa dengan aliran Asy’ariyah yang menolak akan aliran dan pahamnya
kelompok Mu’tazilah, jika aliran Asyariyah merupakan pemeluk ajaran fikih
Syafiiyah, adapun Maturidiyah adalah penganut mazhab fiqih Hanafiah.

240
Taufik Rahman, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013) h. 208
241
Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Taarikh al-Madzahib al-Islamiyah fi as-
Siyasah wa al-‘Aqaaidi wa at-Tarikh al- Madzahib al-Fiqhiyah, (Kairo: Daar al-Fikr Al-
Arabiy, 1996), h.163
242
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah wa al-Islamiyyah al-
Mu’ashirah, h.167
86
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan, Teologi dan Aqidah dalam Islam, (Cet. I, Padang: IAIN-IB
Press, 2001), h. 75
Abidin, Zainal, “Syiah dan Sunni dalam Perspektif Pemikiran Islam”, Jurnal
Hunafa, Vol. 3, No. 2, Tahun 2006.
Abu Al-Fath Asy-Syahrastani, al-Milal wa An-Nihal (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah), h. 150
Al-Asy’ari, Abu Hasan, Maqallat al-Islamiyyin wa Ikhtilafu al-Mushallin, Juz 1,
Kairo: Maktabah An-Nahdhah al-Misriyyah, 1969.
Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Taarikh al-Madzahib al-Islamiyah fi as-Siyasah
wa al-‘Aqaaidi wa at-Tarikh al- Madzahib al-Fiqhiyah, (Kairo: Daar al-Fikr
Al-Arabiy, 1996), h.163
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa an-Nihal: Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah Umat
Islam, terj. Asywadi Syukur, jilid I, Surabaya: Bina Ilmu, tt.
Azra, Azyumardi, Transformasi Politik Islam. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016.
Dzujali, A., Fiqh as-Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat Islam dalam
Rambu-Rambu Syariah, Jakarta: Kencana, 2013.
Hamur, Ahmad Ibrahim, Shadrat min Tarikh al-Daulah al-Umawiyah fi al-Sharq,
Cet.IV, Kairo: Daar al-Tiba’ah al-Muhammadiyah, 1998.
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 31
Hasyimi, A., Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Hitti, Philip K., History of The Arabs, London: Macmillan Press, 1970.
Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis, Lokalitas, Pluralisme, dan Terorisme,
Yogyakarta: LKIS, 2017.
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah wa al-Islamiyyah al-
Mu’ashirah, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), h. 57
Munawir, Ahmad Warson, Kamus Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya:
Pustaka Progresif, 2007.
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet.
V, Jakarta: UI-Press, 1986.
Purnama, Fahmi Farida, “Khawarijisme: Pergulatan Politik Sektarian dalam
Bingkai Wacana Agama”, Jurnal Al-A’raf Pemikiran Islam dan Filsafat,
Vol.3, No.2, Tahun 2016.
Rahman, Sainul, “Tensi Sektarianisme dan Tantangan Demokrasi di Timur Tengah
Pasca Arab Spring: Kasus Tunisia dan Yaman” Jurnal ICEMS Vol. 3, No.
1, Juni 2019.
Rusli, Ris’an, Teologi Islam; Telaah Sejarah dan Pemikiran Tokoh-Tokohnya,
Jakarta: Prenadamedia Group, 2015.
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h. 124
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, h. 139
Sanusi, Arfan, “Pemikiran Islam dalam Bingkai Pergolakan Politik Sektarian”,
Jurnal Yaqhzan, Vol.2, No.2, Tahun 2016.
Sugono, Dendy, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008.
Taufik Rahman, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013) h. 208
87
Ummu Tamim, Menyingkap Aliran dan Paham Sesat, terj. Sufyan bin Zaidin Sinaga
Abu Yazid, (Cet. I, Jakarta: Pustaka Imam Ahmad, 2010), h. 127
Zahrah, Imam Muhammad Abu, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abd.
Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Cet. I, Jakarta: Logos Publishing House,
1996.

88
89
PEREMPUAN DALAM HISTORIOGRAFI DAN SEJARAH ISLAM
Kholis Bidayati (21191200000003)

Abstrak
Citra perempuan menjadi lebih baik setelah Islam datang. Pada era
sebelumnya, perempuan diperlakukan sebagai manusia tanpa martabat
lalu pandangan tersebut berubah drastis sejak kedatangan Islam. Laki-
laki dan perempuan memiliki hak-hak dasar yang setara. Melacak
historiografi perempuan dapat melalui kitab-kitab biografi yang ditulis
oleh para sejarahwan. Generasi kitab biografi yang paling awal adalah
Kitab Tabaqatul Kubro. Dalam kitab tersebut banyak ditemukan
nama-nama perempuan yang tertulis dalam sejarah Islam, baik di era
sahabat, hingga era tabiin. Lalu di era selanjutnya pun juga terdapat
nama-nama perempuan dalam karya sejarah meskipun jumlahnya
tidak sebesar pada generasi awal Islam. Dalam historiografi tersebut
perempuan memiliki andil besar baik di lingkup social maupun
politik. Bahkan pada era setelah Abbasiyah runtuh, perempuan telah
di temukan sebagai kepala pemerintahan (Ratu) meskipun jumlahnya
tak banyak.

A. Pendahuluan
Citra wanita dalam sejarah Islam sering jatuh dalam dua pandangan yang
ekstrem. Di satu sisi menyatakan bahwa kaum wanita dalam masyarakat Islam
berada dalam posisi tertindas, sedangkan di sisi lain menyebutkan bahwa Islam
memberikan perempuan kedudukan yang tiada tandingannya baik di agama-
agama lain maupun di kultur-kultur lain.243 Hal tersebut dapat dilihat dari
bagaimana kondisi perempuan sebelum dan sesudah Islam datang.
Sebelum Islam datang, pada masa masyarakat Arab Jahiliyah, perempuan
diperlakukan secara tidak adil. Perempuan selalu mendapatkan penghinaan,
perlakuan kasar, selalu direndahkan. Perempuan dipandang sebagai aib dan
kesialan, dan hal-hal lain yang dianggap memalukan. Bahkan pada saat itu, jika
bayi perempuan terlahir tidak segan-segan mereka bunuh. Perempuan kehilangan
haknya sama sekali, jangankan hak berpolitik dan hak-hak lainnya, hak hidup
pun sebagai hak paling dasar terampas dari mereka. Kemudian datanglah Islam
dengan segala keistimewaannya. Islam bagaikan oase di tengah gurun kering bagi
para perempuan. Islam datang dengan seperangkat aturan-aturan yang
mengangkat derajat kaum perempuan serta menjamin semua hak-haknya.244

243
Ruth Roded, Kembang Peradaban Citra Wanita di Mata Para Penulis Biografi
Muslim, terj. Women in Islamic Biographical Collections From Ibn Sa’d Who’s Who,
(Jakarta: Mizan, 1995), h.15.
244
Marzuki, Keterlibatan Perempuan dalam Bidang Politik Pada Masa Nabi
Muhammad SAW. dan Masa Khulafaur Rasyidin (Suatu Kajian Historis), Jurnal
Humaniora, Nomor 1, April 2008, ISSN.1412-4009, h. 1.
90
Akan tetapi, meskipun Islam telah membawa hukum yang begitu ideal,
dalam praktiknya masih banyak umat Islam yang mengabaikan prinsip kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan sebagaimana digariskan oleh Allah SWT,
terutama ketika otoritas pemerintahan yang selama ini selalu didominasi oleh
laki-laki. Misalnya saja dalam bidang politik. Dari masa Nabi Muhammad,
Khulafaur Rasyidin, hingga saat ini jarang sekali perempuan mendapatkan posisi
strategis dalam pemerintahan.
Namun, Dalam praktik dan penerapan ajaran Islam, tidak sedikit umat Islam
justru menunjukkan kenyataan yang berbeda dengan apa yang sudah digariskan
oleh Allah dalam al-Quran. Kesetaraan yang dijunjung tinggi oleh al-Quran tidak
dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata, terutama setelah otoritas
pemerintahan dan pemikiran didominasi oleh kaum lelaki. Misalnya dalam
bidang politik, Pemerintahan Islam sejak zaman Nabi Saw., Khulafaur Rasyidin,
hingga zaman kerajaan-kerajaan Islam (dinasti) tidak banyak menempatkan
perempuan pada posisi-posisi yang strategis atau posisi kunci di pemerintahan.
Seiring dengan perkembangan peradaban Islam, kemudian muncul tokoh-
tokoh maupun ahli dalam berbagai bidang kehidupan, baik bidang agama
maupun bidang ilmu pengetahuan. Misalnya, di bidang tasawuf, fikih, filsafat,
kedokteran, politik dan lain-lain. Sebagian tokoh-tokoh tersebut namanya
kemudian ditulis oleh sejarahwan dalam kitab-kitab biografis maupun sejarah
yang dapat kita temukan di masa sekarang.
Kitab biografis paling awal yang masih ada yaitu kitab Thobaqat al Kubra
karya Ibn Sa’d yang disusun sekitar dua abad setelah masa Nabi. Kitab tersebut
berisi tentang kelas-kelas, generasi-generasi, pria dan wanita terkemuka yang
hidup sejak datangnya Islam sampai pada masa selanjutnya.245
Selain itu koleksi-koleksi kontemporer tradisional yang mengabadikan
tokoh-tokoh besar dalam Islam dari setiap abad bermunculan setiap serratus
tahun sejak abad ke 14 sampai sekarang. Lalu pada abad ke-20 berjilid-jilid “Apa
dan Siapa di Dunia Arab” disusun bersamaan dengan karya-karya Islam lainnya.
Pada bad itu, mungkin ribuan koleksi biografis Islam diterbitkan yang masing-
masing berisi kelompok atau individu tertentu atau yang bersifat lebih umum.
Koleksi biografis Islam, Bersama ilmu-ilmu lain tentu memiliki peran besar
dalam studi kasus sejarah Islam dan Timur Tengah, termasuk sebagian khusus
peranan kaum wanita. Sebab itu dalam makalah ini akan dibahas sejauh mana
porsi biografi wanita dalam koleksi Islam dan prestasi luar biasa wanita yang
menurut ahli biografi Muslim dipandang patut diabadikan. Namun perlu dicatat
pula, tidak sedikit juga penulis yang memandang wanita tidak cukup peting
sehingga tidak perlu menjadi entri biografis khusus dalam koleksi mereka. 246
Selain itu, dalam makalah ini juga akan dipaparkan peran-peran perempuan
dalam perkembangan sejarah Islam, baik dalam bidang politik maupun dalam
bidang social. Sejak masa Nabi Muhammad saja kaum perempuan sebetulnya
sudah memiliki kedudukan politik demi menegakkan agama Islam melalui
dakwah, banyak juga perempuan yang ikut hijrah Nabi ke Madinah bahkan

245
Ruth Roded, Kembang Peradaban Citra Wanita di Mata Para Penulis Biografi
Muslim, h.16.
246
Ruth Roded, Kembang Peradaban Citra Wanita di Mata Para Penulis Biografi
Muslim, h. 18.
91
perempuan juga ada yang turut serta jihad berperang Bersama para laki-laki.
Pada masa Khulafaur Rasyidin juga demikian, perempuan ikut serta berperan
aktif dalam posisi-osisi politik.

B. Perempuan dalam Historiografi dan Sejarah Islam


1. Historiografi Islam
Sebagaimana telah dibahas pada makalah sebelumnya, historiografi dari segi
bahasa, kata “historiografi mengandung arti penulisan sejarah,247 tulisan
sejarah,248 dan mengandung arti tentang sejumlah literatur yang berkait dengan
ilmu sejarah”.249 Pada masa kini para ahli sejarah mendefinisikan historiografi
lebih condong pada keilmuan yang memberi gambaran berbagai model karya
sejarah. Nisar Ahmed Faruqi mendefinisikan secara khusus, “historiography is
the science of committing anecdotes and their causes to writing with reference to
the time of their occurance”.250 Adapun historiografi Islam menurut HAR. Gibb
memiliki pengertian yang sama dengan al-tarikhi, yang dalam literatur arab
mencakup bentuk analytic (kronologis) maupun biografis.251
Karena berkaitan erat dengan keilmuan Islam lainnya, yakni ilmu hadis,
maka ilmu sejarah atau ilmu al-tarikh secara khusus diklasifikasikan sebagai
ilmu-ilmu keagamaan (ulûm al-dîniyyah atau ulûm alnaqliyyah) dalam tradisi
keilmuan Islam. Pada awalnya kaum muslimin belum begitu peduli dengan
kegiatan mendokumentasikan dan mencatat perilaku-perilaku nabi sebagai
bentuk pengaplikasian ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat muslim. Namun
sejak munculnya kesadaran tentang pentingnya hadis, baru kaum muslim mulai
memperhatikannya. Sebelumnya, informasi tentang Nabi hanya diceritakan dari
satu perawi ke perawi yang lain.252 Kesadaran akan pentingnya metodologis
dalam mendeteksi kebenaran informasi yang berbentuk khabar muncul sekitar
abad ke-4. Para ulama berhasil merumuskan metodologi tersebut bersamaan
dengan kesadaran untuk melakukan diwan hadis, karena segala informasi masa
lalu yang terjadi pada diri Nabi Muhammad SAW dan yang terkait secara tidak
langsung telah berkontribusi dalam penyusunan sejarah Islam.
Adapun metode yang dapat menjamin kualitas tentang informasi dan khabar
kemudian disebut dengan ulum al hadis. yang meliputi ’ilm al-rijâl, ‘ilm al-
matan, ‘ilm al-jarh wa al-ta‘dîl, dan al-thabaqât.Dengan demikian, munculnya
ilmu sejarah (al-târikh) di dunia Islam secara umum bisa dipastikan dan didasari
oleh adanya perkembangan ilmu hadis.253

247
William Morris, et al. (ed.), The Heritage Illustrated Dictionary of the English
Language, Vol. I (Boston: Houghton Mifflin Company, 1979), h. 625.
248
James A. H. Murray, et al., (ed.), The Oxford English Dictionary (Oxford: The
Clarendon Press,1978), h. 305.
249
William Morris, et al. (ed.), The Heritage Illustrated Dictionary of the English
Language, h. 625.
250
Ja’far Tamam, Problematika Penulisan Sejarah Islam (academia.edu), h. 8
diakses pada 01 November 2019.
251
Ja’far Tamam, Problematika Penulisan Sejarah Islam, h.8.
252
Ajid Thohir, HISTORIOGRAFI ISLAM: Bio-biografi dan Perkembangan
Mazhab Fikih dan Tasawuf, Jurna Miqat, No. 2 Juli-Desember 2012, h.430.
253
Faruqi, Early Muslim Historiography, h. 185-186.
92
Nampaknya, inspirasi dari Alquran yang menunjukkan pentingnya
mengabadikan catatan masa lalu menjadi motivasi serta inspirasi sejarahwan
belakangan ini untuk mendokumentasikan kejadian di masa lampau yang
kemudian berkembang menjadi berbagai model penulisan sejarah. Ada dua
model penulisan sejarah. Pertama penulisan sejarah umum, misalnya sejarah
kumpulan umat manusia atau sejarah individual yaitu ketokohan dalam bentuk
biografi sahabat dan thabaqat. Model pertama ini menginspirasi untuk
pengembangan model penulisan sejarah yang kedua, yaitu lebih spesifik
membahas ketokohan yang lebih mengarah pada keunggulan seseorang baik dari
segi moral maupun spiritual. Penulisan model ini disebut dengan hagiografi.254
Kitâb Sîrah Nabawî merupakan bentuk dan model penulisan sejarah
individual paling awal dibuat dibanding dengan model penulisan sejarah yang
bertemakan sejarah kolektif atau umum. Di tangan Ibn Hisyam (w. 824 M) murid
Ibn Ishâq (w. 768 M), tradisi penulisan sîrah begitu populer pada masanya, hal
ini berkait erat karena sîrah Nabâwî yang dikembangkannya merupakan bagian
penting dari tradisi penulisan hadis, karena informasi yang ditulisnya adalah
sebagai bagian yang integral dari keseluruhan kehidupan Nabi Muhammad SAW.
sebuah tolak ukur bagi kehidupan beragama.255

2. Biografi Tokoh Islam: Melacak Perempuan dalam Historiografi


Kultur Islam telah melahirkan gaya sastra yang unik, yang secara umum
banyak terdiri dari biografi individual. Gaya seperti ini dalam historiografi Islam
telah menjadi pokok perdebatan dan berkenaan dengan peran perempuan yang
tercermin dalam gaya seperti ini. Sebagian pakar menganggap kemunculan
koleksi-koleksi geografis yang diorganisasi dengan kelas semikronologis
disebabkan karena kebutuhan untuk mengidentifikasi perawi hadis. Sebagian
pakar lain mengatakan kamus biografis itu muncul berkat perhatian orang arab
(periode sebelum Islam dan periode awal Islam) terhadap silsilah dan biografi.
Pandangan lain mengaitkan munculnya koleksi biografis dengan perkembangan
sejarah, dalam pengertian urutan-urutan yang tercatat.
Format khusus biografi paling awal yang masih ada (kitab Tabaqal al
Kubra) menunjukkan bahwa semua dasar pemikiran di atas adalah benar. Karya
tersebut ditata berdasarkan kelas-kelas sahabat dan kelas tabiin, berdasarkan
kedekatan mereka dengan Rasulullah, dalam tiap biografi disebutkan apakah
subjeknya meriwayatkan sabda-sabda langsung dari nabi atau dari sahabat Nabi,
dan teknik dalam menghubungkan informasi serangkaian perawi yang dipakai
ahli hadis. Di lain pihak, entri biografis dimulai dengan detile kesilsilahan, kelas-
kelas, marga suku dan keluarganya.
Dalam perkembangannya, penataan biografi mengalami perubahan, yaitu
menurut semikronologis, ditambah penyusunan alfabetis yang mempermudah.
Perkembangan lainnya yaitu munculnya kitab biografis mengenai suatu wilayah
tertentu. Contoh Sejarah Baghdad karya Al-Katib Al-Baghdadi (w. 463/1071)
dan sejarah Damaskus karya Ibnu Asakir (w. 571/1176) yang berisi tentang
koleksi biografi semua pria dan wanita masyhur yang berkaitan dengan kota-kota

254
Ajid Thohir, HISTORIOGRAFI ISLAM: Bio-biografi dan Perkembangan
Mazhab Fikih dan Tasawuf, h. 434.
255
Al-Sulmî, Manhaj Kitâbah, h. 431-432.
93
tersebut. Lalu, perkembangan selanjutnya, penyusunan sejarah Islam yang
universal ditata dalam bentuk analistik yang lebih memperhatikan kematian
tokoh-tokoh besar dari tiap-tiap zaman.
Lalu, pakar sejarah Ibn Hajar al-Asyqalani (w. 852/1449) menulis biografi
pertama tentang semua orang muslim terkemuka yang meninggal pada satu abad
tertentu Islam (abad ke delapan-keenambelas). Pada abad 20 koleksi biografis
yang berpola Apa dan Siapa ala barat lahir baik dalam Bahasa Arab maupun
Bahasa Inggris).
Dalam penulisannya, sebagian dari penyusun-penyusun kamus biografis
tersebut menempatkan kaum wanita dalam bagian-bagian tersendiri pada akhir isi
utama biografi. Peletakkan biografi perempuan di akhir bab, mengesankan makna
simbolik dari memandang kaum perempuan sebagai kelompok tersendiri, seakan-
akan cuma sampingan saja, namun tak bias dinafikan pula alasan yang lebih
praktis bisa saja menjadi latar belakangnya, misalnya saja alasan bahwa
peletakkan penulisan biografis wanita disendirikan karena untuk mempermudah
menemukan biografi wanita, karena jika ditulis bercampur dengan biografi laki-
laki akan mempersulit untuk menemukan biografi mereka.256
Dalam sebuah ponelitian yang dilakukan oleh Ruth Roded, dengan
menggunakan empat puluh kaya besar meliputi semua periode sejak dari koleksi
awal Ibn Sa’d hingga karya pada akhir abad ke-19, yang mana kamus-kamus
biografis tersebut berisikan semua pribadi terkemuka dari zaman dan tempat
tertentu –jenis-jenis yang hanya membahas sahabat nabi, perawi hadis, dan para
wali serta sufi—yang mana karya tersebut memuat proporsi wanita yang cukup
besar. Adapun dalam ranah ikhtisar-ikhtisar tentang para faqih, hakim dan
penguasa serta gubernur tidak dijadikan sebagai bahan penelitiannya karena
anggapan (yang sepenuhnya tidak akurat) bahwa wanita tidak mengisi posisi-
posisi tersebut.
Semua kamus biografis yang ditelaah Roded tersebut semuanya ditulis oleh
kaum pria. Jumlah dan proporsi wanita yang dilibatkan, penyeleksian wanita
yang dianggap patut disertakan, dan peranan yang dilakukan oleh kaum wanita
semuanya merefleksikan pandangan penulis pria yang membuktikan kebenaran
tradisi, nilai masyarakat serta kultur Islam. Begitupula pusat perhatian karya-
karya tersebut adalah manifestasi budaya dan pada tingkat yang lebih kecil
adalah politik Islam.257
Berikut akan dipaparkan sejauh mana proporsi perempuan dalam
historiografi Islam. Pertama dari kalangan sahabat-sahabat wanita Nabi
Muhammad SAW, generasi Tabiin, dan generasi setelah tabiin.

a. Sahabat Wanita
Penelusuran sahabat wanita yang dilakukan Ruth Roded dalam
penelitiannya melalui empat kitab besar yang paling awal membahas tentang para
sahabat. Kitab-kitab tersebut ialah al-Thabaqat, karya Ibn Sa’d, Khalifah bin
Khayat, Isti’ab karya Ibn Abdul Barr dan Ishabah karya Ibnu Hajar.

256
Ruth Roded, Kembang Peradaban Citra Wanita di Mata Para Penulis Biografi
Muslim, h. 24-30.
257
Ruth Roded, Kembang Peradaban Citra Wanita di Mata Para Penulis Biografi
Muslim, h.34.
94
Dalam berbagai koleksi biografi yang khusus tentang para sahabat, kira-kira
sepuluh sampai lima belas persen entrinya adalah tentang wanita (dengan satu
pergecualian, yaitu hanya sekitar empat persen dari biografi-biografi tersebut
yang khusus tentang kaum wanita). Sebagai perbandingan, biografi pertama
tentang Nabi karya Ibn Ishaq (w. 151/767) menyebutkan nama lima puluh
wanita, enam persen dari semua individu yang disebutkan namanya. Sembilan di
antaranya meriwayatkan langsung kisah-kisah dari Nabi dan delapan lainnya
perawi-perawi lanjutan—4,8 persen dari seluruh perawi.
Tujuh persen dari hadis-hadis dalam kitab hokum tertua yang masih ada, Al-
Muwaththa' karya Malik bin Anas (w. 179/795), diriwayatkan oleh wanita
(sementara wanita-wanita lain tampil sebagai pelaku dalam kisah-kisah yang
diriwayatkan). Salah satu koleksi hadis tertua yang disusun oleh perawi-
perawinya, Musnad Ibn Hanbal (w.241/855) yang sezaman dengan Ibn Sa'd
mencakup hadis-hadis yang diriwayatkan pada kejadian pertamanya oleh seratus
dua puluh lima wanita dari tujuh ratus sahabat, atau sekitar delapan belas persen.
Dengan demikian, berbagai sumber awal menegaskan bahwa jumlah dan proporsi
sahabat tidaklah sedikit.
Lebih seribu dua ratus sahabat wanita tercantum dalam berbagai koleksi
biografi. Ini menunjukkan maknabilangan dalam fenomena sahabat-sahabat
wanita, tetapi sulit mengatakannya sebagai jumlah yang pasti. Beberapa alasan
tidak dapat diucapkan berapa jumlah sahabat wanita nabi secara pasti
diantaranya, semua koleksi mengandung banyak entri ganda untuk wanita yang
sama, selain itu juga karena terdapat berbeda-beda versi tentang nama satu orang
yang sama. Kedua, sejumlah besar nama-nama wanita tersebar pada sejumlah
sumber awal sehingga para penyusun mendatang yang tekun dapat menemukan
dapat menemukan wanita-wanita yang tidak disebutkan dalam koleksi
sebelumnya. Ketiga dalasm sumber yang bukan biografi atau silsilah wanita
hanya disebutkan secara umum saja, seperti sebagai putri, istri, bibi, atau nenek
seseorang.
Dalam koleksi biografi, jumlah wanita yang tercantum cukup besar. Ada
beberapa dasar pemikiran mengapa hal tersebut terjadi. Pertama, karena
penulisan karya-karya tersebut banyak yang bersumber pada sanak keluarga Nabi
dan para penganut Islam awal, kedua, tafsir Al-Quran, penyampaian
pengetahuan, terutama yang terkait dengan keseharian nabi, baik ucapan,
perbuatan Nabi. Dalam konteks ini harus ditekankan bahwa wanita tidak
dianggap kurang dapat dipercaya disbanding pria dalam meriwayatkan informasi.
Sebaliknya, peran wanita sangat penting. Teladan dari para perawi wanita adalah
Aisyah RA istri Nabi. Dia telah meriwayatkan sekitar 1210 hadis meskipuh
sekitar 300an saja yang termaktub dalam hadis Bukhari Muslim.258
Ketiga, banyak biografi tentang wanita berisi preseden hokum atau
kebiasaan. Contohnya, Burairah, hamba sahaya Aisyah yang mendapat
kemerdekaan menjadi subjek beberapa fatwa Nabi. Keempat, mukjizat dan model
keagamaan. Sahabat-sahabat wanita nabi yang terlibat dalam peristiwa
kemukjizatan juga penting, bukan saja sebagai model peran bagi wanita muslim,
tapi juga sebagai wali dan sufi pertama dalam Islam. Sejumlah istri Nabi disebut-
sebut mendapat kehormatan melalui intervensi Ilahiah dalam hubungan mereka

258
W. Montgomery Watt, Aisya bin Abi Bakar, E: 12, h, 307-308.
95
dengan Muhammad. Aisyah mendapat anugerah karena dia melihat malaikat
Jibril, dan Jibril menyuruh Nabi untuk menikahi Aisyah. Ketika Muhammad
mengambil langkah pertama untuk menceraikan Hafshah, Jibril mendatangi
Muhammad, dan menyuruhnya kembali kepada Hafshah. Zainab binti Jahsy
dinikahkan dengan Nabi oleh Allah karena wahyu membolehkan persatuan
seperti itu, dan Zainab tidak punya sanak keluarga yang dapat menikahkannya.
Perkawinan Saudah, Umm Habibah, dan Shafiyah binti Huyay, sudah disebutkan
sebelumnya dalam mimpi, dan Allah menganugerahkan pelipur lara kepada
Umm Salamah yang ditinggal suaminya yang gugur di jalan Islam dalam bentuk
menikah dengan Nabi. Kelima keuntungan material dan implikasi politis.259

b. Generasi Tabiin Wanita


Seperti dikutip dari Hasbi as-Shidiqi mengemukakan bahwa tabiin adalah orang
yang menyertai sahabat. Sedangkan para muhaditsin berpendapat tabiin adalah
orang yang bertemu sahabat walaupun dia tidak menyertainya. Tabiin adalah
orang yang pernah berteman dengan seorang sahabat nabi. Menurut pendapat ini,
menjadi tabiin tidak cukup bertemu dengan sahabat, berbeda dengan sahabat
yang cukup bertemu dengan nabi.260
Jumlah dan proporsi tabi'in wanita jauh lebih sedikit dibanding jumlah dan
proporsi sahabat wanita. Barangkali tidak lebih dari seratus limapuluh, meskipun
kesulitan dan perselisihan perndapat untuk menentukan golongan ini menjadikan
angkanya hanya sebagai indikator kira-kira saja. Dalam buku Ibn Sa'd, sembilan
puluh empat wanita tidak meriwayatkan langsung dari Nabi, dibandingkan
dengan lima ratus dua puluh sembilan sahabat wanita. Buku Ibn Hibban, yaitu
buku tentang perawi-perawi terpercaya, menyebutkan 16,5 persen wanita dari
kalangan sahabat, tetapi hanya 1,9 persen yang dari kalangan tabi'in. Lebih
banyaknya wanita yang hidup pada periode Umayah, terekam dalam Sejarah
Damaskus karya Ibn 'Asakir, karena Damaskus merupakan ibu kota dinasti
Umayah. Kompilasi Ibn Al-Jauzi tentang kaum sufi menyebutkan lebih banyak
wanita dari kalangan sahabat daripada dari Kalanga generasi kedua, namun
penurunannya tidak setajam dalam sumber-sumber lain. Dalam kary karya
historis retrospektif, proporsi dan jumlahnya bahkan lebih sedikit. Adz-Dzahabi,
misalnya, menyebutkan lima puluh sahabat wanita, sedangkan tabi'in wanita
hanya disebutkan delapan saja.
Satu alasan kenapa terjadi penurunan jumlah dan proporsi wanita secara
dramatis dalam koleksi-koleksi biografi dari generasi pertama sampai kedua,
berkaitan dengan kedudukan khas sahabat wanita sebagai preseden dan model
peran bagi kaum Muslim pada umumnya dan bagi wanita Muslim pada
khususnya. Generasi wanita setelah zaman Nabi, sulit untuk dapat dibandingkan
dengan wanita-wanita pada periode berdirinya
Islam, suatu periode yang ideal. Kemudian juga faktor-faktor lain seperti alasan
ekologis, perubahan ekonomi, dan akibat adanya pengaruh kultural dari luar.

259
Ruth Roded, Kembang Peradaban Citra Wanita di Mata Para Penulis Biografi
Muslim, h.44.
260
Sohari, Perbedaan Tingkat Pemahaman Sahabat dan Tabiin dalam
Menginteprestasikan Hadis, Jurnal Al-Qalam no. 96 Tahun 2003, h.83
96
Beberapa perempuan yang diceritakan dalam buku-buku biografis di
generasi kedua ini diantaranya, Amra’ binti Abdurrahman seorang faqih yang
sangat alim, Hafsah seorang faqih yang Zahid, Aisyah binti Thalhah, Umm al-
Banin Atikah seorang kerabat dua belas penguasa Umayah, budak penyanyi
Sallamah al-Qass.

c. Pasang Surut Wanita Terpelajar


Dalam abad selanjutnya, penulisan tentang wanita di berbagai buku
biografis mengalmai kemerosotan. Jumlah dan proporsi perawi wanita turun
secara dramatis pada generasi kedua. Di antara tabi'in, Ibn Hibban menyebutkan
sembilan puluh wanita, 1,9 persen dari para perawi generasi ini. Ibn Al-Qaisarani
menghimpun sedikit demi sedikit dua puluh satu wanita dalam Bukhari dan
Muslim yang meriwayatkan dari sahabat. Ibn Hajar mengutip sekitar seratus dua
puluh lima wanita vang meriwayatkan dari generasi pertama.
Wanita dari generasi ketiga ada dua belas dalam Ibn Hibban, dan sekitar
empat belas orang dalam Ibn Hajar. Ibn Hajar juga mengutip tiga wanita yang
menjadi mata rantai keempat dalam rangkaian periwayatan. Ibn Sa'd
meriwayatkan sekitar enam belas hadis dalam bagian tentang wanita-wanita
tersebut, di mana seorang wanita menjadi mata rantai ketiga atau keempat, tetapi
Ibn Sa'd tidak memasukkan entri biografi tentang mereka. Wanita-wanita abad ke
tiga tersebut dapat dikenali bahwa mereka itu adalah penyampai ilmu
pengetahuan. Mereka ada yang hamba sahaya, ada pula yang dari keluarga raja,
tetapi kebanyakan berasal dari kelas menengah yang berpendidikan, termasuk
dua putri hakim. Banyak di antara wanita-wanita ini belajar kepada ulama-ulama
terkemuka pada zaman mereka, dan juga mengajar ulamna-ulama lain. Umm
'Umar Ats-Tsaqafiyah konon telah meriwayatkan kepada Ibn Hanbal, dan wanita
lain meriwayatkan dari Ibn Hanbal. Al-Khathib Al-Baghdadi belajar kepada
empat di antara wanita-wanita yang dikutipnya dalam kamusnya.
Pada generasi-generasi awal, jumlah ahli hadis perempuan mengalami
kemerosotan. Hal ini mengindikasikan adanya pandangan bahwa perawi laki-laki
lebih istimewa disbanding perawi perempuan. Pengistimewaan ini kiranya
merupakan hasil dari prasangka bawah sadar atau dari pola-pola sosial yang
membuat hubungan antara ulama pria dan wanita jadi problematis. Contohnya,
pelestarian Sassan Persia dalam masvarakat Abbasiah menciptakan suatu suasana
yang membatasi gerak wanita. Sedikitnya jumlah wanita alim yang terekam
dalam sumber-sumber sejak dari abad ketiga sampai kedelapan Islam, tampaknya
berhubungan dengan sedikitnya jumlah mereka yang tercatat dalam koleksi-
koleksi biografi yang ada.
Barangkali standar-standar yang lebih ketat diterapkan, dan hanya ulama-
ulama wanita yang sangat terkemuka sajalah yang diingat. Jika ada kamus-kamus
seratus tahun mengenai periode-periode ini, barangkali akan semakin banyak lagi
jumlah wanita alim yang dikutip dan dimasukkan ke dalam koleksi-koleksi
retrospektif. Di antara wanita alim yang banyak pada abad kedelapan/keempat
belas dan kesembilan/kelima belas itu, hanya beberapa saja yang merupakan
ulama-ulama terkemuka, dan banyak yang dicatat karena hubungan mereka
dengan penulis biografi itu, guru-guru, dan rekan-rekan mereka. Jumlah wanita
alim dan ulama menurun tajam pada abad kesepuluh/keenam belas; sejak abad
kesebelas wanita-wanita alim dan ahli hadis secara sistematis disingkirkan dari
97
koleksi biografi. Beberapa alasan diantaranya adalah, kebanyakan perawi hadis
wanita menyampaikan hadis-hadis tersebut ke kerabatnya yang pria.
Selain tercatat sebagai para perawi hadis, wanita pun berkiprah di dunia
hokum. Ada duabelas kasus hukum yang terekam dalam kamus biografi dan ada
empat wanita yang menjadi mufti. Para perempuan belajar tentang hukum
relative banyak terjadi pada sekitar abad ke duabelas/ketujuhbelas yang mana
mereka sekaligus bertugas di pusat-pusat keilmuan. Dengan demikian, wanita
tidak sepenuhnya tersingkir dari dunia ahli hukum, justru partisipasi wanita
tampaknya luar biasa. Seperti telah kita ketahui, Aisyah, 'Amra binti'Abdur
Rahman, Hafshah binti Sirin, dan wanita-wanita lain dari generasi pertama dan
kedua, terkenal sebagai ahli hukum, dan dilukiskan memberikan fatwa dalam
masalah-masalah hukum. Demikian juga dalam hal sufistik. Wanita-wanita
muslim juga tercatat beberapa diantanya sebagai seorang sufi.261 Meskipun pada
ranah sufi ini, kiprah perempuan tidak banyak diperbincangkan.262

d. Para Ratu
Tak seorang pun wanita yang pernah memegang kekuasaan menyandang
gelar khalifah. Namun bukan berarti karena alasan tersebut dapat dikatakan
bahwa tidak pernah ada wanita kepala negara dalam Islam. Bagaimana pun juga
meski tidak pernah ada wanita yang menjadi seorang khalifah telah banyak
wanita yang berusaha untuk menjadi sultanah atau malikah (ratu). Salah satu
yang paling masyhur adalah Sultanah Radliyah yang memegang kekuasaan di
Delhi pada tahun 634 H/1236 M. Ratu lain yang menyandang gelar sultanah
adalah Syajarat Al-Durr, seorang penguasa Mesir, yang meraih kekuasaan di
Kairo pada 648/1250 sebagaimana pemimpin militer lainnya, melalui keunggulan
strateginya. Dia memberikan kemenangan bagi kaum Muslim yang diingat baik
oleh bangsa Prancis, sebab dia mengalahkan pasukan mereka dalam Perang Salib
dan menangkap raja mereka, Louis IX. Namun, para ratu Arab jarang yang
menyandang gelar sultanah; ahli sejarah lebih sering menjuluki mereka malikah.
Baik Radhiyyah maupun Syajarat Al- Durr adalah orang-orang Turki; mereka
memegang kekuasaan sebagai anggota dinasti Mamluk yang menguasai India dan
Mesir. Di Yaman beberapa ratu Arab menyandang gelar malikah; di antaranya
adalah Asma dan 'Arwah, yang menjalankan pemerintahannya di San'a pada
akhir abad kesebelas. Asma memerintah hanya sebentar dan bersama-sama
dengan suaminya 'Ali, pendiri dinasti Sulayhi.263
Radliyah dan Syajarat al-Durr merupakan dua sultanah yang terkenal di
dinasti mamluk. Mereka berdua meraih tahta berkat kekuatan militer Bangsa
Mamluk, yaitu bekas bydak Turki yang selama berabad-abad mengabdi di istana
yang telah memperbudak mereka, namun pada akhirnya berhasil menggantikan
majikan mereka. Radhiyah meraih tahta dari ayahnta, Sultan Iltutmisy raja Delhi,

261
Ruth Roded, Kembang Peradaban Citra Wanita di Mata Para Penulis Biografi
Muslim, h. 85.
262
Sururin, Perempuan dalam Lintasan Sejarah Tasawuf, h. 299 Jurnal Ulumuna
No. 2, Desember 2010, diakses pada 10 November 2019.
263
Fatima Mernissi, Ratu-ratu yang Terlupakan, (Bandung, Penerbit Mizan,1994),
h.24
98
Syajarat mengambil tahta dari suaminya, Malikus Salih dan penguasa Ayyubiyah
terakhir.
Selain para pemimpin wanita di dinasti Mamluk, beberapa ratu juga
berasala dari Mongol, (Khatun Mongol) seperti Turkan Khatun, Padisyah
Khatun yang menjadi ratu-ratu di Dinasti Kultugh Khanid. Ratu lainnya yang
mendapatkan kekuasaan melalui perkawinan seperti Padisyah ialah Absy
Khatun, yang memerintah wilayah Persia selama seperempat abad. Wanita
lainnya yang memegang kekuasaan adalah Dawlat Khaltun pemimpin Luristan
yang terletak di wilayah Persia yang juga berada di bawah kekuasaan Mongol.
Dawlat naik tahta saat suaminya Izz al-Din Muhammad meninggal dunia. Salah
seorang ratu Mongol lainnya yang menerima penghormatan tertinggi dan
memerintah Baghdad adalah Tindu.
Naiknya para wanita ke panggung kekuasaan dalam Imperium Mongol ini
semakin mengagumkan lagi mengingat bahwa dipanggung kekuasaan
sebelumnya hampir tidak ada ratu sama sekali sebelum pengambilalihan Baghdad
pada 1258. Namun, harus tetap diingat bahwa di antara bangsa Mongol hak
istimewa ini hanya diperuntukkan bagi para wanita dari kalangan bangsawan dan
penduduk setempat tidak terlalu diperhitungkan. Bagaimana kita dapat
menjelaskan betapa suatu bangsa dapat begitu kejam dan sekaligus memberikan
tempat terhormat kepada kaum wanita di panggung politik? Jawaban bagi
pertanyaan itu akan memerlukan satu buku lagi, yang akan membawa kita
menelusuri wilayah-wilayah gelap dari kaitan-kaitan yang menarik di antara
berbagai hukum masyarakat yang rumit yang mengatur segitiga dasar itu-
kekuasaan/kekerasan/seks. Sementara itu, berikut ini kelompok dari para wanita
kepala negara, yaitu para ratu dari kerajaan-kerajaan kepulauan di Asia Tenggara,
suatu kebudayaan Muslim yang lain dengan kemungkinankemungkinan lain dan
contoh-contoh perilaku yang lain pula.
Tujuh orang Sulthanah memerintah wilayah Hindia: tiga di Maladewa dan
Empat di Indonesia. Pertama, Sultanah Khadijah, kemudian setelah memerintah
33 tahun, ia meninggal dan saudarinya yang mewarisi tahta, Myriam hingga
kematiannya dan tahta diwariskan kepada putrinya Sulthanah Fathimah. Jadi
selama 40 tahun lamanya Muslim di kepulauan Maladewa diperintah oleh para
wanita. Selain itu empat orang putri saling mewarisi tahta di Indonesia, di negeri
Aceh pada paruh kedua abad ke tujuh belas.264
Meskipun ada ketentuan-ketentuan dari Makkah, tentangan dari para
khalifah, dan oportunisme dari para pelaku politik, 15 wanita penguasa itu
menaiki takhta negara-negara Muslim antara abad ketiga belas hingga abad
ketujuh belas, dengan memegang lencana resmi kekuasaan. Dua yang pertama,
Radhiyyah dan Syajarat Al-Durr, adalah wanita-wanita Turki yang termasuk
dalam dinasti Mamluk. Enam sultanah menduduki takhta ketika para pangeran
Mongol menggantikan para khalifah Arab Abbasiah di pucuk pimpinan
Imperium Muslim. Dan tujuh lainnya adalah para penguasa Islam di Maladewa
dan Indonesia. Ahli sejarah Ucok Un tidak menemukan adanya sultanah Arab
asli. Para wanita baru dapat memegang kekuasaan ketika bangsa Arab telah

264
Fatima Mernissi, Ratu-ratu yang Terlupakan, (Bandung, Penerbit Mizan,1994),
h.140-175.

99
dikalahkan: 'Hanya dengan berakhirnya negara Abbasiah, yang merupakan
penghalang utama bagi upaya kaum wanita untuk memegang tampuk pimpinan
negara, maka kaum wanita dapat menduduki takhta mereka. Lenyapnya negara
Abbasiah 'membuka jalan bagi mereka dan akhirnya memungkinkan mereka
memegang kekuasaan.

C. Kesimpulan
Setelah masa generasi kedua, penulisan perempuan dalam koleksi
bigrafis dapat dikatakan mengalami kemrosotan drastis. Hal ini selain karena
perempuan-perempuan di era generasi pertama yang menjadi percontohan
idealnya seorang muslim sehingga memperketat kriterta-kriteria yang kemudian
dapat dimasukkan sebagai seseorang yang layak ditulis. Selain itu factor lain
diantaranya adalah adanya birokratisasi karir dan pelembagaan-pelembagaan
tasawuf menjadi tarekat-tarekat yang memungkinkan wanita tidak dapat
dimasukkan kedalam salah satu golongan tokoh besar masa kini.
Selain berkiprah aktif dalam bidang ilmu pengetahuan, setelah
Abbasiyah runtuh, rupanya banyak pemerintahan-pemerintaha muslim yang
mengangkat seorang pemimpin perempuan (ratu). Hal ini menunjukkan
eksistensi perempuan juga cukup kuat di bidang politik, ditambah lagi, di era
sebelumnya (Umayah dan Abbasiyah) meskipun perempuan tidak langsung
menjadi pemimpin, akan tetapi para istri khalifah atau selirnya memiliki
pengaruh cukup signifikan dalam masalah pemerintahan dan politik.

100
DAFTAR PUSTAKA
Faruqi, Early Muslim Historiography, (Delhi:tt,1979)
Marzuki, Keterlibatan Perempuan dalam Bidang Politik Pada Masa Nabi
Muhammad SAW. dan Masa Khulafaur Rasyidin (Suatu Kajian
Historis), Jurnal Humaniora, Nomor 1, April 2008, ISSN.1412-4009.
Mernissi, Fatima, Ratu-ratu yang Terlupakan, (Bandung, Penerbit
Mizan,1994).
Morris, William, et al. (ed.), The Heritage Illustrated Dictionary of the
English Language, Vol. I (Boston: Houghton Mifflin Company,
1979).
Murray, James A. H., et al., (ed.), The Oxford English Dictionary (Oxford:
The Clarendon Press,1978).
Rianawati, Sejarah Keterlibatan Perempuan Islam dalam Bidang Ekonomi,
Rahemma: Jurnal Studi Gender dan Anak, Desember 2016 dalam
website Researchgate diakses pada 10 November 2019.
Roded, Ruth, Kembang Peradaban Citra Wanita di Mata Para Penulis
Biografi Muslim, terj. Women in Islamic Biographical Collections
From Ibn Sa’d Who’s Who, (Jakarta: Mizan, 1995).
Sohari, Perbedaan Tingkat Pemahaman Sahabat dan Tabiin dalam
Menginteprestasikan Hadis, Jurnal Al-Qalam no. 96 Tahun 2003.
Sururin, Perempuan dalam Lintas Sejarah Tasawuf, Jurnal Ulumuna, No. 2
Desember 2010.
Tamam, Ja’far, Problematika Penulisan Sejarah Islam (academia.edu).
diakses pada 01 November 2019.
Thohir, Ajid, HISTORIOGRAFI ISLAM: Bio-biografi dan Perkembangan
Mazhab Fikih dan Tasawuf, Jurnal Miqat, No. 2 Juli-Desember 2012.
Watt, W. Montgomery, Aisya bin Abi Bakar, E: 12.

101
Tabel Hasil Penelitian Ruth Roded Atas Pandangan Para Penulis Biografi Muslim
Terhadap Wanita

102
103
HISTORY OF ISLAMIC CIVILIZATION
(HUBUNGAN ANTARA ULAMA DAN UMARA DALAM SEJARAH ISLAM)
Mukhamad Saifunnuha (21191200000008)

Abstrak
Sosok pengganti Nabi sebagai kepala negara dan sebagai seorang
rasul penyampai ajaran kebenaran Islam, tercermin pada dua tokoh,
yaitu ulama dan umara (pemimpin). Masing-masing keduanya
mempunyai peran penting dalam rangka mewujudkan dunia yang
damai dan sejahtera. Begitu pula kerjasama antara keduanya menjadi
sebuah keniscayaan. Namun sejarah mencatat tidak demikian.
Hubungan antara ulama dan umara dalam sejarah Islam tidak
selamanya haromonis. Ada hubungan ideal yaitu keduanya saling
bekerja sama. Namun juga ada hubungan yang tidak ideal, dimana
keduanya tidak saling bekerjasama dan mendukung satu sama lain.
Maka dalam tulisan ini penulis hendak menguraikan sejarah hubungan
antara keduanya tersebut. Dengan fakta bahwa hubungan antara
keduanya dalam sejarah Islam bermacam-macam, maka penulis juga
akan mengklasifikasikan jenis hubungan yang bermacam-macam
tersebut. Tentunya dengan disertai contoh pada masing-masingnya.
Kata Kunci: Ulama, Umara, Sejarah Islam

Pendahuluan
Pada awal-awal masa kenabian yaitu pada periode Makkah, Nabi Muhammad
saw berperan hanya sebagai penyampai wahyu atau ajaran Islam saja. Namun
berbeda ketika memasuki periode Madinah, dimana Islam telah meluas dan
melakukan ekspansi ke banyak daerah bahkan negara. Peran Nabi bukan hanya
sebagai penyampai wahyu, namun sekaligus juga sebagai kepala Negara, yaitu
Negara Islam. Negara Islam pada masa tersebut, dapat dikatakan sebagai sebuah
contoh idealitas, dikarenakan adanya keseimbangan antara kebijaksanaan dalam
kekuasaan dan keluhuran dalam ajaran, yang kedua hal tersebut ada pada seorang
kepala negara, yaitu Nabi saw.
Babak baru umat Islam kemudian dimulai ketika Nabi saw wafat. Dimana
kepala Negara (khalifah pada masa itu) tidak mempunyai otoritas penuh dalam
ajaran meskipun mempunyai otoritas dalam kekuasaan. Menjadi lebih jelas kasusnya
ketika kemudian sampai pada masa setelah kekhalifahan, yaitu masa Dinasti dan
setelahnya.265 Dimana sang pemegang otoritas kekuasaan (kepala negara), sama
sekali tidak mempunyai otoritas dalam keagamaan (orang yang dianut dalam
masalah Agama). Dengan kata lain terpecahlah idealitas sebuah kepala negara
menjadi dua. Yaitu umara (yang mempunyai otoritas kekuasaan) dan ulama (yang

265
Syamsuddin Arif, ‘Intelektual Dan Ulama Vis-a-Vis Penguasa’, Islamia, 11.1
(2017), 7–18.
104
mempunyai otoritas keagamaan). Yang sebelumnya, keduanya tersebut ada pada diri
Nabi saw.
Kosekuensi daripada hal itu adalah, keharusan adanya kerjasama antara ulama
dan umara itu sendiri untuk mewujudkan Negara yang damai dan maju, dengan
tetap memegang teguh ajaran-ajaran Islam yang ada. Namun kenyataannya berkata
lain, antara ulama dan umara dalam sejarah pemerintahan Islam pasca Nabi saw –
bahkan sampai dengan sekarang– hal itu belum dapat diwujudkan dengan baik.
Tidak sedikitnya ulama yang dipenjarakan oleh penguasa, begitu juga tidak
pedulinya ulama pada penguasa, pada masanya masing-masing, membuktikan
bahwa idealitas yang seharusnya diusahakan –alih-alih diusahakan– namun malah
kemudian diabaikan.
Dalam makalah ini, penulis bermaksud untuk membahas perihal hubungan
antara ulama dan umara dalam sejarah Islam, kemudian menuliskannya berdasarkan
fakta-fakta yang ada. Dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja
sebenarnya yang kemudian menjadi penghambat atau kendala dalam mewujudkan
idealitas hubungan antara ulama dan umara tersebut. sehingga nantinya dapat
dijadikan pelajaran sekaligus tambahan wawasan mengenai hubungan antara ulama
dan umara dalam sejara Islam. selamat membaca!
‫ وَّل‬,‫ وَّل ينهون عن منكر‬,‫ وَّل أيمرون مبعروف‬,‫فإذا هم (العلماء) َّل ينصرون حقا وَّل ْينعون َبطَل‬..."
266
".‫؟ وكان بطن األرض خريا هلم من ظهرها‬..‫ فما فائدة وجودهم اذن‬...‫حياسبون حكاما وَّل‬
“ Jika mereka (Ulama) tidak mendukung kebenaran, tidak mencegah kebathilan,
tidak menyuruh yang ma’ruf, tidak mencegah yang mungkar, dan tidak peduli
kepada penguasa... lalu apa guna keberadaan mereka?... maka jika begitu lebih
baik mati saja daripada hidup di muka bumi.”267
Pembahasan
A. Pengertian Ulama dan Umara
Seperti yang telah penulis singgung dalam pendahuluan diatas, dalam tulisan ini
terdapat dua term yang menjadi fokus dalam penelitian, yaitu ulama dan umara,
yang nanti akan dikemukakan relasi antara keduanya dalam kaitannya dengan
sejarah Islam. Namun sebelumnya perlu kiranya diketahui pengertian masing-
masing term tersebut, sebagai berikut:
1. Ulama
Ulama (dalam bahasa arab: ‫)علماء‬, merupakan bentuk jamak dari kata
‘Alim (‫)عالم‬, yang berarti ‘orang yang terpelajar’ atau ‘orang yang
berilmu/berpengetahuan’.268 Pada dasarnya kata ‘ulama’ ini memang berarti
umum, dalam arti tidak ada pembatasan ilmu spesifik dalam pengertian ini.
Tetapi, seiring perkembangan dan terbentuknya ilmu-ilmu islam, khususnya
syari’ah atau fikih, pengertian ‘ulama’ menyempit menjadi ‘orang yang

266
Abd al-Aziz Al-Badri, Al-Islam Baina Al-Ulama Wa Al-Hukkam (Madinah: al-
Maktabah al-Ilmiyyah, 1965)., h. 10.
267
Abdul Aziz Al-Badri, Hitam Putih Wajah Ulama & Penguasa, Terj. Munirul
Abidin, 1st edn (Jakarta: Darul Falah, 2003)., h.
268
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap
(Surabaya: Pustaka Progresif)., h. 966.
105
memiliki pengetahuan dalam bidang fikih’.269 Ulama yang telah mengalami
penyempitan makna inilah yang kemudian berkembang di masyarakat pada
umumnya.
Adapun dalam makalah ini, dalam kaitannya dengan penguasa, ulama
yang penulis maksud adalah mereka yang berilmu, baik ilmu-ilmu fikih
maupun ilmu keagamaan yang lain, hadis, tafsir, dan sebagainya. bukan
ulama dalam pengertian orang yang menguasai ilmu umum atau sekuler.
Karena peran ulama dalam kaitannya dengan penguasa disini, adalah
sebagai penasehat bagi penguasa dalam masalah agama.
Lebih tegas pengertian ulama dalam hal ini dijelaskan oleh Syamsuddin
Arif, bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah mereka yang menguasai
ilmu-ilmu agama Islam, memahami hukum-hukum Allah dan mengikuti
sunnah Nabi saw. Mereka yang tekun mendalami ajaran agama Allah, yang
bepergian, mengembara atau merantau untuk mencari ilmu, supaya nantinya
pulang ke kampung halamannya untuk mengajar dan menuntun masyarakat
ke jalan Allah agar menjadi hamba-hamba Allah yang beriman dan beramal
soleh.270
2. Umara
Umara (dalam bahasa arab: ‫ )أُمراء‬merupakan bentuk jamak dari amir
(‫ )أمير‬yang bermakna raja (‫)الملِك‬, kepala, pemimpin)‫(الرئيس‬, penguasa ‫(من تولى‬
)‫ أ ْمر القوم‬dan penuntun. Sedang asal katanya adalah amara yang berarti
memerintah.271
Umara atau penguasa memiliki otoritas serta kebijakan dalam
mengendalikan suatu sistem pemerintahan. Porsi mereka amat besar dan
paling berpengaruh, yakni sebagai pusat perintah sekaligus tanggung jawab
dari setiap kebijakan. Antara keputusan dan tanggung jawab yang dimiliki
mereka, berada dalam satu kepalan tangan. Jika keputusan yang diambil
tepat, maka tata kelola kerajaan beserta masyarakatnya akan mengarah pada
suatu keberaturan dan kesejahteraan, namun sebaliknya jika keputusan yang
diambil adalah salah, maka mereka beserta rakyatnya akan menanggung
bebab dari suatu keadaan yang tidak diinginkan.272
Adapun umara yang dimaksud dalam makalah ini adalah segala
kedudukan yang dapat memerintah dan membuat kebijakan. Bukan hanya
kepala negara, khalifah, namun juga menteri, gubernur, dan sebagainya.

B. Relasi antara Ulama dan Umara dalam Sejarah Islam


Sejarah politik atau kekuasaan Islam pertama kali ditandai dengan adanya
Khalifah sebagai pengganti seusai wafatnya Nabi saw. Empat sahabat Nabi secara

269
Azyumardi Azra, ‘Biografi Sosial-Intelektual Ulama Perempuan: Pemberdayaan
Historiografi’, dalam buku Ulama Perempuan Indonesia, ed. by Jajat Burhanudin, dkk.
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002)., h. xxviii.
270
Arif.
271
Munawwir., h. 38.
272
Gazali, ‘Interelasi Umara Dan Ulama Dalam Menata Kehidupan Sosio-Keagamaan
Di Aceh Darussalam Era Sultan Iskandar Muda 1607 – 1636.’ (UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2016)., h. 76.
106
bergantian kemudian dipercaya oleh umat Islam pada saat itu untuk menggantikan
Nabi sebagai amir al-mukminin. Yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.273
Setelah masa khulafa ar-rasyidin, kemudian beralih ke masa selanjutnya. Bani
Umayyah menjadi penguasa pertama dalam masa ini. Hampir satu abad Bani
Umayyah memegang tampuk kekuasaan, yang kemudian beralih kekuasaan ke Bani
Abbasiyah. Pada masa Abbasiyah inilah Islam mengalami kejayaan di segala
bidangnya, sehingga kemudian disebut sebagai masa keemasan Islam.274 Namun
sangat disayangkan, kejayaan itupun berakhir setelah adanya serangan dari bangsa
Mongol yang meratakan Baghdad sebagai ibukota Negara Islam saat itu. Kekuasaan
Islam kemudian terbagi menjadi dinasti-dinasti kecil disekitarnya seperti Dinasti
Buwaihiyah, Dinasti Seljuk, dan sebagainya. Di sisi lain, Dinasti Fatimiyyah di
Andalusia Spanyol yang tidak lain merupakan keturunan Bani Umayyah pun sudah
runtuh, bahkan sebelum runtuhnya Dinasti Abbasiyah itu sendiri. Yang kemudian
digantikan oleh Dinasti Ayyubiyah. Dan begitu seterusnya sampai pada masa
kesultanan Mamluk dan kesultanan Turki Utsmani yang menjadi akhir daripada
kekuasaan Islam dalam bentuk sebuah negara.
Dalam setiap masa tersebut, masing-masing ulama dan umara saling
bersinggungan satu sama lain. Antara keduanya, yaitu ulama dan umara, terkadang
terjadi hubungan yang saling menguntungkan (symbiotic relation), namun juga
terkadang masalah atau perseteruan terjadi diantara keduanya (friction).275 Adapun
sebab-sebab mengapa demikian, akan penulis uraikan selanjutnya dalam contoh-
contoh kasusnya.
Akan tetapi, baik ulama maupun umara, yang peru kita ketahui adalah masing-
masing ada dua jenisnya. Ulama yang baik dan ulama yang buruk (ulama al-su’),
juga umara yang adil dan umara yang dzalim. Dan kesejahteraan Islam serta
umatnya bergantung kepada keduanya tersebut.
‫ مها صنف األمراء وصنف‬,‫صنفان من هذه األمة يصلح اإلسَلم بصَلحها ويفسد بفسادها‬
‫ (( صنفان من‬:‫ فيما رواه أبو نعيم‬.‫ يقول رسول هللا ص‬.‫ مها رجال الدعوة ورجال الدولة‬.‫العلماء‬
276
.))‫ العلماء واألمراء‬:‫ وإذا فسدا فسد الناس‬,‫الناس إذا صلحا صلح الناس‬

273
Tentu hal ini terlepas dari perdebatan apakah keempat khalifah tersebut memang
benar-benar dipercaya dan diakui oleh keseluruhan umat muslim pada masa itu atau tidak.
Karena pada nyatanya yang kemudian kita kenal sebagai Syiah, mereka hanya mengakui Ali
saja sebagai khalifah yang sah. Sedang ketiga khalifah sebelumnya, mereka tidak
mengakuinya sebagai seorang khalifah, bahkan lebih keras lagi mereka menganggap bahwa
ketiga khalifah sebelumnya itu telah mengambil hak Ali yang harusnya sejak awal menjadi
khalifah. dengan terlepas dari perbedaan tersebut, namun faktanya ketiga khalifah sebelum
Ali pun memang benar-benar menempati posisi khalifah masa itu.
274
Pada masa Umayyah dan Abbasiyah inilah, beberapa ulama kemudian
mendapatkan kedudukan untuk memangku jabatan sebagai penasehat khalifah, hakim
pengadilan, dan lain-lainnya. Joan E Gilbert, ‘Institutionalization of Muslim Scholarship and
Professionalization of the ’ Ulama’ in Medival Damascus’, Studia Islamica, 52, 1980, 105–
34.
275
Yaacov Lev, ‘Symbiotic Relations: Ulama and the Mamluk Sultans’, Mamluk
Studies Review, 13.1 (2009), 1–26.
276
Abd as-Salam Yasin, Al-Islam Au At-Thufan: Risalah Maftuhah Ila Mulk Al-
Maghrib, 1st edn (Maroko, 2000)., h. 45.
107
“Dua golongan, dimana kebaikan dan kesejahteraan umat Islam bergantung
kepada keduanya, yaitu ulama dan umara. Jika keduanya baik, rukun, dan adil,
maka semuanya akan baik. Begitu juga sebaliknya, jika keduanya buruk, fasad,
rusak, maka umat pun akan tercerai berai.”
Berdasarkan hadis tersebut, penulis kemudian membagi atau mengklasifikasikan
hubungan ulama dan umara menjadi 4, sebagai berikut:
a. Ulama dan Umara yang sama-sama bijak
Kisah Khalifah Harun Ar-Rasyid (766-809 M)
Harun Ar-Rasyid adalah khalifah ke-5 Bani Abbasiyah. Kisahnya
bersama Sufyan Ats-Tsauri merupakan gambaran ideal hubungan antara
ulama dan penguasa, sebagai berikut:
Ketika Harun Ar-Rasyid memegang jabatan Khalifah, beberapa ulama
mengunjunginya untuk memberikan ucapan selamat. Namun berbeda
dengan Sufyan Ats-Tsauri yang enggan untuk mengunjunginya. Kemudian
Harun mengirim surat kepada Sufyan Ats-Tsauri, dimana dalam suratnya
Harun berkata bahwa dia rindu kepada Sufyan dan memintanya untuk
datang menemuinya. Harun mengatakan bahwa para ulama dan saudara-
saudara yang telah mengunjunginya, dia berikan kepada mereka harta
tahunan, yang diambilnya dari baitul mal. Dengan maksud Harun juga
hendak memberikan harta tersebut kepada Sufyan jika dia kemudian
berkenan datang.
Singkat cerita, ketika surat itu sampai kepada Sufyan, dia meminta
muridnya untuk membacakan surat tersebut. Ketika mendengar isi surat
tersebut, Sufyan berkata “ Balik surat itu dan tulislah kepada orang dzalim
itu dibalik suratnya.”
Ketika dikatakan kepada Sufyan untuk menulis di kertas yang baru dan
bersih karena ditujukan kepada seorang khalifah, Sufyan enggan
melakukannya dan tetap memerintah untuk menulis surat balasan itu dibalik
suratnya Harun.
Kemudian ditanyakannya oleh muridnya tentang apa yang harus ditulis
dalam balasan suratnya tersebut, Sufyan berkata:
“Bismillahirrahmanirrahim, dari hamba berdosa Sufyan bin Sa’id bin
Al-Mundzir Ats-Tsauri, kepada hamba yang terperdaya dengan cita-cita,
Harun Ar-Rasyid, yang mengesampingkan kenikmatan iman.
............... (isi suratnya panjang, namun intinya Sufyan mengingatkan
dengan keras tentang Harun yang mengambil harta dari baitul mal untuk
diberikan kepada orang yang tidak berhak menerimanya)
Wahai Harun, kamu telah menguras baitul mal milik orang Islam tanpa
persetujuan mereka. Apakah orang-orang muallaf, amil, mujtahid di
jalan Allah, dan ibn sabil rela dengan perbuatanmu itu? Apakah orang
yang hafal Alquran, ahlul ilmi, orang yang punya hutang, anak-anak
yatim dan rakyatmu rela? Singsingkan lengan bajumu, carilah jawaban
atas masalah ini, dan hentikan malapetaka ini!......
Ketahuilah wahai Harun, sesungguhnya aku telah menasehatimu dan
aku tidak berharap apa-apa dalam nasehat ini. maka bertakwalah
kepada Allah wahai Harun dalam kepemimpinanmu dan menjadilah

108
seperti Muhammad terhadap umatnya, serta menjadilah pemimpin yang
baik terhadap mereka......”
Kemudian sampailah surat yang penuh umpatan dan kata-kata yang
menyesakkan dada itu kepada Harun, dan ketika ia membaca balasan surat
dari Sufyan tersebut, Harun meneteskan air mata sambil terus membaca
surat itu dengan terbata-bata. Kemudian orang disekelilingnya berkata,
“Wahai Amirul Mukminin, apakah Sufyan telah menyakiti hatimu? Jika
kamu bertemu dengannya maka kamu bisa memukulnya dengan besi, dan
kamu penjarakan di tempat yang sempit, supaya jadi pelajaran bagi orang
lain”. Lalu Harun berkata “Tinggalkanlah kami wahai budak dunia, yang
tersesat dan menyesatkan, yang sengsara dan menyengsarakan.
Sesungguhnya Sufyan benar, maka biarkanlah dia”.277
Kisah Harun dan Sufyan diatas merupakan sebuah contoh hubungan
ulama dan umara yang ideal dan semestinya. Ketika seorang umara
melakukan kesalahan, menyimpang dari ajaran, maka kemudian disitulah
tugas utama ulama untuk memberikan nasehat dan meluruskan hal yang
salah itu, seperti yang dilakukan oleh Sufyan Ats-Tsauri. Bukan Ulama yang
ketika melihat kedzaliman penguasa memilih untuk berdiam diri dan acuh
atas permasahan-permasalahan Negara, yang itu sangat berkaitan dengan
kesejahteraan umat. Bukan juga ulama yang malah menjilat dan mendukung
penguasa yang dzalim untuk mendapatkan dunia semata.
Dan begitu pula umara yang kemudian mendapat nasehat dari ulama
atas kesalahannya, walaupun bentuk nasehat itu keras, memekakkan telinga
dan membuat sesak di dada, namun sebagai umara seharusya menerima
dengan lapang, serta mengikuti apa yang benar yang dinasehatkan oleh
ulama, seperti yang dipraktekan oleh khlaifah Harun Ar-Rasyid diatas.
b. Ulama yang bijak dan Umara yang dzalim
Kisah Imam Asy-Syafi’i278
Syafi’i adalah seorang dengan kepribadian yang islami, akal yang
cerdas dan jiwa yang lurus. Kepribadian baiknya tersebut telah terkenal baik
di Makkah maupun di Najran, Yaman tempat Syafi’i bekerja bersama
Gubernur Yaman.
Syafi’i berkata, “saya ditugaskan di Najran dan di dalamnya ada bani
haris bin Abdullah Al-Madan, para wali dari Tsaqif. Jika wali datang kepada
mereka, maka mereka menghormatinya. Dia pun menginginkanku untuk
melakukan hal serupa terhadapnya, tetapi tidak saya lakukan.”
Sebagai seorang yang berilmu, Syafi’i selalu mengatakan kebenaran,
mengkritik, mencegah kedzalimaan, dan menentang segala kejahatan yang
hendak dilakukan oleh sang gubernur. Hingga kemudian sang gubernur
merasa sempit dadanya dan berniat melakukan hal buruk kepada Asy-
Syafi’i.
Dan benar, ketika kemudian ada 9 orang yang memberontak terhadap
pemerintahan Yaman, sang Gubernur Yaman memfitnah dan memasukkan
Asy-Syafi’i menjadi salah satu dari nama pemberontak tersebut. yang
277
Abdul Aziz Al-Badri., h. 95-98. Lihat juga: Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali,
Ihya’ Ulum Al-Din (al-Mamlakah al-Arabiyah as-Su’udiyyah: Dar al-Minhaj, 2011).
278
Abdul Aziz Al-Badri., 194-198.
109
kemudian nama-nama itu dikirimkan kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid
untuk meminta hukuman yang berat bagi para pemberontak tersebut.
Hingga kemudian, dengan tangan terbelenggu dan diancam dengan
pedang, dibawalah ke-9 pemberontak tersebut menghadap khalifah Harun
Ar-Rasyid di Baghdad, sedang Asy-Syafi’i disertakan didalamnya. Maka
dijatuhkanlah hukuman mati bagi kesemuanya. Sembilan orang telah
terpenggal kepalanya dengan menyisakan Asy-Syafi’i. Muhammad bin
Hasan sebagai seorang qadhi yang pernah bertemu dengan Asy-Syafi’i
sebelumnya, kemudian memintakan ampunan kepada khalifah Harun
dengan mengatakan bahwa Syafi’i adalah orang yang jujur, baik akhlaknya
dan berilmu. Sehingga khalifah Harun kemudian memberikan waktu untuk
melihat permasalahannya, dan kemudian memberikan ampunan kepada Asy-
Syafi’i dan membebaskannya.
Kisah Asy-Syafi’i dan Gubernur Yaman diatas, mencerminkan jenis
hubungan yang kedua, yaitu ulama yang bijak dan umara yang dzalim.
Sebagai seorang ulama, Asy-Syafi’i melakukan kewajibannya untuk
menghalau dan mengkritik segala kebijakan pemerintah yang menyeleweng.
Namun sebagai gubernur atau umara yang dzalim, enggan untuk dinasehati
dan diluruskan, Gubernur Yaman kemudian hendak menyingkirkan Asy-
Syafi’i, dengan tujuan agar terbebas dari nasehat-nasehat dan kritikan yang
diberikannya.
c. Ulama yang tidak bijak dan umara yang bijak
Penguasa atau umara yang bijak adalah mereka tidak bertindak dzalim
pada rakyatnya, dan mereka yang selalu mendatangi ulama untuk meminta
nasehat atas keputusan-keputusan yang hendak mereka ambil. Dan ulama
yang bijak adalah mereka yang selalu menyampaikan nasihat kebenaran
kepada para penguasa. Namun kemudian muncul istilah ulama al-su’ yang
mengindikasikan bahwa terdapat sebagian ulama yang cinta dunia dan tidak
mengabdikan diri untuk ilmunya. Term ulama su’ ini pula berkaitan dengan
permasalahan seputar hadis yang menyatakan bahwa ulama tidak boleh
mendekati penguasa.
Menurut Adz-Dzahabi, seperti yang dikutip oleh Yahya, ulama al-su’
adalah ulama yang mempercantik kedzaliman dan ketidakadilan yang
dilakukan oleh penguasa; ulama yang memutarbalikkan kebathilan menjadi
kebenaran untuk penguasa; atau ulama yang diam saja (di hadapan
penguasa) padahal ia mampu menjelaskan kebenaran.279
Selain daripada cinta dunia, penulis memandang bahwa penyebab
sebagian ulama menjadi ulama su’ adalah karena adanya tendesi madzhab,
utamanya adalah madzhab dalam teologi seperti contoh kisah Imam Ahmad
bin Hanbal yang akan penulis kemukakan selanjutnya.
d. Ulama dan umara yang sama-sama tidak bijak
Kisah Imam Ahmad bin Hanbal280

279
Ahmad Yahya, ‘Bayang-Bayang Ulama Su’’, NU Online, 2017
<https://www.nu.or.id/post/read/77677/bayang-bayang-ulama-su-> [accessed 10 November
2019].
280
Abdul Aziz Al-Badri., h. 180-188.
110
Pada akhir pemerintahan Al-Makmun, yaitu pada tahun 218 H, paham
Mu’tazilah menduduki sebagai paham pemerintahan. Pemerintah dan ulama
mu’tazilah menggunakan kekuatan pemerintah untuk menyebarluaskan
faham-faham Mu’tazilah, yang salah satu pahmanya yaitu bahwa Alquran
adalah makhluk. Dan akan menjatuhkan hukuman berat kepada siapa saja
yang menetangnya, bahkan sikap diam sekalipun akan dihukum jika
memang tidak sepakat dengan faham tersebut.
Imam Ahmad bin Hanbal menjadi satu diantara ulama yang dipenjara
oleh khalifah Al-Makmun, yang dilanjutkan Al-Mu’tashim; karena tetap
pada pendiriannya bahwa Alquran bukanlah makhluk. Dalam masa-masa
ketika dipenjara, Imam Ahmad beberapa kali disidangkan oleh Al-
Mu’tashim. Dalam sidang tersebut kemudian ditegaskan kembali oleh Al-
Mu’tashim dan ulama mu’tazilah bahwa Alquran itu adalah makhluk. Dan
mempersilahkan Imam Ahmad untuk menyanggah dan mengemukakan
argumen. Sehingga pada dasarnya sidang tersebut adalah debat antara Imam
Ahmad dan Al-Makmun beserta ulama mu’tazilah.
Dalam setiap sidang tersebut Imam Ahmad selalu menang dalam
perdebatan yang ada, sehingga tetap kokoh dalam pendapatnya tersebut.
Karena Al-Makmun tidak dapat berbuat banyak lagi, hal itu kemudian
berimbas pada penyiksaan yang diberikan Al-Makmun kepada Imam
Ahmad, dengan dipukuli dan sebagainya dengan tujuan agar Imam Ahmad
merubah pendiriannya tersebut. Pukulan dari para algojonya Al-Makmun
dilayangkan teruse-menerus seraya Al-Makmun tetap memaksa Imam
Ahmad untuk menerima paham Mu’tazilah. Namun tetap saja pukulan-
pukulan itu tidak menggoyahkan sedikitpun keyakinan Imam Ahmad.
Pada akhirnya, Imam Ahmad dibebaskan karena terjadi demo dan
keributan dari para pendukung Imam Ahmad, sehingga Al-Makmun dengan
sangat terpaksa melepaskan Imam Ahmad. Sehingga setelah sembuh luka-
lukanya, Imam Ahmad bisa kembali mengajar dan beraktifitas seperti
sebelumnya. Walaupun sebenarnya cobaan yang dihadapi Imam Ahmad
belum berakhir karena khalifah setelahnya yaitu Al-Watsiq yang memiliki
paham yang sama dengan Al-Makmun dan Al-Mu’tashim.
Kisah Imam Ahmad bin Hanbal diatas menyiratkan bahwa khalifah Al-
Makmun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq sebagai penguasa yang dzalim, dan
ulama mu’tazilah sebagai ulama yang su’, karena hanya perbedaan pendapat
dalam masalah Alquran itu adalah makhluk atau bukan, mereka kemudian
menyiksa dan memenjarakan Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikut-
pengikutnya.
Kesimpulan
Dalam pemerintahan Islam, adanya persinggungan antara ulama dan umara
mutlak diperlukan sebagai bentuk kerjasama untuk mencapai kemaslahatan umat.
Namun sejarah menunjukkan hal lain, bahwa hubungan antara ulama dan umara
tidak selamanya harmonis. Ada ulama dan umara yang sama-sama bersinergi,
namun juga ada ulama dan umara yang berbeda sisi. Hal itu salah satunya
disebabkan karena masing-masing daripada dua golongan tersebut ada yang baik dan
terkadang juga ada yang tidak. Sehingga kemudian hal itulah yang melahirkan jenis-
jenis hubungan ulama dan umara yang empat, seperti yang penulis jelaskan dalam
111
pembahasan. Yaitu: ulama dan umara yang sama-sama adil dan bersinergi, ulama
yang bijak dan umara yang dzalim, ulama yang buruk dan umara yang adil, ulama
dan umara yang sama-sama dzalim. Dan barangkali, sentimen madzhab teologi juga
ikut berpengaruh, dimana penguasa menetapkan sebuah madzhab resmi yang
kemudian menjadi awal perselisihan antara ulama yang berbeda madzhab dengan
penguasa.
Dengan sedikit pemaparan hubungan ulama dan umara dalam sejarah Islam
yang ada dalam makalah ini, semoga menambah wawasan pemahaman kita tentang
sejarah Islam, khususnya mengenai hubungan ulama dan umara. Semoga kita
sekalian dapat mengambil ibroh atau pelajaran sehingga dapat digunakan sebagai
ukuran untuk menata pemerintahan kedepan yang lebih baik dan lebih maslahah
untuk umat.

‫ وفساد العلماء َبستيَلء حب املال‬,‫ وفساد امللوك بفساد العلماء‬,‫"ففساد الرعاَي بفساد امللوك‬
‫ فكيف على امللوك‬,‫ ومن استوىل عليه حب الدنيامل يقدر على احلسبة على األرذال‬,‫واجلاه‬
"‫واألكابر؟! وهللا املستعان على كل حال‬
)‫(إحياء علوم الدين‬
“Rusaknya rakyat disebabkan karena rusaknya pemimpin, dan rusaknya
pemimpin disebabkan oleh rusaknya ulama, sedang rusaknya ulama
dikarenakan cinta harta dan keududukan. Barangsiapa dikuasai oleh cinta
dunia, maka dia tidak akan bisa bersifat objektif terhadap kesesatan, apalagi
terhadap penguasa dan pembesar? Allah maka Penolong atas segala
keadaan.” (Dalam kitab Ihya Ulum al-Din, juz 4, halaman 705; Bab al-amru
bi al-ma’ruf wa an-nahy an al-munkar).

112
DAFTAR PUSTAKA

Al-Badri, Abd al-Aziz, Al-Islam Baina Al-Ulama Wa Al-Hukkam (Madinah: al-


Maktabah al-Ilmiyyah, 1965)
Al-Badri, Abdul Aziz, Hitam Putih Wajah Ulama & Penguasa, 1st edn (Jakarta:
Darul Falah, 2003)
Al-Ghazali, Muhammad bin Ahmad, Ihya’ Ulum Al-Din (al-Mamlakah al-Arabiyah
as-Su’udiyyah: Dar al-Minhaj, 2011)
Arif, Syamsuddin, ‘Intelektual Dan Ulama Vis-a-Vis Penguasa’, Islamia, 11.1
(2017), 7–18
Azyumardi Azra, Ulama Perempuan Indonesia, ed. by Jajat Burhanudin (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002)
Gazali, ‘Interelasi Umara Dan Ulama Dalam Menata Kehidupan Sosio-Keagamaan
Di Aceh Darussalam Era Sultan Iskandar Muda 1607 – 1636.’ (UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2016)
Gilbert, Joan E, ‘Institutionalization of Muslim Scholarship and Professionalization
of the ’ Ulama’ in Medival Damascus’, Studia Islamica, 52, 1980, 105–34
Lev, Yaacov, ‘Symbiotic Relations: Ulama and the Mamluk Sultans’, Mamluk
Studies Review, 13.1 (2009), 1–26
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap
(Surabaya: Pustaka Progresif)
Yahya, Ahmad, ‘Bayang-Bayang Ulama Su’’, NU Online, 2017
<https://www.nu.or.id/post/read/77677/bayang-bayang-ulama-su-> [accessed
10 November 2019]
Yasin, Abd as-Salam, Al-Islam Au At-Thufan: Risalah Maftuhah Ila Mulk Al-
Maghrib, 1st edn (Maroko, 2000)

113
114
HUBUNGAN ULAMA DAN PENGUASA DALAM SEJARAH
ISLAM
Fiki Khoirul Mala (21191200000020)

Abstrak
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai
hubungan antara ulama dan penguasa dalam sejarah Islam. peran
penguasa sebagai pihak yang memegang arah stabilitas kemakmuran
masyrakat dalam berbagai bidang serta ulama sebagai figur yang
hidup di tengah-tengah masyarakat tentu berdampak pada hubungan
yang terjadi di antara keduanya. Melalui analisis terhadap historisitas
hubungan antara penguasa sepanjang sejarah, khususnya pada masa
pemerintahan Umayyah dan Abbasiyah dengan mengambil beberapa
sampel kejadian yang terjadi di antara keduanya membuktikan
bahwasanya di antara keduanya menunjukkan hubungan yang
ambivalen, dengan kata lain ada keinginan untuk menjaga jarak
dengan penguasa namun keadaan mengharuskan para ulama untuk
membaur dan menjembatani kebutuhan masyarakat dan kebijakan
Negara. Sehingga tidak heran jika dalam sejarah hubungan antara
ulama dan penguasa terbagi menjadi tiga yaitu alienasi, oposisi, dan
integrasi.

Pendahuluan
Cendekiawan dalam perjalanan sejarahnya merupakan salah satu faktor yang turut
mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat, tanpa terkecuali dalam sejarah Islam.
cendekiawan dalam Islam disebut juga sebagai ulama, dan ulama sebagai salah satu
istilah yang lebih popular digunakan oleh cendekiawan muslim memiliki peran yang
penting dalam masyarakat Islam. Selain karena mayoritas ulama hidup bersama
dengan masyarakat juga lebih sering masyarakat mengkultuskan para ulama karena
anggapan yang berkembang di masyarakat bahwa ulama adalah orang yang suci
karena lebih dekat dengan agama.
Sebagai makhluk yang hidup bernegara dan bermasyarakat, sudah menjadi
perkara lumrah adanya politik dalam sebuah pemerintahan. Selain untuk menjaga
tatanan kehidupan bilateral antar Negara juga merupakan bagian dari sistem yang
mengatur tatanan masyarakat. Keberadaan politikpun telah memberikan ruang dalam
terciptanya stabilitas masyarakat dengan menerapkan sistem peraturan dan
hukuman.
Keberadaan hubungan di antara penguasa dan ulama pada dasarnya dalam ranah
dakwah atau karena adanya pergerakan politik yang sulit dihindari, dalam hal ini
keberadaan hubungan antara politik dan ulama sulit dihindarkanwalau pada dasarnya
adanya keinginan dari para ulama untuk menghindari dan menjaga jarak dari
penguasa.

115
Istilah ini dikenal dengan ambivalen, walaupun pada awalnya ada kecondongan
untuk menjaga jarak dengan para ulama, namun hasil yang terjadi adalah
bahwasanya antara agama dan juga politik memiliki keterkaitan yang kuat dan
berjalan simetris sehingga keebradannya tidak perlu untuk dijauhi dan berikut adalah
pernyataan yang disampaikan oleh Azyumardi Azra dalam bukunya yang berjudul
“Reposisi Hubungan Agama dan Negara”. 281
Keberadaan ulama tak jarang melahirkan berbagai macam problematika dan
polemik semisal Imam Ahmad ibn Hanbal dengan khalifah Al-Mu’tashim dalam
permasalahan kemakhlukan Al-Quran, namun tidak jarang juga keberadaaan
penguasa sejalan dengan pemerintahan seperti Khalifah Umar ibn Abdul Aziz
dengan Ibn Syihab Az-Zuhri ketika dilaksanakannya kodifikasi hadis dan bahkan
ada ulama yang sekaligus menjabat sebagai penguasa dalam pemerintahan seperti
Khulafa’ur Rasyidin.
Politik sebagai tatanan masyarakat dan ulama yang merupakan gerbang keilmuan
dalam Islam menerapkan system simbiosis mutualisme dan saling memberikan
pengaruh yang baik, juga bisa jadi keberadaan polituk atau penguasa bertolak
belakang dengan pendapat ulama. Namun tidak dapat dipungkiri kembali bahwa
ulama sebagai salah satu penghubung lidah penguasa karena hidup dan bersosialisasi
langsung dengan masyarakat kerapkali bersinggungan dengan penguasa mengenai
berbagai persoalan.
Berdasarkan latarbelakang tersbut maka perlunya adanya pembahasan lebih
lanjut mengenai hubungan ulama dengan penguasa dalam sejarah Islam yang akan
dibahas dalam ulasan makalah ini.
A. Definisi Ulama
Kata ulama merupakan serapan dari bahasa Arab dan merupakan shighat
mubalaghah dari kata ‘alim yang berarti orang yang mengerti atau mengetahui.
Menurut Quraish Shihab, bahwasanya keberadaan ulama merupakan pewaris dari
para Nabi dan memiliki derajat yang mulia dikarenakan mampu mengemban tugas
dalam berdakwah. Di antara ciri-cirinya adalah mereka yang mengetahui dengan
jelas ilmu agama yang mencakup mengenai al-Qur’an dan fenomena alam yang
ada.282
Keberadaan ulama memiliki hubungan yang erat dengan dalil yang Allah sampaikan
dalam surat al-Fatir :

‫اّللَ ِم ْن ِعبَ ِاد ِه الْعُلَ َماء إِ ان ا‬


ٌ ‫اّللَ َع ِز ٌيز َغ ُف‬
‫ور‬ ‫إِاَّنَا ََيْ َشى ا‬
Dalam kitab Tafsir Ibn Katsir menyebutkan bahwasanya Sufyan al-Tsauri
meriwayatkan dari Abi Yahya al-Taymi dari seorang laki-laki menyatakan bahwa
ulama terbagi menjadi tiga, pertama Ulama yang tahu Allah dan mengerti perintah

281
Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama Dan Negara; Merajut Kerukunan
Antar Umat (Jakarta: Kompas, 2002). h. 38
282
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2017). J. 11 h. 457
116
Allah, kedua Ulama yang tahu Allah namun tidak mengerti apa yang diperintahkan
oleh Allah, ketiga Ulama yang mengerti perintah Allah namun tidak tahu Allah.
Perbedaan di antara ketiganya bahwasanya dikatakan ulama yang mengerti Allah
adalah yang merasa takut dengan Allah, adapun yang tahu terhadap perintah Allah
adalah yang mengerti kewajuban dan batasan-batasan yang ditentukan dalam
Islam.283
Selanjutnya, dijelaskan oleh Makhluf al-Tsa’laby dalam kitab tafsirnya, bahwasanya
ulama adalah orang yang ‘alim atau mengetahui ilmu agama yang mengantarkan
kepada rasa takut, harap, dan istiqomah dalam melanggengkan sifat dan sikap
rendah hati, zuhud, dan berdampak pada kepemilikan adab yang sesuai dengan
tuntutan agama. Begitu juga yang dipaparkan oleh Ibn Athoillah bahwasanya
dikatakan ulama saat seseorang memiliki kapabilitas dalam bidang agama yang
menghasilkan pada rasa takut bersamaan dengan keilmuan yang dimilikinya. 284
Kata ulama secara umum memiliki banyak arti dan makna, atau dengan kata lain
sosok yang memiliki kapabilitas dalam ranah keilmuan dalam berbagai bidang,
sehingga dalam hal ii tidak ada pembatasan mengenai definisi ulama, apakah yang
termaksud adalah ulama khusus dalam bidang agama atau non-agama. Sehingga
untuk membedakannya diberikan batasan tertentu seperti ulama fisika, ulama tafsir,
ulama bahasa, dan lain sebagainya. .285
Dalam realitas yang berkembang di Indonesia, definisi dari ulama mengalami
pembatasan tersendiri dan pengerucutan. Di antaranya adalah mengkhususkan
penyematan kata ulama pada pengertian kyai, ustadz, da’i, atau yang memiliki
hubungan dengan keilmuan dalam agama Islam. maka tidak heran adanya
pembatasan dalam definisi ini mengantarkan pada kekeliruan dan kesalahan
pemahaman adanya pemisahan antara agama dan umum dan sependek pemahaman
penulis sendiri hal ini seakan-akan sebagai salah satu dampak adanya arabisasi itu
sendiri.
Peran ulama dalam dimensi masyarakat sendiri tidak bisa dilepaskan dari agama
serta umat. Ibn Qayyim menjalaskan bahwasanya peran ulama sebagai salah satu
sudut pandang sosiologi mampu membentuk masyarakat muslim dan kelestariannya
sehingga andil ulama dalam hal in tidak dapat dipisahkan dikarenakan ulama
merupakan figur yang akan menentukan arah dan memiliki sumbangsih besar dalam
hubungan penguasa dengan masyarakat yang meliputi dalam bidang pendidikan,
ekonomi, sosial, kultural dan politik itu sendiri.286
Beberapa hal yang mempengaruhi hal tersebut bahwasanya keberadaan ulama
sangat erat dan berada di tengah-tengah masyarakat dan mereka hidup bersama

283
Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim (Al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah:
Dar Ibn al-Jauzy). 7/308
284
Abd ar-Rahman bin Muhammad Makluf Al-Tsa’laby, Tafsir Al-Tsa’laby Al-
Mausum Bi Jawahir Al-Hisan Fii Tafsir Al-Qur’an (Beirut: Muassasah al-A’lamy Li al-
Mathbu’at). 3/257
285
Shihab. Tafsir Al-Misbah, j. 11 h. 458
286
Ulama Dalam Peenyebaran Pendidikan Dan Khazanah Keagamaan (Jakarta:
Proyek Pengkajian dan Pengembangan dan Lektur Pensisikan Agama, 2003). h. 5
117
dengan masyarakat. Ain Najaf menyebutkan bahwa fungsi ulama mencakup dalam
enam ranah yaitu pertama, tugas intelektual dengan mengembangkan nalar logika,
kedua, tugas bimbingan keagamaan dengan mengeluarkan fatwa-fatwa yang
berhubungan antara kehidupan masyarakat dan syariat Islam, ketiga, sebagai tugas
penghubung dengan masyarakat karena akses yng diperoleh ulama adalah
berhubungan lasngsung dengan masyarkat, keempat tugas menengakkan syiar Islam
dengan memelihara dan manifestasi berbagai ajaran Islam287

B. Peran Dan Hubungan Ulama Dan Penguasa Dalam Sejarah Islam


Agama dan politik merupakan aspek penting dalam bermasyarkat dan membangun
sebuah negara yang madani, melihat bagaimana ulama yang tumbuh bersama
masyarakat dan menjadi sosok figur yang dijadikan rujukan serta pemerintah yang
bersifat struktural di mana ada agen yang mampu menjalankan pemerintahan dan
mengatur, maka ketika terjadi gap atau perbedaan antara ulama dan penguasa maka
akan memiliki dampak dalam masyarakat.
J. Philip Wogemen menyatakan bahwasanya secara garis besar hubungan politik
dalam sebuah negara (penguasa) dengan agama (ulama) memiliki beberapa pola,
diantaranya: pertama, teokrasi di mana agama mampu menguasai negara atau
dengan kata lain bahwasanya keberadaan negara tidak lain untuk memperkuat posisi
agama dalam sebuah negara; kedua, eratianisme ketika sebuah negara memaksa
untuk menundukkan agama dengan jalan paksa dan mengharuskan agama berada
dalam aturan sebauh negara; dan ketiga hubungan yang selaras antara agama dan
politik dalam hal ini J. Philip Wogemen memberikan pembatasan pada istilah
unfriendly dan friendly. Dikatakan sebagai unfriendly saat adanya titik
ketidakmungkinan antara agama dan politik dipersatukan sehingga hubungan yang
dijalin bersifat individual antara satu dengan yan lain. Namun dalm hal ini pilihan
lebih condong kepada pemisahan yang bersifat friendly atau adanya kesenjangan
namun masih dalam taraf saling memaklumi dalam beberapa persoalan yang
tersimpan.288
Dalam perspektif historis-diakronis keberadaan hubungan Islam (ulama) dengan
pemerintahan (penguasa) dapat diketahui dari konteks sejarah yang sudah berlalu.
Dengan konsep paralelisme historis dapat menunjukkan bahwa antara agama dan
penguasa telah membentuk tiga pola kecenderungan. Pertama, adanya pola alienasi
atau pengasingan dan penarikan antara satu dengan yang lainnya. Kedua, pola
oposisi atau adanya penentangan secara nyata antara satu dengan yang lainnya.
Ketiga, integrasi atau keberadaan antara agama dan penguasa saling mengisi dan
membentuk pola hubungan simbiosis mutualisme. Ketiga pola ini diketahui dari
berbagai periode sejarah tertentu. 289

287
Kiai Kelana: Biografi KH. Muchith Muzadi (Yogyakarta: LKiS, 2000). H. 10-12
288
Christian Perspective on Politics (Wesminster: John Knox Press, 2000). h. 250-
252
289
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991).
118
Dinyatakan sebagai sebuah aliansi ketika sebuah pemerintahan ada untuk
menjadi penguat keberadaan agama, dengan katalain untuk memperkuatdan
melakukan ekspansi besar-besaran dan memperkenalkan agama. Pada masa awal
Islam saat Rasulullah masih hidup dan pada masa awal pemerintahan Khulafaur
Rasyidin menurut penulis, merupakan bagian dari kelompok aliansi.
Integritas antara ulama dan politik dalam sejarah Islam sudah terbentuk sejak
Nabi Muhammad berada di Madinah. Agama dan politik sebagai sebagai sebuah
kekuatan untuk menetukan arah kekuatan agama serta menentukan arah penggerak
bagi semua aspek yang ada. Maka tidak heran jika pada waktu itu dikatakan bahwa
Nabi Muhammad Saw. Sebagai pemimpin negara sekaligus agama dengan
berdirinya kota Yatsrib sebagai Negara Madinah dan menunjukkan sebagai salah
satu aspek yang menunjukkan bukti urgensitas sebuah komunitas Islam dan Negara
di Madinah.290
Keberadaan nabi Muhammad di kota Madinah memberikan pengaruh besar
dalam masyarakat pada waktu itu, di antaranya mempersaudarakan suku khazraj dan
suku aus serta melakukan perjanjian dengan orang Yahudi untuk menjaga madinah
dari serangan luar guna tercipta stabilitas negara pada waktu.291
Hal senada juga terjadi dan dialami oleh para penguasa setelah Nabi Muhammad
Saw. yaitu pada masa khulafaur Rayidin dan an hampir seluruh rakyat muslim di
zaman tersebut memberi kepercayaan penuh, hanya saja tindak tanduk antara ulama
dan penguasa mulai mengalami problem terutama pada masa akhir khulafaur
rasyidin karena fitnah yang terjadi. 292 Keberadaan Rasulullah dan Khulafaur
Rasyidin sebaagai ulama sekaligus penguasa masuk dalam bagian dari ulama yang
mengendalikan penguasa sehingga membentuk undang-undang baik dalam
kehidupan maupun akidah sesuai dengan Islam sehingga tujuan dari pemerintah
adalah untuk menjalankan undang-undang, menyebarkan akidah di dunia, dan
menjaga urusan mendasar manusia.
Adapun contoh lain ketika adanya integrasi seperti pada kepemimpinan Umar ibn
Abdul Aziz, secara tidak langsung pada masa itu khalifah sengaja mengumpulkan
para ulama dan menyatakan agar mengumpulkan hadis yang perna ditulis pada masa
sebelumnya, karena kekhawatirannya keilmuan akan hilang dengan wafatnya para
ulama. Sehingga pada masaitu beliau secara khusus meminta Ibn Shihab Az-Zuhri
untuk mengumpulkannya dalam satu buku sehingga lahirlah buku yang berjudul “al-
Kifayah fii ilm al-Riwayah”293
Ketiga, kekuatan oposisional bisa dicontohkan saat terjadinya fitnah dalam umat
Islam mengenai kemakhlukan Al-Qur’an, mayoritas para ulama menentang sikap

290
John L Esposito, Islam and Politics (Syracuse: Syracuse University Press, 1984).
h. 4
291
Said Ramadhan Al-Buthy, Fiqh As-Sirah an-Nabawiyah (Damaskus: Dar al-Fikr,
2009). h. 256
292
Muhammad Agus Sofian, Hubungan Ulama Dan Penguasa Dalam Sejarah Islam
(Jakarta). h. 4
293
Al-Zahabi, Tarikh Al-Islam (Beirut: Dar al-Kutb al-Araby, 1987). j. 14 h. 80
119
pemerintah pada masa itu yang memaksa semua masyarakatnya mengakui
kemakhlukan Al-Qur’an.
Seperti yang tercantum dalam berbagai literatur sejarah, bahwa keberadaan
ulama pada waktu itu menolak kemkhlukan Al-Quran dan berakibat mereka
menjalani hukuman dari pemerintahan dan tanpa terkecuali Imam Ahmad ibn
Hanbal juga mengalami fitnah yang sama pada waktu itu. Kejadian ini terjadi pada
masa dinasti Abbasiyah di mana pada masa itu pemerintahan Abbasiyah dengan
kekuatan rasionalnya menggunakan mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab
penerintahan dan lebih mengagung-agungkan pada penggunaan rasional
menyebabkan pertentangan antara ulama dan penguasa yang tidak menyetujui
kebijakan atau ketetapan yang diambil. 294
Dari berbagai penjabaran di atas penulis ingi memperinci mengenai hubungan
antara penguasa dan ulama dengan tiga pendekatan, yaitu pertama, pendekatan
mutualisme atau antara penguasa dan ulama memiliki hubungan saling
menguntungkan, kedua, paratisisme atau sebuah hubungan anatara lama dan
penguasa namun ada yang diuntungkan dan dirugikan, dan ketiga, yaitu hubungan
antara ulama dan penguasa yang bersifat umum seperti memberi nasehat atau
menanyakan suatu perkara.

C. Hubungan Ulama Dan Penguasa Yang Bersifat Mutualisme (Saling


Menguntungkan)

Menurut KH. Sahal,295 kepolitikan merupakan realitas hostoris atau sunnatullah yang
tidak bisa tereleakkan, menurutnya dalam proses hidupnya manusia tidak terlepas
dari watak politik. Dalam monteks politik sudah menjadi perkara wajar saat sebuah
kelompok menguasai dan yang lain dikuasai, begitu juga ada yang mempengaruhi da
nada yang dipengaruhi dan itu adalah konteks politik.
Keberadaan agama (ulama) dan negara (penguasa) tidak dapat dipisahkan
karenma keaduanya saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Kyai Sahal
mengacu bahwa di antara keduanya ada simbiosis mutualisme karena saling
mempengaruhi dan membutuhkan satu dengan yang lain.296
Hubungan antara penguasa dan ulama dalam tataran ini adalah saat dinasti
Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Al-Mansur. Hal
ini dimulai saat adanya gerakan penerjemahan di era Abbasiyah serta adanya
pembangunan terbesar dalam sejarah Islam yaitu Bayt al-Hikmah.297
Salah satu aspek yang mendukung pergerakan keilmuan dalam periode ini, yaitu
saat umat Islam mulai bersinggungan dengan kebudayaan dan peradaban yang

294
Al-Zahabi. Tarikh Al-Islam j. 15, h. 21
295
Sumantho Al-Qurthubi, Era Baru Fiqh Indonesia (Penerbit Cermin, 2002). h, 86
296
Neneng Yani Yuningsih, Pola Interaksi Antara Agama, Politik, Dan Negara
Dalam Kajian Pemikiran Politik Islam (Depok, 2007). h. 14
297
Harun Nasution, Falsafat Dan Mistisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1973). h. 15
120
berkembang di Yunani dan Persia sehingga memotivasi banyak para ilmuwan tanpa
membedakan latarbelakang suku, ras, dan gama memiliki geliat semangat dalam
menerjemahkan karya-karya asing.298
Di antaranya muncul tokoh bidang sastra seperti Abdullah al-Muqaffa (757 M)
menerjemahkan buku “Kafilah wa Dimnah” serta Hunayq ibn Ishaq yang
menerjemahkan buku-buku medis karya Hippocrates dan Galen.299. Dari kegiatan
penerjamahan yang dilakukan pada masa ini lahir para ulama Islam hyang
berprestasi dalam berbagai bidang seperti, al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd,
al-Razi dalam bidang filsafat yang mencakup konsentrasi bidang fisika, matematika,
seni, pemerintahan, dan kedokteran. al-Khawarizmi dalam bidang fisika, Abd al-
Jabar pada bidang matematika. 300
Selain hubungan mutualisme dalam bidang pendidikan, juga adanya hubungan
yang mencakup dalam ranah penyebaran Mazhab. Seperti saat al-Ma’mun memiliki
semangat dalam mempelajari filsafat Yunani dan degngan kajian rasionalnya, 301
maka pada masa itu faham Mu’tazilah masuk ke dalam pemerintahan. Dengan
diterimanya faham ini oleh elit pemerintahan pada masa itu, maka faham Mu’tazilah
pada waktu dijadikan mazhab resmi negara pada periode pemerintahan al-Ma’mun,
al-Mu’tashim, al Watsiq (198-232 H/813-846 M).
Mu’tazilah sebagai faham resmi Negara telah memberikan dampak yang besar
bagi kalangan ulama, khususnya ulama hadis yang sangat membatasi dalam
penggunaan rasio dan nalar akal dan sangat tunduk kepada nash sehingga tidak dapat
dipungkiri pada masa ini terjadi pergolakan yang besar antara penguasa dan ulama
dan mulai reda saat khalifah Al-Mutawakkkil naik dan menggantikan khalifah
sebelumnya. Adapun langkah pertama yang ditembuh yaitu mulai mengganti
mazhab pemerintahan serta memecat orang pemerintahan yang memiliki atau
menggunakan mazhab mu’tazilah pada masa itu.302
Berkembangnya faham mu’tazilah sebagai faham teologi Negara juga membuka
kesempatan terhadap berkembangnya fikih dalam hal ini Negara memberikan
kebebasan terhadap para ahli fikih untuk mengembangkan keilmuannya melalui
ijtihad, di mana saat pada masa pemerintahan Umayyah terbatai gerkanya dan
seakan-akan memasung fikih dan para ahli fikih. Peristiwa ini terjadi dimulai sekitar
abad 2 H. saat dinasti Umayyah tunduk pada kekuasaan dinasti Abbasiyah. 303
Khalifah bani Abbas lebih cenderung untuk mendukung dan memotivasi para ahli
fikih untuk melebarkan sayapnya dalam bidang keilmuan agama dan meletakkan

298
C.A Qadir, Filsafat Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam (Jakarta: Pustaka Obor,
2002). h. 37
299
Ahmad Shalabi, Mawsuah Al-Tarikh Al-Islami Wa Al-Hadarah Al-Islamiyah
(Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1985). h. 241
300
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1998). h.
42
301
M. Abid Al-Jabiri, Takwin Al-’Aqli Al-’Arabu (Markaz al-Tsaqafi al-’Arabi, 1991).
h. 195
302
Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1983). h. 61
303
Mun’im A Sirry, Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar (Surabaya: Rusalah Gusti,
1995). h. 61
121
pada posisi terhormat, di antamenurut Jaih Mubarak fase ini merupakan fase atau
zaman keemasan untuk bidang fikih.304
Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, mazhab fikih yang berkembang pada
waktu iru adalah mazhab fikih beraliran hanafiyah atau yang diperkenalkan oleh
Imam Hanafi, salah satu factor yang menyebabkan terkenalnya mazhab Hanafi
dibandingkan dengan mazhab lain adalah saat Abu Yusuf yakni sahabat dan
sekaligus murid dari Imam Abu Hanifah menjadi hakim pada masa dinasti
Abbasiyah tiga kali berturut-turut yaitu pada masa Khalifah al-Mahdi, al-Hadi, dan
Harun al-Rasyid.305
Hubungan antara Abu Yusuf dengan penguasa pada masa dinasti Abbasiyah
berjalan sangat baik dan harmonis, terutama pada masa pemerintahan Harun al-
Rasyid. Keberadaan Abu Yusuf mampu menjembatani antara penguasa dan
masyarakat pada waktu itu dan salah satu bukti yang mendukung adalah kitab yang
dikarang oleh Abu Yusuf yang berjudul Al-Kharaj.
Sebagai ulama yang memiliki jabatan yang stratgis dalam pemerintahan, Abu
Yusuf sering menyampaikan keluh kesahnya mengenai tertindasnya masyarakat
khususnya mengenai mekanisme pasar, melalui surat panjang yang dikirim akhirnya
khalifah Harun al-Rasyid meminta Abu yusuf agar membuat sebuah kitab acuan
mengenai permasalahan administrasi Negara sehingga diharapkan dengan adanya
avuan ini menjadi salah satu asas keseimbangan pada masa pemerintahannya yang
saat ini dikenal al-Kharaj. 306
Harmonisnya hubungan antara Abu Yusuf dan pemerintahan pada masa itu tidak
berlaku secara umum, keran system pemerintahan absolut yang sangat sensitive
dengan saran dan kritik. Beberapa kebijakan pemerintahan yang dirasakan tidak
berpihak pada masyarakat sehingga cenderung adanya penindasan kaum lemah dan
mengagungkan kaum istana membuat kecemburuan sosial yang tidak terhenti
sehingga berdampak pada melahirkan krisis akhlak yang juga berdampak pada
stabilitas perekonomian juga maraknya korupsi dan nepotisme.307
Dari berbagai paparan di atas, dapat dinyatakan bahwa keberadaan ulama yang
dekat dengan penguasa mampu memberikan dampak positif bagi kesejahteraan
masyarakat dan sebagai sebuah solusi untuk meningkatkan taraf hidup umat
mengingat ulama hidup di tengah-tengah masyarakat sehingga merasakan perasaan
yang sama dengan masyarakat.

D. Hubungan Parasitisme Antara Ulama dan Penguasa

304
Jaih Mubarok, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya). h. 67
305
Mubarok. Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam h. 131
306
Nazori Majid, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf (Yogyakarta: Pusat Studi
Ekonomi Islam, 2003). h. 75
307
Ahmad Amin, Daulah Al-Islami (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1974).
h. 184
122
Hal yang terjadi ketika para penguasa yang memiliki kebijakan dalam mengatur
stabilitas Negara dan keamanan memiliki pemikiran yang berbeda dengan ulama.
Seperti adanya perbedaan pandangan atau ideologi dalam sebuah permasalahan yang
menyebabkan adanya perbedaan.
Hal ini sering terjadi apabila para penguasa memiliki pemikiran yang berbeda
dengan ulama. Di satu sisi penguasa dalam hal ini sebagai khalifah ingin menjaga
stabilitas keamanan dengan memaksakan kehendak ideologi yang dianutnya, di sisi
lain ada beberapa kebebasan dan hak ulama yang dikorbankan.
Salah satu permasalahan yang terjadi antara penguasa dan ulama adalah pada
masa khalifah al-Ma’mun dengan peristiwa fitnah atau sering disebut sebagai
“mihnah” yang berdampak besar pada ulama pada waktu itu yaitu kemakhlukan Al-
Qur’an. Gerakan ini berawal ketika khalifah pada masa itu memiliki kecenderungan
dalam mempelajari keilmuan, filsafat, dan adab yang ditunjang hobinya dalam
melaksanakan diskusi. 308 Penggunaan faham ini dilansir karena adanya kemiripan
dalam menggunakan peran rasional oleh kelompok Mu’tazilah. Maka tidak heran
Mu’tazilah pada masa itu memiliki kedudukan khusus dalam pemerintahan dan
banyak dari tokoh mu’tazilah yang menduduki jabatan pemerintahan.309
Dengan semakin besarnya faham Mu’tazilah dan mendapat legitimasi Negara,
kelompok ini mulai memperkenalkan ajarannya terutama mengenai faham al-Quran
sebagai makhluk. Pada awalnya pemahaman mengenai kemakhlukan al-Quran sudah
sempat dipaparkan oleh al-Ma’mun dalam sebuah diskusi tahun 212 H. namun
belum diproklamirkan secara luas. 310
Pada awalnya khalifah tidak langsung memaksakan kehendaknya mengenai
kemakhlukan al-Quran, karena perintah yang diajukan pada masa itu sebatas
menguji para pemuka agama, saksi, juga hakim yang berada di Baghdad. Adapun
ujian dilakukan kepada beberapa kalangan ulama besar pada masa itu di antaranya
adalah Qutaibah, Abdullah Ibn Muhammad ibn Ulayah, Wahhab ibn Munabbih, Ibn
Abi Buka, Ibn Ahmar, Ahmad ibn Hanbal, Muhammad bin Nuh, Al-Qawariri dan
Sajadah. 311
Ibn Katsir menggambarkan bahwa bahwa mengenai permasalahan mihnah ini
terdapat unsur keterpaksaan atau dengan kata lain Negara sengaja memaksa ulama
untuk mengakui kemakhlukan al-Quran dan jika masih berpendirian dengan ke-
qadim-an al-Quran maka akan berdampak pada musibah yang terjadi kepada para
ulama312 di antaranya dipenjara dan juga berakhir disiksa dan menurut Harun
Nasution peristiwa ini disebut dengan inquisition. 313
Menurut Abd Al-Aziz al-Badri menyebutkan bahwa banyak sekali ulama yang
pernah mengalami peristiwa mihnah walau pada masa yang berbeda seperti : Sa’id

308
Ibn Jarir Al-Thabary, Tarikh Al-Thabari (Kairo: Dar al-Ma’arif). j. 10 h. 66
309
A Khudori Soleh, ‘Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam’, Tsaqafah,
10.1. h, 71
310
Al-Thabary. Tarikh Al-Thabari 166
311
Al-Thabary. Tarikh Al-Thabari h. 287
312
Ibn Katsir, ‘Al-Bidayah Wa Al-Nihayah’ (Beirut: Dar Kutb al-Ilmiyah). h. 285
313
Nasution, Teologi Islam. 62
123
ibn Musayyab, Sa’id ibn Jubair, Ja’far al-Siddiq, Abu Hanifah, Malik ibn Anas, al-
Syafi’I, al-Bukhari, Ibn Taymiyah dan beberapa ulama yang lain. 314
Beberapa pergolakan antara ulama dan penguasa juga terjadi kepada Abu
Hanifah, di antaranya ketika salah satu hakim yang bernama Abu Layla pada masa
pemerintahan khalifah Al-Mansur menjatuhi hukuman cambuk kepada seorang
wanita yang gila di masjid karena telah menuduh seorang laki-laki berzina, maka
ketia didapati oleh Imam Abu Hanifah mengajukan perlawaan dan menyatakan
bahwa hakim Lyla telah melakukan kesalahan saat menghakimi sebuah kejadian,
kemudian dilaporkan kepada khalifah dan khalifah menghardik Abu Hanifah dan
meminta untuk tidak menjadi hakim sementara.315
Begitu juga saat Abu Hanifah diminta untuk menjadi hakim, akan tetapi Abu
Hanifah menolak permintaan tersebut karena keterbatasan umur begitu juga
ketidakmampuannya dalam mengatur kekuasaan, hal ini tidak lain adalah bagian
dari kewira’annya dalam keilmuan dan hukum Islam.
Ini adalah salah satu ujian yang dihadapi oleh Imam Abu Hanifah ketika tidak
menerima perintah khalifah dan diganjar dengan paksaan, kemudian dicambuk
dengan cemeti, bahkan dikurung dalam penjara hal ini tidak lain karena keteguhan
Imam Abi Hanifah dalam menjaga islam dan khawatir akan terjerumus pada hawa
nafsu jika masuk dalam pemerintahan.316 Abu Ja’far al-Mansur yang disebut sebagai
seorang pemimpin yang berkemauan keras tidak segan-segan memberikan hukuman
bagi siapa saja yang menolak titahnya. 317
Selain itu juga cobaan terjadi pada imam Malik, saat memberikan fatwa bahwa
talak dan baiat kepada khalifah jika dilakukan dengan keterpaksaan dianggap tidak
sah. Pada waktu itu khalifah al-Mansur mengirim anak pamannya yaitu Ja’far ibn
Sulaiman dan terjadi perdebatan mengenai baiat kepada khalifah hingga akhirnya
emmaksa penduduka madinah untuk naiat penguasa, namun melihat hal tersebut
Imam Malik merasa tidak menyenangkan karena ada unsur keterpaksaan mendengar
hal tersebut maka paman al-Mansur menjatuhi hukuman cambuk kepada Imam
Malik sebanyak 60 kali.318

E. Hubungan Ulama Dengan Penguasa Tanpa Ada Yang Dirugikan Dan


Diuntungkan

Kejadian seperti ini berlangsung di saat para ulama mendapatkan pertanyaan dari
penguasa untuk menyelesaikan permasalahan mereka, atau di saat para ulama
menasehati penguasa dalam menjalankan pemerintahan mereka agar tercipta

314
Abd al-Aziz Al-Badri, Al-Islam Baina Al-Ulama Wa Al-Hukama (Madinah:
Maktabah al-Ilmiyah, 1965). h. 129
315
Al-Badri. Al-Islam Baina Al-Ulama Wa Al-Hukama h. 150
316
Al-Badri. Al-Islam Baina Al-Ulama Wa Al-Hukama
317
Philiph K Terj. R Cecep Lukman Yasin Hitti, History of the Arabs (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2013). h. 360
318
Al-Badri. Al-Islam Baina Al-Ulama Wa Al-Hukama h. 155
124
stabilitas kesejahteraan dan ketentraman masyarakat baik perihal negara maupun
agama.
Para ulama senantiasa memliki semanagat untuk menasehati dan memberikan
arahan terhadap para penguasa agar mampu membawa segala beban pemerintahan
menuju kepada tujuan adanya permerintahan dan senantiasa mengorbankan
kesungguhan para penguasa untuk menegakkan syariat Islam karena sesuai dengan
hadis Nabi Muhammad bahwasanya agama adalah nasehat.

‫ هلل ولكتابه ولرسوله وْلئمة املسلمني وعامتهم‬: ‫ قلنا ملن ؟ قال‬,‫الدين النصيحة‬
Pemberian nasehat yang dilakukan oleh ulama kepada penguasa tidak lain adalah
agar melaksanakan pemerintahan secara baik, karena keberadaan penguasa dan
peraturannya mempengaruhi masyarakat, di sisi lain mampu menengakkan syariat
dan tercipta keadilan dalam pemerintahan dan di sisi lain bisa merubah syariat dan
bahkan tercipta kekacauan di mana-mana.319
a. Masyarakat bertanya kepada ulama tentang penguasa

Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa di saat Imam Malik ditanya oleh seseorang
mengenai pembunuhan orang-orang yang menyelesihi khalifah, dia berkata : apakah
diperbolehkan?” berkata (Malik ibn Anas) : Jika mereka menyelesihi atas khalifah
yang semisal dengan Umar ibn Abdul Aziz. Kemudian berkata orang yang bertanya
: Maka jika tidak semisal dengannya ?, Imam Malik menjawab : “Tinggalkan
mereka karena sesungguhnya Allah akan menghukum mereka yang dengan dzalim
dengan yang dzalim sepertinya kemudian Allah akan menghukum keduanya”.320
Begitu juga di saat Hasan al-Basri, seorang ulama pembesar pada zaman
Umawiyyah ditanya mengenai sebagaian kelompok yang keluar dari pemerintahan
khalifah Abdul Malik ibn Marwan, maka Hasan al-Basri memberikan jawaban
(Jangan bersama dengan satu kelompok dan jangan juga dengan kelompok yang
lain) maka berkata salah seorang dari Syam, walau itu seorang khalifah wahai Abu
Sa’ad? Hasan al-Basri menjawab : walau dia seorang khalifah. (diulang dua kali).321
b. Ulama memberi nasehat kepada penguasa

Dalam sejarah juga tidak dapat dipungkiri peran dari para ulama lain selain yang
disebutkan di atas, seperti keberadaan Imam Ahmad ubn Hanbal dan Said ibn
Musayyib, kedua imam ini menunjukkan bahwa keberadaan ulama pada masing-
masing zamannya memberikan peran untuk menyampikan nasehat kepada penguasa
jika terdapat kezaliman dalam masa pemerintahan.
Imam Malik ibn Anas menuliskan sebuah pesan dan nasehat yang disampaikan
kepada khalifah pada masa dinasti Abbasiyah yaitu Harun ar-Rasyid dan juga
dituliskan dalam muqaddimah kitabnya memberikan nasehat yang panjang
mengenai bagaimana seorang ulama memberikan nasehat kepada penguasa dan

319
Al-Badri. Al-Islam Baina Al-Ulama Wa Al-Hukama h. 104
320
Ahmad Amin, Duha Al-Islam, 3rd edn (Beirut: Dar al-Kutb al-Araby).
321
Al-Badri. Al-Islam Baina Al-Ulama Wa Al-Hukama h. 109
125
mengingatkan bahwa pemerintahan yang dia jalankan tetap akan dimintai
pertanggungjawaban, kesejahteraan rakyat dan merumuskan segala permasalahan
dilaksanakan secara musyawarah serta senantiasa mennyatakan bahwasanya akhirat
bukan dengan angan-angan semata, namun akhirat didapatkan dengan pekerjaan dan
usaha dalam menjalankan pemerintahan sesuai dengan aturan Islam. 322
Imam Abu Hamid al-Ghazali keetika menuliskan surat kepada Mujir Al-Diin
seorang menteri pada masa dinasti saljuk di Amn, pada waktu itu para menteri
merupakan perwakilan negara dalam menyampaikan berbagai keperluan dan
kebutuhan terhadap permaslaahan yang berkembang pada waktu itu. Dalam surat
tersebut disebutkan bahwasanya saat Imam Ghzali berada di Thus dia sudah tidak
mendapati kezaliman yang terjadi, namun saat dia melakukan perjalanan ke
beberapa negara dia mendapai kedzaliman masih terjadi dan belum terhnti.
Kemudian beberapa saat dia mengirimkan surat kepada raja Fakhr al-Malik
setelah melihat kezaliman dan kekacauan di negara, Imam Al-Ghazali berkata :
“Sungguh aku telah menasehati menteri berkali-kali akan tetapi tidak diterima
nasehat yang telah aku sampaikan dan menjadi hikmah untuk alam dan peringatan
untuk yang lain. Kethuilah wahai Fakhr Al-Malik, ini adalah kalimat yang pedas
yang sengaja aku sampaikan terhadap orang-orang yang melalaikan tanggung jawab
sebagai penguasa pemerintah jika tidak engkau dengarkan dariku, maka ketahuilah
bahwa setiap orang yang akan menyampaikan akan tertutup oleh ketamakanmu
walau itu kalimat benar.323
c. Penguasa meminta nasehat kepada ulama

Kemudian Imam Ja’far al-Shadiq memberikan nasehat kepada salah satu khalifah
pada waktu itu yaitu Abu Ja’far al-Mansur ketika diundang pada suatu waktu untuk
memberikan nasehat kepada khalifah. Berkata khalifah Al-Mansur : “Sungguh telah
sampai kepadaku kealiman dirimu, dan begitu juga kejujuranmu dalam
menymapiakan sesuatuy, maka maka ceritakanlah kepadaku tentang dirimu dengan
perktaan yang mampu aku jadikan nasehat dan pemicu kejujuran”. Maka berkata al-
shadiq : “Bagimu berbuat lembut karena itu merupakan bagian dari rukun ilmu dan
senantiasa berusaha dalam menemukan sebuah keberhasilan karena sesungguhnya
kamu adalah ibarat sebuah obat yang menyembuhkan dan menymbung silaturtrahmi
dan menjauhi iri dengki. Sesungguhnya leberhasilan tidak akan didapat kecuali
dengan keadilan dan keadaaan yang mengkharuskan kita bersyukur itu lebih utama
ketimbang keadaan yang mengharuskan kita bersabar.” berkata al-Mansur :
“Nasehatmu begitu baik dan tidak melampaui batas”.324
Beginilah seorang penguasa mau mendengar nasihat para ulama’nya dan
menjalankan segala nasehat yang disampaikan bahkan sangat memperhatikan
dengan penuh seksama saat nasehatb itu disampaikan. Bahkan kesungguhan mereka
dalam mendengarkan nasehat tidak hanya khusus dari para cendeliawan pada
masanya, akan tetapi juga mereka mendengarkan nasehat dari seorang wanita

322
Al-Badri. Al-Islam Baina Al-Ulama Wa Al-Hukama h. 105
323
Al-Badri. Al-Islam Baina Al-Ulama Wa Al-Hukama h. 113
324
Al-Badri. Al-Islam Baina Al-Ulama Wa Al-Hukama h. 109
126
bahkan anak kecil juga yang terjadi pada masa pemerintahan Umar ibn Khattab dan
Umar ibn Abdul Aziz.

Penutup
Dari rentetan sejarah yang sudah disebutkan dalam berbagai sumber sejarah,
bahwasanya keberadaan ulama tidak bisa dipisahkan dalam perpolitikan sebuah
Negara, selain karena figure ulama yang diterima oleh masyarakat luas sebagai
pewaris para nabi yang menunjukkan petunjuk kebenaran juga pribadi ulama yang
hidup dan tinggal bersama masyarakat sehingga merasakan sepenuhnya keadaan
umat.
Dalam sejarah dibuktikan bahwa posisi agama dan pemerintahan atau lebih lanjut
hubungan ulama dan penguasa dibagi menjadi tiga hal, pertama ulama dan penguasa
berada pada posisi yang saling menguntungkan, kedua ulama dan penguasa pada
posisi ada yang dirugikan, ketiga keberadaan ulama dan penguasa berjalan dalam
koridornya masing-masing dan melakukan fungsi dan tugasnya tanpa saling
menghukum, namun ada di saat penguasa meminta nasehat kepada ulama atau ulama
menasehati penguasa.

127
Referensi
Agus Sofian, Muhammad, Hubungan Ulama Dan Penguasa Dalam Sejarah Islam (Jakarta)
Al-Badri, Abd al-Aziz, Al-Islam Baina Al-Ulama Wa Al-Hukama (Madinah: Maktabah al-Ilmiyah,
1965)
Al-Buthy, Said Ramadhan, Fiqh As-Sirah an-Nabawiyah (Damaskus: Dar al-Fikr, 2009)
Al-Jabiri, M. Abid, Takwin Al-’Aqli Al-’Arabu (Markaz al-Tsaqafi al-’Arabi, 1991)
Al-Qurthubi, Sumantho, Era Baru Fiqh Indonesia (Penerbit Cermin, 2002)
Al-Thabary, Ibn Jarir, Tarikh Al-Thabari (Kairo: Dar al-Ma’arif)
Al-Zahabi, Tarikh Al-Islam (Beirut: Dar al-Kutb al-Araby, 1987)
Amin, Ahmad, Daulah Al-Islami (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, 1974)
———, Duha Al-Islam, 3rd edn (Beirut: Dar al-Kutb al-Araby)
Azra, Azyumardi, Reposisi Hubungan Agama Dan Negara; Merajut Kerukunan Antar Umat (Jakarta:
Kompas, 2002)
Christian Perspective on Politics (Wesminster: John Knox Press, 2000)
Dilema Ulama Dalam Perubahan Zaman (Jakarta: Gema Insani Press, 1995)
Esposito, John L, Islam and Politics (Syracuse: Syracuse University Press, 1984)
Hitti, Philiph K Terj. R Cecep Lukman Yasin, History of the Arabs (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2013)
Katsir, Ibn, ‘Al-Bidayah Wa Al-Nihayah’ (Beirut: Dar Kutb al-Ilmiyah)
———, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim (Al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah: Dar Ibn al-Jauzy)
Kiai Kelana: Biografi KH. Muchith Muzadi (Yogyakarta: LKiS, 2000)
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991)
Majid, Nazori, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003)
Makluf Al-Tsa’laby, Abd ar-Rahman bin Muhammad, Tafsir Al-Tsa’laby Al-Mausum Bi Jawahir Al-
Hisan Fii Tafsir Al-Qur’an (Beirut: Muassasah al-A’lamy Li al-Mathbu’at)
Mubarok, Jaih, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam (Bnadung: PT Remaja Rosdakarya)
Nasution, Harun, Falsafat Dan Mistisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
———, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1983)
Qadir, C.A, Filsafat Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam (Jakarta: Pustaka Obor, 2002)
Shalabi, Ahmad, Mawsuah Al-Tarikh Al-Islami Wa Al-Hadarah Al-Islamiyah (Kairo: Maktabah al-
Nahdhah al-Misriyah, 1985)
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2017)
Sirry, Mun’im A, Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar (Surabaya: Rusalah Gusti, 1995)
Soleh, A Khudori, ‘Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam’, Tsaqafah, 10.1
Ulama Dalam Peenyebaran Pendidikan Dan Khazanah Keagamaan (Jakarta: Proyek Pengkajian dan
Pengembangan dan Lektur Pensisikan Agama, 2003)
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1998)
Yuningsih, Neneng Yani, Pola Interaksi Antara Agama, Politik, Dan Negara Dalam Kajian Pemikiran
Politik Islam (Depok, 2007)

128
129
ISLAM ASIA TENGGARA: DINAMIKA HISTORIS DAN DISTINGSI
Rizkiyatul Imtyaz (21191200000026)

Abstrak
Makalah ini membahas seputar bagaimana proses Islamisasi yang ada
di wilayah Asia Tenggara, teori – teori yang berlandaskan bukti
sejarah dan lain sebagainya. Kemudian bagaimana karakteristik Islam
di Asia Tenggara yang tentunya dari segi geografis, budaya dan proses
Islamisasinya berbeda dengan Islamisasi di wilayah lainnya. Dalam
makalah dijelaskan tentang proses Islamisasi Asia Tenggara adalah
dengan cara damai dan washathiyah yang dibawa oleh para muballigh,
sufi dan para sudagar muslim yang bedagang di wilayah Asia
Tenggara yang strategis. Islam di di Asia Tengara khsususnya di
Indonesia adalah Islam yang melekat dengan budaya lokal dan sedikit
mengalami arabisasi sehingga dapat diterima baik oleh pribumi kala
itu. Meski tak sedikit dari kalangan orientalis yang berargumen bahwa
Islam di Asia Tenggara adalah islam periferal karena karakteristiknya
yang tidak seperti Islam murni di Timur – Tengah, namun nyatanya
argumen mereka tidak berdasarkan bukti yang konkrit sehingga perlu
dipertanyakan lebih dalam. Oleh karena itu, pemakalah juga akan
membahas seputar Islam di Asia Tenggara meliputi historisnya,
bagaimana karakteristik dan distingsinya dan juga bagimana anggapan
orientalis tentang islam Asia Tenggara sebagai Islam yang periferal.
Keyword: Islam Asia Tenggara, Islamisasi, washathiyah, Indonesia.

A. Pendahuluan
Sebagaimana pesatnya penyebaran Islam tak hanya di wilayah Timur –
Tengah melainkan juga di belahan dunia bahkan di wilayah kepulauan seperti Asia
Tenggara. Islam dikenalkan di wilayah ini dengan bentuk yang berbeda yaitu
melalui jalan damai oleh kalangan sufi, pedagang, para da’i dan lain sebagainya,
yang mana ini menjadi sebuah ciri khas yang menjadi keunikan Islam di Asia
Tenggara dengan Islam di wilayah lainnya.
Menurut Ira Lapidus dalam bukunya menyebutkan bahwa “di samping
menampilkan wataknya yang terkait dengan Islam -universal-, peradaban Islam Asia
Tenggara pada saat yang sama menampilkan ciri-ciri dan karakter yang distingtif
dan khas yang berbeda dengan peradaban Islam di wilayah - wilayah lainnya”.
Adapun yang menjadi penyebab kerakteristik tersebut adalah karena budaya
dan penampilan fisik orang – orang dari bangsa Melayu yang dipengaruhi oleh
wilayah yang mereka tinggali, cuaca, letak geografis, lingkungan alam. Sehingga
factor tersebut melahirkan sebuah adat istiadat, pola dan gaya hidup, tradisi yang
beragam dan lain sebagainya.

130
Sebagai seorang muslim yang tinggal di kawasan Asia Tenggara hendaklah
kita mengetahui sekilas tentang bagaimana dinamika sejarah dan karakteristik Islam
yang dikenal sebagai Islam Washatiyah.

B. Pembahasan
1. Letak Geografis Asia Tenggara
Secara geografis, Kawasan Asia Tenggara terbagi menjadi dua wilayah, yakni
daratan yang meliputi Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam dan Thailand, dan
maritim yang meliputi Timor Leste, Singapura, Indonesia, Malaysia dan Filipina.325
Prof. Azyumardi Azra, salah seorang guru besar UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta menjelaskan bahwa Islam Asia Tenggara identic dengan wilayah Asia
Tenggara daerah maritime, yang mana faktanya bukan hanya wilayah Indonesia,
melainkan juga meliputi Thailand Selatan (Pattani), Malaysia, Kamboja (Champa),
Filipina Selatan (Moro) dan Singapura.326
Tak hanya itu, wilayah Asia Tenggara juga merupakan wilayah yang sangat
strategis, tak heran jika banyak pedagang antar negara yang singgah di wilayah ini
bahkan menetap karenanya. Hal ini juga menjadi faktor mudahnya peradaban baru
muncul di wilayah tersebut, hal ini dikareakan:
a. Asia Tenggara berada di tengah perjalanan antara wilayah Timur dan
wilayah Barat
b. Asia Tenggara adalah gugusan pulau yang dihubungkan dengan Selat
Malaka dan Laut Cina Selatan
c. Adanya beberapa penguasa besar atau dinasti, diantaranya: Pattani, Brunei,
Makasar, Batam, Cirebon, Malaka, Pasai, Perlak, Sriwijaya dan lain
sebagainya.
d. Mempunyai hubungan dengan wilayah Lautan Hindi dan wilayah Laut
China Selatan
e. Tempat pertemuan angin muson Barat Daya dan Timur Laut, sehingga
mempertemukan para pedagang dalam melakukan perjalanannya.327

2. Dinamika Historis Islam di Asia Tenggara


2.2. Proses Kedatangan Islam Di Asia Tenggara
Menurut Subagus dalam bukunya terdapat catatan sejarah yang menjelaskan
bahwa “bangsa yang pertama kali diketahui hidup di Asia Tenggara adalah orang
Dongson di Vietnam”. Hal ini dikarenakan karena mereka telah lama menetap di
wilayah tersebut sejak kurang – lebih 5000 tahun sebelum Masehi. Kemudian
disusul dengan kedatangan bangsa Thai di daerah Thailand kurang lebih pada 3000

325
Ira. M. Lapidus, Sejarah sosial Ummat Islam, (Yogyakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2000), cet. II, hlm. 35
326
Azyumardi Azra, Islam Nusantara:
https://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/06/17/nq3f9n-islam-nusantara-1,
diakses pada 16 November 2019.
327
Saifudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia,
(Bandung: al-Maarif, tth),hlm. 88
131
tahun sebelum Masehi. Sedangkan bangsa Melayu dijelaskan telah menetap di Asia
Tenggara sekitar 2500 tahun sebelum Masehi. Setelah kedatangan bangsa Dosngson,
Thai dan Melayu ini barulah datang bangsa pendatang dari China Selatan khususnya
berasal dari daerah Yunan dan Yangtse, disusul dengan kedatangan bangsa Arab,
India kemudian Eropa.328
Khusunya di abad ketujuh dan kedelapan masehi, beberapa pendatang dari
Muslim Arab dan Persia melakukan transaksi dan perjalanan perdagangan hingga ke
wilayah China. Disebutkan terdapat empat orang Muslim dari wilayah Arab yang
singgah di wilayah China pada saat dinasti Tang dibawah kepemimpinan Tai Sung
(627-650). Diduga mereka ada yang menetap di Canton yakni wilayah di
Guangzhou, ada juga di kota Chow, Coang Chow. Dan salah satu empat orang
tersebut Sa’ad bin Abi Waqqas yang tak lain adalah sahabat Rasulullah Saw. Dan
dipercaya bahwa masjid Wa-Zhin-Zi di Canto adalah masjid yang dibangun oleh
beliau. Hal ini yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi umat Islam di China, karena
agama Islam yang ada disana sejatinya dibawa langsung oleh sahabat Rasulullah
Saw dari Arab sejak abad ketujuh.329
Pada mulanya, sebelumnya Islam datang ke wilayah Asia Tenggara, agama
Hindu – Budha telah dahuu melekat sebagai kepercayaan yang mayoritas dianut di
Wilayah ini. Lebih tepatnya kawasan Asia Tenggara di daratan identik memeluk
agama Budha, sedangkan di kawasan kepulauan atau maritim rata – rata memeluk
agama Hindu.330
2.3. Teori-teori kedatangan Islam di Asia Tenggara
Adapun beberapa teori seputar kedatangan Islam di Asia Tenggara adalah
sebagai berikut:
a. Teori kedatangan Islam ke Asia Tenggara dari Arab
Teori ini ditemukan oleh John Crawford salah seorang sarjanawan di bidang
sejarah, ia mengatakan bahwa Islam dating ke Kawasan Asia dengan perantara
aktifitas perdagangan kala itu. Hal ini dikuatkan dengan adanya temuan catatan
China yang telah saya sebutkan diatas, bahwa orang – orang dari kalangan saudagar
Arab dan Persia datang ke wilayah China tepatnya di Canton pada tahun 300
Masehi, kemudian melanjutkan perdagangannya ke wilayah pelabuhan Asia
Tenggara tepatnya di Selat Malaka karena keberadaannya yang strategis untuk
transaksi perdagangan. Selanjutnya, beberapa saudagar Arab tersebut memutuskan
untuk menetap di Kawasan Asia Tenggara dan membuat sebuah perkampungan
Arab disana, sebagian dari mereka bahkan menikah dengan wanita pribumi Asia
Tenggara dan menyebarkan Islam di Kawasan tersebut. Crawford juga mengatakan

328
Subaguk, Sejarah Peradan di Asia Tenggara, (Jakarta: Gelora Aksara Pratama,
2000), hlm. 32
329
Subaguk, Sejarah Peradan di Asia Tenggara, hlm. 29
330
Andi Faisal Bakti, Islam and Nation Formation in Indonesia, (Jakarta: Logos,
2000), hlm. 143-144
132
bahwa “pada masa menunggu angin muson digunakan pedagang Arab untuk
menyebarkan Islam”.331
Beberapa bukti yang memperkuat teori yang tawarkan oleh Crawford ini adalah
sebagai berikut:
a) Adanya literatur Tiongkok yang menyebutkan bahwa ada sebuah
perkampungan Arab di wilayah Sumatera sejak tahun 625 M
b) Adanya relevansi kesusasteraan antara Asia Tenggara dan Arab
c) Ditemukannya cerita dari beberapa karya yang menceritakan tentang proses
islamisasi raja – raja di Asia Tenggara yang telah masuk Islam berkat
seorang syeikh dari bangsa Arab. Salah satu contohnya dalah hikayat raja
Samudera Pasai yang diislamkan oleh tokoh sufi yang bernama Syeikh
Ismail.

b. Teori kedatangan Islam ke Asia Tenggara dari Cina.


Teori ini ditemukan oleh E.G Eredia dan S.Q Fatimi. Teori ini sekilas sama
dengan teori Crawford, namun Eredia lebih menekankan bahwa orang – orang China
dari Canton lah yang kemudian menyebarkan islam di kawasan Asia Tenggara
sembari melakukan perdagangan disana.
Sedangkan Fatimi menjelaskan bahwa para saudagar China Canton pernah
berondong – bondong pindah ke kawasan Asia Tenggara.332 Beberapa bukti yang
memperkuat jika orang – orang dari kalangan Canton yang menyebarkan Islam di
Asia Tenggara adalah sebagai berikut:
a) Ada sebuah prasasti berupa sebuah batu yang didalamnya bertulisakan
“Terengganu”, kemudian terdapat juga sebuah batu nisan yang bertuliskan
ayat – ayat al-Qur’an di Pekan, Pahang.
b) Faktanya banyak bangunan – bangunan masjid di Asia tenggara yang mirip
dengan bangunan China, sseperti bentuk atap masjid yang berundik – undik
meneyerupai bangunan khas yang ada di China. Juga adanya masjid di
kelantan yang memiliki hal serupa. Tak hanya itu, beberapa masjid di Jawa,
Melaka juga bertemakan atap pagoda yang menjadi ciri khas arsiterktur
China.

c. Teori kedatangan Islam ke Asia Tenggara dari India/Gujarat.


Teori ini ditemukan oleh S. Hurgonie, ia mengatakan bahwa Islam masuk ke
kawasan Asia Tenggara melalui jasa orang – orang dari Guajarat dan India serta
oarag – oarang dari wilayah pantai Koromandel, yaitu salah satu dari wilayah
India.333 Adapun beberapa bukti yang memperkuat teori ini adalah:

331
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradapan Islam, (Bandung: Pustaka Setia,2008),hlm.
187
332
Ahmad Ibrahim,Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES,1989), hlm. 45
333
Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam
Islam di Indonesia, (Jakarta: Al-Maarif, 1989),hlm. 102
133
a) Adanya beberapa batu marmar yang mempunyai arsitektur sama dengan
batu nisan yang ada di India, seperti batu nisan di makam raja Malik di
wilayah Pasai.
b) Faktanya banyak unsur – unsur dari buadaya Asia Tenggara yang memiliki
kemiripan dengan budaya yang ada di India.

2.4. Saluran Islamisasi dan Perkembangannya di Asia Tenggara


a. Jalur Perdagangan
Hal ini disebabkan karena adanya “kesibukan lalu lintas perdagangan” dari abad
ketujuh masehi hingga abad ke 16. Hal ini dikarenakan wilayah Asia Tenggara
adalah wilayah yang dinilai strategis sehingga membuat para suadagar – saudagar
Muslim dari bangsa Arab, Persia bahkan India turut serta berdagang di kawasan
Asia Tenggara guna mengembangkan barang dagangan mereka.
Selain itu, adanya beberapa pelabuhan yang saling terhubung seperti pelabuhan
di Srlat Malaka, Indo-China, Teluk Siam, Makassar, Maluku yang berorientasi
sebagai pusat bertemunya kegiatan orang – orang jaman dulu dan salah satunya
adalah kegiatan jual beli.
Tak hanya itu, rupanya lewat sakuran Islamisasi yang disebabkan oleh kegiatan
perdagangan ini juga menguntungkan bagi para raja, bangsawan yang mempunyai
saham dan beberapa kapal. Sehingga hasil dari untung perdagangan tersebut
dialokasikan untuk penyebaran Islam di tanah Asia Tenggara, seperti membangun
masjid, tempa belajar agama Islam dan lain sebagainya. Bahkan di tanah Jawa
sendiri, para penguasa Jawa dari kalangan pembesar Majapahit banyak yang masuk
Islam bukan hanya dikarenakan faktor politik, namun juga faktor ekonomi yang
dipengaruhi oleh saudagar Muslim dari Arab.334
b. Pernikahan
Setelah dijelaskan bahwa para saudagar Muslim dari segi ekonomi bisa dibilang
lebih mapan dan memiliki status sosial yang lebih tinggi dari mayoritas pribumi,
sehingga hal ini menjadi faktor para penduduk pribumi terutama para putri dari
bangsawan tertarik untuk dipersunting oleh saudagar – saudagar tersebut. Hal ini
juga sebagai proses Islamisasi, karena sebelum mereka dipersunting, mereka harus
memeluk ajaran Islam terlebih dahulu. Setelah mereka memiliki keturunan akhirnya
terciptalah sebuah perkampungan, daerah – daerah, kompleks bahkan kerjaan Islam,
hingga para adipati atau putra raja Islam tersebut menikah dengan putri dari kerajaan
Islam lain dan begitu seterusnya. Hal ini kemudian menjadi faktor terbesar dalam
proses Islamisasi di Asia Tenggara. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat
atau Kawunganten, Brawijaya dengan puteri Campa yang mempunyai keturunan
Raden Patah (Raja pertama Demak) dan lain-lain.335
c. Politik
Hal ini juga berkaitan dengan dua faktor diatas, ketika raja dari suatu wilayah
memutuskan untuk masuk Islam, maka mayoritas dari rakyatnya berbondong –

334
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2000), hlm.
201
335
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 204
134
bongdong untuk memeluk agama Islam pula, hingga hal ini membantu penyebaran
Islam di Asia Tenggara. Selain itu, di Indonesia sendiri, konflik politik antara Hindu
dan Budha yang sengit membuat Islam masuk di celah perseketaan tersebut seraya
menyebarkan dakwah Islam yang damai dan ramah.
d. Tasawuf
Salah satu faktor tersebarnya Islam di Asia tenggara adalah lewat perantara
kaum sufi sebagai pengajar teosofi yang bercampus dengan ajaran yang telah
tersebar di kalangan masyarakat. Tak hanya itu, karena keahlian mereka dalam
menyebuhkan penyakit fisik maupun batin juga menarik perhatian pribumi untuk
mengenal Islam lebih dalam. Bahkan diantara para sufi tersebut ada yang menikah
dengan wanita pribumi.
Dalam ajaran tasawuf, bentuk Islam yang diajarkan dengan metode – metode
yang damai dan mudah dimenegrti, tasawuf menjadi jalur Islamisasi yang tidak
kaku, tidak serta merta mengubah ajaran non Islam sekaligus, melainkan dengan
beberapa tahap, sehingga tersebarlah Islam tanpa pertikaian dan konflik. Diantara
para sufi yang dikenal kontribusinya dalam penyebaran islam di Asia Tenggara
adalah Hamzah Fansuri dari Aceh, Wali-Sanga di Jawa, Syeikh Lemah Abang dan
lain sebagainya.
e. Pendidikan
Berkat para pengajar dari kalangan tasawuf, ahli agama dan cendikiawan Islam,
lahirlah beberapa fasilitas berupa pesantren, atau tempat belajar agama islam yang
mengajarkan seluk – beluk seputar agama. Di pesantren, para santri atau murid yang
menuntut ilmu agama disana dikarantina beberapa lama dan mendapat ilmu dari para
ahli agama seperti kiyai untuk mendalami agama Islam, sepulang dari pesantren para
santri menyebarkan ilmu agama islam tersebut ke kampung halamanya masing –
masing, mereka menjadi duta untuk penyebaran dakwah Islam di pelosok – pelosok
desa. Mediasi pendidikan agama bukan hanya berupa pesantren, melainkan
pendidikan agama yang diajarkan di surau – suaru, masjid, tempat diskusi
keagamaan dan lain sebagainya.336
f. Kesenian
Kesenian merupakan saluran Islamisasi yang juga berpengaruh dalam
penyebaran islam di Asia Tenggara terutama di wilayah Nusantara yang dikenal
dengan kesenian wayang. Kesenia wayang dipopulerkan oleh salah seorang tokoh
sufi yang dikenal sebagai Sunan Kali Jaga. Melaui wayang, beliau menyelipkan nilai
– nilai keislaman dan norma Islam terhadap masyarakat pribumi sehingga mereka
mengenal Islam dan tertarik untuk masuk Islam. Sunan kali Jaga sendiri dalam
pertunjukan wayangya tidak sama sekali meminta upah keapada penonton, beliau
murni ingin mengenalkan Islam melalui budaya yang telah ada di tengah – tengah
masyarakat kala itu. Tak hanya wayang, beberapa karya seni yang menjadi mediasi
penyebaran agama Islam adalah hikayat, babad, rebana, slirik lagu sinden, seni ukir,
kaligrafi dan lain sebagainya.337

336
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 202-203
337
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 204
135
2.5. Tahap-tahap Perkembangan Islam di Asia Tenggara

a. Kehadiran para pedagang Muslim (7 - 12 M)


Fase ini dikenal sebagai awal mula proses Islamisasi di wilayah Asia Tenggara,
hal ini menjadi titik mula adanya interaksi sosial – budaya antara para pendatang
dari kalngan muslim dengan penduduk lokal Asia Tenggara. Namun pada fase ini,
belum ditemukannya bukti secara konkrit kapan para saudagar muslim itu datang ke
wilayah Indonesia pada masa 1 – 4 hijriyah. Hanya ada bukti yang menjelaskan
bahwa kedatangan mereka di abad ke 13 masehi atau setara dengan 7 Hijriyah.
Meski tedapat sebuah prasasti berupa sebuah batu nisan yang bertulislkan Fatimah
binti Maimun yang diduga wafat pada tahun 475 Hijriyah atau 1082 Mesehi. Namun
jika diteliti lagi dari bentuknya, nisan tersebut berisikan tulisan – tulisan doa kepada
Allah dari abad ke 16 Masehi seperti yang ditemukan di Campa.338
b. Terbentuknya Kerajaan Islam (13 - 16M)
Pada fase ini, Islam semakin tersosialisasi dalam masyarakat Asia Tenggara
yang ditandai dengan munculnya pusat kekuasaan Islam. Kerajaan sambudera Pasai
di akhir abad ke – 13 Masehi trlah merebut jalur perdagangan di wilayah selat
malaka , yang mana sebelumnya telah dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya.Kemudian di
awal permulaan abad ke – 14 Masehi berdirilah kerajaan Malaka di wilayah
semenanjung Malaysia.
c. Pelembagaan Islam
Pada fase ini, islam semakin menyebar di wilayah Asia tenggara, peradabannya
sangatlah pesat hingga memasuki purat – pusat kekuasaan hampir di seluruh
wilayah. Hal ini tak luput dari peranan para pendakwah Islam yang selalu istiqamah
dalam mengajarkan ajaran Islam. Bahkan banyak dari mereka yang menikahi wanita
pribumi, masuk kepada biokrasi kerajaan, mendapatkan jabatan penting di suatu
kerajaan dan lain sebagainya.
Dengan kata lain, Islam di Asia Tenggara dikukuhkan melalui jalur
Islamisasinya yang berupa perdagangan, pernikahan dengan para elit kerajaan dan
juga pribumi, ekonomi yang semakin menigkat, dan juga adanya sosialisasi
langsung dengan masyarakat di kalangan bawah. Hingga pengaruh Islamisasi yang
mulanya hanya berpengaruh di satu wilayah saja, kini telah menyebar di wilayah –
wilayah besar di Asia Tenggara.
Islam di kalangan pribumi cepat berkembang dan diterima baik, karena dalam
proses penyebarannya dengan jalan damai dan tidak mengedepankan aksi militer dan
kekerasan sehingga respon dari pribumi terhadap mereka juga baik dan penuh lapan
dada.339

338
Hanun Asrofah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),
hlm. 45
339
Hanun Asrofah, Sejarah Pendidikan Islam, hlm 55
136
2. Distingsi Islam di Asia Tenggara

1.1. Karakteristik Islam di Asia Tenggara


Sebagaimana disebutkan di atas tentang bagaimana historika kedatangan Islam
di Asia Tenggara yang bersumber dari beberapa teori dan bukti sejarah yang
memperkuat, untuk sesi ini pemakalah akan sedikit memaparkan bagaimana
distingsi Islam di Asia Tenggara. Di awal pemaparan telah disinggung bahwa
terdapat banyak keunikan tentang masuknya Islam di Asia Tenggara yang mana ini
menjadi sebuah karaktristik yang membedakannya dengan penyebaran Islam di
wilayah – wilayah lainnya. Tak hanya itu, penyebaran Islam yang dikenal damai di
wilayah ini juga menjadi keunikan tersendiri, tak seperti di wilayah Timur – Tengah
yang mayoritas penyebaran Islam di sana dilakukan dengan cara militer karena
situasi politik dan lain sebagainya. Banyaknya gugusan pulau di Asia Tenggara dan
budayanya juga melahirkan karaktiristik tersendiri kala Islam masuk. Oleh karena
itu, banyak sejarawan seperti Azyumardi Azra yang mengatakan bahwa Islam di
Asia Tenggara khususnya di Indonesia sebagai penyandang gelar Islam terbanyak di
dunia adalah Islam yang moderat, Islam dikenalkan disana dengan cara damai tanpa
kekerasan. Tak hanya itu, karaketistik Islam disana juga dikenal fleksibel karena
bisa beradaptasi dengan budaya lokal tanpa harus menghapus seluruh budaya dan
mengadopsi budaya Timur – Tengah.340
Bisa disimpulkan para pedagang, sufi, ahli agama dari kalangan Muslim
menyebarkan Islam di kawasan Nusantara cenderung fleksibel dan bisa beradaptasi
dengan budaya yang ada disana sehingga dakwah mereka diterima baik oleh
kalangan pribumi khususnya di wilayah pesisir, karena merupakan tempat yang
strategis dan mudah menerima berbagai warga Asing yang singgah mayoritas untuk
berdagang.
Hal ini sesuai dengan Azyumardi Azra yang menyebutkan Islam di Asia
Tenggara khususnya di Indonesia adalah “Islam Flowery atau Islam yang berbunga-
bunga alias beragam”. Beliau menjelaskan bahwa “wajah” Islam di Indonesia adalah
wajah yang tersenyum “Islam with a smiling face”, bersifat toleran, fleksibel dan
akomodatif. Islam di Nusantara adalah Islam yang saling berpegangan – tangan
dengan budaya dan tidak bisa dilepaskan. Hal ini juga menyebabkan sifat terbuka,
modernitas, demokrasi, dan lain sebagainya.341
Karakteristik lainnya adalah bisa dibilang bahwa Islam di Asia Tenggara
merupakan salah satu wilayah penyandang Muslim terbanyak di dunia dan sedikit
mengalami “Arabisasi”, terkhusus pada pola “sosio – kultural”. Hal ini juga
dipengaruhi cara damai yang dibawa oleh para muballigh, sufi, saudagar Muslim
dalam menyebarkan Islam di Indonesia. Hal ini menjadi karakteristik tersendiri yang

340
Jumal Ahmad, Islam Asia Tenggara:
http://www.researchgate.net/publication/322077592. Diakses pada: 16 November 2019. hlm.
16 – 17.
341
Azyumardi Azra, Bali and Southeast Asian Islam: Debunking the Myths - dalam
Kumar Ramakrishna dan See Seng Tan (eds.), After Bali: The Threat of Terrorism in
Southeast Asia (Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd, 2003), 45.
137
patut dibanggakan, berbeda dengan cara penyebaran dakwah Islam di Timur –
Tengah yang cenderung dengan cara perang/militer.342

1.2. Islam Washathiyyah


Salah satu anugerah dari Allah yang terbesar bagi umat Islam adalah menjadikan
mereka sevagai “ummatan washatan/ umat yang moderat”, sebagai umat yang paling
baik “khiyaran” dan sebagai umat yang paling bijaksana atau adil “adulan”. Hal ini
telah disebutkan dalam Firman-Nya dalam surat al-baqarah ayat 143 yang berbunyi:

‫وكذلك جعلنكم أمة وسطا‬


Artinya:
“Dan begitulah kami jadikan kalian umat pertengahan”
Seorang ulama ahli tafsir yang terkenal seperti imam Fakhruddin al-Razi
menafsirkan ayat ini dengan penjelasan bahwa kata “washatan” disini bermakna
“adil dan pilihan” atau dengan kata lain umat Islam merupakan umat pilihan dan
adil. Beliau dalam tafsirya menjelaskan bahwa pemaknaan kata “washathan” disini
ternyata memiliki beberapa makna yang hampir mendekati. Pertama adalah
“washath” yang berarti adil, hal ini diperkuat oleh penggunaan kata ini sebagai
“adil” yang telah disebutkan dalam beberapa ayat lain, juga dalam hadis dan sya’ir –
sya’ir Arab klasik. Makna kedua adalah “washath yang berarti pilihan”. Namun al-
Razi sendiri lebih memilih makna “pilihan” sebagai tafsiran dari kata “washath”
karena menurut beliau makna tersebut dianggap paling sesuai.
Istilah lain untuk “washath” disini juga dijelaskan oleh Menteri Agama
Tarmidzi Taher lewat karyanya yang berjudul”Aspiring for the Middle Path Islam:
Religious Harmony in Indonesia”. Tak hanya itu, istilah ini juga disebut dalam
berbagai karya cendikiawan Dunia seperti “Muhammad Rasyid Ridla, Muhammad
al-madani, Muhammad Syaltut, Ysuf al-Qardhawi dan Wahbah al-Zuhaili”.
Sejatinya dakwah yang diajarkan dalam Islam berupa dakwah yang dilakukan
dengan cara baik, penuh hikmah. Hal ini juga telah disebutkan dalam surat al-
Anbiya’ ayat 108 yang berbunyi “Dan kami sekali – kali tidak mengutus enkau
(Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam”, dalam surat al-nahl
ayat 125 juga disebutkan bahwa “Seruhlah (manusia) keepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan penuh pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik pula”.
Nahdlatul Ulama, salah satu ormas besar di Indonesia menyikapi “washathan”
sebagai karakter dari perilaku keagamaan yang mempunyai dua definisi: Pertama
“tawasuth” yang berarti sikap moderat yang berasaskan pada prinsip “jalan tengah”
dan berusaha untuk menghindari segala bentuk perilaku yang bersifat ekstrim
“tatharruf”. Kedua “tawashuth” bermakna “tasamuh” atau yang lebih popouler
diartikan sebagai sikap toleransi, menghargai perbedaan dan kemajemukan sosial

342
Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer – Wacana, Aktualis dan Aktor
Sejarah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 176.
138
dan budaya masyarakat. Ketiga adalah “tawazun” yang bermakna sikap seimbang
dalam beribadah kepada Allah “al-hablu ila Allah” dan bersosialisasi yang baik
dengan manusia “al-hablu min al-nas” demi tercapainya keharmonisan antara
hubungan diri sendiri dengan Sang Pencipta yang Maha Esa, dan diri sendiri dengan
Manusia yang lain. Keempat adalah “i’tidal” yang berrati sikap adil.343 Konsep ini
selain diperuat oleh beberapa ayat dan hadis juga dilatarbelakangi karena faktanya
Indonesia sendiri adalah negara dengan jumlah suku, ras, agama dan budaya yang
banyak, sehingga konsep Islam disini saling berpegangan tangan dengan budaya
lokal dan menghargai perbedaan.
Oman fathurrahman dan Azyumardi Azra juga menjelaskan bahwa Islam di
Indonesia atau Islam Nusantara adalah Islam yang “empirik dan distingtif sebagai
hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, penerjemahan, vernakularisasi Islam
universal dengan realitas sosial, budaya, dan sastra di Indonesia”.344 Dengan kata
lain washatiyah disini berada di tengah – tengah antara sikap yang terlalu tekstualis
yang berujung kepada sikap jihadis dan radikalis dan sikap yang terlalu rasionalis,
kontekstualis sehingga berujung kepada liberal yang dianggap negatif. Hal ini
seperti yang dijelaskan oleh Prof.ardi Azra dalam mata kuliah “History of Islamic
Civilization” di kelas beasiswa PMLD Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.345
Pada ranah kemasyarakatan, Islam Washathiyah berorientasi sebagai
“Organisasi besar Islam”, yang mana telah berderi sebelum dideklarasikannya
kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Adapun organisasi yang dimaksud adalah:
“Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Al-Washliyah, Perti, Mathla’ul Anwar,
PUI, Persis, Nahdlatul Wathan, Al-Khairat, DIII, dan banyak lagi”. Organisasi ini
dianggap menerapkan sistem “washathiyah” tak hanya dalam hal ideologi dan
pemahaman keagamaan, melainkan juga dalam bersosialisasi dengan masyarakat,
budaya dan juga politik,346
1.3. Islam Periferal
Namun tak sedikit juga dali kalangan orientalis yang menganggap Islam di
Nusantara sebagai Islam pinggiran, Islam yang periferal karena dianggap berbeda
dari bentuk aslinya yaitu Islam yang bermula di Arab atau Timur - Tengah. Mereka
berargumen demikian karena islam di Nusantara lah yang sedikit mengalami
Arabisasi. Dan karena penyebaran islam di Asia Tenggara termasuk baru tak sperti
di Timur – Tengah yang mayoritas lebih dulu mengenal Islam. Seperti yang sudah
dijelaskan bahwa Islam yang ada di Nusantara menjadi Islam yang bisa berbaur di
masyarakat tanpa harus menhapus unsur budaya lokal dan menerapkan seluruh
budaya Arab, namun hal ini disalahpahami oleh beberapa orientalis, mereka
menganggap bahwa Islam yang ada di Nusantara bukanlah Islam murni karena

343
M. Basyir Syam, Islam Washathiyah dalam Perpsektif Sosiologi, (Jurnal Aqidah –
Ta Vol.IV No. 2: 2018), hlm. 198 – 199.
344
Jumal Ahmad, Islam Asia Tenggara, hlm. 14-15.
345
Azyumardi Azra, dalam penjelasan mata kuliah “Histori of Islamic Civilization”,
Senin 16 Desember 2019.
346
Jumal Ahmad, Islam Asia Tenggara, hlm. 14-15.
139
bercampur dengan kepercayaan lokal. Diantara orientalis tersebut adalah Van Leur,
Winstedl dan Landon.
Azyumardi Azra dalam bukunya “Historiografi Islam Kontemporer”, beliau
mengutip salah seorang orientalis yang bernama “Nikki Keddie”, ia membantah
argumen Van Leur dan lainnya. Keddie melakukan studi riset yang di lakukan
langsung di wilayah Minangkabau untuk mengkomparasikan antara Islam di Asia
Tenggara dan islam di wilayah Timur – Tengah. Keddie menyebutkan adanya
tendensi di kalangan oarang – orang non – Muslim dan juga sebagian Muslim
tentang Islam di Asia Tenggara yang disebut sebagai periferal karena proses
Islamisasi disana datang lebih belakang. Bahkan tak sedikit dari mereka yang
beranggapan bahwa Islam di Asia Tenggara dinilai “buruk, singkretis dan nominal”.
Dengan kata lain Islam di Asia Tenggara hanyalah unsur tipis yang berada di bawah
lapisan kebudayaan lokal. Keddie menjelaskan bahwa kebanyakan orang di
Minangkabau juga masih percaya akan hal mistis dan “supernatural atau takhayul”
yang mana tidak sesuai dengan ajaran Islam. Namun hal ini tidak bisa dipukul rata
bahwa islam di sana, hal ini terbukti jika banyak dibangun masjid atau surau sebagai
tempat beribadah umat Muslim dan sebagai tempat mengkaji Ilmu agama. Dan
faktanya juga masyarakat Indonesia adalah penyumbang terbesar ekonomi Arab
Saudi karena kontribusinya tiap tahun sebagai jamaah haji, bahkan bisa dibilang
bahwa Indoseia adalah jamaah haji terbanyak di dunia. Meski secara geografis
antara wilayah Arab Saudi dan Indonesia sangatlah jauh, namun tidak mematahkan
semangat keagamaan mereka. Sebaliknya, tak hanya di Indosenia, di Timur –
Tengah khususnya di wilayah Afrika Utara dan Timur mereka juga sangat kental
terhadap hal – hal mistis dan supranatural. Oleh karena itu tidak bisa kita mengkalim
Islam di suatu daerah itu buruk atau tidak hanya dengan argumentasi yang skeliru
sperti yang dijelaskan oleh Van Leur dan lainnya.
Dari beberapa peenyataan diatas, bias disimpulkan bahwa Islam di Asia
Tenggara dianggap periferal dalam segi geografis mungkin benar adanya, namun
jika dalam konteks keagamaan atau ajaran Islam tentu klaim peripheral ini perlu
diuji secara kritis dan detail. Bisa disimpulkan, bahwa pernyataan Islam di Asia
Tenggara adalah periferal secara geografis mungkin benar, akan tetapi pernyataan
bahwa Islam di Asia Tenggara periferal dari segi ajaran perlu diuji secara kritis.347

Penutup
Dari pembahasan yang singkat ini kita bias mengetahui bahwa terdapat banyak
teori tentang bagaimana dan kapan Islam mulanya datang ke wilayah Asia Tenggara.
Diantaranya adalah: Teori kedatangan Islam ke Asia Tenggara dari Arab, Teori
kedatangan Islam ke Asia Tenggara dari Cina, Teori kedatangan Islam ke Asia
Tenggara dari India/Gujarat. Dan dengan melalui beberapa cara, yaitu melalui
perdagangan, pernikahan, tasawuf, dakwah Islamiyah, pendidikan, politik dan
kesenian. Selain itu kedatangan Islam di Kawasan ini juga melalui beberapa fase;
diawali dengan kehadiran para pedagang Muslim, terbentuknya kerajaan Islam, dan

347
Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer – Wacana, Aktualis dan Aktor
Sejarah, hlm. 171-176.
140
yang terakhir adalah fase pelembagaan Islam. Adapun teori – teori tersebut masing –
masing memiliki bukti yang memperkuat.
Karena Islamisasi di Asia Tenggara yang mempunyai corak tersendiri dan
beragam, juga jauh dari kata kekerasan, maka para sejarawan sepakat seperti
Azyumardi Azra bahwa Islam di asia Tenggara memeiliki karakteristik yang damai,
moderat, fleksibel, dan membaur dengan budaya lokal tanpa harus mengurangi rasa
ketaatan kepada Agama, khususnya di wilayah Indonesia sebagai penyandang gelar
muslim terbayak di Asia Tenggara bahkan Dunia.
Islam di Indonesia atau Islam Nusantara adalah Islam yang “empirik dan
distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, penerjemahan,
vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan sastra di
Indonesia”. Dengan kata lain washatiyah disini berada di tengah – tengah antara
sikap yang terlalu tekstualis yang berujung kepada sikap jihadis dan radikalis dan
sikap yang terlalu rasionalis, kontekstualis sehingga berujung kepada liberal yang
dianggap negatif.
Pada ranah kemasyarakatan, Islam Washathiyah berorientasi sebagai
“Organisasi besar Islam”, yang mana telah berderi sebelum dideklarasikannya
kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Adapun organisasi yang dimaksud adalah:
“Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Al-Washliyah, Perti, Mathla’ul Anwar,
PUI, Persis, Nahdlatul Wathan, Al-Khairat, DIII, dan banyak lagi”. Organisasi ini
dianggap menerapkan sistem “washathiyah” tak hanya dalam hal ideologi dan
pemahaman keagamaan, melainkan juga dalam bersosialisasi dengan masyarakat,
budaya dan juga politik
Islam di Asia Tenggara dianggap periferal dalam segi geografis mungkin benar
adanya, namun jika dalam konteks keagamaan atau ajaran Islam tentu klaim
peripheral ini perlu diuji secara kritis dan detail. Bisa disimpulkan, bahwa
pernyataan Islam di Asia Tenggara adalah periferal secara geografis mungkin benar,
akan tetapi pernyataan bahwa Islam di Asia Tenggara periferal dari segi ajaran perlu
diuji secara kritis.

141
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Ibrahim,Islam di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES,1989.


Andi Faisal Bakti, Islam and Nation Formation in Indonesia. Jakarta: Logos, 2000.
Azyumardi Azra, Islam Nusantara:
https://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/06/17/nq3f9n-islam-
nusantara-1.
Azyumardi Azra, Bali and Southeast Asian Islam: Debunking the Myths - dalam
Kumar Ramakrishna dan See Seng Tan (eds.), After Bali: The Threat of Terrorism
in Southeast Asia. Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd, 2003.
Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer – Wacana, Aktualis dan Aktor
Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara-Sejarah Wacana dan Kekuasaan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Grafindo Persada, 2000.
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradapan Islam. Bandung: Pustaka Setia,2008.
Hanun Asrofah, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Ira. M. Lapidus, Sejarah sosial Ummat Islam. Yogyakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2000.
Jumal Ahmad, Islam Asia Tenggara:
http://www.researchgate.net/publication/322077592.
M. Basyir Syam, Islam Washathiyah dalam Perpsektif Sosiologi, Jurnal Aqidah – Ta
Vol.IV No. 2: 2018.
Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam
Islam di Indonesia. Jakarta: Al-Maarif, 1989.
Munzir Hitami, Sejarah Islam Asia Tenggara, Riau: Alaf, t.t.
Saifudin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia.
Bandung: al-Maarif, t.t.
Subaguk, Sejarah Peradan di Asia Tenggara. Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2000.
Studi Islam IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam. Surabaya: IAIN Sunan
Ampel PRESS, 2004.
http://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-di-asia-tenggara.pdf.
http://file.upi.edu/Direktori.

142
143
ISLAM ASIA TENGGARA: MAYORITAS DAN MINORITAS
Rizki Fathul Huda (21191200000013)

Abstrak
Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah dengan jumlah
penduduk muslim yang cukup besar. Tersebar dalam beberapa negara
dengan islam sebagai mayoritas dan beberapa negara dengan islam
sebagai minoritas. Negara dengan mayoritas islam antara lain,
Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam. Sedangkan negara dengan
islam sebagai minoritas antara lain Thailand, Kamboja, Myanmar,
Vietnam, Laos, dan Timor Leste.
Dinamika sosial, ekonomi, budaya, politik, umat muslim di Asia
tenggara tentu berbeda beda. Jika ditinjau dari segi mayoritas dan
minoritas, umat muslim yang berada pada negara dengan mayoritas
islam tentu mengalami pengalaman hidup yang lebih baik daripada
mereka yang tinggal di negara dengan minoritas islam.
Suku Pattani di Thailand yang sejak dahulu mengalami
diskriminasi dari suku Siam Thailand. Suku Cham yang diusir oleh
kerajaan Viet Utara hingga mereka lari menuju kamboja. Berbeda
dengan kondisi muslim di Indonesia, Brunei, dan Malasysia yang
lebih tenang dan berkuasa.
Islam masuk ke berbagai negara di Asean melalui jalur yang
berbeda-beda. Ada yang merupakan suku asli daerah tersebut yang
memeluk islam. Adapula yang merupakan para perantau dan
pedagang dari daerah lain. Namun dapat disimpulkan, bahwa muslin
di ASEAN semuanya adalah orang-orang Melayu, baik itu melayu
sebagai perantau dan pedagang maupun melayu yang menjadi
penduduk pada suatu negara tertentu di Asean.

PENDAHULUAN

Penyebaran Islam melesat begitu cepat dan luas sampai ke wilayah Asia tenggara
yang meliputi Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Kamboja,
Myanmar, Thailand, Singapura, dan Filipina. Luas wilayah Asia tenggara mencapai
sekitar 4.100.000 km2.348 “ASEAN” merupakan sebuah organisasi yang dibentuk
oleh negara-negara di kawasan ini yang bertujuan untuk menjalin berbagai
kerjasama dalam beberapa bidang, seperti bidang ekonomi, pariwisata, pendidikan
dan kebudayaan.
Azyumardi Azra menyatakan bahwa penyebaran Islam di Asia Tenggara tidak
pernah disebut sebagai “fath atau futuh” yakni pembebasan, yang acap kali

348
Nugroho, Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jilid 2, Cet. II, (Jakarta: PT. Cipta Adi
Pustaka, 2000), h. 346.
144
dilakukan dengan melibatkan kekuatan militer. Berbeda dengan ekspansi Islam di
berbagai wilayah Timur Tengah dan Afrika yang sering melibatkan futuh.349
Fakta menunjukkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara memiliki
komunitas muslim yang cukup besar. Seperti yang ada di Indonesia, Malaysia, dan
Brunei Darussalam. Bukan merupakan pernyataan yang lebay, jika melihat sampel
berupa jumlah pemeluk Islam di Indonesia saja mencapai 209,1 juta jiwa atau 13%
dari jumlah penduduk seluruh umat muslim di dunia.350

Meskipun di negara lain, Islam menjadi agama minoritas seperti di Thailand,


Filipina, dan Myanmar. Fenomena mayoritas dan minoritas merupakan kajian yang
menarik. Sebab, pandangan terhadap mayoritas dan minoritas dapat menimbulkan
regionalisasi, khususnya dari sisi agama. Isu regionalisasi ini lalu dapat digunakan
sebagai isu politik, sosial, dan ekonomi yang mampu menimbulkan konflik dalam
suatu negara yang dihuni oleh berbagai golongan.
Ahmad Suaedy menyatakan bahwa salah satu tantangan yang dihadapi kaum
minoritas di dalam negara demokrasi seperti Indonesia ialah terkait dengan hak asasi
manusia. Kasus yang dialami oleh minoritas di negara demokrasi rata-rata berupa
pengabaian. Ketidakpedulian pemerintah dalam melindungi minoritas dicerminkan
mislanya, dari banyaknya kekerasan yang menjadikan minoritas sebagai korban. 351
Belum luput dari ingatan mereka, para jemaat gereja St. Lidwina di Yogyakarta yang
mengalami penyerangan pada Ahad, 11 Februari 2018 lalu. Yang paling populer di
Jakarta beberapa tahun belakang adalah bagaimana penggunaan term “kafir”
dilarang menjadi gubernur digaungkan oleh masyarakat mayoritas untuk melawan

349
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan
Kekuasaan, (Bandung: Rosdakarya, 1999), h. xvi.
350
Indonesia, Negara Berpenduduk Muslim Terbesar Dunia, artikel diakses pada 18
Desember 2019 dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/11/11/indonesia-
negara-berpenduduk-muslim-terbesar-dunia.
351
Ahmad Suaedy, “Islam, Identitas dan Minoritas di Asia Tenggara”, dalam Jurnal
Kajian Wilayah, Vol. 1, No. 2, 2010, h. 238
145
kekuatan politik Basuki Tjahaja Purnama atau lebih dikenal dengan Ahok. Dan satu
lagi, yakni sejarah kelam Indonesia ketika kekerasan, dan penjarahan menimpa etnis
keturunan tionghoa atau chinese pada tahun 1998.
Tentunya peristiwa yang menimpa kaum minoritas tidak hanya terjadi di
Indonesia. Sebagai pembanding, begitu ramai dibicarakan tentang ancaman genosida
yang dialami oleh komunitas muslim Rohingnya di Myanmar. Masih segar dan
memilukan dalam ingatan komunitas muslim di Christchurch, New Zealand.
Serangan berupa penembakan terhadap puluhan orang islam pada maret 2019 lalu di
dalam masjid yang ditayangkan secara live layaknya video game, seperti PUBG,
Call of Duty, ataupun DOTA.
Makalah ini berusaha memotret Islam di Asia Tenggara dalam kacamata
mayoritas dan minoritas pemeluknya dengan bumbu-bumbu problematika yang
terjadi di dalamnya. Oleh karena itu, penulis membagi dalam dua bagian, yakni
negara dengan Islam minoritas dan negara dengan Islam mayoritas. Agar
pembahasan tidak terlalu melebar, penulis membatasi Islam minoritas pada 3 negara,
yaitu Thailand, Filipina, dan Myanmar. Serta membatasi Islam mayoritas pada 3
negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

PEMBAHASAN
A. Thailand
Thailand secara geografis terletak diantara benua Australia dan dataran China.
Kondisi ini membuat posisi Thailand relatif strategis dan mudah dijangkau dalam
kegiatan perdagangan melalui jalur laut serta penyebaran agama. Islam di Thailand
merupakan agama minoritas, dengan didominasi oleh agama Budha yang merupakan
agama resmi negara. Pemeluk agama Islam di Thailand banyak terdapat di daerah
bagian selatan seperti Pattani, Yala, Narathiwat, serta sebagian Sulu dan Songkhla.
Daerah ini merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia.352 Daerah
Patani pada mulanya merupakan daerah tersendiri tidak termasuk ke dalam wilayah
kerajaan Thailand hal ini di sebabkan karena bebrapa fakor yang paling mencolok.
Pertama faktor agama, Thailand mayoriratas beragama Budha sedangkan mayoritas
agama di Patani islam, faktor yang kedua bangsa yang mendiami wilayah ini
berbeda orang-orang Patani Ras melayu sedangkan bangsa Thailand orang Siam.
Adapun sejarah awal dari adanya kerajaan Patani dikenal lebih dahulu denagan
nama kerajaan Langkasuka yang beragama Hindu-Budha.353 Kerajaan ini merupakan
cikal bakal dari kerjaan Pattani yang terletak di pantai timur semenanjung Malaya
antara Klantan dan Songkhla, hal ini berdasarkan catatan China. Welch dan McNeill
memiliki pendapat lain, mereka menyatakan bahwa Langkasuka merupakan nama
lain dari kesultanan Patani. Hal ini di perkuat dengan temuan arkeologi berupa
makam terletak 15km dari kota Patani sekarang, diperkirakan berumur 1050-1300

352
Bayu Mitra Adhyatma Kusuma, “Masyarakat Muslim Thailand dan Dampak
Psikologis Kebijakan Asimilasi Budaya”, dalam Jurnal Hisbah, Vol. 13, No. 1, Juni 2016, h.
109-110.
353
Jhon F, “Thailand”, dalam “Voice of Islam in Southeat Asia; A Contemporary
Sourcebook”, (Institute of Southeast Asian Studies. 2006), hlm. 78
146
M. Kemudian sekitar abad 15 berubah menjadi Patani dan secara resmi Patani
mejadikan Islam Sebagai agamanya.354
Islam mampu menambah dan memperkukuh aspek agama, sosial, budaya dan
ekonomi di Patani. Sekitar abad ke 15 kerajaan Langkasuka merubah namanya
menjadi kerajaan Melayu Islam (Patani) dengan menjadikan kesultanan sebagai
sistem pemeirintahan dan Islam sebagai agama resmi. Pada kurun waktu abad 16-17
patani mengalami puncak kejayaan sebagai wilayah perdagangan, tetapi hal ini juga
menjadikan patani menjadi wilayah incaran bagi wilayah lain yaitu kerajaan Siam
Thailand yang nantinya akan menjadikan penaklukan Siam atas Patani.
Politik identitas dan semangat perjuangan berlandaskan asas agama menjadi
sebuah kekuatan tersendiri bagi kesultanan Patani Islam. Ketika Portugis datang
pada abad 15-16 ke Asia tenggara, membawa ajaran kristen hal ini memaksa umat
islam untuk melakukan perlawanan dengan semangat identitas agama, budaya dan
kepentingan masyarakat.355
Penaklukan Siam atas patani sendiri terjadi sekitar tahun 1785 di bawah
kekuasaan Thailand. Patani mengalami banyak Perubahan secara signifikan sebagai
contoh perjanjian antara inggris dan siam tahun 1909 membuat masyarakat patani
menjadi budak dan pekerja paksa dari inggris.
Mayoritas muslim Patani menganut aliran sunni bermazhab Syafi’i, walaupun
ada juga yang penganut Syiah. Karakter sosial masyarakat patani dapat dibagi
berdasarkan kelas sosialnya sebagai contoh bangsawaan diberikan gelar Nik, Wan,
Teuku atau tuan. Hal ini berubah apabila seorang perempuan dari bangsawaan
menikahi rakyat biasa, maka gelar ini akan menghilang. Adapun gelar untuk tokoh
agama atau pejabat diberikan gelar Dato’.356 Berdasarkan bahasa yang digunakan,
muslim Patani terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok berbahasa Patani dan Melayu, serta mampu membaca teks Jawi;
2. Kelompok berbahasa melayu tetapi tidak bisa membaca huruf jawi;
3. Kelompok berbahasa Thailand.357
Identitas masyarakat muslim patani yang paling jelas yaitu manuskrip bebahasa
melayu tulisan Jawi menggunakan huruf arab dan orang muslim patani mengagap
tulisan jawi merupakan ajaran islam. Gilquin menyatakan bahwa jawi adalah bahasa
yang membedakan masyarakat muslim patani dengan muslim di Malaysia.358 Dalam
kitab Negarakertagama tahun 1365 memuat keterangan penggunaan bahasa Jawi

354
Pendapat tentang kapan Islam datang dan menyebar di wilayah ini memiliki
banyak versi, beberapa diantaranya tidak dapat menyatakan secara detail kapan Islam
berkembang di Patani. Hubungan antara Raja Pasai bernama Syeikh Said yang membantu
mengobati penyakit Payatu Nakpa selaku Raja Langkasuka pada abad ke 10 dipercaya
sebagai tonggak awal Islam di Patani. Lihat M. Ladd Thomas dalam “Political Violence in
the Muslim Provinces of Southen Thailand”, (ISEAS No. 28, april 1975) hlm 4.
355
Howard F, “Sultans, Shamans, And Saints; Islam and Muslim in Southeast Asia”,
(United State Of America : university of Hawai’i Press, 2007), hlm. 38
356
W. K. Che Man, “Muslim Separatism The Moros of Southen Philipines and The
Malays of Southen Thailand, Singapore” : ( Oxford University Press 1990), hlm 39
357
Ahmad Amir Bin Abdullah, “Melayu Patani A Nation Survives” di akses tgl 20/ 11
/ 2019.
358
Michel Gilquin, “The Muslims of Thailand”, (Thailand: Silkworm Books, 2005)
hlm 10
147
oleh orang patani. Di dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa Langkasuka berada
dibawah kekuasaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.359
Pattani dalam konteks kekinian disebut dengan Khaeng yang memiliki arti orang
asing hal ini menjadikan konflik di Thailand, dikarenakan Khaeng lebih digunakan
sebagai penyebutan orang muslim dari Thailand selatan (Pattani).360 Istilah melayu
muslim baru ada pada tahun 1940 masa Phibul Songkhram dengan istilah Thai
Muslim, tetapi hal ini menyinggung perasaan sebagian muslim Pattani yang terkesan
ini mengaburkan identitas dan budaya muslim Pattani yang terkesan seperti orang
asing.361
B. Kamboja
Kamboja secara geografis terletak di semenajung barat daya Indocina yang
berbatasan dengan Laos, Vietnam, dan Thailand. Luas wilayahnya mencapai sekitar
181.035 km2.362 Jumlah anak sungai di Kamboja cukup banyak, ditambah dengan
adanya danau Tonle Sap yang luas membuat Kamboja memiliki pertanian yang
subur. Masyarakat kamboja sebenarnya hanya terdiri dari 1 etnis yaitu etnis
Khmer.363 Selain khmer terdapat juga etnis yang lain. Agama mayoritas dari warga
kamboja yaitu Budha, agama lain dari masyarakat kamboja islam, kristen dan
animisme. Meski agama Budha menjadi agama mayoritas tetapi tidak terjadi
diskriminasi oleh pemeluk agama mayoritas, beda kasus dengan di wilayah lain
sepertri di Filipina, Thailand, Myanmar yang sensitif dengan isu konflik secara
agama ataupun ras. Toleransi di kamboja sangat tinggi hal ini sudah terjadi di setiap
pemimpin di kamboja.
Berbicara Muslim di kamboja tidak akan terlepas dari dua etnis muslim, etnis
Cham dan etnis Melayu, yang ada sebelum abad 20. Namun, pada era sekarang tidak
hanya dua etnis mainstream tersebut saja yang memeluk Islam. Proses islamisasi dua
etnis ini, muslim Cham dan Melayu memeliki perbedaan dari sisi waktu dan
motifnya. Muslim Cham merupakan orang-orang dari kerajaan Champa364 yang
terusir setelah kerajaan mereka jatuh di tangan kerajaan Viet Utara pada tahun 1471

359
Paulus Rudlof Yuniarto, “ Integration of Pattani Malays: A Geopolitical Change
perspective”, dalam Multiculturalism, Separatisem, and nation State Building in Thailand,
(Pusat penelitian sumberdaya regional Indonesia, 2004) hlm. 36-37
360
Omar Faruk, “Asal usul dan evolusi Nasionalisme etnis muslim Melayu di
Muangtahi selatan”, dalm Ed. Taufik abdullah dan Sharon Siddique, “Tradisi dan
kebangkitan Islam di Asia tenggara, (Jakarta : LP3ES, 1988), hlm. 297
361
Michel Gilquin, “The Muslims of Thailand” (Chiang Mai, Thailand: Silkwworm
Books, 2005) hlm. 184.
362
Rahmat Bratamidjaja dkk, ensklopedia Indonesia Seri Geografis,( Jakarta ; PT
ichtiar baru van Hoeve, 1990), hlm 3
363
International Center for Ethinc Study, “Minoritas in Cambodia”, (United kingdom:
Manchester Press, 1995), hlm 10.
364
George Coedes, terj, Sejarah kerajaan Champa dari awal sampai tahun 1471,
(jakarta: Balai Pustaka 1981) hlm31-70
148
M.365 Tidak hanya ke kamboja, etnis Cham juga melarikan diri ke daerah lain seperti
Thailand selatan, Sumatra, Borneo, Malasyia, Kamboja dan bahkan ke Jawa.366
Sejak jatuhnya kerajaan Champa 1471 M sampai 1832 M masyarakat Champa
secara bertahap meninggalkan wilayah mereka, salah satunya ke kamboja dan
hampir seluru etnis cham yang ada di Kamboja beragama Islam. 367 Hubungan
kerajaan Champa dengan Angkorwat telah terjadi sangat lama baik itu hubungan
politik ataupun hubungan perdagangan. Kedatangan orang-orang Champa ke
kamboja disambut baik oleh sang raja Jayajetha III (1677-1705). Orang-orang Cham
yang berpindah ke kamboja mampu berbaur dengan pribumi dan juga ada yang
diangkat menjadi pejabat pemerintahan.368 Pada abad 17 raja Kamboja yakni Raja
Ramadhipati (1642-1658) memeluk islam dan berganti nama menjadi Ibrahim.369
Tetapi hal ini tidak menjadikan rakyat kamboja memeluk agama islam. Setelah raja
ini meninggal, Budha menjadi agama mayoritas kamboja.
Selanjutnya etnis muslim Melayu, mereka merupakan orang melayu yang
menjalin hubungan dagang dengan Orang Kamboja sekitar Abad 7. Mereka datang
ke kamboja bertujuan untuk berdagang dan berdakwah. Orang Melayu yang
berdagang ke kamboja dibagi menjadi tiga golongan. Namun, tidak ada perbedaan
teologis diantara mereka yang memicu perdebatan dan perbedaan. Adapun tiga
golongan ini antara lain Jva Krapi, Jva Iyava, dan Jva Melayu.370 Jva Krapi
merupakan Orang melayu yang berasaal dari Sumatera, Jva Iyava berasal dari Jawa,
Jva Melayu berasal dari Thailand Selatan, Singapura dan Malaysia.
Antara etnis muslim Champ dan melayu, keduanya menjalin hubungan sesama
muslim dengan baik dalam segala bidang, terutama dalam bidang perdagangan.371
Sehingga terbentuklah asimilasi antara orang Cham dengan orang Melayu bernama
Cham-Chvea atau Cham-Jva.372
Asimilasi ini dilakukan melalui jalur pernikahan, dan juga muslim melayu
berjasa dengan memperkenalkan Madzhab Syafi’i kepada muslim kamboja. Ada
juga muslim kamboja yang dikenal dengan muslim Cham Jahed atau Cham Bani
yang dalam ritual keagamaanya berbeda ke Cham Cheva. Jika Cham Cheva
melakukan sholat sehari lima waktu cham Jahed hanya melakukan sholat seminggu
sekali di hari jumat saja. Hal ini dipengaruhi faktor orang Islam dari Cham Jahed

365
Saifullah, Sejarah kebudayaan Islam di Asia Tenggara (Jogjakarta: Pustaka Pelajar,
2010) hlm 223
366
Henry Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (ed) Kepulauan Indonesia dan
Champa dalam Panggung Sejarah, (Jakarta Yayasan Obor Indonesia, 2011) hlm 163-169
367
Tinjauan Sepintas sejarah bangsa cham dari Abad XVI Sampai Dengan Abad XX,
dalam Kerajaan Champa, Echole D’Extreme-Orient, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm 74.
368
Muhammad Zain Musa, “perpindahan dan Hubungan Semasa orang Cham”, dalam
Jurnal Sari, vol 26, 2008, hlm 260
369
Reiko Okawa. “Hidden Islamic Literature in a Cambodia: The Cham in The
Khamer Rough Peroid”, International & Regional Studies No. 45 (Meiji Gakun University,
2004) hlm 5
370
Omar Faruk dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at The Maergins: the Muslim of
Indocina, (Kyoto University: center of Integrated area Studis, 2008), hlm 72.
371
Anthony Reid, sejarah Modern Awal Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 2004) hlm
63
372
Omar Faruk dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at The Maergins: the Muslim of
Indocina, (Kyoto University: center of Integrated area Studis, 2008), hlm 72.
149
masih melakukan ritual agama Budha. Akan tetapi, perbedan ini tidak menimbulkan
konflik.373
Pasca merdekanya Kamboja dari perancis tahun 1953 kamboja di pimpin oleh
raja bernama Norodom Sihanouk. Di bawah piminan Norodom, Islam mampu
mengadakan perundingan dengan Norodom tentang permasalahan Islam di kamboja.
Hubungan baik antara raja dengan minoritas di kamboja yang membuat tidak
terjadinya konflik horisontal ataupun konflik vertikal.374 Pada kepemimpinan
Norodom penyebutan Khmer tidak saja untuk etnis khmer asli saja, tetapi juga
berlaku untuk semua etnis, termasuk etnis Muslim kamboja dengan sebutan Khmer
Islam. Walaupun secara fisik orang Melayu memiliki ciri yang berbeda dengan
penduduk asli kamboja, kebijakan tersebut dimaksudkan agar komposisi masyarakat
Kamboja terlihat ideal.375
Perpolitikan Islam terus berkembang hingga pada masa Lon Nol. Pada saat
pemerintahannya, terdapat nama petinggi militer yang beragama islam yang
bernama Les Krosem, berawal dari bergabungnya Les Krosem dengan FULRO
(Front Unive de Lutte des Race Oprimes) atau barisan pembebasaan etnis-etnis
tertindas. Lon Nol kemudian menujuk Les Krosem untuk menyelesaikan masalah
internal umat islam maupun yang lainya, hubungan umat islam dengan Lon Nol
sangatlah baik hal ini dengan ditunjuknya Okhna Hadji Abdoullah bin Idres menjadi
pemimpin agama di dampingi oleh dua asisten dan Les Kosem menjabat sebagai
penasehatnya.376 Pada tahun 1970 lahir dua organisasi muslim di Kamboja “The
Central Islamic Association of The Khmer Republic” disingkat CIS dan “The
Association of Khmer Islamic Youth atau” AKIY. CIS merupakan organisasi yang
bergerak di bidang sosial dan keagamaan, serta mengelola urusan haji dan umroh.
Sedangkan AKIY adalah oraganisasi yang terbatas hanya pada pemuda Muslim di
Kamboja maupun mahasiwa asli kamboja yang berkuliah di luar negaranya.377
Tetapi umat islam di kamboja juga merasakan penindasan yang di lakukan oleh
Khmer merah yaitu sebutan untuk para pemberontak Komunis yang tidak suka
dengan kepemimpinan Lon Nol. Tahun 1975 Khmer Merah berhasil menumbangkan
pemerintahan Lon Nol, sehingga berdampak kepada muslim Kamboja yang pada
saat itu mendukung Lon Nol. Kebijakan pertama yang di ambil oleh pemerintahan
Khmer Merah terhadap umat Muslim Kamboja dengan nama FIVE POINT
PLANS.378 Adapun isi dari peraturan itu sebagai berikut:
1. Memotong rambut wajib bagi seluruh wanita dan dilarang menggunakan
hijab;
2. Al-quran dan salinannya harus dibakar;

373
Yeti Maunati dan Betti Rosita Sari, The Cham Diaspora in Southeast Asia Social
Integration and Transnational the Case of Cambodia, ( jakarta: LIPI Press 2013), hlm 114-
122.
374
Anthony Cabaton, orang Cam di Indo-Cina prancis, dalam kerajaan Campa
(Jakarta: Balai Pustaka, 1981), hlm 242-243
375
Yeti Maunati dan Betti Rosita Sari, The Cham Diaspora in Southeast Asia Social
Integration and Transnational the Case of Cambodia, hlm 164
376
Khmer Republic, The Martydom of Khmer Muslim, (phnom Penh: Decho
Damudin Printing Press, 1974), hlm. 11
377
Khmer Republic, The Martydom of Khmer Muslim, hlm 54
378
Ysa Osman, The Cham Rebellion Survivors Stories From The Village, (Phom
Penh: Document center of cambodia,2006) hlm 55
150
3. Cham Muslim wajib memelihara dana memakan Babi;
4. Dilarang melakukan sholat dan semua tempat ibadah akan di tutup;
5. Cham Muslim harus menikah dengan pasangan yg non muslim.
Umat islam menolak lima kebijakan tersebut sebab bertentangan dengan hukum
agama Islam.379 Aksi diskiriminasi oleh tentara khmer Merah didasarkan karena
bebrapa faktor antara lain entis Cham dan melayu pada saat itu mendukung
pemerintahan Lon No. Ditambah dengan perbedaan agama mayoritas orang
kamboja, serta menggap islam itu sebagai agama terendah. Faktor terakhir
dikarenakan orang Cham merupakan pelarian dari kerajaan Champa dan orang
Melayu sebagai Pendatang.380
Kebijakan Pemerintahan Khmer Merah pada mulanya didukung rakyat dan
hanya menyudutkan etnis golongan agama minoritas. Hingga pada akhirnya
kebijakan pemerintahan Khmer merah menyebabkan kelaparan dan penyakit
menular yang tidak ditanggani oleh pemerintahan Khmer Merah. Sehingga
menyebabkan munculnya respon negatif dari berbagai masyarakat yang terjadi
sekitar pertengahan Juli 1978.381 Hingga pada akhir januari 1979 Khmer Merah
harus mundur sebagai penguasa Kamboja.382 Setelah runtuhnya rezim khmer Merah
yang di ketuai Pol pot, kekuasaan kamboja berada di bawah kepemimpinan Heng
Samrin dan Hun sen. Rezim ini merubah pemerintahanya dengan nama People
Republic Kampuchea atau PRK, walaupun PRK merupakan rezim yang baru tetapi
tidak merubah dasar idiologi negara MARXISME-LENISIME, hal ini tidak heran
karena pemempin PRK merupakan kader dari Khmer Merah.383
Umat Islam Kamboja pada era Rezim PRK mulai kembali memperoleh haknya
baik hak sebagai seorang Muslim atau hak sebagai warga negara hal ini di dasari
atas ikut sertanya umat islam kamboja dalm pemberontakan melawan Khmer Merah
salah satu tokoh penting dalam pemberontakan ini adalah Math Ly bersama rakyat
kamboja melakukan perlawanan terhadap rezim Khmer merah,384 umat islam di
kamboja mampu berperan dalam berbagai bidang di kamboja dan memperoleh
kebangkitanya.
C. Kerajaan Islam Brunei Darussalam
Sejak tahun 517 M Kerajaan Brunei sudah ada dan sezaman dengan Kerajaan
Palembang dan Tarumanegara di Jawa.385 Catatan dinasti SUI (581-619 M)
menyebutkan Brunei berada di sebelah barat Canton, letaknya yang strategis sebagi
jalur perdagangan bangsa cina. Dalam catatan yang lain Brunei juga disebut Po-Li,

379
Ysa Osman, The Cham Rebellion Survivors Stories From The Village,... hlm 55
380
Farima So, The Hijab of Cambodia, Memories Of Cham Muslim Women Afer the
Khmer Rouge, (Phom Penh: Document Center of Cambodia,2011), hlm 55
381
“Situasi Kamboja Gawat lagi”, merdeka. 13 juli 1978
382
“pemberontakan di Kamboja”, Kompas, 13 Juli 1979
383
Michael Vickery, Kampuchea Politik, Economics, and Society, (London; Frances
Pinter Publisher 1986) hlm 100
384
Yeti Maunati dan Betti Rosita Sari, The Cham Diaspora in Southeast Asia Social
Integration and Transnational the Case of Cambodia, ( jakarta: LIPI Press 2013), hlm 178-
186
385
Awang Mohammad Jamil al-Sufti, Lika-liku perjuangan Pencapaian Kemerdekaan
Negara Brunei Darussalam, (jabatan Pusat Sejarah, 1992) hlm 17
151
Po-Lo atau Poni (Puni)386. Islam di Brunei diketahui setelah ditemukanya batu nisan
seorang Muslim Cina di daerah Rangas, jalan Tutong, Bandar Seri Begawan. Dari
batu nisan ini diketahui bertuliskan keluarga Pu yang merupakan muslim cina dari
keluarga Chuan-chou pada masa dinasti Sung (960-1279 M).387 Besar kemungkinan
Pu ini keturunan dari Pu Ya-Li atau Abu Ali seorang ketua perwakilan Brunei yang
datang ke China pada tahun 977 M.388 Sedangkan menurut silsilah raja Brunei,
Awang Alak Betatar menikah dengan putri Johor pada tahun 1368 M dan memeluk
Islam serta merubah namanya menjadi Muhammad Syah. Awang Muhammad Jamil
dalam bukunya “Tarsilah Brunei sejarah Awal dan Perkembangan Islam” Johor
yang di maksud adalah wilayah Singapura Kuno yang di dirikan oleh Sultan
Iskandar Shah yang memerintah tahun 1299-1347 M.389
Kondisi Brunei mengalami pasang surut dalam masa pemerintahan Sultan
Bolkiah. Masa pemerintahan Sultan ke lima Brunei 1485-1524, merupakan masa
kejayan dari Brunei.390 Pengaruh kerajan Brunei menjadi semakin luas, sebab
didukung dengan Faktor jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, dan
menjadikan Brunei sebagai pelabuhan yang ramai.391 Datangnya portugis ke
Nusantara yang diikuti oleh bangsa eropa lainya juga dialami oleh Brunei
Darussalam dengan adanya pengaruh Inggris pada abad ke 19. Hubungan antara
Inggris dan Brunei terjadi pada masa ke pemimpinan Sultan Hashim Jailul Alam
Aqamaddin, merupakan sultan ke 25 Brunei.
Seperti kesultanan melayu yang lain, Brunei mengadopsi Hukum Kanun Malaka
dalam segi pola pemerintahan.392 Dengan kekuasaan tertinggi di tangan Raja dan
dibantu oleh pejabat pemerintahan berdasarkan tingkatannya ataupu peranannya.
Adapun susunan hirarkis kesultanan menutur DE. Brown: 393 1) Sultan, 2) Wazir, 3)
Cheteria, 4) Mentri, 5) Kepala kampung
Sedangkan menurut adat Brunei 394: 1) Sultan, 2) 4 Wazir, 3) 4 Cheteria, 4) Menteri
Agama, 5) Menteri dagang, 6) Menteri Istana.
Kedatangan bangsa eropa ke Asia Tenggara, mampu merubah perpolitikan
seluruh Asia tenggara. Hal ini dipicu dengan persaingan antara mereka. Terlebih
persaingan dagang antara Belanda dengan Inggris yang mampu membuat
perekonomian Brunei semakin melorot. Kongsi dagang Inggris, East India Company

386
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis
Islam Indonesia, (jakarta Logos, 1998,) hlm 132
387
Awang Mohammad Jamil al-Sufti, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan
Perkambangan Islam, Bandar Seri Begawan, ( Jabatan Pusat Sejarah,1991) hlm 87
388
Awang Mohammad Jamil al-Sufti, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan
Perkambangan Islam, Bandar Seri Begawan, hlm 12
389
Awang Mohammad Jamil al-Sufti, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan
Perkambangan Islam, .., hlm 57
390
Azumardi Azra, Presfektif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta, Obor, 1989) hlm 8
391
Adrian B Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abda 16-17 (depok,
Komunitas Bambu,2008) hlm 44
392
Muhammad Yusuf Hasyim, Kesultanan Melayu Malaka, (Kuala lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia 1990) hlm 32
393
DE Brown, Brunei: “The Structure and History of a Bornean Malay Sultanate,
(Brunei The Star Pres, 1970), hlm. 18
394
Zainudin Fanani dan M. Toyib, “ studi Isdlam di Asia Tenggara (surakatra:
Muhammdiyah Press 1999) hlm 106
152
mulai memonopoli perdagangan lada di Borneo dengan mendirikan pangkalan
dagang pada tahun 1773 di Balambangan dan pada tahun 1805 di Labuan.
Ditambah dengan keikutsertaan Inggris dalam membantu Raja muda Hassim dalam
menumpas pemberontakan Melayu Sarawak dan Suku Dayak yang terjadi antara
tahun 1835 - 1836. Adapun pemicu dari pemberontakan ini dikarenakan monopoli
atas produksi Timah dan perdagangan.395 Selain itu, konflik internal dan persaingan
dalam keluarga juga memicu pemberontakan ini. Adalah pangeran Usop yang iri
dengan posisi raja muda Hassim sebagai bendahara. Pangeran Usop menghasut
rakyat Sarawak untuk memberontak. Ide ini didukung oleh asisten presiden Belanda,
R. Bloem.396
Raja muda Hassim merespon dengan meminta bantuan kepada James Brooke
yang merupakan pejabat East India Company yang merupakan pejabat perwira
tentara kavaleri Inggris di India. Sebagai tawaran, dengan pemberian jabatan
gubernur Serawak dan Siniawan. Pemberontakan berhasil di padamkan, sesuai
perjanjian yang ditanda tangani pada 24 september 1841, James Brooke menjadi
gubernur atas dua wilayah tersebut secara mutlak. 397 Dampak dari perlakuan
diskriminasi oleh keluarga kerajaan Brunei terhadap suku Dayak selain melakukan
pemberontakan juga melakukan aksi pembajakan di laut.398 Hal ini membuat James
Brooke mengirimkan surat Kepada Ratu Victoria di Inggris untuk mendapatkan
legitimasi dari pihak kerajaan agar membantu Brunei dalam memonopoli
perdagangan di Brunei. Hingga pada tahun 1843 James Brooke menawarkan
perjanjian dengan Brunei untuk menbuka jalur perdagangannya ke Inggris dengan
bantuan kapten Henry Keppel dan Sir Edward Belcher.399 Kedekatan Brunei dengan
inggris secara tidak langsung merugikan Brunei sebagai kesultan Islam di Asia
tenggara sampai Inggris melepaskan Brunei sebagian wilayah kekuasaanya .
D. Islam di Indonesia
Islam di Indonesia mungkin masih belum jelas kapan datangnya, oleh siapa
dibawanya dan juga asal kedatanganya. Ada beberapa pendapat dari sarjana ahli
sejarah yang mempunyai bukti kapan Islam datang ke Indonesia. Paling awal adalah
teori yang kemukakan oleh Pij Nappel dan dikembangkan oleh Snouck Hurgonje,
Islam berasal dari Gujarat sekitar abad 12 dengan landasan mazhab yang sama
antara muslim Gujarat dengan Indonesia, dan didukung bukti arkeologis batu nisan
Malik As-saleh. Pendapat selanjutnya dari Marrison, Islam berasal dari Malabar
sekitar abad 18 M, dengan dasar kesamaan imam madzabnya. Pendapat selanjutnya
mengatakan Islam berasal langsung dari Arab oleh Naguib al-Athas.400 Islam mampu

395
Adrian B Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abda 16-17 (depok,
Komunitas Bambu,2008), hlm. 150
396
Mary Tumbull, A History of Malaysia, Singapore and Brunei, (Sydney: Allen &
Unwin, 1989), hlm, 157
397
Ranjit Singh, Brunei 1839-1983: The Problem Of Political Survival Singapore
(oxford University Press 1984) hlm 48
398
Andrian B. Lapian, “ orang Laut, Bajak Laut Sejarah Kawasan Sulawesi Abad
XIX, (depok: Komunitas Bambu, 2009), hlm. 118
399
Ranjit Singh, Brunei 1839-1983: The Problem Of Political Survival Singapore
(oxford University Press 1984) hlm 60
400
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur tengah dan kepualauan Nusantara Abad
XVII & XVIII, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2003) hlm 2-9
153
berkembang di Indonesia tidak serta merta langsung diterima oleh masyarakatnya.
Para penyebar agama Islam di indonesia harus cukup bersabar dalam menyebarkan
Islam di indonesia terutama di tanah Jawa.
Berbagai metode terus dilakukan oleh para penyebar agama Islam di Indonesia
dengan berbagai cara seperti perkawinan, politik, dan kebudayaan. Melalui jalur
politik, ketika seorang raja berhasil diislamkan, maka secara otomatis rakyatnya
akan ikut untuk memeluk agama islam. Di Jawa pendekatan dengan mengakulturasi
kebudayaan asli jawa dengan ajaran islam sangat efektif. Pendekatan ini dilakukan
oleh walisongo yang merupakan sebuah dewan ataupun lembaga yang dipimpin oleh
sembilan wali.401 Dalam perkembanganya, Islam di indonesia terbagi dalam
wilayah-wilayah Kesultanan, secara tidak langsung wilayah kesultanan ini hanya
menggantikan kerajaan Hindu Budha yang ada sebelum kerajaan Islam.
Islam di Indonesia dalam bidang keilmuan, memunculkan ulama yang mampu
menjadi seorang Mufti atau guru di Arab. Sebagai contoh, Nur al-Din al-Raniri,
Khatib al-Sambasi, Abd al-Rauf al-Sinkili.402 Dalam bidang kebudayaan banyak
sekali peninggalan dari islam yang berupa bangunan Masjid, Kraton dan juga
Komplek makam. Dalam bidang yang lain Islam di Indonesia mempuanyai banyak
manuskrip kuno yang bertuliskan Arab tetapi bebahasa melayu atau lebih dikenal
dengan tulisan Jawi.403 Agama islam sebagai agama mayoritas di Indonesia juga
memiliki peranan penting dalam proses kemerdekaan bangsa indonesia, terbukti
dengan banyaknya pejuang dari umat Muslim di indonesia.
Kemerdekaan Indonesia diraih pada era kekuasaan Jepang. Kalangan santri dan
kyai merupakan salah satu elemen yang turut serta dalam perjuangan melawan
penjajah. Namun pada masa orde baru, wajah Islam di Indonesia mengalami konflik
dengan ditandai adanya perselisihan antara Masyumi dan PNI sejak tahun 1950-
1955 mengenai peran Islam dan peran komunis. Di dalam tubuh masyumi sendiri
saling berseberangan. Pergolakan politik ini mengantarkan sebuah pemilihan
nasional pada tahun 1955.404
Perdebatan mengenai hasil perundingan terkahir piagam Jakarta menjadi
argumen bagi gerakan separatis. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya
Pemberontakan DI/TII di Jawa barat oleh Sekarmadji Marijan Kartosuwiryo pada
tanggal 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya yang mengumunkan Negara Islam Indonesia
telah berdiri. Tetapi pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Pasukan Siliwangi di

401
Hasanu Simon, Misteri Syeikh Siti Jenar, Peran Walisongo Dalam Mengislamkan
Tanah Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm. 14-16

402
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur tengah dan kepualauan Nusantara Abad
XVII & XVIII, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2003) hlm 2-9
403
Uka Tjandraasasmita, Sejarah Nasional Indonesia jilid 3, (jakarta: Depdikbud
Balai Pustaka,1984) hlm 25
404
Abd Rasyid Rahman, “Perkembangan Islam di Indonesia” dalam Lensa Budaya,
Vol. 12, No. 2, Oktober 2017, hlm. 121-122
154
tahun 1960 dan di tanggal 4 juni 1962 Sekarmadji Marijan Kartosuwiryo dan
pengawalnya berhasil di tangkap.405
Pada masa Orde Baru, umat Islam menaruh banyak harapan, sebab orde baru
dianggap sebagai kemenangan bagi umat Islam, khususnya dalam kiprah di bidang
politik. Namun, realitanya pil pahit yang didapat. Sebab, perhatian rezim orde baru
berorientasi pada pembangunan ekonomi. Semakin diperkuat lagi dengan campur
tangan pemerintah terhadap partai politik yang menghendaki penciutan parpol
menjadi PPP, PDI, dan Golkar. Menjelang diadaknnya pemilu pertama di masa orde
baru, para intelektual muslim seperti Nurcholis Madjid, Harun Nasution, dan Abd
Rahman Wahid mengagas perlunya pembaruan pemikiran di dalam Islam. Gagasan
mereka menunjukkan secara jelas penolakan terhadap pandangan yang menjadikan
Islam sebagai ideologi politik dengan jargon “Islam yes, partai Islam no”.406

405
Uka Tjandraasasmita, Sejarah Nasional Indonesia jilid 3, (jakarta: Depdikbud
Balai Pustaka,1984) hlm 40
406
Abd Rasyid Rahman, “Perkembangan Islam di Indonesia” dalam Lensa Budaya,
Vol. 12, No. 2, Oktober 2017, hlm. 122-123
155
DAFTAR PUSTAKA
al-Sufti, Awang Mohammad Jamil, Lika-liku perjuangan Pencapaian Kemerdekaan
Negara Brunei Darussalam, (jabatan Pusat Sejarah, 1992)
al-Sufti, Awang Mohammad Jamil, Tarsilah Brunei: Sejarah Awal dan
Perkambangan Islam, Bandar Seri Begawan, (Jabatan Pusat Sejarah,1991)
Ambary, Hasan Muarif, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis
Islam Indonesia, (jakarta Logos, 1998,)
Amir, Ahmad Bin Abdullah, “Melayu Patani A Nation Survives” di akses tgl 20/ 11
/ 2019.
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur tengah dan kepualauan Nusantara Abad
XVII & XVIII, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2003)
Azra, Azyumardi, Presfektif Islam di Asia Tenggara, (Jakarta, Obor, 1989)
Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan,
(Bandung: Rosdakarya, 1999)
Bratamidjaja, Rahmat dkk, ensklopedia Indonesia Seri Geografis, (Jakarta: PT
ichtiar baru van Hoeve, 1990)
Cabaton, Anthony, orang Cam di Indo-Cina prancis, dalam kerajaan Campa
(Jakarta: Balai Pustaka, 1981)
Chambert-Loir, Henry dan Hasan Muarif Ambary (ed) Kepulauan Indonesia dan
Champa dalam Panggung Sejarah, (Jakarta Yayasan Obor Indonesia, 2011)
Coedes, George, terj, Sejarah kerajaan Champa dari awal sampai tahun 1471,
(jakarta: Balai Pustaka 1981)
DE Brown, Brunei: “The Structure and History of a Bornean Malay Sultanate,
(Brunei The Star Pres, 1970)
Fanani, Zainudin dan M. Toyib, “ studi Islam di Asia Tenggara (surakatra:
Muhammdiyah Press 1999)
Farima, The Hijab of Cambodia, Memories Of Cham Muslim Women Afer the
Khmer Rouge, (Phom Penh: Document Center of Cambodia,2011)
Faruk, Omar dan Hiroyuki Yamamoto (ed), Islam at The Maergins: the Muslim of
Indocina, (Kyoto University: center of Integrated area Studis, 2008)
Faruk, Omar, “Asal usul dan evolusi Nasionalisme etnis muslim Melayu di
Muangtahi selatan”, dalm Ed. Taufik abdullah dan Sharon Siddique,
“Tradisi dan kebangkitan Islam di Asia tenggara, (Jakarta : LP3ES, 1988)
Federspiel, Howard, “Sultans, Shamans, And Saints; Islam and Muslim in Southeast
Asia”, (United State Of America : university of Hawai’i Press, 2007)
Futson, Jhon, “Thailand”, dalam “Voice of Islam in Southeat Asia; A Contemporary
Sourcebook” Ed Greg Fealy dan Virginia Matheson Hooker, (Institute of
Southeast Asian Studies. 2006)
Gilquin, Michel, “The Muslims of Thailand” (Chiang Mai, Thailand: Silkwworm
Books, 2005)
Hasyim, Muhammad Yusuf, Kesultanan Melayu Malaka, (Kuala lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia 1990)
Indonesia, Negara Berpenduduk Muslim Terbesar Dunia, artikel diakses pada 18
Desember 2019 dari
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/11/11/indonesia-negara-
berpenduduk-muslim-terbesar-dunia.

156
International Center for Ethinc Study, “Minoritas in Cambodia”, (United kingdom:
Manchester Press, 1995)
Khmer Republic, The Martydom of Khmer Muslim, (phnom Penh: Decho Damudin
Printing Press, 1974)
Kusuma, Bayu Mitra Adhyatma, “Masyarakat Muslim Thailand dan Dampak
Psikologis Kebijakan Asimilasi Budaya”, dalam Jurnal Hisbah, Vol. 13, No.
1, Juni 2016
Lapian, Adrian B, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abda 16-17 (depok,
Komunitas Bambu,2008)
Lapian, Andrian B, “ orang Laut, Bajak Laut Sejarah Kawasan Sulawesi Abad XIX,
(depok: Komunitas Bambu, 2009)
Man, W. K. Che, “Muslim Separatism The Moros of Southen Philipines and The
Malays of Southen Thailand, Singapore” : ( Oxford University Press 1990)
Maunati, Yeti dan Betti Rosita Sari, The Cham Diaspora in Southeast Asia Social
Integration and Transnational the Case of Cambodia, ( jakarta: LIPI Press
2013)
Musa, Muhammad Zain, “perpindahan dan Hubungan Semasa orang Cham”, dalam
Jurnal Sari, vol 26, 2008
Nugroho, Ensklopedia Nasional Indonesia, Jilid 2, Cet. II, (Jakarta: PT. Cipta Adi
Pustaka, 2000)
Okawa, Reiko, “Hidden Islamic Literature in a Cambodia: The Cham in The
Khamer Rough Peroid”, International & Regional Studies No. 45 (Meiji
Gakun University, 2004)
Osman, Ysa, The Cham Rebellion Survivors Stories From The Village, (Phom Penh:
Document center of cambodia,2006)
Rahman, Abd Rasyid, “Perkembangan Islam di Indonesia” dalam Lensa Budaya,
Vol. 12, No. 2, Oktober 2017
Reid, Anthony, sejarah Modern Awal Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 2004) hlm
63
Saifullah, Sejarah kebudayaan Islam di Asia Tenggara (Jogjakarta: Pustaka Pelajar,
2010)
Simon, Hasanu, Misteri Syeikh Siti Jenar, Peran Walisongo Dalam Mengislamkan
Tanah Jawa, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
Singh, Ranjit, Brunei 1839-1983: The Problem Of Political Survival Singapore
(Oxford University Press 1984)
Suaedy, Ahmad, “Islam, Identitas dan Minoritas di Asia Tenggara”, dalam Jurnal
Kajian Wilayah, Vol. 1, No. 2, 2010
Syukri, Ibrahim, “sejarah Kerajaan Islam Melayu Patani”
Teeuw dan D. K. Wyatt, “Hikayat Patani”, koninklijk 5 the Hague : Martinus
Nijhoff : koninjk instituut Voor Taal, land-en Volkenkunde, 1970)
Thomas, M. Ladd “Political Violence in the Muslim Provinces of Southen
Thailand”, (ISEAS No. 28, april 1975)
Tinjauan Sepintas sejarah bangsa cham dari Abad XVI Sampai Dengan Abad XX,
dalam Kerajaan Champa, Echole D’Extreme-Orient, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1981), hlm 74.
Tjandraasasmita, Uka, Sejarah Nasional Indonesia jilid 3, (jakarta: Depdikbud Balai
Pustaka,1984)

157
Tumbull, Mary, A History of Malaysia, Singapore and Brunei, (Sydney: Allen &
Unwin, 1989)
Vickery, Michael, Kampuchea Politik, Economics, and Society, (London; Frances
Pinter Publisher 1986)
Yuniarto, Paulus Rudlof, “ Integration of Pattani Malays: A Geopolitical Change
perspective”, dalam Multiculturalism, Separatisem, and nation State
Building in Thailand, (Pusat penelitian sumberdaya regional Indonesia,
2004)

158
159
ISLAM DI ASIA TENGGARA: MAYORITAS DAN MINORITAS
Muhammad Ikhlas Supardin (21191200000018)

Abstrak
Islam masuk di kawasan Asia Tenggara sekitar abad 12-13 M
(teori non Arab) da nada juga yang mengatakan sekitar abad 7-8 M
(teori Arab). Malaysia adalah salah satu negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, terdapat sekitar 19,5 juta orang
beragam Islam atau setara dengan 61,3% dari jumlah populasi di
Malaysia. Philipina merupakan negara yang mayotitas penduduknya
beragama Katolik, sedangkan umat Muslim hanya terdapat 5% dari
keseluruhan penduduk masyarakat Philipina, yakni sekitar 2,8 juta
jiwa dari total penduduk 65 juta jiwa. Muslim Philipina dikenal
dengan sebutan Moro atau bangsa Moro yang berarti penduduk
wilayah Aljazair Barat dan Maroko. Myanmar merupakan negara yang
mayoritas penduduknya beragama Budha sedangkan yang beragama
Islam hanya sekitar 3,8% atau setara dengan 1.889.000 jiwa dari
seluruh masyarakat Myanmar. Pedagang Arab Muslim lah yang
membawa ajara Islam sampai ke Myanmar yang menetap di Pantai
Arakan. Disanalah masyarakat Muslim berkembang dengan ajaran
Islam atau yang sering disebut sebagai Muslim Rohingya.

Kata kunci: Asia Tenggara, Islam, Malaysia, Myanmar, dan


Philipina.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Asia Tenggara merupakan kawasan yang jarang dipandang dan seringkali


tidak mendapat perhatian oleh beberapa sejarawan di banding Negara-negara yang
ada di Asia Timur maupun Asia Selatan, seperti: Cina, Jepang, Pakistan, India, dan
lain-lain.407 Beberapa Negara di Asia Tenggara sebagian besar penduduknya adalah
umat Islam, seperti: Indonesia yang menjadi Negara dengan penduduk umat
Muslim terbesar di Dunia,408 Malaysia dan Brunei Darussalam. Sedangkan Negara-
negara yang mana penduduknya merupakan Negara minoritas umat Muslim adalah:
Myanmar, Singapura, Thailand, Philipina dan Vietnam.
Berbicara seputar Islamisasi Nusantara, tidak lepas dari sejarah masuknya

407
Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hal. 23
408
Mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Saat ini, penduduk umat
Muslim di Indonesia mencapai 209, 12 juta orang atau diperkirakan sekitar 87,17%
penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Sumber:
https://databoks.katadata.co.id, di akses pada 24 Sep 2019.
160
Islam di Nusantara pada abad 12-13 M.409 Sebagaimana yang diungkapkan A.H.
Johns dalam bukunya Sufism as a Category in Indonesia Literature and History
bahwa, penyebaran Islam di Asia Tenggara adalah setelah keruntuhan Baghdad
pada abad ke 13 M, yang mana para ulama Muslim menyebarkan ajaran Islam
dengan cara berdakwah serta mengajarkan nilai-nilai Tasawuf.
Istilah Nusantara digunakan sebagian sejarawan untuk menyebut Negara-
negara yang berbentuk kepulauan, seperti: Indonesia, Malaysia, Filiphina,
Singapura dan Brunei Darussalam. Kemudian, Negara-negara tersebut masuk
dalam kawasan Asia tenggara,410 yang meliputi: Indonesia, Malaysia,
Singapura, Thailand, Philipina, Vietnam, Myanmar, Kamboja, Laos, Brunei
Darussalam, dan Timor Leste.
Penyebaran Islam di Asia Tenggara berbeda dengan beberapa Negara- negara
di kawasan Timur Tengah, Asia Selatan dan Afrika yang dikenal dengan istilah
futuh, yaitu pembebasan wilayah dengan melibatkan kekuatan militer/tentara
seperti yang terjadi di Negara Afganistan, Pakistan, India, dan lain-lain. Sebaliknya
penyebaran Islam di Asia Tenggara tidak melibatkan kekuatan militer untuk
menaklukkan suatu wilayah.411
Beberapa sejarawan berbeda pendapat mengenai teori masuknya Islam di
kawasan Asia Tenggara. Pendapat tersebut menimbulkan pro dan kontra terhadap
beberapa sejarawan, baik Muslim maupun non Muslim. Berdasarkan tempat ada
lima teori masuknya Islam di Nusantara:
1. Teori Arab

Teori ini menyatakan bahwa penyebaran agama Islam ke kawasan Asia


Tenggara pada abad 7-8 M. Kawasan Asia Tenggara pada waktu itu merupakan
lintas perdagangan di antara tiga kerjaan besar, yaitu: kerajaan Cina (618-907
M), kerajaan Sriwijaya (Abad 7-14 M), Dinasti Umayyah (660-749).412
2. Teori Cina

Islam datang ke Nusantara melalui jalur perdagangan pada masa


pemerintahan Tai Tsung (627-650) dari Dinasti Tang, dan datang ke Nusantara
di Pulau Sumatra pada masa kekuasaan Sriwijaya yang kemudian menyebar
ke Pulau Jawa tahun 674 M.413

3. Teori Persia

Persia lebih merujuk kepada aspek bahasa yang menunjukkan bahwa Islam

409
Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2007), hal. 196
410
Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, hal. 192
411
Azymardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan
Kekuasaan, (Bandung: Rosdakarya, 1999), hal. 16
412
Moeflich Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hal. 4
413
Moeflich Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, hal. 6
161
telah masuk ke Nusantara dan bahasanya telah diserap.
4. Teori India

Islam datang pertama kali ke Nusantara dari India pada abad ke 13. Dalam
teori ini, lima tempat asal Islam di India, yaitu: Gujarat, Cambay, Malabar,
Coromandel, dan Bengal. Para pedagang dari India mendatangi pelabuhan-
pelabuhan Nusantara-Melayu, mereka tidak hanya terlibat dalam
perdagangan saja, tetapi juga hendak menyebarkan ajaran Islam. 414

Gambar 1.1: Peta Penyebaran Islam dari India415

5. Teori Turki

Selain toeri Arab, Persia, Cina dan India, terdapat satu teori sebagaimana
Moeflich Hasbullah menjelaskan dalam bukunya bahwa orang-orang Kurdi
dari Turki datang ke Indonesia untuk mengajarkan ajaran Islam. Teori Persia,
Cina, India dan Turki tidak menggugurkan atau melemahkan dari teori yang
pertama, tetapi melengkapi proses Islamisasi.416
Para sejarawan memiliki pandangan yang berbeda tentang kedatangan Islam
di Nusantara dengan kegiatan Islamisasi Nusantara. Dengan adanya teori-teori di
atas dapat memperkuat tentang kedatangan Islam di Nusantara. Karena itu, proses

414
Azyumardi Azra, Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 3, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2012), hal. 11
415
Menulusuri Jejak Islam di Asia Tenggara. Sumber: https:// Republika.cp.id/, di
akses pada Rabu 07 Nov 2018 20:01 WIB
416
Moeflich Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, hal. 12
162
Islamisasi berkembang sekitar abad 12 dan abad 16 M.417 Menurut Uka
Tjandra Sasmita, prorses masukya Islam ke Asia Tenggara yang berkembang
ada enam saluran,418 yaitu: perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan,
kesenian, dan politik. Dari keenam saluran inilah saluran inilah sehingga ajaran
Islam menyebar luas di kawasan Asia Tenggara.
Berdasarkan uraian di atas, perlu diketahui bahwa tidak semua Negara-negara
yang berada di kawasan Asia Tenggara mengajarkan dan menyebarkan Islam,
tetapi terdapat Negara yang memiliki mayoritas dan minoritas umat Islam.

Gambar 1.2: Presantase umat Islam di kawasan Asia Tenggara 419

417
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama’ Timur-Tengah dan Nusantara,
(Bandung : Mizan, 1994), hal. 31
418
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1998), hal 201-203
419
Khazanah PETA (1): Persebaran Umat Islam di Asia Tenggara. Sumber:
https://begawanariyanta.wordpress.com/, diakses pada 31 Agustus 2012.
163
PEMBAHASAN
A. Muslim di Malaysia
1. Sejarah Masuknya Islam di Malaysia

Sebelum Islam menyebar di kawasan Asia Tenggara, negara Malaysia


merupakan negara yang menghubungkan negara Cina, Arab dan India melalui
jalur perdagangan dan sebagai tempat persinggahan bagi para pedagang yang
melewati selat malaka. Dengan demikian, Malaysia dijuluki sebagai negara yang
mempertemukan berbagai ragam keyakinan dan agama (Across-Roads Of
Religion).420
Islam masuk dan menyebar di Malaysia lewat jalur perdagangan orang- orang
Arab. Orang-orang Arab tersebut tiba di Malaka pada tahun 675 H/1276 M.
Kemudian mereka mengajak raja Malaka untuk masuk Islam dan mengganti
namanya menjadi Muhammad Syah.421 Malaka adalah kerajaan Islam pertama
di Malaysia.

Gambar 2.1: Jalur Masuknya Islam di Malaka 422

Malaysia adalah salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama


Islam, terdapat sekitar 19,5 juta orang beragam Islam atau setara dengan 61,3%
dari jumlah populasi di Malaysia.423

420
Kenneth Perry, Southeast Asia: Cross-roads of Religion, (Chicago: University of
Chicago Press, 1949), hal. 30
421
Sultan Muhammad Syah adalah raja ketiga dari Kesultanan Melaka. Dia juga
dikenal dengan sebutan Raja Tengah atau Radin Tengah. Pada awalnya dia mengambil
gelar Seri Maharaja, namun kemudian dia memeluk agama Islam, kemungkinan karena
perkawinannya dengan perempuan Tamil Muslim.
422
Pengaruh Islam dikehidupan Masa Kini. Sumber: https://blog.ruangguru.com/,
diakses pada 31 Mei 2018
423
The Future of the Global Muslim Population-Malaysia. Sumber:
https://id.m.wikipedia.org/, diakses pada tahun 2013
164
2. Islamisasi di Malaysia

Malaysia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beraga Islam, berusaha


menerepkan nilai-nilai serta ajaran Islam kepada penduduknya dan didukung oleh
pemerintah/kerajaan. Tujuan dari penyebaran ajaran Islam di Malaysia adalah
untuk menghasilkan masyarakat yang berkualitas, sehingga menjadi negara
Muslim di Asia Tenggara.424 Di samping itu, ada tiga teori yang menjelaskan
kegiatan Islamisasi di Malaysia, yaitu: 1) teori yang menyatakan bahwa Islam
datang langsung dari Arab (Hadramaut). 2) islam datang dari india, yakni Gujarat
dan Malabar. 3) Islam datang dari Benggali (Banglades).
Pada abad 19 M, negara bagian di Malaysia mulai membentuk lembaga yang
bertujuan untuk mengatur urusan agama. Setiap warga negara Malaysia yang
beragama Islam, taat dan menjalankan ajaran-ajaran Islam sebagai landasan
hukum, serta taat pada perturan mahkamah syariah (peradilan agama). Di samping
itu, juga berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga banyak
didirikan Universitas Islam yang di dalamnya terdapat jurusan/program studi
tentang agama Islam.425
Dengan proses Islamisasi di Malaysia yang berkembang pesat pada abad 19
M, serta mendapat dukungan langsung oleh pemerintah/kerajaan yang menajdikan
Malaysia sebagai negara yang mayoritas penduduknya beraga Islam dan
perkembangan Islamisasi di Malaysia tidak seperti negara-negara lain yang tidak
mendapat dukungan oleh pemerintah bahkan tidak sepenuhnya mendapat
dukungan langsung, sehingga menjadi negara yang minoritas penduduknya adalah
non muslim.
3. Pandangan Non-Muslim Mengenai Islam

Proses Islamisasi yang diterapkan di Malaysia tidak dapat diterima dan


sangat merisaukan bagi orang-orang non-Muslim. Salah satu pimpinan
Gereja yang terkenal di Malaysia adalah Brother Agustine Julian,
menyatakan bahwa proses Islamisasi di Malaysia sangat membingungkan
bagi penganut non-Muslim karena mereka merasa terancam terhadap nasib masa
depan agama serta budaya mereka.426 Hal serupa diungkapkan oleh Lee Ban
Chen dalam bukunya Bumi di Pijak, menyatakan bahwa sekitar 40% masyarakat
Malaysia adalah dari kalangan non-Muslim, dengan adanya proses Islamisasi
di Malaysia adalah salah satu langkah yang tidak mudah.
Lim Kit Siang adalah seorang ahli parlemen, menyatakan bahwa negara
Malaysia tidak boleh dijadikan sebagai negara Islam karena Malaysia adalah

424
Abdull Rahman Mahmood, Kamaruddin HJ Salleh, Ahmad Sunawari Long dan
Faudzinaim Badaruddin, Penerimaan Bukan Islam Terhadap Proses Islamisasi di
Malaysia, (Jurnal: Hadhari Jilid II, 2009), hal. 35
425
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualuan Nusantara
Abad XVII & XVII, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 7-9
426
Abdull Rahman Mahmood dkk, Penerimaan Bukan Islam Terhadap Proses
Islamisasi di Malaysia…, hal. 38
165
negara sekuler sedangakan Islam adalah agama yang resmi. 427 Serta terdapat
beberapa tokoh non-Muslim di Malaysia yang tidak menerima apabila negara
Malaysia dijadikan sebagai negara Muslim.
Beberapa pendapat dari kalangan non-Muslim di atas dapat mewakili tentang
padangan orang-orang non-Muslim terhadap proses Islamisasi di Malaysia yang
yang sedang berkembang saat ini.
B. Muslim di Philipina
1. Sejarah Masuknya Islam di Philipina
Philipina merupakan negeri kepulauan yang terdiri dari 7.109 pulau tropis
dengan luas total wilayah 29.629,00 Ha. Manila sebagai Ibu Kota Negara
Philipina. Agama Katolik merupakan negara yang menjadi mayoritas di negara
ini. Menurut catatan sensus resmi Philipina pada tahun 1990, jumlah
kelompok Muslim hanya terdapat 5% dari keseluruhan penduduk masyarakat
Philipina, yakni sekitar 2,8 juta jiwa dari total penduduk 65 juta jiwa.428
Muslim Philipina dikenal dengan sebutan Moro atau bangsa Moro.
Istilah Moor diambil dari bahasa latin yaitu Mauri yang sering dipakai oleh
sebagian orang Romawi Kuno untuk menyebut penduduk Aljazair Barat dan
Maroko dengan istilah Moor. Isitlah ini pertama kali digunakan ketika orang-
orang Spanyol datang di Philipina, orang-orang Spanyol melihat sekelompok
masyarakat Philipina yang mempunyai kesamaan dalam beragama dan adat
istiadat dengan orang-orang Moor di Spanyol (Andalusia),429 Namun, Peter G.
Gowing memberikan definisi lain, Moor diartikan sebagai oranh yang tidak
mengenali huruf, orang jahat, tidak memiliki tuhan (atheis) dan orang yang suka
membunuh.
Islam masuk ke Philipina sekitar abad ke 13 di daerah bagian selatan
Philipina, yaitu di pulau Mindanao dan pulau Sulu. Islam berkembang melalui
jalur perdagangan yang disebarkan oleh orang-orang Arab dengan sebutan
Masya’ika, Mukhdumin, dan Auliya’, Penyebaran Islam di Philipina jauh
sebelum datangnya Kristen Katolik melalui kolonialisme Spanyol pada tahun
1521. Kedatangan bangsa Spanyol di Philipina bertujuan untuk membangun
beberapa daerah dengan konsep Kristenisasi yang kemudian memiliki pengaruh
besar terhadap kehidupan masyarakat Philipina secara langsung.430

427
Abdull Rahman Mahmood dkk …, hal. 39
428
Rina Rehayati, Minoritas Muslim: Belajar dari Kasus Minoritas Muslim di
Filipina, (Jurnal: Ushuluddin, 2011) Vol XVII. No, 2, hal 233
429
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 5, Minoritas Muslim Asia Tenggara,
(Jakarta: PT. Ikrarmandiriabadi,2002), hal. 476
430
Rina Rehayati, Minoritas Muslim: Belajar dari Kasus Minoritas Muslim di
Filipina…, hal 234
166
Gambar 2.2: Peta Penyebaran Islam di Philipina 431

2. Deskriminasi Islam di Philipina

Pada tahun 1951, beberapa organisasi dari negara Muslim memberikan


bantuan dengan mendirikan beberapa sekolah dan membangun beberapa Masjid
di wilayah Philipina bagian Selatan. Bantuan lain juga diberikan oleh pemerintah
Mesir yang memberikan bantuan beasiswa kepada penduduk Moro yang
beragama Islam yang ingin menempuh kuliah di beberapa Universitas di Mesir.
Beberapa relawan dari luar negeri juga memberikan santunan dengan proses
ngajar-mengajar khususnya di wilayah Philipina Selatan. Disamping
berkembangnya proses pendidikan dan pengajaran di Moro, para ulama dari
negara-negara Muslim juga ikut serta dalam mengajarkan Pendidikam Agama
Islam di Moro.
Seiring dengan perkembangan Islam di Moro, terjadi beberapa konflik antara
orang-orang Kristen yang didukung langsung oleh pemerintah yang bertujuan
untuk menghancurkan proses Islamisasi di Philipina, yaitu dengan cara:
a) Penyebaran Kristenisasi di beberapa wilayah penduduk Muslim yang
didukung langsung dan mendapat izin dari pemerintah
b) Memperburuk perekonomian dan pendidikan terhadap orang-orang Muslim
di Moro.
c) Terjadinya diskriminasi oleh orang-orang Kristen terhadap orang-orang
Muslim di Moro dibeberapa kantor-kantor pemerintah.
d) Hilangnya kekuasaan bagi orang-orang Muslim di Moro, khususnya dalam
ranah politik.
e) Orang-orang Kristen merebut tanah-tanah penduduk Muslim di Moro.

Kegiatan tersebut secara langsung didukung oleh pemerintah sehingga

431
Dinamika Minoritas Muslim di Philipina. Sumber:
http://wawasansejarah.com/, diakses pada 8 Desember 2017

167
mengakibatkan orang-orang Muslim di Moro tidak dapat melawan dan terjadi
penindasan yang terus-menerus. Hal ini memperlambat proses perkembangan
Islam di Philipina.
3. Gerakan Islam di Philipina

Disamping konflik yang terjadi antara Islam dan Kristen yang terjadi di
Moro, terdapat organisasi yang berjuang dan bertujuan untuk memerdekakan
serta menegakkan agam Islam di Moro. Oraganisasi tersebut adalah:
a) Moro National Liberation Front (MNLF), yang didirikan pada tahun 1969.
Tujuannya adalah untuk menciptakan independensi kampong halaman
bangsa Moro. Sekrang MNLF bekerja dalam pemerintahan wilayah otonom
Muslim Mindanao.
b) Moro Islamic Liberation Front (MILF), secara resmi didirikan pada tahun
1984. Tujuannya adalah lebih menekankan pada persoalan- persoalan Islam.
c) Abu Sayyaf (Bearer of the Sword), yang didirikan pada pertengahan tahun
1980-an dan bertujuan untuk menyebarkan Islam melalui jihad.
d) Organization of the Islamic Conference (OIC), didirikan pada tahun 1969.
Organisasi ini telah menjadi penengah dalam negoisasi antara MNLF dan
pemerintah Philipina sejak tahun 1970-an dan juga mengontrol pelaksanaan
perjanjian damai tahun 1996.

C. Muslim di Myanmar
1. Sejarah Masuknya Islam di Myanmar

Negara ini juga dikenal dengan sebutan Burma. Myanmar secara geografis
terletak di perbatasan India dan Bangladesh di sebelah barat, dan sebelah Timur
berbatasan dengan Thailand dan Laos. Sebelah utara: berbatasan dengan China,
Bangladesh dan India. Sebelah selatan: Dibatasi oleh Teluk Martaban dan Laut
Andaman.

168
Gambar 2.3: Letak Geografis Negara Myanmar 432

Berdasarkan penelitian, 90% beragama Budha yang menjadi mayoritas di


negara Myanmar dari jumlah penduduk 55.400.000 jiwa. Sedangkan 4,5%
beragama Kristen, Hindu 1,5%, Islam hanya sekitar 3,8% atau setara dengan
1.889.000 jiwa dari seluruh masyarakat Myanmar. Pedagang Arab Muslim
yang pertama kali membawa ajaran Islam sampai ke Myanmar yang menetap di
Pantai Arakan. Disanalah masyarakat Muslim berkembang dengan ajaran Islam
atau yang sering disebut sebagai Muslim Rohingya.433
Menurut para sejarawan, ajaran Islam meluas ke selatan hingga mencapai
Moulmen pada tahun 1593-1612 M. Pada tahun 1784, penduduk Myanmar yang
beragama Budha berhasil menaklukkan negara Islam Arakan. Disamping itu,
perdagangan umat Muslim di Asia Tenggara mencapai puncaknya dan
mengakibatkan kota-kota di pesisir Burma masuk ke dalam jaringan dagang
kaum Muslim yang begitu luas.
2. Penduduk Muslim Myanmar/Burma

Kelompok Muslim di Myanmar terbagai menjadi empat kategori, yaitu:


Muslim India (Kala Pathee), Muslim Burma (Zerbadee), Muslim Melayu dan

432
Peta Negara Myanmar Lengkap dengan Kota, Sumber Daya Alam, Batas
Wilayah dan Keterangan Gambar Lainnya. Sumber: https://www.geologinesia.com/,
diakses pada 14 September 2018
433
Abu Haif, Islam di Burma, (Jurnal: Adabiyah, 2016) Vol 16. No, 2, hal. 150
169
Muslim Cina (Pashu atau Panthay).434 Orang-orang Muslim di Burma,
merupakan kelompok Muslim yang pertama kali datang dan bertempat tinggal di
daerah Shwebo. Mereke juga merupakan keturunan dari para muballig yang
datang dari Timur Tengah dan Asia Selatan. Muslim India atau Kala Pathee,
merupaka Imigran Keturuan dari India yang terbentuk sairing kolonisasi Burma
oleh Inggris. Sedagkan Muslim Rohingya (Rakhine) adalah kumpulan beberapa
orang Muslim yang bertemoat tinggal di wilayah Arakan (berbatasan langsung
dengan Negara Bangladesh).
Kaum Muslim Burma memiliki sedikit perbedaan dalam kebudayaan dengan
orang Burma yang beragama Budha. Kaum Muslim Burma tetap memakai
nama-nama Burma, meskipun mereka juga menggunakan nama Muslim yang
bisa dipakai di wilayah dan lingkungan mereka sendiri. Sedangkan kaum
Muslim India, menghindari penggunaan nama Muslim untuk bisa berbaur dan
diterima oleh masayarakat lokal.435
3. Problematika Rohingya

Orang-orang Rohingya merupakan suku asli Myanmar yang bertempat


tinggal di bagian Arakan sejak abad ke 7. Jumlah penduduk Rohingya saat ini
sekitar 5 juta jiwa dengan agama Islam sebabagai mayoritas dan sisanya
yaitu orang-orang beragama Budha yang tinggal di Rakhine/Maghs.436
Diskriminasi Muslim dimulai pada tahun 1930-an, yaitu di Yangon dan
Mandanay. Diperkirakan sekitar 200 korban jiwa kaum Muslim yang terbunuh
akibat serangan dari tentara Myanmar non-Muslim. Berikut ini beberapa faktor
yang mengakibatkan terjadinya penindasan terhadap kaum Muslim di Rohingya,
berikut adalah:
a) Adanya sikap ketidakadilan yang ditunjukan oleh Pemerintah Junta
Militer dalam menguasai Burma dari tahun 1962 sampai sekarang.
b) Penganut Budha sebagai kaum mayoritas di Myanmar melakukan
gerakan anti Islam.
c) Kaum Muslim berhasil menjadi pedagang yang sukses di Burma
sehingga muncullah kecemburuan sosial bagi penganut non-Muslim.
Disamping konflik yang terjadi di Rohingya, beberapa organisasi umat
Muslim yang turut membela agama Islam meskipun tidak patuh dan taat kepada
pemerintah. Organisasi tersebut adalah:437
a) Rohingya National Liberation Front (RNLF), organisasi ini berusaha
melakukan perlawanan terhadap pemerintah Burma untuk memisahkan
kelompok mereka dari Burma.

434
Omar Farouk, Muslim Asia Tenggara dari Sejarah Menuju Kebangkitan Islam,
dalam Saiful Muzani, Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara,
(Jakarta: LP3ES), hal. 193
435
Saifullah H, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 194
436
Helmiati, Sejarah Islam di Asia Tenggara, (Pekanbaru: CV Nuansa Jaya
Mandiri, 2014), hal. 272
437
Abu Haif, Islam di Burma, (Jurnal: Adabiyah, 2016)…, hal. 154
170
b) Kawthcolay Muslim National Liberation Front (KMNLF)
c) Karen National Liberation Army (KNLA), organisasi ini menjalin kerjasama
dengan KMNLF untuk melawan pemerintah Burma.
Dengan adanya organisasi ini, diharapkan bisa mengatasi problematika yang
ada di Rohingya dan terbebas dari otonomi pemerintah.

PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, maka negara-negara Muslim yang berada di
kawasan Asia Tenggara terbagi menjadi dua jenis, pertama adalah negara mayoritas
Muslim seperti: Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Sedangkan yang
kedua adalah negara yang menjadi minoritas masyarakat Muslim seperti:
Singapura, Thailand, Kamboja, Myanmar, Philipina dan Vietnam.
Malaysia sebagai negara yang menjadi mayoritas Muslim dengan presentase
penduduknya yang beragama Islam, terdapat sekitar 19,5 juta orang beragam
Islam atau setara dengan 61,3% dari jumlah populasi di Malaysia. Akan tetapi,
jumlah penduduk non-Muslim di Malaysia sekitar 40%. Para tokoh-tokoh non-
Muslim di Malaysia merasa terganggu akan proses Islamisasi yang semakin
berkembang saat ini. Sehingga muncul pertanyaan apakah negara Malaysia
merupakan negara Muslim atau Sekuler?
Menurut catatan sensus resmi Philipina pada tahun 1990, jumlah kelompok
Muslim hanya terdapat 5% dari keseluruhan penduduk masyarakat Philipina, yakni
sekitar 2,8 juta jiwa dari total penduduk 65 juta jiwa. Sehingga ini
mengakibatkan negara Philipina tergolong sebagai negara yang minoritas umat
Muslim. Sering terjadi konflik Islam-Kristen, dikarenakan jumlah masayarakat
Muslim hanya sedikit sehingga orang-orang Kristen merasa mampu dan bisa
menguasai beberapa wilayah Muslim di Philipina khususnya di Moro. Bahkan
aparat yang harusnya berbuat adil dan menjadi penengah malah mendukung kau
Kristen.
Negara Myanmar adalah salah negara yang mayoritas penduduknya non-
Muslim, sehingga negara ini tergolong sebagai negara minoritas kaum Muslim.
Berdasarkan penelitian, 90% beragama Budha yang menjadi mayoritas di negara
Myanmar dari jumlah penduduk 55.400.000 jiwa. Sedangkan 4,5% beragama
Kristen, Hindu 1,5%, Islam hanya sekitar 3,8% atau setara dengan 1.889.000 jiwa
dari seluruh masyarakat Myanmar. Dengan sedikitnya kaum Muslim, maka sering
terjadi konflik antara Islam-Budha khususnya di Rohingya.

171
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku:

Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680, (Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia, 2014)
Azymardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan
Kekuasaan, (Bandung: Rosdakarya, 1999)
, Indonesia dalam Arus Sejarah Jilid 3, (Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2012)
, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepualuan Nusantara
Abad XVII & XVII, (Jakarta: Prenada Media, 2005)
, Jaringan Ulama’ Timur-Tengah dan Nusantara, (Bandung :
Mizan, 1994)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindoc
Persada, 1998)
Didin Saepudin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2007)
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 5, Minoritas Muslim Asia Tenggara,
(Jakarta: PT. Ikrarmandiriabadi,2002)
Helmiati, Sejarah Islam di Asia Tenggara, (Pekanbaru: CV Nuansa Jaya
Mandiri, 2014)
Kenneth Perry, Southeast Asia: Cross-roads of Religion, (Chicago: University of
Chicago Press, 1949)
Moeflich Hasbullah, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2012)
Omar Farouk, Muslim Asia Tenggara dari Sejarah Menuju Kebangkitan
Islam, dalam Saiful Muzani, Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia
Tenggara, (Jakarta: LP3ES)
Saifullah H, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010)
Referensi Jurnal:

Abdull Rahman Mahmood, Kamaruddin HJ Salleh, Ahmad Sunawari Long dan


Faudzinaim Badaruddin, Penerimaan Bukan Islam Terhadap Proses
Islamisasi di Malaysia, (Jurnal: Hadhari Jilid II, 2009)
Abu Haif, Islam di Burma, (Jurnal: Adabiyah, 2016) Vol 16. No, 2.
Achmad Syafrizal, Sejarah Islam Nusantara, (Jurnal: Islamuna, 2015) Vol 2.
No, 2
Ahmad Suaedy, Islam, Identitas dan Minoritas di Asia Tenggara, (Jurnal: Kajian
Wilayah, 2010) Vol 1. No, 2
Rina Rehayati, Minoritas Muslim: Belajar dari Kasus Minoritas Muslim di
Filipina, (Jurnal: Ushuluddin, 2011) Vol XVII. No, 2.

172
Referensi Internet:

Dinamika Minoritas Muslim di Philipina. Sumber:


http://wawasansejarah.com/, diakses pada 8 Desember 2017
Khazanah PETA (1): Persebaran Umat Islam di Asia Tenggara. Sumber:
https://begawanariyanta.wordpress.com/, diakses pada 31 Agustus 2012.
Mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Saat ini, penduduk umat
Muslim di Indonesia mencapai 209, 12 juta orang atau diperkirakan sekitar
87,17% penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Sumber:
https://databoks.katadata.co.id, di akses pada 24 Sep 2019.
Menulusuri Jejak Islam di Asia Tenggara. Sumber: https:// Republika.cp.id/, di
akses pada Rabu 07 Nov 2018 20:01 WIB
Pengaruh Islam di Kehidupan Masa Kini. Sumber:
https://blog.ruangguru.com/, diakses pada 31 Mei 2018
Peta Negara Myanmar Lengkap dengan Kota, Sumber Daya Alam, Batas Wilayah
dan Keterangan Gambar Lainnya. Sumber: https://www.geologinesia.com/,
diakses pada 14 September 2018
The Future of the Global Muslim Population-Malaysia. Sumber:
https://id.m.wikipedia.org/, diakses pada tahun 2013

173
174
ISLAM DI NUSANTARA: SEPUTAR TEORI KEDATANGAN
Siti Chuzaemah (21191200000005)

Abstrak
Islam itu sama dengan agama-agama lainnya, dengan kata lain sama-
sama menyebarluaskan agama yang dianutnya. Berhubungan dengan
sejarah kedatangan Islam di Indonesia, terdapat empat teori yaitu
Gujarat, Arab, Persia dan Cina. Keempat teori tersebut saling
melemahkan satu sama lain, dan memperkuat data pribadi masing-
masing. Dengan demikian, selain agar mengetahui bagaimana teori-
teori yang ada, makalah juga ini ingin memaparkan dan memetakan
teori-teori yang ada guna mengetahui bagaimana cara mengelolah, dan
memperkuat data yang dimiliki khususnya dalam hal sejarah.
Keywords: Nusantara, teori, kedatangan, sejarah

A. Latar Belakang
Tidak bisa diragukan lagi bahwa semua agama itu berusaha untuk
disebarluaskan di seantero Dunia, di antaranya yaitu agama Islam. Hal ini dikenal
dengan Islamisasi. Komponen terpenting dalam penyebarluasan agama tidak akan
terlepas dari pendakwah atau para tokoh intelektual yang membawa ajara agama.
Para pembawa agama memiliki karakteristik dan metode tersendiri dalam
dakwahnya. Hal ini digunakan agar dakwah bisa lancar dan mudah di kalangan
masyarakat.
Berdasarkan letak geografis, Islam berasal dari dunia Timur. Pembawa
agama melakukan perjalanan di berbagai kepulauan, di antaranya adalah kepulauan
Nusantara. Nusantara ini meliputi kepulauan dari Teluk Benggala sampai Samudera
Pasifik, dan Semenanjung Melayu.438 Berdasarkan pernyataan ini diketahui objek
awal penyebaran agama Islam adalah pelabuhan-pelabuhan dan tempat pesisir yang
mana tempat tersebut menjadi tempat singgah pertama.
Pembahasan Islam datang di Nusantara mencakup tiga masalah yaitu
tempat, waktu dan siapa yang membawa Islam.439 Dengan artian terkait tiga masalah
tersebut sulit memastikan siapa nama pembawa Islam pertama kali, kapan dan di

438
Michael Laffan, Sejarah Islam di Indonesia, terj. Indi Aunullah (Yogyakarta:
Banteng, 2015), h. 2.
439
Mitsua Nakamura, The Grescent Arises over the Banyan Tree; A Study of The
Muhammadiyah Movement in a Central Javanes Town (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1993), h. 1-2.
175
mana hal itu terjadi, karena masing-masing teori berbeda dengan data dan
interpretasi yang berbeda pula.
Misalnya teori Arab menyebutkan bahwa Islam itu datang di Nusantara pada
abad ke 7 M dan 8 M440, sedang teori India Islam datang pada abad ke 14 M dan lain
sebagainya. Berdasarkan inilah terlihat adanya gap antar ahli sejarawan. Oleh
karenanya, untuk mengungkap masalahnya, para sejarawan berusaha untuk
mengulang kembali sejarah berdasarkan fakta sejarah yang ada dan data yang minim
dengan menginterpretasikannya melalui sudut pandang mereka masing-masing.441
Dari kegiatan inilah akan terlihat teori tentang Islam datang di Nusantara442, yang
akan dimaparkan dalam makalah ini.

B. Definisi Teori
Secara etimologi term “teori” berasal dari bahasa latin theoria yang berarti
“perenungan”. Selain itu, “teori” juga berasal dari bahasa Yunani thea yang berarti
“cara atau hasil pandang”. Berdasarkan hal ini diketahui bahwa yang dinamakan
teori adalah klasifikasi produk serta kontruksi perenungan dari realita berdasarkan
pengalaman hidup yang dijumpai. Beberapa ahli memberikan pengertian tentang
teori, meskipun dengan redaksi yang relatif berbeda namun memiliki satu makna
yaitu sebagai berikut:
1. Menurut Gorys, teori adalah “asas-asas umum dan abstrak yang diterima
secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan
fenomena-fenomena yang ada”.443
2. Menurut Sarantakos, teori adalah “seperangkat konstruk (konsep), definisi
dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik
melalui spesifikasi hubungan antara variable, sehingga dapat berguna
menjelaskan dan meramalkan fenomena”. Neuman berpendapat teori adalah
“seperangkap konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang berfungsi
untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan
antara variabel sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan
fenomena”.444
3. Fred N. Kerlinger dalam bukunya Foundation of Behavioral Research teori
adalah “seperangkat konstrus, konsep, definisi dan proposisi yang saling
berhubungan, yang menyajikan suatu pandangan sistematis mengenai

440
A.Q. Fatimi, Islam Comes to Malasyia (Singapura: Malasyian Sociological
Reseach Institute, 1963), h. 6.
441
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah; Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), h. 73.
442
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1999), h. 2.
443
Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2001), h. 47.
444
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Bandung: CV Alfabeta,
2009), h. 80.
176
fenomena dengan merinci hubungan antar variabel dengan tujuan
menjelaskan dan memprediksi fenomena tersebut”.445
4. Menurut J.J.H. Bruggink, “A theory is a systematic explanation for the
observed facts and laws that relate to particular aspect of life. Teori adalah
suatu penjelasan sistematis untuk fakta dan hukum yang diamati yang
berhubungan dengan aspek kehidupan.”446
5. Menurut Soentandyo W. “teori adalah “suatu konstruksi dalam ide manusia,
yang dibangun untuk menggambarkan secara teflektif fenomena yang
dijumpai di dalam pengalaman. Dari kata dasar thea ini pulalah dating kata
modern “tater” yang berarti “pertunjukkan” atau “tontonan”. Didefinisikan
dari rumusan yang demikian, berbicara tentang teori tidak bisa lepas dari
dua macam realitas. Pertama adaah realitas in abstracto yang ada dalam ide
yang imajinatif, dan yang kedua adalah padanannya yang berupa realitas in
concreto yang berada dalam pengalaman yang indrawi.447”

C. Definisi Nusantara
Azra menyebutkan bahwa term “Nusantara” meliputi gugusan kepulauan
atau benua Maritim. Indonesia, Malasyia, Filifina Selatan, Thailand Selatan,
Singapura dan Champa masuk dalam benua Maritim.448 Oleh karena itu, yang
dimaksud kepulauan Nusantara berarti Asia Tenggara.
Penyataan di atas, Azra ingin mengatakan bahwa yang dinamakan Islam di
Nusantara adalah Islam di Asia Tenggara sehingga cangkupannya menjadi lebih
luas. Namun, yang dimaksud pada makalah ini Islam di Nusantara adalah Islam
yang ada di Indonesia. Hal ini bukan berarti tidak setuju atau berselisih dengan Azra,
tetapi ingin memfokuskan pada kajiannya agar lebih komprehensif.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud
dengan Islam di Nusantara adalah proses Isamisasi yang dikemas sesuai dengan
budaya dan tradisi di wilayah Nusantara khususnya di Indonesia.

D. Teori Seputar Kedatangan Islam di Nusantara


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa proses Islamisasi dan
perkembangan Islam yang ada di Nusantara ini memunculkan beberapa teori. Teori-
teori yang ada diklasifikasikan menjadi empat teori yaitu teori Gujarat, teori Arab,
teori Persia dan China. Empat teori yang akan dibahas di makalah ini, bukan berarti

445
Fred N. Kerlinger, Asas-Asas Penilaian Bebavioral (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2004), h. 11-14.
446
J.J.H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum (Bandung: Citra Aditya, 1999), h. 160.
447
“Soetandya Wignyosoebroto, Hukum, Metode, dan Dinamika Masalahnya
(Jakarta: Elsam Huma, 2002), h. 184-185.”
448
Azyumardi Azra, Jaringan Islam Nusantara, Akhmad Sahal dan Munawir Aziz
(Eds.) (Bandung: Mizan, 2015), h. 169.
177
taḥdīd atau pembahasan, namun sebagai tamṡīl atau contoh karena teori-teori ini
mayoritas sedangkan teori lainnya masih minim dan lemah data.
1. Teori Gujarat
Mayoritas Sarjana Barat menyebutkan bahwa asal mula Islam di Nusantara
adalah Anak Benua India, bukannya Persia atau Arabia. Teori ini dusung oleh
Sarjana Barat Universitas Leiden, Pijnappel. Gujata serta Malabar dikaitkan dengan
asala muasal Islam di Nusantara, dan ia berpendapat bahwa ajaran Islam di
Nusantara dibawa oleh orang India. Sedang ajaran Islam India mengadopsi dari
ajaran Islam yang dibawah oleh orang Arab Syāfi‘ī.449

Kemudian Teori Pijanappel diperkuat dengan pernyataan Snouck Hurgronje


bahwa Islam berasal kota dari India Selatan yaitu Malabar dan Coromandel. Hal ini
dibuktikan dengan adanya transaksi perdagangan antara orang India dengan
penduduk Deccan yang mayoritas mereka beragama Islam dan madzhab Syafi‘iyyah
pun dianut oleh mayoritas penduduknya.450 Itu sebabnya kenapa mayoritas orang
Indonesia bermadzhab Syafi‘ī. Selanjutnya, penduduk Deccan bermukim di berbagai
kota-kota pelabuhan di Kepulauan Indonesia. Hal inilah yang menjadi bukti bahwa
benih Islam mulai disebarluaskan. Kemudian orang Arab menyusul melanjutkan
proses Islamisasi di Indonesia. Karena banyaknya keahlian yang dimiliki oleh orang
Arab, sehingga kesempatan bagus pun mudah untuk dimiliki, seperti sebagai ulama,
penguasa atau sultan.451

Berhubungan dengan penyataan di atas Snouck Hurgronje menyatakan


bahwa kejadian tersebut terjadi pada abad ke 12 M. Oleh karenanya, Snouck
Hurgronje awal Islam datang dan penyebarluasan Islam di Indonesia yaitu abad ke
12 M.452 Pernyataan Pijnappel dan Snouck Hurgronje didukung oleh J.P Moquette.
Ia berkesimpulan bahwa tempat asal Islam di Nusantara adalah Gujarat India,
dengan dalih bahwa Moquette menemukan artefak batu nisan di kawasan Utara
Sumetra dengan tulisan.
Pendapat ini didasarkan pada pengamatan Moquette terhadap artefak berupa
batu nisan di Pasai, kawasan utara Sumatera yang berangka 17 Dzulhijjah 831 H
atau 27 September 1297 M. Dia juga mengamati bentuk batu nisan pada makam
Maulana Malik Ibrahim (w. 822 H/ 1419 M) di Gresik, Jawa Timur. Ternyata
bentuk batu nisan di kedua makam tersebut sama dengan batu nisan di Cambay,
Gujarat, sebelah selatan India. Berdasarkan hal tersebut, Moquette
mengintepretasikan bahwa batu nisan di Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk
kepentingan lokal, melainkan juga untuk ekspor ke kawasan lain, termasuk Sumatera

449
“G.W.J. Drewes, New Light on the Coming of Islam Indonesia; dalam Readings on
Islam in Southeast Asia (Singapore: Institute of South East Asia Studies, 1983), h. 8.”
450
“Hurgronje, Arti Agama Islam bagi Penganutnya di Hindu Belanda, h. 7.”
451
“Hurgronje, h. 6.”
452
“Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, h. 24.”
178
dan Jawa. Hubungan bisnis ini memungkinkan orang-orang Nusantara mengambil
Islam dari Gujarat.
Namun, penyataan Moquette di atas terkait Islam dibawa oleh orang Pasai
dengan dalih batu nisan dibantah oleh S.Q. Fatimi. Bagi Fatimi, batu nisan Malik al-
Saleh bukanlah dari Pasai melainkan dari Bangladesh. Batu nisan Malik al-Shaleh
sejenis dengan batu nisan Siti Fatimah binti Mimun yang ditemukan di Leran Jawa
Timur, batu nisan tersebut berasal dari Bengal yang tertera tahun 475 H/1082 M.453
Lain halnya dengan teori Gujarat dari Moquette terlalu kuat untuk digoyang
oleh teori Bengal dari Fatimi. Beberapa sarjana lain, seperti R.A. Kern, R.O
Winstedt, G.H. Bousquet, B.H.M. Vlekke, J. Gonda, B.J.O. Schrieke, dan D.G.E.
Hall mendukung pendapat Moquette. William Winstedt, misalnya mengemukakan
tentang bentuk dan gaya batu nisan di Bruas, sebuah kerajaan kuno Melayu di Perak,
semenanjung Malaya yang sama dengan bentuk dan gaya batu nisan di Gujarat.
Karena semua batu nisan di Pasai, Gresik dan Bruas diimpor dari Gujarat, Winstedt
pun menyimpulkan bahwa Islam pastilah dari sana.454 Schrieke, seorang sosiolog
Belanda juga mendukung teori tersebut dan menyatakan bahwa sumbangan terhadap
penyebaran Islam adalah para pedagang muslim Gujarat.455
Marisson menyimpulkan bahwa Teori Gujarat sebagai tempat asal Islam di
Nusantara dipandang mempunyai kelemahan oleh Marisson. Islam di Indonesia
bukan berasal dari Gujarat, tetapi dibawa para pendakwah muslim dari Pantai
Coromandel pada akhir abad ke-13. Alasannya, meskipun batu-batu nisan tersebut
berasal dari Gujarat atau Bengal, bukan berarti Islam berasal dari sana.
Dikatakannya, ketika Islamisasi Samudra-Pasai yang raja pertamanya wafat 698
H/1297 M, Gujarat masih merupakan sebuah kerajaan bercorak Hindu. Baru pada
satu tahun berikutnya, Cambay, Gujarat ditaklukkan oleh kekuasaan Muslim. Ini
artinya, jika Islam di Indonesia disebarkan oleh orang-orang Gujarat pastilah Islam
telah menjadi agama yang mapan sebelum tahun 698 H/ 1297 M.
Thomas W. Arnold didukung oleh Marisson, ia mengatakan bahwa adanya
persamaan mazhab fiqih di Coromandel dan Malabar dengan Indonesia. Mazhab
Syafi’i yang mayoritas diikuti oleh mayoritas Muslim di Nusantara merupakan
mazhab yang dominan di wilayah Coromandel dan Malabar. Menurut Arnold, para
pedagang Muslim dari Coromandel dan Malabar mempunyai peranan penting dalam
perdagangan antara India dan Nusantara. Kehadiran sejumlah besar padagang ini di
pelabuhan-pelabuhan Indonesia tidak hanya berdagang, tetapi juga menyebarkan
agama Islam kepada penduduk setempat. Atas dasar ini, Marison dan Thomas W.

453
Azyumardi Azra, Islam Nusantara, Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan,
2002), h. 25.
454
Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, h. 25-26.
455
Azra, Jaringan Ulama; Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, h. 26.
179
Arnold mengatakan Islam dibawa ke Nusantara antara lain berasal dari Coromandel
dan Malabar.

2. Teori Arab
Arnold menyebutkan bahwa Coromandel dan Malabar bukanlah satu-satunya
tempat Islam dibawa ke Nusantara orang Arab pun ikut menyebarkan Islam di
Indonesia. Sejarah menyebutkan bahwa pada abad ke-7 M dan ke-8 M para
pedagang Arab aktif dalam penyebaran agama Islam melalui perdagangan. Meski
tidak terdapat rekaman sejarah tentang kegiatan mereka dalam penyebaran Islam,
namun kita dapat mengasumsikan bahwa mereka terlibat pula dalam penyebaran
Islam kepada penduduk lokal di Nusantara. Asumsi ini didukung oleh fakta yang
disebut-sebut oleh sumber Cina yang menjelaskan adanya seorang pedagang Arab
menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera pada
perempat akhir abad ke-7. Beberapa pedagang Arab ini dilaporkan telah menikah
dengan penduduk lokal, sehingga mereka membentuk komunitas muslim yang
merupakan campuran pendatang dari Arab dan penduduk lokal. Anggota-anggota
komunitas muslim ini juga aktif melakukan kegiatan penyebaran Islam.456
Dalam konteks ini kitab ‘Ajāib al-Hind merupakan sumber Timur Tengah
(aslinya berbahasa Persia) yang paling awal tentang Nusantara yang menjelaskan
eksistensi komunitas muslim lokal di wilayah Kerajaan Hindu-Buddha Zabaj
(Sriwijaya). Kitab yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar al-Rahurmuzi sekitar
tahun 390/1000 ini meriwayatkan tentang kunjungan para pedagang muslim ke
Kerajaan Zabaj yang menyaksikan kebiasaan penduduknya “bersila” (‫ )برسيَل‬ketika
ingin menghadap raja.457 Kata “bersila” yang ditulis dengan aksara Arab
menunjukkan sudah adanya pengaruh Islam dalam budaya Melayu Nusantara.
Crawfurd pencetus pertama teori ini dan mengatakan bahwa Islam
dikenalkan pada masyarakat Nusantara langsung dari Tanah Arab, meskipun
hubungan bangsa Melayu-Indonesia dengan umat Islam di pesisir Timur India juga
merupakan faktor penting. Keyzer mendukung teori Arab ini, didasarkan adanya
persamaan madzhab yaitu Syafi’i yang dominan di Indonesia. Keyzer berpendapat
bahwa Islam di Nusantara berasal dari Mesir. Hal senada juga dikemukakan oleh
Niemann dan de Hollander, dengan sedikit revisi, yang mengatakan bahwa Islam di
Indonesia berasal dari Handramaut. Sementara itu, P.J. Veth berpendapat bahwa
hanya orang-orang Arab yang melakukan perkawinan campur dengan penduduk
pribumi yang berperan dalam penyebaran Islam di pemukiman baru mereka di
Nusantara.

456
“Azra, Jaringan Ulama; Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, h. 8.”
457
Azra, Jaringan Ulama; Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII, h. 99.
180
Uka Tjandrasasmita, pakar Sejarah dan Arkeolog Islam, berpendapat bahwa
Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7 atau ke-8 Masehi. Pada abad-abad ini,
dimungkinkan orang-orang Islam dari Arab, Persia dan India sudah banyak yang
berhubungan dengan orang-orang di Asia Tenggara dan Asia Timur.458 “Kemajuan
perhubungan dan pelayaran pada abad-abad tersebut sangat mungkin sebagai akibat
persaingan di antara kerajaan-kerajaan besar ketika itu, yakni kerajaan Bani
Umayyah di Asia Barat, kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara, dan kekuasaan China
di bawah dinasti T’ang di Asia Timur.459”
Sejumlah ahli Indonesia dan Malaysia mendukung teori Arab ini. Dalam
beberapa kali seminar yang digelar tentang kedatangan Islam ke Indonesia yang
diadakan pada tahu 1963 dan 1978, disimpulkan bahwa Islam yang datang ke
Indonesua langsung dari Arab, bukan dari India. Islam datang pertama kali ke
Indonesia pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 Masehi, bukan abad ke-12 atau
ke-13 Masehi.460
Syaed Muhammad Naquib al-Attas seorang pakar Kesusasteraan Melayu dari
University Kebangsaan Malaysia kelahiran Indonesia, mengatakan bahwa bukti
paling penting yang dapat dipelajari ketika mendiskusikan kedatangan Islam di
kepulauan Melayu-Indonesia adalah karakteristik internal Islam itu sendiri di
kawasan ini. Dia menggagap suatu hal yang disebut sebagai teori umum Islamisai
Kepulauan Melayu-Indonesia yang umumnya didasarkan pada sejarah literatur Islam
Melayu dan sejarah pandangan dunia (world view) Melayu-Indonesia, sebagaimana
yang dapat dilihat melalui perubahan konsep dan istilah kunci dalam literatur
Melayu (historiografi tradisional lokal) pada abad ke-10 sampai ke-11 Hijriyah, atau
abad ke-16 sampai abad ke-17 Masehi.461
Begitu juga raja-raja Samudera Pasai menganut madzhab Syafi’i. Penganut
madzhab Syafi’i terbesar saat itu adalah Mesir. Bila agama Islam yang masuk di
Nusantara berasal dari Persia tentu banyak masyarakat Indonesia yang menganut
madzhab Syi’ah seperti Persia, atau madzhab Hanafi, seperti India. Gelar al-Malik
yang digunakan oleh raja-raja Samudera Pasai, berasa dari Mesir. Sedangkan gelar
Syah yang berasal dari Persia, baru digunakan oleh raja-raja Malaka pada awal abad
ke-15 M.462

458
Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di
Indonesia; Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi (Kudus: Menara Kudus, 2000), h. 17.
459
George Fadlo Hourani, Arab Seafarings in the IndiansOcean in Ancient and Eraly
Medieval Times (Princon: New Jersey University Press, 1951), h. 62.
460
A. Hasjamy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: al-
Ma’arif, 1993), h. 7.
461
“Azra, Islam Nusantara, Jaringan Global dan Lokal, h. 28.”
462
Taufik Abdullah, Sejarah Ummat Islam Indonesia (Jakarta: MUI, 1991), h. 34.
181
3. Teori Persia
Selain teori India dan teori Arab, ada lagi teori Persia. Teori Persia ini
menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara ini berasal dari Persia, bukan
dari India dan Arab. Terdapat 3 alasan teori Persia yang menyebarkan Islam di
Nusantara, sebagai berikut:
Pertama, teori ini didasarkan pada beberapa unsur kebudayaan Persia,
khususnya Syi’ah yang ada dalam kebudayaan Islam di Nusantara. Di antara
pendukung teori ini adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat. Dia mendasarkan
analisisnya pada pengaruh sufisme Persia terhadap beberapa ajaran mistik Islam
(sufisme) Indonesia. Ajaran manunggaling kawula gusti Syeikh Siti Jenar
merupakan pengaruh dari ajaran wahdat al-wujud al-Hallaj dari Persia.463
Kedua, penggunaan istilah “bahasa Persia dalam sistem mengeja huruf Arab,
terutama untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajaran Al-Qur’an. “Jabar
(Arab-fathah) untuk mengahasilkan bunyi “a” (Arab; kasrah) untuk menghasilkan
bunyi “i” dan “e”; serta pes (Arab, dhammah) untuk menghasilkan bunyi “u” atau
“o”. Dengan demikian, pada awal pelajaran membaca Al-Qur’an, para santri harus
menghafal alifjabar “a”, alifjer “i” dan alif pes “u”/ “o”. Cara pengajaran seperti ini,
pada masa sekarang masih dipraktekkan di beberapa pesantren dan lembaga
pengajian Al-Qur’an di pedalaman Banten.464” Juga, huruf sin tanda gigi merupakan
pengaruh Persia yang membedakan dengan huruf sindari Arab yang bergigi.465
Ketiga, peringatan “Asyura atau 10 Muharram sebagai salah satu hari yang
diperingati oleh kaum Syi’ah, yakni hari wafatnya Husain bin Abi Thalib di Padang
Karbala. Di Jawa dan juga di Aceh, peringatan ini ditandai dengan pembuatan bubur
Asyura. Di Minangkabau dan Aceh, bulan Muharram disebut dengan bulan Hasan-
Husain. Di Sumatera Tengah sebelah barat, ada upacara Tabut, yaitu mengarak
“keranda Husain” untuk dilemparkan ke dalam sungai atau perairan lainnya.
Keranda tersebut disebut dengan Tabut yang berasal dari bahasa Arab.466

4. Teori Cina
Sebenarnya, peranan orang China terhadap Islamisasi di Indonesia perlu
mendapat perhatian khusus. Banyaknya unsur kebudayaan China dalam beberapa
unsur kebudayaan Islam di Indonesia perlu mempertimbangkan peran orang-orang

463
“P.A. Hoesein Djajadiningrat, Islam di Indonesia dan Kenneth W.Morgan, Islam
Jalan Lurus, Terj.Abu Salamah dan Chaidir Anwar (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986), h. 426-
427.”
464
Suwedi Montana, Pengenalan Awal Bahasa Arab sebagai Indikator Pembawa
Agama Islam di Indonesia dalam Aspects of Indonesians Archeology, (Jakarta: Pusat
Arkeologi Nasional, 1945), h. 16.
465
Suryanegara, Menemukan Sejarah; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, h. 91.
466
Suryanegara, Menemukan Sejarah; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, h. 90.
182
China dalam Islamisasi di Nusantara, karenanya “teori China” dalam Islamisasi
tidak bisa diabaikan. H.J. de Graaf, misalnya, telah menyunting beberapa literatur
Jawa klasik yang memperlihatkan peranan orang-orang China dalam pengembangan
Islam di Indonesia.467 Dalam tulisan-tulisan tersebut, disebutkan bahwa tokoh-tokoh
besar semacam Sunan Ampel (Raden Rahmat/Bong Swi Hoo) dan Raja Demak
(Raden Fatah/Jin Bun) merupakan orang-orang keturunan China. Pandangan ini juga
didukung oleh salah seorang sejarawan Indonesia, Slamet Mulyana, dalam bukunya
yang kontroversial, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-
Negara Islam di Nusantara. Denys Lombard juga telah memperlihatkan besarnya
pengaruh China dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia, seperti
makanan, pakaian, bahasa, seni bangunan, dan sebagainya. Lombard mengulas
semua ini dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya.

E. Islamisasi Jawa
Dengan beberapa perbedaan tentang Islamisasi tersebut, haruslah diupayakan
sintesis dari berbagai pendapat yang ada. Di antara upaya tersebut adalah dengan
membuat fase-fase atau tahapan tentang Islamisasi di Indoneia, seperti tahap
permulaan kedatangan yang terjadi pada abad ke-7 Masehi.468 Adapun pada abad ke-
13 Masehi dipandang sebagai proses penyebaran dan terbentuknya masyarakat Islam
di Nusantara. Para pembawa Islam pada abad ke-7 sampai abad ke-13 Masehi
tersebut adalah orang-orang Muslim dari Arab, Persia dan India (Gujarat dan
Bengal).469 Hal serupa juga dilakukan oleh Uka Tjandrasasmita yang mengatakan
bahwa sebelum abad ke-13 merupakan tahap proses Islamisasi. Abad ke-13 itu
sendiri dipandang sebagai masa pertumbuhan Islam sebagai kerajaan bercorak Islam
yang pertama di Indonesia.470
Hasan Mu’arif Ambary berpendapat “fase Islamisasi Indonesia ke dalam
tiga fase; yaitu (1) fase kehadiran para pedagang Muslim, (2) fase terbentuknya
kerajaan Islam, dan (3) fase pelembaan Islam. Dalam fase kehadiran para pedagang
Muslim di Indonesia, Ambary tidak memberi angka yang jelas tentang permulaan
Islam datang ke Indonesia. Walaupun demikian, dapat diduga bahwa fase tersebut
terjadi pada sebelum abad ke-13 M, yaitu abad ke-1 sampai ke-5 Hijriah, atau abad
ke-7 sampai ke-11 Masehi.” Adapun fase terbentuknya kerajaan Islam berlansung

467
H.J. de Graaf, China Muslim di Jawa Abad XV dan XVI; Antara Historitas dan
Mitos, terj. Alfarji (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1998), h. 101.
468
“Marwati Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 181.”
469
Pusponegoro dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, h. 183.
470
“Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di
Indonesia; Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi, h. 19.”
183
antara abad ke-13 M sampai abad ke-16 M. Sedangkan masa pelembagaan Islam
terjadi sesudah abad-abad tersebut.471
Khusus Islamisasi di Jawa, Denys Lombard secara garis besar membedakan
tiga tahap dalam proses Islamisasi di wilayah ini, yaitu (1) berlangsungnya
Islamisasi di wilayah pantai utara, melalui pelabuhan perdagangan sejak abad ke-15
memainkan peranan yang makin penting; (2) merembesnya Islam ke daerah
pedalaman yang secara berangsur-angsur memunculkan semacam kaum berjuis
Islam di pedalaman; (3) terbentuknya jaringan Islam pedesaan, dengan peran penting
yang dimainkan oleh pesantren dan tarekat. Pada gilirannya, perkembangan
semacam ini memungkinkan bagi kelangsungan struktur yang sudah ada di masa
Hindia Belanda sejak abad ke-19, yaitu makin terbukanya kemunginan bagi rakyat
Indonesia untuk naik haji. Konsekuensinya, Islam di Kepulauan Indonesia-Melayu
mendapat akses yang luas dan langsungdaripusat Islam (Mekkah dan Kairo).472
Lathiful Khuluq pun menyatakan bahwa ada lima fase penyebaran Islam
kepada masyarakat Jawa (Indonesia). Pertama, Islamisasi yang dilakukan oleh para
pedagang Muslim dari India dan Arabia kepada komunitas masyarakat biasa di
pesisir utara Pulau Jawa. Kedua, Islamisasi yang dilakukan oleh para ulama yang
terkenal dengan sebutan “wali sanga”. Ketiga, Islamisasi di bawah kerajaan Islam
Mataram yang berpusat di pedalaman Pulau Jawa, terutama pada masa Sultan
Agung. Keempat, Islamisasi yang diwarnai dengan makin maraknya gerakan
pemurnian Islam yang dibawa ke Nusantara pada abad ke-18. Kelima, Islamisasi
yang ditandai dengan gerakan reformasi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi
Islam, seperti Jami’at al-Khair (1901), Sarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1912)
dan lainsebagainya.473
Dengan mengacu pada fase-fase Islamisasi di Jawa yang dikemukakan oleh
Lathiful Khuluq tersebut, pada fase kedua Islamisasi di Jawa berlangsung dengan
cepat. Percepatan Islamisasi ini, terutama sebagai hasil dari dakwah para wali
sebagai perintis dan penyebar agama Islam di Jawa. Para wali memegang
kepemimpinan yang kharismatik. Pada satu pihak, demikian menurut Sartono,
otoritas mereka dapat berbentuk formal sebagai penguasa politik atau raja; pada
pihak lain terlepas dari pelembagaan politik atau tidak, mereka memiliki kekuataan
sosial-relegius yang kuat.474

471
“Hasan Mu’arif Ambary, Menemukan Peradaban; Jejak Arkeologis dan Historis
Islam Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1988), h. 55-60.”
472
Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya; Batas-Batas Pembaratan, Kajian
SejarahTerpadu, terj. Winarsih Partaningrat Arifin, dkk (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2005),
h. xix.
473
Lathuful Khuluq, “Islamisasi pada Masa Pemerintahan Sultan Agung (1613-
1646),” Jurnal Penelitian Agama Vol. 7, no. No. 20 (Desember 1988): h. 118-138.
474
Sartono Kartodirdjono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 (Jakarta:
Gramedia Pustaka, 1992), h. 26.
184
Pada umumnya, para ahli berpendapat bahwa Islam di Indonesia
disebarluaskan melalui jalan damai. Tidak ada misi khusus, seperti dalam agama
Protestan dan Katholik dalam menyebarkan Islam di Indonesia,475 paling tidak pada
masa awal. Namun, perkembangan Islamisasi Indonesia ini sebetulnya
menggunakan tiga metode, yaitu (1) disebarkan oleh para pedagang Muslim dalam
suasana damai, (2) disebarkan oleh para juru dakwah dan para wali khusus dari India
dan Arab untuk meng-Islamkan penduduk dan meningkatkan ilmu pengetahuan dan
keimanan mereka, dan (3) disebarkan dengan kekuatan untuk berperang melawan
pemerintahan kafir.476 Metode terakhir ini terjadi segera setelah sebuah kerajaan
Islam berdiri di Indonesia di mana kadang-kadang Islam disebarkan dari sana ke
kawasan-kawasan lain melalui peperangan.477
Perlu dijelaskan di sini bahwa teori-teori yang dikemukakan di atas, pada
dasarnya tidak membicarakan masuknya agama Islam ke setiap pulau di Nusantara.
Teori-teori tersebut hanya menganalisis masuknya agama Islam di Pulau Sumatera,
khususnya Aceh, dan Pulau Jawa. Kedua pulau ini dipandang mempunyai peranan
penting dalam perkembangan Islam di pulau-pulau lain di Indonesia.478
Teori apapun tentang Islamisasi Nusantara-Melayu senantiasa akan dituntut
untuk menjelaskan kenapa proses tersebut berawal dari suatu masa tertentu, dan
bukan beberapa abad sebelumnya atau sesudahnya. Orang-orang Muslim dari negeri
asing, mungkin sudah menetap di pelabuhan-pelabuhan dagang di Sumatera dan
Jawa selama berabad-abad. Namun, baru menjelang akhir abad ke-13 lah ditemukan
adanya jejak orang Islam pribumi.479 Dalam abad-abad selanjutnya, Islam secara
berangsur-angsur menyebar melampaui daerah pantai Sumatera dan Semanjung
Malaya, ke pantai utara pulau Jawa dan beberapa pulau penghasil rempah-rempah di
Indonesia bagian timur. Namun, cara berlangsungnya perpindahan agama ini tidak
terdokumentasikan dengan baik, sehingga banyak menimbulkan spekulasi di
kalangan ilmuan dan kadang-kadang menimbulkan perdebatan yang sengit. Yang
pasti, proses tersebut tidak mungkin berjalan menurut pola yang seragam untuk
seluruh wilayah Indonesia yang cukup luas.480

475
Suryanegara, Menemukan Sejarah; Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, h. 93-
94.
476
“H.J. de Graaf, South-East Asian Islam to Eighteenth Century (Camridge:
Cambridge University Press, 1987), h. 123.”
477
“M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terj. Dharmono Hardjowidjono
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1900), h. 20.”
478
“Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, h. 74.”
479
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi
Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), h. 187.
480
Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di
Indonesia, h. 188.
185
F. Kesimpulan
Proses Islamisasi di Indonesia terjadi dengan jalan yang sangat panjang, yang
didasari pada teori-teori yang beagam pula. Diterimanya Islam oleh penduduk
pribumi, secara bertahap membuat Islam terintegrasi dengan tradisi, norma dan
tatanan kehidupan keseharian penduduk lokal. Hal ini menunjukan bahwa bangsa
Indonesia mudah menerima nilai-nilai dari luar dan menjadi bukti akan keterbukaan
sikap mereka.

186
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufk. Sejarah Ummat Islam Indonesia. Jakarta: MUI, 1991.

Ambary, Hasan Mu’arif. Menemukan Peradaban; Jejak Arkeologis dan Historis


Islam Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1988.

Azra, Azyumardi. Islam nusantara, jaringan global dan lokal. Bandung: Mizan :
Didistribusikan oleh Mizan Media Utama, 2002.
http://books.google.com/books?id=97vXAAAAMAAJ.

———. Jaringan Islam Nusantara dalam Akhmad Sahal dan Munawir Aziz (Eds.).
Bandung: Mizan, 2015.

———. Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII. Bandung: Mizan, 1999.

Bruggink, J.J.H. Refleksi Tentang Hukum. Bandung: Citra Aditya, 1999.

Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi


Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1995.

Djajadiningrat, P.A. Hoesein. Islam di Indonesia dan Kenneth W.Morgan, Islam


Jalan Lurus, Terj.Abu Salamah dan Chaidir Anwar. Jakarta: Pustaka Jaya, 1986.

Drewes, G.W.J. New Light on the Coming of Islam Indonesia; dalam Readings on
Islam in Southeast Asia. Singapore: Institute of South East Asia Studies, 1983.

Fatimi, A.Q. Islam Comes to Malasyia. Singapura: Malasyian Sociological Reseach


Institute, 1963.

Graaf, H.J. de. China Muslim di Jawa Abad XV dan XVI; Antara Historitas dan
Mitos, terj. Alfarji. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1998.

———. South-East Asian Islam to Eighteenth Century. Camridge: Cambridge


University Press, 1987.

Hasjamy, A. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandung: al-


Ma’arif, 1993.

Hourani, George Fadlo. Arab Seafarings in the IndiansOcean in Ancient and Eraly
Medieval Times. Princon: New Jersey University Press, 1951.

Hurgronje, C. Snouck. Arti Agama Islam bagi Penganutnya di Hindia Belanda, terj.
Sultan Maimun dan Rahayu S. Hidayat. Jakarta: INIS, 1994.

187
Kartodirdjono, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Jakarta:
Gramedia Pustaka, 1992.

Keraf, Gorys. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia Pustaka, 2001.

Kerlinger, Fred N. Asas-Asas Penilaian Bebavioral. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press, 2004.

Khuluq, Lathuful. “Islamisasi pada Masa Pemerintahan Sultan Agung (1613-1646).”


Jurnal Penelitian Agama Vol. 7, no. No. 20 (Desember 1988): 118–38.

Laffan, Michael. Sejarah Islam di Indonesia, terj. Indi Aunullah. Yogyakarta:


Banteng, 2015.

Lombard, Denys. Nusa JawaSilangBudaya; Batas-Batas Pembaratan, Kajian


SejarahTerpadu, terj.Winarsih Partaningrat Arifin, dkk. Jakarta: Gramedia Pustaka,
2005.

Montana, Suwedi. Pengenalan Awal Bahasa Arab sebagai Indikator Pembawa


Agama Islam di Indonesia dalam Aspects of Indonesians Archeology. Jakarta: Pusat
Arkeologi Nasional, 1945.

Nakamura, Mitsua. The Grescent Arises over the Banyan Tree; A Study of The
Muhammadiyah Movement in a Central Javanes Town. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1993.

Pusponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional


Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern, terj. Dharmono Hardjowidjono.


Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1900.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta,


2009.

Suryanegara, Ahmad Mansur. Menemukan Sejarah; Wacana Pergerakan Islam di


Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.

Tjandrasasmita, Uka. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di


Indonesia; Dari Abad XIII sampai XVIII Masehi. Kudus: Menara Kudus, 2000.

Wignyosoebroto, Soetandya. Hukum, Metode, dan Dinamika Masalahnya. Jakarta:


Elsam Huma, 2002.

188
189
SEPUTAR TEORI KEDATANGAN ISLAM DI NUSANTARA
Pradibyo Herdiansyah (21191200000009)

Abstrak

Nusantara sebagai kepulauan maritim dan mempunyai letak strategis


jalur perdagangan tentunya tidak terlepas dari interaksi dengan
beberapa suku bangsa non-Nusantara. Kedatangan Islam di Nusantara
juga tak terlepas dari beberapa interaksi itu, baik dari asal daerah yang
berbeda, orang berbeda, waktu kedatangan atau motif tertentu
menimbulkan beberapa pendapat para sarjana tentang proses
kedatangan tersebut. Tak lepas juga beberapa karya seperti babad dan
serat menuliskan kedatangan Islam di Nusantara. Makalah ini akan
membincang beberapa teori-teori kedatangan serta awal penyebaran
Islam di Nusantara.

A. Pendahuluan

Michael Laffan mengatakan bahwa dilihat dari atas, gugus kepulauan yang
membentang dari Teluk Benggala ke Samudera Pasifik, begitu pula Semenanjung
Melayu sudah lama merupakan bagian Nusantara. Bandar-bandarnya, dan
bandar-bandar daratan utama dari Teluk Thailand hingga Tiongkok Selatan,
terhubung erat dengan berbagai negara yang terletak di pulau-pulau besar seperti
Sematra, Kalimantan, Sulawesi, dan Kepulauan Maluku yang lebih jauh ke timur.
Di utara pulau-pulau itu, sebagai bagian dari jaringan perdangan yang sama,
terdapat Pulau Jawa serta pulau-pulau Bali, Lombok, dan Sumbawa.
Kesemuanya sudah berbagi budaya istana yang bercorak India dan mendapat
keuntungan dari kehadiran para pedagang asing. Hal ini karena Asia Tenggara
berada di persimpangan dua zona perdangan kuno yang penting. Yang pertama
meliputi Samudra Hindia, dan yang kedua adalah Laut Tiongkok Selatan 481 –
dan terkenal dengan sebutan Jalur Sutera.482
Dengan kata lain pelanuhan-pelabuhan penting yang ada dalam wilayah
Sumatra dan Jawa pada abad ke 1 dan ke 7 seringkali menjadi persinggahan bagi
pedagang asing serta menjadi titik awal penyebaran Agama Islam. Pedagang-
pedagang muslim Arab, Persia, dan India juga ada yang sampai ke kepulauan
Indonesia sejak abad ke-7 M (1 Hijriyah), ketika Islam berkembang untuk

481
Michael Laffan, Sejarah Islam di Nusantara, (Yogjakarta: Bentang, 2015), ter.
Indi Aunullah, hal. 2.
482
Istilah ini digunakan pertama kali oleh geografer Jerman, Ferdinand von
Richthofen pada abad ke-19 karena mayoritas komoditas perdagangan dari Cina berupa
sutra.
Vadime Elisefeef, The Silk Roads: Highways of Culture and Commerce, (Paris:
Unesco, 1998), hal. 1-2.
190
pertama kalinya di Timur Tengah.483 Dari hubungan tersebut kemudian menjadi
salah satu perantara peneybaran agama Islam yang semakin lama semakin
intensif. Dean dengan demikian, Indonesia telah dikenal sejak zaman dahulu oleh
bangsa-bangsa di Timur (sekitar Kekaisaran Cina) maupun Barat (Imperium
Romawi) karena menjadi jalur lalu lintas perdanga yang menghubungkan
keduanya. Sehingga amat logis jika Indonesia menjadi wilayah untuk
memperoleh pengaruh, dan tidak terkecuali untuk penyebaran agama Islam.484
Namun sumber-sumber yang memfokuskan pada pedagang Arab di
Indonesia pada masa awal – sebagai salah satu transmitter agama Islam, yang
berstandar pada sumber-sumber historis Indonesia seperti hikayat atau cerita
lokal, masih jarang dan tidak lengkap. Oleh karena itu, untuk mengetahui
jaringan perdanganan antara pedagang Arab tersebut dan Indonesia harus
didukung oleh sumber-sumber historis lain, misalya laporan-laporan asing: Arab,
Tionghoa, Portugis, Belanda, dan lain-lain. Data berupa benda arkeologi seperti
nisan-nisan kubur dan benda-benda temuan lain di negara ini jug bermanfaat
untuk memperkuat sumber-sumber sejarah tersebut.485
Sedangkan dilihat dari faktor internal, bahwa berkembanganya kerajaan
besar Hindu dan Budha di Nusantara – pendapat alin mengatakan bahwa
Nusantara mempunyai peradaban yang bersumber kebudayaan asli pengaruh dari
Hindu-Budha dari India, namun tidak menyebar secara merata 486 – sebelum
kedatangan Islam mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadapa spiritualitas
masyarakat. Khususnya perkembangan itu mengambi wilayah stategis
sebagaimana kerajaan Kutai di Kalimanta, Sriwijaya di Sumatera, dan Majapahit
di Jawa yang memeiliki tanah subur dan transportasi yang mudah melalui sungai-
sungai besar. Upacara-upacara yang sehubungan dengan kelahiran anak, kawin,
atau mati, kendurian, sesaji dan lainnya dapat disosialisasikan dalam kehidupan
masyarakat. Maka tak heran bila timbul pertanyaan bagaimana Islam
berkembang dan menyampaikan ajaran-ajarannya di tengah-tengah
masyarakat.487
Maka perlulah kiranya makalah ini sebagai pengantar diskusi mengenai
kedatangan Islam di Nusantara dengan melalui 3 pokok permasalahan, yaitu
tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya.

B. Teori-Teori Kedatangan Islam

Berbicara tentang teori kedatangan Islam setidaknya terdapat 2 pendapat –


berdasarkan waktu kedatangan, yaitu yang pertama pendapat lama, yang
mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke13 M. Pendapat ini
dikemukakan oleh para sarjana barat, sedangkan yang kedua kedatangan Islam di

483
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1998), hal.
192.
484
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah,2018), hal. 302.
485
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Gramedia), hal. 71.
486
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban IslamIndonesia, (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2005), hal. 3.
487
Moh. Nurhakim, Jatuhnya Sebuah Tamadun, (Jakarta: Kementerian Agama
Republik Indonesia, 2012), hal. 171.
191
Indonesia pada abad ke-7 M/1 H yang dikemukakan oleh H. Agus Salim, M.
Zainal Arifin Abbas, Hamka, Sayed Alwi bin Tahir Alhadad, A. Hasjmy, dan
Thomas W. Arnold.488
Sedangkan menurut asal-usul Islam di Nusantara yang diperdebatkan ada 4
teori utama, yaitu Teori India yang diusung oleh Pijnappel, Snouck Hergronje,
T.W. Arnold, D.G.E Hall, R.O. Winstead, Brian Harrison, H.E Wilson, J.P.
Moquette, G.E. Morrison, S.Q. Fatimi, Keyzer, daan G.W.J. Drewes. Yang kedua
adalah teori yang mengatakan bahwa Islam berasal dari Arabia, pendapat ini
disampaikan oleh sarjana Belanda, Indonesia, dan Malaysia seperti De Hollander,
al-‘Attas, Hasjmy, Hamka dll. Ketiga adalah toeri Persia yang disampaikan oleh
Hoesin Djayaningrat, dan yang keempat adalah teori Cina disampaikan oleh H.J.
de Graaf, Denys Lombard, dan Slamet Muljana.489
Pada dasarnya, dari kedua pendekatan tersebut, baik pendekatan kapan
kedatangan Islam maupun dari mana kedayantannya terdapat kesinambungan.
Kebanyakan pendapat bahwa Islam datang abad ke-7 adalah teori Arabia,
sedangkan pendapat bahwa kedatangan Islam pada abad 13 adalah teori India,
namun beberapa sarjana berpendapat sebaliknya. Adapun diskusi dari setiap teori
di atas adalah sebagai berikut:

1. Teori India

Kebanyakan teori ini dipegang oleh sarjana Belanda, bahwa asal kedatangan
Islam merupakan Anak Benua India, bukan berasal dari Persia atau Arabi.
Adapun yang pertama mengatakan tentang teori tersebut adalah Pijnappel,
yang disebutkan oleh Drewes dalam artikelnya bahwa orang-orang Arab
bermazhab Syafi’i – meskipun sebenarnya ada sediki juga pengaruh dari
orang Persia, yang ada di Gujarat dan Malabar mulai bermigrasi kemudian
tinggal di wilayah India tersebut dan menyebarkan Islam ke Nusantara. Dia
berpegang pada kabar yang dibawa oleh Marco Polo dan Ibn Battuta 490 –
musafir Maroko yang telah mengunjungi sebagian dunia pada awal
pertengahan abad 14 M (1325-1353) termasuk pulau Sumatera.491
Adapun Snouck Hugronje – dalam artikelnya yang berjudul Verspreide
Geschriften (1924) – mengembangkan pendapat Pijnappel dengan berhujjah
bahwa Islam dibawa ke Nusantara dari India oleh para pedagang muslim
(muslim Deccan) perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan

488
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, ..., hal. 303.
489
Faizal Amin, “Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara: Tela’ah
Teoritik Tentang Proses Islamisasi Nusantara”, Analisis: Jurnal Studi Keislaman 18, no. 2,
Desember 2018, hal. 77.
490
Perjalanan Ibn Battuta dalam Rihlah-nya memang pernah melewati Nusantara,
tepatnya di kerajaan Samudra Pasai.
Ross E. Dunn, Petualangan Ibnu Battuta, (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2011),
ter. Amir Sutaarga, hal. 283.
491
Drewes mengatakan, “Pijnappel ascribes the spread of Islam in the Indonesian
Archipelago to these Shafi’i Arabs of Gujerat and Malabar, especially because these regions
are mentioned so frequently in the early history of the Archipelago”.
G. W. J. Drewes, “New Light on the Coming of Islam to Indonesia?”, Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde 124, no. 4, 1968, hal. 440.
192
Nusantara di kota pelabuhan Anak Benua India. Lantas mereka disusul orang-
orang Arab yang kebanyakan adalah keturunan Nabi Muhammad SAW
karena menggunakan gelar sayid atau syarif dan menyebarkan Islam di
Nusantara pada abad ke-12. Tidak disebutkan secara eksplisit dari bagian
India Selatan mana mereka datang, namun terkadang para masyarakat Arab
tersebut datang di Nusantara sebagai “pendeta” (priests) atau “pendeta-
penguasa” (priest-princes) atau sulthan.492 Hal tersebut nampaknya sesuai
dengan pendapat bahwa pembawa paling awal agama Islam ke Nusantara
adalah para trader-missionaries (pedagang-pendakwah) dan dengan damai
masuk ke Nusantara karena dapat menarik simpati orang-orang Indonesiayang
merupakan orang-orang inferior secara kultural.493 Selain itu, Hurgronje juga
mengaitkan dengan Raja Mongol, Hulagu pada tahun 1258 M yang
menyerang dan kemudian menduduki Baghdad.494
Selain kedua sarjana tersebut, yaitu J.P. Moquette – dalam artikelnya
yang berjudul De Grafsteenen te Pase en Grisse vergeleken met dergelijke
monumenten uit Hindoestan dan De eerste vorsten van SamoedraiPase
(Noord Sumatra) – mengatakan bahwa agama Islam dibawa dari Gujarat yang
mana menguatkan pendapat sebelumnya dengan bukti adanya batu nisan
Sultan Malik as-Salih – sebagai benda arkeologis – yang meningal pada 696
H/1297 M di Gampong Samudera, Lhokseumawe – pendapat lain mengatakan
bahwa batu nisan tersebut bertanggal 17 Zulhijjah 831 H/27 September 1428
M. Batu nisan yang ditemukan di Gresik (makam Maulana Malik Ibrahim
tertanggal 822/1419)495 juga dianggap mirip dengan batu nisan di Samudera.
Kedua nisan tersebut ternyata sama bentuknya dengan batu nisan yang
terdapat di Cambay, Gujarat. 496
Untuk menjustifikasi pendapatnya itu, Moquette mem-bandingkannya
dengan data historis yang lain, yaitu catatan Marco Polo yang mengunjungi
Perlak dan tempat lain di wilayah ini pada 1292, yaitu Sejarah Melayu dan
Hikayat Raja-raja Pasai. Kemudian ia menyimpulkan bahwa kedatangan
Islam pertama di Samudera adalah pada 1270-1275.497 Selain itu ia juga
mempunyai asumsi jika hasil produksi benda arkeologis berupa batu nisan
dari Gujarat bukan hanya diperuntukkan kebutuhan pasar lokal, maka pastinya

492
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII, (Depok: Prenamedia Group, 2018), hal. 3.
493
D. G. E. Hall, “Looking at Shoutheast Asian History”, The Journal of Asian
Studies 19, no. 3, 1960, hal. 250.
494
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam, ..., hal. 13.
495
Batu nisan tersebut ditulis kaligrafi huruf Arab petikan dari ayat-ayat al-Qur’an
yang dimulai dari ayat Kursiy. Ayat ini ditulis melingkar dari bawah ke atas kemudian
sampai puncak nisan bagian atas turun kembali ke bawah. Bagian yang paling pinggir dari
nisan diukir degangan hiasan itu yang merupakan bingkai nisan. Pada bidang atas lapis kedua
pada batu nisan dipahatkan surat kalimat Syahadatdan di atasnya dipahatkan surat Ali Imran
185, di bawahnya dipahatkan surat al-Rahman 26-27.
Mahmud Manan, Transformasi Budaya Unsur-unsur Hinduisme dan Islam Pada
Akhir Majapahit (Abad XV-XVI M), (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI, 2010), hal. 48-50.
496
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, ..., hal. 3.
497
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam, ..., hal. 13.
193
telah diekspor pula ke pasar luar negeri, dan khususnya di pasar-pasar
Sumatera dan Jawa.498
Selanjutnya teori tersebut disanggah oleh S.Q. Fatimi dengan argumen
bahwa batu nisan yang disebutkan di atas tidaklah mempunyai kemiripan
sama sekali dengan batu nisan di Cambay, Gujarat, tetapi lebih mirip dengan
bentuk dan gaya batu nisan yang ada di Bengal.499 Dan juga bahwa teori
Moquette tidak memperhatikan adanya batu nisan lain yang bertanggal lebih
tua, yaitu batu nisan Siti Fatimah yang berangka 475/1082 ditemukan di
Laren, Jawa Timur. 500 Para sarjana barat di atas juga dipandang tidak tepat
karena mereka berpendapat bahwa batu nisan yang ada di sekitar daerah
pesisir pantai laut Nusantara merupakan batu pemberat kapal ketika
pelayaran. Sedangkan jumlah nisan itu banyak ditemukan di satu kompleks
layaknya pemakaman masyarakat muslim.501
Selanjutnya, teori Fatimi ni pun tak luput dari kritik. Salah satunya
adalah bahwa adanya perbedaan dalam mazhab yang dianut oleh kaum
Muslim Nusantara dan mazhab di Bengal, yaitu antara Syafi’i dan Hanafi.502
R.O. Winstedt juga – dalam artikelnya The Advent of Muhammadanism in
Malay Paninsula and Archipelago – menyanggah teori Fatimi dengan
berpendapat bahwa ditemukan kemiripan batu nisan dari segi gaya dan
bentuknya di Bruas, sebuah pusat kerajaan Melayu kuno di Semenanjung
Malaya, tepatnya di Perak. Dia juga menambahkan bahwa manuskrip tentang
Sejarah Melayu di Bagian VII mengungkapkan bukti-bukti yang dapat
mengkonfirmasi kebiasaan mengimpor batu nisan ke negara Melayu dari India
pada masa lampau.503
Pada penelitian selanjutnya, pendapat bahwa Gujarat sebagai tempat
asal Islam di Nusantara mendapat kritik dari beberpa sarjana. G.E. Morrison
berpendapat bahwa meski batu-batu nisan yang ada di Nusantara boleh jadi
berasal dari Bengal ataupun Gujarat, bukan berarti Islam juga datang dari
sana. Kemudian Morrison mematahkan teori Gujarat dengan argumen bahwa
pada masa islamisasi Samudera-Pasai, yang raja pertamanya wafat pada
698/1297, Gujarat masihlah merupakan kerajaan Hindu. Barulah setahun
kemudian (1298), Cambay, Gujarat dikalahkan kekuatan Muslim. Dari situ
dapat ditarik kesimpulan bahwa jika Gujarat memang merupakan pusat Islam
yang mampu menyebarkan ajarannya ke luar, seharusnya Islam telah lama
mapan berkembang dan berkembang.504 Adapun caatatan Morrison tentang
penyerangan muslim atas Gujarat dalam beberapa kali kesempatan dan belum
mencapai hasil hingga tahun 1297, adalah sebuah pertimbangan akan teroinya
bahwa Islam di Nusantara dibawa oleh penyebar muslim dari Pantai

498
S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, (Singapura: Malaysian Sociological
Research Institute, 1963), hal. 32.
499
S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, ..., hal. 6.
500
S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, ..., hal. 31-32.
501
Budi Slistio dalam kuliahnya di SPs UIN syarif Hidayatullah Jakarta R-208.
Faizal Amin, “Kedatangan dan Penyebaran Islam, ..., hal. 80.
502
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, ..., hal. 4.
503
R.O. Winstead, “The Advent of Muhammadnismin the Malay and Archipelago”,
JMBRAS 77, 1917, hal. 173.
504
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, ..., hal. 5.
194
Coromandel sekitar akhir abad 13.505 Pendapat Morrison ini pula didukung
atas dasar dari sumber-sumber Cina kontemporer oleh de Jong dan W.F.
Wertheim yang menyatakan bahwa Thakur (gelar dari Bengali) digunakan
oleh penguasa Pasai, Merah Silu, maka semestinya Merah Silu adalah orang
Bengali.506
Senada dengan pendapat di atas, T.W. Arnold juga mengklaim bahwa
Islam yang datang ke Nusantara berasal Coromandel dan Malabar, India.
Pendapat tersebut dibuktikan dengan adanya persamaan mazhab fikih yang
dianut di Nusantara, Malabar, dan Coromandel. Mayoritas penganut Islam di
tiga daerah tersebut adalah mazhab Syafi’i. Dominasi ini telah tersebar
dimulai saat Ibn Batutah mengunjungi tempat-tempat di daerah tersebut.507
Menurutnya, yang berperan penting dalam perdagangan India-Nusantara
adalah pedagang yang datang dari Coromandel dan Malabar. Dalam jumlah
besar, mereka juga terlibat dalam penyebaran Islam selain aktif dalam
kegiatan perdagangan di berbagai pelabuhan dagang di Dunia Melayu-
Indonesia508

2. Teori Arabia

Adapun teori ini, sebagaimana dikemukakan oleh Grouneveldt, didasarkan


pada catatan Tionghoa dari dinasti Tang yang salah satunya menyebutkan
sejumlah orang dari Ta-Shih yang membatalkan niatnya untuk menyerang
Kerajaan Holing (Kaling) di bawah rezim Ratu Sima (674 M). Kata Ta-shih
teridentifikasi, menurut Groneveldt, sebagai “orang-orang Arab” yang
menetap di pantai barat Sumatera. Ta-shih bahkan disebutkan dalam catatan
lain yang lebih akhir seperti catatan Jepang yang menceritakan tentang
perjalanan biarawan Kanshin (748 M) yang menemukan Ta-shih-kuo dan
perahu-perahu Po-sse di Khanfu (Kanton). Menurut Rita Rose Di Meglio, Po-
sse dapat diidentifikasi sebagai ras keturunan Melayu, tapi Ta-shih hanya
orang-orang Arab dan Persia. Dan tidak ada pada sekitar masa itu (abad ke-7
dan ke-8 M) orang muslim yang lain, seperti muslim India.509
Pendapat lain mengungkapkan bahwa Islam datang ke pulau Sumatera
pada tahun 30 H, bertepatan masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan,
atau pada tahun 650 M. Di sisi lain, Sulaiman Al-Sirafi, pedagang dari di
teluk Persi tepatnya pelabuhan Siraf, pernah mengunjungi “Timur Jauh” (al-
Sharq al-Ab’ad), mengatakan di Sala (Sulawesi) ia bertemu dengan
masyarakat Islam saat itu, yaitu sekitar pada akhir abad ke-2 H. Hal tersebut
diperkuat bahwa telah ada Masyarakat Arab pra-Islam, di antara mereka
adalah pedagang-pedagang penerima barang berupa rempah-rempah dan

505
G.E. Marrison, “The Coming of Islam to the East Indies”, JMBRAS 24, no. 1,
1951, hal. 31-37.
506
S.Q. Fatimi, Islam Comes to Malaysia, ..., hal. 6.
507
Thomas W. Arnold, The Peacing of Islam: A History of the Propagation of the
Muslim Faith, (Lahore : Sh, Muhammad Ashraf, 1975), hal. 368.
508
Thomas W. Arnold, The Spread of Islam in The World, (New Delhi: Goodwor,
2001), hal. 364-365.
509
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam, ..., hal. 12.
195
bahan-bahan lain yang dipejualbelikan di negeri-negeri Yunani dan
Romawi.510
Bukti arkeologis berupa batu nisan juga di temukan di Barus, kota kecil
di pesisir Barat Sumatera Utara, arah barat daya Medan. Barus yang
merupakan kota internasional sejak zaman sebelum masehi dan diketahui
telah mengekspor ke Mesir barang berupa kapur wangi (kapur Barus). Nama
Barus juga sudah disebut-sebut sejak awal Masehi oleh literatur Arab, India,
Tamil, Yunani, Syiria, Armenia, China, dll. literatur kuno Tiongkok juga
menyebutkan bahwa tahun 625 M telah ada sebuah perkampungan Arab Islam
di pesisir Sumatera (Barus), yang berarti Islam datang masih di era Nabi
SAW. Hal tersebut dapat diperkuat dengan argumentasi; bahwa bangsa Arab
mempunyai tradisi dagang, dengan kafilah yang bahkan bersifat linas negara,
mealui kafila dagang ini sangat mungkin risalah Islam telah menjangkau
Sumatera sejak era Nabi, kemudian sejak Nabi melakukan penyebaran Islam
secara terbuka (tahun 616 M) ancaman kia membayangi Nabi sehingga tahun
618 M Nabi memerintahkan sebagian pengikutnya untuk berhijrah. Konon,
beberapa dari mereka inilah yang sebagian kemudian berlayar ke wilayah lain.
Saad bin Abi Waqas misalnya, selama di Habsy sempat berkelana sampai ke
Cina di saat Dinasti Sui berkuasa (581-618 M). Dari situ, tidak menutup
kemungkinan Barus menjadi sasaran dakwah kaum muhajir muslim generasi
pertama ini ketika Nabi SAW masih hidup.511
Menurut Arnold, para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika
mereka mendominasi perdagangan di Barat-Timur sejak beberapa adab awal
Hijriah atau abad ke-7 dan ke-8 Masehi. Meski tidak terdapat rekaman sejarah
tentang kegiatan mereka dalam penyebaran Islam, namun kita dapat
mengasumsikan bahwa mereka terlibat pula dalam penyebaran Islam kepada
penduduk lokal di Nusantara. Asumsi ini didukung oleh fakta yang disebut-
sebut oleh sumber Cina pula yang menjelaskan adanya seorang pedagang
Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab muslim di pesisir pantai
Sumatera pada perempat akhir abad 7.512
Teori arab ini juga dipegang oleh Crawfurd,513 meskipun ia tetap
menyarankan bahwa ineraksi penduduk Nusantara dengan kaum muslim yang
berasal dari pantai timur India juga merupakan faktor penting dalam upaya
penyebaran Islam di Nusantara. Sementara itu, Keijzer memandang Islam di
Nusantara berasal dari Mesir karena kesamaan kepemelukan penduduk
muslim di kedua wilayah atas mazhab Syafi’i. Begitu juga dengan Niemann
dan de Hollander dengan sedikit revisi; bahwa sumber Islam Nusantara
bukanlah Mesir, tetapi Hadhramawt.514

510
Al-Habib Alwi bin Thahir al-Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh,
(Jakarta: Lentera Basritama, 1997), ter. S. Dhiya Shahab, hal. 39.
511
Dhurorudin Mashad, Muslim Bali, Mencari Kembali Harmoni yang Hilang,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2014), hal. 52.
512
Thomas W. Arnold, The Peacing of Islam, ..., hal. 365.
513
John Crawfurd mengklaim bahwa kemungkinan Islam sudah sampai ke Nusantara
dibawa oleh para pendakwah Arab dari Jazirah Arab karena dominasi kekuatan armada
lautnya. Faizal Amin, “Kedatangan dan Penyebaran Islam, ..., hal. 85.
514
G. W. J. Drewes, “New Light ..., hal. 439.
196
Di sisi yang lain, sebagian ahli Indonesia setuju dengan teori Arab ini.
Sehingga dalam seminar yang diselenggarakan pada 1969 dan 1978 tentang
kedatangan Islam ke Indonesia mereka menyimpulkan, Islam datang langsung
dari Arabia, tidak dari India; tidak pada abad ke-12 atau 13 melainkan dalam
abad pertama Hijri atau abad ke-7 Masehi.515
Adapun salah satu sumber paling awal dari Timur Tengah tentang
keberadaan perkumpulan muslim di wilayah Kerajaan Hindu-Buddha Zabaj
(Sriwijaya) adalah kitab ‘Ajaib al-Hind. Kitab karya Buzurg bin Syahriyar al-
Ramahurmuzi sekitar tahun 390/1000 ini menceritakan tentang kunjungan ke
Kerajaan Zabaj oleh para pedagang muslim yang menyaksikan kebiasaan
penduduknya “bersila” (‫ )برسيال‬ketika menghadap raja. Adanya pengaruh
Islam sudah ada dalam budaya Melayu Nusantara dapat ditunjukkan dengan
kata bersila yang ditulis dengan akasara Arab.516
Di antara pendukung teori Arab ini adalah Naguib al-Attas. Pertama-
tama ia menyanggah teori India bahwa baik batu nisan atau barang-barang
lainnya sengaja dibawa dari India sebab banyak dibutuhkan oleh penduduk
wilayah itu dan sebab kedekatan jaraknya ke Nusantara jika dibandingkan
Jazirah Arab. Adapun bukti yang paling penting menurut pendapat al-Attas
adalah karakteristik “internal” dari agama Islam itu sendiri yang kemudian
dapat dikaji dalam hubungannya dengan kedatangan Islam ke Nusantara.517
Sedangkan argumennya tentang kedatangan Islam di Nusantara dia sebut
sebagai “teori umum tentang Islamisasi Nusantara”, yang harus didasarkan
terutama pada sejarah literatur Islam Melayu Indonesia dan sejarah pandangan
dunia Melayu seperti terlihat dalam perubahan konsep-konsep Melayu-
Indonesia pada abad ke-10 – 11/16-17. Argumen ini diimplementasikan
dengan narasi historiografi lokal tentang Islamisasi di Asia Tenggara dari
sejumlah manuskrip,518 di antaranya naskah manuskrip Sejarah Melayu
(1500),519 Hikayat Raja-raja Pasai (1350),520 Tarsilah dari Kesultanan
Sulu,521 Tuhfah al-Nafs, Hikayat Habib Husin al-Qadri Hikayat Merong

515
A. Hasjmi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: al-
Ma’arif, 1989), hal. 7.
516
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, ..., hal. 5.
517
S.M. Naguib al-‘Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Kuala
Lumpur: UKM, 1972), hal. 34.
518
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, ..., hal. 10-12.
519
Sayid ‘Abd al-‘Aziz, berasal dari Jeddah dan merupakan seorang Arab yang telah
mengislamkan Prameswara, penguasa Malaka. Dan kemudian berganti nama Sultan
Muhammad Syah.
520
Menceritakan tentang kedaatngan Syeikh Ismail dari Mekah via jalur Malabar dan
Persia serta telah mengislamkan penguasa setempat, Merah Silu. Lantas berganti nama dan
bergelar Malik al-Salih yang dicatat wafat pada 698 H/1297 M.
521
Tentang islamisasi di Philipina, yaitu Kerajaan Sulu. Berlangsung dimulai sejak
paruh kedua Abad ke-8/14, bemula dari kedatangan Sharif Awliyai Karim al-Makhdum pada
tahun 782/13280, seorang keturunan Arab yang datang dari Malaka masyhur sebagai ayah
dari Maulana Malik Ibrahim. Lalu Amin Allah al-Makhdum datang dan bergelar Sayid al-
Niqab, dan Sayid Abu Bakr bergelar Syarif al-Hashim yang kemudian diangkat menjadi
sultan pertama.
197
Mahawangsa (1630),522dan sebagainya, meskipun beberapa mitos dan legenda
lokal sering bercampur dengan catatan historiografi ini.
Pada dasarnya, Al-‘Attas sangat menekankan bahwa asal usul Islam di
nusantara adalah dari Arab dan bukan dari India. Dari beberapa riwayat yang
telah disebutkan, Azyumardi Azra mengungkapkan empat kesimpulan.
Pertama bahwa Islam dibawa serta datang secara langsung langsung dari
Arabia. Kedua, Islam diperkenalkan, khususnya oleh para guru dan penyair
“profesional” yakni mereka yang memang bertujuan untuk menyebarkan
Islam. Yang ketiga; para penguasalah yang mula-lula masuk Islam. Keempat;
mayoritas para penyebar Islam “profesional” ini tiba pada abad ke-12 dan ke-
13. Adapun point keempat, dapat dipertimbangkan, bahwa dapat dikatakan
Islam mulai diperkenalkan ke dan ada di Nusantara pada abad-abad pertama
Hijri, sebagaimana dikemukakan Arnold dan banyak sarjana Indonesia-
Malaysia, namun tidaklah pengaruhnya kelihatan lebih nyata setelah abad ke-
12. Karena itu, proses Islamisasi tampaknya mengalami akselerasi antara abad
ke12 dan ke-16.523

Dua teori di atas adalah teori yang paling masyhur di kalangan sarjana,
ada pun teori selain dua di atas adalah bersifat relatif. Di antara teori selain
teori Indian dan Arab di atas adalah sebagai berikut:

1. Teori Persia

Adapun pelopor teori ini adalah P.A. Hoesin Djajaningrat dari Indonesia.
Perspektif teori ini memiliki perbedaan dengan teori India/Gujarat dan
Arab/Mekah mengenai kedatangan Islam di Nusantara. Menurut Hoesin Islam
datang ke Indonesia berasal dari Persia pada abad ke-7 M. Fokus teori ini
adalah sosio-kultural di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang ada
kesamaan dengan Persia. Di antaranya adalah peeryaan Tabut di beberapa
tempat di Indonesia, dan berkembangnya ajaran Syekh Siti Jenar ketika
penyebaran Islam Wali Sanga yang memiliki kemiripan ajaran dengan Sufi
Iran yaitu Abu Mansur al-Hallaj – yang lebih terkenal dengan paham hulul
dan manunggaling kawula gusti.524 Selain itu juga ada persamaan tradisi
untuk memperingati syahidnya Husein bin Ali bin Abi thalib di Karbala pada
10 Muharram atau ‘Asyura’ oleh masyarakat Syi’ah.525
Namun pada akhirnya teori ini endapat kritik dari Saifuddin Zuhri
yang, Dahlan Mansur, Abu Bakar Atceh, dan Hamka. Kritikan dan penolakan
tersebut didasarkan pada alasan bahwa jika Islam masuk ke Nusantara abad
ke-7 M, pada saat itu kekuasaan ada di tangan Dinasti Umayyah (Arab),

522
Meriwayatkan kedatangan Syeikh ‘Abd Allah al-Yamani yang berasal dari Mekah
atau Baghdad kemudian mengislamkan penguasa bernama Phra ong Mahawangsa, para
menterinya, dan penduduk Kedah. Setelah masuk Islam, Phra Ong Mahawangsa berganti
nama dan bergelar Sultan Muzhafar Syah.
523
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, ..., hal. 12.
524
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 78.
525
Faizal Amin, “Kedatangan dan Penyebaran Islam, ..., hal. 88.
198
sedangkan Persia Iran belum menduduki kepemimpinan dunia Islam. Dan
masuknya Islam dalam suatu wilayah, setidaknya ada pengaruh politik
kekuasaan Islam pada masa itu.526

2. Teori Cina

Argumen dari teori ini didasarkan pada pendapat yang cukup relatif sama
dengan Teori Persia, yaitu unsur kebudayaan Cina yang ditemukan dalam
berbagai unsur kebudayaan Islam di Indonesia. Menurut H.J. de Graaf, dalam
beberapa literatur Jawa Klasik (Catatan tahunan Melayu) yang telah ia
sunting, memperlihatkan adanya peranan orang Cina dalam perkembangan
Islam di Indonesia.527 Dalam tulisan tersebut dipaparkan bahwa tokoh-tokoh
besar seperti Sunan Ampel (Raden rahmat/Bong Swi Hoo) dan raja Demak
(Raden Fatah/Jin Bun) merupakan orang-orang keturunan Cina. Pandangan ini
didukung oleh Slamet Muljana dalam bukunya Runtuhnya Kerajaan Hindu
Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam Nusantra. Sementara Denys
Lombard memaparkan banyaknya silang budaya Cina dalam berbagai aspek
kehidupan bangsa Indonesia, seperti makanan, pakian, bahasa, seni,
bangunan, dll.528

C. Motif Kedatangan Islam di Nusantara

Adapun motif masuknya Islam di Nusanara kurang lebih terdapat 3 teori


yang dikemukakan oleh beberapa sarjana. Yang pertama adalah motif ekonomi
yang diusung oleh van Leur. Ia berpendapat bahwa para penguasa probumi ingin
memengembangkan kegiatan perdagangan mereka kemudian menerima Islam
agar mendapat dukungan dalam sumber ekonomi. Agar lebih ekstensif dalam
berpartisipasi di perdagangan internasional yang mencakup wilayah Laut Merah
sampai ke Laut Cina, para penguasa tersebut mengonversi ke dalam Islam,
sehingga mereka bisa menyaingi dominasi kekuasaan kerajaan Majapahit.529
Yang kedua adalah motif untuk melawan penyebaran agama Kristen yang
disampaikan oleh Schrieke. Ia mangatakan bahwa ancaman penyebaran Kristen –
yang biasa disebut sebagai Gospel – mendorong penduduk Nusantara untuk
masuk Islam. Ia menghubungkan kejadian konfrontasi yang terjadi antara Kristen
dan Islam di Semenanjung Iberia dan Timur Tengah. Kemudian secara besar-

526
Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia,
(Bandung: al-Ma’arif, 1984), hal. 188.
527
Barangkali hal ini disebabkan karena banyaknya berita dari Cina yang
menyebutkan tentang hubungan antara kepulauan Nusantara dan para musafir yang telah
datang di ibukota Shih-Li-Fo-Shih atau San-Fo-tsi, yang kemudian menjadi kota Palembang.
Pada perkembangannya memang beberapa utusan dari Cina yang datang lagi ke Nusantara
pada awal abad 15. Sebut saja salah satunya Laksamana Muslim China, Cheng Ho yang
mencatatkan sebanyak kurang lebih 5 kali ekspedisi ke Nusantara.
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam, ..., hal. 82.
528
Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2015), hal. 7-8.
529
J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society dalam Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama, ..., hal. 13.
199
besaran penyebaran Islam terjadi ketika para pedagang Arabia, Persia,, India, dan
Nusantara melawan pedagang dari Portugis.530
Kedua teori ini ditolak oleh A.H. Johns, dan ia berpendapat sulit dipercaya
bahwa para pedagang muslim itu juga berfungsi sebagai penyiar Islam dengan
dalih apabila benar maka diragukan banyaknya penduduk yang telah berhasil
mereka Islamkan cukup besar dan signifikan. Adapun sanggahan atas teori
kedua, ia mengatakan bahwa “pertarungan Kristen vs Islam” di Nusantara paling
mungkin terjadi hanya setelah tahun 1500 ketika orang Eropa baru datang, tidak
pada abad ke-12 atau 13 saat terjadinya islamisasi besar-besaran. Lantas Johns
berpendapat bahwa penyebaran Islam di Indonesia dibawa oleh sufi pengembara.
Kunci keberhasilan mereka dalam penyebaran Islam adalah kemasan yang
atraktif dengan menekankan kesesuaian dengan Islam ketimbang perubahan
dalam kepercayaan dan praktik keagamaan lokal. Selebihnya, dengan memiliki
kharisma dan kekuatan magi, mereka dapat mengawini putri-putri bangsawan.
Adapun pengembaraan sufi ini berawal pada abad ke-13 dikarenakan sufi tidak
menjadi ciri cukup dominan dalam perkembangan Dunia Muslim sampai
jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol tahun 1258 M.531

D. Kedatangan Islam dalam Babad dan Serat

Selain beberapa teori di atas, bolehlah sekiranya mendiskusikan pula


beberapa hikayat yang sedikit menceritakan asal usul Islam. Di antara hikayat
tersebut adalah Babad dan Serat yang merupakan tulisan yang berbentuk prosa
maupun syair jawa menceritakan tentang pendeirian negara (kerajaan) dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut.532
Akan dipaparkan di sini adalah Serat Darmagandhul dari catatan induk
peninggalan KRT. Tandhanagara, Surakarta yang selesai di tulis pada hari
Respati (Kamis) Pahing Paningron, 1 Pasa 1847 tahun Dal, yang menepati 2
Ramadhan 1335 H atau 22 Juni 1917.533 Tembang Darmagandhul sejatinya
adalag tembang macapat yang berisikan tentang awal mula kenapa penduduk
Jawa meninggalkan agama Shiwa Buddha dan beralih memeluk agama Islam.
Dalam bait versi prosa di bawah, pemaparan tentang awal kerajaan Majapahit
bertemu dengan Islam;

“Ing Nagara Majalengka, kang jumeneng nata wekasan jejuluk Prabu


Brawijaya. Ing wektu iku, Sang Prabu lagi kalimput penggalihe. Sang Prabu
krama oleh Putri Cempa, ing mangka Putri Cempa mau agamane Islam.
Sajrone lagi sih-sinihan, Sang Retna tansah matur marang Nata bab Luhure
agama Islam. Saben mara, ora ana maneh kang diaturake kajaba mung

530
Schrieke, Indonesian Sociological Studies dalam Azyumardi Azra, Jaringan
Ulama, ..., hal. 14.
531
A.H. Johns, Sufism as a Category in Indonesian Literature and History dalam
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, ..., hal. 14-16.
532
W.L. Olthof, Babad Tanah Jawi, (Yogjakarta: Penerbit Narasi, 2009), ter. HR.
Sumarsono, hal. 3.
533
Damar Shashangka, Darmagandhul Kisah Kehancuran Jawa dan Ajaran-ajaran
Rahasia, (Tangerang Selatan: Kaurama Buana Antara, 2016), hal. 206.
200
mulyakake agama Islam, nganti njalari katariking panggalihe Sang Prabu
marang agama Islam mau.” (Pupuh 1 Darmagandhul lan Kiai Kalamwadi)

“Di Majalengka,534 yang bertakhta sebagai raja terakhir bergelar Prabu


Brawijaya. Kala itu, Sang Prabu tengah tergila-gila. Dia menikah dengan
Putri Cempa yang beragama Islam. Setiap memadu asmara, Sang Retna
senantiasa bercerita kepada Sang Raja tentang keluhuran agama Islam. Setiap
dipanggil menghadap, tiada lain yang dia ceritakan adalah kemuliaan agama
Islam, sehinnga hati Sang Prabu tertarik kepada agama itu.”

Dalam potongan bait di atas, dapat dilihat bahwa Islam datang menuju
kerajaan Majapahit, tepatnya pada masa raja terakhirnya yaitu Brawijaya, melalui
jalur pernikahan. Baru kemudian dari pasangan suami istri Putri Champa dan
Raja Brawijaya melahirkan Raden Patah yang akan menggantikan ayahandanya
dan memindahkan pusat kerajaan ke Demak. Cerita ini juga sebenarnya tidak
sesuai dengan teori yang diusung oleh N. Kern bahwa ada kesamaan antara
Islamisasi dan Hindusiasi yaitu dilakukan oleh para pedagang yang kemudian
mendapatkan kekuasaan politik setelah menjalin pernikahan dengan berbagai
macam penguasa.535
Dalam cerita babad, kedatangan Islam ditandai dengan munculnya para
wali. Yaitu Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang ada di Ampel Denta.

“Makdum Brahim Asmara yang ada di Negeri Cempa, berputra dua,


semuanya laki-lai. Putra tertua bernama Raden Rahmat dan yang muda
bernama Raden Santri. Raja Cempa juga sudah berputra seorang bernama
Raden Burereh. Raden Rahmat mohon pamit kepada pamannya prabu di
Cempa, mohon untuk ke Jawa dengan adiknya, akan menengok pamannya
Raja Majapahit. Sang Raja mengizinkan tetapi Raden Burereh supaya diajak.
Mereka beritga berangkat. Selamat sampai di Majapahit dan bertemu dengan
Prabu Brawijaya.”

“Ketiga putra itu tinggal di Majapahit selama satu tahun. Raden Rahmat
meperistri dengan putrinya Tumenggung Wila Tikta bernama Ki Gede
Manila. Adapun Tumenggung Wila Tikta tadi juga memiliki anak laki-laki
bernama Jaka Said. Raden Rahmat lalu bertempat tinggal di Ampel
Denta.Raden Burereh dengan Raden Santri juga memperistri putri Arya Teja,
petri pertama dengan Raden Santri, yang kedua dengan Raden Burereh.
Mereka bertempat tinggal di Gresik” 536

534
Nama asli kerajaan yang didirikan Nararya Sanggramawijaya pada 1214 Saka atau
1392 M di daerah Tarik, di tepian Sungai Brantas, yang terletak di sbelah timur Mojokerto,
sesuai Pararaton, Kidung Panji Wijayakrama, Kidung Harsa Wijaya, dan sumber-sumber
naskah serta piagam kuno yang sezaman dengan masa itu adalah Majapahit atau Wilwatikta.
Nama Majalengka, Maospait, atau Majalangu baru muncul dalam sastra Jawa Baru karena
adanya aturan penulisan dalam tembang Macapat yang disebut guru lagu. Penulis
Darmagandhul salah dalam hal ini.
Damar Shashangka, Darmagandhul, ..., hal. 17.
535
Cesar Adib Majul, “Theories on the Introduction and Expansion of Islam in
Malaysia”, SJ 11, no. 4, 1964, hal. 347.
536
W.L. Olthof, Babad Tanah Jawi, ..., hal. 25-26. (Bab Majapahit)
201
Demikianlah dijelaskan bahwa penyiar agama Islam di Jawa
khususnya Majapahit adalah keturunan kerajaan Champa yang sudah terlebih
dahulu memeluk agama Islam dengan bukti gelar Arab Makdum Brahim
(‫)مخدوم إبراهيم‬.

E. Penutup

Pada Intinya teori-teori di atas yang telah disebutkan mempunyai


argumen baik berupa benda arkeologi berupa batu nisan, persamaan
kebudayaan, jaringan perdagangan, dan bukti lainya merupakan perbedaan
yang tak terhindarkan serta memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri.
Dan dapat dikatakan bahwa bisa jadi Islam datang di Nusantara sekitar abad
ke 7-9 M, namun tersebar secara besar-besaran pada abad 13 M. Faktor
ekonomi perdagangan, kontestasi degan agama Kristen, serta pengembaraan
sufi dimungkinkan menjadi motif dari persebaran tersebut.

202
DAFTAR PUSTAKA

A. Hasjmi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Bandung: al-Ma’arif,


1989).
Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, Wacana Pergerakan Islam di Indonesia,
(Bandung: Mizan, 2002).
Al-Habib Alwi bin Thahir al-Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, (Jakarta:
Lentera Basritama, 1997), ter. S. Dhiya Shahab.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &
XVIII, (Depok: Prenamedia Group, 2018).
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1998).
Cesar Adib Majul, “Theories on the Introduction and Expansion of Islam in Malaysia”, SJ
11, no. 4, 1964.
D. G. E. Hall, “Looking at Shoutheast Asian History”, The Journal of Asian Studies 19, no.
3, 1960.
Damar Shashangka, Darmagandhul Kisah Kehancuran Jawa dan Ajaran-ajaran Rahasia,
(Tangerang Selatan: Kaurama Buana Antara, 2016).
Dhurorudin Mashad, Muslim Bali, Mencari Kembali Harmoni yang Hilang, (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2014).
Faizal Amin, “Kedatangan dan Penyebaran Islam di Asia Tenggara: Tela’ah Teoritik
Tentang Proses Islamisasi Nusantara”, Analisis: Jurnal Studi Keislaman 18, no. 2,
Desember 2018.
G. W. J. Drewes, “New Light on the Coming of Islam to Indonesia?”, Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde 124, no. 4, 1968.
G.E. Marrison, “The Coming of Islam to the East Indies”, JMBRAS 24, no. 1, 1951.
Mahmud Manan, Transformasi Budaya Unsur-unsur Hinduisme dan Islam Pada Akhir
Majapahit (Abad XV-XVI M), (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, 2010).
Michael Laffan, Sejarah Islam di Nusantara, (Yogjakarta: Bentang, 2015), ter. Indi
Aunullah.
Moh. Nurhakim, Jatuhnya Sebuah Tamadun, (Jakarta: Kementerian Agama Republik
Indonesia, 2012).
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban IslamIndonesia, (Jakarta: Rajagrafindo Persada,
2005).
Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2015).
R.O. Winstead, “The Advent of Muhammadnismin the Malay and Archipelago”, JMBRAS
77, 1917.
Ross E. Dunn, Petualangan Ibnu Battuta, (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2011), ter. Amir
Sutaarga.
S.M. Naguib al-‘Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, (Kuala Lumpur:
UKM, 1972).
203
Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung:
al-Ma’arif, 1984).
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah,2018).
Thomas W. Arnold, The Peacing of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith,
(Lahore : Sh, Muhammad Ashraf, 1975).
Thomas W. Arnold, The Spread of Islam in The World, (New Delhi: Goodwor, 2001).
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: Gramedia).
Vadime Elisefeef, The Silk Roads: Highways of Culture and Commerce, (Paris: Unesco,
1998).
W.L. Olthof, Babad Tanah Jawi, (Yogjakarta: Penerbit Narasi, 2009), ter. HR. Sumarsono.

204
205
HISTORIOGRAFI DAN PENDEKATAN SEJARAH ISLAM
NUSANTARA
Andi Ahmad Syauqi Nafis (21191200000007)

Abstrak
Peristiwa masa lampau memberikan kita sebuah pemahaman yang
baru dalam segala aspek. Sama halnya tentang kejadian serta hal yang
terjadi di Nusantara pada abad ke-7 dan ke-12 Masehi yang
meninggalkan bukti sejarah Islam. Sampai sekarang, hal ini masih
menjadi perdebatan tentang teori kedatangan Islam di Nusantara.
Sehingga para sejarawan menggunakan teori tersendiri dalam
menjelaskannya. Saat ini telah ada ilmu tentang penulisan sejarah atau
historiografi yang digunakan dalam hal memberikan bukti tentang
peristiwa masa lalu. Historiografi Islam dapat ditemukan melalui
beberapa sumber, baik itu berupa cerita, babad, tambo, hikayat dan
lain-lain. Adapun historiografi yang ada di Indonesia mempunyai
corak tersendiri baik itu sebelum datangnya Islam, masuknya Islam,
masa kolonialisme, serta masa kemerdekaan. Bukti-bukti yang
dipaparkan dapat juga dilihat dari pendekatan arkeologi yang
menjelaskan suatu benda berdasarkan umurnya. Oleh karena itu, pada
makalah ini akan memberikan gambaran tentang historiografi dan
pendekatan sejarah Islam Nusantara dari sebelum datangnya Islam di
Indonesia hingga saat ini.

Pendahuluan
Apakah kita sebagai ummat muslim pernah mambaca sejarah Islam khususnya
Islam di Indonesia? Sejarah yang terdapat pada peninggalan-peninggalan oleh
leluhur serta para wali yang ada di Indonesia. Sejarah merupakan refleksi kehidupan
pada kala itu, terdapat banyak pelajaran yang dapat dipetik serta apa-apa saja yang
terjadi pada masa itu yang menjadi dampak bagi kita sekarang baik itu berupa
dampak negative ataupun positive.
Sebagaimana perkembangan Islam di Indonesia sehingga kita ketahui
Indonesia sekarang ini menjadi negara terbesar yang menganut agama Islam, lebih
dari 250 juta jiwa dan sekitar 85% yang beragama Islam.537 Faktor georafis serta

537
Erni Haryanti and Firdaus Firdaus, ‘Contribution of Indonesian Democratic To
Islamic Education’, Jurnal, 1.2 (2014), hal. 166.
206
luasnya wilayah Nusantara menjadi salah satu penyebab susahnya menentukan
kapan masuknya Islam.538
Pencatatan sejarah ditujukan untuk mendapatkan kebenaran suatu kejadian
yang terjadi pada masa lampau.539 Penemuan sejarah menjadi hal yang penting bagi
setiap kalangan baik itu dari segi hal penyebaran,masuknya agama maupun sejarah
suatu negara dari masa ke masa. Nusantara contohnya memiliki sejarah panjang
tentang datang dan berkembangnya Islam.
Sebagaimana salah satu pendapat sejarawan bahwa pada abad ke-7 telah ada
Islam di Nusantara khususnya di Indonesia ataupun pada abad ke-13. Islam datang
di Nusantara melalui beberapa jalur, hal ini menyebabkan beberapa pandangan teori
yang berbeda dalam penyebaran dan kedatangan Islam di Nusantara yang berupa
siapa pembawa, kapan dan dimana pertama kali, hingga sampai saat ini menjadi
perdebatan polemik.540 Kedatangan Islam di Nusantara memberikan pengetahuan
baru baik dari segi hal kehidupan masyarakat, politik, sosial, dan tak luput juga dari
semua faktor tadi meninggalkan jejak sejarah yang menjadi wawasan ke ilmuan
untuk sekarang ini baik berupa tulisan naskah, artefak dan lain-lain.

Historiografi Islam Nusantara


Secara pemaknaan, istilah “Historiografi” berasal dari dua kata yaitu history
artinya sejarah sedangkang grafi adalah deskripsi atau penulisan. Kata History
merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani “istoria” yang artinya ilmu. Seiring
berkembangnya zaman, istilah lain yang berasal dari bahasa latin dalam makna yang
sama yaitu “scientia” sering diartikan dalam menjelaskan secara sistematis mengenai
gejala alam non-kronologis. Adapun “istoria” menjadi istilah yang digunakan dalam
menjelaskan gejala secara sistematis pada perbuatan manusia. Masa sekarang kata
“histori” diartikan (masa lampau umat manusia).541
Ajid Thohir mengartikan “historiografi” adalah pencatatan sejarah, tulisan
sejarah atau lebih jelasnya historiografi adalah dimensi keilmuan yang menceritakan
serta menggambarkan karya sejarah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
historiografi Islam adalah sebuah karya sejarah yang ditulis oleh ummat muslim dari
berbagai alirannya.542 Sejarah historiografi merupakan perkembangan ilmu

538
Lukmanul Hakim and Salman, ‘Format Historiografi Islam Nusantara’, Majalah
Ilmiah Tabuah, 23.1 (2019), 59–78.
539
Taufik Abdullah and Abdurrachman Surjomiharjo, Ilmu Sejarah Dan Historiografi
(Yogyakarta: Ombak, 2016), hal. xv.
540
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVIII (jakarta: Prenadamedia Group, 2013), hal. 2.
541
Badri Yatim, Perkembangan Historiografi Islam (Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Jakarta, 2009).
542
Ajid Thohir, ‘Historiografi Islam: Bio-Biografi Dan Perkembangan Mazhab Fikih
Dan Tasawuf’, MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu KeIslaman, 36.2 (2012), hal. 429.
207
pengetahuan dengan dasar ingin mengetahui agama Islam yang lebih dalam.543
Tujuannya yaitu ingin menunjukkan konsep pemikiran ataupun pendekatan ilmiah
yang mejelaskan tentang pertumbuhan dan perkembangan dalam menyajikan bahan-
bahan sejarah.544
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa bangsa Indonesia terhimpun dari
berbagai ras, budaya, adat istiadat. Sehingga dalam pembentukan sejarah berbagai
perbedaan itu tidak menjadi penyebab untuk bersatu.545 Indonesia memiliki banyak
sejarah baik sebelum datangnya Islam, penyebaran agama di Indonesia, datangnya
penjajah Belanda dan Jepang hingga saat ini paska kemerdekaan Indonesia. Semua
kejadian tentang sesuatu yang terjadi ataupun tentang suku-suku atau silsilah tercatat
itu dalam bentuk hikayat, tambo, babad, kidung, wawacan dan lain-lain.546. Sejarah
di Indonesia bertemakan tentang keraton atau silsilah keluarga raja. Sejarah ini
dikenal dengan istilah (historiografi traddisional). Pada masa ini orang yang menulis
sejarah disebut dengan para pujangga.547

1. Sejarah masuknya Islam di Nusantara


Sebagaimana kita ketahui ada beberapa perbedaan teori tentang kedatangan
Islam di Nusantara. Selain itu, terdapat pula masalah tentang tumbuh
berkembangnya Islam di Nusantara. Para sejarawan muslim berbeda pendapat
dengan teori para orientalis tentang kedatangan Islam. mulai dari pendapat yang
mengemukakan bahwa masuknya Islam di Nusantara terjadi pada abad ke-7 M.
Adapula yang berpendapat masuknya Islam pada abad ke-13 M. Dimana pendapat
ini dipertegas dari teori Gujarat, teori Arab,548 teori Persia, dan teori Cina.549 Adapun
penyebarannya melalui aspek pernikahan, pendidikan, tasawuf, kesenian, dan
politik.550

2. Corak awal Historiografi Islam Indonesia berupa Hikayat, Khabar,


Tambo, kisah, dan silsilah.551

543
Alfan Firmanto, ‘Historiografi Islam Cirebon ( Kajian Manuskrip Sejarah Islam
Cirebon )’, Lektur Keagamaan, 13.1 (2015), hal. 39.
544
Firmanto..., hal. 35.
545
Toguan Rambe, ‘Implementasi Pemikiran A. Mukti Ali Terhadap Problem
Hubungan Antar Umat Beragama Di Indonesia’, Journal Analytica Islamica, 6.2 (2017), hal.
111.
546
Sugeng Priyadi, Historiografi Indonesia (Yogyakarta: Ombak, 2015), hal. 1.
547
Firmanto..., hal. 37.
548
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &
XVIII. Hal. 2-8.
549
Abd. Ghofur, ‘Tela’ah Kritis Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Nusantara’,
Jurnal Ushuluddin, 17.2 (2011), hal. 162-163.
550
Rahmawati, ‘Islam Di Asia Tenggara’, Rihlah, II.1 (2014), hal. 112.
551
Wahyu Iryana, ‘Historiografi Islam Di Indonesia’, Al- Tsaqafah, 14.1 (2017), hal.
156-158.
208
Hikayat pengertian hikayat disini menjelaskan bentuk cerita yang
disampaikan dalam bentuk puisi atau disebut dengan sajak. Hikayat yang
menceritakan mengenai raja dan kerajaan yang berubah menjadi cerita penyebaran
agama serta tokoh agama ketika agama Islam telah masuk.
Khabar Istilah khabar merupakan jenis historiografi tertua yang
menceritakan perang dengan baik dalam bentuk kejadian atau cerita. Khabar
memiliki tiga ciri khas. Pertama tidak terdapat sebab akibat dalam penceritaannya.
Kedua, khabar menceritakan tantang perang baik sebelum datangnya Islam khabar
telah digunakan dan biasanya hanya ditulis dalam beberapa halaman saja.
Tambo merupakan cerita historis yang berkaitan dengan silsilah nenek
moyang. Tambo disampaikan dalam bentuk pepatah dan berisi syair-syair panjang
yang menceritakan tentang sistem pemerintahan, adat dan aturan kehidupan orang
Minangkabau.
Kisah Merupakan cerita yang mengkisahkan perjalanan seseorang atau
kejadian-kejadian yang dialaminya. Kisah bukanlah hanya sebatas cerita tetapi
mengandung unsur pembelajaran bagi generasinya.
Silsilah Ialah bentuk hitoriografi yang menngandung sejarah tentang silsilah
suatu nasab atau suatu identitas kelompok. Ini juga sering digunakan dalam mencari
silsilah tokoh dengan tokoh yang sebelumnya seperti Pahlawan, Ulama, Wali, dan
Nabi.
Menurut Hariyono dalam jurnal Historiografi Islam di Indonesia bahwa
pertumbuhan historiografi di Indonesia mengalami beberapa ciri khusus seperti
historiografi tradisional, historiografi kolonial, historiografi nasional, serta
historiografi modern.552 Historiografi tardisional tercangkup pada penulisan babad,
lontar, tambo, hikayat, dan silsilah-silsilah yang lainnya dan mitos merupakan unsur
yang mendominasi pada penulisan. Semua peristiwa yang dijelaskan berkisar hanya
pada lingkungan kerajaan saja contohnya hikayat Pasai.
Historiografi kolonial bermula pada abad ke-16 dimana dampak dari
kolonial merubah struktur penulisan sejarah yang awalnya menceritakan tentang
sejarah kerajaan kemudian berganti topik dalam bentuk penulisan sejarah akan
tindakan kolonial. Selanjutnya, unsur mitos mulai berkurang pada masa ini.e
contohnya saja tentang babad Giyanti yang menceritakan perebutan kekuasaan tanah
jawa.
Historiografi nasional penulisan sejarah pada masa ini bercorak nilai
patrinisme, dan heroisme. Fase ini muncul sebelum masa kemerdekaan dimana
timbul kesadaran ideologi tentang kemerdekaan yang memperlihatkan perlawanan
kepada kolonialisme Barat.
Historiografi Modern pada tahun 1957 di yogyakarta telah diselenggarakan
seminar nasional sejarah Indonesia. Disinilah kejadian ini disebut historiografi

552
Iryana...., hal. 150-155.
209
modern. Adapun corak penulisan pada fase ini berfokus pada peranan sejarah orang
Indonesia.
Kelanjutan dari fase ini pada tanggal 10-12 Desember 2007 Cisarua Bogor
telah dilaksanakan seminar Historiografi Islam Indonesia yang diselenggarakan oleh
Puslitbang RI dimana telah hadir para ahli disiplin ilmu terkait yaitu Badri Yatim,
Ahmad Mansur Surya Negara, Maidir Harun serta perwakilan oramas dan perguruan
tinggi Islam serta para peneliti. Pada acara ini ditegaskan bahwa Islam masuk ke
Nusantara sejak abad ke-7 yang dibawa oleh Mu’adz bin Jabal yang merupakan
salah satu sahabat nabi.553
Menurut Rosental bentuk historiografi Islam pada awal Nusantara berupa
karya sastra klasik yang isinya mencakup istilah-istilah tertentu yang menunjuk
kepada narasi tertentu misalnya hikayat, haba, kisah, tambo dan lainnya yang
berasal dari Arab.554 Penulisan ini juga berbeda dengan penulisan sejarah seperti
sekarang dimana pada awal penyebaran Islam kebanyakan mengandung unsur mitos
dan kekuatan-kekuatan gaib.555 Serta kebayakan Isi dari manuskirip adalah praktek-
praktek sihir atau mantra-mantra.556 Misalnya sebuah manuskrip tentang Sejarah
Melayu menjelaskan orang yang pertama yang mengIslamkan penguasa Malaka
(Sultan Muhammad Shah) adalah muslim keturunan Arab yang bernama Sayyid
‘Abdul ‘Aziz.557
Historiografi Islam di Indonesia dalam beberapa abad terkhir ini telah
mengalami perkembangan baik dalam hal kualitatif dan kuantitatif. Pekembangan
kualitatif dicirikan dengan penggunaan metodologi yang seiring perjalan waktu
menjadi kompleks dengan mengguanakan ilmu bantu seperti ilmu humaniora.
Adapun kuantitatif yaitu munculnya karya-karya yang ditulis oleh sejarawan
Indonesia ataupun sejarawan asing yang bersifat lokal maupun global.558

3. Karakteristik Historiografi Tradisional Islam di Nusantara


Historigrafi Islam di Nusantara terdapat beberapa karakteristik menurut
Salman & Lukmanul Hakim.559 Pertama terdapat hubungan tradisi historiografi di
Nusantara yaitu adanya konglomerasi kisah-kisah pra –Islam dari Hindu-Budha

553
Syamsuddin Arif, ‘Islam Di Nusantara: Historiografi Dan Metodologi’, Islamia,
VII.2 (2012), 25.
554
Lukmanul Hakim and Salman, ‘Format Historiografi Islam Nusantara’, Majalah
Ilmiah Tabuah, 23.1 (2019), hal. 61.
555
Hakim and Salman..., hal. 67
556
Adrian Vickers, ‘Hinduism and Islam in Indonesia : Bali and the Pasisir’, Cornell
University Press, 44 (1987), hal. 44.
557
Faizal Amin and Rifki Abror Ananda, ‘Kedatangan Dan Penyebaran Islam Di Asia
Tenggara: Telaah Teoritik Tentang Proses Islamisasi Nusantara’, Analisis, 91.
558
M. Yakub, ‘Perkembangan Islam Indonesia’, Kalam, 7.1 (2017), hal. 136.
559
Hakim and Salman... , hal. 66-67.
210
dengan ajaran Islam. Bukan hanya terinspirasi dengan kisah-kisah akan tetapi juga
tentang tradisi tulisan. Kedua, adanya genre tradisi historiografi dalam kreasi
internal Islam. Perlakuan ini mengubah atau mentransformasi karya sastra sejarah
Islam yang awalnya berasal dari bahasa Arab atau Persia menjadi bahasa melayu.
Ketiga, corak serta bentuk historiografi tradisional Islam di Indonesia
terpengaruhi oleh historiografi Arab dan Persia. Ini juga sependapat dengan teori
datangnya Islam di Nusantara seperti teori Gujarat dan Persia. Keempat, ciri pada
bagian ini bersifat little tradition yang corak historiografinya berkisar pada surau,
mesjid, pondok atau rumah ulama. Adapun penulisnya sering dikenal dengan
sebutan pujangga atau ulama. kelima, historiografi tradisional Islam tidak terlepas
oleh tradisi historiografi pra-Islam. Misalnya adanya unsur imaginatif antara sastra
dan mitos dalam Nusantara.

4. Pendekatan dalam penulisan sejarah Islam di Indonesia


Menurut Mukti Ali dalam tulisan M. Yakub ada beberapa pendekatan yang
dapat dipakai dalam penulisan sejarah Islam di Indonesia. Pertama pendekatan
dalam penulisan sejarah Islam merupakan bagian dari sejarah Islam di Indonesia
dimana pada pendekatan ini lebih menjelaskan peran pahlawan dalam bangun dan
runtuhnya kesultanan Islam di Nusantara. Selanjutnya, pendekatan penulisan sejarah
Islam di indonesia merupakan sejarah nasional Indonesia. Pendekatan ini
menekankan pada sejarah sebagai proses masyarakat yang terjadi karena adanya
elemen-elemen yang terdapat pada masyarakat.560

Pendekatan Arkeologi
Pengertian arkeologi adalah ilmu yang mempelajari budaya masa lalu melalui
peninggalan materi.561 Dalam sejarah Islam di nusantara ini tidak lepas dari barang-
barang peninggalan yang bercorak khusus Islam sehingga dalam mencari kebenaran
dan kebudayaan yang ada.
Masuk serta tumbuh berkembangnya Islam di Nusantara tidak lepas dari
beberapa faktor dan teori, mereka mengungkapkan pendapat mereka beserta
buktinya. Bukti-bukti tersebut diungkapkan melalui peninggalan sejarah seperti
halnya artefak-artefak yang mengandung unsur Islam. Salah satu contoh yang di
kemukakan oleh Bambang Budi Utomo bahwa telah ditemukan artefak-artefak dari
kapal yang tenggelam di perairan laut Jawa bagian utara Cirebon yang ditemukan
pada tahun 2004.562
1.

560
M. Yakub, ‘Historiografi Islam Indonesia: Perspektif Sejarawan Informal’,
MIQOT:, 37.1 (2013), hal. 172.
561
Muhammad Al Mujabuddawat, ‘Babak Baru Jurnal Ilmiah Arkeologi Di
Indonesia’, Kapata Arkeologi, 13.1 (2017), hal. 56.
562
Bambang Budi Utomo, ‘Islam Di Nusantara Pada Abad Ke-10 Masehi
Sebagaimana Tercermin Dalam Tinggalan Budaya’, Suhuf, 3.1 (2010), hal. 87.
211
Beberapa benda atribut orang-orang dari Timur Tengah yang
ditemukan di antara runtuhan kapal yang tenggelam, seperti hulu pedang dari
emas, tasbih dengan tulisan Allah, dan hulu pisau dari Kristal. (Dok. Imam,
DKP).563

Cetakan logam bertuliskan tiga kata dari Asma’ul Husna (al-Mulk


lillāh; al- Wāhid; al-Qahhār) pada dua bidang empat persegi panjang yang
berukuran 1,4 x 1,6 cm. (Dok. Bambang Budi Utomo dan Horst Liebner)

Artefak di atas semacam logam mulia yang bertuliskan Asma’ul Husna


kalimat-kalimat yang terbingkai dengan hiasan titik-titik. Penemuan ini diperkirakan
berasal dari pelabuhan kufah atau basrah yang diketahui sekarang merupakan
wilayah bagian Irak. Perkiraan kapal yang tenggelam bersama kargonya ini berasal
dari abad ke-10 Masehi dalam perjalanannya ke arah timur yang diperkirakan
menuju ke Kembang Putih, Tuban. Akan tetapi mengalami musibah dan tenggelam
di perairan Cirebon.564 Sehingga pada pengertian ini dapat pula diperkirakan bahwa
Islam telah di Nusantara pada abad ke-10. Penyebaran agama Islam dapat dilihat
dari jalur perdagangan yang menggunakan benda-benda tertentu seperti artefak yang
berbentuk hhulu pedang dari emas atau pisau dari kristal di atas. Maka dapat
disimpulkan juga bahwa para pedagang ingin menjual barang-barang tersebut di
wilayah Nusantara.
Peninggalan Artefak dari abad ke 13 Masehi juga memberikan gambaran
bahwa Islam telah ada di Nusantara yang berasal dari Persia. Dapat dilihat pada
kesultanan Samudera Pasai dengan Sultannya bernama Sultan Malik As-Shaleh

563
Utomo...., hal. 91.
564
Utomo...., hal. 95.
212
(w.1297) yang menjadi salah satu penyebar Islam di Nusantara.565 Terdapat corak
keIslaman pada kesultanan ini ditandai dengan batu nisan yang menggunakan
Aksara sulus yang bercirikan segitiga pada bagian ujung. Bukan hanya itu artefak
lain ditemukan di batu nisan Na’ina Husam ad-Din yang dimana terdapat kutipan
Syair dari Persia yaitu Syaikh Muslih al-Din Sa’di (1193-1292 M.) ini menjadi satu-
satunya artefak yang menggunakan syair dalam bahasa Persia serta mempunyai juga
kutipan Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 256 (Ayat Kursi).

Batu nisan makam Malik as-Saleh (kiri) dan batu nisan makam
Na’ina Husam ad-Din (kanan).566

Bukan hanya ini peninggalan Islam yang berupa batu nisan yang terdapat
pada abad ke 13 yang berasal dari kesultanan Pasai tetapi juga ada batu nisan
makam Mawlana Malik Ibrahim (w.822/1419) di Gresik.567 Batu nisan Siti Fatimah
(475/1082).568 Ini pada abad ke 11 dan 15 Masehi.
Adapun peninggalan sejarah yang berbentuk bangunan terdapat pada abad ke-
14 dan ke-15 Masehi di Kudus.

565
Rahmawati..., hal. 105.
566
Utomo...., hal. 97.
567
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &
XVIII..., hal. 3.
568
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII &
XVIII...., hal. 4.
213
Bangunan menara Masjid Kudus mirip dengan bangunan candi abad ke-14-15 Masehi

Bangunan diatas berbentuk menara mesjid dengan bangunan mirip candi.


Peninggalan ini merupakan suatu hasil karya dari penyebaran Islam di Nusantara
yang digunakan oleh para Wali Sanga. Mereka menyebarkan Islam di Nusantara
yang awal mulanya para masyarakat kala itu masih mempunyai kepercayaan dengan
hal-hal yang gaib. Para wali ini dipercayai mempunyai ilmu batin yang lebih
sehingga mereka berhasil menyebar luaskan agama Islam di tanah Jawa. Para
intelektual muslim pasca-kolonial menganggap Islam bukan hanya tentang doktrin
agama ataupun ideologi politik akan tetapi sebagai warisan peradaban (al-turath al-
Islamiyah) pada kerangka yang lebih luas.569
Sekitar tahun 1400 Masehi terjadi apa yang dinamakan “Revolusi
Keagamaan” dimana terjadi peningkatan perdagangan di Asia Tenggara dan lebih
dari seperdua penduduk ini melakukan konversi keagamaan yang menyangkut
agama Islam dan kristen. Konversi keagamaan ini mengalami puncaknya pada abad
1570-1630.570 Ada beberapa hal yang membuat penduduk Asia Tenggara memilih
untuk memeluk agama Islam maupun agama lain antara lain yaitu571:
1. Portabilitas “siap pakai” masyarakat pada masa ini menyembah kepada ruh-
ruh nenek moyang yang berada di desa mereka. Sehingga ketika mereka berpergian
jauh dari daerahnya maka mereka memerlukan kebaikan pada arwah yang lain yang

569
Azyumardi Azra, ‘Intelektual Muslim Baru Dan Kajian Islam’, Studia Islamika,
19.1 (2012), hal. 199 .
570
Azyumardi Azra, ‘Islam Di “Negeri Bawah Angin” Dalam Masa Perdagangan’,
Studia Islamika, 3.2 (1996), hal. 205.
571
Azra, ‘Islam Di “Negeri Bawah Angin” Dalam Masa Perdagangan’, hal. 209-211.
214
merupakan lawan mereka. Kerena itu ketika mereka melakukan perdagangan yang
jauh atau melakukan perang mereka membutuhkan agama yang universal. Agama
Islam dan kristen merupakan agama yang universal. Ketika terjadi puncak
perdagangan pada abad ke-15 Masehi, disinilah terjadi perekrutan besar-besaran ke
ekonomi intenasional. Oleh karena inilah pemeluk agama Islam di Asia Tenggara
mengalami konversi. Dapat pila dikemukakan bahwa orang yang yang memeluk dan
menyebarkan agama Islam adalah komunitas dagang yang terdapat disekitar
pelabuhan Asia Tenggara.
2. Asosiasi dengan kekayaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat
yang berada di Asia tenggara (Nusantara) bertemu pertama kali dengan para
pedagan ataupun para petarung yang beragama Islam dan kristen pada masa
perdagangan sangat penting. Masyarakat juga beranggapan bahwa para pemeluk
agama Islam dan kristen itu kaya serta perkasa sehingga masyarakat berfikir bahwa
pemeluk kedua agama ini mempunyai cara atau rahasia dalam menundukkan Arwah.
Oleh karena itu kekayaan serta penampilan sangat mendukung dalam penyebaran
agama di nusantara. Lebih jauh, bahwa masyarakat pada masa lalu sangat percaya
dengan hal yang mistik.
3. Kejayaan Militer, popularitas orang-orang muslim dan kristiani tentang
kecakapan perang ataupun persenjataan yang datang dari muslim India telah diakui
oleh masyarakat Asia Tenggara. Pada masa ini Islam dianggap sangat lihai dan
tangguh dalam berperang. Sebagaimana yang telah tercatat dalam literatur jawa pada
abad ke-16 salah satu faktor runtuhnya kerajaan Majapahit dikarenakan orang-orang
muslim yang tidak bisa dikalahkan dengan menggunakan ilmu magis. Oleh sebab ini
pula masyarakat percaya akan keperkasaan dan ketangguhan kaum muslimin.
4. Tulisan, awal masuknya Islam dan kristen di Asia Tenggara juga menjadi
sebuah pembelajaran baru tentang budaya tulisan, walaupun sebagian daerah telah
mengenal yang namanya tulisan Sanskrit. Tulisan Arab dari orang Muslim dan
tulisan latin dari kristiani diperkenalkan sebagai bahasa yang digunakan dalam kitab
suci dimana para penduduk lokal tidak mengetahui tentang tulisan tersebut, hal ini
menjelaskan serta memperkuat adanya sakralitas yang tinggi pada kepercayaan ini.
5. Penghapalan, penyebaran agama Islam dan kristen tidak lepas dari
pengajaran teks-teks yang menyangkut tentang akidah pokok. Pemeluk agama baru
ini menggunakan teks sebagai acuan pembelajarannya bukan hanya itu para muslim
kala itu juga memberikan penekanan dalam penghapalan guna kepentingan
menjalankan ibadah-ibadah (sholat).
6. Penyembuhan, faktor ini menjadi salah satu penyebaran Islam Nusantara.
Kepercayaan akan penyakit dan kesehatan bergantung oleh kekuatan spiritual, ini
dipercayai oleh masyarakat di Asia Tenggara pada masa itu. Salah satu contoh akan
keberhasilan Islam dalam penyebarannya di Patani yaitu dimana seorang muslim
berasal dari Pasai menyembuhkan Raja Patani dan kemudian menjadi Muallaf. Islam
memberikan pengertian bahwa penyakit dapat juga berasal dari setan dan jin dan

215
juga memmberikan pengetahuan tentang tata cara menyembuhkan penyakit,
menangkal arwah jahat yang berasal dari jin.
7. Dunia Moral yang dapat diprediksi, pengajaran tentang bagi orang yang
baik akan mendapatkan ganjaran yang baik dan akan mendapatkan syurga. Dunia
moral dikonsepkan sebagai ganjaran dan hukuman yang pada akhirnya mendapatkan
kenikmatan syurga.
Semua unsur di atas menjadi faktor utama dalam penyebaran dan diterimanya
atau lebih dikenal dengan istilah “konversi Islam” menurut Reid. Kepercayaan serta
adat budaya menjadi pendukung meluasnya pemahaman Islam. Penyakit yang
berasal dari arwah yang bahaya diluruskan oleh pengajaran Islam.

216
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, and Abdurrachman Surjomiharjo, Ilmu Sejarah Dan
Historiografi (Yogyakarta: Ombak, 2016)
Amin, Faizal, and Rifki Abror Ananda, ‘Kedatangan Dan Penyebaran
Islam Di Asia Tenggara: Telaah Teoritik Tentang Proses Islamisasi Nusantara’,
Analisis, 18.2 (2018), 67–100 <https://doi.org/10.24042/ajsk.v18i2.3069>
Arif, Syamsuddin, ‘Islam Di Nusantara: Historiografi Dan Metodologi’,
Islamia, VII.2 (2012), 12–25
Azra, Azyumardi, ‘Intelektual Muslim Baru Dan Kajian Islam’, Studia
Islamika, 19.1 (2012), 191–202 <https://doi.org/10.15408/sdi.v19i1.373>
———, ‘Islam Di “Negeri Bawah Angin” Dalam Masa Perdagangan’,
Studia Islamika, 3.2 (1996), 191–221
———, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVIII (jakarta: Prenadamedia Group, 2013)
Firmanto, Alfan, ‘Historiografi Islam Cirebon ( Kajian Manuskrip
Sejarah Islam Cirebon )’, Lektur Keagamaan, 13.1 (2015), 31–58
Ghofur, Abd., ‘Tela’ah Kritis Masuk Dan Berkembangnya Islam Di
Nusantara’, Jurnal Ushuluddin, 17.2 (2011), 159–69
<https://doi.org/10.24014/JUSH.V17I2.689>
Hakim, Lukmanul, and Salman, ‘Format Historiografi Islam Nusantara’,
Majalah Ilmiah Tabuah, 23.1 (2019), 59–78
Haryanti, Erni, and Firdaus Firdaus, ‘Contribution of Indonesian
Democratic To Islamic Education’, Jurnal, 1.2 (2014), 165–82
<https://doi.org/10.15575/jpi.v1i2.670>
Iryana, Wahyu, ‘Historiografi Islam Di Indonesia’, Al- Tsaqafah, 14.1
(2017), 147–68
Mujabuddawat, Muhammad Al, ‘Babak Baru Jurnal Ilmiah Arkeologi Di
Indonesia’, Kapata Arkeologi, 13.1 (2017), 55–72
<https://doi.org/10.24832/kapata.v13i1.391>
Priyadi, Sugeng, Historiografi Indonesia (Yogyakarta: Ombak, 2015)
Rahmawati, ‘Islam Di Asia Tenggara’, Rihlah, II.1 (2014), 104–13
Rambe, Toguan, ‘Implementasi Pemikiran A. Mukti Ali Terhadap
Problem Hubungan Antar Umat Beragama Di Indonesia’, Journal Analytica
Islamica, 6.2 (2017), 104–16
<http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/analytica/article/view/1275>
Thohir, Ajid, ‘Historiografi Islam: Bio-Biografi Dan Perkembangan
Mazhab Fikih Dan Tasawuf’, MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu KeIslaman, 36.2
(2012), 427–51 <https://doi.org/10.30821/miqot.v36i2.126>
Utomo, Bambang Budi, ‘Islam Di Nusantara Pada Abad Ke-10 Masehi
Sebagaimana Tercermin Dalam Tinggalan Budaya’, Suhuf, 3.1 (2010), 85–105
Vickers, Adrian, ‘Hinduism and Islam in Indonesia : Bali and the
Pasisir’, Cornell University Press, 44 (1987), 30–58
Yakub, M., ‘Historiografi Islam Indonesia: Perspektif Sejarawan
Informal’, MIQOT:, 37.1 (2013), 159–77
<https://doi.org/10.30821/miqot.v37i1.94>
———, ‘Perkembangan Islam Indonesia’, Kalam, 7.1 (2017), 135
<https://doi.org/10.24042/klm.v7i1.446>
217
Yatim, Badri, Perkembangan Historiografi Islam (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta, 2009)

218
219
ISLAM INDONEISA: DISKURSUS ISLAM KULTURAL DAN ISLAM
POLITIK
Muhammad Firdaus (21191200000027)

Abstrak
Kajian ini membahas tentang dua wajah Islam tentang hubungannya
dengan negara, yaitu Islam kultural dan Islam politik. Islam kultual
meyakini bahwa untuk menyebarkan nilai-nilai Islam tidak harus
dengan jalur kekuasan, namun bisa juga dengan memperhatikan akar
rumput, dengan berdakwah kepada masyarakat, mendirikan lembaga
pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Sedangkan Islam kultural lebih
berorientasi pada kekuasaan, mereka meyakini bahwa dengan
kekuasaan itu bisa dengan mudah untuk menerapkan ajaran Islam,
bahkan ada yang ingin mengubah bentuk dari negara tersebut menjadi
negara Islam. Islam politik ada yang berpartisipasi dalam partai, dan
ada juga yang non-partai. Biasanya jika yang non-partai itu lebih
cenderung radikal. Keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan,
yang jelas Islam kultural itu lebih humanis dan berkesan pada
masyarakat.

Kata sandi: Islam, politik, kultural, radikal

A. Pendahuluan

Sejatinya persinggungan antara Islam dan Negara itu sudah bermula sejak
abad ke-13 dan awal abad ke-14, ketika Islam mulai disebarkan di kepulauan ini.
Dalam sejarahnya, Islam sambil mengadakan dialog dengan sosio-kultural juga
bersinggungan dengan politik. Pada kenyataannya, untuk tidak ingin
memaksakannya—Islam justru sebenarnya sudah menjadi bagian integral dari
sejarah politik negeri ini, meskipun secara inheren tidak serta merta mengatakan
bahwa Islam adalah agama politik seperti yang telah dikatakan oleh beberapa
pengamat.
Namun, yang patut disayangkan adalah diskursus teoretis mengenai
perkembangan keduanya baru muncul setelah empat dekade akhir-akhir ini saja.
Perkembangan yang terlambat ini menunjukkan bahwa upaya-upaya yang dilakukan
dalam menteoretisasi tidak semaju dan seberagam dengan wilayah Islam lainnya,
misalnya Timur Tengah. Pada kenyataanya, untuk memahami Islam politik yang
terjadi di Indonesia adalah dengan mengetahui kekalahan-kekalahan politik Islam
secara formal, di mana hal itu bisa dilihat secara empirik bagaimana bertemunya
Islam dan politik secara langsung di kepulauan ini.
Terlepas dari kenyataan itu, dari awal dimulainya yang belum lama itu (4
dekade terakhir), dapat dikemukakan bahwa berdasarkan empat dekade itu
setidaknya terdapat lima pendekatan teoretis dominan yang masih diyakini masih
220
berpengarun hingga saat ini: (1) dekonfessionalisasi Islam, (2) domestikasi Islam,
(3) skismatik dan aliran, (4) trikotomi, dan (5) Islam Kultural.572 Melihat ada lima
pendekatan yang dikemukakan, namun dalam hal ini penulis akan lebih
memfokuskan untuk membahas tentang pendekatan yang terakhir, yaitu pendekatan
Islam kultural.
B. Pembahasan
1. Definisi Islam Kultural dan Islam Politik

Setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir ini, Indonesia mengalami penguatan


sejalan dengan gelombang islamisasi. Penguatan identitas keislaman tersebut bisa
dibuktikan dengan semakin maraknya penisbatan kata Islam atau Muslim ke banyak
hal yang bersifat profan. Seperti istilah masyarakat Islam, baju Muslim, Sekolah
Islam, pengobatan Islami, buku Islam, dan ekonomi Islam menjadi dikenal lebih
luas. Seiring dengan proses islamisasi, semakin banyak kalangan menggunakan
istilah “ke-Islam-an” atau ketika diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi
“Islamic” (bersifat Islam) untuk menunjukkan penisbatan Islam pada sesuatu.
Pertanyaan selanjutnya adalah siapakah yang disebut Muslim. Apakah mereka
yang dilahirkan oleh kedua orangnya yang muslim, atau mereka yang sudah
bersyahadat atau yang sudah menjalankan rukun Islam yang lima. Para sosiolog dan
antropolog bersepakat mendefinisikan bahwa muslim adalah mereka yang mengakui
dirinya beragama Islam. Ini adalah basis yang digunakan teolog dan ahli fiqh. Oleh
karenanya pada perkembangannya para sarjana mengkategorikan Muslim menjadi
dua kelompok; Muslim yang taat atau shaleh (kaum putihan atau santri) dan yang
tidak taat atau nominal (disebut kaum merah atau abangan).573
Istilah Islam politik dan Islam kultural sudah menjadi istilah yang populer
dalam dunia Islam, khususnya Indonesia. Keduanya memang seringkali dilawankan
antara satu dengan yang lainnya. Azyumardi Azra mendefinisikan kedua istilah itu;
yang dinamakan Islam politik adalah sebuah gerakan yang lebih berorientasi pada
kekuasaan atau politik, tujuannya adalah untuk meraih kekuasaan, sedangkan dong
Islam kultural adalah sebuah gerakan yang lebih berorientasi pada masyarakat akar
rumput, tidak fokus pada kekuasaan, berdakwah langsung, menerapkan nilai-nilai
keislaman lewat pesantren, lembaga pendidikan, sektor ekonomi dan sebagainya.574
Perlu kiranya dipahami, istilah Islam kultural juga menyentuh tataran hukum
Islam, artinya masuk dalam konteks hukum Islam, meskipun hal itu tidak jauh
berbeda secara esensinya. Istilah Islam kultural menggambarkan pola pemahaman
dan penerapan ajaran Islam yang secara umum berbeda dari Islam Literal.
Sebenarnya kedua tipe pemikiran itu sama saja, yaitu sumbernya dari al-Qur’an dan
hadis, hanya saja perbedaannya terletak pada pola apresiasi dan penerapannya dalam
kehidupan sosial. Dengan istilah, argumentasi dan lingkup penerapan yang berbeda-

572
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), h 21-23.
573
Tim Penyusun, Islam di Ruang Publik: Politik Identitas dan Masa Depan
Demokrasi di Indonesia, Noorhaidi Hasan dan Irfan Abubakar(ed), (Jakarta: Center for the
Study of Religion and Culture (CSRC), 2011), h. 5.
574
Azyumardi Azra, “Revisitasi Islam Politik dan Islam Kultural di Indonesia” dalam
Indo-Islamika, Vol. 1, No. 2, 2012, h. 233-234.
221
beda, “rumpun” Islam kultural memiliki ciri umum yang sama, yakni ketersediaan
untuk memperhatikan konteks sosio-historis dan akomodasi unsur kearifan kultural
tertentu yang berkembang sesudah periode pewahyuan.575
Istilah Islam kultural tersebut juga bukanlah termasuk nama suatu aliran,
mazhab atau kelompok komunitas tertentu, melainkan lebih menggambarkan
karakter dan pola pemahaman yang sesungguhnya juga telah dikembangkan oleh
banyak ahli hukum. Berbeda dengan pemahaman Islam secara literal yang
membatasi makna harfiahnya, Islam kultural justru melihat teks syari’at berdasarkan
arah pesan dan tujuan moralnya yang lebih fundamental sehingga lingkup makna
yang dipahami melampaui batas makna harfiahnya.576
Kaitannya dalam konteks dakwah, muncul juga istilah dakwah kultural dan
dakwah struktural. Keduanya seringkali berbenturan antara satu dengan yang
lainnya, memang seringkali diadukan. Dakwah kultural sangat dekat dengan Islam
kultural di mana lebih menyerang kaum bawah, mereka cenderung menanyakan
kembali bahwa yang dinamakan dakwah itu tidak harus masuk dalam pemerintahan
atau berpatisipasi dalam politik. Ada hal yang lebih mulia yaitu mengurusi langsung
masyarakat dan mendengarkan langsung keluhannya. Mereka mempertanyakan
bahwa dakwah yang tidak masuk pada wilayat kekuasaan atau politik tidak
dikategorikan sebagai Islam yang kaffah.
Sedangkan dakwah struktural adalah keseriusan berdakwah itu dapat diakui
jika hal itu masuk pada pemerintahan, karena hal itu tentu akan lebih memudahkan
dalam menerapkan syariat Islam pada sebuah negara. Ia berupaya menjadikan Islam
sebagai basis ideologi dengan memanfaatkan struktur sosial, politik dan ekonomi.
Jadi dari awal dakwah struktural ini ingin menjadikan sebuah negara menjadi negara
Islam.577 Dalam hal ini beberapa penulis buku menggunakan beberapa istilah
yang beragam, seperti Islam Aktual, Islam Modern, Islam Rasional, dan
sebagainya.578
2. Perbincangan Lebih Jauh Mengenai Islam Kultural dan Islam Politik
a. Kemunculan Islam Kultural dan Islam Politik
Terkait dengan kemunculan dan perkembangan kedua istilah ini, saya
simpulkan ada dua periode: Pertama, Istilah Islam politik berkembang ketika
Snouck Hurgronje menjadi penasihat pemerintah di Hindia Belanda, khususnya pada
perempatan terakhir abad ke-19. Ia membagi Islam Politik dan Islam ibadah atau
Islam ritual. Bagi pemerintah Belanda, keberadaan Islam politik harus dibatasi
karena dapat mengancam kekuasaan Belanda. Tujuan dari Islam semacam ini juga
untuk mengakhiri penjajahan Belanda dan menggantinya dengan politik pan-Islam
semacam kekhilafahan. Sedangkan Islam ibadah atau Islam ritual—yang nantinya

575
Miftahul Huda, “Manhaj Fikih Islam Kultural (Eksplorasi, Kritik, dan Rekonstrusi)
dalam al-Manāhij, Vol. 6, No. 1, 2012, h. 15-16.
576
Miftahul Huda, “Manhaj Fikih Islam Kultural (Eksplorasi, Kritik, dan
Rekonstrusi), h. 25.
577
Sakareeya Bungo, “Pendekatan Dakwah Kultural dalam Masyarakat Plural” dalam
Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 15, No. 2, 2014, h. 210-211.
578
Miftahul Huda, “Manhaj Fikih Islam Kultural (Eksplorasi, Kritik, dan
Rekonstrusi), h. 25.
222
berkembang menjadi istilah Islam kultural sangat berbeda dengan Islam politik.
Justru Snouck menyarankan agar pemerintah lebih mengakomodir Islam semacam
ini, atau membiarkan berkembang dengan sendirinya.579
Kedua, kemunculan ini ketika umat Islam sedang dalam posisi yang dilematis.
Ketika itu pada masa Orde Baru dimana umat Islam dibenturkan dengan modernisasi
yang dibawa oleh pemerintah. Pilihannya adalah mendukung dalam artian ikut
berpartisipasi dengan mereka yang jelas-jelas preferensi ideologis Barat, atau
menolak dengan kosekwensi kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi secara
aktif dalam progam pembangunan yang bahkan mendapat dukungan dari pihak luar
Islam. Akibat dari modernisasi tersebut, respon kaum muslim dalam menanggapi hal
ini terbagi menjadi tiga: (1) tipologi apologi yang kemudian diikuti dengan usaha
penyesuaian diri dan adaptasi terhadap proses modernisasi, (2) juga melakukan
apologi terhadap ajaran Islam, tapi menolak modernisasi karena dinilai sebagai
westernisasi dan sekularisasi. Tipologi tersebut melakukan resistensi secara formal,
dalam praktik pemikirannya sangat kaku (rigid) dan cenderung tunggal, dan (3)
adalah mengambil pola tanggapan yang kreatif dengan menempuh jalan dialogis
dengan mengutamakan pendekatan intelektual.
Tipologi yang paling berpengaruh adalah tipologi yang ketiga di mana
melakukan pembaruan pemikiran Islam kontemporer yang dibawa oleh para
cendikiawan seperti Nurcholis Madjid, yang nantinya akan menjadi Islam kultural.
Gagasan ini mengkritisi Orde Baru, bahwa apa yang telah dilakukan oleh rezim itu
telah membuat umat Islam menjadi terpinggirkan, dituduh anti modernisasi,
menghambat modernisasi, selalu bersikap tradisionalis, bahkan dituduh anti
pancasila.580 Kemudian selanjutnya adalah Abdurrahman Wahid dengan konsep
“Pribumisasi Islam”-nya, dalam pandangannya Islam sebagai faktor komplementer
kehidupan sosial, politik dan budaya Indonesia. Kita melihat bahwa di Indonesia
merupakan bangsa yang heterogen sehingga jika tetap memaksakan Islam sebagai
pemberi warna tunggal justru hanya akan menyebabkan pecah belah. Ini bukan
berarti serta merta umat Islam meninggalkan ajarannya, mereka berhak
melakukannya apapun sebagaimana kelompok agama lainnya. Ia mengajak untuk
tetap mempertahankan kondisi tradisi yang sudah mengakar dengan
diharmonisasikan dengan ajaran Islam, sehingga budaya lokal tersebut tidak hilang
tergantikan oleh yang lain.581
b. Ciri-ciri Islam Kultural
Dalam perkembangannya identitas kontekstual-kultural dalam pengamalan
dan pengajaran dapat dibedakan dalam tiga ranah: Pertama, metode berpikir
(manhaj al-fikr) termasuk dalam pemahaman fikih, dalam memahami teks-teks

579
Azyumardi Azra, “Revisitasi Islam Politik dan Islam Kultural di Indonesia”, h.
234.
580
Dawam Raharjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, 1993), h. 381-382. Lihat juga Syafi’i Anwar,
Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 6.
581
Tim Penyusun, Islam di Ruang Publik: Politik Identitas dan Masa Depan
Demokrasi di Indonesia, Noorhaidi Hasan dan Irfan Abubakar(ed), h. 9.
223
keagamaan tidak boleh hanya sebatas pada makna harfiah saja, tapi harus melewati
itu yaitu menyelami lebih dalam lagi tujuan sosiomoral yang lebih substansial.
Kedua, dalam memperjuangkan ajaran dan nilai keislamannya Islam kultural
tidak melalui pendekatan ideologis-politis dengan langkah-langkah perubahan yang
radikal dan revolusioner, tetapi lebih memilih strategi yang moderat, bertahap dan
akomodatif terhadap elemen kultur dan modal sosial yang ada. Target utama yang
hendak diraih adalah bukan pada aspek lahiriyah, formalitas dan simbol-simbol
kebanggaan primordial, melainkan lebih pada tujuan yang bersifat substansial.
Ketiga, simbol-simbol sosiologis yang terjadi di masyarakat seperti mode
pakaian, makanan, bahasa sehari-hari dan sebagainya. Dalam hal ini jika memakai
sarung batik tradisi lokal itu bukan berarti lebih rendah dengan jubah dan sorban,
begitu juga yang terjadi pada bahasa lokal daerah untuk percakapan sehari-hari tentu
hal ini bukan berarti lebih rendah dengan bahasa Arab seperti Akhi, Ukhti dan lain
sebagainya. Karena mereka menyakini bahwa kesalehan itu tidak dapat dinilai hanya
dengan tampilam lahiriyah dan simbol-simbol primordial seperti itu, melainkan hal-
hal yang lebih substantif, seperti istiqomah, kejujuran, kekhusukan ibadah, empati,
sikap hormat kepada orang lain, sopan santun, pengorbanan untuk sesama,
keberanian memperjuangkan nama kebenaran dan nilai-nilai moral lainnya.
3. Dua Model Islam Politik
Menurut Azyumardi Azra, kaitannya dengan konteks Islam politik di
Indonesia, ada dua model:
Pertama, Islam politik yang mereka ikut berpartisipasi dalam partai secara
langsung, terlibat aktif dalam politik praktis, dengan tujuan untuk menerapkan
syariat Islam dan membuat negara Islam. Di Indonesia sendiri, partai-partai Islam
sudah mulai bermunculan sejak tahun 1950-an, seperti Masyumi, Nahdlatul Ulama,
dan beberapa partai Islam yang tidak terlalu menonjol. Akan tetapi pada era
Soeharto ada partai yang berdiri yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), setelah
pasca Orde Baru keran partisipasi partai dibuka kembali dan memunculkan Partai
Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan lain sebagainya.
Kedua, Islam politik model kedua adalah mereka yang juga hampir mirip
memiliki agenda dengan kelompok yang pertama, hanya saja mereka tidak
menggunakan partai karena tidak percaya dengan sistem seperti itu, mereka juga
tidak mengakui Islam kultural yang sudah menjadi hal yang dominan di Indonesia.
Hal ini dikarenakan mereka mempercayai bahwa partai Islam pasti akan cenderung
moderat sehingga dimungkinkan akan berkerjasama dengan sistem politik yang
menurut mereka tidak Islami.582
Geneologi dari partai Islam bisa dilihat setelah dikeluarkannya Maklumat
Wakil Presiden No.X tahun 1945 yang memperbolehkan berdirinya partai-partai
politik, maka umat Islam merespon Maklumat tersebut dengan mendirikan partai
Masyumi. Berdirinya Masyumi ini dimaksudkan sebagai satu-satunya partai politik
yang akan memperjuangkan dan mendengarkan aspirasi dan nasib umat Islam
Indonesia. Partai politik ini didukung dua Ormas terbesar di Indonesia; Nahdlatul

582
Azyumardi Azra, “Revisitasi Islam Politik dan Islam Kultural di Indonesia”, h.
234-235..
224
Ulama dan Muhammadiyah. Namun keterikatan itu tidaklah berjalan lama, para
pendukung partai Masyumi satu persatu mulai keluar. Dimulai dari PSII tahun 1947,
menyusul kemudian NU tahun 1952. Deliar Noer menyatakan bahwa alasan
keluarnya NU dari Masyumi adalah karena perebutan kursi Menteri Agama, yang
seharusnya diberikan kepada NU, tapi malah Muhammadiyah yang
mendapatkannya. Akibatnya pada pemilu 1955 yang merupakan pemilu pertama
semenjak Indonesia merdeka justru kekuatan politik Islam menjadi terpecah, bukan
hanya Masyumi, NU, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), Perti (Persatuan
Tarbiyah Islamiyah), tetapi juga PPTI (Persatuan Pengalam Thareqat Islam), dan
AKUI. Hal ini tentu saja melemahkan kekuatan Islam di panggung politik.583
Akibat dari perpecahan itu justru membuat masyarakat menjadi bingung,
sebenarnya siapa yang menjadi representasi dari kalangan Islam. Mereka semua
mengklaim bahwa dirinyalah representasi dari Islam dan penyampai aspirasi
muslim. Terbukti hasil dari pemilihan tersebut justru membuat partai-partai Islam
tidak mendapatkan suara dari mayoritas umat muslim. Masyumi hanya meraih suara
20%, Perti 1,3%, serta PPTI dan AKUI masing-masing hanya memperoleh 0,2%.584
Pada masa demokrasi terpimpin, yaitu pada eranya Soekarno, partai Islam
dibagi menjadi dua mereka yang mendukung ideologi Nasakom dan mereka yang
menolaknya. Mereka dipaksa untuk memilih ideologi tersebut, akhirnya mereka
yang tidak menolak seperti Masyumi dibubarkan oleh Soekarno dan mereka yang
mau mengikuti tetap dibiarkan seperti Nahdlatul Ulama. Hal inilah yang membuat
suara umat Islam semaki tidak terdengar dan justru membuat lemah pada diri Islam
itu sendiri. NU sendiri tidak bisa berbuat hal banyak dalam hal ini.
Ketika kekuasaan beralih ke Orde Baru, umat Islam kembali mempunyai
harapan yang tinggi ketika munculnya kembali Masyumi. Namun hal itu tidak sesuai
dengan yang diharapkan, justru Masyumi tidak diperbolehkan oleh Orde Baru untuk
kembali aktif sebagai partai. Sebagai gantinya, rezim Orde Baru mengizinkan
Parmusi, itupun dengan catatan: tokoh-tokoh yang dulunya ada di Masyumi tidak
boleh terlibat dalam kepengurusan partai. Bahkan pemerintah melakukan
restrukturisasi sistem partai demi alasan menjaga stabilitas politik di mana itu
menjadi syarat untuk meningkatkan pembangunan ekonomi. Akibat kebijakan baru
ini, partai-partai Islam (Parmusi, NU, PSII dan Perti), dan partai-partai lainnya (PNI,
Partai Katolik, Parkindo, dan IPKI) dipaksa melakukan fusi. Keempat partai tersebut
disatukan dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Maka hanya PPP
yang mewakili dari Islam.585
Proses marjinalisasi yang dilakukan pemerintah terhadap partai Islam ternyata
terus berlanjut, yaitu dengan mengeluarkan kebijakan baru deideologisasi. Dalam
kebijakan tersebut partai-partai tidak boleh menggunakan asas apapun keculai asas
pancasila. Akhirnya dengan sangat terpaksa, PPP sebagai benteng terakhir kekuatan
politik Islam bersedia mengganti asasnya yang asalnya Islam menjadi asas pancasila.

583
Lili Romli, “Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia” dalam Jurnal Penelitian
Politik, Vol. 1, No. 1,2004, h. 33.
584
Hebert Feith, The Indonesian Election of 1955 (Ithaca: Cornell University Press,
1957), h. 58.
585
Lili Romli, “Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia”, h. 33-34.
225
Begitupun sampai pada lambangnya yang asalnya bergambar “Ka’bah” menjadi
“Bintang” pada tahun 1985. Lambang Bintang merupakan lambang sila pertama
yang ada dalam tubuh Garuda Pancasila. Pergantian ideologi dan lambang ini
menurut Nasir Tamara merupakan proses deislamisasi politik dan depolitisasi
Islam.586
Proyek besar ini muncul atas dasar anggapan bahwa ketika politik Islam
menjadi kuat maka hal itu bisa menyebabkan tersendatnya modernisasi. Di sisi lain
dari kalangan elit politik sempat kecewa dengan kemampuan pemerintahan yang
dilakukan pemimpin Islam tradisional, terlepas mereka yang mendominasi di
pemerintahan termasuk dari kalangan intelektual sekuler yang terdiri dari elit militer,
sosialis, da Kristen. Maka paradigma yang terbangun adalah dengan mendepolitisasi
Islam maka hal itu bisa mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka.
Dengan mempertimbangkan asumsi tersebut orang dapat melihat dimensi
politik tertentu dari “ideologi” modernisasi atau pembangunan yang dijalankan oleh
rezim. Penerapan “ideologi” ini merupakan keputusan strategis yang sekurang-
kurangnya akan berimplikasi pada dua hal: Pertama, rezim Orde Baru akan
mempunyai suatu basis ideologis yang kuat yang menyentuh kebutuhan pokok
rakyat, sehingga rakyat akan memberikan dukungan dan berpartisipasi dalam politik,
atau seperti yang ditulis oleh Alfian bahwa pembangunan menjadi salah satu simbol
legitimasi politik. Kedua, dukungan politik dan partisipasi rakyat pada gilirannya
akan mempertahankan kontinuitas proses pembangunan dan kekuasaan rezim.
Interaksi dinamis antara pelembagaan politik dan partisipasi politik diharapkan
terjadi melalui mana rekayasa politik, termasuk depolitisasi Islam bisa
diimplementasikan.587
Marjinalisasi yang dilakukan Orde Baru terhadap Islam politik ini hampir
mirip dengan apa yang dilakukan oleh Belanda dahulu, mereka beranggapan ketika
kekuatan politik Islam semakin kompak maka hal itu akan mengancam stabilitas
pemerintahan yang berimplikasi akan mencegah berjalannya pembangunan. Jadi
Orde Baru benar-benar mewaspadai dan mengawasi penuh gerak-gerik Islam terkait
hal ini. Sebaliknya, ketika umat Islam tidak bersentuhan dengan hal politik, yaitu
berhubungan dengan ritual maka Pemerintah akan mendukung dan membantu
sepenuhnya serta memfasilitasi, namun jangan sampai menyetuh kembali wilayah
politik.
Akibat dari dihilangkannya peran politik dalam diri Islam, hal ini justru tidak
membuat kekecewaan dimana-mana. Ternyata dibalik itu ada sisi positifnya, yaitu
meningkatnya dalam dimensi ritual dan kemasyarakatan. Hal ini dapat dilihat dari
maraknya kehidupan keagamaan, seperti semakin banyaknya orang yang berhaji dari
kalangan priyayi, banyaknya bangunan masjid, meningkatnya kelompok studi Islam,
dan lain-lain. Sehingga dampak positif dari hal ini, menurut Kuntowijoyo timbul

586
Nasir Tamara, “Sejarah Politik Islam Orde Baru” dalam Prisma No. 5, 1988, h. 45.
587
M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos, 2001), h.
63.
226
terjadinya konvergensi antara berbagai aliran Islam, seperti antara kaum santri dan
kaum abangan, antara tradisionalis dan modernis.588
Model beragama yang seperti itu berkembang banyak di masyarakat adalah
karena dampak dari Islam kultural. Sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa
gerakan ini memberikan warna baru dalam sikap beragama, di mana untuk
menyebarkan nilai-nilai Islam tidak harus lewat politik praktis. Namun tidak juga
meninggalkan politik secara keseluruhan, mereka tetap memperhatikan dalam hal
nilai dan sumber etik. Hal ini juga tidak bersifat temporer, sempit dan pendek hanya
dengan partisipasi politik. Makanya ia melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat
secara langsung seperti dakwah melalui pendidikan, sosial, ekonomi dan budaya.589
Di sini lah Islam kultural menemukan momentumnya, jika menegok kembali
ke belakang, dalam sejarahnya umat Islam pernah mengalami kekalahan dalam
politik meskipun sudah berusaha semaksimal mungkin. Atas rasa kekecewaan itu—
untuk tidak menyebutkan sebagai pelarian—mereka melakukan hal yang diyakini
lebih bermanfaar, yaitu dengan bergerak di Islam kultural, mereka tidak memperkuat
di sisi politik, tapi memperkuat di sisi keagamaan itu sendiri. Hal ini juga diharapkan
agar bisa lebih pengertian dan saling memahami bahwa dulu mereka sesama saudara
pernah juga bertarung dalam politik, karena meningkatnya moral dan spritiual akibat
Islam kultural maka pastinya bisa menghilangkan rasa itu.
Dalam pendekatan ini, yang bersifat paling inheren adalah asumsi bahwa
dengan menonjolkan kembali kekuatan kultural Islam, dengan memperkokoh
kesalehan religius dan dengan mempertimbangkan kembali peran Islam di dunia
modern, maka sebuah Islam yang lebih substantif dan lebih simpatik mungkin saja
bisa dihadirkan. Pada saatnya juga bisa mengobati getir-getir permusuhan dan
kesalingcurigaan politik antara Islam dan negara, sehingga diharapkan ketika Islam
kembali masuk ke politik itu bisa murni dari kepentingan dan harapan-harapan yang
tidak realistis. Emmerson sendiri cenderung melihat diskursus Islam kultural di
Indonesia sepanjang 1980-an, sebagai diskursus Islam yang tengah menegaskan
dimensi kulturalnya. Akibat penegasan kembali dimensi kulturalnya ini adalah
“Islam kultural di Indonesia benar-benar hidup dan berkembang baik.” Dalam
pandangannya, pemerintah sama sekali tidak dapat menyentuh kesalehan religius ini,
bahkan hal ini justru memperkokoh definisi diri Orde Baru yang anti-komunis. Jika
dilihat dari perspektif ini, maka bobot Islam kultural lebih besar dapat
mempengaruhi pemerintah untuk menawarkan sejumlah konsesi kepada umat
Islam.590
Meskipun demikian, orang sering lupa bahwa sebenarnya apa yang dilakukan
oleh para pelopor Islam kultural itu sebenarnya juga kegiatan politik dalam bentuk
yang lain. Kalau mau jujur, justru kalangan inilah yang meletakkan dasar-dasar
kehidupan politik yang demokratis, dengan menonjolkan aspek-aspek keadilan,
musyawarah, egalitariasnime, dan lain-lain sesuai yang telah digariskan Islam.

588
Lihat kata pengantar Kuntowijoyo dalam buku Abdul Munir Mulkhan Runtuhnya
Mitos Politik Santri (Jakarta: 1994).
589
Lili Romli, “Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia”, h. 35.
590
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, h. 46-47.
227
Bahkan mereka inilah sesungguhnya yang memberikan dasar-dasar teologis
(Nurcholis Madjid, Harun Nasution, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, Munawir
Syadzali) dan sosiologis (Dawam Rahardjo, Abdurrahman Wahid, Adi Sasono) baru
bagi teman-teman yang ingin masuk ke dalam pencaturan politik praktis di
Indonesia.591
Namun, memasuki periode terakhir dekade 1980-an tampaknya pemerintah
secara perlahan mengambil kebijakan yang akomodatif terhadap Islam di Indonesia.
Ada beberapa bukti yang menunjukkan akan hal ini, terutama dengan lahirnya ICMI
(Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) di Malang, bahkan Soeharto sendiri
menghadiri bersama beberapa pejabat negara. Pertanyaan yang muncul selanjutnya
adalah mengapa saling akomodatif politik itu terjadi? Setidaknya ada dua
kemungkinan yang bisa menjadi jawaban: Pertama, pemerintah Indonesia saat itu
sudah merasakan bahwa Islam sudah tidak lagi menjadi ancaman stabilitas politik
nasional. Kedua, pemerintah melakukan akomodasi terhadap Islam dalam rangka
usaha untuk mencari dukungan dari Islam. Ketiga, dengan akomodasi politik akan
mudah mengatur politik Islam di Indonesia. Di sisi lain, dari Islam sendiri politik
akomodasi perlu dilakukan agar: Pertama, umat Islam memiliki akses yang cukup
dalam proses pengambilan keputusan nasional. Kedua, akomodasi dilakukan sebagai
imbalan kepada pemerintah atas upayanya mulai memperhatikan Islam, atau paling
tidak pemerintah tidak memusuhi Islam untuk masa yang akan datang, dan bahkan
Islam akan memperoleh imbalan yang lebih besar dalam skala politik nasional.
Masyarakat Islam sendiri sudah merasakan perubahan perlakuan pemerintah
terhadap Islam. Betapa Islam menyambut dengan suka cita ketika Presiden Soeharto
melakukan Ibadah Haji pada tahun 1991, dan kemudian Pak Harto memperoleh
tambahan nama “Muhammad” dari Raja Fahd. Setiap menyambut Presiden dari
kalangan Islam, atribut “Muhammad” akan selalu ditempelkan dengan penuh
kebanggaan.592
4. Pergeseran Islam Kultural ke Islam Politik
Dengan berkembangnya gerakan Islam kultural pada masa Orde Baru, banyak
pengamat yang menilai bahwa Islam benar-benar tidak akan menyentuh politik lagi,
karena sudah ada PPP yang merupakan satu-satunya partai Islam sudah
meninggalkan asas Islam dan beralih ke Pancasila. Taufik Abdullah mengatakan
bahwa dengan menerimanya PPP pada asas Pancasila itu menunjukkan “halaman
akhir Islam politik di Indonesia”. Namun pada kenyataannya anggapan itu
melenceng, sebagaimana diketahui, pasca Orde Baru akibat gerakan Reformasi yang
dimobilisasi oleh kalangan mahasiswa menyebabkan ledakan partisipasi politik. Hal
ini tidak saja terjadi pada akar rumput, tapi juga para elitis politik. Sebagai
perwujudan dari ledakan partisipasi itu bagi kalangan elit, mereka berlomba-lomba
mendirikan atau menghidupkan kembali partai politik yang telah lama dipaksa untuk
tidur, tak terkecuali partai Islam. Partai-partai yang muncul pada era reformasi ini
ada 32, dan dari jumlah tersebut yang lolos pemilu 1999 sebanyak 17 partai; PPP,

591
Bahtiar Effendy, (Re)politisasi Islam Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?
(Bandung: Mizan, 2000), h. 191-192.
592
Afan Gaffar, “Islam dan Politik dalam Orde Baru Mencari Bentuk Artikulasi yang
Tepat” dalam Artikulasi Islam Kultural dari Tahapan Moral Ke Periode Sejarah, Asep
Gunawan (ed.), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h. 272-276.
228
PBB, PK, PUI, PSII, PSII 1905, PNU, PKU, Partai Politik Islam Masyumi, PMB,
PAY, PID, PIB, KAMI, PP, PUMI, dan Partai SUNI.
Fenomena yang terjadi tentang berdirinya partai-partai Islam menandakan
bangkitnya kembali partai Islam setelah sekian lama dibungkam oleh Orde Baru dan
juga bangkitnya partai aliran. Kebijakan yang sangat menekan partai Islam saat itu
adalah dengan diberlakukannya dealiranisasi dengan rangkai penekanan lainnya
seperti depolitisasi masa, de-ideologisasi; menerapkan Pancasila sebagai ideologi
tunggal, dan floating mass. Makanya Th. Sumartana menyatakan bahwa kemunculan
partai berdasarkan agama disebabkan dua faktor: (1) dalam agama sendiri
terkandung dukungan teologis untuk menerapkan gagasan yang dipercayai, (2)
karena pemilihnya merupakan dalam satu frekuensi agama sehingga menyebabakan
ikatan yang kuat sebagai persaudaraan seagama, (3) mereka lebih percaya dipimpin
dari kalangan sendiri dan tidak sebaliknya.593
Namun Nurcholis Madjid mempunyai pandangan lain atas kembali
bangkitnya partai Islam. Bahkan ia menyatakan bahwa pertumbuhan partai Islam itu
adalah gejala komunalisme. Penilaian Cak Nur yang seperti ini wajar saja,
mengingat ia selama ini dikenal sebagai orang yang berpandangan tidak perlu
adanya partai politik Islam dengan slogan terkenalnya, “Islam Yes. Partai Islam No”.
Nurcholish meyakini bahwa yang penting adalah subtanstinya, daripada terjebak
pada simbol-simbol distingsif. Bagi Islam kultural, yang menjadi faktor utama
bukanlah sebutan “negara Islam” atau “Islam sebagai negara”, melainkan adalah
mentransformasikan nilai-nilai universal Islam ke dalam praktik penyelenggaraan
negara.594
Sementara itu bagi kalangan non-Islam, berdirinya partai-partai Islam itu
justru menimbulkan kekhawatiran. Hal ini tercerminkan dari tulisannya Th.
Sumartana dan Frans Magnis Suseno. Dalam tulisannya, Th. Sumartana
menyatakan, bisakan partai Islam yang saat ini muncul dapat menjamin tidak adanya
perlakuan diskriminatif bagi kaum minoritas. Frans Magniz Suseno juga khawatir,
hal ini justru hanya akan mengulang sejarah kelam di masa lalu, yaitu jika sampai
munculnya kembali gagasan negara Islam. Menurutnya jika gagasan itu muncul
kembali itu merupakan sebuah kemunduran modernisasi bangsa, suatu gejala yang
akan membahayakan NKRI.595
5. Islam Politik yang Radikal
Ada fenomena menarik di kalangan tokoh Islam kultural, ketika Orde Baru
tumbang, banyak dari mereka yang berpindah haluan untuk memperjuangkan agama
dalam arus reformasi sebagai berkah dari perjuangan menumbangkan rezim Orde
Baru, Asep Saeful Mimbar menyebutnya sebagai pergeseran dari Islam politik ke
Islam kultural. Namun apa yang terjadi tidak sesuai dengan yang dicita-citakan oleh
jati diri Islam, alih-alih untuk membangun bangsa dan negara menjadi lebih baik,
makin bersih dan berkeadilan, menciptakan clean government, justru yang terjadi
adalah 360° sebaliknya, hilangnnya moralitas bangsa dalam berbagai lini kehidupan

593
Lili Romli, “Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia”, h. 35-36.
594
Nurcholish Madjid, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi (Jakarta: Paramadina,
1999).
595
Lili Romli, “Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia”, h. 37.
229
di negara ini. Realitas yang kacau itu mungkin tidak dilakukan oleh kelompok Islam
politik, tapi Islam politik telah menemukan kegagalannya dalam mengakomodasikan
dirinya dalam konsep negara bangsa. Kegagalan ini dikarenakan ketidakmampuan
aktor politiknya dalam mengaktualisasikan politik Islam dalam realitas empiris
secara konsisten.596
Kaitannya dengan pembagian Islam politik seperti yang sudah dijelaskan oleh
Azra, bahwa Islam politik dibagi menjadi dua; ada yang berpartisipasi dalam partai
politik dan yang tidak berpartisipasi dalam partai politik secara langsung. Untuk
Islam politik model kedua ini banyak berkembang di Timur Tengah, Asia Tenggara
dan negara-negara Muslim lainnya. Di Indonesia sendiri, pada masa pasca
kemerdekaan pada 1950 dan 1960, sebagian besar Islam radikal direpresentasikan
oleh beberapa kelompok, misalnya Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII).
Selain mereka independen dari organisasi muslim yang sudah mainstream, mereka
juga melawan pemerintah dalam usahanya mendirikan negara Islam dan
menghapuskan Republik Indonsia.
Politik Islam jenis kedua ini juga muncul pada masa Orde Baru, beberapa di
antaranya adalah sisa-sisa dari DI/NII yang telah dilarang keberadaanya oleh
pemerintah, sisanya yang lain adalah kelompok-kelompok yang lahir dan terinspirasi
dari perkembangan politik, baik nasional maupun internasional, atau negara muslim,
khususnya yang melawan kebijakan politik Barat. Kelompok yang kedua ini
terilhami juga atas kesuksesan revolusi Iran pada 1979 di bawa pimpinan Ayatullah
Khomeini. Rezim Soeharto memberikan label ‘kelompok subversif’ kepada mereka
yang mengancam persatuan dan kesatuan Indonesia.597
Beberapa kelompok Islam model ini yang pernah muncul adalah; Lasykar
Jihad (LJ) yang didirikan oleh Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah
(FKASWJ) di bawah komando Ja’far Umar Thalib, Front Pembela Islam (FPI) yang
didirikan oleh Habib Riziq Syihab, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Pimpinan
Abu Bakar Baasyir, Jama’at Ikhwanul Muslimin Indonesia (JAMI) di bawah
pimpinan Habib Husein al-Habsyi, dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Ini penting
untuk diutarakan, bahwa setelah peristiwa penangkapan atas tragedi bom Bali pada
tahun 2002, aktifitas dari kelompok-kelompok tersebut menjadi berhenti, ada yang
dibubarkan oleh pemimpinnya atau menghilang dan meredam dengan sendirinya.
Bagi Azyumardi Azra, Jika melihat asal muasalnya, kelompok Islam radikal
dibagi menjadi dua kategori: Pertama, kelompok radikal yang pada dasarnya
memang tumbuh dan berkembang di Indonesia, seperti Lasykar Jihad, FPI. Kedua,
kelompok yang bersumber dari Timur Tengah , atau berorientasi pada organisasi-
organisasi Timur Tengah, seperti JAMI yang berasal dari al-Ikhwanul al-Muslimin
di Mesir, dan Hizbut Tahrir yang awalnya didirikan oleh Taqi al-Din Nabhani pada
tahun 1950-an di Yordania. Semua kelompok Islam politik radikal itu memiliki
orientasi ideologis dan praksis gerakan-gerakan ‘Islamis” (Islamiyin) di Timur
Tengah yang menjadi kiblat utama mereka sebagai representasi Islam sejati.

596
Asep Saeful Mimbar, “Pergeseran dari Islam Kultural ke Islam Politik” dalam
Membaca Islam Indonesia, tp, 2014, h. 5.
597
Azyumardi Azra, “Revisitasi Islam Politik dan Islam Kultural di Indonesia”, h.
235.
230
Akhirnya dalam pandangan keagamaan pun mereka menganut ideologi salafi
radikal, yaitu mewujudkan Islam yang murni seperti yang pernah dilakukan oleh
kaum salaf terdahulu. Dalam pandangan politik juga mereka menganut ideologi
khilafatisme dengan tujuan mendirikan khilafah universal bagi seluruh Muslim di
dunia, yang berimplikasi penerapan syariah secara menyeluruh.598
Dalam hal penerapan syari’at di negara Indonesia ini, Azyumardi Azra
menyatakan bahwa hal itu mungkin saja, tapi tetap harus melihat visibilitas dan
viabilitasnya. Bahwa pada kenyataannya di Indoenesia sendiri masyarakatnya
bukanlah semuanya seorang muslim, ada non-muslimnya juga. Bahkan dalam
kalangan internal Islam sendiri, terkadang terjadi beberapa pandangan yang berbeda
karena memang realitas umat Islam di Indonesia bukanlah realitas monolit,
melainkan beragam.599
Setidaknya keberhasilan Revolusi Iran telah menempatkan term “Islamisme”
menjadi momok yang menakutkan bagi Barat. Dampak dari ketakutan itu semakin
nyata ketika terjadi serangan teroris jihadis Islamis pada 11 September 2002
terhadap WTC dan Pentagon di Amerika Serikat. Amerika merespon tragedi itu
dengan menyatakan perang melawan teroris dan menempatkan kelompok jihadis
Islamis sebagai musuh yang layak untuk dihancurkan. Selain itu, pelbagai aksi teror
bom bunuh diri yang terjadi di Afrika dan Asia disinyalir merupakan perbuatan
kaum jihadis Islamis tersebut, yang hal ini tentu mencoreng nama baik Islam sebagai
agama yang damai.
Istilah Islamisme sendiri semakin ekstensif digunakan ketika terjadi
perdebatan luas menyusul peristiwa 11 September 2001. Konsep ini pada dasarnya
merujuk pada gejala yang bersifat keagamaan, namun kekuatan yang dikandungnya
mengekspresikan tujuan politik dan ketegangan yang dirasakan semua. Selain
Islamisme, ada beberapa istilah lain yang menunjukkan esensi yang sama. Seperti
ektremisme dan fundamentalisme.600
Dalam bukunya Gilles Kepel The Revenge of God: The Resurgence of Islam,
Christiany adn Judaism in the Modern World menjelaskan bahwa istilah Islamisme
mengacu pada dua konsep yang telah dikembangkan oleh Olivier Roy dan
International Crisis Group (ICG). Roy mendefinisikan Islamisme sebagai gerakan
yang mengkonseptualisasi Islam, terutama sebagai ideologi. Bagi penganjur
Islamisme, Islam mengatur segala aspek kehidupan, dimulai dari mengelola negara,
sistem pendidikan, sistem hukum, budaya dan ekonomi, mereka berkeyakinan
bahwa masyarakat sejati bukan hanya mengurusi kesalehan personal, namun juga
harus berjuang menegakkan negara Islam. Perdebatan isu ini membedakan Islamis
radikal dengan Islamis moderat. Para Islamis moderat, menurut Roy adalah mereka
yang mengupayakan proses re-islamisasi dari bawah, terutama melalui dakwah.

598
Azyumardi Azra, “Revisitasi Islam Politik dan Islam Kultural di Indonesia”, h.
236-237.
599
Azyumardi Azra, “Penerapan Syariat Bisa Kontraproduktif” dalam Wajah Liberal
Islam di Indonesia, (wawancara oleh Ulil Abshar Abdalla), Lutfi Assyaukanie (peny.),
(Jakarta: Teater Utan Kayu, 2002), h. 96-97.
600
Tim Penyusun, Islam di Ruang Publik: Politik Identitas dan Masa Depan
Demokrasi di Indonesia, Noorhaidi Hasan dan Irfan Abubakar(ed), h. 14.
231
Mereka juga berupaya memapankan gerakan sosial kebudayaan sambil pendekatan
kepada para pemimpin lewat aliansi politik untuk memberlakukan syariah Islam
melalui legislasi.
Perbedaan di antara keduanya semakin jelas ketika mereka menggunakan cara
dalam mewujudkan impian mereka. Islam radikal menegaskan pentingnya cara non-
kompromi dan bahkan mengabsahkan konsep revolusi untuk mencapai tujuan
pembentukan negara Islam. Konsep ini berkembang dari ajarannya Sayyid Qutb,
terutama tentang Jahiliyyah dan takfir. Sedangkan Islamis moderat lebih membela
sebuah posisi Islam dalam politik yang reformis, maka Islamisme radikal
menjunjung tinggi jalan revolusi untuk mengganti ideologi negara dengan ideologi
Islam.
Menurut laporan ICG, Islam Sunni601 terbagi ke dalam tiga arus: Islamisme
politik, Islamisme dakwahis dan Islamisme Jihadis. Hal ini menjadi penting karena
beberapa orang menyamakan ketiganya; pokoknya fundamentalis, radikal dan
mengancam Barat. Namun, pengkategorian ini tidak bersifat mutlak, dan membatasi
antara satu dengan yang lain, karena dalam beberapa hal bisa memasuki kategori
yang lain. Misalnya Islamisme dakwah bisa menjadi Islamisme jihadis seperti yang
terjadi dalam Lasykar Jihad saat terjadi konflik di Ambon.
Pertama, Islamisme politik. Gerakan ini memiliki tujuan akhir untuk meraih
kekuasaan politik. Di Mesir seperti yang dilakukan oleh Ikhawanul Muslimin, juga
hadir di negara-negara lain seperti Maroko, Aljazair, Yordania, Kuwait, Palestina,
dan Sudan. Islamisme politik ini secara umum menghindari cara-cara kekerasan,
untuk kasus HAMAS yang menggunakan senjata di Palestina itu pengecualian. Jika
di Indonesia direpresentasikan oleh (Partai Keadilan Sosial) PKS, HTI, dan Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI). Jika khilafah merupakan tujuan HTI, maka MMI
tujuannya adalah penerapan syariah sebagai hukum negara.
Kedua, Islamisme dakwahis. Pada dasarnya sifatnya menghindari wilayah
politik untuk kekuasaan politik atau menunjukkan diri sebagai partai politik. Konsen
utamanya adalah dakwah seperti gerakan Jama’ah Tabligh yang berdiri di India
pada 1926. Selain itu, contoh gerakan yang mengambil bentuk Islamisme dakwahis
adalah gerakan salafi. Gerakan ini mengacu pada paham Islam yang bersifat
doktrinal, tekstual dan legal-formal dengan kecenderungan keagamaan yang
puritan.602 Inti gerakan salafiyah adalah untuk mengembalikan umat kepada Islam
yang masih murni yang belum tercemar dengan tradisi budaya lokal maupun wacana
doktrinal tertentu. Roy menyebutnya sebagai neo-Wahabisme. FKAW yang
dipimpin oleh Ja’far Thalib juga termasuk dalam jenis ini, meskipun nanti
berkembang menjadi Laskar Jihad (menjadi Islamisme jihadis), dan juga FPI.
Ketiga, Islamisme jihadis, ciri utama dari kelompok ini adalah menggunakan
cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan nilai-nilai yang diyakini, karena mereka
meyakini bahwa masyarakat Islams ekarang sedang dalam kondisi perang melawan

601
Karena Islamisme Sunni dan Islamisme Syia’ah dibedakan, meskipun beberapa
orang menyatakan bahwa konsep Islam politik berawal dari revolusi Iran 1979, namun dalam
kenyataanya Syi’ah termasuk minoritas dan lebih mementingkan kelompok Syi’ah.
602
Haedar Nashir, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di
Indonesiai (Jakarta: PSAP & AMBOOKS, 2007), h. 117.
232
kafir dan karenanya umat Islam harus bangkit dalam mengawal eksistensi Darul
Islam. Ada dua arus dalam kelompok ini: (1) kelompok “Jihadi” Salafi yang terdiri
dari orang yang memiliki pandangan Salafi yang mengalami proses radikalisasi dan
meninggalkan aktivisme nir-kekerasan untuk bergabung dalam pasukan jihad. (2)
kelompok yang mengikuti Sayyid Qutb, terpengaruh dengan pemikirannya.
Perkembangan terkini menunjukkan bahwa jaringan Osama bin Laden
merepresentasikan sebuah sintesis dari elemen Jihadi Salafiyah dan Jihadi
Qutbiyah.603
Terlepas dari varian-varian di atas, Islamisme memiliki beberapa ciri yang
sama: (1) meyakini kesatuan agama dan negara, di mana agama harus mengatur
negara, (2) cenderung menafsirkan teks-teks keagaman dengan kaku, absolut, dan
dogmatis, (3) cenderung memonopoli kebenaran tafsir, (4) memiliki pandangan
stigmatis terhadap Barat (baik dengan ide pluralisnya maupun sosial, khusunya
politik), (5) mendeklarasikan perang terhadap paham dan tindakan sekuler, (6)
cenderung radikal, menggunakan cara kekerasan.604

603
Tim Penyusun, Islam di Ruang Publik: Politik Identitas dan Masa Depan
Demokrasi di Indonesia, Noorhaidi Hasan dan Irfan Abubakar(ed), h. 16-20.
604
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman
(Jakarta: Paramadina, 2004), h. 589-593.
233
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syafi’i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1995.
Azra, Azyumardi, “Penerapan Syariat Bisa Kontraproduktif” dalam Wajah Liberal
Islam di Indonesia, (wawancara oleh Ulil Abshar Abdalla), Lutfi Assyaukanie
(peny.), Jakarta: Teater Utan Kayu, 2002.
______________, “Revisitasi Islam Politik dan Islam Kultural di Indonesia” dalam
Indo-Islamika, Vol. 1, No. 2, 2012. (233-244).
Bungo, Sakareeya, “Pendekatan Dakwah Kultural dalam Masyarakat Plural” dalam
Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 15, No. 2, 2014. (209-219).
Effendy, Bahtiar, (Re)politisasi Islam Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik?,
Bandung: Mizan, 2000.
_______________, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
Feith, Hebert, The Indonesian Election of 1955, Ithaca: Cornell University Press,
1957.
Gaffar, Afan, “Islam dan Politik dalam Orde Baru Mencari Bentuk Artikulasi yang
Tepat” dalam Artikulasi Islam Kultural dari Tahapan Moral Ke Periode
Sejarah, Asep Gunawan (ed.), Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004.
Huda, Miftahul, “Manhaj Fikih Islam Kultural (Eksplorasi, Kritik, dan Rekonstrusi)
dalam al-Manāhij, Vol. 6, No. 1, 2012. (15-26).
Madjid, Nurcholish, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina,
1999.
Mimbar, Asep Saeful, “Pergeseran dari Islam Kultural ke Islam Politik” dalam
Membaca Islam Indonesia, tp, 2014. (1-8).
Mulkhan, Abdul Munir, Runtuhnya Mitos Politik Santri, Jakarta: 1994.
Nashir, Haedar, Gerakan Islam Syariat: Reproduksi Salafiyah Ideologis di
Indonesia, Jakarta: PSAP & AMBOOKS, 2007.
Penyusun ,Tim, Islam di Ruang Publik: Politik Identitas dan Masa Depan
Demokrasi di Indonesia, Noorhaidi Hasan dan Irfan Abubakar(ed), Jakarta:
Center for the Study of Religion and Culture (CSRC), 2011.
Rachman, Budhy Munawar, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman,
Jakarta: Paramadina, 2004.
Raharjo, Dawam, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan, 1993.
Romli, Lili, “Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia” dalam Jurnal Penelitian
Politik, Vol. 1, No. 1,2004. (28-48).
Syamsuddin, M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001.
Tamara, Nasir, “Sejarah Politik Islam Orde Baru” dalam Prisma No. 5, 1988.

234
235
ISLAM INDONESIA: KONTRIBUSI PADA PERADABAN GLOBAL
Faris Maulana Akbar (21191200000002)

Abstrak
Keberadaan Islam Indonesia yang memiliki karakteristik dan distingsi
tersendiri perlu dikaji lebih dalam. Dalam persoalan radikalisme
yang sedang dihadapi oleh dunia, Islam Indonesia muncul dan
memberikan terobosan dengan ajaran moderatnya. Akhirnya, Islam
Indonesia yang juga dikenal sebagai Islam Nusantara mendapat
sorotan dunia sebagai cerminan Islam yang damai, ramah, dan penuh
toleran. Islam Indonesia diharapkan menjadi pelopor perdamaian
dunia.
Kata Kunci: Islam Indonesia, Islam Nusantara, Peradaban Global

A. Pendahuluan
Pewacanaan “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara” 605 yang menggambarkan
keberislaman muslim di Indonesia tampaknya sudah bisa dimaklumi dan diterima
oleh masyarakat. Sebelumnya, pewacanaan tersebut mendapatkan respon yang
cukup reaktif dari beberapa kalangan. Ada yang mendukung dan ada pula yang
menyangsikan atau bahkan menolaknya. Bagi kalangan yang pro, mereka
menyambut hangat istilah tersebut dengan sukacita. Mereka menganggap bahwa
“Islam Nusantara” memang nyata adanya menilik keberagamaan umat muslim di
Nusantara dari masa ke masa. Bagi kalangan yang kontra, mereka menuduh
pewacanaan tersebut merupakan suatu upaya untuk mengkotak-kotakkan Islam dan
menganggap hal itu akan menceraiberaikan persatuan umat Islam. Bahkan, sebagian
kalangan beranggapan bahwa Islam itu adalah yang datang dari Arab.606

605
Istilah “Islam Nusantara” sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu.
Namun, istilah ini menjadi booming setelah NU menjadikannya sebagai jargon di Muktamar
NU ke-33 yang berlangsung di Jombang 1-5 Agustus 2015 silam. Tema muktamar tersebut
adalah “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”. Lihat: Joko
Panji Sasongko, “Muktamar NU Angkat Tema Tentang Islam Nusantara”, CNN Indonesia
(24/07/2015), https://m.cnnindonesia.com/nasional/20150730142952-20-69107/muktamar-
nu-antara-islam-nusantara-dan-peradaban-dunia (Diakses pada tanggal 06 November 2018)
Oleh karena itu, istilah “Islam Nusantara” kini identik dengan NU. Dalam perkuliahan pada
Senin, 16 Desember 2019, Prof. Azyumardi Azra menegaskan bahwa terdapat perbedaan
antara “Islam Nusantara” dan “Islam kepulauan Nusantara”. Islam Nusantara –sebagaimana
yang menjadi jargon NU- mencakup kepulauan di Nusantara dan daerah sekitarnya yang
merupakan wilayah Asia Tenggara. Adapun “Islam kepulauan Nusantara” adalah “Islam
Indonesia”, yakni mencakup wilayah Indonesia saja.
606
Fragmentasi semacam ini telah terjadi beberapa dasawarsa lalu. Dulu, para
orientalis sering menganggap Islam di Asia Tenggara sebagai “Islam peripheral” alias “Islam
pinggiran”. Maksudnya, Islam di kawasan ini adalah Islam yang jauh dari bentuk ‘asli’ yang
berasal dan berkembang di Arab. Mereka –para orientalis- menganggap “Islam yang
sebenarnya” adalah Islam yang ada di Arab, bukan Islam di Asia Tenggara. Mereka
beralasan, Islam di kawasan tenggara benua Asia ini berkembang dengan sendirinya,
bercampur baur dan didominasi oleh budaya dan sistem kepercayaan lokal yang tak jarang
236
Harus diakui, agama Islam memang muncul dan berkembang dari Arab. Nabi
Muhammad Saw adalah orang Arab. Al-Qur’an dan Hadis berbahasa Arab. Para
sahabat dan tabiin serta generasi salaf al-ṣâlîh pun mayoritas adalah orang Arab.
Beberapa fakta inilah yang kemudian tampaknya membuat semua hal-hal yang
berbau Arab dikaitkan dengan Islam, atau sebaliknya, Islam identik dengan Arab.
Padahal, Islam tidak hanya Arab dan tidak harus selalu berkaitan dengan Arab.
Tanpa harus mengenyampingkan sejarah, stigma masyarakat tentang Islam-Arab
tersebut tampaknya memang perlu diubah dengan menyadari keberadaan konteks
sosial budaya setempat.
Menilik catatan sejarah, pada awal perkembangannya, Islam memang masih
berkutat di Jazirah Arab. Namun seiring terjadinya beberapa ‘penaklukan’ –atau
yang sering disebut dengan fatḥ/futûḥ- Islam meluas dan merambah wilayah di luar
Arab. Selain ke Barat dengan penaklukan Selat Gibraltar, pelan tapi pasti cahaya
Islam juga menyebar ke arah Timur hingga Asia Tenggara.
Perluasan wilayah kekuasaan Islam rupanya turut mempengaruhi wajah Islam
itu sendiri. Islam yang mulanya identik dengan Arab pada saatnya harus berhadapan
dengan berbagai macam manusia dengan latar belakang adat dan budaya yang
berbeda. Pergumulan antara ajaran Islam dengan para pemeluk Islam yang berasal
dari kalangan ‘ajamî alias non-Arab ini kemudian melahirkan wajah-wajah baru
Islam. Hal ini terjadi di mana-mana, tak terkecuali di Asia Tenggara, lebih
khususnya Indonesia, yang secara geografis berada di ujung tenggara benua Asia.
Alasan geografis inilah yang menimbulkan stigma “Islam pinggiran” dengan Arab
(Mekkah dan Madinah) sebagai pusatnya.
Berdasarkan uraian singkat di atas, bahasan Islam di Nusantara/Indonesia
menarik untuk dikaji lebih mendalam. Apakah Islam di ujung benua ini benar-benar
merupakan ajaran pinggiran? Lantas, ketika Arab yang dianggap sebagai pusat
ajaran Islam dan menjadi representasi utama Islam mengalami konflik yang
berkepanjangan serta perang yang tak berkesudahan, mungkinkah pandangan Arab-
sentris itu harus dipertahankan? Arab memang pernah membawa Islam pada puncak
peradaban dunia, tapi dengan kondisi sekarang, mampukah yang berada di pinggiran
membawa kejayaan Islam lagi seperti yang selama ini diimpi-impikan muslim di
seluruh dunia? Apa kontribusi Islam di Indonesia pada peradaban dunia?
Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk membahas beberapa pertanyaan
tersebut dan menuangkannya dalam satu uraian yang utuh dan urut sesuai kronologi
sejarahnya. Namun, sebelum membahas lebih jauh, penulis ingin membatasi
beberapa term yang menjadi judul bahasan makalah ini sebagaimana berikut:
• Islam
Yang dimaksud dengan Islam adalah ajaran agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Saw dengan berpedoman kepada al-Qur’an sebagai kitab suci.607
Namun, dalam pembahasan di sini, kata “Islam” bisa merujuk pada muslim
(penganut agama Islam), keislaman (segala sesuatu yang berkaitan dengan

menyalahi ajaran Islam. Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, cet. 1 (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 1999), h. 5.
607
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, cet. 4
(Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 444.
237
agama Islam), dan pengislaman (proses, cara, perbuatan menyebarkan agama
Islam).608
• Indonesia
Mengutip dari Wikipedia, Indonesia adalah negara di Asia Tenggara yang
dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara daratan benua Asia dan Australia
serta antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Indonesia adalah negara
kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau. Nama lain yang biasa
digunakan untuk menyebut Indonesia adalah Nusantara. Indonesia memiliki
populasi hampir 270.054.853 jiwa pada tahun 2018. Indonesia merupakan
negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk
muslim terbesar di dunia dengan lebih dari 230 juta jiwa.609
• Peradaban
Peradaban yang dimaksud di sini adalah segala hal yang mencakup kebudayaan
yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan
dan ilmu pengetahuan yang maju dan kompleks.610 Hal ini sesuai dengan arti
civilization dalam Oxford “a society which has its own highly developed culture
and way of life” atau “an advanced state of social and cultural development, or
the procsesss of reaching this state”. Civilize sendiri berarti “to make people or a
society develop from a low social and cultural level to a more advanced one”.611
Berdasarkan pengertian beberapa term di atas, makalah ini akan membahas
tentang Islam yang ada di Indonesia dan kontribusinya pada peradaban global.

B. Tapak Tilas Sejarah Islam Indonesia


Keberadaan Islam Indonesia tentu tidak terlepas dari sejarah kedatangan Islam
ke Nusantara. Bagaimana bentuk, wajah, dan sifat Islam Indonesia hanya dapat
dipahami dengan menapak tilas historisitasnya. Selain untuk memahami lebih baik,
pengetahuan sejarah Islam Indonesia ini juga perlu agar tidak terjadi ahistori
pemaknaan Islam Indonesia sebagaimana awal kemunculan pewacanaannya.
Sejak awal masehi jalur perairan Asia Tenggara telah menjadi tempat berlalu-
lalangnya kapal-kapal layar dari mancanegara. Pada abad ke-5, kawasan perairan ini
kemudian semakin ramai dengan hadirnya para pedagang dari mancabenua.
Beberapa tempat seperti Lamuri di Aceh, Perlak di Aceh Timur, Kedah di Malaysia,
Martavan dan Pegu di Myanmar, Ayuthia di Thailand, dsb. menjadi bandar regional.
Di tempat-tempat tersebut terjadilah komunikasi dan hubungan antar bangsa
sehingga menyebabkan masuknya pengaruh tradisi besar ke Asia Tenggara –
termasuk nusantara- mulai dari Hindu, Buddha, sampai Islam.612

608
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 444.
609
Dikutip dari https://id.m.wikipedia.org/wiki/Indonesia pada Sabtu 14/12/2019.
610
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 2.
611
Oxford University Press, Oxford Wordpower, (New York: Oxford University
Press, 2003), h. 127.
612
Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis
Islam Indonesia (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1998), h. 53.
238
Proses Islamisasi Asia Tenggara tidak seperti proses islamisasi kawasan lain
seperti Persia dan Turki yang sering melibatkan penggunaan militer. Islamisasi Asia
Tenggara menggunakan cara damai, atau yang disebut oleh Azyumardi Azra sebagai
‘penetration pacifique’. Penyebaran Islam secara damai ini tidak terlepas dari
karakter pembawanya. Pioner-pioner Islamisasi di kawasan ini bukan laskar-laskar
muslim yang berasal dari Timur Tengah. Mereka adalah para pedagang, guru-guru
sufi, dan pengembara.613
Menurut Azra, konsekuensi dari proses Islamisasi yang damai tersebut adalah
kenyataan bahwa wilayah muslim Asia Tenggara tidak banyak mendapat sentuhan
Arabisasi. Hal ini dikarenakan proses penerimaan masyarakat Asia Tenggara
terhadap Islam berupa adhesi (yakni penerimaan berangsur-angsur terhadap agama
baru atau pergantian agama tanpa meninggalkan kepercayaan dan praktik-praktik
agama lama) dan bukan konversi (pergantian agama kepada agama-agama wahyu
yang menuntut komitmen sepenuhnya dari para pengikutnya tanpa ada tawaran lain
kecuali melalui agama wahyu tersebut untuk mencapai keselamatan).614 Dengan cara
seperti ini, maka tidak heran bila dalam praktik keberagamaan warna lokal cukup
menonjol dibanding warna Arab. Islamisasi semacam inilah yang dilakukan oleh
Walisongo di tanah Jawa.615
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam datang ke
Asia Tenggara setidaknya dengan dua cara, yakni secara damai dan membaur
dengan budaya lokal. Setelah mengalami islamisasi, Islam menjadi agama dominan
di Asia Tenggara. Hal ini terbukti dengan populasi muslim terbesar di dunia. Lebih
dari 40% dari total populasi Asia Tenggara adalah muslim. Mayoritas berasal dari
Indonesia, Malaysia, Brunei, dan sisanya minoritas di Filipina, Burma, Thailand,
Singapura, dan Kamboja dengan rincian 6 juta muslim di Filipina, 4 juta di

613
Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 76. Menurut penulis, penjelasan ini
mungkin berkaitan erat dengan kehancuran Baghdad. Para pelarian serta korban keganasan
perang itu datang berbondong-bondong ke Nusantara. Mereka terdiri dari para ulama, sufi,
tentara non-aktif, seniman, dll. Di samping itu, maklum saja bila tidak ada laskar-laskar dari
Arab saat itu karena memang pada masa yang sama Islam diluluhlantakkan oleh serangan-
serangan dari Bangsa Mongol, klan Jengis Khan, yang menjadi imperium raksasa saat itu.
Setelah jatuhnya ke tangan Mongol, ekspansi Islam melalui penyebaran para sufi mulai
menggeliat. Para sufi itu kemudian dikenal dengan gelar syekh, sayid, makhdûm, dll. Lihat:
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara, h. 16-17 dan Hadi.
Cakrawala Budaya Islam, h. 301.
614
Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 65.
615
Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 76. Dalam uraiannya, Azra memberi
catatan bahwa meskipun Arabisasi kurang dialami oleh Islam Asia Tenggara, namun pada
kenyataannya bahasa Arab mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi masyarakat Asia
Tenggara baik secara lisan maupun tulisan. Ini menunjukkan bahwa masyarakat juga tidak
antipati pada hal-hal yang berbau Arab.
Adapun contoh islamisasi yang dilakukan oleh Walisongo adalah seperti yang
dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga menggunakan seni ukir,
wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Sementara itu, Sunan Kudus
mendekati masyarakat dengan menggunakan simbol-simbol Hindu dan Buddha. Lihat:
Ahmad Baso, Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia (Ciputat: Pustaka
Afid, 2015), h. xv.
239
Thailand, 3 juta di Burma, 600 ribu di Singapura, dan 500 ribu di Kamboja.616 Di
Indonesia sendiri, sampai saat ini tercatat lebih dari 207 juta penduduk muslim atau
sekitar 87,2% dari jumlah keseluruhan penduduk yang ada.617

C. Karakteristik dan Distingsi Islam Indonesia


Pada pendahuluan makalah ini penulis telah menyinggung masalah istilah “Islam
Nusantara”. Menurut Azyumardi, “Istilah ‘Islam Nusantara’ pada dasarnya tidaklah
baru. Istilah ini mengacu pada Islam di gugusan kepulauan atau benua maritim
(nusantara) yang mencakup tidak hanya kawasan yang sekarang menjadi negara
Indonesia, tetapi juga wilayah Muslim Malaysia, Thailand Selatan (Patani),
Singapura, Filipina Selatan (Moro), dan juga Champa (Kampuchea). Dengan
cakupan seperti itu, ‘Islam Nusantara’ sama sebangun dengan ‘Islam Asia Tenggara’
(Southeast Asian Islam). Secara akademik, istilah terakhir ini sering digunakan
secara bergantian dengan ‘Islam Melayu-Indonesia’ (Malay-Indonesian Islam).”618
Sebagaimana pula dijelaskan di awal pembahasan, Islam Indonesia tidak
seperti Islam yang ada di Arab. Islam Indonesia mempunyai karakteristik dan
distingsi tersendiri. Yang dimaksud dengan distingsi adalah perbedaan atau suatu
kekhususan yang menjadikan ia berbeda dengan lainnya. Dalam pengertian ini,
maka yang dimaksud dengan distingsi Islam Indonesia adalah kekhasan yang
dimiliki oleh Islam di Indonesia yang membedakannya dengan Islam di wilayah
lain, misalnya Islam Arab, Islam Eropa, Islam Amerika, dll. Kekhasan inilah yang
menjadi pembahasan dalam sub-bab ini.
Ditinjau dari letak geografisnya, Indonesia termasuk bagian wilayah Asia
Tenggara. Kawasan ini memang merupakan kawasan periferal, alias pinggiran.
Namun, itu bukan berarti ajaran Islam Asia Tenggara umumnya dan Indonesia
khususnya adalah ajaran Islam pinggiran atau yang jauh dari ajaran sebenarnya.
Terbukti bahwa tradisi intelektual yang berkembang di Asia Tenggara –termasuk
Indonesia- tidak terlepas dari tradisi besarnya yang ada di Arab sana. Para ulama di
kawasan ini –terutama sejak abad ke-17 M- telah menjalin kontak intelektual
keagamaan dengan Timur Tengah dengan tujuan untuk mendekatkan tradisi lokal
Islam di Asia Tenggara dengan tradisi besar, tradisi normatif dan idealistik
sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.619 Dengan begitu,
Islam Asia Tenggara senyatanya adalah bagian integral dari kebudayaan-peradaban
Islam secara keseluruhan. Asia Tenggara menjadi salah satu dari tujuh wilayah
kebudayaan atau peradaban Islam yang mempunyai karakteristiknya sendiri620,
termasuk Indonesia yang merupakan negara terbesar di kawasan ini.
Di dalam bukunya, Renaisans Islam Asia Tenggara, Azyumardi Azra
menceritakan tentang sejumlah pengamat dunia Islam luar negeri yang memberikan

616
Syed Serajul Islam, The Politics of Islamic Identity in Southeast Asia (Malaysia:
Thompson, 2005), h. 17.
617
Dikutip dari Indonesia.Go.ID. Diakses pada Senin, 16/12/2019.
618
Azyumardi Azra, “Islam Nusantara (1)”, republika.co.id,
https://republika.co.id/berita/kolom/resonasi/15/06/17/nq3f9n-islam-nusantara-1 (Diakses
pada 05 November 2018)
619
Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 8.
620
Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. 20.
240
respon positif atas perkembangan Islam di Asia Tenggara. Mereka optimis bahwa
renaisans alias kebangkitan Islam akan muncul di kawasan ini. Optimisme mereka
ini bukan sekadar bualan belaka. Para pengamat itu melihat kelebihan yang dimiliki
oleh Islam Asia Tenggara berupa “watak” atau “karakteristik” yang khas, yang
berbeda dengan watak Islam di kawasan lain, khususnya Arab (Timur Tengah).
Beberapa karakteristik tersebut adalah watak yang lebih damai, ramah, dan
toleran.621
Selain mempunyai watak yang damai, ramah, dan toleran, Islam Asia
Tenggara juga mempunyai distingtif dalam hal kebudayaan. Mengutip penjelasan
Azyumardi Azra, ia berkata:
“Islam Asia Tenggara sangat kaya dengan warisan (legacy) dalam
berbagai kehidupan sejak dari keagamaan dengan berbagai wacana
intelektualisme, praksis agama, dan lembaga (pendidikan, dakwah,
dan filantropi), tradisi sosial-budaya, politik, dan ekonomi.
Kekayaan warisan Islam Asia Tenggara itu sangat distingtif vis a vis
Islam di wilayah-wilayah lain.”622
Menurut Azra, warisan Islam Asia Tenggara tersebut mulai terbentuk
semenjak Islam datang pada akhir abad ke-12 M dan 13 M. Pembentukan warisan
ini menemukan momentumnya ketika bangsa-bangsa kolonial Eropa mulai
berdatangan ke Asia Tenggara pada abad 16 M. Pembentukan tersebut masih
berlangsung sampai sekarang dengan banyak diwarnai oleh sifat penyebaran Islam
yang damai dan akomodatif dengan tradisi sosial-budaya lokal. 623
Beberapa faktor yang membuat Islam melekat dengan sosial-budaya lokal
adalah vernakularisasi dan indigenisasi. Adapun yang dimaksud dengan
“vernakularisasi” menurut Azyumardi adalah “pembahasaan kata-kata atau konsep
kunci dari Bahasa Arab ke bahasa lokal di Nusantara, yaitu bahasa Melayu, Jawa,
Sunda dan tentu saja bahasa Indonesia”. Sedangkan yang dimaksud dengan
“indigenisasi” adalah pribumisasi. Kedua hal inilah yang menjadikan Islam
embedded (tertanam) dalam budaya Indonesia sehingga ia tidak menjadi asing. Oleh
karena itu, budaya Islam di Indonesia sangat berbeda dengan budaya Islam di Arab.
Hal ini dikarenakan adanya proses akulturasi budaya.624 Namun di sisi lain,
hubungan dan jaringan dengan Islam di Arabia juga mendorong terbentuknya
ortodoksi Islam sejak awal kedatangannya sampai sekarang. 625
Berdasarkan dari keterangan di atas, bisa dikatakan bahwa Islam di Asia
Tenggara –termasuk Indonesia- adalah “sama tapi tak serupa” dengan Islam di Arab.

621
Di antara sejumlah tokoh pengamat Islam luar negeri yang disebut oleh Azra
adalah Fazlur Rahman, John Esposito, dan Bruce Lawrence. Mereka beberapa kali
berkunjung ke Indonesia dan Malaysia sehingga menyaksikan langsung dinamika Islam di
kedua wilayah tersebut. Lihat: Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, h. xv.
622
Azyumardi Azra, “Warisan Islam Asia Tenggara (1)”, Republika.co.id, (Diakses
pada Rabu, 31 Oktober 2018)
623
Azyumardi Azra, “Warisan Islam Asia Tenggara (1)”
624
Heyder Affan, “Polemik di Balik Istilah ‘Islam Nusantara’”, bbc.com, (Diakses
pada Selasa, 06 November 2018)
625
Azyumardi Azra, “Warisan Islam Asia Tenggara (1)”
241
Sama dalam artian sama-sama ajaran Islam yang berlandaskan pada sumber agama
yang sama, namun dalam hal praktik maupun ekspresi keberagamaan tidak serupa.
Dalam Distinguishing Indonesian Islam: Some Lessons to Learn, Azyumardi
menyebutkan beberapa distingsi Islam Indonesia, yaitu: (1) Islam masuk dengan
damai tanpa paksaan atau gencatan senjata, (2) Islam membaur dengan budaya lokal,
(3) Islam kaya akan warisan budaya, (4) negara berasaskan Pancasila, (5) peran
perempuan muslimah dalam kehidupan, (6) organisasi dengan massa besar, (7)
keberadaan kelompok radikal, dan (8) Pemberdayaan kalangan moderat.626
Dari beberapa distingsi di atas, dapat dipahami distingsi pertama sampai
ketiga adalah hasil dari pergumulan ajaran Islam dengan masyarakat. Hal ini sudah
tergambar dengan jelas dalam sejarah kedatangan Islam dan islamisasi pada masa
lalu. Penyebaran Islam Indonesia yang berlangsung melalui proses penyebaran
secara damai itu kemudian mewarnai Islam Indonesia sebagai Islam yang
akomodatif dan inklusif.627
Umat Islam di Indonesia adalah umat Islam berkemajuan, budaya Islamnya
sudah melebur dengan budaya-budaya Nusantara. Budaya tersebut positif karena
bisa merekatkan persaudaraan antar sesama, tidak seperti yang terjadi di Timur
Tengah. Islam Indonesia adalah Islam yang melekat dengan budaya.628 Fenomena
seperti tahlilan, ziarah kubur, buka bersama, dan lainnya menunjukkan bahwa Islam
Indonesia adalah Islam yang melekat dengan budaya. Sedangkan budaya Indonesia
adalah toleran, tenggang rasa, mengalah, dan lainnya.629
Sementara itu, distingsi nomor empat merupakan manifestasi para founding
father Indonesia dalam merumuskan dasar negara. Para tokoh perumus Pancasila
tersebut mayoritas muslim.630 Namun, mereka tidak mewajibkan syariat-syariat
Islam dalam perumusan dasar tersebut. Mereka merumuskan Pancasila yang mampu
menjadi dasar semua golongan tanpa mengenyampingkan urgensitas agama.631

626
Azyumardi Azra, “Distinguishing Indonesian Islam: Some Lessons to Learn”
dalam Jajat Burhanudin dan Kees van Dijk (ed.), Islam in Indonesia: Contrasting Images
and Interpretations (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2013), h. 63-74.
627
“Prof. Dr. Azyumardi Azra: Kerukunan Beragama Sumbangan Berharga bagi
Kesatuan Bangsa”, diakses pada Kamis, 12/12/2019 dari http://lipi.go.id/lipimedia/prof-dr-
azyumardi-azra:-kerukunan-beragama-sumbangan-berharga-bagi-kesatuan-bangsa/1156 .
Diambil dari Suara Pembaruan, edisi 22 Agustus 2015, h. B9.
628
“Indonesia adalah Sebuah Negeri Bermukjizat. Adakah buktinya?”,
https://nationalgeographic.grid.id/amp/131730920/indonesia-adalah-sebuah-negeri-
bermukjizat-adakah-buktinya , diakses pada Kamis, 12/12/2019.
629
“Azyumardi Azra: Islam di Indonesia Terlalu Besar untuk BIsa Gagal” dalam
kompas.com (04/06/2017). Diakses pada Kamis, 12/12/2019 dari
https://amp.kompas.com/nasional/read/2017/06/04/21360011/azyumardi.azra.islam.di.indone
sia.terlalu.besar.untuk.bisa.gagal .
630
Meski pencetus Pancasila adalah Soekarno, perumusan dasar negara Republik
Indonesia ini juga melibatkan para tokoh lain seperti Mohammad Hatta, Alexander Andries
Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Agus Salim, Achmad Soebardjo, Abdul Wahid Hasyim,
dan Muhammad Yamin. Mayoritas dari mereka adalah muslim. Lihat:
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Panitia_Sembilan diakses pada Minggu, 15/12/2019.
631
Pada mulanya, ada pernyataan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang kemudian dihapus demi kesatuan dan
242
Terkait distingsi nomor lima, Gus Dur pernah menjelaskan bahwa
kenyataannya bukan hanya perempuan muslimah saja yang mendapat perlakuan
berbeda dibandingkan nasib muslimah di kawasan lain, namun secara umum
memang di Asia Tenggara perempuan menkm,gvuklp’dapat perlakuan yang
berbeda. Di Asia Tenggara, kaum perempuan bisa mendapatkan kebebasan yang
lebih besar. Hal ini tidak didapatkan di kawasan lain seperti Timur Tengah.632
Adapun keberadaan organisasi dengan massa besar sebagai distingsi yang
keenam, fakta tersebut tidak bisa dielak. Keberadaan Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah sebagai dua ormas terbesar di Indonesia, bahkan dunia, sangat
berperan dalam perkembangan masyarakat muslim Indonesia. Umumnya, orang-
orang NU memberdayakan umat melalui pesantren sedangkan Muhammadiyah
melalui lembaga-lembaga pendidikan. Tak hanya itu, pengaruh keduanya juga nyata
bagi keberagamaan muslim di Indonesia.633
Distingsi lainnya yang cukup ganjil adalah eksistensi kelompok radikal.
Meskipun Islam Indonesia identik dengan Islam yang moderat, hal tersebut tidak
menghalangi kemunculan kelompok radikal. Bahkan kelompok ini dari tahun ke
tahun semakin meneguhkan eksistensi mereka. Namun, menurut Azra gejala
radikalisme yang terus terjadi sejak tragedi “Bom Bali I” pada Oktober 2002 silam
hanyalah bagian kecil dari dinamika Islam Indonesia secara keseluruhan.
Sebaliknya, bagian terbesar muslim Indonesia justru tetap cinta damai, toleran, dan
enggan mencemarkan nama baik kaum muslimin serta menyebarkan paham islam
rahmatan lil ‘alamin.634

persatuan Indonesia. Kasus ini menjadi perbincangan di kalangan muslim golongan kanan
untuk menggugat sejarah dan menuntut berdirinya negara Islam.
632
Abdurrahman Wahid, Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur
(Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 129-133.
633
Menurut Kevin W. Fogg, seorang antropolog Amerika yang pernah meneliti ormas
Islam di Indonesia, organisasi Islam di negeri ini memiliki empat karakteristik unik yang
tidak ditemukan di negara lainnya, yaitu:
1. Besar, komprehensif, dan berpengaruh. Contohnya adalah Muhammadiyah
yang punya lembaga pendidikan, rumah sakit, dll. Menurutnya, Muhammadiyah
sangat komprehensif.
2. Modern dalam struktur. Punya undang-undang dasar dan struktur seperti
sekretaris, divisi-divisi, dll. Contohnya adalah NU dan Muhammadiyah. Kondisi ini
berbeda dengan dulu yang lebih mengandalkan sufi brotherhood . Ulama dulu
menggunakan struktur tradisional, yakni relasi antara guru-murid.
3. Mendukung NKRI (supporting of the form if the Indonesia State).
Contohnya adalah Nahdlatul Wathan yang menyanyikan lagu Indonesia Raya di
setiap acara. Begitu juga pengenalan terhadap Pancasila dan NKRI. Tidak seperti
Ikhwan Muslimin yang tidak mendukung republik Indonesia.
4. Tidak dikontrol oleh pemerintah (Indonesian state). Contohnya adalah
penetapan hari raya Idul Fitri. Pada kasus tersebut, pemerintah yang mengikuti
mereka. Di luar negeri, pemerintah mengontrol organisasi agama.
Sumber: Notulensi ICIIS, “Mass-Islamic Organizations in Indonesia as Drivers of
Social Transformation” disampaikan pada acara International Colloquium on
Interdisciplinary Islamic Studies, Jumat 08/11/2019.
634
Azyumardi Azra, “Islam Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global”, Prisma,
vol. 29, no. 4 (Oktober, 2010), h. 88.
243
Distingsi terakhir adalah terkait pemberdayaan moderat. Pemberdayaan ini
berupa pengamalan ajaran Islam wasathiyyah, yakni ajaran Islam yang moderat oleh
masyarakat. Gagasan dan konsep ajaran ini berasal dari QS. al-Baqarah: 143, yang
artinya: “Dan dengan demikian Kami (Allah Swt) telah menciptakan kamu (kaum
muslimim) sebagai ummatan wasathan agar kamu sekalian dapat menjadi saksi bagi
manusia lain; dan sesungguhnyalah Rasul (utusan Allah) menjadi saksi atas diri
kamu sekalian”. Konsep ini mengajarkan agar umat berada di tengah, seimbang,
tidak berdiri pada salah satu dari dua kubu ekstrem, baik dalam pemahaman dan
pengamalan Islam. Gagasan ini pernah dikampanyekan oleh Menteri Agama Tarmizi
Taher pada periode akhir era Orde Baru.635
Salah satu bukti aktualisasi Islam washatiyyah adalah watak negara
Indonesia. Indonesia bukan negara sekuler. Indonesia juga tidak termasuk negara
yang berasaskan Islam. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Indonesia mempunyai
Pancasila yang menampung segala golongan dan menyerukan persatuan dan
kesatuan tanpa memandang perbedaan. Pada level masyarakat, ormas-ormas besar
Islam seperti NU, Muhammadiyah, al-Washliyah, Perti, Nahdlatul Wathan, dll. juga
menganut ajaran Islam wasathiyyah. Ormas-ormas tersebut mengambil “jalan
tengah” dalam pemahaman dan praksis keagamaan, sikap sosial, budaya, serta
politik. 636 Maka bisa dibayangkan organisasi yang memiliki massa besar tersebut
turut mempengaruhi sikap para pengikutnya.
Sementara itu, dalam Fajar Baru Islam Indonesia? Mujamil Qomar juga
menyebutkan beberapa keunggulan Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara-negara
muslim lainnya, yaitu: (1) memiliki penduduk muslim terbesar di dunia, (2)
memiliki wilayah paling luas dan paling subur di antara negara-negara muslim, (3)
memiliki budaya tradisional yang paling kaya, (4) letak geografis yang jauh dari
pusat konflik, (5) sumber daya alam yang sangat beragam, dan (5) merupakan
negara demokratis terbesar ketiga di dunia serta terbesar di dunia Islam. 637
Masih menurut Qomar, ada beberapa keteladanan Islam Indonesia yang juga
merupakan kelebihan dibanding negara-negara lain, yaitu: (1) moderasi pemikiran
dan tindakan, (2) toleransi antar pemeluk agama, (3) ketahanan hidup dalam
pluralisme, (4) kehidupan demokrasi, dan (5) pendekatan kultural dalam memahami
dan menjalani agama.638 Beberapa hal tersebut menjadikan Islam Indonesia dilirik
oleh para pemikir internasional. Mereka berharap Islam Indonesia menjadi pelopor
masa depan Dunia Islam setelah runtuhnya peradaban besar Islam di masa lalu dan
seiring sibuknya negara-negara Islam lain menghadapi konflik yang tak
berkesudahan.639

635
Azra, “Islam Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global”, h. 88.
636
Azra, “Islam Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global”, h. 88.
637
Mujamil Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia? Kajian Komprehensif atas Arah
Sejarah dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara (Bandung: Mizan, 2012), h. 3.
638
Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia?, h. 31-36.
639
Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia?, h. 2.
244
D. Islam Indonesia dan Kontribusinya untuk Peradaban Global
Dalam Fajar Baru Islam Indonesia, Mujamil Qomar menulis, “Indonesia belum
memiliki pengalaman sebagai pusat peradaban Islam. Selama ini, umat Islam
Indonesia menjadi konsumen terhadap pemikiran-pemikiran Islam produk para
pemikir Islam dari Mesir, Iran, India-Pakistan, dan Barat.” 640 Bila menilik kondisi di
masa lalu, pernyataan ini mungkin bisa diterima. Sebagaimana diuraikan oleh Badri
Yatim bahwa peradaban Islam di kawasan Asia Tenggara –khususnya Indonesia-
memang masih menjadi bahasan khusus dalam kajian sejarah peradaban Islam.
Peradaban Islam di kawasan tersebut bahkan terpisah dari sejarah peradaban Islam
pada umumnya yang masih terpusat di Timur Tengah. Hal itu bisa dimaklumi karena
peradaban Islam Asia Tenggara baru muncul belakangan dibanding Islam di
kawasan lainnya. Namun, bukan tidak mungkin di masa depan Islam Indonesia
menjadi pusat peradaban. Islam Indonesia mempunyai potensi untuk
mencapainya.641 Sebagaimana kata Ahmad Baso dalam salah satu judul bab
bukunya, “Kita bukan hanya menerima, tapi juga memberi warna keunggulan atas
Islam itu”.642
Telah disebutkan sebelumnya, ada beberapa keunggulan yang dimiliki
Indonesia dibanding negara-negara muslim lain sebagai potensi pusat peradaban,
yaitu: memiliki penduduk muslim terbesar di dunia, memiliki wilayah paling luas
dan paling subur, memiliki budaya tradisional yang paling kaya, letak geografis
yang jauh dari pusat konflik, sumber daya alam yang beragam dan melimpah, dan
merupakan negara demokratis terbesar ketiga di dunia serta pertama di dunia Islam.
643
Namun, Indonesia masih memiliki handicap (kekurangan) seperti kualitas
pendidikan yang rendah, perekonomian yang tidak sesuai harapan, lemahnya
penegakan hukum karena intervensi politik, mafia hukum, makelar kasus,
diskriminatif, sikap pragmatisme masyarakat dan kurangnya etos kerja, dan kuatnya
feodalisme sebagai warisan masa lalu. 644 Kekurangan atau rintangan tersebut perlu
penanganan tidak hanya dari masyarakat, tapi juga pemerintah. Namun, di antara
keunggulan dan kelemahan tersebut, ada beberapa potensi yang bisa dikembangkan,
yaitu: pluralisme agama, proses santrinisasi, dan moderatisme paham keagamaan. 645
Dari uraian panjang di atas, tampak sekali bahwa kultur Indonesia
menekankan perdamaian, moderat, dan toleran. Tiga aspek ini bisa dijadikan sebagai
acuan untuk berkontribusi pada peradaban dunia.
Indonesia Juru Damai Dunia
“Kita butuh Islam ramah, bukan Islam marah…Kita butuh Islam yang
merangkul, bukan Islam yang memukul. Kita butuh Islam yang mengasihi,
bukan Islam yang membenci. Kita butuh Islam yang mengapresiasi, bukan

640
Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia?, h. 1.
641
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 5-8.
642
Ahmad Baso, Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia (Jilid 1),
(Jakarta: Pustaka Afid, 2015), h. 85….
643
Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia?, h. 3.
644
Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia?, h. 3.
645
Qomar, Fajar Baru Islam Indonesia?, h. 3.
245
Islam yang mendiskriminasi. Kita butuh Islam yang pluralis, bukan Islam
yang rasis.”646
Pernyataan di atas seringkali diucapkan oleh tokoh-tokoh muslim moderat di
Indonesia. Mereka berupaya untuk menebarkan nilai-nilai keislaman yang ramah,
damai, tenteram, dan aman. Seperti itulah cara mereka mengaktualisasikan ajaran
islam wasathiyyah. Menurut Azyumardi Azra, aktualisasi Islam wasathiyyah di
Indonesia bermula sejak awal penyebaran Islam, khususnya akhir abad ke-12 dan
awal abad ke-13 yang berlangsung secara damai.647 Bahkan Azra membahasakan
Islam Indonesia sebagai Islam yang rileks. “Islam Indonesia dikenal sebagai the
smiling and colorful Islam, Islam yang penuh warna dan kedamaian.”648
Ajaran damai ala Islam wasathiyyah yang dianut di Indonesia pada akhirnya
turut berperan dalam mewujudkan perdamaian dunia. Sebagaimana diketahui pleh
khalayak umum, dunia kini sedang menghadapi ancaman dari paham radikalisme,
intoleran, rasisme, sampai terorisme. Di berbagai belahan dunia, paham-paham
tersebut menimbulkan konflik yang tak jarang berujung perpecahan. Kejadian ini
juga menimpa negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim. Dalam kasus ini,
Indonesia tampil di depan sebagai mediator atau penengah antara dua kubu yang
berselisih. Sejak dulu, Indonesia sering menjadi juru pendamai. Misalnya, pada
periode tahun 2005-2009, Kementerian Luar Negeri Indonesia telah bekerja sama
dengan organisasi-organisasi Islam dan figur-figur terkemuka Islam Indonesia untuk
turut aktif dalam berbagai konferensi antaragama dan antarperadaban yang
diselenggarakan di Indonesia dan kawasan Asia-Pasifik dan Eropa. Tak hanya itu,
Indonesia juga menjadi mediator antara pemimpin Hamas dan pemimpin Islam
Thailand untuk menyelesaikan konfliknya. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip
negara Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945, yakni turut serta dalam menjunjung
tinggi perdamaian dunia.649
Indonesia Sebagai Percontohan Demokrasi
Sejak runtuhnya era Orde Baru, dunia internasional mengenal Indonesia sebagai
negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Sebagai negara
dengan penduduk muslim terbanyak di dunia dan menganut sistem demokrasi,
Indonesia menjadi satu-satunya negara mayoritas penduduk muslim yang berhasil
menerapkan sistem tersebut. Buktinya, Indonesia mampu menjalankan pemilu secara
damai sampai saat ini. Padahal, berbagai penelitian dan survey menyimpulkan ada
defisit demokrasi di Dunia Islam. Atas kondisi tersebut, banyak kalangan di Dunia
Barat dan Dunia Muslim memberikan apresiasi dan berharap Indonesia dapat
memainkan peran lebih besar di tingkat internasional. Di antara peran yang mereka

646
Said Aqil Siradj & Mamang Muhamad Haerudin, Berkah Islam Indonesia: Jalan
Dakwah Rahmatan Lil’alamin, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2015), h. 14.
647
Azyumardi Azra, “Islam Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global”, Prisma,
vol. 29, no. 4 (Oktober, 2010), h. 85.
648
“Profesor Azyumardi Azra: Islam di Indonesia Adalah Islam yang Rileks”, diakses
dari https://www.dw.com/id/profesor-azyumardi-azra-islam-di-indonesia-adalah-islam-yang-
rileks/a-48575784 pada Kamis 12/12/2019.
649
Azra, “Islam Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global”, h. 91.
246
harapkan adalah menyebarkan Islam moderat atau wasathiyyah dan memberdayakan
demokrasi di Dunia Muslim. 650
Tokoh cendekiawan muslim Indonesia, Azyumardi Azra beberapa kali
pernah diundang oleh beberapa negara di Timur Tengah untuk menceritakan tentang
pengalaman Indonesia dalam mengembangkan Islam wasathiyyah, demokrasi, dan
organisasi-organisasi civil society atau masyarakat madani. Menurutnya, itu
menunjukkan adanya ketertarikan Timur Tengah untuk melihat dan menimba
pengalaman Islam Indonesia dalam kehidupan keagamaan, sosial-budaya, dan
politik. Ini merupakan sebuah kemajuan karena sebelumnya Timur Tengah seolah
enggan melihat Islam di kawasan non-Arab. 651
Indonesia Juru Toleransi Beragama
Sejak dulu, Indonesia telah dikenal sebagai negara yang kaya kultur dan budaya.
Indonesia dihuni oleh berbagai suku yang mempunyai karakteristik khasnya masing-
masing. Dalam naungan Pancasila dan sloga “Bhinneka Tunggal Ika” mereka
bersatu padu tanpa pandang bulu. Dengan nilai-nilai yang terpatri pada Pancasila,
rakyat Indonesia hidup rukun, tenteram dan penuh toleran.
Salah satu hal yang membuat Indonesia dilirik oleh dunia adalah mengenai
toleransi antar umat beragama. Kehidupan umat beragama di Indonesia patut
dicontoh. Mereka hidup damai berdampingan dengan rukun dan saling pengertian.
Tak jarang bahkan saling tolong menolong tanpa sekat, bergotong royong untuk
menyelesaikan masalah bersama. Yang terbaru, toleransi antar umat beragama yang
membumi di tengah pluralisme masyarakat yang sangat kompleks ini mendapat
pengakuan dari Jerman. Aktualisasi konsep Islam berkemajuan dan Islam jalan
tengah yang dijalani oleh masyarakat muslim Indonesia dianggap berperan dalam
menghidupkan nilai toleransi.652
Kerukunan antar umat beragama di Indonesia memang begitu nyata.
Meskipun terkadang terjadi konflik antar pemeluk agama, masalah tersebut segera
diatasi sehingga tidak menimbulkan perpecahan di masyarakat. Dalam hal ini,
keberadaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sangat berperan sebagai
garda terdepan menjaga stabilitas hubungan antar umat. FKUB merupakan wadah
yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah Daerah Provinsi/
Kabupaten/ Kota bersama Kementerian Agama dalam rangka membangun,
memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan
kesejahteraan. Kepengurusan FKUB daerah langsung dikukuhkan melalui SK
Gubernur/ Bupati/ Walikota.653 Sampai kini, FKUB telah terbentuk di 34 provinsi,
405 kabupaten, dan 98 kota.654

650
Azra, “Islam Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global”, h. 89.
651
Azra, “Islam Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global”, h. 90.
652
“Indonesia Jadi Inspirasi Toleransi Beragama dan Multikulturalisme Bagi Jerman”,
berita pada tanggal 30 April 2019 dan diakses dari https://kemlu.go.id pada Senin,
16/12/2019.
653
Diakses dari https://pkub.kemenag.go.id/artikel/43236/pemberdayaan-forum-
kerukunan-umat-beragama-fkub pada Senin, 16/12/2019.
654
“Forum Kerukunan Umat Beragama Sudah Ada di 34 Provinsi”, JPNN.com,
diakses pada Senin, 16/12/2019.
247
Selain FKUB, ormas-ormas besar Islam di Indonesia –seperti NU dan
Muhammadiyah- juga turut berperan aktif dalam mengampanyekan toleransi antar
umat beragama. Konsep toleransi yang lebih dikenal sebagai tasamuh senantiasa
diterapkan oleh masing-masing pengikut ormas besar Islam tersebut.655 Maka tidak
heran bila salah satu ajaran Islam wasathiyyah ini mendarah daging pada umat
muslim Indonesia. Fenomena inilah yang kemudian membuat dunia ingin belajar
dari Islam Indonesia.
E. Penutup
Islam Indonesia mempunyai karakteristik dan distingsi khusus dibanding Islam di
kawasan lainnya. Beberapa karakteristik utama Islam Indonesia seperti Islam damai,
Islam moderat, dan Islam toleran. Dengan karakteristik teresebut, Islam Indonesia
bisa berkontribusi nyata pada peradaban global sebagai juru damai, model
percontohan demokrasi Islam, dan juru toleransi beragama. Melalui beberapa
kontribusi tersebut, Indonesia ikut berperan dalam mewujudkan perdamaian dunia.

655
“PBNU: NU Akan Terus Kembangkan Ajaran Toleransi”, nuonline, diakses pada
Senin, 16/12/2019. Lihat pula: “Muhammadiyah: Toleransi Antarumat Kunci Jaga Nilai
Kebhinekaan”, kompas.com, diakses pada Senin, 16/12/2019.
248
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur
(Yogyakarta: LKiS, 2010)
Ahmad Baso, Islam Nusantara: Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia (Ciputat:
Pustaka Afid, 2015)
Ambary, Hasan Muarif. Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis
Islam Indonesia (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1998)
Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII & XVII. Jakart, Kencana. 2013.
_________Renaisans Islam Asia Tenggara. cet. 1. Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya. 1999.
__________“Distinguishing Indonesian Islam: Some Lessons to Learn” dalam Jajat
Burhanudin dan Kees van Dijk (ed.), Islam in Indonesia: Contrasting
Images and Interpretations (Amsterdam: Amsterdam University Press,
2013), h. 63-74.
__________“Islam Indonesia: Kontribusi pada Peradaban Global”, Prisma, vol. 29,
no. 4 (Oktober, 2010), h. 85.
Osborne, Milton. Southeast Asia: An Introductory History, ed. ke-9 (Australia: Allen
& Unwin, 2004)
Oxford University Press, Oxford Wordpower, (New York: Oxford University Press,
2003)
Partanto, Pius A. dan Al-Barry, M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer (Surabaya:
Arkola, 2001)
Qomar, Mujamil. Fajar Baru Islam Indonesia? Kajian Komprehensif atas Arah
Sejarah dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara (Bandung: Mizan, 2012)
Siradj, Said Aqil, & Haerudin, Mamang Muhamad, Berkah Islam Indonesia:
Jalan Dakwah Rahmatan Lil’alamin, (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2015)
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, cet. 4
(Jakarta: Balai Pustaka, 2007)
Tjandrasasmita, Uka. “Datangnya Islam dan Berkembangnya di Indonesia dalam
Kaitannya dengan Asia Tenggara” dalam Seminar Internasional Tentang
Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Lembaga Penelitian IAIN Syarif
Hidayatullah, 1986)
W. M., Abdul Hadi. Cakrawala Budaya Islam: Sastra, Hikmah, Sejarah, dan
Estetika (Yogyakarta: IRCiSoD, 2016)
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, cet. 25 (Jakarta: Rajawali Press, 2014)

249
Online:
Azyumardi Azra, “Islam Nusantara (1)”, republika.co.id,
https://republika.co.id/berita/kolom/resonasi/15/06/17/nq3f9n-islam-
nusantara-1 (Diakses pada 05 November 2018)
Azyumardi Azra, “Warisan Islam Asia Tenggara (1)”, Republika.co.id, (Diakses
pada Rabu, 31 Oktober 2018)
Joko Panji Sasongko, “Muktamar NU Angkat Tema Tentang Islam Nusantara”,
CNN Indonesia (24/07/2015),
https://m.cnnindonesia.com/nasional/20150730142952-20-69107/muktamar-
nu-antara-islam-nusantara-dan-peradaban-dunia (Diakses pada tanggal 06
November 2018)
Heyder Affan, “Polemik di Balik Istilah ‘Islam Nusantara’”, bbc.com, (Diakses pada
Selasa, 06 November 2018)
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Indonesia (Diakses pada tanggal 14 Desember 2019)
Indonesia.Go.ID. (Diakses pada 16 Desember 2019)
“Indonesia adalah Sebuah Negeri Bermukjizat. Adakah buktinya?”,
https://nationalgeographic.grid.id/amp/131730920/indonesia-adalah-sebuah-
negeri-bermukjizat-adakah-buktinya (Diakses pada tanggal 12 Desember
2019)
“Azyumardi Azra: Islam di Indonesia Terlalu Besar untuk BIsa Gagal”, kompas.com
(04/06/2017),https://amp.kompas.com/nasional/read/2017/06/04/21360011/a
zyumardi.azra.islam.di.indonesia.terlalu.besar.untuk.bisa.gagal (Diakses
pada tanggal 12 Desember 2019)
“PBNU: NU Akan Terus Kembangkan Ajaran Toleransi”, nuonline, (Diakses pada
tanggal 16 Desember 2019)
“Muhammadiyah: Toleransi Antarumat Kunci Jaga Nilai Kebhinekaan”,
kompas.com, (Diakses pada tanggal 16 Desember 2019)
“Indonesia Jadi Inspirasi Toleransi Beragama dan Multikulturalisme Bagi Jerman”,
https://kemlu.go.id , (Diakses pada tanggal 16 Desember 2019)
https://pkub.kemenag.go.id/artikel/43236/pemberdayaan-forum-kerukunan-umat-
beragama-fkub (Diakses pada tanggal 16 Desember 2019)
“Forum Kerukunan Umat Beragama Sudah Ada di 34 Provinsi”, JPNN.com,
(Diakses pada tanggal 16 Desember 2019)
“Profesor Azyumardi Azra: Islam di Indonesia Adalah Islam yang Rileks”,
https://www.dw.com/id/profesor-azyumardi-azra-islam-di-indonesia-adalah-
islam-yang-rileks/a-48575784, (Diakses pada tanggal 12 Desember 2019)

250
251
ISLAM INDONESIA: KONTRIBUSI PADA PERADABAN GLOBAL
Muhammad Aminul Wahid (21191200000025)

Abstrak
Islam datang di Indonesia tidak melalui jalan militer, melainkan
datang secara damai oleh guru sufi pengembara. Penyebaran ajaran
Islam di Indonesia dilakukan dalam proses yang panjang dan melalui
adaptasi dan seleksi terhadap budaya dan tradisi yang sudah ada. Hal
yang demikian menjadikan Islam Indonesia memiliki distingsi yaitu
islam yang moderat dan toleran atau biasa dikenal dengan Islam
Wasatiyyah. Sikap moderat dan toleran tersebut menjadikan Islam
mampu hidup damai dan berdampingan dengan budaya dan agama
lain di Indonesia. kondisi yang demikian diharapkan bisa menjadikan
Islam Indonesia sebagai percontohan bagi negara Islam lainnya,
utamanya dalam mewujudkan kedamaian di lingkup regional maupun
Internasional.
Kata kunci: Islam, Indonesia, Wasatiyyah..

A. Pendahuluan
Pada beberapa tahun terakhir, banyak bermunculan kelompok-kelompok yang
kurang tepat dalam menjalankan kehidupan beragama. Semua persoalan mereka
jawab hanya berdasarkan dalil dalil agama tanpa mempertimbangkan aspek sosial
yang ada. Mereka cenderung mengabaikan budaya setempat. Dan tidak jarang
mereka menunjukkan karakternya yang ekstrem dan itu meresahkan masyarakat.
Lebih parah lagi, muncul aksi terorisme yang mengatasnamakan agama. Maraknya
hal yang demikian menyadarkan masyarakat tentang perlunya memahami esensi
beragama yang benar. Sebab tindakan-tindakan teror, ekstrem dan intoleran tidak
dibenarkan dalam agama manapun.
Paham yang dianut kelompok yang demikian tentu tidak sesuai dengan karakter
asli Islam Indonesia. Dalam sejarahnya, Islam menyebar ke Indonesia melalui jalan
yang damai. Nilai-nilai islam perlahan disisipkan pada budaya dan tradisi
masyarakat, utamanya kesenian. Menghadapi budaya yang ada, islam tidak
menolaknya mentah-mentah, melainkan melakukan seleksi hingga akhirnya ajaran
islam hidup bersama dengan budaya Indonesia. Hal-hal yang demikian banyak
terjadi saat penyebaran Islam di tanah Jawa oleh Wali Songo.
Islam Indonesia yang dikenal moderat perlu dikampanyekan kembali ke ruang
publik, utamanya Internasional. Hal ini untuk membantah pemahaman publik
Internasional yang meyakini bahwa Islam adalah agama yang mendukung aksi

252
ekstremisme, dan radikalisme di banyak tempat. Bahkan, Duta Besar Jerman
mengatakan dalam sebuah konferensi: “kita perlu memperkenalkan ke publik
Jerman, corak dan warna Islam yang lain. Islam tidak identik dengan etnis tertentu.
Islam yang dipraktekkan masyarakat Indonesia adalah contoh nyata bagaimana
Islam mampu menjadi pelopor toleransi di tengah ratusan kelompok etnis atas suku
bangsa yang beragam.”656
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam makalah ini akan membahas
tentang apa yang dimaksud dengan Islam Indonesia, bagaimana moderatisme Islam
di Indonesia, dan bagaimana kontribusi Islam Indonesia dalam mewujudkan
perdamaian dunia saat ini.

B. Islam Indonesia
Agama Islam berupa wahyu Allah Swt adalah satu tetapi pemikiran dan
pemahaman para ulama terhadap wahyu adalah beragam. Nilai dan norma dalam
Islam yang dianut seluruh umat muslim adalah berada dalam satu kesepakatan yang
sama, hanya saja terdapat perbedaan dalam memberikan ekspresi dan praktek
keagamaan di masing-masing wilayah, utamanya di Indonesia.657 Perbedaan tersebut
muncul karena berbagai faktor, salah satunya adalah perbedaan proses penyebaran
Islam di setiap wilayah.
Islam, ketika datang di Indonesia dinilai sebagai agama baru karena
kedatangannya adalah paling akhir dibanding dengan agama dan kepercayaan yang
sudah ada di Indonesia, seperti Hindu, Budha, Animisme, dan Dinamisme. Karena
posisinya sebagai agama pendatang (baru), tentu dalam berdakwah harus dilakukan
dengan strategi tertentu, utamanya dalam beradaptasi dan seleksi dalam menghadapi
budaya serta tradisi yang sudah berkembang di Indonesia.
Kondisi wilayah Indonesia yang berupa kepulauan menjadikan perkembangan
Islam di Indonesia penuh warna, lantaran adanya keragaman budaya dan tradisi pada
setiap pulau tersebut. Belum lagi, dalam satu pulau diisi oleh penduduk dengan
beragam suku yang tentu setiap suku mempunyai tradisi masing-masing. Kondisi
demikian membuat perjumpaan Islam dengan budaya lokal menimbulkan akulturasi
budaya. Sehingga ekspresi Islam tampil beragam dan kaya kreativitas kultural-
religius, walaupun dalam kasus tertentu terjadi ketidaksempurnaan atau bahkan
penyimpangan dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam.
Kondisi tersebut adalah risiko yang muncul dalam akulturasi budaya.
Sedangkan di sisi lain, ketika Islam disebarkan di Indonesia ada sebuah keharusan
untuk membaur dengan budaya lokal agar Islam bisa diterima dengan mudah.
Andaikata saat itu Islam bersikap keras terhadap budaya dan tradisi lokal yang ada,

656
Azyumardi Azra, Islam Indoenesia: Model Plurikulturalisme (2), diakses dari
https://republika.co.id/berita/prjx5m440/islam-indonesia-model-plurikulturalisme-2, pada 15
Desember 2019.
657
Akhmad Sahal (ed), Islam Nusantara dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan
(Bandung: Mizan, 2015), h. 98.
253
maka yang akan terjadi adalah adanya penentangan terhadap Islam bahkan
peperangan dengan pemangku budaya, tradisi atau adat lokal sebagaimana yang
telah terjadi pada perang Padri di Sumatera. Maka solusi yang muncul saat itu adalah
melakukan seleksi terhadap budaya maupun tradisi yang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam untuk disesuaikan sehingga mengekspresikan Islam yang khas.
Ekspresi Islam lokal ini cenderung berkembang sehingga menimbulkan Islam yang
beragam.658 Keberagaman tersebut merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan
dan perkembangan Islam di Indonesia yang kaya budaya dan tradisi.
Ketika istilah Islam Indonesia muncul ke permukaan masyarakat, muncul
banyak penolakan dengan argumen bahwa Islam itu satu, di manapun tempatnya
agama Islam itu sama. Menyikapi hal tersebut, Mohammad Ali menegaskan bahwa
Islam memang satu, namun ketika Islam telah membumi, pemahaman dan ekspresi
umatnya sangat beragam.659 Ahmad Syafii Maarif mengungkapkan “sebuah Islam,
seribu satu ekspresi”.660 Menurut Azra, Islam satu hanya terdapat pada al-Qur’an.
Tetapi al-Qur’an (serta hadis) membutuhkan penjabaran yang rinci sehingga maksud
ayat-ayatnya perlu ditafsirkan dan dijelaskan. Akhirnya menumbuhkan penjelasan
dan penafsiran yang berbeda-beda hingga mengkristal menjadi bangunan mazhab
ataupun aliran.661
Islam Indonesia tetap berpijak pada akidah tauhid sebagaimana esensi ajaran
Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Istilah Islam Indonesia dimunculkan untuk
menegaskan pentingnya sebuah keselarasan dan kontekstualisasi terhadap budaya
dan tradisi lokal sepanjang tidak melanggar esensi ajaran Islam. Tentu saja, Islam
Indonesia tidak seekstrem Islam Turki era Mustafa Kemal Attatruk yang pernah
mengumandangkan azan dengan bahasa Turki. Ada pokok-pokok ajaran Islam yang
tidak bisa dilokalkan.
Istilah “Islam Indonesia” secara sederhana merujuk pada komunitas muslim di
Indonesia yang mengimani rukun Islam yang sama dan mengamalkan Ibadah yang
sama, namun dalam pengejawantahan kehidupan sosial budaya Islamnya memiliki
distingsi tersendiri yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia Muslim.662 Hal ini
yang kemudian menjadi identitas dan ciri khas Islam Indonesia, yang tentu berbeda
dengan komunitas muslim di negara-negara lain.
Islam Indonesia mempunyai berbagai karakteristik khas yang membedakannya
dengan karakteristik Islam kawasan lain, khususnya Islam di Timur Tengah.

658
Mujamil Qomar, “Ragam Identitas Islam di Indonesia dari Perspektif Kawasan”,
Episteme, Vol.10, No.2 (2015), h. 319.
659
Mohammad Ali, Islam Muda Liberal, Post Puritan, Post Tradisional (Yogyakarta:
Apeiron Philates, 2006), h. 10
660
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan
Sebuah Refleksi Sejarah (Bandung: Mizan, 2009), h. 181.
661
Azyumardi Azra, “Jaringan Ulama Nusantara”, dalam Akhmad Sahal dan Munawir
Aziz, Islam Nusantara dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan, h. 172.
662
Azyumardi Azra, “Islam Indonesia: Kontrribusi pada Peradaban Global”, Prisma,
Vol.29, No.4, Oktober 2010, h.83.
254
Wilayah Indonesia memiliki sejumlah keunikan dibandingkan dengan negara lain,
mulai dari keunikan geografis, sosial politik, dan tradisi peradaban. Keunikan
tersebut dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi ulama terdahulu dalam
menjalankan Islam di Indonesia yang akhirnya membentuk warna islam Indonesia.
menurut Zainul Milal, Islam Nusantara (Indonesia) adalah Islam yang ramah,
terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar
bangsa dan negara. Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan budaya,
dan agama yang beragam. Islam tidak hanya cocok diterima orang Indonesia,
melainkan juga cocok mewarnai budaya Nusantara (Indonesia) untuk mewujudkan
sifat akomodatifnya, yakni rahmatan lil ‘Alamin.
Melihat banyaknya konflik di negara muslim saat ini, model Islam Indonesia
sangat dibutuhkan, karena memiliki ciri khas mengedepankan jalan tengah karena
bersifat tawassut (moderat), tidak ekstrem kanan dan kiri, selalu seimbang, inklusif,
toleran, dan bisa hidup berdampingan secara damai dengan penganut agama lain,
serta bisa menerima demokrasi dengan baik.663 Model Islam Indonesia atau biasa
juga disebut dengan Islam Kepulauan Nusantara bisa dilacak dari sejarah kedatangan
ajaran Islam di wilayah Nusantara yang kemudian mengalami proses
vernakularisasi664 dan diikuti proses pribumisasi, sehingga Islam menjadi tertanam
dalam budaya Indonesia.665
Istilah Pribumisasi Islam diungkapkan oleh KH. Abdurrahman Wahid
(Gusdur). Menurutnya, pribumisasi Islam bukanlah Jawanisasi atau Sinkretisme.
Pribumisasi Islam mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam
merumuskan hukum-hukum agama, tanpa menambah hukum itu sendiri. Pribumisasi
Islam juga bukan upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma
itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang
yang disediakan oleh variasi pemahaman nas, dengan tetap memberikan peranan
kepada usul fikih dan kaidah fikih.666
Budaya suatu negara menempati posisi yang setara dengan budaya Arab dalam
menyerap dan menjalankan ajaran Islam. Tradisi Islam Kepulauan
Nusantara/Indonesia menunjukkan suatu tradisi Islam dari berbagai daerah di
Indonesia yang melambangkan kebudayaan Islam dari daerah tersebut. Dengan

663
Zainul Milal Bizawie, “Islam Nusantara sebagai Subjek dalam Islamic Studies”,
dalam Akhmad Sahal dan Munawir Aziz, Islam Nusantara dari Ushul Fiqh hingga Paham
Kebangsaan, h. 241.
664
Menurut Azra, Vernakularisasi adalah pembahasaan kata-kata atau konsep kunci
dari Bahasa Arab ke bahasa lokal di Nusantara, yaitu bahasa Melayu, Jawa, Sunda dan tentu
saja bahasa Indonesia. lihat
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/06/150614_indonesia_islam_nusantar
a diakses pada 12 Desember 2019.
665
Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan,
2002), h. 15.
666
Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam” dalam Akhmad Sahal dan Munawir
Aziz, Islam Nusantara dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan, h. 35.
255
demikian, corak Islam Indonesia tidaklah homogen karena satu daerah dengan
daerah lainnya memiliki ciri khasnya masing-masing tetapi memiliki napas yang
sama. Kesamaan napas merupakan sari pati dan hikmah dari perjalanan panjang
Islam berabad-abad di Indonesia yang telah menghasilkan suatu karakteristik Islam
Indonesia yang lebih mengedepankan aspek esoteris hakikat dari pada eksoteris
syariat.667
Semenjak awal, Islam Indonesia memiliki corak dan tipologi tersendiri, yaitu
Islam yang ramah dan moderat dan merupakan Islam garis tengah yang menganut
landasan ideologi dan filosofis moderat.668 Arus besar yang diwakili NU dan
Muhammadiyah telah menjadi merek paten bagi gerakan Islam moderat, modern,
terbuka, inklusif, dan konstruktif.669 Moderasi dan toleransi menjadi karakteristik
mainstream anggota kedua organisasi tersebut. Moderasi NU dan Muhammadiyah
ini mewarnai corak Islam Indonesia selama ini. Sebab dua organisasi Islam terbesar
ini merupakan simbol Islam Indonesia, kendatipun ada juga organisasi Islam lain
yang menyerupai kedua ormas tersebut.
Penggunaan Istilah Islam Indonesia bukan bermaksud memetakan, melainkan
adalah upaya menjadikan Islam Indonesia sebagai prototype bagi kehidupan negara-
negara muslim yang ideal, baik dalam menjalankan ajaran agama atau bahkan
membumikan prinsip-prinsip demokrasi yang terbuka. Karena sebagaimana yang
telah dijelaskan, Islam Indonesia dalam pengamalannya mengedepankan toleransi
dan menghargai keberagaman, sudah sepatutnya dijadikan model masyarakat
muslim lain dalam mewujudkan kehidupan lokal, regional, dan bahkan internasional
yang lebih baik.670
Istilah Islam Indonesia semakin muncul seiring maraknya pertikaian yang
mengatasnamakan agama, dan bahkan agama menjadi alat legitimasi untuk menebar
ketakutan, merusak persaudaraan, dan tidak jarang hingga mengorbankan nyawa.
Rentetan peristiwa itu, oleh sebagian kalangan dinilai sebagai kegagalan memahami
pesan-pesan keagamaan di tengah kehidupan. Pada akhirnya, fenomena yang terjadi
telah melahirkan kebuntuan untuk menciptakan rasa aman dan jaminan keselamatan
bagi semua kalangan. Atas dasar itu, hadirnya Islam Indonesia diperlukan untuk
memahami Islam yang tidak hanya berisi doktrin keagamaan, melainkan juga
mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian.
Di samping itu, dorongan dan keperluan tersebut juga disebabkan oleh semakin
dikenalnya Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, sekitar 88,2
persen dari 235 juta total penduduk Indonesia. Dalam satu dasawarsa terakhir,

667
Zainul Milal Bizawie, “Islam Nusantara sebagai Subjek…...”, h. 241.
668
Sucipto, Hery (Eds.), Islam Madzhab Tengah Persembahan 70 Tahun Tarmizi
Taher (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2007), h. 18.
669
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan
Sebuah Refleksi Sejarah (Bandung: Mizan Bekerjasama dengan Maarif Institute, 2009), h.
304.
670
Azyumardi Azra, “Islam Indonesia: Kontrribusi pada Peradaban Global”, h.91
256
Indonesia juga merupakan negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan AS.
Hal ini memperkuat sebagian kalangan untuk memahami bagaimana Islam di
Indonesia.671

C. Moderatisme Islam Indonesia sebagai Pilar Perdamaian

Salah satu ciri utama Islam Indonesia adalah selalu berusaha untuk
mewujudkan sikap moderat, tidak ekstrem kiri dan tidak ekstrem kanan. Bahasa lain
untuk mengungkapkan Islam moderat adalah Islam Wasathiyyah, yakni Islam yang
berada di tengah, seimbang, tidak berdiri pada dua kutub ekstrem, baik dalam
pemahaman dan pengamalan Islam. Pemahaman terhadap istilah moderat biasanya
merujuk pada padanan sejumlah kata dalam bahasa Arab, yaitu tawassut (moderat),
al-tawazun (seimbang), dan i’tidal (adil).672
Kata Wasatiyyah secara normatif merupakan ekspresi dari ummatan wasatan
yang berasal dari al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 143:

ِ ‫ك َج َع ْلٰن ُك ْم اُامةً او َسطًا لِتَ ُك ْونُ ْوا ُش َه َداءَ َعلَى الن‬


‫ااس َويَ ُك ْو َن الار ُس ْو ُل َعلَْي ُك ْم َش ِهْي ًدا‬ ِ
َ ‫َوَك ٰذل‬
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat
pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”

Pemikiran Islam kontemporer mensejajarkan dan mengidentikkan istilah Ummatan


Wasathan dengan Islam Wasathiyyah. Gagasan Ummatan Wasathan sebenarnya
tidak baru bagi Indonesia. Menurut Azra, Jauh sebelum terjadinya Peristiwa 11
September 2001 di Amerika Serikat, Menteri Agama Tarmizi Taher (periode 1992-
1997), misalnya, sangat tekun mengampanyekan Islam Indonesia sebagai contoh
aktualisasi ummatan washatan dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam pada
masa kontemporer. Ini dapat dilihat dari karya Tarmizi Taher tentang ummatan
washatan yang diterbitkan dalam tiga bahasa: Indonesia, Arab, dan Inggris.673
Tarmizi Taher mengungkapkan istilah ummatan wasatan ketika membicarakan
berbagai pertikaian antar agama di Indonesia. Menurutnya, untuk mengatasi dan
mencegah terjadinya pertikaian-pertikaian di masa depan adalah dengan membentuk
ummatan wasathan, yaitu masyarakat yang moderat. Umat yang menghindari semua
perbuatan yang berlebihan atau ekstrem dan mengikuti jalan tengah dalam
melakukan tindakan apapun.674

671
Azra, “Islam Indonesia: Kontrribusi pada Peradaban Global”, h.83.
672
Danila Hilmi, “Mengurai Islam Moderat sebagai Agen Rahmatan Lil ‘Alamin,”.
Dalam M. Zainuddin dan Muhammad In’am Esha (ed), Islam Moderat: Konsepsi,
Interpretasi, dan Aksi (Malang: UIN-Maliki Press, 2016), h. 63.
673
Azra, “Islam Indonesia: Kontrribusi pada Peradaban Global”, h.85.
674
Tarmizi Taher, Menuju Ummatan Wasathan: kerukunan beragama di Indonesia
(Jakarta: PPIM-IAIN Jakarta, 1998), h. 163.
257
Islam moderat memiliki misi untuk menjaga keseimbangan antara dua macam
ekstrimitas, khususnya antara pemikiran, pemahaman dan gerakan Islam
fundamental dengan liberal, sebagai dua kutub ekstrimitas yang sulit dipadukan.
Maka Islam moderat memelihara dan mengembangkan kedamaian holistik, yakni
kedamaian sesama umat Islam maupun dengan umat-umat lainnya, sehingga Islam
moderat membebaskan masyarakat dari ketakutan. Islam moderat menawarkan
wacana pembebasan yang mencerahkan, sebab tidak berpijak pada pendekatan
kekerasan dan ketergesa-gesaan. Islam moderat juga merupakan upaya
menyelamatkan kondisi dunia sekarang ini. Peradaban Islam moderat dibangun dari
kombinasi akal, intuisi, wahyu, syariat, dan keimanan pada dua kitab, yaitu kitab
yang tertulis (al Quran) dan kitab yang terbuka (alam semesta). Oleh karena itu,
Islam moderat mampu bergerak secara fleksibel dalam menghadapi tantangan apa
pun. Islam moderat juga mampu merespons tradisi yang telah mengakar di
masyarakat, sehingga Islam moderat bertindak bijaksana.675
Pemahaman moderat tentang Islam dalam konteks Indonesia, dapat merujuk
pada penyebaran Islam yang dikenal sebagai “Wali Songo”676. Untuk
menggambarkan generasi Islam moderat di Indonesia bisa merujuk pada praktek
Islam yang dilakukan oleh ormas Islam seperti Muhammadiyah melalui “Lembaga
Sosial dan Pendidikan” dan Nahdlatul Ulama melalui pendidikan di “Pesantren”.
Pesantren sebagai miniatur komunitas Muslim Indonesia telah menunjukkan
karya-karya mereka dalam mengartikulasikan Islam moderat di Indonesia. Gaya
Islam moderat kemudian digunakan sebagai dasar dalam penyebaran Islam yang
bersahabat ke alam semesta. Dalam hal ini, ada beberapa tradisi yang telah lama
ditunjukkan oleh Pesantren, di mana Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua
dalam perkembangan dinamis sejarah Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh pengamat, telah menunjukkan bahwa sejak awal perkembangannya
(awal abad ke-16), masjid Islam atau sejenisnya, pesantren, dan nama lain yang
sesuai memberitakan Islam dengan temperamen ramah-lingkungan dan mudah
dengan warisan budaya. Islam dalam konteks Indonesia jenis ini lebih cocok
diungkapkan, dengan meminjam konsep Syafi'i Ma'arif, “Islam dalam Bingkai
Indonesia”. Azyumardi Azra sebagaimana yang dikutip oleh Syamsun Ni’am juga
sering menyebut bahwa Islam moderat adalah karakter asli umat Islam di
Indonesia.677

675
Mujamil Qomar, “Islam Nusantara: Sebuah Alternatif Model Pemikiran,
Pemahaman, dan Pengamalan Islam”, El Harakah, Vol.17, No.2 (2015), h.206.
676
Walisongo memahami bahwa Islam harus dikontekstualisasikan, tanpa kehilangan
esensi dari prinsip dan ajaran, sesuai dengan kondisi wilayah atau dunia di mana Islam
menyebar. Inilah yang kemudian dikenal sebagai konsep "pribumisasi Islam". Gagasan ini
dimaksudkan untuk mencairkan pola dan karakter Islam sebagai praktik normatif dan religius
menjadi sesuatu yang kontekstual.
677
Syamsun Ni’aam, “Pesantren: the miniature of moderate Islam in Indonesia”,
Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, Vol. 5, No. 1 (2015), h. 124.
258
Menurut Abdurrahman Wahid (Gusdur), Indonesia adalah negerinya kaum
Muslim moderat. Pernyataan tersebut beliau ungkapkan ketika melihat
perkembangan Islam Indonesia.678 Sebagai negara muslim terbesar dan negara
demokrasi ketiga setelah India dan Amerika Serikat, Indonesia diharapkan bisa
berperan lebih besar dalam menyebarkan Islam wasatiyyah. Azra menyatakan bahwa
Islam Indonesia adalah “Islam with a smiling face” yang penuh damai dan moderat
sehingga tidak ada masalah dengan modernitas, demokrasi, HAM, dan
kecenderungan-kecenderungan lain di dunia modern.
Keberadaan karakter moderat bagi Islam Indonesia ini telah dipertegas oleh
Presiden Joko Widodo pada pidato pembukaan MTQN ke-26 di Mataram, 30 Juli
2016. Menurut Presiden, sekarang saatnya Indonesia menjadi sumber pemikiran
Islam, sekaligus menjadi sumber pembelajaran Islam bagi dunia. “Negara-negara
lain harus juga melihat dan belajar Islam dari Indonesia, karena Islam di Indonesia
itu sudah seperti resep obat yang paten, yaitu Islam Wasaṭiyyah, Islam Moderat.
Sedangkan negara-negara lain masih mencari-cari formulanya”, demikian menurut
Presiden. Untuk mewujudkan karakter ini, Presiden telah menandatangani Peraturan
Presiden Nomor 57 Tahun 2016 tentang Pendirian Universitas Islam Internasional
Indonesia (UIII), yang diharapkan menjadi sumber ilmu Islam, sumber cahaya moral
Islam, dan benteng bagi tegaknya nilai-nilai Islam yang berkeseimbangan (tawāzun),
Islam yang toleran (tasāmuḥ), dan Islam yang egaliter (musāwah).679
Pemikiran, pemahaman, dan pengamalan Islam di Indonesia menunjukkan
kesejukan dan kedamaian. Hal demikian telah berlangsung sejak dahulu hingga
sekarang tanpa ada ketertarikan untuk mengikuti fenomena-fenomena tindakan
radikal yang berasal dari Timur Tengah yang meresahkan dunia. Selain itu, umat
Islam Indonesia mempunyai modal lebih, yaitu pengalaman berdemokrasi yang
mana sudah berlangsung dan berhasil mendahului negara muslim lainnya, baik dari
segi waktu maupun kualitas. Sehingga bisa dikatakan muslim Indonesia lebih dahulu
terlatih untuk bersikap terbuka, toleran, berinteraksi dengan pluralisme agama
maupun budaya, dan menggunakan pendekatan kultural dalam mengembangkan
ajaran Islam, dibanding dengan umat Islam di negara muslim lainnya di kawasan
manapun di dunia ini.680 Pengalaman ini memperkokoh keislaman Indonesia yang
selalu mengedepankan keramahan, toleransi, dan keterbukaan dalam menghadapi
realitas-realitas pluralis.681

678
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara
Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006), h. 60.
679
Presiden Jokowi, “Indonesia Sumber Pemikiran Islam Dunia,” diakses 13
Desember 2019, http://presidenri.go.id/berita-aktual/presiden-jokowi-indonesia-sumber-
pemikiran-islam-dunia.html
680
Mujamil Qomar, Fajar baru Islam Indonesia? Kajian komprehensif Atas Arah
Sejarah dan Dinamika Intelektual Islam Nusantara (Bandung: Mizan, 2012), h.187
681
Mujamil Qomar, “Islam Nusantara: Sebuah Alternatif Model Pemikiran,
Pemahaman, dan Pengamalan Islam”, h.211.
259
Menurut Alwi Shihab, model pemikiran, pemahaman dan pengamalan Islam di
Indonesia yang demikian membuahkan hasil yang membanggakan. Dunia luar
menilai Islam Indonesia dengan pandangan yang baik dan karakter yang memikat
sebagai rahmatan lil alamin, jauh dari radikalisme dan ekstremitas yang melanda
dunia dewasa ini. Bukan hanya umat Islam wilayah Timur yang mengagumi
pendekatan keagamaan Indonesia, Barat pun menunjuk Indonesia sebagai model
alternatif bagi kerukunan antar umat beragama di permukaan bumi ini.682 Bila
dibandingkan dengan negara-negara Muslim lainnya, umat Islam Indonesia lebih
menyukai pemahaman pluralis tentang agama daripada pandangan
establishmentarian. Melalui sejarah pengalaman yang panjang membangun
kerukunan antaragama, antarsuku dan antarbudaya, Indonesia bisa menjadi contoh
yang baik, bagi dunia Islam maupun dunia secara umum. Indonesia diharapkan
menjadi contoh sebuah Islam yang damai, terbuka, dan moderat. Jika harapan ini
terealisir, Islam Indonesia akan menjadi antitesis terhadap citra Islam yang sempat
dirusak oleh kelakuan segelintir orang yang memilih jalan kekerasan.683

D. Peran Organisasi Keagamaan: Inspirasi bagi Perdamaian Dunia


Umat islam di Indonesia mayoritas bergabung dengan ormas islam yang ada.
Ada sebagian yang secara resmi mengikrarkan dirinya sebagai anggota ormas islam
tertentu dan ada pula yang sekedar mengikuti amalan-amalan yang sudah menjadi
tradisi dalam ormas islam tersebut. Terlepas dari realita yang demikian, ormas islam
yang ada di Indonesia mayoritas memiliki sikap yang moderat dan toleran terhadap
perbedaan. Terlebih lagi, walaupun mereka bentuknya adalah organisasi keagamaan,
tetapi mereka memiliki kewajiban untuk taat terhadap negara yang bentuknya bukan
negara Islam, melainkan NKRI. Semua ormas islam di Indonesia memiliki
Anggaran Dasar yang landasannya adalah Pancasila dan UUD 1945. Hal yang
demikian menjadikan ormas islam di Indonesia sebagai penggerak umat muslim
yang moderat dan toleran.
Pada hari Kamis, 20 Juni 2019 diselenggarakan seminar dengan tema
“Challenging Islamic Extremism in Indonesia” di Kedutaan Besar RI di Oslo,
Norwegia. Dalam seminar tersebut mengusulkan dua ormas Islam terbesar RI,
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, menjadi penerima nobel perdamaian.
Seminar diisi oleh Franz Magnissuseno (Rohaniawan Katolik), Azyumardi Azra
(Cendekiawan Muslim), Yenny Wahid (The Wahid Institute), Marsudi Syuhud (NU)
dan Abdul Mu’ti (Muhammadiyah) dan dihadiri oleh akademisi, duta besar, pejabat
pemerintah, dan perwakilan organisasi sipil Norwegia.

682
Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung:
Mizan bekerja sama dengan Anteve, 1998), h.335.
683
Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan
Sebuah Refleksi Sejarah, h.. 244
260
Duta besar RI untuk Norwegia, Todung Mulya Lubis, berpendapat bahwa NU
dan Muhammadiyah adalah tulang punggung Islam Moderat di Indonesia yang
berperan penting dalam membendung gelombang ekstremisme agama. Menurutnya,
ekstremisme tersebut datang dari luar batas negara dan menyebar sebagai akibat dari
globalisasi. Ketika paham ini mengakar pada masyarakat Indonesia, konflik-konflik
agama akan meletus dan bisa jadi Indonesia akan hancur seperti Suriah.
Menurut Romo Magnis, gagasan moderatisme Islam yang diusung NU dan
Muhammadiyah menjadikan Indonesia tetap aman. Tradisi beragama yang ada pada
kedua ormas Islam tersebut dapat menginspirasi bagi komunitas manapun di belahan
dunia, utamanya Asia Tenggara. Oleh karenanya, sudah selayaknya NU dan
Muhammadiyah mendapat apresiasi dari dunia Internasional.
Tidak hanya romo Magnis, Azyumardi Azra juga mengakui kontribusi kedua
organisasi tersebut dalam pembuatan Islam ala Indonesia. Menurut Azra, Islam
Indonesia tidak diragukan lagi adalah Islam Wasatiyyah, yang pada umumnya, Islam
yang inklusif dan akomodatif, dan Islam yang paling tidak di-Arabisasi. Ada tiga
poin yang menjelaskan mengapa NU dan Muhammadiyah penting bagi Indonesia,
yaitu:
1. NU dan Muhammadiyah memperkuat kohesi sosial setelah transisi demokrasi
pada tahun 1998. Ketika Indonesia disapu oleh gelombang demokrasi, kedua
organisasi ini memainkan peran penting untuk menjaga persatuan bangsa
2. Pancasila sebagai ideologi negara adaptif dengan konsep Islam jalan tengah
yang dikampanyekan oleh NU dan Muhammadiyah. Hal ini dikarenakan
mayoritas muslim Indonesia menilai bahwa Pancasila sudah islami, dan pada
dasarnya sudah sesuai dengan ajaran fundamental Islam.
3. Umat Islam Indonesia sebagian besar selalu memilih jalan tengah. Terlepas
dari kenyataan bahwa 87 persen populasi Indonesia adalah Muslim, partai-
partai Islam tidak pernah memenangkan pemilihan besar.684
Di samping tiga poin di atas, Azra menambahkan bahwa selama NU dan
Muhammadiyah menegakkan jalan tengah dan Pancasila, kelompok-kelompok
ekstremis tidak akan pernah menang.
Dalam sejarahnya, moderatisme Islam sejatinya tidak hanya dimainkan oleh
dua organisasi tersebut, masih banyak organisasi Islam moderat lainnya seperti al-
Wasliyah, Mathla’ul Anwar, PUI, Persis, Nahdlatul Wathan, al-Khairat, dan
lainnya.685 Namun konsistensi NU dan Muhammadiyah dan juga berkat dukungan
anggota yang besar, menjadikan keduanya dikenal dalam peace campaign, baik
melalui pendidikan, sosial keagamaan, dan bahkan dalam forum-forum
internasional.

684
Nezar Patria, Face of Indonesian Islam: NU and Muhammadiyah Nominated for
Nobel Peace Prize”, diakses dari https://www.thejakartapost.com/news/2019/06/21/face-of-
indonesian-islam-nu-muhammadiyah-nominated-for-nobel-peace-prize.html , pada tanggal
14 Desember 2019.
685
Azra, “Islam Indonesia: Kontrribusi pada Peradaban Global”, h.85
261
Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa konsistensi dua organisasi
keagamaan ini dalam menyuarakan moderasi Islam berlangsung dalam tempo yang
cukup lama, persisnya semenjak keterlibatan keduanya dalam merumuskan dasar-
dasar negara di awal kemerdekaan, bahkan bisa jadi lebih awal dari itu. Perjuangan
yang dilakukan yang paling terlihat adalah melalui institusi pendidikan yang mereka
kelola maupun kiprah sosial politik yang dimainkan. Oleh karenanya, kedua ormas
islam tersebut patut disebut sebagai institusi civil society yang amat penting bagi
moderasi negeri ini.686
Salah satu contoh nyata dari peran ormas islam Indonesia dalam perdamaian
dunia adalah kontribusi NU sebagai mediator dalam upaya perdamaian di
Afghanistan. Pada tanggal 4-5 Juni 2013, NU melakukan pembicaraan dengan ulama
dan pimpinan setempat. Hasilnya, mereka sepakat untuk membangun persatuan dan
kesepakatan di antara faksi yang ada. Hal yang demikian tentu menjadikan mereka
membutuhkan sikap toleran. Dalam kesempatan itulah NU mengambil peran penting
dengan memperkenalkan prinsip tawasuth, tawazun, dan tasamuh.687
Pada akhirnya, karakter wasatiyyah yang dianut mayoritas muslim tanah air
dapat menjadi inspirasi dalam menyudahi berbagi persoalan di dunia islam, mulai
dari sekedar perbedaan pemahaman hingga aksi intoleransi di dunia Islam. Dan
untuk mewujudkannya, diperlukan peran dan dukungan semua pihak, termasuk
pemerintah yang dalam hal ini adalah Kementrian Luar Negeri untuk ikut
mengekspos Islam Wasatiyyah di tanah air ke dunia Internasional.

E. Kesimpulan
Islam moderat yang dianut oleh Islam Indonesia merupakan hasil dari proses
penyebaran Islam di Indonesia yang cukup lama dan berjalan secara damai. Dalam
menjalankan syariat islam, muslim Indonesia lebih mengedepankan esensinya
daripada sekedar istilah. Hal yang demikian menjadikan Islam Indonesia mudah
bergaul dengan budaya yang ada, menghargai perbedaan, dan mampu hidup
berdampingan dengan agama lain yang ada di Indonesia. sehingga terciptalah islam
yang cinta damai dan diharapkan islam ala Indonesia yang semacam ini menjadi
inspirasi bagi perdamaian global, khususnya di negara Islam itu sendiri.

686
Miftahuddin, “Islam Moderat Konteks Indonesia dalam Perspektif Historis”, Jurnal
Mozaik, Vol. 5, No.01, (2010), h. 48.
687
Mukafi Niam, Delegasi NU Fasilitasi Upaya Perdamaian Afghanistan, diakses
dari https://islam.nu.or.id/post/read/45010/delegasi-nu-fasilitasi-upaya-perdamaian-
afghanistan, pada tanggal 14 Desember 2019.

262
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad, Islam Muda Liberal, Post Puritan, Post Tradisional (Yogyakarta: Apeiron
Philates, 2006)
Azra, Azyumardi, “Islam Indonesia: Kontrribusi pada Peradaban Global”, Prisma, Vol.29,
No.4, Oktober (2010)
, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan, 2002)
,Islam Indoenesia: Model Plurikulturalisme (2), diakses dari
https://republika.co.id/berita/prjx5m440/islam-indonesia-model-plurikulturalisme-2,
pada 15 Desember 2019.
Jokowi, “Indonesia Sumber Pemikiran Islam Dunia,” diakses 13 Desember 2019,
http://presidenri.go.id/berita-aktual/presiden-jokowi-indonesia-sumber-pemikiran-
islam-dunia.html
Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan Sebuah
Refleksi Sejarah (Bandung: Mizan, 2009)
M. Zainuddin dan Muhammad In’am Esha (ed), Islam Moderat: Konsepsi, Interpretasi, dan
Aksi (Malang: UIN-Maliki Press, 2016)
Nezar Patria, Face of Indonesian Islam: NU and Muhammadiyah Nominated for Nobel
Peace Prize”, diakses dari https://www.thejakartapost.com/news/2019/06/21/face-of-
indonesian-islam-nu-muhammadiyah-nominated-for-nobel-peace-prize.html , pada
tanggal 14 Desember 2019.
Miftahuddin, “Islam Moderat Konteks Indonesia dalam Perspektif Historis”, Jurnal Mozaik,
Vol. 5, No.01, (2010)
Niam, Mukafi, Delegasi NU Fasilitasi Upaya Perdamaian Afghanistan, diakses dari
https://islam.nu.or.id/post/read/45010/delegasi-nu-fasilitasi-upaya-perdamaian-
afghanistan, pada tanggal 14 Desember 2019.
Ni’am, Syamsun, “Pesantren: the miniature of moderate Islam in Indonesia”, Indonesian
Journal of Islam and Muslim Societies, Vol. 5, No. 1 (2015)
Qomar, Mujamil, “Islam Nusantara: Sebuah Alternatif Model Pemikiran, Pemahaman, dan
Pengamalan Islam”, El Harakah, Vol.17, No.2 (2015)
, “Ragam Identitas Islam di Indonesia dari Perspektif Kawasan”, Episteme, Vol.10,
No.2 (2015)
, Fajar baru Islam Indonesia? Kajian komprehensif Atas Arah Sejarah dan Dinamika
Intelektual Islam Nusantara (Bandung: Mizan, 2012)
Sahal, Akhmad dan Munawir Aziz (ed), Islam Nusantara dari Ushul Fiqh hingga Paham
Kebangsaan (Bandung: Mizan, 2015)
Shihab, Alwi, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan
bekerja sama dengan Anteve, 1998)
Sucipto, Hery (Ed), Islam Madzhab Tengah Persembahan 70 Tahun Tarmizi Taher (Jakarta:
Grafindo Khazanah Ilmu, 2007)
Taher, Tarmizi, Menuju Ummatan Wasathan: kerukunan beragama di Indonesia (Jakarta:
PPIM-IAIN Jakarta, 1998)
Wahid, Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara
Demokrasi (Jakarta: The Wahid Institute, 2006).

263
264

Anda mungkin juga menyukai