Anda di halaman 1dari 10

BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi
Harald Motzki lahir di Berlin, Jerman Barat pada 25 Agustus 1948. Pada tahun
1968 hingga 1969, ia belajar ilmu Perbandingan Agama, bahasa Arab, bahasa-bahasa
dan budaya-budaya Semit, studi tentang Jerman, sejarah dan filsafat kuno di
Universitas Bonn, Jerman. Pada tahun 1969 hingga 1970, ia belajar Perjanjian Baru di
Ecole Pratique des Hautes Etudes dan belajar bahasa Yahudi di Ecole Nationale des
Langues Orientales Vivantes di Paris, Perancis. Pada tahun 1970 hingga 1974, ia belajar
ilmu Perbandingan Agama, bahasa Arab, studi Islam, bahasa-bahasa dan budaya-
budaya Semit dan Perjanjian Lama di Universitas Bonn dan meraih gelar M.A. dari
Universitas Bonn di bidang ilmu Perbandingan Agama.
Pada tahun 1974 hingga 1978, ia mengkaji Islam, bahasa Arab, sejarah dan
sosiologi modern di berbagai Universitas di Bonn dan Cologne. Pada tahun 1978, ia
meraih gelar Ph.D. di bawah bimbingan Prof. Albrecht North di Universitas Bonn yang
kemudian diterbitkan dengan judul Aimma und Egalite – Die Nichtmuslimischen
Minderheite Agyptens in der Zweiten Halfte des 18 jahrhunderts und die Expeditions
Bonapartes (1798-1801) di Bonn/ Wiesbaden, 1979. Pada tahun 1978, hingga 1981, ia
menjadi dosen tamu di Jurusan Islamic Studies di Universitas Bremen.
Pada tahun 1980, ia mendapat Award dari Departemen Ilmu dan Kebudayaan dari
Republik Federal Jerman karena Disertasinya yang berjudul Aimma und Egalite. Pada
tahun 1979, hingga 1983, ia melakukan research fellow untuk Institut fur historische
anthropologie, Freiburg yang dibimbing oleh Prof. Oscar Kohler, Prof. Herbert Franke,
Prof. Thomas Nipperdey, Prof. Jochen Martin. Di tahun ini, ia juga melakukan riset
tentang, “Childhood, Youth, Family, Society in Islamic Culture,” untuk proyek riset
interdisipliner “Childhood, Youth, Family Society.”
Pada tahun 1983 hingga 1989, ia diangkat dalam jabatan Asisten Professor di
Institute for History and Culture of the Middle – East di Universitas Hamburg. Pada
tahun 1989 hingga 1991, ia menjadi Visiting Professor di bidang studi Islam di
Universitas Hamburg. Sejak tanggal 1 Pebruari 1991, ia menjadi Guru Besar Madya di
bidang studi Islam di Institute for Languages and Cultures of the Middle – East di
Universitas Nijmegen, Belanda. Sejak 1 Juni 2000, ia diangkat sebagai Professor Penuh
bidang Metodologi Penelitian di bidang studi Islam di Universitas yang sama.
Karya-karya Harald Motzki
Sebagai seorang ilmuwan terkemuka di dunia Barat yang mengkaji Islam secara
umum dan mengkaji hadis Nabi saw. secara khusus, Motzki telah menghasilkan banyak
karya yang bernilai tinggi secara saintifik, baik berupa buku-buku maupun artikel-
artikel yang telah dipublikasikan di berbagai jurnal internasional. Karya-karya itu
antara lain adalah:
1. Die Anfange der islamischen Jurisprudenz. Ihre Entwicklung in Mekka bis zur Mitte
des 2./8. Jahrhunderts, Stuttgart 1991. Engl. trans. The Origins of Islamic
Jurisprudence: Meccan Fiqh before the Classical Schools, trans. Marion H Katz.
Leiden 2002.

2. "Whither Ḥadīṡ Studies? A Critical Examination of G.H.A. Juynboll's "Nafi' mawlā


of Ibn 'Umar, and His Position in Muslim Hadith-Literature", trans. Frank Griffel and
Fiona Ford, 2. (Artikel ini belum diterbitkan).

3. “Der Fiqh Des-Zuhri: Die Quellenproblematik” dalam Der Islam 68 (1991). Edisi
Inggrisnya, “The Jurisprudence of Ibn Ṣiḥāb al-Zuḥrī: A Source Critical Study,” dalam
http:/webdoc.ubn.kun.nl/mono/m/motzki_h/juriofibs.pdf

4. “The Muṣannaf of ‘Abd Razzāq al-Ṣan‘ānī as a Source of Authentic Aḥādīṡ of the


First Century A.H” dalam Near Eastern Studies 50 (1991).

5. ”Quo vadis Ḥadīṡ Forchung? Eine Kritische Untersuchung von G.H.A Juynboll:
Nafi, the mawlā of Ibn ‘Umar, and His Position in Muslim Ḥadīṡ Literature” dalam Der
Islam 73 (1996).

6. “The Prophet and the Cat; on Dating Malik’s Muwatta’ and Legal Traditions”, in
Jerussalem Studies in Arabic and Islam 22 (1998).

7. “The Murder of Ibn Abī ‘l-Huqayq: On the Origin and Reliability of Some Maghazi-
Reports, “ dalam Harald Motzki. The Biography of Muḥammad: The Issue of the
Sources. Leiden: Brill, 2000.

8. “Der Prophet und die Schuldner: Eine Hadît Untersuchung auf dem Prüfstand, “
dalam Der Islam, 77 (2000).

9. “The Collection of the Qur’an: A Reconsideration of Western Views in the Light of


Recent Methodological Development”, dalam Der Islam 78 (2001).
10. “Al-Radd ‘alā r-Radd–Zur Methodik der Ḥadīṡ-Analyse, dalam Der Islam 28
(2001).

11. Hadīṡ, Origins and Developments (as Editor), Aldershot: Ashgate/ Variorum, 2004.

12. “Dating Muslim Traditions: A Survey,” dalam Arabica 52 (2005).

B. Metode Tradition-Historical dan Penerapannya Dalam Muṣannaf ‘Abd al-


Razzāq al-Ṣan‘ānī
Menentukan umur dan asal muasal sebuah sumber sejarah (dating) merupakan
salah satu substansi penelitian sejarah. Apabila dating yang dilakukan oleh seorang
sejarahwan terhadap sebuah sumber sejarah terbukti tidak benar di kemudian hari, maka
seluruh premis, teori dan kesimpulan yang dibangun di atas sumber sejarah tersebut
menjadi runtuh. Teori inilah yang menjadi dasar epistemologis Harald Motzki dalam
merekontruksi sejarah masa awal Islam. Dengan menggunakan metode isnād and matn
analysis, ia mengkritik total satu persatu teori-teori para ilmuwan Barat tentang sejarah
Islam awal mulai dari Goldziher, Noldeke, Schwally, Joseph Schacht, Norman Calder,
Irene Schneider dan lain-lain.8 Ini pulalah yang merupakan misi buku terbarunya, yang
sekaligus telah menjadikannya sebagai seorang ilmuwan yang cukup disegani dalam
diskursus sejarah Islam awal.
Dalam buku ini, Motzki menggunakan metode tradition-historical
(uberlieferungsgeschichtlich) yang mencoba menganalisa dan menguji materi-materi
dari periwayat tertentu. Meskipun metode ini sudah dikenal dalam diskursus studi Islam
di Barat,9 tetapi kesimpulan yang dicapai oleh Motzki dengan metode ini tergolong
spektakuler, karena ia bukan hanya “meruntuhkan” teori-teori para ilmuwan hadis
Barat, seperti Goldziher dan Schacht, tetapi juga menganggap Muṣannaf ‘Abd al-
Razzāq sebagai sumber hadith autentik dari abad I H/VII M. Menurut Kamaruddin
Amin, capaian Motzki di atas yang berhasil melakukan dating sampai abad pertama
hijrah, belum pernah dicapai oleh para orientalis sebelumnya. Yasin Dutton dan
Norman Calder telah menulis buku dengan judul serupa, namun scope dan kesimpulan
kedua buku tersebut berbeda dengan buku ini. Dutton menganggap Muwaṭṭa’ Mālik (w.
179/795) sebagai formulasi dan rekaman hukum Islam tertua, sedangkan periode
sebelum Mālik tetap di luar jangkauan. Sementara itu, Calder menganggap bahwa
jurisprudensi Islam merupakan produk masyarakat Islam abad ketiga, dan bahkan
meragukan autentisitas Muṣannaf ‘Abd al-Razzāq sebagai sumber sejarah fiqh Islam
abad kedua.
Motzki mencoba merekonstruksi bagaimana sejarah hukum Islam berkembang
di Mekkah sebelum masa klasik (Abū Ḥanīfah, Mālik, Syāfi‘ī dan Ibn Ḥanbal), sumber
apa yang ada serta sejauh mana reliabilitas (ke-ṡiqah-an) dan signifikansi sumber
tersebut. Inilah salah satu keunikan buku ini, yang menganggap Muṣannaf ‘Abd al-
Razzāq bukan hanya sumber hadis otentik abad II H/VIII M, tetapi bahkan sumber
hadis otentik pada abad I H/VII M.

C. Teori Harald Motzki Dalam Mengkaji Otentisitas Hadis


Teori-teori Harald Motzki berangkat dari sanggahan beliau terhadap interpretasi
Juynboll yang menilai Common Link (CL) sebagai pemalsu hadis. Karena menurut
Motzki tidak selalu Common Link tersebut dapat dikatakan sebagai pemalsu hadis
selama belum ditemukan data sejarah yang yang menunjukkan beliau sebagai pemalsu
hadis. Oleh karena itu menurut Motzi Common Link tersebut lebih relevan dikatakan
sebagai penghimpun hadis yang pertama, yang berperan sebagai perekam dan
meriwayatkannya ke dalam kelas-kelas reguler, dan dari kelas-kelas itulah sebuah
sistem belajar yang terlembaga dan berkembang.1
Menurut Juynboll, ketika Common Link mengutip satu jalur riwayat hadis saja
maka itu berarti bahwa beliau hanya meriwayatkan versi hadis yang mereka terima saja,
dan tidak menutup kemungkinan mereka mengetahui adanya versi riwayat yang lain.
sementara alasan yang kedua adalah bahwa Common Link hanya mungkin saja hanya
meriwayatkan satu versi jalur yang dianggapnya paling terpercaya. Selanjutnya alasan
ketiga ialah bahwa mungkin Common Link menambah informan yang paling cocok
apabila mereka lua informan yang sebenarnya.2
Berangkat dari beberapa argumentasi tersebut, maka muncullah teori-teori
Harald Motzki tentang jalur tunggal (Singgle Strand), yaitu sebagai berikut: 1. Jalur
tunggal tidak mesti berarti hanya satu jalur periwayatan 2. Jalur tunggal berarti bahwa
Common Link ketika meriwayatkan hadis dari koleksinya hanya menyebutkan satu
jalur riwayat, yakni versi yang aling diketahui dan dinilai paling otoritatif. 3. Mungkin
ada versi lain yang tidak sempat terkumpul atau menghilang karena Common Link

1 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 176-177
2 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis..., hlm. 176-177.
tidak sempat menerima atau menyampaikannya, atau karena versi tersebut tidak
diketahui di masa dan tempat Common Link.3
Teori-teori Motzki di atas kemudian mendapat tanggapan dan respon yang
beragam, baik yang menolak maupun mendukung. Adapun diantara orang yang
menolak teori Motzki tersebut adalah Irene Schneider, karena menurutnya mustahil
pesan nabi yang orisinal telah diriwayatkan oleh Common Link sejak awal, sebab
praktik semacam itu tidak ditemukan pada masa awal-awal Islam. Oleh karena itu, Irene
Schneider berpendapat bahwa Motzki telah gagal mengakui bahwa Common Link telah
memalsukan hadis bersama satu atau beberapa jalur riwayat.4
Sanggahan Motzki terhadap Skeptisisme Orientalis terhadap Hadis
Harald Motzki selaku Dosen Universitas Nijmegen Belanda ini tidak setuju
dengan kesimpulan Schacht mengenai awal munculnya hadits. Sebab berdasarkan hasil
analisis beliau terhadap sanad maupun matan hadis beliau menyimpulkan bahwa
haditshadits yang terdapat dalam Kitab al-Mushannaf karya Abdurrazzaq as-Shan’ani
(w. 211 H/826 M) adalah kecil sekali kemungkinan adanya keberagaman data
periwayatan hadis adalah suatu hasil pemalsuan yang terencana. Dengan demikian
beliau menyatakan bahwa suatu matan hadis dan isnadnya dalam kitab-kitab hadis
tersebut layak dipercaya.
Dengan demikian kesimpulan Motzki berbeda dengan orientalis skeptisisme
seperti Schacht dan Ignaz Golzher yang menganggap semua hadis adalah palsu. Karena
Motzki telah membantah teori Schacht yang mengungkapkan bahwa isnad cenderung
membengkak jumlahnya makin ke belakang, dan teorinya bahwa isnad yang paling
lengkap adalah yang paling belakangan munculnya.5
Berkenaan dengan sejarah munculnya hukum Islam Motzki juga tidak
sependapat dengan Schacht. Menurut Motzki, Alquran dan hadits sudah dipelajari
semenjak abad kedua hijriyah atau bahkan sejak Nabi Muhammad saw masih hidup,
karena para fuqaha di Hijaz sudah menggunakan hadis sejak abad pertama hijriyah.
Oleh karena itu, Motzki pun sepakat dengan Coulson, yang mengusulkan agar para
orientalis membalik tesis Schacht, dari via negativ menjadi via positiv. yakni jika
Schacht berkata semua hadits harus dianggap tidak otentik hingga terbukti

3 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis..., hlm. 176-177.


4 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis..., hlm. 176-177.
5 Harald Motzki, The Musannaf of ar-razaq as-San‟ani a Source of Authentic Ahadit of the fist Century,

dalam journal of Near Easern Studies, vol. 50. No. 1. Hlm 7.


keotentikannya, maka harus dilbalik menjadi menjadi pernyataan “semua hadits harus
dianggap otentik kecuali jika terbukti ketidak otentikannya.6
Berbeda dengan pendapat Schacht dan Juynboll yang menganggap common
link sebagai pemalsu atau pemula bagi sebuah hadis, maka Motzki pun menafsirkan
common link sebagai penghimpun hadis yang sistematis pertama, yang berperan
merekam dan meriwayatkannya dalam kelas-kelas murid regular, dan dari kelas-kelas
itulah sebuah sistem belajar berkembang.7
Selanjutnya adapun pemahaman beliau terhadap suatu fakta bahwa para
kolektor awal ini (common link) mengutip hanya satu otoritas untuk riwayat mereka
adalah mereka hanya menyampaikan versi hadis yang telah mereka terima atau mereka
menganggapnya sebagai jalur yang paling tepercaya dan bahwa kebutuhan untuk
mengutip otoritas dan informan yang lebih banyak,dan juga berarti versi matan yang
berbeda, namun demikian mungkin para penghimpun (common link) menambah
informan yang paling cocok apabila mereka lupa informan yang sesungguhnya. 8
Adapun yang dimaksud dengan jalur tunggal tersebut adalah bahwa periwayatan hadis
tersebut memiliki karakter sebagai berikut: Nabi-Satu Sahabat-satu Tabiin-satu fulan-
satu fulan-sejumlah perawi sampai ke mukharrij (collector).
Interpretasi Mozki pada fenomena common link membawanya pada penafsiran
yang berbeda tentang jalur tunggal antara common link dan otoritas yang lebih awal
dan fenomena diving. Menurut Motzki jalur tunggal (single stand) tidak harus berarti
hanya satu jalur periwayatan, melainkan jalur tunggal adalah berarti bahwa common
link ketika meriwayatkan sebuah hadis dari koleksinya hanya menyebut satu jalur
riwayat menurut versinya adalah karena common link menganggap bahwa riwayat
tersebutlah yang paling dia ketahui. Sementara dikemudian hari, para murid common
link atau penghimpun belakangan mencoba untuk menemukan versi-versi (yang
mungkin hilang atau diabaikan oleh common link) bersama dengan jalur-jalur
informasinya. Apabila mereka sukses menemukannya mereka pun kemudian “dive”
satu atau lebih generasi dibawah commom link. Ini juga berarti bahwa strand yang
“diving” tidak harus dipahami sebagai hasil pemalsuan dari penghimpun belakangan,
sebagaimana yang dipahami oleh Juynboll.9

6 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis..., hlm. 175.


7 Kamarudin Amin, Metode Kritik hadis, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2009), hlm. 167.
8 Ibid.
9 Kamaruddin amin, Metode kritik hadis...,, hlm. 168
Pada prinsipnya meskipun penafsiran Motzki pada teori common link berbeda
dengan dengan pemahaman Schacht dan Juynboll, di sisi lain beliau juga cenderung
mengakui sistem isnad secara umum dan sistem common link secara khusus dapat
digunakan untuk tujuan-tujuan penanggalan.10
Demikian juga pendapat Motzki tentang argumentum e silentio dalam bukunya
Die Anfange, Motzki membantah aplikasi umum argumentum e silentio dengan
memberikan kesimpulan bahwa e silentio adalah berbahaya. Selanjutnya setelah
mengalisis riwayat Ibnu Juraij dari ‘Atha’, ia juga berkesimpulan bahwa para ulama
pada awal Islam tidak selalu merasa wajib mengutip semua rincian hadis meskipun
mereka mengetahuinya. Demikian pula, kenyataan bahwa seorang ulama tidak
menyebut sebuah hadis tertentu mungkin disebabkan karena mereka tidak
mengetahuinya. Ini tidak berarti hadis tersebut tidak eksis sama sekali. Akhirnya
sumber-sumber yang kita miliki tidak lengkap melainkan terpencar-pencar. Oleh
karena itu, munculnya sebuah hadis dalam koleksi hadis yang lebih tua tidaklah harus
dipahami bahwa hadishadis tersebut adalah hasil dari pemalsuan melainkan adalah
sebuah hasil periwayatan sebelum diketahui berbagai hal yang menyebabkan kecacatan
periwayatannya atau kecacatan matannya.11

D. Analisis Isnad Cum Matan


Untuk menentukan historisitas hadis Motzki menggunakan metode isnād cum
matn atau matn cum isnād analysis. Metode ini berangkat dari asumsi bahwa ada
korelasi antara varian isnad dan varian matan dalam hadis. Jika dua varian tersebut
merupakan bagian dari proses periwayatan sebenarnya (real transmission) maka dua-
duanya menjadi yang sangat berharga. Para sarjana yang mengadopsi asumsi ini yakin
bahwa korelasi seperti itu tidak mungkin merupakan hasil pemalsuan sistematis karena
fenomena korelasi begitu luas. Adannya berbagai variasi ini tentu tidak mungkin bagi
seluruh ahli hadis atau periwayat dalam isnad ikut dalam kegitanan pemalsuan.
Faktanya, sering ada korelasi antara perbedaan cabang dan jalur dalam bundel isnad.
Berbagai perbedaan varian matan tersebut memungkinkan untuk memeriksa isnad
ataupun sebaliknya. (Motzki H. , 2005: 250-1).
Analisis isnād cum matn adalah penelitian isnad dan matan, mulai dari sumber-
sumber di mana riwayat-riwayat tersebut ditemukan dengan fokus pada pertanyaan

10 Ibid
11 Ibid, hlm. 169.
apakah varian matan berkorelasi dengan isnad tersebut. Dapat diasumsikan bahwa
matan tersebut sebenarnya yang diriwayatkan oleh orang-orang yang disebutkan dalam
isnad hingga ke common link. Untuk itu, isnad yang disebutkan tidak dipalsukan baik
oleh penulis sumber, di mana laporan yang dimaksud ditemukan atau informan mereka.
Keandalan dan kekuatan dari kesimpulan yang dihasilkan dari metode isnād cum matn
ini sangat mungkin berbeda-beda tergantung dengan jumlah dan keragaman varian
yang tersedia. Dengan metode ini, risiko bahwa common link merupakan hasil
pemalsuan isnad menjadi berkurang meskipun tetap tidak terdeteksi.
Penafsiran Motzki terhadap common link sebagai kolektor dan penyebar
profesional (professional disseminator) dikarenakan perbedaan membaca bundel isnad.
Dalam membaca bundel, Motzki menyarankan isnad harus ditelusuri dari atas, bukan
dari bawah. Karena bundel isnad menjelaskan berbagai jalur yang ditemukan dalam
koleksi belakangan oleh para penghimpun hadis, seperti al-Bukhāri an-Nasāʻī, dan
Muslim. Pembacaan bundel isnad dari atas maka penafsiran yang muncul adalah
seorang penghimpun hadis mendapatkan hadis dari satu atau beberapa gurunya, yang
selanjutnya gurunya memperoleh dari guru-guru mereka dan seterusnya hingga
mencapai puncak, yakni Nabi. Jalur tunggal muncul karena ketika seorang penghimpun
hadis memiliki jalur periwayatan yang berbeda dan tidak bertemu dengan penghimpun
lainya. (Motzki H. , 2005: 251).
Tentang jalur tunggal Motzki memiliki penafsiran yang berbeda dibandingkan
Juynboll. Jalur tunggal tidak berarti bahwa satu-satunya jalan transmisi dimana hadis
beredar. Artinya, ada orang lain selain orang-orang yang disebutkan dalam isnad yang
juga meriwayatkan hadis tersebut. Menurut Motzki penalokan jalur tunggal dibawah
common link merupakan penolakan sejarah secara apriori. Hipotesis bahwa munculnya
common link dalam bundel isnad sebagai kolektor sistematis pertama dan guru
profesional menjelaskan mengapa alur tunggal yang ditemukan di bawah common link
dan mengapa sebagian besar common link tidak pada tingkat sahabat Nabi, tetapi milik
untuk tiga generasi berikutnya. (Motzki H. , 2010: 23-4).
Motzki memberi beberapa argumen tentang munculnya jalur tunggal. Pertama,
periwayat yang menjadi common link dalam proses penyebaran hadis hanya
menyebutkan satu jalan periwayatan saja. Jalur-jalur yang tidak disebut dimungkinkan
hilang karena tidak terdokumentasikan atau sampaikan oleh periwayat yang menjadi
common link. Kedua, jumlah sumber yang tersedia terbatas juga menjadi faktor
hilangnya jalur-jalur periwayatan sehingga mempengaruhi proses rekontruksi isnad.
Ketiga, jarak geografis antar periwayat ikut menjadi andil hilangnya suatu jalur.
Keempat, seorang periwayat setelah menerima hadis dari gurunya pada periode
brikutnya tidak lantan menyampaikan hadis kepada orang lain, karena tidak semua
periwayat secara otomatis menjadi guru. (Motzki H. , 2010: 57-8).
Metode tradition-historical adalah metode penelitian hadis yang bertujuan
untuk membuktikan bahwa naskah-naskah hadis abad kedua hijrah sebenarnya
merupakan himpunan dari berbagai naskah hadis abad pertama hijrah. Metode ini
bekerja dengan cara menarik sumber-sumber masa awal dari berbagai kompilasi yang
ada, yang tidak terpelihara sebagai karya terpisah, dan menfokuskan diri pada materi-
materi para periwayat tertentu ketimbang pada hadis-hadis yang terkumpul tentang
topik tertentu.
Motzki meneliti Muṣannaf ‘Abd al-Razzāq al-Ṣan‘anī (w. 221 H) untuk
membuktikan bahwa Muṣannaf itu dapat dipercaya sebagai sumber hadis otentik pada
abad pertama hijrah. Menurut Motzki, penelitian terhadap struktur periwayatan yang
dilakukan oleh ‘Abd al-Razzāq al-Ṣan‘ānī memberi kesimpulan bahwa materi-materi
yang diletakkan atas nama empat tokoh sebagai sumber utamanya adalah sumber yang
asli, bukan hasil penisbatan fiktif yang direkayasa sendiri. Untuk membuktikannya,
Motzki meneliti empat tokoh yang menjadi sumber otoritas dari ‘Abd al-Razzāq:
Ma‘mar, Ibnu Jurayj, al-Ṡawrī, dan Ibn ‘Uyaynah. Dari Ma‘mar, ‘Abd al-Razzāq
meriwayatkan materinya sekitar 32 persen, 29 persen dari Ibnu Jurayj, 22 persen dari
al-Ṡawrī, dan 4 persen dari Ibn ‘Uyaynah. Sisanya sekitar 13 persen berasal dari 90
tokoh-tokoh yang berbeda. Kurang dari 1 persen tokoh yang berasal dari abad kedua
seperti Abū Ḥanīfah (0,7 persen) dan Mālik (0,6 persen).
Berbeda dengan Schacht dan Juynboll, Motzki merekonstruksi sumber
Muṣannaf ‘Abd al-Razzāq yang merekam figur ‘Aṭā’. Rekonstruksi Motzki menjadikan
‘Aṭā’ sebagai figur penting di zamannya, yang penyandaran sejumlah hukum
kepadanya adalah historis. Untuk klaim historisitas atribusi hukum kepada ‘Aṭā’,
Motzki menganalisis penyandaran hukum Ibn Jurayj kepada ‘Aṭā’ dalam Muṣannaf
‘Abd al-Razzāq, kemudian mengajukan argumentasi external and internal formal
criteria of authenticity.
Implikasi dari penerapan metode tradition-historical kepada perkembangan
fikih Mekkah adalah: pertama, Motzki telah membuktikan bahwa pada abad pertama
hijrah, orang-orang sudah merujuk kepada Alquran dan aturan-aturan Nabi sebagai
sumber hukum Islam. Kedua, perkembangan hadis dari hadis tabiin menjadi hadis
sahabat dan kemudian menjadi hadis nabi adalah sebuah konstruk yang tidak dapat
diterima berdasarkan penelitian ini.
Kesimpulan Motzki tentang kualitas transmisi yang terdapat dalam Muṣannaf
‘Abd Razzāq, dengan menggunakan metode uberlieferungsgeschichtlich, tidak jauh
berbeda dengan sajian sejarah yang terdapat dalam sumber-sumber biografi atau kutub
al-rijāl dan kutub al- ṭabaqāt. Dengan kata lain, jaringan transmisi dari Ibn ‘Abbās–
’Aṭā’–Ibn Jurayj–‘Abd al-Razzāq dan jaringan lainnya yang terdapat dalam Muṣannaf,
adalah jaringan yang dapat dibuktikan secara historis. Kesimpulan ini tidak didasarkan
pada literatur biografi (meskipun literatur tersebut mengklaim hal yang sama),
melainkan pada analisa teks seperti yang digambarkan di atas. Hal ini menjadi menarik,
setidaknya karena sebagian besar sarjana Barat meragukan autentisitas berita yang
terdapat dalam literatur biografi tersebut.

Anda mungkin juga menyukai