Oleh:
Sebagai insan terdidik dan terpelajar, sudah seyogyanya bagi para peminat kajian
hadits untuk berkecimpung dan mendalami ‘perang pemikiran’ dalam ranah hadits.
Karena, hadits yang telah disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum kedua
setelah al-Qur’an, tidak hanya diminati dan dinikmati oleh kalangan santri. Bahkan ia
sudah menjadi objek kajian para orientalis. Sebab, diakui atau tidak, kajian-kajian yang
disuguhkan orientalis cukup berpengaruh terhadap pemikiran keislaman dewasa ini, baik
pengaruh positif maupun negatif. Oleh karena itu bukanlah tindakan yang bijak, apabila
kaum muslim pada umumnya, dan secara khusus penggiat kajian hadits hanya berdiam
diri (tidak peduli) atau menolak mentah-mentah tesis-tesis mereka dengan tanpa
memahami terlebih dahulu pemikiran mereka.
Salah satu oriental yang berkecimpung dalam hal ini adalah Joseph
Schacth, Joseph Schacht merupakan salah seorang sarjana barat yang mengkaji Islam dari
sudut pandang yang berbeda dengan pengkajian versi umat Islam yang menitik beratkan
pada persepsi muslim tradisional. Untuk lebih jelasnya, marilah kita lanjutkan
pembahasan yang lebih mendalam pada makalah yang sangat ringkas dibawah ini.
B. Rumusan Masalah
Didalam makalah ini, pembahasan kami batasi meliputi:
1. Bagaimana biografi Joseph Schacht?
2. Bagaimana biografi Muhammad Mustafa Al-Azami?
3. Bagaimana Kritik Joseph Schacht terhadap Hadits?
4. Bangaimana Pembelaan Musthafa Al-A'zami terhadap Kritik Joseph Schacht?
C.Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami:
1. Untuk menjelaskan bagaimana biografi Joseph Schacht.
2. Untuk menjelaskan biografi Muhammad Mustafa Al-Azami.
3. Untuk menjelaskan bagaimana kritik Joseph Schacht terhadap Hadis.
4. Untuk menjelaskan bagaimana Pembelaan Musthafa Al-A'zami terhadap Kritik
Joseph Schacht.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Joseph Schacht
Nama lengkap Amin J. Schacht lahir pada tanggal 15 Maret 1902, di Ratibor,
Silesia yang dulu berada di wilayah Jerman dan sekarang masuk Polandia. Schacht lahir
dari keluarga yang agamis dan terdidik. Ayahnya Eduard Schacht adalah penganut
katholik dan guru-guru anak-anak bisu dan tuli, ibunya bernama Maria Mohr. Pada tahun
1945, ia menikah dengan wanita Inggris yang bernama Louise Isabel Dorothy, anak
perempuan Joseph Coleman. Karirnya sebagai orientalis diawali dengan belajar filologi
klasik, semitik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas
Leipzig. Ia meraih gelar doctor (D.Phil) dengan predikat summa Cum Laude dari
Universitas Berslauw pada tahun 1923, ketika berumur 21 tahun.
Pada tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Fribourg, dan pada
tahun 1929 ia dikukuhkan sebagai Guru Besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke Universitas
Kingsbourg, dan dua tahun kemudian ia meninggalkan negerinya Jerman untuk mengajar
tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (kini Universitas Cairo) di
Cairo Mesir. Ia tinggal di Cairo sampai tahun 1939 sebagai Guru Besar. Ketika perang
dunia II meletus, Schacht meninggalkan Cairo dan pindah ke Inggris untuk kemudian
bekerja di Rasio BBC London. Meskipun ia seorang Jerman, namun dalam perang dunia
II ia berada di pihak Inggris. Dan ketika perang selesai, ia tidak pulang ke Jerman,
melainkan tetap tinggal di Inggris, dan menikah dengan wanita Inggris. Bahkan pada
tahun 1947 ia menjadi warga negara Inggris.
1. Konsep Sunnah/Hadist
Sunnah pada masa pra-Islam berarti tradisi yang benar dan pantas, serta
patut ditiru yang diriwayatkan secara lisan oleh nenek moyang mereka. Menurut
Schacht (1950: 54; 1964: 17), konsep sunnah pada tradisi Arab pra-Islam ini
selanjutnya masuk ke dalam Islam. Sunnah dalam Islam didefinisikan sebagai
tradisi-tradisi yang bisa dijadikan teladan dan normatif, baik yang diambil dari
kebiasaan yang lebih tua (doktrin mazhab-mazhab yang disepakati) atau
diproyeksikan kepada Nabi saw. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika
beberapa persoalan hukum dalam Islam itu didasarkan atas atau
merepresentasikan kontinyuitas tradisi Arab pra-Islam.
Schacht (1950: 59) menegaskan bahwa pada masa asy-Syafi (150-204 H.)-
lah terma sunnah ini mengalami pengkhususan sebagai model perilaku yang
berasal dari Nabi saw. Oleh karena nya, menurut Schacht, Ibn al-Muqaffa' telah
berada pada posisi yang berseberangan dengan asy-Syafi'i ketika ia menyatakan
bahwa para khalifah bebas untuk menciptakan dan mengkodifikasi sunnah.
Fakta sejarah yang lain adalah para sahabat sendiri dalam berbagai hal
banyak berbeda pendapat atau merasa kesulitan dalam memahami al-Qur’an.
Upaya menyelesaikan ikhtilaf tersebut yaitu dengan cara para sahabat mendatangi
Nabi saw dan meminta kepada beliau untuk menyelesaikan perbedaan di kalangan
sahabat tersebut dan menghasilkan apa yang disebut sunnah atau hadis Nabi saw.
2. Back Projection
3. Common Link
Common link yaitu istilah yang dipakai untuk seorang periwayat hadis
yang mendengar suatu hadis dari (jarang lebih dari) seorang yang berwenang, lalu
mengajarkannya kepada sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari
mereka mengajarkannya lagi kepada dua atau lebih dari muridnya. Schacht (1950:
171-172) berpandangan bahwa keberadaan common link (tokoh penghubung)
dalam rantai periwayatan mengindikasikan bahwa hadis itu berasal dari masa
tokoh tersebut.
Teori ini berangkat dari asumsi bahwa semakin banyak jalur periwayatan
yang bertemu pada seorang periwayat hadis, maka semakin besar pula jalur
periwayatan tersebut memiliki klaim kesejarahan atau şaḥīḥ. Ini berarti jalur
periwayatan yang dapat dipercaya secara otentik adalah jalur periwayatan yang
bercabang ke lebih dari satu jalur, sedangkan yang bercabang ke (hanya) satu jalur
(single strand) tidaklah dapat dipercaya secara mutlak kebenarannya atau daʻif.
4. Argumentum E Silentio
Ketiga, literatur pada abad I H. Meskipun literatur hukum pada masa itu
belum berwujud sebuah buku yang komprehensif, tetapi telah menunjukkan adanya
banyak aktifitas penulisan hukum yang berlangsung di berbagai bagian dunia Islam
pada saat itu. Al-A‘zami memberikan contoh karya-karya dimaksud dengan merujuk
pada data yang ditulis oleh ‘Abdurrazzaq aș-San‘āni dalam kitabnya al-Muşannaf, di
antaranya yaitu: keputusan-keputusan Mu'āż ibn Jabal (w. 18 H.) yang dibaca dan
diriwayatkan oleh Tāʻūs (23-101 H.) di Yaman, dan surat-surat resmi ‘Umar
mengenai masalah-masalah hukum yang dirujuk oleh Abū Mūsa alAsyʻari (al-
A‘zami, 1996: 24-25).
1. Konsep Sunnah/Hadis
Jika dianalisis, teori Schacht bahwa sunnah Nabi saw. tidak dikenal
masyarakat Islam, dan bahwa hadis-hadis hukum teknis belum ada pada abad I H.
tidaklah logis dan mengabaikan realitas umat Islam pada masa-masa awal.
3. Inkonsistensi internal
2. Back Projection
3. Common Link
Al-Aʻzami (1996: 200) juga menilai Schacht terlalu terburu buru dalam
menyimpulkan periwayat kunci (common link) sebagai pembuat atau pemalsu
hadis. Seharusnya Schacht terlebih dahulu mengumpulkan seluruh jalur
periwayatan sehingga akan didapat kan common link yang sesungguhnya (the real
common link), tetapi yang dilakukan Schacht adalah menarik suatu periwayatan
yang hanya terdapat dalam satu jalur asalkan berada dalam tabaqah tābi in
sehingga salah dalam mengidentifikasi periwayat common link.
4. Argumentum E Silentio
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Joseph Schacht Sunnah adalah kebiasaan masyarakat sebagai
pronsip pembimbing moralitas dan kebiasaan. Dan semua ini terjadi jauh sebelum
Arab menjadi Agama Islam. Selanjutnya Joseph Scacht mempunyai pemikiran
bahwa secara keseluruhan sistem isnad yang ada dalam Hadits-hadits baru
terbentuk pada dekade-dekade pertama abad kedua hijriyah. Kemudian untuk
menopang pendapat itu agar kuat, ia memberikan teori projecing back, dan
commond link.
Daftar Pustaka
Farida, Umma. 2018. Kontribusi Pemikiran Mulianımad Mustafa Al-Aʻzami dalanı Studi
Hadis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.