Anda di halaman 1dari 12

Studi Hadis Dalam Perspektif Sarjana Muslim Modern

Kamil Musthafa al-Siba’iy

Fikri haikal rizaldi


Pasca Sarjana,Institut Agama Islam Negri (IAIN) kediri
Dosen pengampu:
Dr.Wahidul Anam,M.Ag.

Abstrak:

Konsep Hadis Dan Sunnah Dalam Perspektif Al-Siba'i. Tulisan ini


berusaha mendiskripsikan pemikiran Kamil Musthafa al-Siba’iy tentang
Hadis dan Sunnah. Kajian hadis dan sunnah sebagai sumber kedua agama
Islam memang sangatlah menarik untuk dibahas, karena kedua istilah itu
seringkali disamakan dalam memahaminya oleh para ulama’. Namun para
pemikir Islam kontemporer banyak yang membedakan konsep kedua istilah
itu. Kamil Musthafa al-Siba’iy misalnya, berpendapat bahwa kemurnian
hadis tetap terjaga pada masa Rasulullah. Baik dari segi kesejarahan
sangat dapat dipastikan tidak pernah terjadi pemalsuan hadis pada masa
hidup Rasulullah SAW, karena beliau selalu dikelilingi oleh sahabat-
sahabat yang sangat loyal, jujur, serta bertanggung jawab,ia juga
mengungkapkan analisisnya terhadap matan hadis, yaitu bahwasanya Nabi
memperingati para sahabatnya untuk berhati-hati dalam menuturkan
sesuatau yang datang dari beliau dan menjauhi kebohongan apa yang
berkaitan dengan beliau.
Kata kunci : Hadis, Musthafa Al-Siba‘iy.

1
A.Pendahuluan

Sunnah sebagai sumber hukum Islam, disepakati oleh ummat Islam


dan telah menjadi ijma’ para ulama’ bahwa sunnah merupakan sumber dan
hujjah kedua setelah al-Qur’an. Sejak zaman Nabi kesepakatan akan sunnah
sebagai hujjah dan sumber hukum belum ditemukan bukti di kalangan
ummat Islam akan penolakan terhadap sunnah tersebut. Begitu juga pada
masa Khulafa’ al-Rasyidin (632-661M), pada masa Bani Umayyah (661-
750) belum terlihat secara jelas adanya kalangan ummat Islam yang menolak
sunnah. Namun pada masa Bani Abbasyiyah (750- 1258) muncul
sekelompok kecil ummat Islam yang menolak sunnah sebagai sumber dan
hujjah dalam hukum Islam, yang kemudian hari lebih dikenal dengan
sebutan Inkar al-Sunnah.

Kajian tentang Sunnah sebagai sumber hukum memang menarik


perhatian peminat studi sunnah (hadis), tidak hanya dari kalang muslim,
tetapi ada juga dari kalangan non muslim, bahkan hingga sekarang kajian
masalah sunnah baik yang berupa kritik terhadap otentitasnya, maupun
metode pemahamannya, terus berkembang baik secara tektual maupun
secara kontektual. Dari yang bersifat dogmatis hingga yang kritis, dari yang
model literal sampai yang liberal , bebagai ragam pendekatang dan model
yang digunakan dalam memahami sunnah, semua itu merupakan perhatian
(apresiasi) dan interaksi mereka terhadap sunnah sebagai sumber dan hujjah
dalam Islam setelah al-Qur’an, demikian juga dengan pengertian istilah
hadis dan sunnah itu sendiri, Istilah sunnah dan hadis ada ulama’ yang
menyamakan dalam pengertiannya ada juga yang membedakan, tergantung
dengan sudut pandang mereka.

Hal di atas dapat dipahami karena banyaknya tinjauan terhadap


Sunnah atau hadis Nabi tersebut, baik dari sisi kuantitas ataupun kualitas,
dari sisi bentuk-bentuk sunnah, dari sisi tasyri’ dan non tasyri’nya. Dengan
demikian kajian tentang Sunnah/ had hadis ini menjadi dirasa penting, untuk
membahas seputar ragam pengertian sunnah/ hadis sebagai hujjah dalam
hukum Islam . Beragamnya pengertian hadis dan sunnah di kalangan para
ulama’ dan pemikir dalam ilmu hadis memunculkan tokoh-tokoh dan ulama-

2
ulama hadis, dari kalangan tradisionalis maupun kalangan modernis, yang
melahirkan tokoh-tokoh kontemporer dan memiliki pemahaman hadis
secara kontekstual. Di antara tokoh kontemporer yang banyak berbicara
tentang hadis atau sunnah adalah Kamil Musthafa al-Siba’iy, yang memiliki
konsep hadis dan sunnah tersendiri

B. Biografi Kamil Musthafa al-Siba’iy

Nama, kelahiran, keadaan negara, pertumbuhannya di Homs dan


pendidikannya di Mesir. Nama lengkap beliau adalah Mustafa bin Husny,
Abu Hasan al-Siba‘iy. Dalam karya-karyanya lebih dikenal dengan nama
Mustafa al-Siba‘iy atau hanya dengan al-Siba‘iy. Dilahirkan di kota Homs
(Suriah atau Syiria) pada tahun 1334 H bertepatan dengan tahun 1915 M.
Beliau dilahirkan dalam keluarga yang

sangat mendalami ilmu sejak beratus-ratus tahun karena ayahnya dan


kakeknya adalah seorang khatib di masjid raya di Homs dari masa ke masa.
Sedangkan ayahnya mempunyai sebuah majlis ilmu bersama orang-orang
faqih dari Madinah dan mereka berkumpul dalam majlis itu (mereka belajar
fiqih dan bermunaqashah dengan dalil-dalil dalam berbagai masalah) sesuai
madzhabnya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan sendiri oleh Mustafa
al-Siba‘iy bahwasanya ayahnya mengajaknya untuk ikut dalam majlis
tersebut walaupun pada waktu itu ia masih kecil yang membuat ia makin
mencintai ilmu, sehingga ketika sudah waktunya ia untuk menerima ilmu-
ilmu maka ia ayahnya mengarahkannya untuk belajar ilmu syariat terkhusus
pada bidang fiqh al-muqaran dan cara ulama’ dalam berijtihad.

Keadaan Negara pada waktu itu negaranya dalam masa penjajahan


Prancis, oleh karena al-Siba‘iy muda tidak sama dengan pemuda-pemuda
lainnya pada waktu itu, ia sudah aktif dengan kegiaatan-kegiatan menantang
penjajahan, bahkan diusianya yang baru menginjak enam belas tahun
tepatnya pada tahun 1931 M, ia telah merasakan penjara untuk pertama

3
kalinya, karena dianggap oleh Prancis telah mengkoordinir teman-tamannya
dalam menyebarkan selebaran yang berisikan kritikan atas kebijaan penjajah
Prancis.

Tidak sampai di situ, beliau ditangkap dan dimasukkan ke dalam


penjara untuk kedua kalinya oleh penjajah Prancis karena berkhutbah di
masjid raya Homs yang dianggap mampu menggugah semangat jihad
penduduk Homs melawan penjajah Prancis.

Pertumbuhanya dan Kehidupanya di Homs karena beliau hidup


dalam keluarga yang mendalami ilmu, maka semenjak kecil beliau telah
diajarkan oleh ayahnya dalam masalah hafalan al-Qur’an dan mencari ilmu,
setelah menyelasaikan hafalan al-Qur’annya beliau masuk madrasah al-
Ibtida’iyyah selama satu tahun sebelum pindah ke al-Madrasah al-
Mas‘udiyyah (ia adalah Madrasah khusus yang didirikan oleh al-Shaikh
Tahir al-Ra’is di kota Madinah, kemudian melanjutkan ke al-Thanawiyyah
al-Shar‘iyyah (I‘dady dan Thanawy) dan lulus pada tahun 1930 M. Dan
sebelumnya sudah selesai belajar di al-Fath dan Madrasah Muhib al-Din
alKhatib sekitar 2 tahun. Di Homs al-Siba‘iy mengikut kepada sebuah
Jama‘ah yaitu al-Rabitah al-Diniyyah yang didirikan oleh sebagian ulama’
yang dipimpin oleh alShaikh Muhammad Junaid.

Pendidikannya di Mesir Pada tahun 1933 M, Mustafa al-Siba‘iy


terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas al-Shari‘ah di Universitas al-Azhar
al-Sharif Mesir pada jurusan al-Fiqh dan al-Usul. Di sana tidak sampai satu
tahun beliau sudah dianggap sebagai orang non-Mesir yang berpengaruh.
Dan berjalan beberapa tahun sampai pada tahun 1941 M beliau dituduh oleh
pemerintahan britania dan dimasukkan ke dalam penjara selama empat bulan
karena dianggap ikut berperan dalam demonstrasi ‘Ali al-Kaylany di Iraq.

Shaikh al-Azhar pada masa itu yaitu Shaikh Mustafa al-Maraghy


ikut turun tangan dalam membebaskannya akan tetapi justru ia dipindahkan

4
ke Palestina dan dikurung di sana selama empat bulan, kemudian ia
dibebaskan dengan jaminan. Selanjutnya ia tidak diperkenankan kembali ke
Mesir (padahal waktu itu ia sedang mempersiapkan disertasi doktoralnya)
karena dianggap sebagai pemicu gerakan anti Inggris (Britania).

Dalam masa pendidikannya di Mesir inilah beliau bertemu dengan


Imam Hasan al-Banna seorang penggagas gerakan Ikhwanul Muslimin
(IM), bahkan hubungan itu terus berlanjut sampai beliau kembali ke Syiria
pada tahun 1942 M dan mendirikan Ikhwan al-Muslimin di Syiria di bawah
pimpinan beliau.

Mustafa al-Siba‘iy sebagai Da‘i sekitar hampir 20 tahun semenjak


beliau meluruskan hal-hal yang ada di madrasah-madrasah orientalis di
Homs dan selesai setelah keluarnya beliu dari perselisihan dengan Prancis
dan memulai pekerjaan baru yaitu penceramahan kepada para pemuda.

Mustafa al-Siba‘iy dan Pertikaian Palestina Jiwa patriot dan


semangat jihadlah yang menggerakkan beliau membawa pasukan Ikhwan al-
Muslimin dalam jihad Palestina pada thun 1948 Melawan Yahudi bersama
pasukan Ikhwan al-Muslimin dari Irak yang dipimpin oleh Muhammad
Showwaf dan Ikhwan al-Muslimin dari Mesir yang dipimpin oleh
Abdurrahman al-Bannad dan IM dari Yordania.

Politik dan Parlemen Al-Siba‘iy selama hidupnya tidak lepas dari


politik semenjak keikutsertannya dalam memerangi penjajhan Prancis dan
Britania di Syam dan Mesir sampai masuk ke dalam parlemen sebagai wakil
dari kota Damaskus pada akhir tahun 1949 M.

Sebagaimana yang kita tahu bahwasanya beliau menyelesaika


progam Doktoralnya di Universitas al-Azhar dalam bidang Usul al-Fiqh dan
Tarikh al-Tashri‘ al-Islamy dan beliau menulis disertasinya dengan judul al-
Sunnah wa Makanatuha fi al-Tashri ‘ al-Islamy, beliau selesai dalam
penulisan disertasinya pada tanggal 6 Rajab 1368 H bertepatan dengan

5
tanggal 4 Mei 1949 M dan melakukan sidang disertasi pada tanggal 24
Jumadil akhir.

C. Pembahasan

1. Adanya Pemalsuan Sunnah

Musthafa al-Siba’I meyakini benar bahwa kemurnian Hadis tetap


terjaga pada masa Rasulullah.1 Dari segi kesejarahan, dapat dipastikan tidak
pernah terjadi pemalsuan Hadis pada masa hidup Rasulullah SAW,
dikarenakan beliau dikelilingi oleh shahabat-shahabat beliau yang sangat
loyal dan jujur. Keraguan sebagian orang bahwa Hadis yang berbunyi:

‫من كذب علي متعمد فليتبوأ مقعدة من النار‬

Merupakan bukti bahwa Rasulullah menyabdakannya


dilatar belakangi oleh pemalsuan Hadis pada masanya. Jika dikaji pada
aspek kuantitatif, Hadis tersebut masuk dalam kategori Hadis ahad.
Jika memang asbab al-wurud Hadis tersebut seperti yang disangkakan
di atas, maka periwayatannya akan secara mutawatir, karena
pemalsuan merupakan sesuatu yang sangat jahat dan menjijikkan.2 Menurut
As Siba’I Hadis tersebut tidak mempunyai sandaran sanad dalam
sejarah yang kukuh, juga tidak ada sandaran asbab al-wurud
sebagaimana dapat dibaca dalam berbagai kitab yang andal.3

Selain argumen historis di atas, Musthafa as-Siba’I meng ungkapkan


analisisnya terhadap matn Hadis tersebut, yaitu bahwa Hadis tersebut di atas
merupakan peringatan Nabi kepada para sahabatnya untuk berhati-hati

1
Ahmad Amin, Al-Akhlak, (Beirut: Dar al-Kutub, 1967), h. 224-225. 11 Hadis ini diriwayatkan oleh
al-Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ahmad bin Hambal.
2
Musthafa as-Siba’I, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al Islami,(Beirut: Maktabah al-
Islami, 1978), h. 238-241.
3
Musthafa as-Siba’I, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al Islami,(Beirut: Maktabah al-Islami,
1978), h. 234.

6
dalam menuturkan sesuatu yang datang dari beliau dan menjauhi
kebohongan terhadap beliau bertalian dengan hal-hal yang beliau sendiri
tidak menyabdakannya.4.

2. Kodifikasi Hadis

Kodifikasi Hadis adalah upaya, pengumpulan dan pembukuan Hadis


dalam satu kitab atau mushaf. Musthafa as-Siba’i berpendapat tentang
pembukuan Hadis, bahwa tidak ada perselisihan pendapat di antara para
penulis biografi Nabi dan para ulama Hadis dan para shahabat, bahwa al-
Qur’an mendapat perhatian yang khusus dari Nabi SAW, sehingga
terpelihara dalam hafalan dan tertulis dalam lembaran-lembaran, pelepah
kurna, batu lempengan dan lain-lain. Karena itu wajar ketika Rasulullah
SAW wafat al-Qur’an tetap utuh dan tertib, tidak ada yang kurang, kecuali
belum disatukan dalam satu mushaf.5

Selanjutnya, bagaimnakah dengan nasib Hadis. Sebenarnya tidak


terdapat perbedaan pendapat bahwa Hadis atau sunnah memang belum di
tercatat secara resmi seperti tercatatnya al-Qur’an. Keadaan demikian,
menurut Musthafa al-Siba’I sebagaimana yang dikutip oleh M. Erfan
Soebahar setidaknya dikarenakan tiga sebab. Pertama,bahwa Rasul SAW
hidup bersama sahabat selama 23 tahun sehingga menuliskan ucapan,
perbuatan dan pergaulana beliau secara utuh dalam mushaf dan lembaran-
lembaran adalah suit dilakukan dari segi masalah lokasi. Sebab, hal itu
membutuhkan adanya banyak orang (sahabat),

sementara pada waktu itu orang yang mampu menulis masih sangat
sedikit. Kedua, bahwa mayoritas orang Arab meyan darkan hafalan mereka
kepada ingatan, sementara pada waktu itu para sahabat masih terkonsentrasi

4
Musthafa as-Siba’I, As-Sunnah, h. 238-231.
5
Mustafa as-Siba’I, As-Sunnah…., h. 58.

7
untuk menghafal al-Qur’an. Ketiga, bahwa adanya kekhawatiran
tercampurnya al-Qur’an dengan Hadis nabi yang sangat banyak konteksnya.

Ketiga alasan di atas, bukan berarti tidak pernah terjadi penu lisan
Hadis secara tidak resmi. Ada sejumlah bukti yang ditunjukkan oleh al-
Siba’I mengenai telah terjadi pencatatan Hadis pada masa Nabi SAW
seperti contoh berikut ini:
a. Bahwa Rasulullah pernah menulis surat dan mengirimnya kpeada raja-raja di
Jazirah Arab, dimana isi surat-surat tersebut seruan Nabi untuk memeluk
Islam.6
b. Bahwa Imam Ahmad dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa
Abu Hurairah berkata: ‚Tidak ada seorang pun yang lebih tahu tentang Hadis
Nabi daripadaku kecuali ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, sebab dia mentata apa
yang didengarnya dari Nabi dan saya tidak mencatat‛.
c. Bahwa Sahabat Rasulullah yang juga menantunya Ali RA dipastikan memiliki
lembaran yang didalamnya tertulis hukum-hukum diyat (perdata).7
d. Bahwa Rasulullah menulis surat kepada petugas yang berisi ketentuan-
ketentuan zakat unta dan doma.8

Demikian beberapa bukti otentik yang diajukan Musthafa al Siba’I


untuk memperkuat pendapatnya yang mengatakan bahwa pencatatan Hadis
atau sunnah sudah dilakukan sejak Rasulullah masih hidup, walaupun tidak
secara keseluruhan.

3. Kredibilitas Sahabat

Kredibilitas shahabat dalam terminologi ‘ulum al-Hadis dikenal


dengan istilah ‘adalah al-shahabah. Term ‘Adalah al shahabah terdiri dari
dua kata yaitu ‘adalah dan al-Shahabah. ‘Adalah berasal dari bahasa arab,

6
Musthafa al-Siba’I, all-Sunnah… h. 59
7
Dikutip oleh Musthafa al-Siba’I dari Bin ‘Abd. Al-Bar dalam Jami’ Bayan al-‘Ilm, jilid II, h. 76.
8
Dikutip oleh Musthafa al-Siba’I, Ibid

8
dalam tlanslitersi bahasa Indonesianya ‚adil‛, artinya penilaian terhadap
kredibilitas perawi Hadis yang memiliki integritas moral-spiritual dan
intelegensi yang tinggi. Kata Al-Shahabah juga berasal dari bahasa arab
yang dikenal dalam bahasa Indonesia dengan sahabat atau teman. Yang
dimaksud dengan sahabat di sini adalah sahabat Rasulullah yang
meriwayatkan Hadis darinya. Dalam terminologi ‚ulum al-Hadis‛ seseorang
dapat dika takan sahabat jika dia memeluk agama Islam, pernah bergaul
dengan Rasulullah atau melihatnya, beriman kedanya, dan meninggal
dunia dalam keadaan Islam.9

Dengan demikian penilaian tentang kredibilitas yang akan dilakukan


adalah tingkat kredibilitas para sahabat Nabi yang meri wayatkan Hadis.

Menyikapi tentang ada tidaknya peluang kritik terhadap kredibilitas


sahabat nabi, Musthafa al-Siba’I berpendapat bahwa tidak ada celah kritik
terdapat sahabat nabi, sebagaimana telah menjadi kesepakatan para tabi’in
dan generasi sesudahnya dan seluruh ulama kritikus Hadis. Mereka
berpendapat bahwa para sahabat itu ‚adalah‛ atau memiliki kredibilitas yang
tinggi dan bebas dari kebohongan dan pemalsuan.10

Pandangan Musthafa al-Siba’i berbeda dengan Ahmad Amin yang


menyatakan bahwa tidak seluruh ulama’ kritikus sepakat bahwa sahabat nabi
terbebas dari kritik kebohongan dan pemalsuan. Bahkan menurutnya bahwa
para kritikus Hadis memperlakukan para sahabat itu seperti halnya orang
lain, yang berarti mempunyai kemungkinan ditemukan kebohongan dan
kepalsuan dalam diri para sahabat.11

9
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, (Beirut: Dar al-Fikr, 198), Jilid II, h. 208-214.
10
Musthafa al-Siba’I, as-Sunnah, h. 261.
11
Ahmad Amin, fajr al-islam, h. 216.

9
4. Teori Ta‘dil dan Tajrih dalam Penelitian Sanad

Ta’dil dalam term ‘Ulum al-Hadis mempunyai arti penilaian


terhadap kualitas kredibilitas atau tingkat keadilan perawi Hadis. Perawi
Hadis dapat dikatakan adil atau memiliki kredibiltas yang tinggi apabila
dalam pribadi perawi Hadis terintegrasi aspek spiri tualitas, moral, dan
intelegensi yang tinggi. Kalau sudah demikian, maka periwatannya dapat
diterima.12

Para ulama Hadis memberkan kriteria-kriteria kredibilitas


seorang perawi yaitu: Beragama Islam, Baligh, Berakal, Bertaqwa, dapat
memelihara personalitas yang tinggi, teguh dalam agama, tidak berbuat
dosa besar, seperti syirik, menjauhi dosa-dosa kecil, tidak berbuat bid’ah,
tidak berbuat maksiat, tidak fasiq, berita yang disampaikan dapat dipercaya,
berita yang disampaikan benar.13

Adapun Al-Jarh mempunyai makna orisinalnya berkisar


pada keinginan mencari cela, luka dengan tujuan untuk menyelamatkan
sesuatu, bukan didasari oleh rasa benci, dendam atau sentimentil. Dalam
konteks Hadis dapat dikatakan bahwa al-jarh dilakukan untuk
menyelamatkan Hadis dari suatu yang mencemarinya., sehingga sesuatu
yang dilukai atau dicela berakibat rendahnya kredibilitas atau tingkat
keadilan perawi Hadis. Kredibilitas yang disorot dari perawi Hadis adalah hal-
hal yang berkaitan dengan spiritualitas, moral dan intelegensi. Jika dari
aspek-aspek tersebut tidak dapat dipenuhi oleh perawi Hadis, maka
kualifikasi perawi Hadis tersebut memilikikredibilitas yang rendah. Dengan
demikian, dapat berakibat periwa yatannya lemah atau ditolak.14

12
M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 130.
13
Lihat juga ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-Fikr,
1989), h. 260.
14
Nur ad-din ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1997), h.
92.

10
Dalam hal ini Musthafa al-Siba’i menuturkan bahwa penilaian ta’dil
dan al-Jarh terhadap seorang perawi harus didasari pengetahuan yang
obyektif tentang keadaan seorang perawi. Jika seorang perawi jujur,
beriman, dan mempunyai daya hafal yang kuat, maka perawi tersebut dapat
dikatakan adil. Dan sebaliknya jika seorang perawi sudah diketahui
kebohongan, kefasikan, dan daya hafalnya yang rendah, maka perawi
tersebut dapat dikatakan cacat. Subyektifitas yang dilatar belakangi oleh
perbedaan madzhab tidak dapat dijadikan alasan untuk menta’dil atau
menjarh seseorang.

11
DAFTARPUSTAKA

Ad-din‘Itr N,ur, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr al-
Mu’ashir, 1997), h. 92
Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, Ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr,
1989
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, Juz IV Imam Muslim,
Shahih Muslim, Bandung: Syirkah al-Ma’arif at Thabi’ wa an-Nasyr, t.th,
Juz II
Al-Khatib,Ajjaj, Ushul al-Hadis, Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1989).
Al-Thahhan Mahmud, Taysir Mushthalahul Hadis, (Beirut: Dar al-Tsaqofah al-
Islamiyah, t. th),
Al-ZiriklyKhair al-Zirikly, al-A‘lam: Qamus TarajimAl aklam li Ashhur al-Rijal
wa al-Nisa’ min al-‘Arab wa al-Musta ‘ribin wa al-Mustashriqin Vol VII
(Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 2002).
As-Siba’I, Musthafa, As-Sunnah wa Makanatuha fi at-Tasyri’ al Islami,(Beirut:
Maktabah al-Islami, 1978).
Imam Turmudzi, Sunan at-Turmudzi, Kairo: Musthafa al-Babi al Halabi, 1973,
Juz IV
Ismail,Syuhudi Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
IsmailM. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1995).
Jalaluddin as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, Beirut: Dar al-Fikr, 198, Jilid II
Kajian Komparatif), Al-Fath, vol. 6, No.1 , Januari-Juni, 2012,.
Muhammad Zarzur,Adnan, Mustafa al-Siba‘iy al-Da‘iyah al-Mujaddid
(Damaskus: Dar al-Qalam, 2000).
Muhin,Masrukhin,” Hadis Menurut Musthafa al-Siba‟i dan Ahmad Amin (Suatu
Mustafa al-Siba‟i, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, terj.
Mustaqim, Abdul, Paradigma, Integrasi, Interkoneksi dalam Memahami Hadis,
(Yogyakarta: Teras).
Nur ad-din ‘Itr, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, Beirut: Dar al Fikr al-
Mu’ashir, 1997.

12

Anda mungkin juga menyukai