Dosen Pembimbing :
Dr. Abdul Rouf, Lc, MA
FATHU
ROZI
HASRUL
1
Mani’ Abdul Halim Mahmud,, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir
terjemahan Faisal Shaleh dan Syahdianor dari judul asli “Manhaj al-Mufassirin” (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006 M), Cet. I, hal. 232
2
Artikel: Biografi Ulama Sunnah, Diposkan Oleh Abu Abdillah al-Sundawi, dikutip dari Pengantar
Kitab al-Mashu’ala al-Jaurabain karya al-Qasimi, Vol. Minggu, 08 November 2009 M
3
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir,
hal. 234
Corak Kitab
Tafsir Modern dan
TAFSIR MAHASIN AL-TA’WIL 3
Karya Jamaluddin al-Qasimi
Amir al-Bayan, Syakib Arsalan memujinya dan berkata: “Tersebut pada dekade akhir
ini, Jamal Damaskus dan Jamal al-Qatthar al-Syami seluruhnya dalam limpahan
keutamaannya, luas ilmunya, tajam indranya, tinggi akhlaknya dan pengetahuan yang
mumpuni. Ia tinggal dalam keutamaan dan kemuliaan hingga ia dan Syaikh Abdur Raziq al-
Bithar, dua orang alim dari pemuka ahli Syam yang ada kemiripan, sebagaimana yang
dikatakan oleh Amir Syakib dalam hal toleran terhadap makhluk, kemampuan berpikir,
agungnya cita-citanya dan melimpahnya ilmu mereka, yang memadukan antara rasio dan
wahyu, antara riwayat hadis dan pemahaman, tiada yang lebih mulia dari keduanya di masa
itu baik dibidang pemikiran. Mereka memiliki pandangan lebih jauh menembus jiwanya
dalam memahami kitab dan nash, juga dalam membedakan lafal yang umum atau yang
spesifik, disamping itu keberadaan mereka merupakan pukulan yang telak terhadap aliran
Hasywiyah, yaitu golongan al-Mujassamah dalam aqidah.
Muhammad Rasyid Ridha berkata tentang dia “Dia adalah orang alim dari Syam
yang langka, pembaru ilmu-ilmu keislaman, penghidup sunnah dengan ilmu dan amal dalam
pengajaran dan terpelajar, dalam karya dan termasuk dari lingkaran pertemuan antara
petunjuk salaf dan perkembangan yang dibutuhkan zaman. Ia seorang ahli Fiqih, Mufassir,
ahli Hadis, ahli Sastra, Seniman yang takwa dan selalu kembali kepada Allah yang memiliki
karangan melimpah dan bahasan yang diterima”. Riwayat hidup al-Qasimi tidak sepi dari
pengembaraan dan perjalanan. Ia pergi ke Mesir dan ziarah ke Madinah dan kembali ke
Damaskus. Dia menyendiri di rumahnya untuk mengarang dan menyampaikan studi, baik
yang khusus maupun yang umum di bidang tafsir, sastra, ilmu Agama, hingga Allah
mewafatkannya di bulan Rajab 1332 H. semoga Allah merahmati dan menjadikan ilmunya
bermanfaat bagi umat manusia. 4
b) Karya-karya Jamaluddin al-Qasimi
Imam Jamaluddin al-Qasimi memulai kehidupan ilmiyahnya sebagai pengajar di masa
hidup ayahnya, setelah ayahnya wafat ia menggantikan kedudukannya di Masjid Sananin
Damaskus. Ia mengembangkan semangatnya dalam keilmuan, dalam menyusun, mensyarah,
kritik dan reformasi sehingga karangannya berkembang dan karyanya yang banyak hingga
jumlahnya tidak kurang dari 80 buah, baik yang dicetak maupun yang masih berupa
dokumen asli (makhtuthat).5 Abdul Majid al-Muhtasab mengatakan juga bahwa di usianya
yang belum genap lima puluh tahun telah meninggalkan 100 karya, bahkan lebih.
Para penulis yang sezaman dengan al-Qasimi menganggap sajak dalam bidang karya
kepenulisan sebagai pesona utama. Keindahan sastra telah menjadi panutan yang senantiasa
diikuti oleh para penulis dalam karya tulis mereka. Setelah itu, berkembanglah gaya
penulisan prosa (thariqah tharassul). Muhammad Abduh adalah salah satu ulama yang
menggunakannya bahkan menganjurkan penyebarannya. Al-Qasimi merupakan pengagum
Muhammad Abduh, dia kemudian menggunakan sajak dengan prosa dalam banyak
tulisannya setelah perkenalannya dengan Muhammad Abduh pada tahun 1904 M. 6
4
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir
terjemahan Faisal Shaleh dan Syahdianor dari judul asli “Manhaj al-Mufassirin” (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006 M), Cet. I, hal. 234-235
5
Mani’ Abdul Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir , hal. 232
6
Abdul Majid Al-Muhtasib, Visi dan Paradigma: Tafsir al-Quran Kontemporer, judul asli “Ittijaahaat
al-Tafsir al-Ashri al-Rahim” (Surabaya: Pustaka Insan Madani, 1997 M), Cet. I, hal. 36
Corak Kitab
Tafsir Modern dan
TAFSIR MAHASIN AL- 4
TA’WIL
7
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir
terjemahan Faisal Shaleh dan Syahdianor dari judul asli “Manhaj al-Mufassirin” (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006 M), Cet. I, hal. 235
8
Mani’ Abdul Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir, hal. 232
9
Muhammad Jamaluddin Al-Qasimy, Tafsir Mahasin al-Ta’wil (Beirut: Darr al-Fikr, 1398 H / 1978
M) Cet II, Muddimah Juz 1, hal 5-6
Corak Kitab
Tafsir Modern dan
TAFSIR MAHASIN AL- 5
TA’WIL
manfaat yang begitu berbobot yang semuanya saya telah jadikan sebagai kunci untuk
membukan pintunya. Juga saluran untuk memperlanncar airnya yng dipilih oleh seorang
Mufassir untuk menyibak realitas-realitasnya serta menganalisa beberapa rahasia dan
kedalamannya.
Uraian satu juz tersendiri yang memuat sitematika dan kaidah-kaidah tafsir dalam
Mahasin al-Tawil merupakan salah satu keunikan tersendiri dari kitab tafsir ini. Dalam
muqaddimahnya ini juga Nampak bahwa al-Qasimi banyak mengutip dari a-Syatibi, Ibnu
Taimiyah, Izzuddin bin Addussalam, al-Dahlawi, Abi Amru al-Dani, Abi Ubaid al-Qasim bin
Sallam serta Hazem. Al-Qasimi tampaknya terpenagruh dengan tendensi ilmiah dalam
tafsirnya. Dia mengetengahkan sub pokok bahsan untuk menjelasakna secara detail maslah-
maslah ilmu astronomi yang terdapat dalam al-Quran serta memberinya keterangan bahwa ia
mengutipnya dari beberapa pakar astronomi.10
Kita juga menemukan bahwa al-Qasimi mengetengahkan beberapa pendapat ahli
tafsir klasik dan mengutip dari tafsir-tafsir mereka. Dia mengutip dari tafsir Ibnu Jarir al-
Thabari, al-Zamakhsyari, Raghib al-Ashfihani, Fakhru al-Rozi, Ibnu Katsir al-Damsyiqi, Ibnu
Qayyim, Abi Hayyan al-Andalusi, Ibnu Athiya al-Andalusi, al-Qurthubi, al-Baidawi dan Abi
Sa’ud. Juga beberapa Mufassir mazhab Zaidiyyah dan Burhanuddin al-Biqa’i dan
Muhammad Abduh. Bahkan al-Qasimi hampir mengutip secara tekstual penafsiran yang
dinyatakan di dalam tafsir Ibnu Katsir dan banyak pembahasan lainnya di dalam kitab
tafsirnya
Selain diatas, kita juga menemukan bahwa al-Qasimi banyak mengetengahkan
pendapat ulama di dalam kitab tafsirnya semisal al-Syafi’i, Ibnu Sa’ad, al-Farra’ pemilik
Ma’ni al-Quran al-Qadhi Abdul Jabbar, Ibnu Hazem, al-Syahrastani, al-Akbari, Ibnu
Munayyar al-Askandari, Izzuddin Muhammad bin Abdussalam, Ibnu Hajar, Ibnu Taimiyah,
Ibnu al-Qayyim, al-Suyuthi dan al-Haralli.11
Corak Kitab
Tafsir Modern dan
TAFSIR MAHASIN AL- 6
TA’WIL
mengintegrasikan mazhab, metode dan corak penafsiran. Upaya ini dilakukan berdasarkan
kenyataan bahwa semua mazhab. Metode dan corak tafsir tidak bisa dilepaskan dari
kelemahan-kelemahan. Upaya pengembangan model tafsir ini dilakukan oleh beberapa
mufassir terutama mufassir periode mutaakhirin, diantaranya:13
1) Muhammad Jamaluddin al-Qasimi (1283-1332 H/1866-1914 M), tafsir Mahasin al-Ta’wil;
2) Muhammad bin Ali al-Syaukhani (w. 1250 H/1834 M), tafsir Fath al-Qadir;
3) Abu al-Tsana’ Syihab al-Din al Sayyid Muahmud al-Alusi al-Baghdadi (1217-1270
H/1802-1853 M), tafsir Ruh al-Ma’ani;
4) Ahmad Musthafa al-Maraghi (1298-1373 H/1881-1945 M), tafsir Maraghi
5) Muhammad Ali al-Shabuni, tafsir Shafwah al-Tafasir
6) Wahbah al-Zuhaeli, tafsir al-Munir
7) Abu Ali al-Fadhl bin al-Hasan alThabrasi, Majma al-Bayan fi Tafsir al-Quran
8) Muhammad Husyan Thabathabai, tafsir al-Mizan.
Integrasi aliran, metode dan corak penafsiran al-Quran merupakan perspektif baru
dalam upaya menfasirkan al-Quran yang saling melengkapi dan menunjang. Jadi elastisitas
al-Quran tidak hanya sebatas kandungannnya yang selalu sesuai dengan perkkembangan dan
tuntutan keadaan (up to date), tetapi juga elastisitas dari sisi penggunaan metode
penaafsirannya. Hal inilah yang diungkapkan Solly Lubis bahwa objeklah yang menentukan
metodologi, bukan metodologi yang menentukan objek sasaran suatu kegiatan atau usaha
ilmiah. Ketentuan ini tidak hanya berlaku bagi ilmu sosial lainnya, tetapi juga berlaku di
bidang ilmu sosial keislaman, termasuk tafsir.14
Perspektif penafsiran diatas Nampak dan diusakan oleh Jamaluddin al-Qasimi dalam
menyusun tafsirnya. Walaupun ia adalah ulama pentolan salaf, namun ia tidak menafikkan
kajian-kajian ilmu sains dalam tafsirnya agar pandangan al-Quran senanatiasa shalihun li kull
zaman wa makan sesuai harapannya dalam menulis tafsir. Uraian lanjut mengenai metodologi
tafsir Mahasin al-Ta’wil seperti dijelaskan berikut.
a) Analisa Penulisan Mahasin al-Ta’wil
Penulisan Mahasin al-Ta’wil tidak terlepas dari 4 hal berikut:15
Memuat hadis-hadis Nabi dan ia sangat mewaspasai hadis yang dha’if dan maudhu;
Memuat pendapat para sahabat;
Mengambil dari segi bahasa secara mutlak; dan
Memuat makna firman dalam ayat-ayat al-Quran dan makna syariatnya.
Al-Qasimi adalah seorang ulama hadis. Dia mempunyai kitab Qawa’id al-Tahdis min
Fununi Musthalah al-Hadis. Oleh karena itu, halaman demi halaman mahasin al-Ta’wil
hampir tidak ada yang tidak berisikan dengan hadis yang digunakan untuk memperkuat
penafsirannya. Sebagai contoh ketika mengatakan “ibadah itu ada bebera amcam dan
klasifikasi. Dimana keimanan tidak akan menjadi sempurna kecuali mempurufikasikan
seluruh ibadah sematan kepada Allah SWT”. Al-Qasimi memperkuat argumennya diatas
13
Ahmad Izzan, Metodologi ILmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2009), Cet. II, hal. 230-233
14
Ahmad Izzan, Metodologi ILmu Tafsir, hal. 235-236
15
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir
terjemahan Faisal Shaleh dan Syahdianor dari judul asli “Manhaj al-Mufassirin” (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006 M), Cet. I, hal. 236
Corak Kitab
Tafsir Modern dan
TAFSIR MAHASIN AL- 7
TA’WIL
dengan dalil naqli seperti penjelasan berikut, Al-Sunnah telah menjelaskan bahwa doa adalah
ibadah. Artinya rukun ibdah itulah yang yang terpenting dan lebih utama. Asalnya dari al-
َ ) َو َقا َ ل س ُّب ُك ُى ا ْدعَىِي أَستَجب نَ ُكم ْى ِإ ٌ انم ِزن ٍَ سمتَ ْك ِ ُ شو ٌَ عم ٍْ ِعَما َدِي سم َ ُْذهُى ٌَ ج,Al-Qasimi jadi
( ٍَ هُم َى دُامشن
Quran
menyebut do’a sebagai ibadah.16
Gambaran lainnya mengenai tafsir Mahasin al-Ta’wil memuat banyak sumber tafsir,
pendapat para ulama, wawasan keilmuan selain tafsir yang sangat mewarnai tafsirnya. Oleh
karena itu, analisa penulisan tafsir mahasin al-Ta’wil kami arahkan pada kesimpulan sumber
tafsirnya, bi al-Matsur atau bi al-Ra’yi. Melihat uraian diatas dan khususnya pengakuan
penulisnya sendiri dalam muqaddimah tafsirnya maka tafsirnya dikelompokkan tafsir bi al-
Matsur. Walupun demikian, memuat juga sumber-sumber aql termasuk pendapatnya sendiri
khususnya dalam memahami ayat-ayat kauniyah. Namun hal ini adalah suatu kewajaran
karena metodologis tafsirnya seperti disebutkan sebelumnya memiliki perspektif integrasi
mazhab, corak dan metode. Ini artinya, objek ayat-ayat al-Quranlah yang akan menentukan
Arah metodologisnya. Jika berbicara ayat hukum, maka arah pembahasannya mencakup ilmu
fiqh dan ruang lingkup lainnya yang bersangkutan.
b) Analisa Penafsiran Mahasin al-Ta’wil
Imam al-Qasimi dengan kesempurnaan penelitiannya, kejelian pemahamannya, dan
jiwa amanahnya dalam mentransfer, ia menyeleksi dan mengambil pendapat yang paling baik
yang berkaitan dengan tema pembahasannya kemudian mengutipnya. Metode inilah yang
jalan dalam tafsirnya sehingga tafsirnya seperti kebun yang rimbun, tiada terlihat darinya
kecuali tanaman yang hijau dan bunga-bunga yang hijau dan semerbak mewangi,
didalamnnya tidak ditemukan apa yang menyakiti dan menggores perasaan. Tafsir ini punya
keistimewaan dalam kehati-hatiannya dan pemindahan referensi serta penerimaan yang
selektif sehingga jauh dari hadis maudhu dan dha’if.
Kerangka umum metode penafsiran Mahasin al-Ta’wil seperti berikut:17
Dibantu dengan makna-makna lughawi dan kosa kata. Hal ini iala lakukan dengan singkat
tampa memilah dan panjang ulasan;
Berpedoman pada al-Quran, Sunnah, Qaul para sahabat yang shahih dan pendapat para
Salaf al-Shaleh;
Kepeduliannya terhadap ayat-ayat yang membutuhkan uraian lebih lanjut karena dipahami
berdasarkan mazhab sehingga menjadi wahana perdebatan. Al-Qasimi mencurahkan
perhatiannya terhadap ayat-ayat semacam ini dengan menganalisa dari semua perspektif
yang ada;
Perhatiannya dalam menyebut segi-segi Qira’at serta menyeleksinya.
Melihat kerangka diatas, dapat menguatkan bahwa tafsir mahasin al-Ta’wil lebih
dominan dalam sumber-sumbernya yang matsur. Namun uraian ini kami lebih arahkan untuk
melihat langkah penfsiran Jamaluddin al-Qasimi. Menganalisa keterangan diatas, Nampak
bahwa al-Qasimi berusaha menerapakan integrasi mazhab, metode dan corak yang ia lakukan
dengan urutan mushaf dalam al-Quran.
16
Abdul Majid Al-Muhtasib, Visi dan Paradigma: Tafsir al-Quran Kontemporer, judul asli
“Ittijaahaat al-Tafsir al-Ashri al-Rahim” (Surabaya: Pustaka Insan Madani, 1997 M), Cet. I, hal. 39-40
17
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir
terjemahan Faisal Shaleh dan Syahdianor dari judul asli “Manhaj al-Mufassirin” (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Corak Kitab
Tafsir Modern dan
TAFSIR MAHASIN AL- 8
TA’WIL
Persada, 2006 M), Cet. I, hal. 236-237
Corak Kitab
Tafsir Modern dan
TAFSIR MAHASIN AL- 9
TA’WIL
﴾٤١﴿ i َ ˚¸ لَنْو¸بb ِ ¸بْو ْل ¸َخ ِ¸ة َع ¸ ال َِّص اi َ ˚ الَّ يِ¸ َ َل ي˚وْ ؤ¸منi َّ ¸﴾ َوإ٣١﴿
)٤١-٧١ : i (س رة اَلؤمن
Artinya:
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini,
dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan
mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. Atau kamu meminta upah kepada mereka?,
maka upah dari Tuhanmu adalah lebih baik, dan Dia adalah Pemberi rezki Yang Paling Baik. Dan
sesungguhnya kamu benar-benar menyeru mereka kepada jalan yang lurus. Dan sesungguhnya
Corak Kitab
Tafsir Modern dan
TAFSIR MAHASIN AL- 1
TA’WIL
orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat benar-benar menyimpang dari jalan (yang
lurus). . (Q.S. al-Mu’minun : 71-74)
18
Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), cet. I, hlm. 108
Corak Kitab
Tafsir Modern dan
TAFSIR MAHASIN AL- 1
TA’WIL
Tafsirnya:19
ض و َيم ٍْ ِ فَم
سم ًَا ْ َْل ÷ أ هم َىا َه سم َ ( ونَمَ ى ِا َِم, yakni sekiranya kebenaran
) ٍ ِه
ْى َ ف َذ ان َوا÷ ْس وا ę ا ْنحم yang
mereka benci seperti tauhid dan keadilan yang disampaikan Nabi Muhammad Saw.
kebenaran itu ikut hawa nafsu mereka yang bertebaran dalam kebatilan yang timbul dari
nafsu mereka yang gelap dan menggelapkan. Jika demikian adanya, hukum kausalitas ini
akan rusak karena ketergantungan hukum alam ini tiada lain kecuali pada tauhid dan
keadilan. Di sini terdapat urusan kebenaran dan peringatan atas ketinggian kedudukannya
yang tidak samar. (ْ) ى َُْماهُ َِ أَْ م َبم, satu contoh dari mencela mereka dan kebenciannya, pindah
dari menegur sikap mereka ke pelarian dari apa yang digemari setiap jiwa, yaitu dari
kebaikannya,
yakni sebenarnya ia bukan kebencian tetapi pelajaran bagi mereka seandainya mereka
mengambilnya sebagi pelajaran. Atau bagi kesombongan dan kebanggaan mereka karena
mereka kelak berkata “Sekiranya kami memiliki ajaran dari orang-orang terdahulu niscaya
kami menjadi orang yang ikhlas berbakti”. (ٌَ همْ ْع ُ )ى َف, yakni berpaling dari
ضم ى شperingatan.
ي
Allah mengulangi lafal ْ ْ sebagai pengagungan dan disandarkan kepada mereka karena
ى شه كم
ر
seperti tersebut semula, dan di surat al-Anbiya : 42, Zikri Rabbihim, karena memastikan
apa yang sebelumnya ( ُ )و أَْ َِ سَمَنُه, yakni pajak dalam menyampaikan risalah, dan
جما ْىkarena
ْش
alasan itu mereka lalu tidak beriman. ( )َف خم ِّبم ش, yakni karunia dan ayat seterusnya
) ˚ َْم ُ ٌَ( ِِكُى نَُاbermakna berpaling. َش ا س
Al-Qasyani berkata, Sirat al-mustaqim yang didakwahkan nabi kepada mereka ialah
jalan tauhid yang memastikan untuk membuahkan keadilan dalam jiwa, adanya rasa cinta di
hati dan menyaksikan Keesaan. Sedangkan orang yang tertutupi dengan gulita dari alam
cahaya degan najis dari kesucian, sesungguhnya mereka bergelimang dalam kezaliman dan
kebencian, permusuhan dan condong pada yang berlebihan, sebenarnya mereka telah
berpaling dari jalan kebenaran maka mereka berada dalam jurang kebinasaan. Imam
Zamakhsyari berkata, “Allah telah menetapkan hujjah-Nya dalam ayat ini dan menanggalkan
alasan-alasan mereka dan mengemukakan kepada mereka bahwa nabi yang diutus kepada
mereka adalah seorang lelaki yag telah diketahui kepribadian dan keberadaannya. Telah
diberitakan baik degan jelas atau tersembunyi, ia adalah makhluk yang tepilih untuk
menyampaikan risalah dari kalangan mereka, dan risalah itu tidak ditawarkan kepadanya
hingga dakwah yang mulia ini tidak dituduh dengan kebatilan. Dan ia berserah diri padanya
untuk memperoleh urusan dunia mereka dan pemberian harta mereka. Dia tidak mengajak
mereka kecuali kepada agama Islam yang jadi siratal mustaqim serta menampakkan penyakit-
penyakit mereka yang tersembunyi, yaitu kesalahan dan kefatalan mereka dalam berpikir dan
merenungi nenek moyang mereka yang sesat tampa ada dalil yang kuat. 20
b) Surah al-Nisa ayat 3
Corak Kitab
Tafsir Modern dan
TAFSIR MAHASIN AL- 1
TA’WIL
﴿ َّأل َتوع˚ ل˚ ا,ََأ ْدن َ ˚َتو ْع ¸تل˚ ا َفو ا ¸ح َتةً َأْ و َمو ْ ت َأْي ََون
َ
﴾٣ :النسوه ¸ َذل, مَل َح ˚ح
ْ َ
19
Muhammad Jamaluddin al-Qasimy, Tafsir Mahasin al-Ta’wil, (Beirut: Darr al-Fikr, 1398 H / 1978
M), Cet. II, Jilid 1, Juz 2, hal 94-95
20
Muhammad Jamaluddin al-Qasimy, Tafsir Mahasin al-Ta’wil, hal 95
Corak Kitab
Tafsir Modern dan
TAFSIR MAHASIN AL- 1
TA’WIL
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka (kawinilah) seorang saja
, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.. (Q.S. al-Nisa: 3)
Tafsirnya:
Pembahasan penting: al-Rozi menjelaskan bahwa kaum sudda (suku kuhti yang berada di
dekat zabid, Yaman) berpendapat mengenai diperbolehkannya menikah dengan jumlah berapapun
yang dikehendaki. Mereka berargumentasi dengan al-Quran dan Hadis. Mengenai argumentasinya
dari al-Quran, mereka telah berpegang teguh terhadap ayat tersebut dengan tiga alasan, pertama;
Allah firman (َِ )َفما َْ ِك ُحىا يما ما َن ُكم ْى يم ٍَ انُِّسماFirman- bahwa kedua; jumlah, semua memutlakkan
bahwa
Nya (sُ ) َا وُثم َُْثم َي سبَما وtidak layak dijadiakn sebagai takhsis terhadap keumuman ayat di atas,
ketiga;
bahwa huruf (waw) di dalam ayat tersebut berfungsi untuk penjumlahan secara mutlak sehingga,
s (وُثم َا و ُسَبما ْ ) َُثم َيmenunjukkan jumlah, yaitu 9. Bahkan yang benar menunjukkan jumlah
firmannya
18 belas. Sebab ْ َُثم يtidak menunjukkan arti 2 saja tetapi dua-dua sehingga ْ َُثم يdiartikan 4 dan begitu
pun seterusnya. Kemudian argumentasi hadis, ada 2 alasan; pertama; telah dinyatakan dengan
mutawatir bahwa Nabi Saw telah meninggalkan 9 istri, kedua; bahwa sunnah seseorang itu esensinya
merupakan tuntutanannya.
Al-Qasimi kemudian mengetengahkan beberapa pandangan al-Rozi yang melemahkan
pemahaman tersebut. Dia juga mengetengahkan pendapat al-Syaukhani untuk mendukung
pemahaman tersebut. Dia juga menampilakan pandangan Ibnu Abdul al-Barr untuk menilai kecacatan
hadis. Dimana Rasulullah Saw memerintahkan Ghailan bin Salamah ketika dia memeluk Islam
sementara dia mempunyai 10 istri. Rasul memerintahkannya memilih empat diantara mereka dan
menceraikan yang lain. Selain itu, ia juga menampilkan pandangan ulama seperti Imam Syafi’i, Ibnu
Abi Syaibah, al-Timidzi dal lain-lain yang menshahihkan hadis tersebut.
Dari keterangan di atas, nampak bahwa al-Qasimi mencantumkan bergam pendapat terkait
ayat tersebut dengan memberikan masing-masing argumennya. Ia tidak berpihak pada salah satu
pandangan dalam memberikan ulasannya, melainkan memberikan wewenang kepada pembaca untuk
mengambil pendapat yang dinyakininya benar. Hal inilah yang merupakan keunikan tersendiri dari
tafsirnya dengan pembahasan yang panjang lebar mengenai ayat yang banyak menjadi bahan
perdebatan. Namun pada sisi lain, ini jugalah yang menjadi kelemahan tafsir ini karena memuat
sebuah potret tentang benturan yang terus-menerus dalam tubuh Islam.21 Walaupun demikian, al-
Qasimi juga secara tegas memberikan pandangnnya mengenai problematika sosial kehidupan
masyarakat dan dalam berbagai konteks lainnya selain perdebatan yang sanagt signfikan seperti kasus
diatas. Wallahu A’lam !!!
Sekian
Corak Kitab
Tafsir Modern dan
TAFSIR MAHASIN AL- 1
TA’WIL
21
Abdul Majid Al-Muhtasib, Visi dan Paradigma: Tafsir al-Quran Kontemporer, judul asli
“Ittijaahaat al-Tafsir al-Ashri al-Rahim” (Surabaya: Pustaka Insan Madani, 1997 M), Cet. I, hal. 50
Corak Kitab
Tafsir Modern dan
TAFSIR MAHASIN AL- 1
TA’WIL
Daftar Pustaka
Mahmud, Mani’ Abdul Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para
Ahli Tafsir terjemahan Faisal Shaleh dan Syahdianor dari judul asli “Manhaj al-Mufassirin”,
Cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006 M
Al-Muhtasib, Dr. Abdul Majid Abdul Salam, Visi dan Paradigma: Tafsir al-Quran
Kontemporer, terjemahan Maghfur Wahid dari judul asli “Ittijaahaat al-Tafsir al-Ashri al-
Rahim”, Cet. I, Surabaya: Pustaka Insan Madani, 1997 M
Artikel: Biografi Ulama Sunnah, Diposkan Oleh Abu Abdillah al-Sundawi, Vol.
Minggu, 08 November 2009 M
Izzan, Ahmad, Metodologi ILmu Tafsir, Cet. II, Bandung: Tafakur, 2009
Al-Qasimy, Muhammad Jamaluddin, Tafsir Mahasin al-Ta’wil, Cet II, Beirut: Darr
al-Fikr, 1398 H / 1978 M
Corak Kitab
Tafsir Modern dan