Anda di halaman 1dari 15

HERMENEUTIKA MUHAMMAD SAHROUR

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang


Jl. Prof. Dr. Hamka Tambakaji, Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah 50185

A. Pendahuluan
Pencarian makna yang tersembunyi di balik ayat-ayat al-Quran, terutama
yang dikelompokkan ke dalam ayat-ayat hukum, apabila dikaitkan dengan isu-
isu kontemporer selalu menarik untuk dikaji. Walaupun jumlah ayat-ayat
hukum dalam al-Quran relatif sedikit, bahkan tidak mencapai sepersepuluh dari
keseluruhan Ayat Alquran, namun pengkajian atas ayat-ayat ini hampir
mendominasi berbagai literasi dan memengaruhi beragam kebijakan di luar
hukum.1
Kitab suci berisikan Kalam Tuhan yang agung yang tak terbatas dan
mempunyai pengetahuan absolut, diturunkan kepada manusia yang serba
terbatas dan mempunyai pengetahuan yang tak dapat dibandingkan dengan
pengetahuan Tuhan. Oleh karena itu, tidak mungkin seseorang ataupun
sekelompok orang dari sebuah generasi manapun, mampu memahami teks
Tuhan tersebut secara mutlak sebagaimana yang diinginkan oleh Tuhan.
Pemikiran ini lah yang menjadi dasar bagi Shahrur dan tokoh-tokoh
hermeneutika untuk meninjau ulang pemahaman terhadap teks  karangan Tuhan
ini. Shahrur berkeyakinan bahwa teks Alquran tidak harus dipahami secara
rigid sebagaimana para mufassir klasik memahaminya, karena Alquran bersifat
universal dan shalih li kulli zaman wa al-makan, sehingga makna yang
terkandung di dalamnya tentu dinamis sesuai dengan pengetahuan dan
pengalaman pembacanya pada zaman mereka masing-masing.2
Shahrur lebih melihat pada pemahaman pembaca, tapi dalam arti, teks
tersebut memang telah sengaja didesain bersifat universal sehingga
1
Yusep Rafiqi, Kritik Hermeneutik dan Kontekstualisasi Ayat-Ayat Hukum,AHKAM -
Volume 17, Number 1, 2017Hlm. 225.
2
Hermeneutika Muhammad Shahrur Islamic Studies (msibki3.blogspot.com)
memungkinkan untuk dipahami sesuai dengan ruang dan waktu si pembaca.
Bukan karena tidak ingin memahami keinginan pengarang, tapi karena
pemahaman pembaca yang sesuai zamannya tersebutlah sebetulnya yang
dinginkan pengarang. Benar bahwa tidak mungkin memahami teks sesuai
dengan pemahaman penciptanya, tapi bukan berarti meninggalkan apa yang
dinginkan penciptanya, karena kalau begitu, maka berarti apa pun yang
dipahami pembaca (interpreter) menjadi benar. Pemahaman yang serba benar
ini tentunya tidak masuk akal.
 Keinginan Shahrur untuk meninjau kembali pemahaman Alquran dan
menyesuaikan pemahamannya tersebut dengan ruang dan waktu yang sekarang,
terkesan ingin meninggalkan pemahaman ulama salaf dan tafsir-tafsir klasik,
karena karya mereka, sedikit banyak, tentunya tidak sesuai lagi dengan zaman
sekarang.
B. Biografi
Muhammad Sahrour memiliki nama asli Muhammad Sahrour Ibn Dayb
dan lahir pada tanggal 11 April 1938 di Damaskus, Syiria. Ayahnya bernama
Deys bin Deyb Sahrour dan ibunya Siddikah binti Salih Filyun, mereka
merupakan keluarga bahagia. Damaskus merupakan tempat pertama
Muhammad Sahrour mendapatkan pendidikan yang di mulai dari jenjang
sekolah Ibtidayah, I’dadiyah dan Tsanawiyah. Pada 1957 Sahrour berhasil
menamatkan pendidikan dasar dan menengahnya di lembaga pendidikan, Abd
Al-Rahman Al-Kawakibi, Damaskus. Pada bulan Maret 1958 Sahrour
mendapatkan beasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan pendidikan di
Moskow, Uni Soviet dengan konsetrasi pada studi teknik sipil (handasah
madaniyah). Gelar Diploma dalam teknik sipil didapatkan Sahrour pada 1964.
Tahun berikutnya Sahrour bekerja sebagai dosen Fakultas Teknik Universitas
Damaskus. Pihak universitas kemudian mengirimkan Sahrour ke Irlandia yakni
Ireland National University untuk melanjutkan studi Magister dan Doktoralnya
dalam spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Fondasi. Sahrour kemudian
mendapatkan gelar Master Of Science pada 1969 dan gelar Doktoral pada 1972.
Sahrour diangkat menjadi dosen di Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus
di bidang Mekanika Tanah dan Dasar Bumi sejak tahun 1972.3
Sahrour pernah didelegasikan menjadi peneliti teknik sipil pada sebuah
perusahaan konsulat di Saudi Arabia pada tahun 1982-1983. Pada tahun 1995 ia
pernah diundang menjadipeserta kehormatan dalam rapat publik mengenai
pemikiran-pemikiran Islam Libanon dan Maroko. Pada dasarnya basis
pendidikan Sahrour adalah teknik dan ilmu eksak, namun ia juga tertarik
mengkaji al-Qur’an secara otodidak dan mendalam serta menggunakan ilmu
filsafat bahasa dan dibingkai dengan teori eksak. Ia tidak memiliki pengalaman
pelatihan resmi atau memeroleh sertifikat dalam ilmu- ilmu keIslaman.4 Sahrour
juga menulis buku dan artikel tentang pemikiran keislaman untuk merespon
isu- isu kontemmporer.5
Muḥammad Sahrour tergolong tokoh pemikir Islam yang gigih, Ia harus
menghadapi berbagai kecaman dan ancaman yang ditujukan pada dirinya
karena ide-idenya yang sangat orisinil. Sampai saat ini ia menjadi obyek
kritikan di dunia Arab. Kurang lebih ada 15 buah buku ditulis untuk menyerang
pemikiran Sahrour, di antaranya: Naḥw Fiqh al-Jadīd karangan Jamāl al-Bannā
terbitan Dār al-Fikr al-Islāmī, Kairo, Mujarrad al-Tanjīm karangan Salīm al-
Jābī terbitan AKAD, Damaskus, Tahāfut al-Qirā’ah al-Mu‘āṣirah karangan
Muhīmī Munīr Muḥammad Thāhir al- Shawwāf, terbitan al-Shawwāf al-Naṣr
wa al-Dirāsāt, Cyprus, dan al-Naṣ, al-Sulṭah, Ḥaqīqah karangan Nashr Ḥamīd
Abū Zayd, terbitan al-Markaz al-Shaqāfī al- ‘Arab, Kairo.
Terlepas dari adanya pro dan kontra tentang ide-idenya, Sahrour telah
menjadi pemikir yang fenomenal. Pemikirannya yang liberal, kritis, dan
inovatif telah mengantarkan dirinya sebagai seorang tokoh Islam yang oleh
Peter Clark disejajarkan ketokohannya dengan intelektual Muslim lainnya,

3
Kurdi dkk, Hermenutika al-Qur‟an dan Hadis, (eLSAQ Press: Yogyakarta, Cet. I, 2010)
hlm. 386-387.
4
Faisar Ananda Arfa dan Muhammad Syahrial, “Hermeneutika Muhammad Shahrūr dan
Implikasinya terhadap Istinbāṭ al-Aḥkām dalam Persoalan Wanita”, Ahkam: Vol. XIII, No. 1,
Januari 2013, hlm. 110.
5
Abdul Mustaqim, “Teori Hudud Muhammad Syahrur”, AL-QUDUS: Jurnal Studi al- Qur‟an
dan Hadis, Vol. 1, No. 1, 2017, hlm. 4
seperti al-Jābirī dari Maroko, Nashr Ḥamīd Abū Zayd, dan Faraj Fawdah dari
Mesir.6
Muhammad Shahrour, meninggal dunia pada hari Sabtu (21/12/2019), di
Abu Dhabi, Uni Emiret Arab. Shahrour meninggal dunia di usia 81 tahun.
Shahrour berwasiat bahwasanya ia ingin jasadnya dikuburkan di kota
kelahirannya yaitu Damaskus, Syiria.
C. Latar Belakang Pemikiran Sahrour
Setiap kegiatan intelektual yang memancar dari suatu kegelisahan tidak
dapat dipisahkan dari problematika sosial yang melingkupinya. Dengan kata
lain, sebuah konstruk pemikiran yang muncul memiliki relasi signifikan
dengan realitas sosial sebagai respon dan dialektika pemikiran dengan berbagai
fenomena yang berkembang di tengah masyarakat. Teori ini juga berlaku
terhadap konstruksi pemikiran Shahrur, khususnya terkait masalah ke-Islaman.
Ide-idenya muncul setelah ia mengamati perkembangan tradisi ilmu-ilmu ke-
Islam-an kontemporer, yang menurutnya, memiliki sejumlah persoalan sebagai
berikut:7
1. Tiadanya petunjuk metodologis dalam pembahasan ilmiah tematik terhadap
penafsiran ayat-ayat suci al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad Saw. Hal ini disebabkan oleh rasa takut dan ragu-ragu yang
dialami oleh umat Islam dalam mengkaji kitab suci mereka. Padahal, syarat
utama dalam kajian ilmiah adalah dengan pandangan objektif terhadap
sesuatu tanpa pretensi dan simpati yang berlebihan.
2. Adanya penggunaan produk hukum masa lalu untuk diterapkan dalam
persoalan kekinian. Pemikiran hukum tentang wanita adalah salah satu
contohya. Untuk itulah perlu adanya fikih dengan metodologi baru yang
tidak hanya terbatas pada al-fuqaha al-khamsah.
3. Tidak adanya pemanfaatan dan interaksi filsafat humaniora (al-falsafah al-
insaniah). Hal ini disebabkan adanya dualisme ilmu pengetahuan: Islam
6
Faisar Ananda Arfa dan Muhammad Syahrial, “Hermeneutika Muhammad Shahrūr dan
Implikasinya terhadap Istinbāṭ al-Aḥkām dalam Persoalan Wanita”, Ahkam: Vol. XIII, No. 1,
Januari 2013, hlm. 110.
7
Alam Tarlam, Analisis dan Kritik Metode Metode Hermeneutika Al-Qur’an Muhammad
Shahrur, Jurnal Empirisma, Vol. 24 No. 1 Januari 2015, hlm. 95-96
dan non-Islam. Absennya interaksi ini berakibat pada mandulnya pemikiran
Islam
4. Tidak adanya epistimologi Islam yang absah. Hal ini berdampak pada
fanatisme dan indoktrinasi mazhab yang merupakan akumulasi pemikiran
berabad-abad silam. Alhasil, pemikiran Islam menjadi sempit dan tidak
berkembang.
5. Produk-produk fikih yang ada sekarang (al-fuqaha-khamsah) sudah tidak
relevan lagi dengan tuntutan modernitas sehingga perlu adanya formulasi
fikih baru.
D. Pemikiran Sahrour
Muḥammad Sahrour mendasarkan pemikirannya pada ayat Alquran yang
berbunyi “Innā nahnu nazzalnā al-dzikrā wa innā lahū laḥāfizūn” (Q.s. al- Ḥijr
[15]: 9). Ia mengklaim bahwa Alquran meskipun telah dijamin akan terus
terpelihara oleh kekuatan ilahiah, tetap saja ditujukan untuk generasi yang
paling akhir sama halnya juga telah diperuntukkan bagi generasi awal Islam.
Masing-masing generasi kemudian mengerahkan penafsiran terhadap Alquran
yang muncul dari realitas masing-masing generasi, maka orang-orang yang
hidup di abad XX juga berhak untuk mempersembahkan terhadap “al-dhikr”
sebuah penafsiran yang merefleksikan kondisi zamannya. Dalam hal ini,
menurut Sahrour, Muslim modern lebih memiliki kualifikasi yang cukup untuk
memahami Alquran dibandingkan dengan generasi terdahulu. Oleh karena itu,
penafsiran tradisional tidak boleh dijadikan sebagai sesuatu yang mengikat
terhadap dunia kekinian. Orang-orang sekarang dianggap oleh Sahrour lebih
memiliki peradaban yang tinggi dibandingkan dengan generasi terdahulu,
sedangkan Alquran merupakan kitab yang sangat tinggi levelnya dan hanya
akan dapat dipahami dengan lebih tepat oleh generasi yang mempunyai
peradaban yang lebih tinggi: sesuatu yang jelas-jelas tidak dimiliki oleh orang-
orang Arab generasi awal Islam. Dengan menggunakan metode hermeneutik
modern, Sahrour membedakan antara penggunaan kata Alquran. dan al-Kitāb.
Perbedaan ini dikaitkannya dengan fungsi Muḥammad Saw. sebagai Rasul dan
sebagai Nabi. Sebagai Nabi, Muḥammad Saw. menerima seperangkat
informasi yang terkait dengan kenabian, agama, dan lainnya. Sebagai Rasul,
Muḥammad Saw. bertugas menetapkan hukum-hukum sebagai tambahan bagi
tugas kenabiannya. Kemudian dia membedakan antara penafsiran dan ijtihad
dengan menekankan kelebihan ijtihad sebagai sebuah usaha untuk
menghasilkan hukum-hukum yang sesuai dengan perkembangan masa dan
perbedaan tempat. 8
Menurut Muhammad Syahrur, yang esensial adalah diferensiasi antara
sesuatu yang ilahi, seperti firman atau kitab suci dan pemahaman manusia
terhadap realitas ilahiah itu. Dia juga berpendapat bahwa karena
perkembangan ilmu pengetahuan, ulama kontemporer memiliki kapasitas jauh
lebih baik dibandingkan ulama dulu dalam memahami kehendak Tuhan dalam
kitab suci. Dengan demikian, Syahrur mencoba untuk menciptakan kerangka
dan metode hermeneutika baru untuk memahami al-Qur‘an, dan untuk tujuan
ini dia telah menciptakan sendiri suatu pendekatan untuk memahami al-
Qur‘an.
Secara garis besar, dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur‘an, Muhammad
Syahrur menggunakan dua teori hermeneutika, yaitu:9
1. Teori Linguistik
Pendekatan yang digunakan Syahrur dalam mengkonstruksi pemikiran
keislamannya menggunakan pendekatan hermeneutika dengan penekanan
pada aspek filologi (kebahasaan). Syahrur menyebutnya sebagai al-manhaj
al-tarikh al-’ilm fial-dirasah al -lughawiyyah , yakni metode historis ilmiah
studi bahasa.
Pendekatan ini sebenarnya merupakan hasil kesimpulan dari teori
linguistik Ibn Jinni dan al-Jurjani. Dari sinilah Syahrur membuat batasan
kaidah-kaidah metode hermeneutik-linguistiknya yang mempunyai prinsip
sebagai berikut :
a) Bahwa bahasa merupakan sebuah sistem.
8
Ananda Arfa dan Muhammad Syahrial, “Hermeneutika Muhammad Shahrūr dan Implikasinya
terhadap Istinbāṭ al-Aḥkām dalam Persoalan Wanita”, Ahkam: Vol. XIII, No. 1, Januari 2013,
hlm. 110-111.
9
Rohmatul Izad, Pemikiran hermeneutika Muhammad Shahrur Tentang Konsep Keseteraan
Gender, Jurnal Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta, hlm. 163
b) Bahasa merupakan fenomena sosiologi dan konstruksi bahasanya
sangat terkait dengan konteks di mana bahasa itu disampaikan.
c) Ada semacam keterkaitan antara bahasa dan pemikiran.
d) Menolak adanya sinonimintas atau beberapa kata yang memiliki
makna yang sama dalam bahasa
Berangkat pada poin ke lima diatas keseriusan Syahrur dalam
mendalami ilmu lingustik berpengaruh terhadap pemahaman beliau
terutama ketika mengurai term al-Qur’an, al-Kitab, al-Furqan, adz-Dzikir
yang dianggapnya sebagai struktur kata yang memiliki arti dan makna
tersendiri. Perbedaan yang kuat antara pemikiran klasik dengan paradigma
yang dibangun oleh Syahrur adalah ketika mengemukakan bahwa tidak ada
kata yang benar-benar sinonim. Sebab bahasa merupakan fenomena
sosiologis dan sebagai wadah terhadap sebuah gagasan.
Berangkat dari teori bahwa tidak ada konsep sinonim dalam bahasa
Arab, Syahrur merumuskan pendapatnya bahwa al-Qur’an dan semua nama
lainnya memiliki arti tersendiri yang satu sama lain berbeda. Mushaf
Usmani yang selama ini populer dengan sebutan al-Qur’an oleh Syahrur
disebut dengan al-Kitab. Penamaan ini berdasarkan argumentasi bahwa kata
“al-Kitab” berasal dari “kataba” yang artinya mengumpulkan beberapa hal
dengan tujuan untuk mendapatkan satu makna yang bermanfaat atau untuk
mendapatkan satu topik tertentu guna mendapatkan pemahaman yang
sempurna.
Berdasarkan pemahaman seperti ini maka di dalam mushhaf terdapat
banyak kitab di mana masing-masing kitab juga terdiri atas beberapa kitab.
Misalnya dalam mushhaf terkandung kitab ibadah yang di antaranya
memuat kitab shalat, kitab puasa, kitab zakat dan kitab haji. Kitab shalat
terdiri dari kitab wudhu, kitab sujud, kitab ruku’ dan sebagainya.
Pemaknaan kitab seperti ini adalah makna secara umum, akan tetapi jika
kata “kitab” yang ada dalam mushaf muncul dalam bentuk ma’rifat, maka ia
berarti khusus yaitu kumpulan berbagai topik yang diwahyukan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad dalam bentuk teks (nash) dimana topik-topik
tersebut tersusun dalam sekelompok ayat dari surat al-Fatihah sampai akhir
surat an-Nas.
Selanjutnya pemahaman tentang adz-Dzikr. Menurut Syahrur adz-
Dzikr merupakan sifat al-Qur’an di mana al-Qur’an berbentuk teks yang
berbahasa Arab Syahrur mendasarkan argumentasinya kepada penafsiran
tiga ayat al-Qur’an, yaitu QS. al-Hijr: 9, QS. al-al-Hijr: 6 dan QS. Shad: 1
dimana kata adz-Dzikr dalam ketiga ayat tersebut berbentuk ma’rifat.
Petunjuk paling jelas dapat ditemukan dalam Surat Shad dimana kata al-
Qur’an dihubungkan dengan adz-Dzikr dengan kata sambung “dzi” yang
menunjukkan makna sifat. Oleh karena itu adz-Dzikr hanya sifat dari al-
Qur’an, bukan al-Qur’an itu sendiri.
Selanjutnya Syahrur juga melakukan pemaknaan ulang terhadap al-
Furqan. Menurutnya kata al-Furqan tidak semakna dengan al-Kitab, al-
Qur’an maupun adz-Dzikr sebagaimana dipahami para ulama tafsir.
Perbedaan ini menurutnya sangat jelas terlihat dalam redaksi QS. al-
Baqarah: 185 dimana penggunaan huruf athaf diantara kata al-Qur’an
dengan kata al-Furqan menunjukkan bahwa keduanya adalah substansi yang
berbeda. Dengan kata lain al-Qur’an bukanlah al-Furqan dan sebaliknya al-
Furqan tidak identik dengan al-Qur’an. Al-Furqan adalah salah satu bagian
dari ajaran akhlak sebagai kualitas moral minimal yang harus dimiliki oleh
setiap manusia dalam kehidupannya.10
2. Teori Hudud dan Rumusan Metodiknya
Karakteristik Syahrur sebagai seorang ilmuan sangat tampak jelas dari
hampir seluruh produk pemikirannya di mana Syahrur selalu menghadirkan
teori baru dalam mendekati al-Qur‘an, dalam konteks ini teori tersebut
dikenal dalam kajian Islam disebut dengan teori hudud atau limit.
Teori limit atau hudud adalah sebuah metode memahami ayat-ayat
hukum (muḥkamat) sesuai dengan konteks sosio-historis masyarakat
kontemporer dengan tujuan agar ajaran al-Qur’an tetap relevan dan

10
Mohammad Khasan, Rekontruksi Fiqh Perempuan: Telaah Terhadap Pemikiran Muhammad
Shahrur, Semarang, Akfi Media, 2009, hlm. 41-42
kontekstual sepanjang masih berada dalam wilayah batas hukum Allah Swt.
Buah dari penelitian Shahrur ini, lahirlah sebuah teori aplikatif yang dikenal
dengan nadariah al-hudud atau limit theory (teori batas). Teori batas ini
terdiri dari batas bawah (al-hadd al-adna/minimal) dan batas atas (alhadd
al-a’la/maksimal).
Istilah hudud dalam teori fikih konvensional adalah istilah yang
digunakan sebagai ancaman yang telah ditentukan kadar dan bentuknya oleh
al-Qur’an maupun hadis terhadap perilaku tindakan kejahatan. Jadi dalam
istilah hudud dalam teori fiqih konvensional lebih bersifat sesuatu yang rigit
dan tidak ada ruang ijtihad, sebab ayat-ayat yang berkenaan dengan hudud
difahami sebagai ayat yang bersifat qath’iyy al-dalalah. Misalnya kejahatan
yang berupa kasus pembunuhan dapat diancam dengan hukum qishas.11
Kontribusi teori ini, dengan teori hudud ayat-ayat hukum yang selama
ini dianggap final dan pasti tanpa ada alternatif pemahaman lain ternyata
memiliki kemungkinan untuk diinterpretasikan secara baru. Dalam konteks
ini, Shahrur mampu menjelaskan secara metodologis dan mengaplikasikan
teori ini dalam penafsirannya melalui pendekatan matematis. Kedua, dengan
teori hudud, seorang mufasir mampu menjaga sakralitas teks tanpa harus
kehilangan kreatifitasnya dalam melakukan ijtihad untuk membuka
kemungkinan interpretasi sepanjang masih berada dalam batas-batas hukum
Allah Swt.12
Shahrur mendasarkan konsepnya dalam menyusun teori hudud pada
QS. al-Nisa’ [4]: 13-14:

ٍ ‫ك ُح ُد ْو ُد هّٰللا ِ ۗ َو َمنْ يُّطِ ِع هّٰللا َ َو َرس ُْو َل ٗه ي ُْدخ ِْل ُه َج ٰ ّن‬


ْ‫ت َتجْ ِريْ ِمن‬ َ ‫ت ِْل‬
‫َتحْ ِت َها ااْل َ ْن ٰه ُر ٰخلِ ِدي َْن ِف ْي َها ۗ َو ٰذل َِك ْال َف ْو ُز ْال َعظِ ْي ُم‬
Artinya : Itulah batas-batas (hukum) Allah. Barangsiapa taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga

11
Tabrani Tajudin, Neny Muthiatul Awwaliyyah. Pemikiran Hermeneutika Muhammad
Syahrur Tentang Konsep Jilbab dalam Al-Qur’an, Jurnal Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah
Vol. 1 No. 2, Desember 2019, hlm. 221
12
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Lkis, 2012, hlm. 93.
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan
itulah kemenangan yang agung.

‫ص هّٰللا َ َو َرس ُْو َل ٗه َو َي َت َع َّد ُح ُد ْو َدهٗ ي ُْدخ ِْل ُه َنارً ا َخالِ ًدا ِف ْي َه ۖا‬ ِ ْ‫َو َمنْ يَّع‬
ٌ‫َو َل ٗه َع َذابٌ م ُِّهيْن‬
Artinya :  Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar batas-batas hukum-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang
menghinakan.
Shahrur mencermati penggalan ayat “tilka hudud al-allah” yang
menegaskan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk menetapkan
batasan-batasan adalah Nabi dan Rasul, dan pada hakikatnya otoritas yang
dimiliki Muhammad tidak penuh dan ia sebagai pelopor ijtihad dalam Islam.
Hukum yang ditetapkan Nabi lebih bersifat temporal-kondisional
sesuai dengan derajat pemahaman, nalar zaman, dan peradaban masarakat
pada waktu itu. Artinya, ketetapan hukum tersebut tidak bersifat mengikat
hingga akhir zaman. Maka, di sinilah kita mempunyai ruang untuk melihat
al-Qur’an dan berijtihad dengan situasi dan kondisi yang dilatarbelakangi
ilmu pengetahuan pada masa sekarang.
Melalui dalil fisikanya, Shahrur berargumen bahwa tidak ada benda
yang gerakannya dalam bentuk garis lurus. Seluruh benda sejak dari
elektron yang paling kecil hingga galaksi yang terbesar bergerak secara
hanifiah (tidak lurus). Oleh karena itu, ketika manusia dapat mengusung
sifat seperti ini maka ia akan dapat hidup harmonis dengan alam semesta.
Demikian pula, kandungan hanifiah dalam hukum Islam yang
cenderung selalu mengikuti kebutuhan sebagian anggota masyarakat melalui
penyesuaian dengan tradisi masyarakat. Untuk mengontrol perubahan-
perubahan ini maka perlu adanya sebuah garis lurus istiqamah untuk
mempertahankan aturan-aturan hukum. Inilah konteks di mana formulasi
teori hudud kemudian lahir. Garis lurus bukanlah sifat alam, tapi lebih
merupakan karunia Tuhan agar ada bersama-sama dengan hanifiah untuk
mengatur masyarakat.
Dalam hal ini rumusan metodik Syahrur berangkat dari analisis
matematis. Yaitu dengan menggunakan teori Isaac Newton, khususnya yang
berkaitan dengan persamaan fungsi yang dirumuskan dengan y = f (x) jika
mempunyai satu variabel atau y = f (x,z) jika mempunyai dua variabel atau
lebih.
Menurut Syahrur, karena sifat ajaran Islam yang memiliki dua sisi
yang bertolak belakang, maka persamaan fungsi ini merupakan satu syarat
untuk dapat memahaminya. Sebenarnya persamaan fungsi ini memiliki
beragam bentuk yang sangat variatif, namun menurut Syahrur, secara
prinsip semuanya dapat diklasifikasikan menjadi enam bentuk sebagai
berikut:
1. Keadaan di mana hanya terdapat batas minimum saja (halat al-hadd al-
adna).
Yakni, bahwa di antara ayat-ayat kategori Umm al-Kitab terdapat
ayat yang hanya memiliki batas minimal saja, sehingga penetapan
hukumnya harus di atas batas minimal yang telah ditentukan atau tepat
berada pada batas yang ditetapkan itu. ini berarti bahwa ijtihad manusia
tidak memungkinkan untuk mengurangi ketentuan minimal tersebut
tetapi memungkinkan untuk menambahnya.
Ayat al-Qur’an yang masuk dalam kategori ini adalah QS. an-Nisa’:
22-23, tentang wanita yang haram dinikahi, QS. alMa’idah: 3, tentang
jenis makanan yang haram dikonsumsi, QS. al-Baqarah: 283-284, tentang
hutang piutang dan QS. an-Nur: 31, tentang pakaian perempuan. Surat
an-Nisa’: 2223 yang berbicara tentang wanita-wanita yang haram
dinikahi dalam konteks ini, menurut Syahrur, merupakan batas minimal
yang tidak mungkin dikurangi tetapi memungkinkan untuk ditambah.
Hasil penelitian kedokteran misalnya, menyebutkan bahwa menikah
dengan anak perempuan bibi atau paman dapat berakibat buruk bagi
keturunan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut didukung oleh data
statistik yang memadahi, maka ijtihad manusia dapat mengharamkannya
sebagai tambahan terhadap daftar wanita yang haram dinikahi yang
sudah ada.
2. Keadaan di mana hanya terdapat batas maksimum saja (halat al-hadd al-
a’la).
Yakni, bahwa di antara ayat-ayat kategori Umm al-Kitab terdapat
ayat yang hanya memiliki batas maksimal saja, sehingga penetapan
hukumnya harus di bawah batas minimal yang telah ditentukan atau tepat
berada pada batas yang ditetapkan itu artinya, ijtihad manusia tidak
mungkin melampaui batas maksimal itu namun memungkinkan untuk
memperingannya.
Ayat al-Qur’an yang termasuk dalam kategori ini adalah QS. Al-
Ma’idah: 38 tentang hukuman (uqubat) bagi kasus pencurian dan QS. al-
Baqarah: 178 tentang hukuman bagi kasus pembunuhan. Hukuman bagi
pencuri tidak mungkin diperberat lagi di atas ketentuan potong tangan,
tetapi ijtihad memungkinkan untuk meringankan hukuman itu sesuai
dengan kondisi obyektif yang dihadapi pencuri.
3. Keadaan di mana terdapat batas minimum dan maksimum sekaligus
(halat al-hadd al-adna wa al-a’la ma’an).
Yakni bahwa sebagian ayat yang berisi ketentuan-ketentuan
(hudud) Allah ada yang memiliki batas minimal dan maksimal sekaligus,
sehingga penetapan hukumnya berkisar di antara dua batas tersebut atau
berada tepat di salah satu dari kedua batasan itu. Ayat al-Qur’an yang
termasuk dalam kategori ini adalah QS. an-Nisa’: 11-13 dan 176 tentang
pembagian harta warisan dan QS. an-Nisa’: 3 tentang poligami.
4. Keadaan dimana terdapat batas maksimum dan minimum dalam satu titik
(halat al-hadd al-adna wa al-hadd al-a‘la ‘ala nuqthah wahidah ay
halat al-mustaqim aw halat at-tasyri’ al’ayniyyah).
Yakni bahwa dalam Umm al-Kitab terdapat ayat-ayat yang
memiliki batas minimal dan maksimal dalam satu titik. Artinya ketentuan
maksimalnya sekaligus menjadi batas minimalnya sehingga ijtihad
manusia tidak mungkin mengambil hukum yang lebih berat dan atau
lebih ringan.
Ayat al-Qur’an yang masuk dalam kategori ini adalah QS. an-Nur:
2 tentang hukuman bagi kasus perzinaan. Menurut Syahrur hukuman
bagi pelaku zina adalah seperti yang tercantum dalam ayat tersebut tidak
lebih dan tidak kurang karena dalam ayat tersebut terdapat kata “ra’fah”
yang berarti tidak ada keringanan. Ruang ijtihad hanya terbuka dalam hal
saksi, bukan hukumannya.
5. Keadaan dimana terdapat batas maksimum pada satu titik yang tidak
boleh disentuh (halat al-hadd al-a’la bi khathth muqarib li al-mustaqam
wa la yamassu)
Yakni bahwa terdapat batas maksimum yang telah ditentukan oleh
al-Qur’an dan tidak boleh disentuh karena menyentuhnya berarti
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Allah sehingga harus
dihukum. Dengan kata lain selama belum ada persentuhan, maka
hukuman itu belum dapat ditetapkan.
Model penetapan hukum yang kelima ini disimpulkan dari ayat
yang berbicara tentang relasi antara laki-laki dan perempuan. Hubungan
itu bermula dari hubungan yang paling sederhana berupa interaksi sosial
yang wajar tanpa ada kontak fisik secara langsung. Namun tidak mustahil
lama-kelamaan hubungan akan menjadi lebih akrab dan intim sehingga
akan mendekati perzinaan. Oleh karena itu dalam hubungan antara laki-
laki dan perempuan, Allah menetapkan batas minimum dan maksimum
pada satu titik yaitu berupa hubungan seksual antara laki-laki dan
pempuan di luar nikah. Di sinilah makna digunakannya redaksi “wa la
taqrabu az-zina” dan “wala taqrabu al-fawakhisy”.
6. Keadaan dimana terdapat batas maksimum positif yang tidak boleh
dilampaui dan batas minimum negatif yang boleh dilampaui (halat al-
hadd al-a‘la mujib muglaq la yajuz tajawuzuhu wa al-hadd al-adna salib
yajuz tajawuzuhu).
Alternatif keenam ini sebagaimana dilukiskan dalam hubungan
kebendaan antar manusia. Batas maksimal yang tidak boleh dilampaui itu
adalah riba yang adh’afan mudha’afah (pelipatgandaan yang berkali-
kali.) sedangkan batas minimum yang boleh dilampaui adalah zakat.
Sebagai kewajiban yang berkaitan dengan harta manusia, zakat ini dapat
dilampaui dengan melakukan bentukbentuk pengorbanan harta yang lain
seperti shadaqah, hibah, wasiat dan lain-lain. Adapun posisi di tengah-
tengah antara batas maksimum dan batas minimum adalah nilai nol yakni
dalam bentuk pinjaman kebajikan (al-qardh alhasan) yang berupa
memberi pinjaman tanpa memungut bunga.13
E. Kesimpulan
Shahrour memperkenalkan hermeneutik kontekstual ektrem yang
mencoba membedakan antara tanzil dan inzal di mana tanzil disebutnya
sebagai wahyu yang paling objektif yang ada hanya pada malaikat Jibril
sedangkan inzal merupakan wahyu yang berada dalam peradaban manusia
yang memiliki pemahaman yang saling berbeda antar satu bahasa dengan
bahasa Alquran. Banyak interpretasi Shahrour sendiri akan dipandang
sebagai terlalu subyektif dan sewenang-wenang, atau tidak kompatibel
dengan sistem ketat, difalsifikasi, dan diverifikasi terhadap analisis tekstual.
Shahrour membedakan antara al-Qur’an dan Al-kitab. Al-Qur’an
merupakan bagian dari Al-kitab. Al-kitab yang merupakan ayat-ayat muhkamat
perlu metode ijtihad untuk memahaminya. Sahrour juga mengidentifikasikan
Alquran ke dalam interpretasi a’la (pemaknaan tertinggi) dan interpretasi adna
(pemaknaan terendah). Titik krusial dari pemikiran ini tidak lagi pengingkaran
terhadap Alquran karena sudah dijadikan pemahaman bertingkat. Akhirnya
penafsiran salah memberikan penilaian hanya dalam lingkup interpretasi adna.
Pada masalah zhahir teks digunakan interpretasi a’la, sementara dalam
masalah hukum-hukum dharurat menggunakan interpretasi adna bahkan juga
digunakan dalam menginterpretasikan masalah perbaikan peradaban manusia.

13
Mohammad Khasan, Rekontruksi Fiqh Perempuan: Telaah Terhadap Pemikiran Muhammad
Shahrur.., hlm. 83-86
F. DAFTAR PUSTAKA
Arfa, Faisar Ananda dan Muhammad Syahrial. Hermeneutika Muhammad
Shahrūr dan Implikasinya terhadap Istinbāṭ al-Aḥkām dalam Persoalan
Wanita. Ahkam: Vol. XIII, No. 1, Januari 2013.
Hermeneutika Muhammad Shahrur Islamic Studies (msibki3.blogspot.com)
Izad, Rohmatul. Pemikiran hermeneutika Muhammad Shahrur Tentang
Konsep Keseteraan Gender. Jurnal Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM
Yogyakarta.
Khasan, Mohammad. Rekontruksi Fiqh Perempuan: Telaah Terhadap
Pemikiran Muhammad Shahrur. Semarang, Akfi Media, 2009.
Kurdi dkk, Hermenutika al-Qur‟an dan Hadis, (eLSAQ Press: Yogyakarta, Cet.
I, 2010) hlm. 386-387.
Mustaqim, Abdul. Teori Hudud Muhammad Syahrur. AL-QUDUS: Jurnal
Studi al- Qur‟an dan Hadis, Vol. 1, No. 1, 2017.
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Lkis, 2012.
Nurkhalis, Diskursus Hermeneutik Dalam Paradigma Keislaman Dan
Kemodernan. Substantia, Volume 17 Nomor 1, April 2015.
Rafiqi, Yusep. Kritik Hermeneutik dan Kontekstualisasi Ayat-Ayat Hukum.
AHKAM - Volume 17, Number 1, 2017.
Tajudin, Tabrani, Neny Muthiatul Awwaliyyah. Pemikiran Hermeneutika
Muhammad Syahrur Tentang Konsep Jilbab dalam Al-Qur’an. Jurnal
Ilmu Ushuluddin, Adab dan Dakwah Vol. 1 No. 2, Desember 2019.

Anda mungkin juga menyukai