Anda di halaman 1dari 30

PANDANGAN FIQH KONTEMPORER

(Kajian terhadap Pemikiran Fiqh Humanis M. Syahrur)

Oleh : Muhaimin

Abstrak
Kebekuan yang ada dalam fiqh terkadang masih dirasakan sampai
sekarang. Keberadaan fiqh sebagai manifestasi Islam yang
berhubungan dengan hukum seringkali dihadapkan dengan
tantangan realitas zaman. Dinamika kehidupan yang
meniscayakan adanya perubahan, menuntut fiqh itu sendiri
mampu menerobos ruang-ruang gelap yang telah mengurungnya.
Tulisan ini hendak mengkaji pemikiran Syahrur dari sudut
pandangan fiqh. Titik tolaknya adalah bagaimana implikasi
teoritis terhadap fiqh kontemporer. Metode yang digunakan
dalam studi ini adalah deskriptif analitis. Penulis mempunyai
kesimpulan bahwa corak pemikiran Syahrur dalam fiqh adalah
humanis, reformatif dan emansipatif. Secara teoritis gagasan
Syahrur yang tertuang dalam teori limit telah menyumbangkan
logika matematis dalam meretas fiqh yang rigid.

Kata Kunci : Syahrur, fiqh, teori limit, humanis, ijtihad

Pendahuluan
Wacana fiqh kontemporer terus bergulir seiring dengan
berkembangnya zaman dengan berbagai tantangannya. Semua itu
mengharuskan manusia untuk kembali menengok agama; sejauh
mana aturan dan batas-batas ditentukan olehnya. Sebab dalam
paradigma Islam, hukum tidak dilihat dari sisi legal positif saja.

|1
Namun lebih dari itu ada sisi „ubudiyah yang melekat dalam
setiap persoalan. Sehingga dalam melakukan amaliyah, manusia
akan selalu terhubung dengan Khaliq-nya.
Istilah fiqh selama ini kita kenal dengan arti sebuah tatanan
hukum yang diistinbatkan dari sumber-sumber Islam. Fiqh
merupakan manifestasi Islam dalam mengatur tatanan kehidupan
manusia. Oleh sebab itu, fiqh sering disebut sebagai hukum
Islam, di samping syari‟ah. Dalam pandangan Dahlan
sebagaimana mengutip dari Yusuf Qardhawi, bahwa hukum
Islam terbagi menjadi dua bagian, yaitu syari'ah dan fiqh. Syari'ah
adalah ketentuan-ketentuan Islam yang jelas dan rinci yang
terkait erat dengan wahyu Ilahi. Sedangkan fiqh lebih kepada
ketantuan-ketentuan Islam yang diformulasikan melalui
penguraian akal.1
Fiqh merupakan produk dari proses ijtihad para ulama'
dalam menghadirkan Islam dengan sebentuk tatanan hukum. Hal
itu tak lepas dari adanya dialektika antara teks dengan realita.
Dimana dibutuhkan akal dalam mengistinbatkan sebuah hukum
yang ada dalam teks maupun yang ditemukan dalam realita.
Hubungan fiqh dengan realita sangat erat sekali. Sebab fiqh
merupakan respon agama terhadap dinamika kehidupan manusia.
Oleh sebab itu urgensi dari fiqh itu sendiri sangat penting dalam
mengejawantahkan Islam sekaligus membentuk formulasi hukum
sebagai sistem pranata kehidupan.
Sejak era Nabi, sahabat, tabi'in dan bahkan sampai
sekarang, fiqh mempunyai peran yang signifikan dalam menata
ruang sosial dan budaya dengan menentukan batas-batas hukum.

1
Moh. Dahlan, Abdullah Ahmed An-Na‘im; Epistemology Hukum Islam,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 92.
2|
Fiqh muncul manakala terdapat persoalan keagamaan yang
membutuhkan jawaban. Dan bisa juga muncul disebabkan adanya
persinggungan antara realita kehidupan yang membutuhkan
solusi keagamaan. Seiring dengan perkembangan sains dan
teknologi, persoalan yang dihadapi manusia semakin kompeks.
Problem sosial keagamaan yang terjadi pada masa lampau jelas
berbeda dengan problem yang ada di era modern seperti saat ini.
Isu-isu global seperti HAM, demokrasi, emansipasi wanita
maupun ekologi merupakan persoalan-persoalan kontemporer
yang terjadi di abad ke-21 ini. Semua persoalan ini jelas
membutuhkan dialektika baru antara realitas dengan nilai-nilai
agama, agar ditemukan solusi baru yang dapat menjawab semua
tantangan tersebut. Oleh sebab itulah ijtihad dalam bidang fiqh,
baik dari segi materi, metodologi, maupun pendekatan,
merupakan pintu yang terbuka lebar bagi para penggelut kajian
keislaman.
Dalam pada itu, kita temukan banyak sekali ulama'
kontemporer yang mencoba untuk mereformulasi hukum Islam,
salah satunya adalah Muhammad Syahrur. Dia adalah seorang
ulama‘ muslim kelahiran Syiria yang telah menulis berbagai
karya ilmiah tentang keislaman baik dalam ranah tafsir maupun
fiqh. Salah satu megaproyek yang tertuang dalam karya besarnya
"Al-Kitab Wa Al-Qur'an; Qira'ah Mu'azhirah" dan "Dirasat
Islamiyyah Mu‘azhirah; Nahwa Usul Jadidah li Al-Fiqh Al-
Islami" adalah spirit untuk merekonstruksi tatanan fiqh yang telah
ada dengan menggunakan terobosan metode baru, yaitu teori
limit (nadhoriyyat al-hudud). Usahanya tersebut merupakan
bentuk ijtihad yang patut kita hargai. Dan dalam kerangka ilmiah,
ijtihad tersebut tidak menutup kemungkinan untuk diuji sekaligus

|3
dikritisi. Dalam tulisan ini, penulis akan berusaha menjawab
bagaimana corak pemikiran syahrur dalam fiqh. Dan bagaimana
implikasi teoritis terhadap fiqh kontemporer.

Biografi Syahrur
Syahrur mempunyai nama lengkap Muhammad Syahrur
al-Dayyub. Beliau dilahirkan di Damaskus Suriah pada tanggal
11 April 1938. Nama orang tuanya adalah Deib ibn Deib Syahrur
dan Shiddiqah bint Salih Filyun. Dan dia mempunyai seorang
istri bernama 'Azizah. Dia dikaruniai lima anak dan dua cucu.
Tiga anaknya yang telah menikah Tariq (istri Rihab), Rays (istri
Olga), Rima (suami Luis), Basil dan Masun .2
Sejarah intelektual Syahrur berawal ketika dia masuk pada
pendidikan dasar dan menengah di lembaga pendidikan
Abdurrahman al-Kawakibi yang ia selesaikan pada tahun 1957.
Dan pada tahun itu pula, dia diberi beasiswa dari pemerintah
Syiria untuk melanjutkan studinya di bidang teknik sipil di Rusia
sampai akhirnya dia mendapat Gelar diploma pada tahun 1964.
Kemudian pada tahun 1965 dia diangkat sebagai asisten dosen di
Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus. Selanjutnya,
Syahrur mendapatkan beasiswa dari Universitas Damaskus untuk
melanjutkan studi ke jenjang Magister dan Doktoral di National
University of Ireland Dublin, Irlandia dengan spesialisasi bidang
mekanika pertanahan dan pondasi. Dia berhasil mendapat gelar

2
Muhammad Syahrur, Nahwu Usul Jadidah Li Al-Fiqh Al-Islami; Fiqh al-Mar‟ah:
al-Wasiyyah, al-Iras, al-Qawamah, at-Ta‟adudiyah, al-Hijab, (Damaskus: al-Ahali,
2000), hlm 9.
4|
master of science pada tahun 1969 serta gelar philosophy doctor
pada tahun 1972.3
Background keilmuan Syahrur yang lama dalam bidang
teknik mekanika tidak menghalanginya untuk belajar lebih dalam
tentang Islam. Justru dengan kapasitasnya sebagai Doktor teknik
itulah Syahrur mencoba untuk mengintegrasikan konsep-konsep
mekanika seperti konsep limit, differensial, integral, parabola
dalam ranah keagamaan.4 Sehingga pendekatan-pendekatan
keilmuan alam tersebut ikut mewarnai kacamata Syahrur dalam
memandang Islam. Hal tersebut terbukti dengan munculnya
konsep-konsep baru yang beliau cetusan dalam memahami teks.
Selain itu, ditambah pula kematangannya dalam bidang linguistik
yang beliau pelajari dari guru sekaligus teman dekatnya Jakfar
Dakk al-Babb. Darisanalah kemudian Syahrur mengkombinasi-
kan semua disiplin keilmuan tersebut sampai menemukan
rumusan dalam mengkaji teks-teks keislaman, terutama dalam
merombak tatanan kajian fiqh.5
Karya-karya intelektualnya tentang keagamaan bisa kita
lihat seperti, al-Kitab wa al-Qur'an; Qira'ah Mu'asirah, Dirasat
Islamiyyah Mu'asirah fi ad-Daulah wa al-Mujtama', al-Iman wa
al-Islam; Manzumat al-Qiyam, dan Nahwa Usul Jadidah Li
Al-Fiqh Al-Islami; Fiqh al-Mar'ah. Beberapa karangan Syahrur
diantaranya diiringi dengan kata Mu'irah. Hal ini meng-
isyaratkan adanya semangat kontemporer yang ia usung dalam

3
Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistic Dalam Tafsir Al-
Qur‟an Kontemporer “ala” Muhammad Syahrur, (Yogyakarta: Alsaq Press, 2007) hlm
137-138. Lihat juga, Muhammad Syahrur, Al-Kitab Wa Al-Qur‟an; Qira‟ah Mu‟asirah,
Cet. 2, (Damaskus: al-Ahali, 1990), hlm 46.
4
Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistic dalam Tafsir Al-
Qur‟an Kontemporer “ala” Muhammad Syahrur, hlm 139.
5
Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur‟an; Qira‟ah Mu‟asiroh, hlm 46-48.
|5
karyanya tersebut. Spirit itulah yang ingin ia hadirkan dalam
keagamaan khususnya dalam bidang tafsir dan fiqh.

Pandangan Syahrur terhadap Fiqh


Secara alamiah, manusia mempunyai sifat dasar yang
dinamis. Hal itulah yang memicu tumbuh kembangnya
persoalan-persoalan baru dalam kehidupan ini. Terkadang
permasalahan yang dijumpai tidak selesai dengan mengacu
hukum positif saja. Manusia terkadang belum puas jika tidak
menyentuh sisi religius sebagai solusi dalam mengatasi
permasalahan. Oleh sebab itulah agama sering dikaitkan dengan
permasalaha-permasalahan sosial. Dalam koridor inilah kemudian
muncul terma fiqh sebagai manifestasi agama Islam yang
mengatur perilaku manusia lewat hukum.
Definisi fiqh sebagaimana ditulis oleh Abu Zahrah yang
dikutip oleh Abdullah Salim Zarkasyi, secara ringkas dapat
dikatakan sebagai ilmu yang menerangkan hukum syari'at
amaliyah yang dipetik dari dalil-dalil tafsili, Qur'an, Sunnah,
Ijma' dan Qiyas.6 Hukum fiqh erat kaitannya dengan praktek-
praktek amaliyah keseharian manusia, sebab manusia itulah yang
menjadi objek kajian dalam fiqh. Oleh karena itu, acuan dalam
fiqh tidak bisa hanya dikaitkan dengan sumber-sumber teks tanpa
mempertimbangkan aspek sosial budaya yang melingkupi
manusia itu sendiri. Karena dengan membatasi ruang kajian pada
teks semata, maka secara tidak langsung akan mereduksi
pemahaman dari fenomena manusia itu sendiri.

6
Abdullah Salim Zarkasi ―Fiqh di Awal Abad 21‖ dalam Epistemologi Syara‟
Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm 34.
6|
Cakupan kajian Fiqh sangat beragam dan meliputi banyak
bidang. Sebagaimana disebutkan oleh Salim, paling tidak ada
lima bagian dalam fiqh, yaitu ibadah, munakahat (akhwal
as-syakhsiyyah), mu'amalah (sosial, budaya dan ekonomi),
jinayat (hukuman-hukuman), dan siyasah (hubungan rakyat
dengan pemerintah).7 Dan seiring dengan perkembangan zaman,
bagian tersebut meluas dan berkembang. Misalnya, isu-isu
kontemporer tentang emansipasi wanita, dimana wanita
menginginkan adanya kesetaraan dalam hak dan kewajiabannya.
Seperti isu tentang poligami, nikah beda agama dan warisan.
Semua itu merupakan contoh perluasan persoalan-persoalan yang
ada dalam fiqh.
Jika kita merujuk pada hasil ijtihad para ulama' tempo dulu,
maka kita dapatkan pandangan mereka yang condong kepada
dominasi laki-laki. Seperti dalam hal poligami yang mengijinkan
laki-laki memiliki empat istri. Pernikahan beda agama yang
memperbolehkan laki-laki muslim menikah dengan wanita non
muslim, namun tidak sebaliknya. Demikian juga dalam hukum
waris dimana porsi laki-laki dua kali lipat lebih banyak daripada
perempuan. Belum lagi konstruk fiqh terbadap wanita dalam
realita sosial yang menganggap babwa perempuan mempunyai
fitrah sebagai ibu rumah tangga, sehingga berimplikasi pada
ketidak bolehan perempuan dalam meniti karir di luar rumah. Hal
ini jelas mengundang reaksi bagi kalangan feminis yang hidup di
zaman kontemporer dimana paradigma kesetaraan gender mulai
digencarkan. Namun demikian, hasil ijtihad ulama' di atas tidak
serta merta kita pandang sebagai sebuah kesalahan. Sebab hasil
konstruksi pemikiran mereka lahir dalam lingkup sosial yang

7
Ibid, hlm 37.
|7
berbeda dengan kondisi sekarang. Sehingga teks-teks gender
masih dipahami secara literal sesuai dengan situasi yang
melingkupinya.
Akan tetapi jika kita cermati fakta di atas justru
mempertegas eksistensi fiqh bahwa ia selalu berproses
menyesuaikan kondisi yang sedang ada dibadapannya. Ia bukan
sesuatu yang absolut. Sebab dengan mengabsolutkan fiqh berarti
telah meniadakan kreatifitas dalam berijtihad. Padahal
pendayagunaan akal pikiran yang tertuang dalam ijtihad
merupakan fitrah manusia dalam berdialektika dengan alam.
Persoalan yang dibadapi dalam fiqh bukan hanya problem
dalam membaca kembali teks-teks dengan kacamata
kontemporer. Namun kita juga dihadapkan dengan fenomena
praktis yang menjajah mentalitas para mujtahid. Dimana masih
banyak yang mengekor pada ulama' tempo dulu dengan
membekukan hasil ijtihad mereka tanpa mempertimbangkan
relevansi dan keselarasan dengan kondisi sosial sekarang.
Sebagaimana diungkapkan oleh Noor Ahmad bahwa "metode-
metode pemahaman nasb yang telah dirumuskan oleh para ulama'
tidak banyak digali dan dikembangkan oleh ulama' berikutnya.
Namun yang terjadi, dunia Islam dipuaskan oleh materi-materi
fiqh yang dihasilkan oleh para ulama' madzhab (para pencetus
metode ijtihad)".8
Syahrur menilai bahwa para ulama' tidak mengambil
ibrah dari apa yang dilakukan Rasul dalam berinteraksi dengan
al-Qur'an. Bahkan terkadang terjadi kerancuan dalam

8
Noor Ahmad, ―Pengaruh Filsafat Sosial Barat terhadap Fiqh di Indonesia‖ dalam
Epistemologi Syara‟ Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), hlm 8.
8|
membedakan apakah yang dilakukan oleh Rasul termasuk wahyu.
akibatnya apa yang diputuskan Nabi dianggap sebagai final.
Dalam pandangan Syahrur Nabi adalah orang pertama yang
melakukan interaksi kreatif dengan nash. Oleh sebab itu interaksi
tersebut lebih dinamakan sebagai wujud ijtihad. Dan ijtihad
tersebut bukanlah satu-satunya dan bukan pula ijtihad yang paling
akhir.9 Ijtihad kreatif tersebut sebenarnya telah diikuti oleh para
sahabat dan tabi'in hingga sampai pada beberapa waktu kemudian
datanglah zaman para ahli fiqh dimana fiqh dan metodologinya
mulai dibekukan.
Harun Nasution, sebagaimana dikutip oleh Muhammad
Azhar, telah mengklasifikasi ciri pemikiran Islam ke dalam tiga
zaman, yakni zaman klasik (abad VII-XII), zaman pertengahan
(abad XIII-XVIII), dan zarilan modern (abad XIX sampai
sekarang). Dalam pandangannya tersebut, metode berpikir ulama
klasik terikat langsung dengan al-Qur'an dan Hadis, sehingga
banyak melahirkan ijtihad kualitatif. Zaman ini disebut beliau
sebagai zaman rasional. Sebagai contoh sahabat Nabi yang
menjadi representasi adalah Umar bin Khattab. Berbeda dengan
zaman klasik, pada zaman pertengahan justru yang terjadi adalah
keterikatan ijtihad dengan hasil pemikiran para ulama zaman
klasik. Sehingga pemikiran rasional yang ada pada zaman klasik
berubah menjadi pola tradisional. Dalam menghadapi persoalan-
persoalan baru mereka tidak secara langsung menggali ke al-
Qur'an dan Hadis, tapi lebih banyak terikat dengan produk
pemikiran ulama abad klasik. Sedangkan dalam abad modern ini,

9
Ibid, hlm 549.
|9
pola pemikiran abad pertengahan terkadang masih muncul meski
volumenya tidak sebesar abad pertengahan. 10
Lebih jauh Syahrur menganalisis bahwa kekuasaan Islam
semakin melemah pada masa al-Mu'tashim hingga al-Wasiq.
Sejak saat itu, kreatifitas ijtihad dan kritisisme mulai dibekukan.
Pemikiran Islam hanya dimanfaatkan untuk membela kekuasaan
politik semata. Masyarakat hanya dipaksa untuk menerima apa
yang menjadi fatwa penguasa. Dan pada saat Islam berada dalam
genggaman Daulah Ustmaniyyah, Islam seakan-akan hanya
dipenjarakan dalam masalah-masalah fiqh yang sederhana,
seperti hal-hal yang membatalkan wudhu', yang merusak solat,
tata cara bersuci, pakaian perempuan dan laki-laki, dan
seterusnya. Lanjut Syahrur, sungguh sangat ironis daulah yang
sudah berkuasa selama empat abad jarang dijumpai ilmuwan-
ilmuan yang mahir dalam bidang eksak, seperti matematika,
astronomi, fisika. Sebaliknya, ulama' ahli di bidang fiqh dan
tasawuf merebak di setiap wilayah.11 Hal inilah yang
menyebabkan Islam secara perlahan menjauh dari peradaban dan
terkotak dalam ruang lingkup fiqh yang sederhana.
Maka dari itu, Syahrur menganggap perlu adanya
rekonstruksi metodologi. Sebab fiqh yang ada pada masa lampau
sudah tidak selaras lagi jika diterapkan pada era modern. Dan jika
qh tersebut dipaksakan maka akan terjadi kekakuan. Lebih lanjut
Syahrur mengatakan,12

10
Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Aliran
Neomodernisme Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm 18-20.
11
Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur‟an; Qira‟ah Mu‟asirah, hlm 585-589.
12
Ibid, hlm 579.
10 |
"Dari sinilah kita perlu mengawali pemahaman kita tentang
masalah serius yang dihadapi fiqh islam dan tafsir klasik
bahwa produk-produk pemikiran tersebut tidak lagi
memadai untuk diterapkan pada konteks pengetahuan dan
kondisi kehidupan abad 20 ini. Kami berpendapat bahwa
masalah ini berporos pada kekeliruan metodologis, bukan
karena kelemahan pengetahuan bahasa arab atau rendahnya
tingkat ketakwaan."

Lebih lanjut syahrur menjelaskan kekeliruan metodologis


tersebut terdapat dalam tiga aspek. Pertama, tidak diperhati-
kannya karakter tasyabuh al-Qur'an sehingga mengantarkan para
penafsir untuk menggunakan Taurat sebagai alat bantu dalam
penafsiran. Kedua, adanya anggapan bahwa syari'at Muhammad
adalah syari'at yang beku dan statis yang tidak memberikan
peluang untuk berijtihad. Hal itu disebabkan karena kekeliruan
konsep dalam memahami ayat-ayat umm al-kitab sebagai bagian
dari nash yang tidak bisa diganggu gugat. Ketiga, pemahaman
yang keliru terhadap sunnah Nabi dengan tidak menjadikannya
sebagai suri tauladan dalam metode berinteraksi dengan al-
Kitab.13
Dengan asumsi itu, Syahrur tak jarang mengkritik beberapa
landasan metodologis yang telah diformulasikan para ulama'
terdahulu, seperti qiyas. Jika yang dikehendaki adalah
menganalogikan hal-hal yang terjadi pada masa sekarang
(as-syahid) dengan peristiwa yang terjadi pada masa lampau (al-
ghaib), hal itu merupakan prinsip yang keliru dan tidak adil.
Karena akan menimbulkan kesamaran dan keraguan. Qiyas yang

13
Ibid, hlm 579-580.
| 11
valid menurutnya adalah qiyas yang mengukur sesuatu atau pihak
yang hadir saat ini dengan sesuatu yang lain yang juga hadir pada
saat ini pula serta tidak mnegabaikan lingkup batas-batas hukum
Tuhan. Menurutnya syahid yang harus dihadirkan pertama adalah
bukti- bukti material yang bersifat objektif, sedangkan syahid
kedua adalah manusia yang berkepentingan untuk dianalogikan.
Oleh sebab itu, prinsip yang dipegangnya adalah "qiyas syahid
ala syahid". Disini Syahrur mencontohkan undang-undang
larangan merokok, dimana syahid pertama adalah data-data
kedokteran dan hasil survei statistik tentang masalah rokok.
Sedangkan syahid kedua adalah masyarakat yang akan menerima
penerapan larangan undang-undang.14 Sebelum hukum itu
diputuskan seorang mujtahid harus mempertimbangkan kedua
syahid ini.
Selain itu, dia juga menyinggung konsep ijma'.
Menurutnya, ijma' adalah konsensus mayoritas manusia yang
menyetujui rancangan undang-undang yang berkaitan dengan
kepentingan mereka. Mayoritas disini diartikan meliputi seluruh
elemen kemasyarakatan yang meliputi dewan perwakilan rakyat,
lembaga hukum independen, dan masyarakat itu sendiri. Konsep
ijma' ini beliau istilahkan dengan ijma' demokratis, sebab di
dalamnya mempertimbangkan unsur-unsur suara dari berbagai
elemen dan jika dimungkinkan mekanisme ditempuh dengan cara
voting.15 Konsep yang ditawarkan Syahrur ini jelas berbeda
dengan konsep ijma' yang dilakukan oleh sebagian kelompok
yang hanya melibatkan segelintir orang dan kemudian
memproduksi fatwa-fatwa.

14
Ibid, hlm 581.
15
Ibid, hlm 582.
12 |
Syahrur memulai kajiannya tentang konsep-konsep
keislaman dengan berangkat dari teori-teori linguistik Abd Ali al-
Farisi, Ibn Jinni dan al-Imam al-Jurjani.16 Salah satu implikasi
teoritis dari teori linguistik tersebut adalah menolak adanya
sinonimitas dalam bahasa arab. Sebab sinonimitas dalam bahasa
tidak merepresentasikan aspek sejarah dalam perjalanan bahasa.
Oleh sebab itu, dalam mengkaji kosakata bahasa arab, Syahrur
menggunakan metode sinkronik diakronik, yaitu melihat bahasa
dari aspek struktur dan perkembangan bahasa.17 Tesis tentang
tidak adanya sinonimitas dalam bahasa arab kemudian
dikembangkan Syahrur dalam menganalisis term-term al-Qur'an.
Hasilnya, Syahrur juga menolak adanya sinonimitas dalam al-
Qur'an.18 Paradigma inilah yang mengantarkan Syahrur pada
pembedaan term-term yang selama ini dipegangi oleh mayoritas
umat muslim. Menurutnya antara al-Qur'an dan al-Kitab adalah
berbeda. "Al-Qur'an adalah sesuatu dan al-kitab adalah sesuatu
yang lain", keduanya tidak sama.19 Syahrur mendefinisikan al-
Kitab dengan keseluruhan ayat-ayat yang dimulai dari surah al-
fatihah sampai an-nas, karena al-Kitab merupakan gabungan
keseluruhan tema-tema (kitab).20 Sedangkan istilah al-Qur'an
sendiri dalam pemahaman beliau merujuk kepada salah satu
bagian dari al-Kitab yang menjelaskan tentang ayat-ayat akidah,
ayat-ayat yang berisi tentang ketentuan-ketentuan hukum alam
yang bersifat umum maupun khusus.21 Sedangkan umm al-kitab

16
Ja‘far Dikk al-Bab, ―al-Manhaj al-Lughowi fi al-Kitab‖ dalam pengantar buku al-
Kitab wa al-Qur‟an; Qira‟ah Mu‟asirah, hlm 20-24.
17
Ibid.
18
Ibid, hlm 25.
19
Muhammad Syahrur, al-Kitab wa al-Qur‟an; Qira‟ah Mu‟asirah, hlm 57.
20
Ibid, hlm 51-54.
21
Ibid, hlm 73.
| 13
merupakan salah satu bagian dari al-Kitab yang memuat ayat-
ayat tentang batasan-batasan hukum (hudud), ibadah ritual,
akhlaq, ajaran-ajaran yang bersifat umum dan khusus, dan ayat-
ayat tersebut bersifat tunduk pada perubahan dan perkembangan
zaman.22
Berdasar pada pandangan itulah dia kemudian mengklasi-
fikasi ajaran Islam kedalam dua aspek, yakni aspek kenabian (al-
nubuwwah) dan aspek kerasulan (al-risalah). Aspek nubuwwah
merujuk kepada ayat-ayat al-Qur'an. Sedangkan aspek risalah
kembali kepada ayat-ayat umm al-kitab. Pembagian ini ia
tegaskan agar tidak terjadi tumpang tindih dalam memahami
Islam. Selain itu, pembedaan ini juga menjelaskan posisi
kreatifitas ijtihad dalam fiqh ketika merujuk pada nash al-Kitab.
Salah satu tujuannya adalah agar para penafsir maupun mujtahid
tidak terjebak pada sakralitas al-Kitab yang terkadang
membawanya pada pemahaman literal. Dari sinilah posisi fiqh
dalam pandangan Syahrur berkaitan erat dengan ayat-ayat yang
terkandung dalam risalah Nabi (umm al-kitab).
Apa yang menjadi tujuan dari propaganda fiqh kontemporer
Syahrur adalah adanya kelenturan dalam hukum Islam. Artinya
hukum tersebut tidak terpaku pada makna literal teks maupun
ijtihad yang dihasilkan dari teks saja, namun juga memperhatikan
gerak perubahan pada kondisi realitas yang selalu dinamis.
Menurutnya, kelenturan itu merupakan sifat dan watak alam yang
inhern dalam kehidupan. Oleh sebab itu dia memperkenalkan dua
konsep yang- diintisarikan dari al-Qur'an yaitu, hanifiyyah dan
istiqamah. Dua konsep tersebut merupakan sifat dari alam

22
Ibid, hlm 445.
14 |
semesta ini. Hanifiyyah adalah representasi sifat gerak yang tidak
lurus, melengkung, dan mempunyai karakter fleksibilitas. Dalam
al- Qur'an sifat hanifiyyah dijelaskan dalam beberapa ayat,
diantaranya, QS. al-An'am ayat 79 yang berbunyi, "sesungguhnya
aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan
langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar,
dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Tuhan". Lafadz hanifan yang ada dalam ayat tersebut dipahami
Syahrur sebagai kata keterangan bagi kata kerja fatara, yang
mengandung pengertian fitrah, yakni "hukum alam". Dari sinilah
dia berargumen bahwa sifat dasar alam semesta beserta seluruh
isinya adalah sifat hanifiyyah, yaitu sifat lentur, fleksibel dan bisa
mengalami perubahan dalam dinamika dan progresifitas.23
Adapun istiqamah adalah sifat lurus atau mengikuti jalan
yang lurus: Dalam al-Qur'an disebutkan "ihdina as-shiratal
mustaqim",24 yang berarti manusia membutuhkan petunjuk Ilahi
untuk membimbingnya menemukan jalan lurus. Dari sinilah
terhubung simbol dialektis antara hanifiyyah dan istiqamah,
dimana manusia membutuhkan sifat lurus (istiqamah) untuk
mengontrol geraknya dalam batas-batas tertentu.
Kedua konsep inilah yang dijadikan landasan Syahrur
dalam melihat hukum Islam. Di dalam Islam terdapat dua unsur
yang saling terkait antara satu dengan yang lain. Pada satu sisi,
islam bersifat lurus dan pasti dalam batas-batas hukum (hudud).
Dan di sisi lain, Islam bersifat lentur dengan memberi ruang
gerak ijtihad diantara batasan-batasan hukum Allah. Sifat lentur

23
Ibid, hlm 448-449.
24
QS. Al-Fatihah: 6.
| 15
inilah yang jarang dipahami oleh kaum muslim, sehingga
menimbulkan kekakuan dalam penetapan hukum.
Oleh sebab itu, dalam mendefinisikan proses penetapan
hukum (tasyri' al-islami), Syahrur mendefinisikannya sebagai
"usaha penetapan hukum yang berperadaban dan humanis dalam
lingkup batas-batas hukum Allah".25 Dari definisi di atas dapat
kita lihat bahwa paradigma syahrur dalam memahami legislasi
Islam terpaut dalam dua aspek yaitu berperadaban dan humanis.
Berperadaban disini bisa diartikan hukum islam selaras dengan
perkembangan zaman, artinya mempertimbangkan aspek-aspek
science dalam pembentukan hukum. Sehingga pandangan tidak
hanya tertuju pada aspek teologis semata. Namun juga
memperhatikan ilmu-ilmu eksak atau science. Sedangkan
humanis merupakan prinsip keselarasan anatar hukum islam
dengan objek dari hukum itu, yaitu manusia. Agar hukum
kembali kepada kodratnya, yakni mengatur kehidupan manusia
bukan justru menyiksa dengan beban-beban teologis. Maka,
dalam menentukan syarat-syarat penetapan hukum, Syahrur
memasukkan beberapa kriteria yang berbeda, yakni menguasai
hukum-hukum ekonomi dan sosial, mempertimbangkan produk
pemikiran para ilmuwan dengan segenap cabang-cabangnya,
tidak boleh mengabaikan dasar kehidupan manusia yang
mempunyai prinsip kebebasan dan kebolehan, dantidak boleh
mengabaikan bahwa Islam adalah agama yanglentur yang
berprinsip pada keadilan.26
Dari sini dapat kita pahami bahwa di dalam hukum Islam
terdapat ruang-ruang sakral dan profan. Sakralitas itu terletak

25
Syahrur, al-Kitab al-Qur‟an; Qira‟ah Mu‟asirah, hlm 580.
26
Ibid, hlm 583.
16 |
pada ayat-ayat al-Qur'an yang tidak menerima perubahan
sedikitpun. Sedangkan ruang profan tersebut terletak pada
kandungan ayat- ayatyang memberi isyarat adanya ruang gerak
ijtihad.

Reformasi Metodologi
Implikasi dari adanya sifat kelenturan dalam Islam itulah
kemudian membuat Syahrur berpikir ulang tentang teori batas.
Syahrur menganggap bahwa ayat "tilka hududullah" merupakan
alah satu ayat inspiratif yang bisa dijadikan landasan metodologi
dalam melihat hukum Islam. Menurutnya, ayat tersebut
menjelaskan bahwa apa-apa yang ada dalam umm al-kitab adalah
ayat-ayat yang berisikan tentang batas-batas hukum. Bukan legal
spesifik itu sendiri yang secara materiil terbatas. Lebih jauh dia
berkata "prinsip penetapan hukum islam yang benar adalah
ijtihad dalam wilayah batasan-batasan hukum, baik yang
maksimal, minimal, maupun kombinasi keduanya. Ijtihad
dilakukan hingga menyentuh batas akhir dari teks ayat yang
memuat hudud, bukan dengan menjadikan batas tersebut sebagai
satu-satunya bentuk hukum”.27 Oleh sebab itu dalam memandang
fiqh, Syahrur menggunakan metode baru yang beliau gagas dari
hasil telaahnya yaitu teori limit (nadhoriyyatu al-hudud). Teori
ini mengandaikan adanya unsur-unsur matematis dalam ranah
hukum Islam. Hal itu wajar karena Syahrur secara keilmuan
mempunyai background yang cukup kental dalam bidang teknik.
Dalam teori tersebut dia menyebutkan ada enam prinsip
yang telah beliau aplikasikan dalam ayat-ayat umm al-kitab.
Keenam prinsip tersebut adalah28 pertama, posisi batas minimal

27
Ibid, hlm 473.
28
Ibid, hlm 452-466.
| 17
yaitu posisi dimana ruang ijtihad berada pada perluasan batas
minimal. Misalnya, larangan untuk mengawini para perempuan
yang disebut dalam QS. al-Nisa': 23,
"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu,
anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan,
saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-
anak perempuan dari sauda ra-saudaramu yang perempuan,
ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan
sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya, (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang."

Sesuai dengan prinsip ini, ijtihad hanya berlaku pada usaha


memperluas pihak yang diharamkan. Semisal jika dalam ilmu
kedokteran terdapat penemuan bahwa mengawini kerabat dekat
dapat menimbulkan efek negatif baik dari sisi keturunan maupun
psikologis, maka perluasan dalam batas minimal dapat
diterapkan. Asalkan ijtihad tersebut berdasar pada data yang valid
seperti, riset yang berdasar pada data kualitatif maupun kualitatif
dari laboratorium ataupun lapangan yang hasilnya bisa
dipertanggungjawabkan.
18 |
Kedua, posisi batas maksimal, yaitu posisi dimana ruang
ijtihad berada pada dibawah batas maksimal. Misalnya, hukum
potong tangan yang tertera dalam QS. al-Ma'idah: 38,
"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

Dalam prinsip batas maksimal ini, ijtihad tidak boleh


melampaui batas maksimal yang telah ditentukan. Dalam masalah
pencurian ini, hukum maksimal adalah potong tangan. Sedangkan
ruang ijtihad berada pada penyempitan hukum-hukum yang tidak
melebihi potong tangan. Para mujtahid bisa menentukan
hukuman yang sesuai dengan kadar pencurian tersebut. Dalam
hal ini, sahabat Umar adalah contoh yang representatif. Ketika
umar mendapati seorang pencuri, dia tidak memberi hukuman.
Sebab pada saat itu kondisi paceklik sedang melanda negeri. Dari
contoh di atas dapat dipertegas kembali bahwa ijtihad yang
diperbolehkan adalah penentuan hukum dibawah batas maksimal
yaitu potong tangan. Danjika melebihi potong tangan maka
hukum tersebut sudah keluar daribatas-batas ketentuan Allah.
Ketiga, posisi batas maksimal dan minimal bersamaan.
Misalnya adalah pembagian harta warisan, seperti yang
dijelaskan dalam QS. an-Nisa': 11-14,
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki
sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak

| 19
perempuan itu seorang raja saja, maka ia memperoleh
separo harta …‖

Dalam ayat tersebut dijelaskan secara eksplisit bahwa porsi


laki-laki dua kali lebih banyak dibandingkan porsi perempuan.
Memang jika kita lihat secara tekstual, ayat tersebut menghendaki
adanya pembagian yang lebih dominan pada pihak laki-laki.
Namun dalam pandangan Syahrur, ayat tersebut justru
menunjukan adanya dialektika hudud, yaitu batasan maksimum
untuk anak laki-laki dan batasan minimum untuk anak
perempuan. Dalam masalah ini, bagian wanita tidak boleh kurang
dari 33,3 persen, demikian pula bagian laki-laki tidak boleh lebih
dari 66,6 persen. Namun jika terjadi kondisi yang memungkinkan
pembagian warisan dengan rasio 40 persen untuk perempuan dan
60 persen untuklaki-laki atau bahkan 50:50, hal tersebut tidaklah
menyimpang. Sebab ijtihad tersebut masih berada dalam koridor
diantara batas maksimal dan minimal. Namun yang pasti ijtihad
tersebut harus disesuaikan dengan kondisi objektif dan tidak
mengandung unsur-unsur manipulatif. Seperti ditegaskan oleh
Syahrur bahwa "ijtihad dalam islam didasarkan atas bukti-bukti
material yang terperinci dengan selalu mempertimbangkan
kemaslahatan manusia dan menerapkan prinsip kemudahan bagi
masyarakat, bukan atas dasar emosi atau pendapat seseorang."29
Keempat, posisi batas minimal dan maksimal bersamaan
pada satu titik atau posisi lurus atau posisi penetapan hukum
partikular. Posisi batas ini hanya berlaku dalam kasus zina, yaitu
batas hukum maksimal yang sekaligus berposisi sebagai batas

29
Ibid, hlm. 459.
20 |
minimal berupa seratus kali cambukan. Sebagaimana dalam
firman Allah QS. al- Nur: 2,
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera,
dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah
kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang
yang beriman".

Dalam kasus ini, posisi batas maksimal dan minimal


berjalan bersamaan dalam satu titik, yaitu hukuman cambuk 100
kali bagi para pelaku zina. Hukuman tersebut tidak bisa dikurangi
dan tidak pula melebihi. Alasannya karena disana terdapat
larangan untuk berbelaskasihan kepada pelaku zina (wa la
ta‟khudzkum bihimaa ra‟fatun fi dinillah).
Kelima, posisi batas maksimal dengan satu titik mendekati
garis lurus tanpa persentuhan. Syahrur menjelaskan posisi ini
dengan memberikan contoh hubungan fisik antara laki-laki dan
perempuan. Ketika seseorang masih melakukan hal-hal yang
menjurus atau mendekati titik maksimal, maka dia belum terkena
hukuman sampai dia berada pada titik maksimal yaitu melakukan
zina.
Keenam, posisi batas maksimum ―positif‖ tidak boleh
dilewati dan batas minimum ―negatif‖ boleh dilewati. Batas ini
berlaku pada hubungan peralihan kekayaan antar manusia. dua
batas ini terdiri dari batas maksimal yang tidak boleh dilewati
yaitu riba, dan batas minimal yang boleh dilampaui yaitu zakat.
Bentuk yang melebihi zakat adalah sadaqah. Dari sini Syahrur
mengklasifikasi hubungan menjadi tiga bentuk transaksional.
| 21
Pertama, riba dikenakan bagi mereka yang secara materi mampu
untuk membayar bunga hutang. Kedua, mereka yang berada pada
posisi tengah, yaitu yang mampu mengembalikan pinjaman tetapi
tanpa bunga sama sekali. Bentuk pinjaman ini berbentuk netral
atau disebut sebagai qard hasan, pinjaman tanpa bunga. Ketiga,
mereka yang ekonominya lemah. Dalam hal ini batas minimal
berlaku bagi mereka, yaitu dengan membebaskannya dari
pinjaman.
Dari pemaparan metode di atas, dapat kita tangkap bahwa
semangat yang tertanam dalam teori limit adalah semangat tajdid
atau (semangat pembaharuan). Dengan menggunakan metode
limit ini hukum Islam atau fiqh yang semula terkesan kaku dan
tidak bisa diotak-atik, kini menjadi lentur dan mampu
menyesuaikan realitas objektif namun tetap dalam batas-batas
tertentu. Terobosan dalam metode ini tergolong unik, sebab
metodologi tersebut lahir dar perpaduan ilmu teknik dan ilmu
agama. Enam teori limit yang disarikan dari al-Qur'an di atas,
takjauh berbeda dengan teori-teor yang ada dalam matematika.
Disinilah letak integralitas ilmu. Anggapan adanya dikotomi ilmu
tidak bisa dibenarkan. Bahkar justru dikotomi tersebut akan
menyebabkan kejumudan dalam berpikir karena akan memasung
pikiran kedalam ruang-ruang tertentu.
Jika dibandingkan dengan pemikir lain semisal Fazlur
Rahman, Syahrur menempati posisi yang sama dalam menelorkar
metode pembacaan kontemporer. Dalam gagasannya, Rahman
mengembangkan metode telaah historis dengan memper-
timbangkan aspek-aspek lokalitas zaman. Telaah historis tersebut
tidak hanya mengacu pada level teks semata seperti asbab al
wurud ataupun asbab al nuzul, namun lebih luas mencakup:
22 |
kesadaran historis terhadap kondisi sosial, budaya dan sistern
teologis masyarakat yang ada di sekelilingnya. Hal itu merupakar
usaha untuk menggapai sebuah weltenschaung secara utuh. Teks
dan historisitasnya ditelaah sedemikian rupa sampai muncul
dalam benak pembaca apa yang disebut sebagai legal formal
(hukum) dan ideal moral (tujuan). Oleh sebab itu, dalam
hermeneutika Rahman ada tiga aspek yang harus disadari oleh
pembaca, yakni teksi historisitas teks, dan lokalitas pembaca.
Ketiga unsur inilah yang membentuk metodenya yang dia
namakan sebagai double movement (gerak ganda), yakni gerakan
dari lokalitas pembaca menuju teks dan historisitas teks untuk
menemukan ideal moral yang menjadi tujuan utama
diberlakukannya hukum legal formal. Kemudian nilai tersebut
dibawa kembali ke masa sekarang untuk digunakan sebagai acuan
dalam penentuan hukum.30 Inilah yang membedakannya dengan
Syahrur yang lebih menggunakan aspek matematis dalam
memahami fiqh.
Nilai plus dalam teori limat Syahrur adalah mampu
menerobos kebekuan ijtihad yang selama ini terpaku dalam
ketentuan legal formal yang telah diputuskan ulama' dahulu.
Dalam pada itu, Syahrurjuga tidak tejebak pada aspek legal
formal, namun dia memberi ruang ijtihad dalam batas-batas teori
limit. Ruang ijtihad itulah yang harus diperhatikan para ulama'
dalam menetapkan sebuah hukum dengan memperhatikan kondisi
objektif dan bukti-bukti material yang valid. Maka dari itu,
syahrur dalam teori limitnya hanya menentukan sebuah prinsip
dan metodologi baru dalam membentuk kebijakan Islam yang

30
Lihat Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, terj: Taufiq
Adnan Amal, Cet. 5, (Bandung : Penerbit Mizan, 1993), hlm 18-20.
| 23
humanis. Paradigma humanis inilah yang melatarbelakangi
kacamata syahrur dalam membaca fiqh kontemporer. Dalam
kasus lain misalnya, Syahrur memandang adanya equality dalam
hak-hak bekerja, baik itu laki-laki maupun perempuan. Adanya
anggapan bahwa fitrah perempuan adalah di rumah dengan
mengurus anak rumah tangga merupakan anggapan yang
terbentuk oleh sejarah. Pada masa Nabi, perempuan memang
masih dipandang inferior laki-laki. Sebab dalam kehidupan
kesukuan, kekuatan laki-lakilah yang lebih menentukan
kehormatan kabilah. Dalam al-Qur'an QS. an-Nahl: 58-59,
disebutkan ketika bayi yang terlahir adalah perempuan maka
wajah mereka merah padam. Berbeda yang terlahir adalah bayi
laki-laki, mereka akan merasa gembira sebab dalam konstruk
pemikiran mereka bayi laki-laki suatu saat akan menjadi penerus
dalam mempertahankan kabilah dari serangan-serangan musuh.
Oleh sebab itulah wanita dipandang sebelah mata pada saat itu.
Dan akhirnya kehidupan perempuan hanya terbatas pada ruang
lingkup sederhana yakni rumah tangga.
Namun jika kita lihat secara seksama, dalam beberapa hal
perempuan ikut serta dalam peperangan, seperti bertugas sebagai
tim medis dan produsen makanan.31 Selain itu, perempuan juga
terkadang ikut mencari nafkah dengan menyusui anak orang lain.
Dan tidak bisa kita pungkiri pula bahwa istri Nabi Khadijah
adalah pelaku bisnis yang unggul. Semua fakta ini menunjukan
bahwa peran dalam rumahtangga merupakan satu dari sekian
peranan yang dimainkan oleh wanita, bukan satu-satunya
peranan.

31
Syahrur, al-Kitab wa al-Qur‟an; Qira‟ah Mu‟asirah, hlm 623.
24 |
Kehidupan wanita yang berperan diluar rumah, seperti
wanita karir terkadang masih dipersoalkan oleh sebagian
kalangan. Dalam pandangan Syahrur, ada dua penghalang bagi
wanita yang bekerja.32 Pertama, dunia kerja meniscayakan
bercampurnya laki-laki dan perempuan. Hal inilah yang sering
dipandang sebagian orang sebagai aib. Kedua, terdapat sejumlah
pekerjaan yang kasar seperti kuli bangunan. Menanggapi hal ini
Syahrur mengatakan bahwa Islam tidak melarang adanya
interaksi antara laki-laki dan wanita. Yang dilarang oleh Islam
adalah berkumpulnya laki-laki dan wanita dalam ruangan tertutup
tanpa disertai oleh muhrim (khulwah). Dan dalam hal pekerjaan,
sejumlah pekerjaan berat sesungguhnya bukanlah penghalang
bagi wanita untuk berkarir. Wanita mempunyai kebebasan dalam
menentukan pekerjaan yang sesuai dengan sifat feminitasnya.33
Pandangan serupa juga diungkapkan Syahrur tentang
keikutsertaan wanita dalam kontelasi politik. Menurutnya
perempuan juga mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam
menentukan kebijakan. Seperti digambarkan dalam al-Qur'an
tentang kisah Ratu Saba', bahwa yang ditentang dalam kisah
tersebut adalah keimanannya yang menyembah matahari, bukan
dalam kepemimpinan. Bahkan Balqis digambarkan dalam al-
Qur'an sebagai seorang ratu yang demokratis (QS. an-Naml:
32).34
Dalam konteks lain, Syahrur melihat fenomena shalat
jum'at yang dalam konstruksi fiqh hanya diwajibkan untuk
kalangan laki-laki. Menurutnya, tidak ada khitab al-Qur'an yang

32
Ibid.
33
Ibid, hlm 624.
34
Ibid, hlm 625.
| 25
membatasi perempuan untuk bersama-sama melakukan salat
jum'at. Hal itu berdasarkan pada Firman Allah QS. al-Jum'ah: 9,
"Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada
mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli [1475]. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui".

Disana tidak ada khitab secara spesifik yang menunjukan


bahwa solat jum'ah hanya diperintahkan untuk laki-laki. Syahrur
berpendapat bahwa kalimat wazaru al-bai' merupakan redaksi
yang ditujukan untuk semua kalangan baik laki-laki maupun
perempuan.35
Jika kita lihat cermati kembali, pergerakan Syahrur dalam
aplikasi teori limit tidak seutuhnya dia aplikasikan dalam
menganalisis problem-problem sosial keagamaan. Hal itu terlihat
alam beberapa contoh aplikasinya seperti dalam kasus peran
wanita karir. Disana Syahrur lebih cenderung hanya
menggunakan pek kebahasaan dalam menyelesaikan persoalan
hukum dan sama sekali tidak memperlihatkan adanya gerakan
limit. Demikin juga dalam kasus salat jum'ah, dia hanya mengurai
masalah dari segi kebahasaan. Oleh sebab itulah teori limit masih
disanksikan dalam plikasinya. Apakah teori tersebut applicable
untuk semua ranah hukum-hukum fiqh. Memang dalam beberapa
kasus, teori tersebut ampu menjawab dengan baik. Akan tetapi
jika kita terpaku hanya pada paradigma matematis yang terdapat
dalam teori tersebut, justru akan menyebabkan kekakuan
metodologis. Sebab hukum tidak hanya mempunyai satu dimensi.

35
Ibid, hlm 623.
26 |
Di dalamnya terdapat multi dimensi dan nilai-nilai yang tidak
bisa dilihat dari aspek limitasi saja.
Selain itu, dalam teori limit juga terdapat kerancuan dalam
penentuan ayat-ayat hudud. Dalam uraiannya Syahrur tidak
menjelaskan kriteria-kriteria yang dijadikan acuan sebagai
penentu ayat hudud. Sehingga penentuan hudud dalam teks masih
kabur. Sebagai contoh misalnya hukum minum khamr. Dalam
bukunya Syahrur mengatakan bahwa meminum khamr (minuman
yang memabukkan) adalah haram. Dan keharaman tersebut tidak
mempunyai hukum batas. Karena ayat tentang khamr tersebut
bukanlah ayat hudud.36 Di titik inilah terdapat kerancuan dalam
memetakan konsep limitasi dalam nash. Padahal jika ditarik
kedalam alur hudud, persoalan khamr bisa masuk dalam logika
matematis. Artinya perlu ada batasan-batasan pasti dalam khamr.
Sebab bentuk-bentuk khamr seiring dengan perubahan zaman
juga mengalami perubahan baik bentuk isi maupun fungsi dan
madharatnya. Dengan adanya limitasi antara maksimal atau
minimal justru dimungkinkan adanya penyelesaian dalam
persoalan ini. Namun kembali lagi, Syahrur tidak mengatakan
bahwa ayat khamr adalah ayat hudud.
Disinilah letak kekaburan dalam penentuan ayat hudud
yang berada dalam ranah teks. Hal ini berbeda dengan penentuan
hudud yang berada dalam realitas sosial. Penentuan ini jauh lebih
mudah dalam pemetaannya. Sebab hudud dibentuk oleh
kesepakatan masyarakat atau konsensus atau pihak-pihak terkait.
Dalam penentuannya kapanpun bisa dilakukan dan kesepakatan
tersebut sewaktu-waktu bisa berubah sesuai dengan kesepakatan
bersama. Sebagai contoh misalnya batasan umur PNS dalam

36
Ibid, hlm 476-477.
| 27
bekerja. Batasan tersebut terbentuk atas dasar kesepakatan dan
sewaktu-waktu bisa berubah pula sesuai dengan keputusan
bersama.

Penutup
Melihat sepak terjang syahrur dalam dinamika fiqh
kontemporer, dapat kita simpulkan bahwa corak pemikiran
Syahrur dalam fiqh adalah humanis reforinatif dan emansipatif.
Peletakan manusia sebagai subjek sekaligus objek dalam
penentuan hukum merupakan aspek dari humanisasi hukum
Islam. Demikian juga alam aplikasi teori limitnya yang
berlandaskan spirit reformasi, khususnya aplikasi dalam isu-isu
emansipasi wanita yang mampu memunculkan paradigma
kelenturan dalam Fiqh.
Secara teoritis gagasan Syahrur dalam fiqh yang tertuang
dalam konsep-konsepnya seperti teori limit telah menyum-
bangkan logika matematis dalam meretas fiqh yang rigid. Sebab
dengan adanya kelenturan yang berada dalam batas-batas tertentu
memberi ruang bagi para mujtahid untuk berijtihad sesuai dengan
apasitasnya. Namun demikian paradigma matematis yang
dicetuskan, tidak sepenuhnya dia aplikasikan dalam setiap
penentuan hukum. Terkadang dia hanya menggunakan metode
interpretatif dengan pendekatan linguistik dalam menyelesaikan
asalah fiqhiyyah, tanpa ada persinggungan sama sekali dengan
teori limit. Hal ini menunjukan bahwa teori tersebut memang
tidak sepenuhnya applicable dalam ranah penentuan hukum.
Lagipula seorang mujtahid terpaku dalam logika matematis justru
akan membuat hukum terpasung dalam penentuan batas-batas,

28 |
sehingga mengabaikan aspek-aspek lain yang ada dalam hukum
itu sendiri.

Daftar Pustaka

Al-Alwani, Taha Jabir, Metodologi Hukum Islam Kontemporer,


terj: Yusdani, Yogyakarta: UII Press, 2001.
An-Na‘im, Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syari‟ah; Wacana
Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan
Internasional dalam Islam, cet. 1, Yogyakarta: LKiS, 1994.
Azhar, Muhammad, Fiqh Kontemporer Dalam Pandangan Aliran
Neomodernisme Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Choir, Tholhatul dan Ahwan Fanani (ed.), Islam Dalam Berbagai
Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009.
Dahlan, Moh, Dr., M, Ag, Abdullah Ahmed an-Na‟im:
Epistemologi Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009.
Djalil, Abdul, dkk., Fiqh Rakyat Pertautan Fiqh Dengan
Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS, 2000.
Himawan, Anang Haris (peny), Epistemologi Syara‟ Mencari
Format Baru Fiqh Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000.
Mubarok, Ahmad Zaki, Pendekatan Strukturalisme Linguistic
Dalam Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer”ala” Muhammad
Syahrur, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998.
Rahman, Fazlur, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam,
terj: Taufiq Adnan Amal, cet. 5, Bandung: Penerbit Mizan,
1993.
| 29
Shiddiqi, Nourouzzaman, Fiqh Indonesia Penggagas dan
Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Sirry, A. Mun‘im, Sejarah Fiqih Islam; Sebuah Pengantar,
Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Sjadzali, Munawir, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Penerbit
Paramadina, 1997.
Syahrur, Muhammad, Dr., al-Kitab wa al-Qur‟an; Qira‟ah
Mu‟asirah, cet. 2, Damaskus: al-Ahali, 1990.
-------------, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron
Syamsuddin dan Burhanuddin, Yogyakarta : eLSAQ press,
2008.
-------------, Nahwa Usul Jadidah Li al-Fiqh al-Islami Fiqh al-
Mar‟ah: al-Wasiyah, al-Iras, al-Qawamah, at-
Ta‟adudiyah, al-Hijab, Damaskus: al-Ahali, 2000.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 1, Jakarta: PT LOGOS
Waacana Ilmu, 1997.
-------------, Meretas Kebekuan Ijtihad, Isu-Isu Penting Hukum
Islam Kontemporer di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press,
2002.

30 |

Anda mungkin juga menyukai