A.
Latar Belakang
Hadis Rasulullah saw. Selain sebagai sumber ajaran Islam yang kedua
setelah alquran, juga berfungsi sebagai penjelas bagi alquran, menjelaskan
yang global, mengkhususkan yang umum, dan menafsirkan ayat-ayat
alquran1[1]. Hadis memiliki dua peranan penting : (1) secara struktural
sebagai sumber ajaran islam kedua setelah alquran, (2) sebagai bayan
(penjelas) terhadap alquran. Karenanya, hadis memiliki kewenangan dalam
menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub dalam alquran. Sungguhpun
demikian, dibandingkan alquran, hadis harus melalui prosedur yang ketat
untuk sampai derajat hadis yang sahih.2[2]
Penelitian hadis, terutama hadis ahad3[3] (baik yang masyhur4[4]
maupun yang aziz5[5] perlu dilakukan, bukan berarti meragukan hadis Nabi
Muhammad saw., tetapi melihat keterbatasan perawi hadis sebagai manusia,
yang adakalanya melakukan kesalahan, baik karena lupa maupun karena
didorong oleh kepentingan
tertentu.
Keberadaan perawi
hadis
sangat
menentukan kualitas hadis, baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadis.
Adapun objek terpenting dalam rangka penelitian hadis ada dua, yaitu:
(1) materi hadis itu sendiri (matn al-hadits) dan (2) rangkaian terhadap
sejumlah periwayat yang menyampaikan riwayat hadis (sanad al-hadits).6[6]
3[3] Hadis Dlaif ialah Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat Hadit
shahih atau hadits hasan. Ibid., h. 140
4[4] Hadis Masyhur ialah Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum
mencapai derajat mutawatir. Ibid., h. 67
5[5] Hadits Aziz ialah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi
tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian setelah itu, orang-orang meriwayatkannya.
Ibid., h. 74. bandingkan dengan pendapat Ibnu Hibban Al-Busty bahwa hadits Aziz yang hanya
diriwayatkan oleh dan kepada dua orang, sejak dari lapisan pertama sampai pada lapisan
terakhir, tidak sekali-kali terjadi. Kemungkinan terjadi memang ada, hanya saja sulit untuk
dibuktikan, atau memang kita belum menemukannya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat merumuskan
masalah yang akan diangkat yaitu :
BAB II
PEMBAHASAN
A.
6[6]Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, Edisi I, (Cet. I; PT. Raja
Grafindo Persada: Jakarta, 2004), h. 4
7[7] KH. Adib Bisri dan KH. Munawwir AF, Al-Bisri Kamus Indonesia Arab, (Cet. I; Pustaka
Progressif: Surabaya, 1999), h. 162
8[8] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Cet. IV; Balai Pustaka: Jakarta,
1976), h. 965
orang-orang
(yang
meriwayatkan
hadis),
yang
bukunya Ikhtisar Musthalahul Hadis mengatakan bahwa sanad ialah jalan yang
dapat menghubungkan matnul-Hadist kepada junjungan kita Nabi Muhammad
s.a.w. misalnya seperti kata Bukhary:
..... : : :
()
Maka matnul-Hadist Tsalatsun diterima oleh al-Bukhary melalui sanad
pertama Muhammad ibn al-Mutsanna, sanad kedua Abdul-Wahhab-AtsTsaqafy, sanad ketiga Ayyub, sanad keempat Abi Qilab dan seterusnya sampai
sanad terakhir, Anas r.a., seorang shahabat yang langsung menerima sendiri
dari Nabi Muhammad s.a.w.
12
perbedaan-perbedaan
pandangan
itu,
lebih
disebabkan
oleh
11[11] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002),
h. 45-46
sanad hadis dipicu oleh ditemukannya hadis palsu yang diciptakan oleh orangorang zindiq dan orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu.
Pemalsuan hadis pertama kali ditemukan pada masa Ali ibn Abi
15
Thalib. [15] Hadis-hadis palsu yang muncul pada masa itu diantaranya
didorong karena faktor-faktor membela kepentingan politik, membela aliran
madzhab, membela madzhab fiqh, dan merusak islam. 16[16] Diantara hadis
16
palsu tersebut adalah hadis yang dibuat oleh orang Syiah untuk memuliakan
Ali ibn Abi Thalib, dan hadis palsu yang dibuat oleh orang-orang Muawiyah.
Pembukuan hadis secara resmi dan massal dilakukan pada masa
pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz (memerintah 99-101 H). 17[17]
Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab al-Zuhri al-Madani (50-124 H)
adalah orang yang diberikan kepercayaan untuk membukukan hadis, beliau
dianggap telah berjasa menyebarkan hadis kepada masyarakat Islam hingga
menembus berbagai zaman. Hal ini diakui oleh Imam Malik ibn Anas bahwa alZuhri adalah orang yang pertama kali membukukan hadis, bahkan beliau
banyak menampung hadis-hadis yang telah dikumpulkan oleh al-Zuhri. 18[18]
C.
diketahui
dalam
hubungannya
dengan
kehujjahan
hadis
yang
mengakibatkan
ajaran
Islam
tidak
sesuai
dengan
apa
yang
seharusnya.19[19]
Sanad hadis dinyatakan mempunyai kedudukan yang sangat penting,
sebab utamanya dapat dilihat dari dua sisi, yakni:
1. Dilihat dari sisi kedudukan hadis dalam kesumberan ajaran Islam;
2. Dan dilihat dari sisi sejarah hadis.20[20]
19[19] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Cet. I; Bulan Bintang:
Jakarta, 1992), h. 28-29
20[20] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, (Cet.II; Bulan Bintang: Jakarta, 1995), h. 85
Dilihat dari sisi yang disebutkan pertama, sanad hadis sangat penting
karena hadis merupakan salah satu sumber ajaran islam. Sedang dilihat dari
sisi yang disebutkan kedua, sanad hadis sangat penting karena dalam sejarah:
(a) pada zaman Nabi tidak seluruh hadis tertulis; (b) sesudah zaman nabi
telah berkembang pemalsuan-pemalsuan hadis; dan (c) penghimpunan
(tadwin) hadis secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya
pemalsuan-pemalsuan hadis.21[21]
Dengan demikian maka dapat dinyatakan, ada empat faktor penting
yang mendorong ulama hadis mengadakan penelitian sanad hadis, yaitu:
1. Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam
2. Hadis tidak seluruhnya tertulis pada zaman Nabi
3. Munculnya pemalsuan hadis
4. Proses penghimpunan (tadwin) hadis.
Pada uraian latar belakang telah dikemukakan bahwa hadis yang
diteliti adalah hadis yang berstatus ahad. Untuk hadis yang berstatus
Mutawatir22[22] ulama menganggap tidak perlu untuk melakukan penelitian
lebih lanjut sebab hadis mutawatir telah menimbulkan keyakinan yang pasti
bahwa hadis yang bersangkutan berasal dari Nabi.
Pernyataan tersebut tidaklah berarti bahwa terhadap hadis Mutawatir
tidak dapat dilakukan penelitian lagi. Hanya saja, yang menjadi tujuan
penelitian bukanlah untuk mengetahui bagaimana kualitas sanad dan matn
hadis
yang
bersangkutan,
melainkan
untuk
mengatahui
atau
untuk
23
21[21] Ibid., h. 85
22[22] Hadis Mutawatir adalah suatu hadis tanggapan dari pancaindera, yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rawy, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat berdusta. Lihat ! Fathur-Rahman, op. cit., h. 59.
penelitian hadis masih diperlukan juga pada saat sekarang ini? Menarik untuk
menyimak paparan Dr. M. Syuhudi Ismail24[24] sebagai berikut:
1.
Hasil penelitian ulama pada dasarnya tidak terlepas dari hasil ijtihad. Suatu
hasil ijtihad tidak terlepas dari dua kemungkinan, yakni benar atau salah. Jadi,
hadis tertentu yang dinyatrakan berkualitas sahih oleh seorang ulama hadis
masih terbuka kemungkinan diketemukan kesalahannya setelah dilakukan
penelitian kembali secara lebih cermat.
2.
Pada kenyataannya, tidak sedikit hadis yang dinilai shahih oleh ulama tertentu,
tetapi dinilai tidak sahih oleh ulama tertentu lainnya.
3.
4.
Ulama hadis adalah manusia biasa, yang tidak lepas dari berbuat salah.
Karenanya tidak mustahil bila hasil penelitian yang telah mereka kemukakan
masih dapat diketemukan letak kesalahannya setelah diteliti kembali.
5.
D.
tidak boleh diterima suatu riwayat hadis, terkecuali yang berasal dari
orang-orang yang tsiqah.26[26]
Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang tidak dikenal memiliki
perngetahuan hadis.
Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang suka berdusta,
mengikuti hawa nafsunya dan tidak mengerti hadis yang diriwayatkannya.
Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak kesaksiannya.
Berbagai pernyataan itu belum melingkupi seluruh syarat keshahihan
suatu hadis.
Imam al-Syafiilah yang pertama mengemukakan penjelasan yang
lebih konkret dan terurai tentang riwayat hadis yang dapat dijadikan hujjah.
Hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah kecuali memenuhi dua syarat,
pertama hadis tersebut diriwayatkan oleh orang tsiqah (adil dan dhabith),
kedua rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi
Kriteria yang dikemukakan oleh Muhammad Saw. atau dapat juga tidak
sampai kepada Nabi.27[27] al-Syafiiy tersebut sangat menekankan pada
sanad dan cara periwayatan hadis. Kriteria sanad hadis yang dapat dijadikan
hujjah tidak hanya berkaitan dengan kualitas dan kapasitas pribadi periwayat
saja, melainkan juga berkaitan dengan persambungan sanad.28[28] Dan hal ini
dipegangi oleh muhadditsin berikutnya, sehingga dia dikenal sebagai bapak
ilmu hadis. Namun, dibeberapa tempat termasuk di Indonesia, al-Bukhary dan
Muslim yang dikenal sebagai bapak ilmu hadis, padahal mereka tidak
26[26] Istilah Tsiqah pada zaman itu lebih banyak diartikan sebagai kemampuan hafalan
yang sempurna daripada diartikan sebagai gabungan dari istilah adl dan Dhabith yang dikenal
luas pada zaman berikutnya. Lebih lanjut lihat misalnya contoh ke-tsiqah-an periwayat hadis yang
dikemukakan oleh Abu Muhammad Abdullah ibn Abd Rahman al-Darimy, Sunan al-Darimy (ttp):
Dar Ihya al-Sunnat al-Nabawiyyah, (tth), Juz I, h. 112
antara
mereka
persyaratan-persyaratan
dikemukakan
oleh
telah
lainnya
al-Bukhary
terbukti
dapat
dan
kesezamannya. 30[30]
dinyatakan
Muslim.
sama
Adapun
antara
yang
Persyaratan-persyaratan
itu
31
32
33[33] M. Syuhudi Ismail., op. cit., h. 123
periwayat
dan
kata-kata
atau
singkatan
kata-kata
yang
periwayat
menggunakan
kata-kata
penghubung
yang
35[35] Ibid., h. 53
36[36]
Berikut adalah daftar tabelnya37[37] :
37[37] Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Al-Jarh wa Al- Tadil, diterjemahkan A. Zarkasyi
Chumaidy, Ilmu Al-Jarh wa Al- Tadil: Penilaian Kredibilitas Para Perawi dan
Pengimplementasiannya, (Cet. I; Gema Media Pustakama: Bandung, 1988), h. 81-82
Jika kita akan meneliti hasil tabel, kita harus menulis silsilah sanad
berdasarkan datangnya silsilah sanad itu dari kitab sumber pokok (kitab asal).
Kemudian diadakan perbandingan dengan cara menyusun rawi-rawi ke dalam
tabel kajian sanad pada masing-masing, dari arah murid dengan dimulai
rawi akhir (sanad rawi) khususnya (Imam Bukhari) dan diakhiri dengan rawi
awal (sanad akhir), yakni sahabat Abu Syuraih al-Adawi. Kemudian diulang
dari arah guru dimulai dari ujung sanad, khususnya (Abdullah ibn Yusuf) dan
diakhiri pada nabi Muhammad Saw.38[38]
Apabila hasil pembuatan tabel sudah benar, maka langkah selanjutnya
merujuk kepada biografi masing-masing rawi di dalam kitab-kitab himpunan
rawi (kitab rijal)39[39] untuk mengetahui hal ihwal rawi dari segi jarh40[40]
38[38] Ibid., h. 82
39[39] Kitab Rijal Hadis adalah kitab-kitab yang menguraikan tentang sejarah para
perawi. Lihat ! Munzier Supata, Ilmu Hadis, (Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002), h.
30
40[40] Ilmu Jarh secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu yang
mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedlabitannya. Lihat ! Ibid., h. 31
dukungan
penguasa
(Umar
ibn
Abdul
Aziz)
atas
upaya
pengumpulan hadis ini. Muncullah kemudian ilmu hadis dan kritik hadis,
terutama setelah munculnya Muhammad ibn Sirin (w. 110 H).
3) Tujuan pokok penelitian hadis, baik dari segi sanad maupun matn, adalah untuk
mengetahui kualitas hadis yang diteliti.
Ada empat faktor penting yang mendorong ulama hadis mengadakan
penelitian sanad hadis, yaitu:
a) Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam
41[41] Al-Tadil yang secara bahasa berarti at-Tasywiyah (menyamakan), menurut istilah
berarti pembersihan atau penyucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dlabit. Lihat ! Ibid.,
h. 31
- Dari pengertian hadis sahih yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis
diatas dapat dinyatakan bahwa unsur-unsur kesahihan sanad hadis ialah :
a) Sanad bersambung
b) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
c) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith
d) Sanad hadis itu terhindar dari Syadz
e) Sanad hadis itu terhindar dari illat
- Kriteria ketersambungan sanad: pertama, periwayat hadis yang terdapat
dalam sanad hadis yang diteliti semua berkualitas tsiqat; kedua, masingmasing periwayat menggunakan kata-kata penghubung yang berkualitas
tinggi yang sudah disepakati ulama (al-sama), yang menunjukkan adanya
pertemuan diantara guru dan murid. Istilah atau kata yang dipakai untuk cara
al-sama beragam; Ketiga, adanya indikasi kuat perjumpaan antara mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Alquran dan Terjemahannya
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Cet. V;
Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak: Yogyakarta, tth.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-munawwir Kamus arab-Indonesia, Cet. XIV; Pustaka
Progressif: Surabaya, 1997
Al-Darimy, Abu Muhammad Abdullah ibn Abd Rahman, Sunan al-Darimy (ttp): Dar
Ihya al-Sunnat al-Nabawiyyah, tth
Abdullatif, Abdul Mawjud Muhammad, Ilmu Al-Jarh wa Al-Tadil, diterjemahkan
Nugroho Notosusanto dengan judul Ilmu Al-Jarh wa Al-Tadil : Penilaian
Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya, Cet. I; Gema Media
Pustakama: Bandung, 1988
Ahmad, Kassim, Hadis ditelanjangi: Sebuah Re-evaluasi Mendasar Atas Hadis, Cet. I;
Trotoar: Jakarta., 2006
Bisri, Adib dan Munawwir AF, Al-Bisri Kamus Indonesia Arab, Cet. I; Pustaka
Progressif: Surabaya, 1999
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Cet. I; Bulan Bintang: Jakarta,
1992
, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah
Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Cet.II; Bulan Bintang:
Jakarta, 1995
Khaeruman, Badri, Otentisitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, Cet.
I; PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2004
M. Isa, Bustamin, dan H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, Edisi I, Cet. I; PT. Raja
Grafindo Persada: Jakarta, 2004
Rahman, Fathur, Ikhtisar Musthalahul Hadits Cet. IV; Bandung: PT. Al-Maarif, 1985
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002
Soetari A, Endang., Ilmu Hadist, (Cet. II; Bandung: Amal Bakti Press, 1997
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. IV; Balai Pustaka:
Jakarta, 1976
Oleh: Muhammad Gazali Hadis