Anda di halaman 1dari 16

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Hadis Rasulullah saw. Selain sebagai sumber ajaran Islam yang kedua
setelah alquran, juga berfungsi sebagai penjelas bagi alquran, menjelaskan
yang global, mengkhususkan yang umum, dan menafsirkan ayat-ayat
alquran1[1]. Hadis memiliki dua peranan penting : (1) secara struktural
sebagai sumber ajaran islam kedua setelah alquran, (2) sebagai bayan
(penjelas) terhadap alquran. Karenanya, hadis memiliki kewenangan dalam
menetapkan suatu hukum yang tidak termaktub dalam alquran. Sungguhpun
demikian, dibandingkan alquran, hadis harus melalui prosedur yang ketat
untuk sampai derajat hadis yang sahih.2[2]
Penelitian hadis, terutama hadis ahad3[3] (baik yang masyhur4[4]
maupun yang aziz5[5] perlu dilakukan, bukan berarti meragukan hadis Nabi
Muhammad saw., tetapi melihat keterbatasan perawi hadis sebagai manusia,
yang adakalanya melakukan kesalahan, baik karena lupa maupun karena
didorong oleh kepentingan

tertentu.

Keberadaan perawi

hadis

sangat

menentukan kualitas hadis, baik kualitas sanad maupun kualitas matan hadis.
Adapun objek terpenting dalam rangka penelitian hadis ada dua, yaitu:
(1) materi hadis itu sendiri (matn al-hadits) dan (2) rangkaian terhadap
sejumlah periwayat yang menyampaikan riwayat hadis (sanad al-hadits).6[6]

1[1]Lihat QS. Al-Nahl (16): 44.


2[2]Yang dimaksud dengan hadis sahih menurut muhaddisin yaitu hadis yang dinukil oleh rawy
yang adil,sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak berillat dan tidak janggal.
Lihat Fathur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits (Cet. IV; Bandung: PT. Al-Maarif, 1985), hal. 95

3[3] Hadis Dlaif ialah Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat Hadit
shahih atau hadits hasan. Ibid., h. 140

4[4] Hadis Masyhur ialah Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum
mencapai derajat mutawatir. Ibid., h. 67

5[5] Hadits Aziz ialah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi
tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian setelah itu, orang-orang meriwayatkannya.
Ibid., h. 74. bandingkan dengan pendapat Ibnu Hibban Al-Busty bahwa hadits Aziz yang hanya
diriwayatkan oleh dan kepada dua orang, sejak dari lapisan pertama sampai pada lapisan
terakhir, tidak sekali-kali terjadi. Kemungkinan terjadi memang ada, hanya saja sulit untuk
dibuktikan, atau memang kita belum menemukannya.

Dalam pembahasan makalah ini penulis terkhusus akan mencoba


membahas sanad hadist dan permasalahan-permasalahan yang terjadi
didalamnya.
B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat merumuskan
masalah yang akan diangkat yaitu :

1. Pengertian Metode kritik sanad hadis


2. Sejarah singkat munculnya kritik sanad hadis
3. Urgensi penelitian sanad hadis
4. Kriteria kesahihan dan ketersambungan sanad hadi

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Pengertian Metode Kritik Sanad Hadis


Kata kritik merupakan alih bahasa dari kata Naqd7[7] yang berarti
berusaha menemukan kebenaran.8[8] Namun kritik yang dimaksud disini
adalah upaya mengkaji hadis rasulullah Saw. untuk menentukan hadis yang
benar-benar datang dari Nabi Muhammad Saw.9[9]
Kata sanad dalam bahasa arab sinonim dengan kata daama yang
mengandung arti menopang atau menyangga, 10[10] jamaknya Asnad dan
Sanadat Sedangkan menurut istilah hadis, terdapat perbedaan rumusan

6[6]Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, Edisi I, (Cet. I; PT. Raja
Grafindo Persada: Jakarta, 2004), h. 4

7[7] KH. Adib Bisri dan KH. Munawwir AF, Al-Bisri Kamus Indonesia Arab, (Cet. I; Pustaka
Progressif: Surabaya, 1999), h. 162

8[8] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Cet. IV; Balai Pustaka: Jakarta,
1976), h. 965

9[9] Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, op. cit, h. 5


10[10] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Cet. V; Multi
Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak: Yogyakarta, tt), h. 1092. lihat juga Ahmad Warson
Munawwir, Al-munawwir Kamus arab-Indonesia, (Cet. XIV; Pustaka Progressif: Surabaya, 1997), h.
666

pengertian. Al-Badru bin Jamaah dan Al-Thiby mengatakan bahwa sanad


adalah:
Berita tentang jalan matan. Yang lain menyebutkan:
Silsilah

orang-orang

(yang

meriwayatkan

hadis),

yang

menyampaikannya kepada matan hadis. Ada juga yang menyebutkan:


silsilah perawi yang menukilkan hadis dari
sumbernya yang pertama.11[11]

Sementara Drs. Fathur Rahman dalam

bukunya Ikhtisar Musthalahul Hadis mengatakan bahwa sanad ialah jalan yang
dapat menghubungkan matnul-Hadist kepada junjungan kita Nabi Muhammad
s.a.w. misalnya seperti kata Bukhary:
..... : : :
()
Maka matnul-Hadist Tsalatsun diterima oleh al-Bukhary melalui sanad
pertama Muhammad ibn al-Mutsanna, sanad kedua Abdul-Wahhab-AtsTsaqafy, sanad ketiga Ayyub, sanad keempat Abi Qilab dan seterusnya sampai
sanad terakhir, Anas r.a., seorang shahabat yang langsung menerima sendiri
dari Nabi Muhammad s.a.w.

12

[12] Dengan demikian al-Bukhary itu menjadi

sanad pertama dan rawy terakhir bagi kita.


Sedangkan kata hadist diberi pengertian yang berbeda-beda oleh para
ulama;

perbedaan-perbedaan

pandangan

itu,

lebih

disebabkan

oleh

terbatasnya dan luasnya objek tinjauan masing-masing yang tentu saja


mengandung kecendrungan pada aliran ilmu yang dimiliki oleh ahlinya.
Misalnya ulama hadist mendefinisikan hadist sebagai segala sesuatu yang
diberikan dari Rasulullah Saw. Baik berupa sabda, perbuatan, takrir, sifat-sifat
maupun hal ihwal Rasulullah Saw.13[13]
Jadi, metode kritik sanad hadis ialah suatu cara yang sistematis dalam
melakukan penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang
individu perawi dan proses penerimaan hadis dari guru mereka masing-

11[11] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002),
h. 45-46

12[12]Fathur Rahman, op. cit., h. 24-25


13[13] Endang Soetari A., Ilmu Hadist, (Cet. II; Bandung: Amal Bakti Press, 1997), h. 2

masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam


rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadis (Shahih,
hasan, atau dlaif).
B.

Sejarah Singkat Munculnya Kritik Sanad Hadis


Kritik sanad hadis pada masa hidup rasulullah s.a.w. dan masa khalifah
yang empat belum ditemukan. Hal itu dapat dipahami karena para periwayat
hadis pada dua masa tersebut disepakati para Muhaddisin sebagai masa
berkumpulnya periwayat hadis yang adil. 14[14]

Perhatian ulama terhadap

sanad hadis dipicu oleh ditemukannya hadis palsu yang diciptakan oleh orangorang zindiq dan orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu.
Pemalsuan hadis pertama kali ditemukan pada masa Ali ibn Abi
15

Thalib. [15] Hadis-hadis palsu yang muncul pada masa itu diantaranya
didorong karena faktor-faktor membela kepentingan politik, membela aliran
madzhab, membela madzhab fiqh, dan merusak islam. 16[16] Diantara hadis

14[14] Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, op. cit, h. 7


15[15] Pada masa itu dikalangan umat Islam timbul pertentangan yang bersifat politis
diantara para sahabat. Setelah perang Shiffin muncul golongan Khawarij, yakni golongan yang
menyalahkan Ali karena menerima Tahkim (Arbitrasi, padahal mereka yang menganjurkan
tindakan ini), dan golongan Syiah, yaitu golongan yang setia kepada Ali. Munculnya
sektarianisme yang bertendensi politik ini mengakibatkan timbulnya perbedaan pendapat dan
pertentangan, bukan saja dalam bidang politik, tapi juga dalam ketentuan-ketentuan agama.Dari
suasana itu timbul berbagai pemalsuan hadis, yaitu mengatakan sesuatu dengan memakai Qala
Nabi, padahal pernyataan itu bukan berasal dari Nabi. Pemalsuan hadis pada periode ini
intensitasnya bertendensi politik, yakni pendukungan terhadap khalifah yang berkuasa
(Umawiyyin), atau pembelaan terhadap Ahl al-Bait, dan kaum Khawarij, yang menolak keduaduanya. Lihat ! Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer,
(Cet. I; PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2004), h. 49. bandingkan dengan pendapat Kassim
Ahmad yang mengatakan bahwa Booming penulisan hadis terjadi setelah konflik politik terbesar
dalam sejarah Islam, yang berujung pada pembentukan partai-partai pendukung Ali, Muawiyah,
dan yang tidak mendukung bahkan mengkafirkan keduanya -, yaitu khawarij. setelah itu lalu,
terutama mulai awal abad kedua hijriyah, banyak hadis palsu atau pseudo-hadis diciptakan untuk
mendukung partai-partai politik keagamaan yang bertikai itu.
Situasi carut-marut periwayatan hadis semacam ini mencemaskan ulama-ulama yang
concern pada hadis Nabi. Maka muncullah kelompok yang dikenal dengan sebutan Ahl Hadist,
sebuah kelompok baru yang terang-terangan membela eksistensi hadis sebagai sumber kedua
Islam dan mendapat dukungan penguasa (Umar ibn Abdul Aziz) atas upaya pengumpulan hadis
ini. Muncullah kemudian ilmu hadis dan kritik hadis, terutama setelah munculnya Muhammad ibn
Sirin (w. 110 H). Kassim Ahmad, Hadis ditelanjangi: Sebuah Re-evaluasi Mendasar Atas Hadis,
(Cet. I; Trotoar: Jakarta., 2006), h. xxxvii

16

palsu tersebut adalah hadis yang dibuat oleh orang Syiah untuk memuliakan
Ali ibn Abi Thalib, dan hadis palsu yang dibuat oleh orang-orang Muawiyah.
Pembukuan hadis secara resmi dan massal dilakukan pada masa
pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz (memerintah 99-101 H). 17[17]
Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah Ibn Syihab al-Zuhri al-Madani (50-124 H)
adalah orang yang diberikan kepercayaan untuk membukukan hadis, beliau
dianggap telah berjasa menyebarkan hadis kepada masyarakat Islam hingga
menembus berbagai zaman. Hal ini diakui oleh Imam Malik ibn Anas bahwa alZuhri adalah orang yang pertama kali membukukan hadis, bahkan beliau
banyak menampung hadis-hadis yang telah dikumpulkan oleh al-Zuhri. 18[18]
C.

Urgensi Penelitian Sanad Hadis


Tujuan pokok penelitian hadis, baik dari segi sanad maupun matn,
adalah untuk mengetahui kualitas hadis yang diteliti. Kualitas hadis sangat
perlu

diketahui

dalam

hubungannya

dengan

kehujjahan

hadis

yang

bersangkutan. Hadis yang kualitasnya tidak memenuhi syarat tidak dapat


digunakan sebagai hujjah. Pemenuhan syarat itu karena hadis merupakan
sumber ajaran Islam. Penggunaan hadis yang tidak memenuhi syarat akan
dapat

mengakibatkan

ajaran

Islam

tidak

sesuai

dengan

apa

yang

seharusnya.19[19]
Sanad hadis dinyatakan mempunyai kedudukan yang sangat penting,
sebab utamanya dapat dilihat dari dua sisi, yakni:
1. Dilihat dari sisi kedudukan hadis dalam kesumberan ajaran Islam;
2. Dan dilihat dari sisi sejarah hadis.20[20]

17[17] Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, op. cit, h. 7

18[18] Badri Khaeruman, op. cit., h. 39

19[19] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Cet. I; Bulan Bintang:
Jakarta, 1992), h. 28-29

20[20] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah, (Cet.II; Bulan Bintang: Jakarta, 1995), h. 85

Dilihat dari sisi yang disebutkan pertama, sanad hadis sangat penting
karena hadis merupakan salah satu sumber ajaran islam. Sedang dilihat dari
sisi yang disebutkan kedua, sanad hadis sangat penting karena dalam sejarah:
(a) pada zaman Nabi tidak seluruh hadis tertulis; (b) sesudah zaman nabi
telah berkembang pemalsuan-pemalsuan hadis; dan (c) penghimpunan
(tadwin) hadis secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya
pemalsuan-pemalsuan hadis.21[21]
Dengan demikian maka dapat dinyatakan, ada empat faktor penting
yang mendorong ulama hadis mengadakan penelitian sanad hadis, yaitu:
1. Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam
2. Hadis tidak seluruhnya tertulis pada zaman Nabi
3. Munculnya pemalsuan hadis
4. Proses penghimpunan (tadwin) hadis.
Pada uraian latar belakang telah dikemukakan bahwa hadis yang
diteliti adalah hadis yang berstatus ahad. Untuk hadis yang berstatus
Mutawatir22[22] ulama menganggap tidak perlu untuk melakukan penelitian
lebih lanjut sebab hadis mutawatir telah menimbulkan keyakinan yang pasti
bahwa hadis yang bersangkutan berasal dari Nabi.
Pernyataan tersebut tidaklah berarti bahwa terhadap hadis Mutawatir
tidak dapat dilakukan penelitian lagi. Hanya saja, yang menjadi tujuan
penelitian bukanlah untuk mengetahui bagaimana kualitas sanad dan matn
hadis

yang

bersangkutan,

melainkan

untuk

mengatahui

atau

untuk

23

membuktikan apakah benar hadis tersebut berstatus mutawatir. [23]


Ulama hadis sesungguhnya telah melakukan penelitian terhadap
seluruh hadis yang ada, baik yang termuat dalam berbagai kitab hadis
maupun yang termuat dalam berbagai kitab non-hadis. Kalau begitu, apakah

21[21] Ibid., h. 85
22[22] Hadis Mutawatir adalah suatu hadis tanggapan dari pancaindera, yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rawy, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat berdusta. Lihat ! Fathur-Rahman, op. cit., h. 59.

23[23] M. Syuhudi Ismail., op. cit., h. 29

penelitian hadis masih diperlukan juga pada saat sekarang ini? Menarik untuk
menyimak paparan Dr. M. Syuhudi Ismail24[24] sebagai berikut:
1.

Hasil penelitian ulama pada dasarnya tidak terlepas dari hasil ijtihad. Suatu
hasil ijtihad tidak terlepas dari dua kemungkinan, yakni benar atau salah. Jadi,
hadis tertentu yang dinyatrakan berkualitas sahih oleh seorang ulama hadis
masih terbuka kemungkinan diketemukan kesalahannya setelah dilakukan
penelitian kembali secara lebih cermat.

2.

Pada kenyataannya, tidak sedikit hadis yang dinilai shahih oleh ulama tertentu,
tetapi dinilai tidak sahih oleh ulama tertentu lainnya.

3.

Pengetahuan manusia berkembang dari masa ke masa. Perkembangan


pengetahuan itu selayaknya dimanfaatkan untuk melihat kembali hasil-hasil
penelitian yang telah lama ada

4.

Ulama hadis adalah manusia biasa, yang tidak lepas dari berbuat salah.
Karenanya tidak mustahil bila hasil penelitian yang telah mereka kemukakan
masih dapat diketemukan letak kesalahannya setelah diteliti kembali.

5.

Penelitian hadis mencakup penelitian sanad dan matn. Dalam penelitian


sanad, pada dasarnya yang diteliti adalah kualitas pribadi dan kapasitas
intelektual para periwayat yang terlibat dalam sanad. Kesulitan menilai pribadi
seseorang ialah karena pada diri seseorang terdapat berbagai dimensi yang
dapat mempengaruhi pribadinya. Karenanya tidaklah mengherankan bila
dalam menilai periwayat hadis, tidak jarang ulama berbeda pendapat.
Dengan beberapa alasan di atas, maka dapatlah dinyatakan bahwa
penelitian terhadap hadis terutama sanad, tetap dinilai memiliki manfaat.
Penelitian ulang merupakan salah satu upaya untuk selain mengetahui
seberapa jauh tingkat akurasi penelitian ulama terhadap hadis yang mereka
teliti, juga untuk menghindarkan diri dari penggunaan dalil hadis yang tidak
memenuhi syarat dilihat dari segi kehujjahan.

D.

Kriteria Kesahihan dan Ketersambungan Sanad Hadis


1. Kriteria Kesahihan Sanad Hadis
Ulama hadis sampai abad ke-3 H belum memberikan definisi kesahihan
secara jelas, mereka pada umumnya hanya memberikan penjelasan tentang
penerimaan berita yang dapat diperpegangi. Di antara pernyataan-pernyataan
mereka yaitu:25[25]

24[24] Ibid., h. 29-30


25[25] M. Syuhudi Ismail., op. cit., h. 120

tidak boleh diterima suatu riwayat hadis, terkecuali yang berasal dari
orang-orang yang tsiqah.26[26]

Hendaklah orang yang akan memberikan riwayat hadis itu diperhatikan


ibadah salatnya, perilakunya dan keadaan dirinya.

Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang tidak dikenal memiliki
perngetahuan hadis.

Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang suka berdusta,
mengikuti hawa nafsunya dan tidak mengerti hadis yang diriwayatkannya.

Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak kesaksiannya.
Berbagai pernyataan itu belum melingkupi seluruh syarat keshahihan
suatu hadis.
Imam al-Syafiilah yang pertama mengemukakan penjelasan yang
lebih konkret dan terurai tentang riwayat hadis yang dapat dijadikan hujjah.
Hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah kecuali memenuhi dua syarat,
pertama hadis tersebut diriwayatkan oleh orang tsiqah (adil dan dhabith),
kedua rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi
Kriteria yang dikemukakan oleh Muhammad Saw. atau dapat juga tidak
sampai kepada Nabi.27[27] al-Syafiiy tersebut sangat menekankan pada
sanad dan cara periwayatan hadis. Kriteria sanad hadis yang dapat dijadikan
hujjah tidak hanya berkaitan dengan kualitas dan kapasitas pribadi periwayat
saja, melainkan juga berkaitan dengan persambungan sanad.28[28] Dan hal ini
dipegangi oleh muhadditsin berikutnya, sehingga dia dikenal sebagai bapak
ilmu hadis. Namun, dibeberapa tempat termasuk di Indonesia, al-Bukhary dan
Muslim yang dikenal sebagai bapak ilmu hadis, padahal mereka tidak

26[26] Istilah Tsiqah pada zaman itu lebih banyak diartikan sebagai kemampuan hafalan
yang sempurna daripada diartikan sebagai gabungan dari istilah adl dan Dhabith yang dikenal
luas pada zaman berikutnya. Lebih lanjut lihat misalnya contoh ke-tsiqah-an periwayat hadis yang
dikemukakan oleh Abu Muhammad Abdullah ibn Abd Rahman al-Darimy, Sunan al-Darimy (ttp):
Dar Ihya al-Sunnat al-Nabawiyyah, (tth), Juz I, h. 112

27[27] Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, op. cit, h. 22-23


28[28]M. Syuhudi Ismail., op. cit., h. 121

mengemukakan kriteria definisi kesahihan hadis secara jelas. Al-Bukhari dan


Muslim hanya memberikan petunjuk atau penjelasan umum tentang kriteria
hadis yang kualitas sahih. Dan dari hasil penelitian oleh ulama, ditemukan
perbedaan yang prinsip antara keduanya tentang kriteria kesahihan hadis
disamping persamaannya.29[29]
Perbedaan antara al-Bukhary dan Muslim tentang kriteria hadis sahih
terletak pada masalah pertemuan antara periwayat dengan periwayat yang
terdekat dalam sanad, walaupun pertemuan itu terjadi hanya satu kali saja
terjadi. Sedangkan Muslim, pertemuan itu tidak harus dibuktikan; yang
penting

antara

mereka

persyaratan-persyaratan
dikemukakan

oleh

telah
lainnya

al-Bukhary

terbukti
dapat

dan

kesezamannya. 30[30]

dinyatakan

Muslim.

sama

Adapun

antara

yang

Persyaratan-persyaratan

itu

menurut hasil penelitian ulama sebagaimana dikutip Syuhudi Ismail dalam


kitab Had-y al-Sariy Muqaddimah Fath al-Bary yang dikarang oleh Ahmad Aly
bin Hajar al-Asqalany, ialah: (a). Rangkaian periwayat dalam sanad itu harus
bersambung mulai dari periwayat pertama sampai periwayat terakhir; (2) Para
periwayat dalam sanad hadis itu haruslah orang-orang yang dikenal tsiqah; (3)
Hadis itu terhindar dari cacat (illat)31[31] dan kejanggalan (Syadz)32[32]; (4)
Para periwayat yang terdekat dalam sanad harus sezaman.33[33]
Dari pengertian hadis sahih yang disepakati oleh mayoritas ulama
hadis diatas dapat dinyatakan bahwa unsur-unsur kesahihan sanad hadis ialah
:
1. Sanad bersambung
2. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
3. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith
4. sanad hadis itu terhindar dari Syadz

29[29] Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, loc. cit, h. 23


30[30] Ibid., h. 23

31
32
33[33] M. Syuhudi Ismail., op. cit., h. 123

5. sanad hadis itu terhindar dari illat


dengan demikian, suatu sanad hadis yang tidak memenuhi kelima
unsur tersebut adalah hadis yang kualitas sanad-nya tidak sahih
2. Kriteria Ketersambungan Sanad Hadis
Hadis yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis, misalnya dalam alkutub al-sittah, terdiri dari matan dan sanad. Dalam sanad hadis termuat
nama-nama

periwayat

dan

kata-kata

atau

singkatan

kata-kata

yang

menghubungkan antara masing-masing periwayat dengan periwayat lainnya


yang terdekat. Matan hadis yang sahih belum tentu sanadnya sahih. Sebab,
boleh jadi dalam sanad hadis tersebut terdapat masalah sanad, seperti
sanadnya tidak bersambung atau salah satu periwayatnya tidak tsiqat.34[34]
Kriteria ketersambungan sanad: pertama, periwayat hadis yang
terdapat dalam sanad hadis yang diteliti semua berkualitas tsiqat; kedua,
masing-masing

periwayat

menggunakan

kata-kata

penghubung

yang

berkualitas tinggi yang sudah disepakati ulama (al-sama), yang menunjukkan


adanya pertemuan diantara guru dan murid. Istilah atau kata yang dipakai
untuk cara al-sama beragam, diantaranya:
, , , , , ,
Ketiga; adanya indikasi kuat perjumpaan antara mereka. Ada tiga indikator
yang menunjukkan pertemuan antara mereka: (1) Terjadi proses guru dan
murid, yang dijelaskan oleh para penulis rijal al-hadist dalam kitabnya, (2)
tahun lahir dan wafat mereka diperkirakan adanya pertemuan antara mereka
atau dipastikan bersamaan, dan (3) mereka tinggal belajar atau mengabdi
(mengajar) ditempat yang sama.35[35]
Jika kita ingin mengetahui langkah aplikasi yang kita maksudkan, kita
harus menyusun silsilah rawi sanad antara murid dan guru. Berikut ini adalah
sampel silsilah sanad dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhary di dalam
kitab sahihnya36[36]

34[34] Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, op. cit, h. 53

35[35] Ibid., h. 53

36[36]


Berikut adalah daftar tabelnya37[37] :

37[37] Abdul Mawjud Muhammad Abdullatif, Ilmu Al-Jarh wa Al- Tadil, diterjemahkan A. Zarkasyi
Chumaidy, Ilmu Al-Jarh wa Al- Tadil: Penilaian Kredibilitas Para Perawi dan
Pengimplementasiannya, (Cet. I; Gema Media Pustakama: Bandung, 1988), h. 81-82

Jika kita akan meneliti hasil tabel, kita harus menulis silsilah sanad
berdasarkan datangnya silsilah sanad itu dari kitab sumber pokok (kitab asal).
Kemudian diadakan perbandingan dengan cara menyusun rawi-rawi ke dalam
tabel kajian sanad pada masing-masing, dari arah murid dengan dimulai
rawi akhir (sanad rawi) khususnya (Imam Bukhari) dan diakhiri dengan rawi
awal (sanad akhir), yakni sahabat Abu Syuraih al-Adawi. Kemudian diulang
dari arah guru dimulai dari ujung sanad, khususnya (Abdullah ibn Yusuf) dan
diakhiri pada nabi Muhammad Saw.38[38]
Apabila hasil pembuatan tabel sudah benar, maka langkah selanjutnya
merujuk kepada biografi masing-masing rawi di dalam kitab-kitab himpunan
rawi (kitab rijal)39[39] untuk mengetahui hal ihwal rawi dari segi jarh40[40]

38[38] Ibid., h. 82
39[39] Kitab Rijal Hadis adalah kitab-kitab yang menguraikan tentang sejarah para
perawi. Lihat ! Munzier Supata, Ilmu Hadis, (Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002), h.
30

40[40] Ilmu Jarh secara bahasa berarti luka, cela, atau cacat, adalah ilmu yang
mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedlabitannya. Lihat ! Ibid., h. 31

maupun tadil41[41]-nya.42[42] Dengan demikian, sanad hadis yang diteliti


bersambung dari periwayat pertama sampai kepada Nabi Muhammad Saw.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa :
1) Metode kritik sanad hadis ialah suatu cara yang sistematis dalam melakukan
penelitian, penilaian, dan penelusuran sanad hadis tentang individu perawi
dan proses penerimaan hadis dari guru mereka masing-masing dengan
berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk
menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadis (Shahih, hasan, atau dlaif).
2) Kritik sanad hadis muncul karena adanya kekhawatiran dari para ulama pada
waktu itu dipicu oleh ditemukannya hadis palsu yang diciptakan oleh orangorang zindiq dan orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu.
Pemalsuan hadis pertama kali ditemukan pada masa Ali ibn Abi Thalib. Hadishadis palsu yang muncul pada masa itu diantaranya didorong karena faktorfaktor membela kepentingan politik, membela aliran madzhab, membela
madzhab fiqh, dan merusak islam. Dalam situasi tersebut muncullah kelompok
yang dikenal dengan sebutan Ahl Hadist, sebuah kelompok baru yang terangterangan membela eksistensi hadis sebagai sumber kedua Islam dan
mendapat

dukungan

penguasa

(Umar

ibn

Abdul

Aziz)

atas

upaya

pengumpulan hadis ini. Muncullah kemudian ilmu hadis dan kritik hadis,
terutama setelah munculnya Muhammad ibn Sirin (w. 110 H).
3) Tujuan pokok penelitian hadis, baik dari segi sanad maupun matn, adalah untuk
mengetahui kualitas hadis yang diteliti.
Ada empat faktor penting yang mendorong ulama hadis mengadakan
penelitian sanad hadis, yaitu:
a) Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam

41[41] Al-Tadil yang secara bahasa berarti at-Tasywiyah (menyamakan), menurut istilah
berarti pembersihan atau penyucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dlabit. Lihat ! Ibid.,
h. 31

42[42] M. Syuhudi Ismail., op.cit., h. 82

b) Hadis tidak seluruhnya tertulis pada zaman Nabi


c) Munculnya pemalsuan hadis
d) Proses penghimpunan (tadwin) hadis.
4)

- Dari pengertian hadis sahih yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis
diatas dapat dinyatakan bahwa unsur-unsur kesahihan sanad hadis ialah :

a) Sanad bersambung
b) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat adil
c) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith
d) Sanad hadis itu terhindar dari Syadz
e) Sanad hadis itu terhindar dari illat
- Kriteria ketersambungan sanad: pertama, periwayat hadis yang terdapat
dalam sanad hadis yang diteliti semua berkualitas tsiqat; kedua, masingmasing periwayat menggunakan kata-kata penghubung yang berkualitas
tinggi yang sudah disepakati ulama (al-sama), yang menunjukkan adanya
pertemuan diantara guru dan murid. Istilah atau kata yang dipakai untuk cara
al-sama beragam; Ketiga, adanya indikasi kuat perjumpaan antara mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Alquran dan Terjemahannya
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Cet. V;
Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak: Yogyakarta, tth.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-munawwir Kamus arab-Indonesia, Cet. XIV; Pustaka
Progressif: Surabaya, 1997
Al-Darimy, Abu Muhammad Abdullah ibn Abd Rahman, Sunan al-Darimy (ttp): Dar
Ihya al-Sunnat al-Nabawiyyah, tth
Abdullatif, Abdul Mawjud Muhammad, Ilmu Al-Jarh wa Al-Tadil, diterjemahkan
Nugroho Notosusanto dengan judul Ilmu Al-Jarh wa Al-Tadil : Penilaian
Kredibilitas Para Perawi dan Pengimplementasiannya, Cet. I; Gema Media
Pustakama: Bandung, 1988
Ahmad, Kassim, Hadis ditelanjangi: Sebuah Re-evaluasi Mendasar Atas Hadis, Cet. I;
Trotoar: Jakarta., 2006

Bisri, Adib dan Munawwir AF, Al-Bisri Kamus Indonesia Arab, Cet. I; Pustaka
Progressif: Surabaya, 1999
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Cet. I; Bulan Bintang: Jakarta,
1992
, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah
Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Cet.II; Bulan Bintang:
Jakarta, 1995

Khaeruman, Badri, Otentisitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer, Cet.
I; PT. Remaja Rosdakarya: Bandung, 2004
M. Isa, Bustamin, dan H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, Edisi I, Cet. I; PT. Raja
Grafindo Persada: Jakarta, 2004
Rahman, Fathur, Ikhtisar Musthalahul Hadits Cet. IV; Bandung: PT. Al-Maarif, 1985
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Cet. III; PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002
Soetari A, Endang., Ilmu Hadist, (Cet. II; Bandung: Amal Bakti Press, 1997
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. IV; Balai Pustaka:
Jakarta, 1976
Oleh: Muhammad Gazali Hadis

Anda mungkin juga menyukai