Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATA
LATAR
R BE
BELAKA
LAKAN
NG

Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pokok banyak mengandung


ayat-aya
ayat-ayatt yang
yang bersifat
bersifat global.
global. Oleh
Oleh karena
karena itu kehadi
kehadiran
ran hadits
hadits berfung
berfungsi
si
sebagi penjelas dari ayat ayat tersebut. Tanpa kehadiran hadits umat islam tidak
akan mampu menangkap dan merealisasikan hukum-hukum yang terkandung
di dalam Al Quran secara mendalam.
Hadits mempunyai fungsi dan kedudukan begitu besar namun hadits tidak
sepert
sepertii Al-Q
Al-Qur’
ur’an
an yang
yang secar
secaraa resmi
resmi telah
telah di tulis
tulis pada
pada zama
zaman
n Nabi
Nabi dan
dan
dibukukan
dibukukan pada masa khalifah Abu Bakar As Shidiq. Sedangkan
Sedangkan hadits baru
ditulis dan dibukukan pada masa khalifah Umar Ibn Abd Al Azizi (abad ke-2). 1
Dengan
Dengan seiring
seiring perkemb
perkembang
angan
an zaman
zaman banyak
banyak sekali
sekali hadits-
hadits-had
hadits
its yang
yang
muncul. Sehingga kita perlu mempelajari ilmu tentang hadits dan pembagian
hadits. Diketahui bahwa macam-macam hadits yaitu shahih, hasan dan dho’if.
Pada makalah ini akan dibahas tentang hadits dhoif.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari pembahasan materi tentang hadits dhoif ini, ada beberapa rumusan
masalah yang harus diselesaikan diantaranya:
1. Apa itu hadits dho’if?

2. Bagaimana
Bagaimana kedudukan
kedudukan hadits
hadits dho’if
dho’if dalam hukum
hukum islam
islam ?

3. Bagaimana
Bagaimana pendapat
pendapat ulama mengenai
mengenai penggunaa
penggunaan
n hadits dho’if?
dho’if?

4. Apa saja macam-macam hadits dho’if?

BAB II

1
Munzier Suparto, Ilmu Hadis, ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2003) hlm 175
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN HADITS DHO’IF

Secara etimologi, kata dho’if berasal dari bahasa Arab dhuf’un yang berarti
lemah, lawan kata dari al qowiy yang berarti kuat. Dengan makna bahasa ini,
maka yang dimaksud dengan dho’if dari segi bahasa berarti hadits yang lemah
atau tidak kuat.2
Secara terminologi, terdapat perbedaan rumusan di antara para ulama dalam
mendefinisikan hadits dho’if ini. Tetapi, pada dasarnya, isi dan maksudnya
adalah sama. Beberapa definisi, di antaranya dapat dilihat di bawah ini.
An-Nawawi mendefinisikannya dengan :

Artinya :
“Hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-
syarat hadits hasan.”

Ulama lainnya menyebutkan bahwa hadits dho’if ialah :

Artinya :
“Hadits yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat maqbul.” 3
Sedangkan yang dimaksud Hadits Maqbul di sini adalah hadits yang
diterima, yaitu sempurna padanya syarat-syarat diterimanya.4

Menurut Nur Ad-Din ‘Atr definisi hadits dhoif ialah :

2
Mohammad Nor Ichwan , Study Ilmu Hadits, (Semarang: Rasail Media Group, 2007), hlm 133
3
Drs.H.Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm 156-157
4
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1, (Jakarta : PT Bulan Bintang, 1987),
hlm 220
Artinya :
“Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul
(hadits yang shahih atau hadits yang hasan).”

Pada definisi yang ketiga disebutkan secara tegas bahwa jika satu syarat saja
(dari persyaratan hadits shahih atau hadits hasan hilang, berarti hadits itu
dinyatakan sebagai hadits dho’if. Lebih-lebih jika yang hilang itu sampai dua
atau tiga syarat, seperti perawinya tidak adil, dan adanya kejanggalan dalam
matan. Hadits seperti ini dapat dinyatakan sebagai hadits dho’if yang sangat
lemah.5
Selain itu, Ibnu Shalah memberikan definisi hadits dho’if ialah :

“Yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan”.

Zinuddin Al-Traqy menanggapi bahwa definisi tersebut kelebihan kalimat


yang seharusnya dihindarkan, menurut dia cukup :

“Yang tidak terkumpul sifat-sifat hadits hasan”


Karena sesuatu yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan sudah barang
tentu tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih.
Drs. Fatkhur Rahman memberikan definisi hadits dho’if ialah:

“Hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat –syarat hadits
shahih atau hadits hasan”
Para ulama memberikan batasan bagi hadits dha’if :

“Hadits dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih
dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
DR. Subhi As-Shalih, mengatakan hadits dha’if menempati urutan ketiga
dalam pembagian hadits. Batasannya yang paling tepat adalah hadits yang
padanya tidak terdapat ciri-ciri hadits shahih atau hasan.

5
Drs.H.Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung:Pustaka Setia, 1999), hlm 156-157
Berdasarkan definisi rumusan di atas, dapat kita pahami bahwa hadits yang
kehilangan salah satu syarat dari syarat-syarat hadits shahih atau hasan, maka
hadits tersebut dapat kita kategorikan sebagai hadits dho’if .6

B. KEDUDUKAN DALAM HUKUM ISLAM

Sebagaimana kita ketahui bahwa hadits merupakan dasar hukum islam yang
kedua setelah Al-Qur’an. Hadits dari segi kualitasnya terbagi atas tiga, yaitu
Hadits Shahih, Hadits Hasan, dan Hadits Dho’if.
Berdasarkan dari pendapat DR. Subhi As-Shalih pada sub-materi
sebelumnya, hadits dho’if menempati urutan ketiga dalam pembagian hadits.
Oleh karena itu, bagi ulama yang memperbolehkan untuk menggunakan hadits
dho’if, apabila suatu hal tertentu tidak ditemukan pada hadits shahih dan hadits
hasan sementara hal tersebut ditemukan pada hadits dho’if, maka yang
digunakan adalah hadits dho’if karena hadits dho’if mempunyai derajat yang
lebih tinggi dari pendapat seorang ulama.
Jadi, dapat dikatakan bahwa kedudukan hadits dho’if dilihat dari segi
kualitasnya walaupun berada setelah hadits shahih dan hadits hasan, akan tetapi
mempunyai derajat yang lebih tinggi dari pendapat para ulama.

C. PENDAPAT ULAMA TENTANG HADITS DHO’IF

Pendapat para ulama dalam hal penggunaan Hadits Dho’if terbagi atas tiga
mazhab, yaitu :
Mazhab pertama, mereka mengatakan bahwa hadits dho’if boleh
diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah halal, haram, fardh maupun wajib
dengan syarat tidak ditemukan hadits lain dalam bab tersebut. Pendapat ini
dipilih oleh beberapa ulama seperti Imam Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan hadits dho’if di sini adalah hadits yang kadar
kedho’ifannya tidak parah -- karena sudah jelas bahwa hadits yang keadaannya

6
Sariono sby, http://referensiagama.blogspot.com/2011/02/kehujjahan-hadits-dho’if.html
demikian pasti ditinggalkan oleh para ulama -- dan juga tidak ada hadits lain
yang menyelisihinya.
Adanya kemungkinan bahwa hadits yang dinilai dho’if tersebut
mengandung kebenaran sementara tak ada hadits lain yang menyelisihinya,
maka hal ini menjadi alasan kuat bahwa hadits tersebut memiliki kemungkinan
shahih sehingga boleh diamalkan.
Al-Hafizh Ibnu Mandah meriwayatkan bahwa ia mendengar Muhammad
bin Sa'd Al Bawardi berkata: "Konsep yang dipakai oleh Imam Nasa'i adalah
bahwa beliau menyebutkan setiap hadits yang tidak ada kesepakatan – dari para
ulama -- untuk meninggalkannya". Ibnu Mandah menambahkan, "Demikian pula
Abu Dawud menyetujui pendapat tersebut. Beliau menyebutkan riwayat-riwayat
lemah (dho’if) jika tidak ditemukan hadits lain dalam suatu bab karena hadits
tersebut dianggapnya lebih kuat daripada pendapat murni seseorang".
Mazhab ini juga diikuti oleh Imam Ahmad, beliau mengatakan: "hadits
dho’if lebih aku sukai daripada pendapat pribadi seseorang", karena beliau tidak
beralih kepada Qiyas kecuali setelah dipastikan bahwa benar-benar tidak ada
nash.
Beberapa ulama mentakwilkan riwayat-riwayat tersebut dengan mengatakan
bahwa yang dimaksud hadits dho’if tersebut bukanlah hadits-hadits dho’if
menurut istilah Ilmu Hadits melainkan yang dimaksud adalah hadits hasan,
karena hadits tersebut bermakna lemah (dho’if) dibandingkan hadits shahih.
Akan tetapi, takwil tersebut bermasalah sebagaimana dikatakan oleh Imam
Abu Dawud: "ada beberapa hadits dalam kitabku, As-Sunan yang sanadnya tidak
tersambung (terputus), yaitu mursal dan mudallas, hal itu dikarenakan tidak
adanya hadits-hadits shahih pada (riwayat) para ahli hadits secara umum yang
bersambung (muttashil). Contohnya seperti riwayat Al-Hasan dari Jabir, Al-
Hasan dari Abu Hurairah, Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas…". Imam
Abu Dawud menganggap hadits yang tidak tersambung (sanadnya) boleh
diamalkan ketika tidak ditemukan hadits shahih, padahal sebagaimana diketahui
bahwasannya hadits munqathi' (terputus sanadnya) merupakan salah satu jenis
hadits dho’if.
a. Mazhab Pertama mengatakan bahwa hadits dho’if boleh diamalkan
secara mutlak, baik dalam masalah halal, haram, fardh maupun wajib
dengan syarat tidak ditemukan hadits lain dalam bab tersebut.
b. Mazhab kedua mengatakan mempergunakan hadits yang dho’if untuk
fadha ‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat
tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu
(palsu). Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya
hal tersebut bukan untuk menetapkan hukum, melainkan hanya untuk
menerangkan keutamaan amal, yang hukumnya telah ditetapkan oleh
hadits shahih, setidak-tidaknya hadits hasan.
c. Mazhab ketiga mengatakan bahwa mengamalkan hadits dho’if adalah
tidak boleh secara mutlak, baik dalam masalah fadhail amal maupun
halal dan haram.
4. Berdasarkan ke-dho’if-an suatu hadits, maka hadits dho’if terbagi atas :
a. Dho’if ditinjau dari segi persambungan sanadnya : Hadits Mursal,
Hadits Munqothi, Hadits Mu’dhal, Hadits Mu’allaq, Hadits Mudallas
b. Dho’if ditinjau dari segi cacatnya perawi : Hadits Matruk, Hadits
Munkar, Hadits Mu’allal, Hadits Mudroj, Hadits Maqlub, Hadits
Mudhorib, Hadits Mushoffaf, dan Hadits Syadz.

B. SARAN
Saran yang dapat kami berikan terkait pembahasan Hadots Dho’if ini adalah
:
1. Bagi pembaca diharapkan dapat membedakan hadits dho’if dengan hadits
lainnya.
2. Untuk lebih memahami mengenai hadits dho’if, diharapkan pembaca dapat
mencari lebih banyak lagi informasi dari berbagai sumber.
DAFTAR PUSTAKA
Al Maliki , Muhammad Alawi; 2009; Ilmu Ushul Hadis; Pustaka Pelajar;
Yogyakarta.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi; 1987; Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid 1; PT
Bulan Bintang; Jakarta.
Ichwan , Mohammad Nor; 2007; Study Ilmu Hadits; Rasail Media Group;
Semarang.
Mudasir; 1999; Ilmu Hadits; Pustaka Setia; Bandung.
Riesky, Eida; http://eidariesky.wordpress.com/2010/06/18/pendapat-para-ulama-
tentang-mengamalkan-hadits-dho’iflemah/
Sby, Sariono; http://referensiagama.blogspot.com/2011/02/kehujjahan-hadits-
dho’if.html
Suparto, Munzier; 2003; Ilmu Hadits; PT RajaGrafindo Persada; Jakarta.
Wicaksono, Danang Kuncoro; http://moslemz.multiply.com/journal/item/6?
&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Yuslem , Nawir; 2001; Ulumul Hadits; PT Mutiara Sumber Widya; Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai