Anda di halaman 1dari 5

PENDALAMAN MATERI

(Lembar Kerja Resume Modul)

NAMA MAHASISWA : INDRA GUNARA


KELAS : PAI 2.22
A. Judul Modul : AL-QUR’AN DAN HADIS
B. Kegiatan Belajar : AL-QUR’AN DAN METODE MEMAHAMINYA (KB 1)
C. Refleksi

NO BUTIR REFLEKSI RESPON/JAWABAN


1. Secara harfiah, Alquran berarti bacaan yang sempurna.
Jumlah kosakata yang terdapat di dalamnya sebanyak
77.439 (tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh
sembilan) kata yang tersusun dari 323.015 (tiga ratus dua
puluh tiga ribu lima belas) huruf. Uniknya, seluruh
kosakatanya memiliki jumlah yang seimbang antara sinonim
dan antonimnya. Di antaranya kata akhirat terulang sejumlah
115 kali sebanyak kata dunya; kata hayat seimbang dengan
kata maut yang disebutkan sebanyak 145 kali; kata malaikat
berjumlah sama dengan penyebutan kata syaithan sebanyak
88 kali; dan kata thuma’ninah (ketenangan) terulang dalam
jumlah yang sama dengan kata dhiyq (kecemasan)
sebanyak 13 kali. (Shihab, 2007: 4)

2. Adapun secara istilah, Alquran adalah firman Allah yang


bersifat mukjizat yang diturunkan kepada nabi dan rasul
Konsep (Beberapa terakhir melalui perantara malaikat Jibril, ditulis dalam
istilah dan definisi) di
1 berbagai mushaf, ditransimisikan kepada kita secara
KB
mutawattir, bernilai ibadah bagi pembacanya dan diawali
dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas.
(al-Shabuni, 2003: 8). Definisi ini adalah definisi yang juga
disampaikan mayoritas ulama, karena dianggap
komprehensif dan mengandung seluruh unsur yang dapat
menjelaskan Alquran.

3. Dalam fungsinya sebagai hudan li al-muttaqin (petunjuk


bagi orang-orang yang bertakwa), Al-Qur’an memuat
panduan dan ketentuan yang berimplikasi bagi tercapainya
kebaikan dan kemaslahatan umat manusia. Hanya saja,
panduan dan ketentuan yang disampaikan di dalam Al-
Qur’an ada yang berupa pernyataan samar dan multitafsir
dan adapula yang jelas dan monotafsir. Dibutuhkan
pemahaman mendalam berdasarkan piranti keilmuan ulumul
qur’an yang memadai untuk membedakan keduanya dan
menemukan gagasan dan ketentuannya secara tepat.
4. Kata muhkam sebagai bentuk tunggal dari muhkamat,
secara etimologi berasal dari akar kata hakama-yahkamu-
hukman berarti menetapkan, memutuskan atau
memisahkan. Kemudian dijadikan wazan af’ala menjadi
ahkama-yuhkimu-ihkam yang berarti mencegah. Al-Hukmu
artinya memisahkan antara dua hal. Jika seseorang
dikatakan hakim maka karena ia mencegah kezaliman dan
memisahkan antara dua orang yang berselisih serta
membedakan antara yang benar dan salah. Menurut Manna’
Al-Qaththan, secara terminologi muhkam adalah ayat yang
mudah diketahui maksudnya, mengandung satu makna dan
dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan
keterangan lain. (Al-Qaththan, 1995: 207). Jadi, ayat-ayat
muhkamat adalah ayat-ayat yang mengandung makna yang
kokoh, jelas dan fasih. Pengertian muhkam ini menjadi sifat
Alquran yang disebutkan dalam surat Hud ayat 1:

5. Secara harfiah, mutasyabih yang merupakan bentuk


tunggal dari mutasyabihat berasal dari kata syabaha yang
berarti serupa. Syubhah -bentuk nomina dari syabaha-
adalah keadaan tentang satu dari dua hal yang tidak dapat
dibedakan dari lainnya karena ada kemiripan di antara
keduanya secara konkret atau abstrak. Makna ini sejalan
dengan sifat kedua Alquran yaitu kitaban mutasyabihan.
6. Menurut bahasa kata tafsir diambil dari kata fassara-
yufassiru-tafsir yang berarti menjelaskan. Pengertian tafsir
menurut bahasa juga bermakna al-idhah (menjelaskan), al-
bayan (menerangkan) dan al-kasyf (menyingkapkan).

7. Definisi lain tentang tafsir dikemukakan oleh ‘Ali al-Shabuni


bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Alquran
dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai
dengan kemampuan manusia. Pendapat senada
disampaikan oleh al-Kilabi bahwa tafsir adalah menjelaskan
Alquran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa
yang dikehendaki dengan nashnya atau dengan isyaratnya
atau tujuannya. Demikian juga menurut Syekh al-Jazairi,
tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafaz yang sukar
dipahami oleh pendengar dengan mengemukakan lafaz
sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan
jalan mengemukakan salah satu dilalah lafaz tersebut.

8. Seseorang yang hendak menafsirkan AlQur’an harus memenuhi


kompetensi standar di antaranya ilmu bahasa Arab, sejarah, ilmu
Hadis, dan sebagainya terutama ilmu Al-Qur’an. Di antara bagian
dari Ilmu Al-Qur’an yang sangat signifikan dalam penafsiran Al-
Qur’an adalah Asbab al-Nuzul. Asbab al-nuzul yang merupakan
latar belakang turunnya ayat menjadi salah satu komponen yang
sangat penting dalam memahami pesan AlQur’an. Al-Syathibi
menegaskan bahwa seseorang tidak diperkenankan memahami
Al-Qur’an hanya dari sisi teksnya saja tanpa memperhatikan
konteks ketika ayat turun. Namun demikian, perlu diketahui bahwa
tidak seluruh ayat Al-Qur’an memiliki riwayat asbab al-nuzul.
Selain Asbab al-Nuzul, pemahaman makiyah dan madaniyah juga
patut dikuasai dalam memahami Al-Qur’an.

9. Ta’wil yang kemudian diserap ke dalam Bahasa Indonesia


menjadi takwil menurut bahasa berasal dari kata awwala-
yuauwilu-ta’wil yang memiliki makna al-ruju’ atau al-’aud
yang berarti kembali. Berkaitan dengan kata ini Alquran
beberapa kali menggunakan kata ta’wil dalam menjelaskan
maksud dari sebuah peristiwa atau kisah

10. Takwil berbeda dengan tafsir sekalipun keduanya


menjelaskan maksud dari sebuah pernyataan dalam
Alquran. Tafsir pada praktiknya menjelaskan makna zahir
sementara takwil mengungkap makna batin. Perbedaan
tersebut dapat dilihat dalam memahami kalimat
mengeluarkan kehidupan dari yang mati. Penggalan ayat 19
dari surat al-Rum bisa dipahami dalam makna mengeluarkan
seekor ayam yang menetas dari telur. Makna tersebut
adalah tafsir.

11. Secara etimologi, terjemah diambil dari bahasa Arab dari


kata tarjamah. Bahasa Arab sendiri menyerap kata tersebut
dari bahasa Armenia yaitu turjuman (Didawi, 1992: 37). Kata
turjuman sebentuk dengan kata tarjaman dan tarjuman yang
berarti mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke bahasa lain
(Manzhur: 66). Terjemah menurut bahasa juga berarti
salinan dari satu bahasa ke bahasa lain, atau mengganti,
menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa ke
bahasa lain.

12. Al-Shabuni mendefinisikan terjemah Alquran adalah


memindahkan bahasa Alquran ke bahasa lain yang bukan
bahasa Arab kemudian mencetak terjemah ini ke beberapa
naskah agar dapat dibaca orang yang tidak mengerti bahasa
Arab, sehingga dapat memahami pesan dasar dari kitab
Allah SWT.

1. Tidak semua kata dalam suatu bahasa dapat diterjemahkan


secara tepat atau utuh ke dalam bahasa lain, termasuk
Alquran. Ini dikarenakan setiap bahasa memiliki batas-batas
makna masing-masing. Contoh kata; anta dan anti
(mudzakkar dan muannats) dengan terjemah kamu, anda
atau engkau tidak dapat mewakili secara utuh makna dari
teks. Demikian juga misalnya kata insanun dan basyarun
Daftar materi pada KB tidak dapat secara utuh diwakili oleh terjemah kata manusia.
2
yang sulit dipahami
2. Qiraat sebenarnya tidak hanya berkutat dalam perbedaan
bacaan Alquran dari segi dialek saja. Namun terdapat juga
perbedaan-perbedaan qira’at yang mempengaruhi terhadap
perbedaan makna lafaz, sehingga menjadi penting
memahaminya bagi seorang mufassir. Di antara manfaat
memahami perbedaan qira’at yang mempengaruhi terhadap
makna adalah dapat mengetahui adanya dua hukum yang
berbeda.
 Melakukan Penafsiran Terhadap Ayat Qur’an Sesuai
dengan Nafsu Sendiri
Di antara miskonsepsi yang sering menjadi problem dalam
Daftar materi yang pembelajaran ialah kegiatan penafasiran terhadap ayat Qur’an
sering mengalami
3 yang hanya berdasarkan kepada nafsu atau pemikiran sendiri
miskonsepsi dalam
pembelajaran tanpa mengutip pendapat para mufassir. Hal ini tentu bakal
mendatangkan kekeliruan yang nantinya bakal menyesatkan
orang lain.
 Mencukupkan Pemahaman Terhadap Suatu Ayat Hanya
Berdasarkan Terjemahan
Hal yang kedua yang juga menjadi miskonsepsi dalam
pembelajaran ialah tindakan yang mencukupkan pemahaman
suatu ayat hanya berdasarkan apa yang tertera dalam
terjemahannya saja. Dalam artian, mereka hanya
mencukupkan diri pada ayat tekstualnya saja tanpa mencoba
melakukan perenungan terhadap ayat tersebut. Hal inilah yang
saat ini menjadi salah satu biang konflik atau perdebatan
terhadap dalil yang seringkali berujung pada penuduhan bid’ah,
tidak ada dalil, dan semisalnya.

Anda mungkin juga menyukai