QIROATUL QUR’AN
Dosen Pengampu
Disusun Oleh
Habib (220102140)
UIN AR-RANIRY
BANDA ACEH
2022
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Rumusan Masalah.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Manfaat dan tujuan........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
A. Pengertian Qiraat dan macam-macam Qiraat...............................................2
B. Kriteria Qiraat yang di terima dan di tolak...................................................3
C. Hubungan Qiraatul Qur'an dengan fikih dan ushul fiqih..............................4
D. Kegunaan membeplajari ilmu Qiraatul Qur'an.......................................................4
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Qira’at adalah perbedaan cara mengucapkan lafazh-lafazh al-Qur’an. Setiap suku memiliki
dialek (lahjah) yang khusus dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan tersebut
pastinya di karenakan faktor kondisi alam, seperti letak geografis dan sosio culture pada
masing-masing suku. Oleh karena itu, disini perbedaan lahjah membawa konsekuensi
lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’āh) dalam melafalkan al-Qur’an. Lahirnya macam-
macam qira’āh ini tidak dapat dihindarkan lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW
membenarkan pelafalan al-Qur’an dengan berbagai macam qira’āh. Sabdanya al-Qur’an itu
diturunkan dengan menggunakan tujuh huruf (unzila hadza al-Quran ‘ala sab’ah ahruf) dan
hadith-hadith lainnya yang sepadan dengannya. Bahasa yang digunakan dalam al-Qur’an
adalah bahasa Quraisy.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan macam-macam Qiroatul Quran?
2. Kriteria Al-Quran yang di terima dan di tolak?
3. Hubungan qiroatu quran dengan fiqih dan ushul fiqih?
4. Kegunaan mempelajari ilmu qiroatul quran?
PEMBAHASAN
Secara etimologi, Al-Qira’āt : jama’ dari qira’āh ( ( قراءةbentuk masdar dari qara’ā (رأC)ق,
sedangkan menurut terminologi salah satu madzab (aliran) pengucapan atau pelafalan al-
Qur’an seorang madzab qurro’ yang berbeda dengan madzab lainnya.[1] Sebagaian ulama
mendefisinikan qira’āh sebagai “ilmu tentang pengucapan kalimat-kalimat al-Qur’an dengan
berbagai macam variasinya dengan cara menyandarkan kepada penutur asal dan aslinya
secara mutawattir.
Dari segi periwayatan atau sanadnya, qira’āt dibagi menjadi enam macam, yaitu:
a. Mutawattir, yaitu qira’āt yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang mustahil
sepakat berbuat kebohongan pada qira’āt tersebut.
b. Mashyur, yaitu qira’āt yang sanad dari periwayatannya shahih, tetapi tidak mencapai
derajat mutawattir dan sesuai tata bahasa Arab dan rashm Utsmani.
c. Ahad, yaitu qira’āt yang shahih secara periwayatan tetapi menyalahi rashm Utsmani
atau kaidah bahasa Arab.
d. Syadz, yaitu qira’āt yang sanadnya tidak shahih.
e. Maudu, yaitu qira’āt yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sama sekali secara
sanad.
f. Mudraj, yaitu qira’āt yang menyertakan catatan tambahan ke dalamnya. Padahal
tambahan tersebut adalah merupakan hasil penafsiran.
Dalam hal ini Ibnu al-Jazary berkata dalam kitab شسٌال طيبتyang dikutip
Di antara kajian al-Qur’an dalam Ilmu Ushul Fiqih yang menjadi satu perhatian khusus para
ulama adalah terkait ragam periwayatan qira’at al-Qur’an. Sebab qira’at al-Qur’an
merupakan salah satu sebab terjadi perbedaan dalam penyimpulan hukum fiqih, di mana hal
tersebut merupakan tujuan pokok disusunnya ilmu Ushul Fiqih.
Adapun yang menjadi titik perdebatan para sarjana Ushul Fiqih dalam qira’at al-Qur’an
adalah qira’at yang bersifat syazah. Yaitu apakah bacaan al-Qur’an yang diriwayatkan oleh
shahabat dari Nabi saw namun tidak bersifat mutawatir termasuk dikatagorikan al-Qur’an
atau tidak?. Jika bukan bagian dari al-Qur’an, apakah statusnya yang dikaitkan dengan
hukum, dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam menetapkan hukum?
1. Hujjiyyah Qira’at Mutawatirah
Para ulama sepakat bahwa Qira’at Mutawatirah berstatus hujjah dalam menetapkan hukum
syara’. Bahkan teks dan lafaz al-Qur’an dengan qira’at inilah yang haram untuk diingkari
seorang muslim serta dihukumi kafir bagi yang menentang dan mengingkarinya.
Sedangkan terkait hujjiyyah Qira’at Syazzah, setidaknya para ulama terpecah menjadi dua
mazhab:
a. Mazhab pertama: Qira’at Syazzah adalah Hujjah.Pendapat ini dianut oleh kalangan al-
Hanafiyyah, satu riwayat dari Imam Malik, imam asy-Syafi’i, dan imam Ahmad, bahwa
Qira’at Syazzah dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum.
b. Mazhab kedua: Qira’at Syazzah Bukanlah Hujjah.Pendapat ini dianut oleh satu riwayat
imam Malik, dan satu riwayat imam asy-Syafi’i yang dishahihkan oleh al-Amidi, Ibnu al-Hajib,
Ibnu as-Sam’ani, dan an-Nawawi, serta satu riwayat imam Ahmad.
Argumentasi mereka adalah bahwa qira’at syazzah tidak bisa digolongkan sebagai khabar
ahad atau hadits nabi, karena perawinya hanya bermaksud meriwayatkan al-Qur’an, sedang
al-Qur’an mesti diriwayatkan secara mutawatir. Adapun Qira’at Syazzah tentu tidak
diriwayatkan secara mutawatir, maka atas dasar ini qira’at syazzah tidak bisa digolongkan
sebagai khabar ahad ataupun al-Qur’an.
Implikasi Perbedaan:
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari implikasi perbedaan pendapat ini akan
diutarakan satu contoh dari implikasi perbedaan atas status legalitas Qira’at syazzah. Yaitu
masalah, apakah puasa kaffarat atas pembatalan sumpah (kaffarah al-yamin), wajib
dilakukan secara berturut-turut atau tidak?.
Dalam hal ini, mazhab Hanafi dan Hanbali mewajibkannya, berdasarkan Qira’at Syazzah
dari Ibnu Mas’ud tentang kaffarat puasa atas pembatalan sumpah, “Maka berpuasalah tiga
hari secara berturut-turut (fa shiyam tsalatsata ayyamin mutatabi’at”). Sedangkan mazhab
Maliki dan Syafi’i tidak menganggapnya wajib
Dengan bervariasinya qira’at, maka banyak sekali manfaat atau faedahnya, diantaranya:
1. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan
penyimpangan.
2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an
3. Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at
menunjukkan sesuatu hukum syara tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.
5. Memperbesar pahala.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qira’āt adalah ilmu yang mempelajari tentang pengucapan kalimat-kalimat di dalam al-Qur’an dengan
cara menyandarkan kepada penutur asal dan aslinya. Timbulnya berbagai perbedaan di
karenakan lahjah atau dialek dari berbagai suku itu berbeda-beda, tetapi qira’āh diturunkan dengan
tujuh huruf. Jika ditinjau dari segi riwayatnya seperti dalam hadith, qira’āt mempunyai enam macam,
seperti Mutawattir, Masyhur, Shahih, Syadz, Maudu’ dan Mudraj. Al-Qur’an dalam wujud mushaf
yang dikenal dan dimiliki kaum muslim sekarang, bukanlah merupakan satu-satunya versi, karena itu
terdapat pula versi qira’āh lainnya yang berbeda dengan versi qira’āh sebagaiman yang terbaca dalam
mushaf al-Qur’an yang kita miliki.
Daftar Pustaka
ABIDIN S., Zainal, Drs., Seluk Beluk al-Qur’an, Jakarta: Rineka Cipta, 1992
HASANUDDIN AF, Anatomi Qur’an; Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbat
Hukum dalam al-Qur’an, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995
ISMAIL, Sya’ban Muhammad, Dr., Mengenal Qira’at al-Qur’an, Semarang: Bina Utama, 1993
MUDZAKKIR AS, Drs., Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, Jakarta: Lintera Antar Nusa, 1994