Anda di halaman 1dari 7

Sekilas Pandang Qira`at Al-Quran

Memahami pentingnya jenis dan kondisi Qira`at yang dapat diterima adalah untuk menambah wawasan.
Hindari mencampurkan Qira`at yang mutawatir dengan Qira`at yang tidak mutawatir. Ada beberapa
standar/persyaratan untuk mengukur benar atau tidaknya suatu qira`at, dua di antaranya telah disepakati
standar/persyaratan qira`at, yaitu memenuhi salah satu mushaf Utsmani dan tidak melanggar ketentuan
bahasa arab. Pada saat yang sama, standar lain juga kontroversial, yaitu beberapa orang memenuhi sanad
shahih, dan beberapa orang mengharuskan sanad menjadi mutawatir. Akan tetapi, para ulama tidak
sepakat dengan pembagian Qira`at, sebagian orang membaginya menjadi dua bagian, sementara yang lain
membagiinya enam bagian, seperti pembagian Ibnu al-Jazary. Banyak ulama kemudian mengikuti
pembagiannya, Pembagiannya ditiru oleh banyak ulama selanjutnya. Keenam golongan itu adalah
‘Mutawatir, Masyhur, Ahad, Syadz, Maudhu’ dan Syabih bi al-Mudra.

Ketika Allah menciptakan makhluk-Nya, khususnya manusia, masing-masing telah dilengkapi dengan
syariat Islam dan standar hidup untuk dijadikan dasar atau pijakan dalam kehidupan, dan pijakan umat
Nabi Muhammad SAW adalah Al-Qur'an, diturunkan dengan berbahasa Arab, struktur bahasanya sangat
tinggi, dan bilagahnya sangat indah. Keagungan dan keutamaan Al-Qur'an jauh melampaui untaian kata
dan ungkapan dalam bahasa apapun, seperti keagungan antara sang Khaliq dan makhlukNya.

Al-Qur'an adalah hukum abadi yang dibuat untuk kemaslahtan makhluqNya yang sempurna, yaitu umat
manusia. Allah menurunkan wahyu dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang yang menerima
wahyu tersebut, antara lain Al-Qur'an yang diilhami oleh bahasa Arab memudahkan orang Arab untuk
membaca, mengingat, dan memahami.Pada saat yang sama, Al-Qur'an juga mengandung nilai mukjizat
yang tak tertandingi.Meskipun mereka adalah tokoh-tokoh Arab yang ahli sastra.

Sebagaimana dimaklumi bahwa al- Quran diturunkan di tanah arab, serta bangsanya semenjak dulu
mempunyai dialek yang berbagai macam dari tiap- tiap kabilahnya, baik dalam wujud intonasi, bunyi
ataupun hurufnya, sedangkan bahasa Quraisy mempunyai kelebihan sekalian keistimewaan tertentu
dibandingkan yang yang lain. Perihal ini antara lain sebab mereka sering lalu lalang untuk berdagang
serta keberadaan mereka di dekat baitull. Sedangkan al- Quran diturunkan Allah dengan keanekaragaman
wujud ataupun model bacaannya. Bentuk- bentuk serta model- model keanekaragaman teks itu, terdapat
yang betul- betul tiba dari Nabi, serta terdapat pula teks yang datangnya bukan dari Nabi. Hingga untuk
mengetahuinya butuh dimengerti garis- garis ataupun kaidah- kaidah yang dapat dijadikan pegangan,
mana teks yang betul- betul dari Nabi serta mana pula teks yang bukann darinya.
Penafsiran Qira’ at berasal dari bahasa Arab ‫ قراءات‬jamak( plural) dari ‫قراءاة‬, secara etimologi ialah
pangkal kata( masdar) dari ‫رأ‬99‫ ق‬yang berarti membaca. Jadi lafal ‫راءات‬99‫ ق‬secara bahasa berkonotasi“
sebagian bacaan”. Sebaliknya bagi sebutan ilmiah, qira’ at merupakan salah satu mazhab pengucapan
Quran yang diseleksi oleh salah seseorang imam qurra’ selaku sesuatu mazhab yang berbeda dengan
mazhab yang lain.

Dalam kajian Ilmu Tafsir, qira’ at berarti:“ Sesuatu aliran dalam melafalkan Al- Qur’ an yang dipelopori
oleh salah satu imam qira’ at yang berbeda dari pembacaan imam- imam yang lain, dari segi pengucapan
huruf- huruf, tetapi periwayatan qira’ at tersebut darinya dan jalan yang dilaluinya disepakati”.

Az- Zarqani mendefinsikan qira’ at dalam terjemahan bukunya ialah: mazhab yang dianut oleh seseorang
imam Qira’ at yang berbeda dengan yang lain dalam pengucapan Al- Qur’ an dan konvensi riwayat-
riwayat serta jalur- jalurnya, baik perbandingan itu dalam pengucapan huruf- huruf maupun bentuk-
bentuk yang lain.

Bagi Ibn al- Jazari merumuskan kalau qira’ at yakni Ilmu yang menyangkut cara- cara mengucapkan
perkata Al- Qur’ an serta perbedaan- perbedaannya dengan metode menisbatkan kepada penukilnya.

Sebaliknya bagi al- Qasthalani yakni Sesuatu ilmu yang menekuni hal- hal yang disepakati ataupun
diperselisihkan ulama yang menyangkut perkara lughat, hadzaf, I’ rab, itsbat, fashl, serta washl yang
kesemuanya diperoleh secara periwayatan.

Bagi az- Zarkasyi, Qira’ at merupakan perbandingan metode mengucapkan lafaz- lafaz Al- Qur’ an, baik
menyangkut huruf- hurufnya ataupun metode pengucapan huruf- huruf tersebut, semacam
takhfif( meringankan), tatsqil( memberatkan), serta ataupun yang yang lain.

Sebaliknya Ibnu al- Jazari menarangkan bahwa Qira’ at merupakan pengetahuan tentang cara- cara
melafalkan kalimat- kalimat Al-Quran serta perbedaannya dengan membangsakaanya kepada penukilnya.

Perbandingan metode pendefenisian di atas sesungguhnya terletak pada satu kerangka yang sama, ialah
terdapat sebagian metode melafalkan Al- Qur’ an meski berasal dari satu sumber, ialah Muhammad.

Dengan demikian, dari penjelasan- penjelasan di atas, hingga terdapat 2 yang bisa ditangkap dari definisi
diatas ialah:
1) Qira’ at berkaitan dengan metode pelafadzan ayat- ayat Al- Qur’ an yang dicoba salah seseorang imam
serta berbeda metode yang dicoba imam- imam yang lain.

2) Metode pelafadzan ayat- ayat Al- Qur’ an itu bersumber pada atas riwayat yang bersambung kepada
Nabi. Jadi, bertabiat tauqifi, bukan ijtihadi.

Syaikh Abdul Fath al- Qadhy mengatakan kalau qira’ at merupakan ilmu tentang tatacara pengucapan
kalimat- kalimat( ayat- ayat) Qur’ aniyah.

Ibn al- Jaziri menegaskan kalau qira’ at yakni ilmu metode melafalkan kalimat( perkata) Al- Qur’ an serta
perbedaannya, serta tidak melaporkan qira’ at selaku sesuatu aliran serta tidak pula menegaskan butuh
terdapatnya konvensi dalam periwayatan dalam sanad yan dilaluinya.

Kedua kriteria yang terakhir ialah suatu yang sangat berarti. Bila kita perhatikan, apabila qira’ at
dimaksud selaku“ sesuatu aliran”, hingga dengan sendirinya tertolaklah asumsi kalau qira’ at 7 berasal
dari Hadits Nabi berikut:

‫هذاالقرأنٌأنزلعلىسبعةأحرف‬

Ada pula ilmu qira’ at( yang benar) itu sendiri sudah diperkenalkan oleh Nabi Muhammad sendiri, ialah
sesuatu aplikasi sunnah yang menampilkan tata metode teks tiap ayat.

Ada pula Sistem atau syarat- syarat Qira`at, para ulama menetapkan beberapa Qira`at yang bisa diterima
keshahihannya antara lain:

1 Ibnu Khawalih( meninggal 370 H)

a. Qira`at cocok dengan rasam

b. Qira`at cocok dengan( struktur bahasa Arab)

c. Dalam meriwayatkan Qira`at, wajib silih mewarisi.

2 Ibnu Abi Thalib( meninggal 437 H)

a. Wajah Qira`at yang kokoh dalam bahasa Arab

b. Qira`at cocok dengan rasam


c. Qira`at yang disepakati oleh umum

3 Al- Kawasyi( meninggal 680 H)

a. Sanadnya yang shahih

b. Cocok dengan bahasa Arab

c. Cocok dengan rasam

4 Ibnu al- Jazary( meninggal 833 H)

a. Sanadnya yang shahih

b. Cocok dengan bahasa Arab secara mutlak

c. Cocok dengan rasam sekalipun dugaan

Dari keterangan- keterangan di atas, terdapat 2 ketentuan yang disepakati ialah:

1. Teks yang cocok dengan struktur bahasa Arab

2. Teks yang cocok dengan rasam Utsmani

Sebaliknya dalam periwayatan( mutawatir), tidak seluruh Ulama pakar qurra setuju. Di antara mereka
terdapat yang mencukupkan dengan sanadnya yang shahih, serta terdapat pula yang menetapkan kalau
wajib mutawatir ialah yang utama.

3. Tingkatan- Tingkatan Dalam Qira’ at

Berikut 4 tingkatan membaca Al- Quran:

1. Tahqiq(‫)التحقيق‬

Ini merupakan tingkatan untuk pendatang baru yang baru belajar ilmu tajwid. Metode membacanya
semacam tartil, tetapi at- Tahqiq lebih lambat serta tenang. Teks at- Tahqiq semacam mazhab Qiraat
Hamzah serta Qiraat Warsh yang bukan dari Tariq Asbahani. At- Tahqiq ialah tahapan dini saat sebelum
masuk ke tingkatan selanjutnya.

2. Tartil(‫)الترتيل‬

At- Tartil bagi makna kata merupakan lambat- laun. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, tartil berarti membaca
hukum tajwid dengan benar. Membaca dengan tartil hendak mempermudah seorang untuk menguasai
serta mentadabburi Al- Quran. Tartil pula dimaksud membaca dengan membagikan hak- hak serta sifat-
sifat. Membaca dengan tartil sangat disarankan sebagaimana firman Allah:" Serta bacalah Al- Quran itu
dengan tartil."( QS. Al- Muzzammil: 4).

3. Tadwir(‫)التدوير‬

Tadwir ataupun At- Tadwir merupakan tingkatan pertengahan antara lambat dan cepat. Bacaan dengan
Tadwir ini kerap kita dengar di dalam salat berjamaah. Tadwir merupakan membaca Mad Munfasil tidak
lebih dari 6 harakat.

4. Hadar(‫)الحدر‬

Hadar ataupun Al- Hadar merupakan bacaan cepat tetapi masih melindungi hukum- hukum tajwid. Al-
Hadar ialah tingkatan teks sangat cepat. Tingkatan ini kerap dipakai oleh para penghafal Quran yang
ketika mengulang hafalannya. Walaupun cepat, metode membacanya senantiasa mengindahkan hukum-
hukum yang terdapat semacam apabila berdengung ia dengung, apabila wakaf ia berhenti. Teks Hadar
merupakan membaca Mad Munfasil dengan 2 harakat.

Bagi para ulama, bacaan yang sangat afdhal merupakan membaca dengan metode Tartil( lambat- laun)
sebab Al- Quran diturunkan secara tartil sebagaimana firman Allah dalam Surah Al- Muzammil ayat 4.
Membaca dengan tartil pula menjadikan seorang menghasilkan suara yang indah serta merdu, sehingga
membuat bacaan lebih menyerap di hati.

4. Macam- Macam Qira’ at

1. Awal: Mutawatir, ialah Qira’ at yang dinukil oleh beberapa orang yang tidak akan bersepakat dalam
kedustaan dari orang- orang yang semacam mereka sampai ke akhir sanad, ini yang umum di dalam Qira’
at.

2. Kedua: Masyhur, ialah yang sanadnya shahih tetapi tidak hingga ke tingkatan Mutawatir, cocok dengan
kaidah bahasa Arab serta rasm, populer di golongan para Imam Qurra’, serta mereka tidak
menganggapnya keliru. Para Ulama mengatakan kalau Qira’ at tipe ini boleh diamalkan bacaannya.

3. Ketiga: Ahad, ialah yang sanadnya shahih, tetapi menyelisihi rasm ataupun menyelisihi kaidah bahasa
Arab, ataupun tidak populer sebagaimana terkenalnya Qira’ at yang sudah disebutkan. Serta yang ini
tidak diamalkan bacaannya.
4. Keempat: Syadz, ialah yang tidak shahih sanadnya.

5. Kelima: Maudhu’, ataupun palsu ialah yang tidak terdapat asal- usulnya.

6. Keenam: Mudraj, ataupun yang disisipi, ialah perkataan yang ditambahkan dalam Qira’ at( yang
shahih) selaku wujud penafsiran.

Hingga keempat Qira’ at yang terakhir( dari nomor 3- 5) tidak diamalkan( tidak boleh membaca al- Quran
dengan Qira’ at tersebut)

Jumhur ulama berkomentar kalau Qira’ at Sab’ah merupakan Mutawatir dan masyhur sehingga yang
selain Mutawatir dan Masyhur maka tidak boleh membaca dengannya, baik dalam shalat ataupun di luar
shalat.

Imam an- Nawawi rahimahullah mengatakan dalam Syarh al- Muhadzadzab:” Tidak boleh membaca
dengan Qira’ at Syadz di dalam shalat ataupun di luar shalat, sebab dia bukan al- Qur’ an. Sebab al- Qur’
an tidak diresmikan kecuali dengan nukilan yang Mutawatir qira’ at Syadz tidak Mutawatir. Barangsiapa
yang mengatakan dengan selain ini maka dia merupakan orang yang bodoh. Bila seorang menyelisihi
serta membaca dengan Qira’ at Syadz, maka Qira’ atnya diingkari, baik di dalam shalat ataupun di luar
shalat. Para ulama Baghdad sudah setuju barangsiapa yang membaca dengan Qira’ at Syadz maka dia
diminta bertaubat. Ibnu‘ Abdil Barr rahimahullah menukil Ijma’( konvensi) segala kalangan Muslimin
tentang tidak diperbolehkannya membaca dengan Qira’ at Syadz, serta pula tidak diperbolehkannya shalat
di balik imam yang membaca Qira’ at ini( Syadz).”

Urgensi Menekuni Qira’ at adalah untuk

1. Memantapkan syarat hukum yang sudah disepakati para ulama

2. Menarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Dalam perihal istimbat hukum, qiraat bisa menolong
menetapkan hukum secara lebih teliti serta teliti. Perbandingan qiraat al- Quran yang berkaitan dengan
substansi lafaz ataupun kalimat, adakalanya mempengaruhi arti dari lafaz tersebut adakalanya tidak.
Dengan demikian, hingga perbandingan qiraat al- Quran adakalanya mempengaruhi terhadap istimbat
hukum serta adakalanya tidak

Nama: Isyfi Agni Nukhbatillah


Mata Kuliah : UTS B.Indonesia

Dosen Pengampu : Irpan Ilmi, S.Hum., MM.

Anda mungkin juga menyukai