qira’ah yang lain adalah lebih pada letak bacaan-bacaan tersebut. Berikut
penjelasan tentang bacaan gharib menurut Imam Ashim riwayat Hafs :
1.) Imalah
Imalah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz أللماَللyaitu أللماَلل – ليإمييلْل – إإلماَللةةyang
artinya memiringkan atau membengkokan, sedangkan menurut istilah yaitu
memiringkan fathah kepada kasrah atau memiringkan alif kepada ya’. Bacaan
imalah banyak dijumpai pada qira’ah Imam Hamzah dan Al-Kisa’i, diantaranya pada
lafadz-lafadz yang diakhiri oleh alif layyinah, contoh: َ لْهههلدى،ٰ لسههججى،ٰضههجحىٰ لقجلههى ال ض, .
Sedangkan pada riwayat Imam Hafs hanya ada satu lafadz yang harus dibaca
imalah yaitu pada lafadz َ لميججرىٰلهاdalam QS. Hud: 41 :
لوُلقاَلل ايرلكلْبوُيا إفييلهاَ إبيسم ر
اإ لميجرجىٰلهاَ لوُلْميرجسلهاَ ٓ إإرن لربَبىٰ لللغلْفوُمر رر إ
حيمم إ
Dalam ilmu qira’ah, ada satu bacaan yang hampir mirip dengan bacaan imalah, yaitu
bacaan taqlil yang termasuk dalam qira’ah imam Warsy. Khususnya pada lafadz
yang berwazan ٰ لْفعُلى،ٰ إفعُلى،ٰلفعُلى, namun bacaan taqlil lebih mendekati fathah seperti
halnya bunyi suara “re” pada kata “mereka”.
2.) Isymam
Dalam qira’ah imam Ibnu Amir riwayat As-Susy, bacaan isymam dikenal dengan
sebutan idgham kabir, yaitu bertemunya dua huruf yang sama dan sama-sama
hidup lalu melebur menjadi satu huruf bertasydid. Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat
Hafs, hanya dikenal satu idgham saja, yaitu idgham shaghir yakni mengidghamkan
dua huruf yang sama yang salah satunya mati. Menurut bahasa, bahwa lafadz “لل
َ ”لتأيلمرنههاdapat difahami berasal dari lafadz “َ ”لل لتأيلملْنلنههاyang terdapat dua nun yang
diidharkan, nun yang pertama di rafa’kan dan yang kedua dinashabkan. Nun yang
pertama dirafa’kan karena termasuk fi’il mudlari yang tidak kemasukan “amil
nawashib” maupun jawazhim.
3.) Saktah
Saktah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz ت ْ – لْسههلْكيوُةتاَ لييسههلْك لyang
لسههلك ل- ت
artinya diam, tidak bergerak. Sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah, saktah ialah
berhenti sejenak sekedar satu alif tanpa bernafas. Dalam qira’ah Imam Ashim
riwayat Hafs bacaan saktah terdapat di empat tempat yaitu : QS. Al-Kahfi: 1, QS.
Yaasiin: 52, QS. Al-Qiyamah: 27 dan QS. Al-Muthafifin: 14.
Lafadz َ لقبَيلماbukanlah menjadi sifat/na’at dari lafadz َإعلوُةجا, melainkan menjadi hal
atau maf’ul bihnya lafadz lafadz َإعلوُةجا. Apabila lafadz َ لقبَيلماmenjadi na’atnya lafadz َإعلوُةجا
akan mempunyai arti : “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang
bengkok serta lurus”. Sedangkan apabila menjadi hal atau maf’ul bih akan menjadi :
“Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok, melainkan
menjadikannya sebagai ajaran yang lurus “. Menurut Ad-Darwisy, kata َلقبَيةمههها
dinashabkan sebagai hal (penjelas) dari kalimat َ لوُللههيم لييجلعُههيل للههلْه إعلوُةجهها, sedang Az-
Zamakhsyari berpendapat bahwa kata tersebut dinashabkan lantaran menyimpan
fi’il berupa ” “ لجلعُلللْه. Berbeda juga dengan pendapat Abu Hayyan, menurutnya kata َلقبَيةما
itu badal mufrad dari badal jumlah “َ“ لوُلليم لييجلعُيل لللْه إعلوُةجا. Tidak mungkin seorang qari’
memulai bacaan (ibtida’) dari َلقبَيةما, sebagaimana juga tidak dibenarkan meneruskan
bacaan (washal) dari ayat sebelumnya. Dengan pertimbangan alasan-alasan diatas,
baik diwaqafkan maupun diwashalkan sama-sama kurang tepat, maka diberikanlah
tanda saktah.
Pada saktah QS. Yaasiin: 52 di dalam kalimat: إمين لميرلقإدلناَ سكتة لهلذا لماَ لوُلعلد الرريحلملْن. Menurut
Ad-Darwisy lafadz جهههلذاitu mubtada’ dan khabarnya adalah lafadz لمههاَ لوُلعههلد الرريحلمههلْن.
Berbeda halnya dengan pendapat Az-Zamakhsyari yang menjadikan lafadz جهلذاitu
na’at dari لميرلقههإد, sedangkan َ لمههاsebagai mubtada’ yang khabarnya tersimpan, yaitu
lafadz حههقatau جهههلذا. Dari segi makna, kedua alasan penempatan saktah tersebut
sama-sama tepat. Pertama, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan:
“Siapakah yang membangkitkan dari tempat tidur kami (yang) ini. Apa yang
dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Kedua, orang yang
dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan kami
dari tempat tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini
pasti benar”. Dengan membaca saktah, kedua makna yang sama-sama benar
tersebut bisa diserasikan, sekaligus juga untuk memisahkan antara ucapan malaikat
dan orang kafir.
Adapun lafadz لمينdalam QS. Al-Qiyamah: 27 pada kalimat لمين سكتة لراققdan lafadz لبيل
dalam QS. Al-Muthafifin: 14 pada kalimat لبيل سهكتة لرالنadalah untuk menjelaskan fungsi
لمينsebagai kata tanya dan fungsi لبيلsebagai penegas dan juga untuk memperjelas
idharnya lam dan nun, sebab apabila lam dan nun bertemu dengan ra’ seharusnya
dibaca idgham, namun karena lafadz لمينdan لبيلdalam kalimat لمين سههكتة لراققdan لبيل سههكتة لرالن
mempunyai makna yang berbeda, maka perlu dipisahkan (diidharkan) dengan waqaf
saktah.
Di samping itu, Imam Ashim juga menganjurkan membaca saktah, pertama, pada
akhir QS. Al-Anfaal:75 dan permulaan QS. At-Taubah. Alasannya secara bahasa
dipakai untuk memilah dua surat yang berbeda yang mana permulaan surat At-
Taubah tidak terdapat atau diawali dengan basmalah. Kedua, pada QS. Al-Haqqah:
رهلل ل.
28-29 dimaksudkan untuk membedakan dua ha’ yakni ha’ saktah لماَلإلييهdan ha’ fi’il ك
4.) Tashil
... ٰت جاجيلْتلْهۥُۥ ٓ جءاجععججمَمىى لوُلعلرإبىى َلوُلليوُ لجلعُيلجنلْه قلْيرلءاةناَ أليعلجإمةيياَ لرلقاَلْلوُاا لليوُلل فلْ ب
صلل ي
Alasan lafadz ٰ لءاليعلجإمىىdibaca tashil, karena apabila ada dua hamzah qatha’ bertemu
dan berurutan pada satu lafadz, bagi lisan orang Arab merasa berat
melafadzkannya, sehingga lafadz tersebut bisa ditashilkan (diringankan).
5.) Naql
Naql menurut bahasa berasal dari lafadz لنلقلل – ليينإقلْل – لنيقةلyang artinya memindah,
sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah artinya memindahkan harakat ke huruf
sebelumnya. Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu bacaan naql yaitu
lafadz س ايلإيسلْم
إبيئ لpada QS. Al-Hujurat: 11. Alasan dibaca naql pada lafadz ايلإيسلْمadalah
karena adanya dua hamzah washal, yakni hamzah al ta’rif dan hamzah ismu yang
mengapit lam, sehingga kedua hamzah tersebut tidak terbaca apabila disambung
dengan kata sebelumnya. Faidahnya bacaan naql ialah untuk memudahkan dalam
mengucapkannya atau membacanya.
Yaitu mengganti hamzah mati dengan ya’, sebagian besar imam qira’ah sepakat
mengganti hamzah qatha’ yang tidak menempel dengan lafadz sebelumnya dan
jatuh sesudah hamzah washal dengan alif layyinah (َ)ى. Contoh pada QS. Al-Ahqaf :
4,
ت ٓ ٱيئلْتوُإنىٰ إبإكجلت ب ق
ٍۢ…ب …ٍۢأليم لللْهيم إشير ك م
ك إفىٰ ٱلرسجمجوُ إ
Cara membacanya, yaitu apabila seorang qari’ membaca waqaf pada lafadz ( ٰإفى
) ٓٱلرسجلمجلوُ إmaka huruf ta’ mati dan hamzah mati diganti ya’ (ٰت ٓ إاييلْتوُإنى
ت ) إفىٰ ٱلرسجمجوُ يsedangkan
apabila dibaca washal tidak ada perubahan.
Yaitu mengganti shad dengan siin, sebagian imam qira’ah termasuk Imam Ashim
mengganti صdengan سpada lafadz ط ْ لوُلييب ص لdalam QS. Al-Baqarah : 245 dan lafadz
ْص ل
لب ص يdalam QS. Al-A’raf : 69. Sebab-sebab digantinya huruf shad dengan siin pada
صلطةة
kedua lafadz tersebut karena mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu ط ْلبلسلط – لييبلْس ل.
Sedangkan pada lafadz صههييإطقر إبلْم لdalam QS. Al-Ghasyiyah : 22, huruf صtetap
dibaca shad karena sesuai dengan tulisan dalam mushaf (rasm utsmani) dan
menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat
isti’la’. Adapun pada lafadz صييإطلْروُلن ٱيللْم ص لdalam QS. At-Thur : 37, huruf صboleh tetap
dibaca shad dan boleh dibaca siin karena, pertama, mengembalikan pada asal
lafadznya, yaitu لسههييلطلر – لْيلسههييإطلْر, kedua, menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf
sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’.
7.) Shilah
Menurut ijma’ para ulama qurra’, bahwa apabila ada ha’ dlamir yang tidak diawali
dengan huruf mati, maka ha’ dlamir tersebut harus dibaca panjang dan perlu
ditambahkan huruf mad setelahnya, alasannya untuk menguatkan huruf ha’ dlamir
tersebut karena tidak alasan yang mengharuskan membuang huruf setelah ha’
dlamir ketika huruf sebelumnya hidup (berharakat). Namun para ulama qurra’ kecuali
Ibnu Katsir kurang senang menggabungkan dua huruf mati yang dipisah oleh huruf
lemah (ha’), sehingga mereka membuang huruf mad dan memanjangkan ha’
dlamirnya, contoh إبإه،لللْه, ini adalah madzhab imam Sibawaih. Sedangkan apabila ha’
dlamir tersebut diawali dengan huruf yang mati (sukun) maka harus dibaca pendek,
contoh إإللييإه،إمينلْه.
Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu ha’ dlamir yang tetap dibaca
panjang walaupun diawali dengan huruf mati, yaitu pada kalimat َ لوُلييخل لْيد إفييهه لْملهاَةناdalam
QS. Al-Furqan : 69. Pada masalah ini, Imam Ashim riwayat Hafs sama bacaannya
dengan Ibnu Katsir, yakni membaca shilah ha’ () إفييهه. Karena diketahui bahwa ha’
termasuk huruf lemah seperti halnya hamzah, sehingga apabila ha’ berharakat
kasrah, maka sebagai ganti dari wawu mati adalah ya’ dimaksudkan untuk
menguatkan huruf ha’, sehingga menjadi إفييإهي. Dalam literatur orang Arab sendiri
jarang sekali ditemui wawu mati yang diawali kasrah.
Alasan ha’ dibaca panjang pada lafadz إفييههdalam QS. Al-Furqan : 69 adalah untuk
mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu ه هberasal dari lafadz ُ لْهههلوdan ketika
disambung dengan lafadz إفييakan menjadi ُ إفييلْهلو, namun karena ha’ dlamir tersebut
diawali dengan ya’ mati yang sebenarnya identik dengan kasrah, sehingga harakat
ha’ perlu disesuaikan dengan harakat sebelumnya dan merubah huruf mad berupa
wawu menjadi ya’ untuk menyesuaikan dengan kasrah maka menjadi إفييإهيdan huruf
mad berupa ya’ dirubah dengan kasrah berdiri, jadilah lafadz إفييهه. Ada juga yang
menyebutkan bahwa ha’ yang terdapat pada lafadz إفييههdalam QS. Al-Furqan : 69
adalah ha’ khafdli artinya ha’ panjang yang berfungsi merendahkan, hal ini sesuai
dengan konteks ayat yang menghendaki dipanjangkannya huruf ha’ dlamir tersebut.
Ada juga ha’ dlamir yang dibaca pendek walaupun diawali dengan huruf mati yaitu
dengan membaca ha’ dlamir berharakat dammah tanpa shilah. Lafadz-lafadz
tersebut diantaranya terdapat pada lafadz ضلْه لللْكيم
ليير لdalam QS. Az-Zumar : 7. Alasan
dibaca pendek ha’ dlamir berharakat dammah pada lafadz ضلْه لللْكيم ليير لdan lafadz-lafadz
sejenisnya adalah untuk mengembalikan pada rasm mushaf yang tidak ada wawu
madnya sesudah ha’ dlamir.
Lain halnya dengan lafadz لعللييلْهdalam QS. Al-Fath : 10, disini terdapat ha’ dlamir
yang dibaca dammah walaupun jatuh setelah ya’ mati. Hal ini terkait dengan
asbabunnuzul ayat tersebut yang intinya tentang sifat memenuhi janji setia kepada
Nabi dan berjihad di jalan Allah. Sifat memenuhi janji tersebut merupakan sifat yang
luhur mulia dan luhur (rif’ah). Dan penempatan harakat dammah pada lafadz لعللييلْه
memberikan nuansa kemuliaan dan keagungan sifat (akhlak). Karena suasana
sosiologis dan keberadaan lafadz tersebut berada pada ayat yang menunjukkan
kemuliaan dan keluhuran. Sehingga ada ulama yang menyebutkan bahwa ha’ dlamir
tersebut disebut sebagai ha’ rif’ah (ha’ keluhuran).
Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat
Hafs juga terdapat bacaan-bacaan lain yang dianggap gharib, akan tetapi lebih pada
tulisan atau rasmnya (rasm utsmani) dan cara membacanya. Bacaan-bacaan
tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
Sedangkan tidak ditambahkannya alif pada waktu membaca washal pada lafadz
tersebut adalah karena nun sudah berharakat. Ada juga lafadz yang cara
membacanya hampir sama dengan lafadz َ اللناyaitu lafadz َ جلإكرناpada QS. Al-Kahfi : 38,
yakni apabila lafadz َ جلإكرنههاdibaca washal maka nun harus dibaca pendek( جلإكههرن
),sedangkan apabila dibaca waqaf maka nun tetap dibaca panjang (َ)جلإكرنهها. Hal ini
karena lafadz َ جلإكرناberasal dari lafadz َأناdan lafadz لكن.
Qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs membaca mim dengan alif (panjang) pada
lafadz ماَلكdalam QS. Al-Fatihah: 4, sedangkan beberapa Imam qira’ah yang lain
membaca tanpa alif (pendek). Alasan Imam Ashim riwayat Hafs membaca dengan
alif (panjang) adalah karena ada kaitannya dengan lafadz ماَلك الملكpada QS. Ali
Imran: 26 yaitu قل اللهم ماَلك الملكdan bukan tanpa alif yaitu ملك الملكjuga karena lafadz
ماَلكberarti dzat yang memiliki, sedangkan lafadz ملههكberarti tuan atau penguasa,
tidak seperti halnya dalam lafadz ( ملك الناَسtanpa alif) yang artinya Tuhan manusia
dan hal itu tidak sesuai dengan makna untuk kata hari pembalasan يوُم الدين.
Jadi, lafadz ماَلكpada QS. Al-Fatihah: 4 dengan lafadz ملكpada QS. An-Nas: 2
tidaklah sama dalam membaca mimnya, terutama karena perbedaan segi maknanya
sehingga dibedakan cara membacanya, walaupun beberapa Imam qira’ah selain
Imam Ashim dan Al-Kisa’i membaca kedua lafadz tersebut sama-sama pendek ( ملك
).
Lafadz ْ ضههيعُفpada QS. Ar-Rum: 54 yang lafadznya dibaca tiga kali pada ayat
tersebut adalah merupakan masdar dari lafadz ْ ضههلْعُفْ – يضههلعُفsehingga beberapa
Imam qira’ah berbeda cara membacanya. Imam Hamzah dan Syu’bah (salah satu
murid Imam Ashim) membaca dlad pada lafadz ْ ضيعُفdengan fathah, sedangkan
sebagian Imam qira’ah yang lainnya dengan dammah.
Adapun Imam Hafs, membaca dlad pada lafadz ْ ضههيعُفdengan fathah dan
dammah. Hal ini disebabkan karena dalam ilmu sharaf, lafadz ْضههلْعُفْ – يضههلعُف
mempunyai dua masdar yaitu lafadz ْضيعُف
لdan lafadz ْضيعُفْ ل, seperti halnya lafadz فقر
yang juga mempunyai dua masdar yaitu lafadz لفقرdan lafadz فلْيقر. Sehingga menurut
ي
qira’ah Imam Hafs huruf dlad pada lafadz ْ ضيعُفboleh dibaca fathah dan boleh dibaca
dammah.