Anda di halaman 1dari 7

Perbedaan bacaan-bacaan dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs dengan Imam

qira’ah yang lain adalah lebih pada letak bacaan-bacaan tersebut. Berikut
penjelasan tentang bacaan gharib menurut Imam Ashim riwayat Hafs :

1.) Imalah

Imalah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz ‫ أللماَلل‬yaitu ‫ أللماَلل – ليإمييلْل – إإلماَللةة‬yang
artinya memiringkan atau membengkokan, sedangkan menurut istilah yaitu
memiringkan fathah kepada kasrah atau memiringkan alif kepada ya’. Bacaan
imalah banyak dijumpai pada qira’ah Imam Hamzah dan Al-Kisa’i, diantaranya pada
lafadz-lafadz yang diakhiri oleh alif layyinah, contoh: َ‫ لْهههلدى‬،ٰ‫ لسههججى‬،ٰ‫ضههجحىٰ لقجلههى‬ ‫ال ض‬, .
Sedangkan pada riwayat Imam Hafs hanya ada satu lafadz yang harus dibaca
imalah yaitu pada lafadz َ‫ لميججرىٰلها‬dalam QS. Hud: 41 :
‫لوُلقاَلل ايرلكلْبوُيا إفييلهاَ إبيسم ر‬
‫اإ لميجرجىٰلهاَ لوُلْميرجسلهاَ ٓ إإرن لربَبىٰ لللغلْفوُمر رر إ‬
‫حيمم‬ ‫إ‬

Dalam ilmu qira’ah, ada satu bacaan yang hampir mirip dengan bacaan imalah, yaitu
bacaan taqlil yang termasuk dalam qira’ah imam Warsy. Khususnya pada lafadz
yang berwazan ٰ‫ لْفعُلى‬،ٰ‫ إفعُلى‬،ٰ‫لفعُلى‬, namun bacaan taqlil lebih mendekati fathah seperti
halnya bunyi suara “re” pada kata “mereka”.

Sebab-sebab di-Imalahkannya lafadz “َ‫ ”لميججرىٰلهههههها‬diantaranya adalah untuk


membedakan antara lafadz “َ‫ ”لميججرىٰلها‬yang artinya berjalan di darat dengan lafadz “
َ‫ ”لميججرىٰلها‬yang artinya berjalan di laut. Dalam salah satu kamus bahasa arab dijelaskan
bahwa lafadz “َ‫ ”لميججرىٰلها‬berasal dari lafadz “َ‫ ”لججرى‬yang artinya berjalan atau mengalir
dan lafadz tersebut dapat dipakai dalam arti berjalan di atas daratan maupun
berjalan di atas lautan (air), namun kecenderungan perjalanan di permukaan laut
(air) tidak stabil seperti halnya di daratan. Terkadang diterjang ombak kecil dan
besar atau terhempas angin, sehingga sangat tepat apabila lafadz “َ‫ ”لميججرىٰلها‬tersebut
di-Imalahkan.

2.) Isymam

Isymam artinya mencampurkan dammah pada sukun dengan memoncongkan


bibir atau mengangkat dua bibir. Dalam qira’ah riwayat Hafs, Isymam terdapat pada
lafadz “َ‫ ”لل لتأيلمرنهها‬yaitu pada waktu membaca lafadz tersebut, gerakan lidah seperti
halnya mengucapkan lafadz “َ‫ ”لل لتأيلملْنلنهها‬sehingga hampir tidak ada perubahan bunyi
antara mengucapkan lafadz “َ‫ ”لل لتأيلمرنا‬dengan mengucapkan “َ‫”لل لتأيلملْنلنا‬. Dengan kata lain,
asal dari lafadz “َ‫ ”لل لتأيلمرنا‬adalah lafadz “َ‫”لل لتأيلملْنلنا‬. Kalau diteliti lebih dalam, ternyata rasm
utsmani hanya menulis satu nun yang bertasydid. Ada pertanyaan muncul, dimana
letak dammahnya?sehingga untuk mempertemukan kedua lafadz tersebut dipilihlah
jalan tengah yaitu bunyi bacaan mengikuti rasm, sedangkan gerakan bibir mengikuti
lafadz asal.

Dalam qira’ah imam Ibnu Amir riwayat As-Susy, bacaan isymam dikenal dengan
sebutan idgham kabir, yaitu bertemunya dua huruf yang sama dan sama-sama
hidup lalu melebur menjadi satu huruf bertasydid. Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat
Hafs, hanya dikenal satu idgham saja, yaitu idgham shaghir yakni mengidghamkan
dua huruf yang sama yang salah satunya mati. Menurut bahasa, bahwa lafadz “‫لل‬
َ‫ ”لتأيلمرنهها‬dapat difahami berasal dari lafadz “َ‫ ”لل لتأيلملْنلنهها‬yang terdapat dua nun yang
diidharkan, nun yang pertama di rafa’kan dan yang kedua dinashabkan. Nun yang
pertama dirafa’kan karena termasuk fi’il mudlari yang tidak kemasukan “amil
nawashib” maupun jawazhim.

Baca: Pendapat Para Ulama Tentang Rasm Utsmani

3.) Saktah

Saktah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz ‫ت‬ ْ‫ – لْسههلْكيوُةتاَ لييسههلْك ل‬yang
‫ لسههلك ل‬- ‫ت‬
artinya diam, tidak bergerak. Sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah, saktah ialah
berhenti sejenak sekedar satu alif tanpa bernafas. Dalam qira’ah Imam Ashim
riwayat Hafs bacaan saktah terdapat di empat tempat yaitu : QS. Al-Kahfi: 1, QS.
Yaasiin: 52, QS. Al-Qiyamah: 27 dan QS. Al-Muthafifin: 14.

Saktah pada QS. Al-Kahfi: 1, menurut segi kebahasaan susunan kalimatnya


sudah sempurna. Dengan kata lain, jika seorang qari’ membaca waqaf pada lafadz
َ‫إعلوُةجا‬, sebenarnya sudah tepat karena sudah termasuk waqaf tamm. Namun apabila
dilihat dari kalimat sesudahnya, ternyata ada lafadz َ‫ لقبَيلمهها‬sehingga arti kalimatnya
menjadi rancu atau kurang sempurna.

Lafadz َ‫ لقبَيلما‬bukanlah menjadi sifat/na’at dari lafadz َ‫إعلوُةجا‬, melainkan menjadi hal
atau maf’ul bihnya lafadz lafadz َ‫إعلوُةجا‬. Apabila lafadz َ‫ لقبَيلما‬menjadi na’atnya lafadz َ‫إعلوُةجا‬
akan mempunyai arti : “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang
bengkok serta lurus”. Sedangkan apabila menjadi hal atau maf’ul bih akan menjadi :
“Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok, melainkan
menjadikannya sebagai ajaran yang lurus “. Menurut Ad-Darwisy, kata َ‫لقبَيةمههها‬
dinashabkan sebagai hal (penjelas) dari kalimat َ‫ لوُللههيم لييجلعُههيل للههلْه إعلوُةجهها‬, sedang Az-
Zamakhsyari berpendapat bahwa kata tersebut dinashabkan lantaran menyimpan
fi’il berupa ” ‫“ لجلعُلللْه‬. Berbeda juga dengan pendapat Abu Hayyan, menurutnya kata َ‫لقبَيةما‬
itu badal mufrad dari badal jumlah “َ‫“ لوُلليم لييجلعُيل لللْه إعلوُةجا‬. Tidak mungkin seorang qari’
memulai bacaan (ibtida’) dari َ‫لقبَيةما‬, sebagaimana juga tidak dibenarkan meneruskan
bacaan (washal) dari ayat sebelumnya. Dengan pertimbangan alasan-alasan diatas,
baik diwaqafkan maupun diwashalkan sama-sama kurang tepat, maka diberikanlah
tanda saktah.

Pada saktah QS. Yaasiin: 52 di dalam kalimat: ‫إمين لميرلقإدلناَ سكتة لهلذا لماَ لوُلعلد الرريحلملْن‬. Menurut
Ad-Darwisy lafadz ‫ جهههلذا‬itu mubtada’ dan khabarnya adalah lafadz ‫ لمههاَ لوُلعههلد الرريحلمههلْن‬.
Berbeda halnya dengan pendapat Az-Zamakhsyari yang menjadikan lafadz ‫ جهلذا‬itu
na’at dari ‫لميرلقههإد‬, sedangkan َ‫ لمهها‬sebagai mubtada’ yang khabarnya tersimpan, yaitu
lafadz ‫ حههق‬atau ‫جهههلذا‬. Dari segi makna, kedua alasan penempatan saktah tersebut
sama-sama tepat. Pertama, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan:
“Siapakah yang membangkitkan dari tempat tidur kami (yang) ini. Apa yang
dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Kedua, orang yang
dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan kami
dari tempat tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini
pasti benar”. Dengan membaca saktah, kedua makna yang sama-sama benar
tersebut bisa diserasikan, sekaligus juga untuk memisahkan antara ucapan malaikat
dan orang kafir.

Adapun lafadz ‫ لمين‬dalam QS. Al-Qiyamah: 27 pada kalimat ‫ لمين سكتة لراقق‬dan lafadz ‫لبيل‬
dalam QS. Al-Muthafifin: 14 pada kalimat ‫ لبيل سهكتة لرالن‬adalah untuk menjelaskan fungsi
‫ لمين‬sebagai kata tanya dan fungsi ‫ لبيل‬sebagai penegas dan juga untuk memperjelas
idharnya lam dan nun, sebab apabila lam dan nun bertemu dengan ra’ seharusnya
dibaca idgham, namun karena lafadz ‫ لمين‬dan ‫ لبيل‬dalam kalimat ‫ لمين سههكتة لراقق‬dan ‫لبيل سههكتة لرالن‬
mempunyai makna yang berbeda, maka perlu dipisahkan (diidharkan) dengan waqaf
saktah.

Di samping itu, Imam Ashim juga menganjurkan membaca saktah, pertama, pada
akhir QS. Al-Anfaal:75 dan permulaan QS. At-Taubah. Alasannya secara bahasa
dipakai untuk memilah dua surat yang berbeda yang mana permulaan surat At-
Taubah tidak terdapat atau diawali dengan basmalah. Kedua, pada QS. Al-Haqqah:
‫رهلل ل‬.
28-29 dimaksudkan untuk membedakan dua ha’ yakni ha’ saktah ‫ لماَلإلييه‬dan ha’ fi’il ‫ك‬

4.) Tashil

Tashil menurut bahasa artinya memberi kemudahan, keringanan atau


menyederhanakan hamzah qatha’ yang kedua, adapun menurut istilah qira’ah
artinya membaca antara hamzah dan alif . Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs
hanya ada satu bacaan tashil yaitu pada QS. Fusshilat: 44

... ٰ‫ت جاجيلْتلْهۥُۥ ٓ جءاجععججمَمىى لوُلعلرإبىى‬ َ‫لوُلليوُ لجلعُيلجنلْه قلْيرلءاةناَ أليعلجإمةيياَ لرلقاَلْلوُاا لليوُلل فلْ ب‬
‫صلل ي‬

Alasan lafadz ٰ‫ لءاليعلجإمىى‬dibaca tashil, karena apabila ada dua hamzah qatha’ bertemu
dan berurutan pada satu lafadz, bagi lisan orang Arab merasa berat
melafadzkannya, sehingga lafadz tersebut bisa ditashilkan (diringankan).

5.) Naql

Naql menurut bahasa berasal dari lafadz ‫ لنلقلل – ليينإقلْل – لنيقةل‬yang artinya memindah,
sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah artinya memindahkan harakat ke huruf
sebelumnya. Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu bacaan naql yaitu
lafadz ‫س ايلإيسلْم‬
‫ إبيئ ل‬pada QS. Al-Hujurat: 11. Alasan dibaca naql pada lafadz ‫ ايلإيسلْم‬adalah
karena adanya dua hamzah washal, yakni hamzah al ta’rif dan hamzah ismu yang
mengapit lam, sehingga kedua hamzah tersebut tidak terbaca apabila disambung
dengan kata sebelumnya. Faidahnya bacaan naql ialah untuk memudahkan dalam
mengucapkannya atau membacanya.

6.) Badal (Mengganti)

Badal menurut bahasa artinya mengganti, mengubah, sedangkan maksud badal


disini adalah mengganti huruf hijaiyah satu dengan huruf hijaiyah lainnya. Diantara
lafadz-lafadz yang di badal dalam Al-Qur’an menurut Imam Ashim riwayat Hafs
yaitu :

1. Badal ‫ ء‬dengan (‫ت ايئلْتيوُإنيي‬


‫ي )إفي الرسجمجوُ إ‬

Yaitu mengganti hamzah mati dengan ya’, sebagian besar imam qira’ah sepakat
mengganti hamzah qatha’ yang tidak menempel dengan lafadz sebelumnya dan
jatuh sesudah hamzah washal dengan alif layyinah (َ‫)ى‬. Contoh pada QS. Al-Ahqaf :
4,
‫ت ٓ ٱيئلْتوُإنىٰ إبإكجلت ب ق‬
ٍۢ…‫ب‬ ‫…ٍۢأليم لللْهيم إشير ك م‬
‫ك إفىٰ ٱلرسجمجوُ إ‬

Cara membacanya, yaitu apabila seorang qari’ membaca waqaf pada lafadz ( ٰ‫إفى‬
‫ ) ٓٱلرسجلمجلوُ إ‬maka huruf ta’ mati dan hamzah mati diganti ya’ (ٰ‫ت ٓ إاييلْتوُإنى‬
‫ت‬ ‫ ) إفىٰ ٱلرسجمجوُ ي‬sedangkan
apabila dibaca washal tidak ada perubahan.

ْ‫ لوُلييب ص ل‬dan ‫صلطةة‬


ْ‫ص ل‬
2. Badal ‫ ص‬dengan ‫ط( س‬ ‫) لب ص ي‬

Yaitu mengganti shad dengan siin, sebagian imam qira’ah termasuk Imam Ashim
mengganti ‫ ص‬dengan ‫ س‬pada lafadz ‫ط‬ ْ‫ لوُلييب ص ل‬dalam QS. Al-Baqarah : 245 dan lafadz
ْ‫ص ل‬
‫ لب ص ي‬dalam QS. Al-A’raf : 69. Sebab-sebab digantinya huruf shad dengan siin pada
‫صلطةة‬
kedua lafadz tersebut karena mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu ‫ط‬ ْ‫لبلسلط – لييبلْس ل‬.

Sedangkan pada lafadz ‫صههييإطقر‬ ‫ إبلْم ل‬dalam QS. Al-Ghasyiyah : 22, huruf ‫ ص‬tetap
dibaca shad karena sesuai dengan tulisan dalam mushaf (rasm utsmani) dan
menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat
isti’la’. Adapun pada lafadz ‫صييإطلْروُلن‬ ‫ ٱيللْم ص ل‬dalam QS. At-Thur : 37, huruf ‫ ص‬boleh tetap
dibaca shad dan boleh dibaca siin karena, pertama, mengembalikan pada asal
lafadznya, yaitu ‫ لسههييلطلر – لْيلسههييإطلْر‬, kedua, menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf
sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’.

7.) Shilah

Menurut ijma’ para ulama qurra’, bahwa apabila ada ha’ dlamir yang tidak diawali
dengan huruf mati, maka ha’ dlamir tersebut harus dibaca panjang dan perlu
ditambahkan huruf mad setelahnya, alasannya untuk menguatkan huruf ha’ dlamir
tersebut karena tidak alasan yang mengharuskan membuang huruf setelah ha’
dlamir ketika huruf sebelumnya hidup (berharakat). Namun para ulama qurra’ kecuali
Ibnu Katsir kurang senang menggabungkan dua huruf mati yang dipisah oleh huruf
lemah (ha’), sehingga mereka membuang huruf mad dan memanjangkan ha’
dlamirnya, contoh ‫ إبإه‬،‫لللْه‬, ini adalah madzhab imam Sibawaih. Sedangkan apabila ha’
dlamir tersebut diawali dengan huruf yang mati (sukun) maka harus dibaca pendek,
contoh ‫ إإللييإه‬،‫إمينلْه‬.

Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu ha’ dlamir yang tetap dibaca
panjang walaupun diawali dengan huruf mati, yaitu pada kalimat َ‫ لوُلييخل لْيد إفييهه لْملهاَةنا‬dalam
QS. Al-Furqan : 69. Pada masalah ini, Imam Ashim riwayat Hafs sama bacaannya
dengan Ibnu Katsir, yakni membaca shilah ha’ (‫) إفييهه‬. Karena diketahui bahwa ha’
termasuk huruf lemah seperti halnya hamzah, sehingga apabila ha’ berharakat
kasrah, maka sebagai ganti dari wawu mati adalah ya’ dimaksudkan untuk
menguatkan huruf ha’, sehingga menjadi ‫ إفييإهي‬. Dalam literatur orang Arab sendiri
jarang sekali ditemui wawu mati yang diawali kasrah.

Alasan ha’ dibaca panjang pada lafadz ‫ إفييهه‬dalam QS. Al-Furqan : 69 adalah untuk
mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu ‫ ه ه‬berasal dari lafadz ُ‫ لْهههلو‬dan ketika
disambung dengan lafadz ‫ إفيي‬akan menjadi ُ‫ إفييلْهلو‬, namun karena ha’ dlamir tersebut
diawali dengan ya’ mati yang sebenarnya identik dengan kasrah, sehingga harakat
ha’ perlu disesuaikan dengan harakat sebelumnya dan merubah huruf mad berupa
wawu menjadi ya’ untuk menyesuaikan dengan kasrah maka menjadi ‫ إفييإهي‬dan huruf
mad berupa ya’ dirubah dengan kasrah berdiri, jadilah lafadz ‫ إفييهه‬. Ada juga yang
menyebutkan bahwa ha’ yang terdapat pada lafadz ‫ إفييهه‬dalam QS. Al-Furqan : 69
adalah ha’ khafdli artinya ha’ panjang yang berfungsi merendahkan, hal ini sesuai
dengan konteks ayat yang menghendaki dipanjangkannya huruf ha’ dlamir tersebut.

Ada juga ha’ dlamir yang dibaca pendek walaupun diawali dengan huruf mati yaitu
dengan membaca ha’ dlamir berharakat dammah tanpa shilah. Lafadz-lafadz
tersebut diantaranya terdapat pada lafadz ‫ضلْه لللْكيم‬
‫ ليير ل‬dalam QS. Az-Zumar : 7. Alasan
dibaca pendek ha’ dlamir berharakat dammah pada lafadz ‫ضلْه لللْكيم‬ ‫ ليير ل‬dan lafadz-lafadz
sejenisnya adalah untuk mengembalikan pada rasm mushaf yang tidak ada wawu
madnya sesudah ha’ dlamir.

Lain halnya dengan lafadz ‫ لعللييلْه‬dalam QS. Al-Fath : 10, disini terdapat ha’ dlamir
yang dibaca dammah walaupun jatuh setelah ya’ mati. Hal ini terkait dengan
asbabunnuzul ayat tersebut yang intinya tentang sifat memenuhi janji setia kepada
Nabi dan berjihad di jalan Allah. Sifat memenuhi janji tersebut merupakan sifat yang
luhur mulia dan luhur (rif’ah). Dan penempatan harakat dammah pada lafadz ‫لعللييلْه‬
memberikan nuansa kemuliaan dan keagungan sifat (akhlak). Karena suasana
sosiologis dan keberadaan lafadz tersebut berada pada ayat yang menunjukkan
kemuliaan dan keluhuran. Sehingga ada ulama yang menyebutkan bahwa ha’ dlamir
tersebut disebut sebagai ha’ rif’ah (ha’ keluhuran).

Baca juga: Kumpulan Hadits Tentang Qiro'ah Sab'ah

Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat
Hafs juga terdapat bacaan-bacaan lain yang dianggap gharib, akan tetapi lebih pada
tulisan atau rasmnya (rasm utsmani) dan cara membacanya. Bacaan-bacaan
tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Lafadz-lafadz yang dibaca pendek ketika washal dan panjang ketika


waqaf (‫ قصر‬dan ‫)مد‬

aLafadz ( َ‫) اججنا‬

Sebab-sebab lafadz َ‫ اللنا‬dibaca pendek ketika washal (‫ )اللن‬kecuali lafadz ,‫ اللناَلْبيوُا‬,‫ب‬


‫اللناَ ل‬
‫ ايلللناَإملل‬,‫اللناَإسري‬, adalah karena fungsi alif tersebut hanya sebagai penjelas harakat seperti
halnya menambahkan ha’ ketika waqaf (ha’ sakt). Disamping itu juga, apabila ada
isim yang hurufnya sedikit lalu di baca waqaf dengan sukun, maka suaranya akan
terlihat janggal, sehingga ditambahkanlah alif supaya suara nun tetap sebagaimana
asal lafadznya.

Sedangkan tidak ditambahkannya alif pada waktu membaca washal pada lafadz
tersebut adalah karena nun sudah berharakat. Ada juga lafadz yang cara
membacanya hampir sama dengan lafadz َ‫ اللنا‬yaitu lafadz َ‫ جلإكرنا‬pada QS. Al-Kahfi : 38,
yakni apabila lafadz َ‫ جلإكرنهها‬dibaca washal maka nun harus dibaca pendek( ‫جلإكههرن‬
),sedangkan apabila dibaca waqaf maka nun tetap dibaca panjang (َ‫)جلإكرنهها‬. Hal ini
karena lafadz َ‫ جلإكرنا‬berasal dari lafadz َ‫أنا‬dan lafadz ‫لكن‬.

bLafadz ‫ جقجوامَرعيجرا‬،َ‫ الظظننعوجنا‬،‫سعوجل‬


‫الرر ن‬

Sebagian ulama qurra’ membaca lafadz-lafadz diatas dengan harakat tanwin,


sedangkan qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs tidak memakai harakat tanwin pada
lafadz-lafadz tersebut. Dan apabila membaca waqaf pada lafadz-lafadz tersebut,
qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs tetap menyertakan alif atau dibaca panjang,
sedangkan tidak menyertakan (membaca) alif atau dibaca pendek apabila huruf
terakhir lafadz-lafadz tersebut diwashalkan. Hal ini disebabkan karena
mencantumkan alif pada lafadz-lafadz tersebut adalah mengikuti rasm utsmani dan
juga lafadz-lafadz tersebut masuk dalam sighat muntahal jumu’ yang termasuk isim
ghairu munsharif sehingga tetap mencantumkan alif tidak ditanwin. Sedangkan
lafadz ‫ السههبيل‬،‫ الرسههوُل‬،َ‫ الظنوُنهها‬walaupun bukan termasuk jama’, namun lafadz-lafadz
tersebut disesuaikan dengan sya’ir yang pada akhir ba’itnya terdapat fathah yang
dipanjangkan dengan alif. Sehingga lafadz-lafadz tersebut tetap dibaca panjang
ketika waqaf dan dibaca pendek ketika washal.

cLafadz ‫ ماَلك‬pada QS. Al-Fatihah: 4 dan ‫ ملك‬pada QS. An-Nas: 2

Qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs membaca mim dengan alif (panjang) pada
lafadz ‫ ماَلك‬dalam QS. Al-Fatihah: 4, sedangkan beberapa Imam qira’ah yang lain
membaca tanpa alif (pendek). Alasan Imam Ashim riwayat Hafs membaca dengan
alif (panjang) adalah karena ada kaitannya dengan lafadz ‫ ماَلك الملك‬pada QS. Ali
Imran: 26 yaitu ‫ قل اللهم ماَلك الملك‬dan bukan tanpa alif yaitu ‫ ملك الملك‬juga karena lafadz
‫ ماَلك‬berarti dzat yang memiliki, sedangkan lafadz ‫ ملههك‬berarti tuan atau penguasa,
tidak seperti halnya dalam lafadz ‫( ملك الناَس‬tanpa alif) yang artinya Tuhan manusia
dan hal itu tidak sesuai dengan makna untuk kata hari pembalasan ‫ يوُم الدين‬.

Jadi, lafadz ‫ ماَلك‬pada QS. Al-Fatihah: 4 dengan lafadz ‫ ملك‬pada QS. An-Nas: 2
tidaklah sama dalam membaca mimnya, terutama karena perbedaan segi maknanya
sehingga dibedakan cara membacanya, walaupun beberapa Imam qira’ah selain
Imam Ashim dan Al-Kisa’i membaca kedua lafadz tersebut sama-sama pendek ( ‫ملك‬
).

Baca: Rahasia Munculnya Bacaan Qiro'ah Sab'ah

2. Dibolehkannya membaca fathah atau dammah pada ‫ ض‬dalam lafadz ْ‫ضععف‬

Lafadz ْ‫ ضههيعُف‬pada QS. Ar-Rum: 54 yang lafadznya dibaca tiga kali pada ayat
tersebut adalah merupakan masdar dari lafadz ْ‫ ضههلْعُفْ – يضههلعُف‬sehingga beberapa
Imam qira’ah berbeda cara membacanya. Imam Hamzah dan Syu’bah (salah satu
murid Imam Ashim) membaca dlad pada lafadz ْ‫ ضيعُف‬dengan fathah, sedangkan
sebagian Imam qira’ah yang lainnya dengan dammah.

Adapun Imam Hafs, membaca dlad pada lafadz ْ‫ ضههيعُف‬dengan fathah dan
dammah. Hal ini disebabkan karena dalam ilmu sharaf, lafadz ْ‫ضههلْعُفْ – يضههلعُف‬
mempunyai dua masdar yaitu lafadz ْ‫ضيعُف‬
‫ ل‬dan lafadz ْ‫ضيعُف‬ْ‫ ل‬, seperti halnya lafadz ‫فقر‬
yang juga mempunyai dua masdar yaitu lafadz ‫ لفقر‬dan lafadz ‫فلْيقر‬. Sehingga menurut
‫ي‬
qira’ah Imam Hafs huruf dlad pada lafadz ْ‫ ضيعُف‬boleh dibaca fathah dan boleh dibaca
dammah.

3. Rahasia permulaan Surat At-Taubah


Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Dalam Mushaf Al-Qur’an rasm
usmani, semua permulaan surat diawali dengan basmalah kecuali surat At-Taubah.
Hal ini karena ada beberapa pendapat yang terkait dengan tidak ditulisnya
basmalah pada permulaan surat At-Taubah. Pendapat pertama, bahwa Sahabat
Ubay bin Ka’ab berkata : Rasulullah saw. pernah menyuruh kami menulis basmalah
di awal setiap surat dalam Al-Qur’an, dan beliau tidak memerintahkan kami
menulisnya di awal surat At-Taubah. Maka sebab itu, surat tersebut digabungkan
dengan surat Al-Anfal dan hal itu lebih utama karena adanya keserupaan diantara
keduanya. Sedangkan pendapat yang kedua, bahwa Imam Ashim berkata:
Basmalah tidak ditulis di awal surat At-Taubah, disebabkan karena bacaan
basmalah itu berisi tentang rahmat atau kasih sayang, sedangkan surat At-Taubah
merupakan surat tentang azab atau siksaan kepada orang-orang musyrik.

Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Adapun hukum tentang


membaca basmalah pada permulaan surat At-Taubah diantaranya adalah, Imam
Ibnu Hajar dan al-Khatib mengharamkan membaca basmalah di awal surat At-
Taubah dan memakruhkan membacanya di tengah surat. Sedangkan Imam Ramli
dan para pengikutnya memakruhkan membaca basmalah di awal surat At-Taubah
dan mensunnahkan membacanya di tengah surat sebagaimana surat-surat dalam
Al-Qur’an yang lain.

Anda mungkin juga menyukai