Anda di halaman 1dari 8

BAB GHARIB

Dalam membaca Kitab Suci Al-Qur’an ada beberapa hukum bacaan yang asing, di mana cara
membacanya tidak seperti pada tulisan dalam kalimat Al-Qur’an itu sendiri. Kemudian, hukum-
hukum bacaan seperti ini disebut sebagai hukum bacaan Gharib.

Pengertian Gharib
Menurut bahasa Garib berasal dari kata “garaba” yang artinya asing. Sedangkan menurut istilah,
hukum bacaan gharib bisa dikatakan merupakan bacaan yang tidak biasa di dalam Al-Qur’an karena
samar, baik dari segi huruf, lafadz, maupun maknanya.
Tentu saja karena bacaan ini asing atau tidak biasanya, maka akan dikhawatirkan terjadi kesalahan
dalam membaca Al-Qur’an, jadi sangatlah penting untuk dipelajari dan diketahui sebagai bentuk
adab dan tata krama dalam membaca Al-Qur’an.

Macam-Macam Hukum Bacaan Gharib


Menurut salah satu pakar ahli qira’ah Al-Qur’an, Syekh Abu Bakar Ashim bin Abin Najud atau
lebih dikenal Imam Ashim, hukum bacaan gharib dengan riwayat Imam Hafs, sebagaimana berikut
ini :

1. IMALAH
Adapun contoh hukum bacaan imalah, berdasarkan riwayat Imam Hafs, di dalam Al-Qur’an hanya
terletak pada satu tempat yaitu pada Surat Hud ayat 41 :

Cara membacanya yaitu dengan mengganti bacaan “ro” menjadi “re” (agak ditekan dan
disamarkan), sehingga terdengar seolah dibaca “majreha”.

2. ISYMAM
Dalam riwayat Imam Hafs, hukum bacaan isymam terletak pada satu tempat di dalam Al-Qur’an,
yaitu pada Surat Yusuf ayat 11 :

Lafadz asli :

Seperti tulisannya yaitu “laa ta’manna”, namun karena lafadz aslinya adalah “laa ta’manuna” maka
huruf “nu” (jika dibaca pasti bibir mecucu) yang disembunyikan cukup diisyaratkan dengan mecucu
atau memanjangkan kedepan.
Cara membacanya :

Jadi, cara membacanya adalah “laa ta’manna” sambil mecucu atau memanjangkan kedua bibir ke
depan pada pertengahan gunnah “manna”.

3. TASHIL
Misalnya dalam Al-Qur’an pada Surat Fushilat ayat 44 :
Lafadz asli :

Cara membacanya :

Cara membacanya adalah dengan menyambungkan dua hamzah qatha’ sehingga dibaca panjang
“aa’jamiyyun”. Ini dikarenakan dalam lafadz “aa'jamiyun” terdapat 2 hamzah qatha’ dalam terletak
berurutan, sedangkan llidah orang Arab cukup berat untuk melafadzkan “a’a’jamiyyun”, sehingga
dibaca panjang “aa’jamiyyun”

4. NAQAL
Dalam riwayat Imam Hafs, hukum bacaan naql terletak pada satu tempat di dalam Al-Qur’an, yaitu
pada Surat Al-Hujurat ayat 11 :

Cara membacanya :

Dalam kaidah ilmu qira’ah pada lafadz “bi'salismu” terdapat 2 hamzah washal, yaitu hamzah pada
al-ta’rif dan hamzah pada lafadz “ismu”, sehingga kedua hamzah washal tersebut tidak perlu dibaca
ketika disambungkan dengan kalimat sebelumnya. Jadi, cara membacanya bukan “bi’sal ismu”,
tetapi “bi’salismu”.

5.BADAL
Adapun macam-macam hukum bacaan badal yang tergolong bacaan gharib atau asing terbagi
menjadi 4 lafadz, yaitu :

Pertama, lafadz “ii’tuunii” hanya terdapat pada Surat Al-Ahqaf ayat 4 :

Lafadz asli :

Cara membaca :

Cara membacanya yaitu apabila diwaqafkan pada lafadz “as-samawat”, maka dibaca “ii’tuunii”,
apabila diwashalkan maka tetap dibaca sama seperti tulisan pada kalimatnya “fis samawati’ tuunii”.

Lebih jelas bisa dilihat pada hukum bacaan mad badal, baca lebih lanjut : Hukum Bacaan Mad
Badal dan Contohnya.

Kedua, lafadz “yabsuthu”, misalnya pada Surat Al-Baqarah ayat 245 :

Ketiga, lafadz “bashthoh”, misalnya pada Surat Al-A’raf ayat 69 :


Cara membaca bacaan kedua dan ketiga yaitu dengan menggunakan huruf sin, bukan huruf shod.

Keempat, lafadz “mushoitirin”, misalnya pad Surat Al-Ghasyiyah ayat 22 :

Cara membacanya yaitu dengan menggunakan huruf shod, bukan huruf sin.

6. SAKTAH
Saktah merupakan salah satu bacaan waqof yang juga tergolong bacaan gharib. Waqaf saktah hanya
terdapat pada 4 tempat di dalam Al-Qur’an, yaitu :

Surat Yasin ayat 52 :

Surat Al-Kahfi ayat 1 - 2 :

Surat Al-Qiyamah ayat 27 :

Surat Al-Muthaffifin ayat 12 :

Cara membacanya yaitu dengan waqaf berhenti tanpa mengambil nafas selama sekitar 2 sampai 4
harakat kemudian melanjutkan kalimat selanjutnya.

7. MAD DAN QASHR


Menurut Imam Ashim yang diriwayat Imam Hafs, bahwa ada beberapa bacaan yang tertulis panjang
tetapi dibaca pendek, tertulis pendek tetapi dibaca panjang. Semua itu merupakan bacaan gharib,
sebagaimana berikut ini :

1. Bacaan Pendek Pada Lafadz “Ana”


Semua lafadz “ana” (dhomir atau kata ganti orang pertama tunggal, yang berarti aku) dalam Al-
Qur’an menurut riwayat Imam Hafs dibaca pendek meskipun tulisan pada kalimatnya adalah
panjang. Misalnya pada surat Al-Kafirun ayat 4 :

2. Bacan Pendek Pada Lafadz Lain


Surat Ad-Dahr (Al-Insan) ayat 15 - 16 :

Surat Al-Ahzab ayat 10 :

Surat Al-Ahzab ayat 66 :

Cara Membaca :
Ketiga lafadz tersebut jika dibaca washal (terus) maka harus dibaca pendek :
- -
Tetapi jika diwaqofkan maka harus dibaca sukun :
- -
3. Bacaan Penjang atau Pendek Pada Lafadz "Malik"
Para ulama' ahli qira'ah memiliki perbedaan dalam membaca lafadz "malik", misalnya salah satu
contoh pada Surat Al-Fatihah ayat 4 :

Cara membacanya boleh dibaca seperti dibawan ini :


-
Banyak ulama; ahli qira'ah yang memendekkan huruf mim. Sedangkan Imam Ashim dalam riwayat
Imam Hafs memanjangkannya, dengan alasan bahwa lafadz "malik" pada Surat Ali Imron ayat 26
dipanjangkan mimnya dengan alif.

Selain itu, alasan lainnya Imam Ashim adalah lafadz "malik" dengan alif (dibaca panjang) berarti
Tuhan yang memiliki, sedangkan lafadz "malik" dengan tanpa alif (dibaca pendek) berarti penguasa.

8. SHILAH
Adapun hukum bacaan shilah yang termasuk bacaan gharib, bisa dilihat pada keterangan Hukum
Bacaan Mad Shilah (Mad Shilah Thawilah dan Mad Shilah Qashirah). (Pada bagian terakhir /
bawah tulisan ini.)

9. RUM 54
Surat Ar-Rum ayat 54 :

Dalam surat tersebut ada 3 lafadz "dho'fi" yang diulang-ulang. Para ulama' ahli qira'ah sendiri
berbeda pendapat dalam memberikan harakat pada huruf dhod, ada yang berharakat fathah dan ada
yang berharakat dhommah.
Imam Hamzah, Imam Syu'bah (kedua periwayat Imam Ashim), dan imam lainnya memberi harakat
fathah huruf dhod pada lafadz itu. Sedangkan Imam Hafs (juga periwayat Imam Ashim)
membolehkan harakat fathah dan dhommah pada huruf dhod.

10. Mayoritas para ulama' tidak menganjurkan membaca basmallah saat membaca Surat At-Taubah,
bukan berarti haram, hanya tidak dianjurkan. Adapun alasannya bisa dilihat sebagaimana berikut
: Mengapa Surat At-Taubah Tak Dianjurkan Membaca Basmallah ?.
Hukum Bacaan Mad Shilah Qashirah dan Mad Shilah Thawilah Beserta
Contohnya
Pada kesempatan yang mulia ini, mari kita belajar lebih lanjut tentang ilmu tajwid, yaitu mad shilah
yang merupakan bagian dari mad far’i. Untuk penjelasan mengenai hukum bacaan mad shilah,
berikut penjelasan singkatnya, semoga bisa membantu :

Pengertian Mad Shilah Menurut Bahasa


Mad artinya panjang, shilah artinya sambung.

Pengertian Mad Shilah Menurut Istilah


Hukum bacaan mad yang dikira-kirakan jatuh pada ha’ dhomir (untuk laki-laki). Ha’ dhomir laki-
laki dalam bahasa arab berarti kata ganti orang ketiga laki-laki, yaitu lafadz hu dan hi ( - ).
Pembagian Mad Shilah
Mad shilah dibagi menjadi dua bagian yaitu qashirah (pendek) dan thawilah (panjang).

1. Mad Shilah Qashirah


Yaitu jika ada ha’ dhomir laki-laki (kata ganti orang ketiga laki-laki) dan huruf sebelumnya
berharakat fathah, kasrah, atau dhommah.

Contoh :

Contoh Lafadz Sebab Cara Membaca

ada ha' dhomir laki-laki dan huruf sebelumnya berharakat


la ta'hudzuhu
dhommah

ada ha' dhomir laki-laki dan huruf sebelumnya berharakat


lahu ma
fathah

ada ha' dhomir laki-laki dan huruf sebelumnya berharakat laisa kamislihi
fathah syaiun

Biasanya, ha' dhomir pada hukum bacaan mad shilah qashirah dalam Al-Qur'an cetakan
indonesia berharakat kasroh tegak atau dhommah terbalik.

Cara membacanya :
Hukum mad shilah qashirah seperti pada contoh diatas dibaca panjang 1 alif atau 2 harakat.

Menurut Imam Hafsh, ha’ dhomir laki-laki (kata ganti orang ketiga laki-laki) tidak dihukumi mad
shilah qashirah jika :

a. Huruf sebelum ha’ dhomir laki-laki berharakat sukun atau mati, maka tidak dibaca panjang,
contohnya :
Menurut Imam Hafs, ada pengecualian dalam hal ini di mana ha' dhomirnya tetap dibaca panjang,
yaitu pada potongan Surat Al-Furqan ayat 69 berikut ini, :

b. Ha’ dhomir sambung dengan huruf berharakat sukun sesudahnya, maka tidak dibaca panjang.
Contoh seperti pada potongan Surat Al-Baqarah ayat 255 berikut ini :

c. Ha’ dhomir berharakat sukun, maka tidak dibaca panjang. Contoh seperti pada potongan Surat
An-Naml ayat 28 berikut ini :

2. Mad Shilah Thawilah


Yaitu jika ada ha’ dhamir laki-laki (kata ganti orang ketiga laki-laki) bertemu dengan hamzah qatha’
(berupa alif).

Contoh :

Contoh Lafadz Sebab Cara Membaca

ada ha' dhomir laki-laki bertemu alif indahu illa

ada ha' dhomir laki-laki bertemu alif min ilmihi illa

ada ha' dhomir laki-laki bertemu alif fi robbihi an atahu

Biasanya, ha' dhomir pada hukum bacaan mad shilah thawilah dalam Al-Qur'an cetakan
indonesia berharakat fathah melengkung di atasnya.

Cara Membaca :
Hukum mad shilah thawilah seperti pada contoh diatas dibaca panjang 2,5 alif atau 5 harakat.

Mengapa Surat At-Taubah Tak Dianjurkan Membaca Basmallah ?.


Saat kita belajar mengaji Al-Qur'an, guru kita pasti tak lupa menyerukan agar dimulai dengan
bacaan basmallah di setiap surat. Namun, hal ini berbeda saat kita membaca Surat At-Taubah, guru
kita pastinya tidak menganjurkan untuk membaca basmallah, bahkan di awal Surat At-Taubah pun
tidak terdapat penulisan basamallah sebagaimana surat-surat lainnya.

Tentu saja hal ini memunculkan sebuah pertanyaan dalam pikiran, mengapa demikian ?. Nah, untuk
itu di sini ada beberapa alasan shohih dari para ulama' mengapa tidak dianjurkan membaca
basmallah Surat At-Taubah :

1. Perselisihan Mengenai Surat At-Taubah Termasuk Bagian Surat Al-Anfal


Pembukuan Al-Qur'an menjadi mushaf berlangsung pada masa Khalifah Usman bin Affan ra yang
telah disetujui dan disepakati oleh segenap sahabat Nabi SAW, yang diketuai oleh Sahabat Zaid bin
Tsabit ra.

Khalifah Usman bin Affan ra mengumpulkan banyak Hamilul Qur'an (orang-orang yang hafal Al-
Qur'an) saat itu. Proses pembukuan itu berlangsung sangat rinci dan murni, bahkan saking berhati-
hatinya, setiap ayat Al-Qur'an yang akan ditulis harus diseleksi oleh 2 orang sahabat yang langsung
mendengar ayat itu dari Nabi SAW.

Namun, terjadi perselisihan pendapat pada saat sampai pada Surat At-Taubah, yaitu perselisihan
pendapat apakah Surat At-Taubah merupakan surat mandiri atau merupakan bagian dari Surat Al-
Anfal (surat sebelum At-Taubah).

Dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan saat Sahabat Ibnu Abbas ra bertanya kepada Khalifah
Utsman bin Affan ra mengenai masalah ini, kesimpulan perselisihan pendapat antara Surat Al-Anfal
dan Surat At-Taubah terjadi karena 2 alasan, yaitu :

1. Ketika Nabi SAW menerima wahyu, maka Beliau akan memerintah sekretaris pribadi untuk
mencatat dan menempatkan letak wahyu tersebut, misalnya ayat ini ditempatkan di surat ini dan
surat ini ditempatkan di sini, dan seterusnya. Namun, sebelum Nabi SAW menjelaskan tentang
penempatan Surat At-Taubah, Beliau telah berpulang ke rahmatullah.
2. Surat Al-Anfal merupakan surat yang pertama kali di turunkan di Kota Madinah dan Surat At-
Taubah adalah surat yang terakhir diturunkan di Kota Madinah, di mana penyajian dan kisah
keduanya hampir mirip sehingga itu pun menjadikan salah satu sebab perselisihan pendapat.
3. Keputusan Bijak Khalifah Utsman bin Affan Untuk Mereda Perselisihan
Nah, untuk meredakan perselisihan para sahabat dalam menulis masalah tersebut, maka Khalifah
Utsman bin Affan ra memutuskan kebijakan untuk tidak menulis basmallah di awal Surat At-
Taubah. Akhirnya, para sahabat pun menyetujui dan menyepakati keputusan itu, sebagaimana
jawaban beliau ketika ditanya oleh Sahabat Ibnu Abbas ra dalam penjelasan Kitab Ibnu Katsir.

3. Basmallah adalah Ayat Aman, Sedangkan Surat At-Taubah adalah Surat Perang
Alasan lain yang menjadikan mengapa Surat At-Taubah tidak dianjurkan untuk membaca
basmallah adalah karena basmallah merupakan ayat rohmat dan aman, sedangkan Surat At-
Taubah adalah surat yang mengandung unsur perang, sehingga antara basmallah dan Surat At-
Taubah seolah tidak sesuai disatukan, sebagaimana dalam keterangan Kitab Tafsir Al-Maraghi.

4. Dalam Tradisi Arab, Memutuskan Perjanjian Dengan Mengirimkan Surat Tanpa


Basmallah

Surat At-Taubah merupakan Surat Madaniyyah, yaitu surat yang diturunkan di Kota Madinah,
tepatnya pada tahun 9 Hijriyyah. Surat At-Taubah ini juga dinamakan Surat Bara'ah yang artinya
Allah SWT dan Rosulullah SAW beserta kaum muslimin tidak bertanggung jawab alias lepas
tangan atas kaum musyrikin yang telah mengingkari perjanjian damai, mereka brsekongkol
dengan musuh-musuh kaum muslimin.

Awal Surat At-Taubah turun kepada Rosulullah SAW sekitar 2 bulan setengah setelah Beliau
kembali dari Perang Tabuk yang merupakan perang terakhir semasa Beliau hidup. Pada saat
musim haji, berita kaum musyrikin melakukan thawaf pun terdengar, mereka thawaf di Baitullah
dalam keadaan telanjang sebagaimana adat mereka.
Rosulullah SAW pun merasa geram dan tidak suka jika bercampuran haji dengan kaum
musyrikin yang dalam keadaan seperti itu. Kemudian Beliau memerintahkan Sahabat Abu Bakar
as sebagai amirul haj (pemimpin haji) untuk mengkondisikan ibadah haji.
Sedangkan turunnya awal Surat At-Taubah merupakan pemutusan perjanjian yang sebelumnya
diingkari oleh kaum musyrikin. Pada musim haji tersebut, Sahabat Ali bin Abi Thalib
diperintahkan untuk membacakan awal Surat At-Taubah, beliau membacakannya dengan tanpa
basmallah sebagaimana adat orang Arab jika memutuskan sebuah perjanjian maka pengiriman
surat pemutusan tanpa disertai basmallah sebagai pembuka.

Demikian itulah, salah satu alasan yang dijadikan pertimbangan mengapa membaca Surat At-
Taubah tidak dianjurkan membaca basmallah.

Anda mungkin juga menyukai