Anda di halaman 1dari 17

Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an

saifur ashaqi
Masalah Qur'aniyyah
Tuesday, 30 April 2013

Imam-imam qurra’ yang berjumlah tujuh atau biasa disebut dengan


imam qira’ahsab’ah adalah para Imam qurra’ yang paling masyhur diantara para
Imam qurra’yang lain. Diantara ketujuh imam itu ada salah satu imam qira’ah yang
paling banyak diikuti bacaannya. Beliau adalah Abu Bakar Ashim bin Abi An-Najud
atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Ashim. Imam Ashim berasal dari Kufah
dan pernah berguru pada Imam Abu Abdurrahman As-Sulami yang merupakan
murid dari Sahabat Ali bin Abi Thalib. Imam Abu Abdurrahman juga belajar Al-Qur’an
dari Zurr bin Hubaisy yang merupakan murid dari Abdullah bin Mas’ud.

Imam Ashim mengajarkan Al-Qur’an yang sanadnya berasal dari jalur sahabat Ali
bin Abi Thalib kepada muridnya yaitu Hafs bin Sulaiman (Hafs). Sedangkan sanad
yang berasal dari sahabat Abdullah bin Mas’ud, beliau mengajarkan kepada Abu
Bakar bin Iyasy Syu’bah (Syu’bah). Para Ulama yang masyhur pada
masa tabi’in banyak yang pernah berguru kepada Imam Ashim, diantaranya Hafs bin
Sulaiman, Abu Bakar bin Iyasy Syu’bah, al-A’masy, Nua’im bin Maisarah, dan Atha’
bin Abi Rabah. Diantara murid-murid Imam Ashim tersebut hanya Hafs dan Syu’bah
yang paling masyhur dan menjadi perawi utama.

Qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs mulai berkembang dan menyebar luas pada masa
pemerintahan Turki Utsmani yang didukung oleh banyaknya cetakan Al-Qur’an dari
Arab Saudi sampai menyebar ke seluruh dunia, waktu penyebarannya terutama
pada musim-musim haji. 

Gharib menurut bahasa artinya tersembunyi atau samar, sedangkan menurut istilah


Ulamaqurra’, gharib artinya sesuatu yang perlu penjelasan khusus dikarenakan
samarnya pembahasan atau karena peliknya permasalahan baik dari segi huruf,
lafadz, arti maupun pemahaman yang terdapat dalam Al-Qur’an. Adapun bacaan-
bacaan yang dianggapgharib (tersembunyi/samar) dalam qira’ah Imam Ashim
riwayat Hafs diantaranya adalah :  Imalah, Isymam,  Saktah, Tashil, Naql, Badal dan
Shilah.

Perbedaan bacaan-bacaan dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs dengan


Imam qira’ah yang lain adalah lebih pada letak bacaan-bacaan tersebut. Berikut
penjelasan tentang bacaan gharib menurut Imam Ashim riwayat Hafs :  

1.    Imalah

Imalah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz  ‫أَ َما َل‬ yaitu  ‫ة‬8


ً 8َ‫ ُل – إِ َمال‬8‫أَ َما َل – َي ِم ْي‬yang
artinya memiringkan atau membengkokan, sedangkan menurut istilah yaitu
memiringkan fathah kepada kasrah atau memiringkan alif kepada ya’.
Bacaanimalah banyak dijumpai pada qira’ah Imam Hamzah dan Al-Kisa’i,
diantaranya pada lafadz-lafadz yang diakhiri oleh alif layyinah, contoh: ،‫ َس ٰجى‬،‫ َق ٰلى‬ ‫الض ُّٰحى‬
‫هُدَ ى‬,  . Sedangkan pada riwayat Imam Hafs hanya ada satu lafadz yang harus dibaca
imalah yaitu pada lafadz ‫ َمجْ ٰرى َها‬ dalam QS. Hud: 41 :

ٰ ْ‫َو َقا َل ارْ َكبُو ْا فِ ْي َها ِبسْ ِم هَّللا ِ َمج‬


‫رى َها َومُرْ ٰس َهٓا ۚ إِنَّ َربِّى لَ َغفُو ٌر رَّ حِي ٌم‬
Dalam ilmu qira’ah, ada satu bacaan yang hampir mirip dengan bacaan imalah, yaitu
bacaan taqlil yang termasuk dalam qira’ah imam Warsy. Khususnya pada lafadz
yang berwazan ‫ فُعلى‬،‫ فِعلى‬،‫ َفعلى‬, namun bacaan taqlil lebih mendekati fathah seperti
halnya bunyi suara “re” pada kata “mereka”. 

Sebab-sebab di-Imalahkannya lafadz “‫ ” َمجْ ٰرى َها‬diantaranya adalah untuk


membedakan antara lafadz “‫ ” َمجْ ٰرى َها‬yang artinya berjalan di darat dengan lafadz “
‫ ” َمجْ ٰرى َها‬yang artinya berjalan di laut. Dalam salah satu kamus bahasa arab dijelaskan
bahwa lafadz “‫ ” َمجْ ٰرى َها‬berasal dari lafadz “‫”ج ٰرى‬
َ yang artinya berjalan atau mengalir
dan lafadz tersebut dapat dipakai dalam arti berjalan di atas daratan maupun
berjalan di atas lautan (air), namun kecenderungan perjalanan di permukaan laut
(air) tidak stabil seperti halnya di daratan. Terkadang diterjang ombak kecil dan
besar atau terhempas angin, sehingga sangat tepat apabila lafadz “‫ ” َمجْ ٰرى َها‬tersebut
di-Imalahkan.

2.   Isymam

Isymam artinya mencampurkan dammah pada sukun dengan memoncongkan


bibir atau mengangkat dua bibir. Dalam qira’ah riwayat Hafs, Isymam terdapat pada
lafadz “‫ ”اَل َتأْ َم َّنا‬yaitu pada waktu membaca lafadz tersebut, gerakan lidah seperti
halnya mengucapkan lafadz “‫ ”اَل َتأْ َم ُن َنا‬sehingga hampir tidak ada perubahan bunyi
antara mengucapkan lafadz “‫ ”اَل َتأْ َم َّنا‬dengan mengucapkan “‫”اَل َتأْ َم ُن َنا‬. Dengan kata lain,
asal dari lafadz “‫ ”اَل َتأْ َم َّنا‬adalah lafadz “‫”اَل َتأْ َم ُن َنا‬. Kalau diteliti lebih dalam,
ternyata rasm utsmani hanya menulis satu nun yang bertasydid. Ada pertanyaan
muncul, dimana letak dammahnya?sehingga untuk mempertemukan kedua lafadz
tersebut dipilihlah jalan tengah yaitu bunyi bacaan mengikuti rasm, sedangkan
gerakan bibir mengikuti lafadz asal.

Dalam qira’ah imam Ibnu Amir riwayat As-Susy, bacaan isymam dikenal dengan


sebutan idgham kabir, yaitu bertemunya dua huruf yang sama dan sama-sama hidup
lalu melebur menjadi satu huruf bertasydid. Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs,
hanya dikenal satu idgham saja, yaitu idgham shaghir yakni mengidghamkan dua
huruf yang sama yang salah satunya mati. Menurut bahasa, bahwa lafadz “‫”اَل َتأْ َم َّنا‬
dapat difahami berasal dari lafadz “‫َتأْ َم ُن َنا‬ ‫ ”اَل‬yang terdapat dua nun yang
diidharkan, nun yang pertama di rafa’kan dan yang kedua dinashabkan. Nun yang
pertama dirafa’kan karena termasuk fi’il mudlari yang tidak kemasukan “amil
nawashib” maupun jawazhim.

3.  Saktah

Saktah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz  ‫ت‬ ُ ‫ َيسْ ُك‬  ‫– ُس ُك ْو ًتا‬ yang artinya


َ ‫ َس َك‬  - ‫ت‬
diam, tidak bergerak. Sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah, saktah ialah berhenti
sejenak sekedar satu alif tanpa bernafas. Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs
bacaan saktah terdapat di empat tempat yaitu : QS. Al-Kahfi: 1, QS. Yaasiin: 52, QS.
Al-Qiyamah: 27 dan QS. Al-Muthafifin: 14.

Saktah pada QS. Al-Kahfi: 1, menurut segi kebahasaan susunan kalimatnya


sudah sempurna. Dengan kata lain, jika seorang qari’ membaca waqaf pada
lafadz ‫عِ َوجً ا‬, sebenarnya sudah tepat karena sudah termasuk waqaf tamm. Namun
apabila dilihat dari kalimat sesudahnya, ternyata ada lafadz ‫ َق ِّي َما‬ sehingga arti
kalimatnya menjadi rancu atau kurang sempurna.
Lafadz ‫ َق ِّي َما‬ bukanlah menjadi sifat/na’at dari lafadz ‫عِ َوجً ا‬, melainkan
َ
menjadi halatau maf’ul bihnya lafadz lafadz ‫عِ َوجً ا‬. Apabila lafadz ‫ق ِّي َما‬ menjadi na’atnya
lafadz‫عِ َوجً ا‬ akan mempunyai arti : “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran
yangbengkok serta lurus”. Sedangkan apabila menjadi hal atau maf’ul bih akan menjadi
: “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok, melainkan menjadikannya
sebagai ajaran yang lurus “. Menurut Ad-Darwisy, kata‫ َق ِّيمًا‬ dinashabkan
sebagai hal (penjelas) dari kalimat ‫ ُه عِ َوجً ا‬8888َ‫ ْل ل‬8888‫ولَ ْم َيجْ َع‬  ,
َ sedang Az-Zamakhsyari
berpendapat bahwa kata tersebut dinashabkan lantaran menyimpan fi’il berupa
” ُ‫ج َعلَه‬ “.
َ Berbeda juga dengan pendapat Abu Hayyan, menurutnya kata ‫ َق ِّيمًا‬ itu badal
mufrad dari badal jumlah “‫ ُه عِ َوجً ا‬88َ‫ ْل ل‬88‫ولَ ْم َيجْ َع‬  “. 
َ Tidak mungkin seorang qari’ memulai
bacaan (ibtida’) dari ‫ َق ِّيمًا‬, sebagaimana juga tidak dibenarkan meneruskan bacaan
(washal) dari ayat sebelumnya. Dengan pertimbangan alasan-alasan diatas, baik
diwaqafkan maupun diwashalkan sama-sama kurang tepat, maka diberikanlah
tanda saktah.

Pada saktah  QS. Yaasiin: 52 di dalam kalimat:  ُ‫رَّ حْ َمن‬88‫ َد ال‬88‫ا َو َع‬88‫ذا َم‬88َ ‫ َه‬ ‫كتة‬88‫س‬ ‫ ِد َنا‬88‫مِنْ َمرْ َق‬.
Menurut Ad-Darwisy lafadz ‫ه َذا‬ itu mubtada’ dan khabarnya
ٰ adalah lafadz  ُ‫ َما َو َع َد الرَّ حْ َمن‬ .
Berbeda halnya dengan pendapat Az-Zamakhsyari yang menjadikan
lafadz ‫ َذا‬88888888‫ه‬ itu na’at dari ِ
ٰ ‫د‬88888888‫ َمرْ َق‬, sedangkan ‫ َما‬ sebagai mubtada’ yang khabarnya
tersimpan, yaitu lafadz ‫حق‬ atau ‫ ذا‬888888‫ه‬. َ ٰ Dari segi makna, kedua alasan
penempatansaktah tersebut sama-sama tepat. Pertama, orang yang dibangkitkan
dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan dari tempat tidur
kami (yang) ini. Apa yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti
benar”. Kedua, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah
yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan
dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Dengan membaca saktah, kedua makna
yang sama-sama benar tersebut bisa diserasikan, sekaligus juga untuk memisahkan
antara ucapan malaikat dan orang kafir. 

Adapun lafadz  ْ‫ َمن‬ dalam QS. Al-Qiyamah: 27 pada kalimat ‫اق‬ ٍ ‫ َر‬ ‫سكتة‬  ْ‫ َمن‬ dan lafadz
‫ ْل‬8‫ َب‬ dalam QS. Al-Muthafifin: 14 pada kalimat ‫ان‬ َ ‫ َر‬ ‫كتة‬88‫س‬ ‫ ْل‬8‫ َب‬ adalah untuk menjelaskan
fungsi  ْ‫ َمن‬ sebagai kata tanya dan fungsi ْ‫ ل‬888‫ َب‬ sebagai penegas dan juga untuk
memperjelas idharnya lam dan nun, sebab apabila lam dan nun bertemu
denganra’ seharusnya dibaca idgham, namun karena lafadz  ْ‫ َمن‬ dan ْ‫ ل‬88888‫ َب‬ dalam
kalimat ‫اق‬ ٍ ‫كتةر‬88‫س‬
َ   ْ‫ َمن‬ dan ‫ان‬
َ ‫ َر‬ ‫كتة‬88‫س‬ ‫ ْل‬88‫ َب‬ mempunyai makna yang berbeda, maka perlu
dipisahkan (diidharkan) dengan waqaf saktah. 

Di samping itu, Imam Ashim juga menganjurkan membaca saktah, pertama, pada
akhir QS. Al-Anfaal:75 dan permulaan QS. At-Taubah. Alasannya secara bahasa
dipakai untuk memilah dua surat yang berbeda yang mana permulaan surat At-
Taubah tidak terdapat atau diawali dengan basmalah. Kedua, pada QS. Al-Haqqah:
َ َ‫ َّهل‬.
28-29 dimaksudkan untuk membedakan dua ha’ yakni ha’ saktah ‫ َمالِ َي ْه‬dan ha’ fi’il ‫ك‬

4.  Tashil

Tashil menurut bahasa artinya memberi kemudahan, keringanan atau


menyederhanakan hamzah qatha’ yang kedua, adapun menurut istilah qira’ah
artinya membaca antara hamzah dan alif . Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs
hanya ada satu bacaan tashil yaitu pada QS. Fusshilat: 44

ٌّ ‫ َءاَ ْع َجم‬ ۖ ٓ‫ت ٰا ٰي ُت ُهۥ‬


... ٌّ‫ َو َع َر ِبى‬ ‫ِى‬ ۟ ُ‫َولَ ْو َج َع ْل ٰن ُه قُرْ َءا ًنا أَعْ َج ِم ًّيا لَّ َقال‬
ِّ ُ‫وا لَ ْواَل ف‬
ْ َ‫صل‬

Alasan lafadz  ٌّ‫ َءاَعْ َجمِى‬ dibaca tashil, karena apabila ada dua hamzah qatha’ bertemu
dan berurutan pada satu lafadz, bagi lisan orang Arab merasa berat
melafadzkannya, sehingga lafadz tersebut bisa ditashilkan (diringankan).

5.  Naql

Naql menurut bahasa berasal dari lafadz  ‫ ُل – َن ْقاًل‬8ِ‫ َن َق َل – َي ْنق‬ yang artinya memindah,


sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah artinya memindahkan harakat ke huruf
sebelumnya. Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu bacaan naql yaitu
lafadz ‫س ااْل ِسْ ُم‬
َ ‫ب ْئ‬ pada
ِ QS. Al-Hujurat: 11. Alasan dibaca naql pada lafadz ‫ااْل ِسْ ُم‬adalah
karena adanya dua hamzah washal, yakni hamzah al ta’rif dan hamzahismu yang
mengapit lam, sehingga kedua hamzah tersebut tidak terbaca apabila disambung
dengan kata sebelumnya. Faidahnya bacaan naql ialah untuk memudahkan dalam
mengucapkannya atau membacanya.

6.  Badal (Mengganti)

Badal menurut bahasa artinya mengganti, mengubah, sedangkan maksud


badal disini adalah mengganti huruf hijaiyah satu dengan huruf hijaiyah lainnya.
Diantara lafadz-lafadz yang di badal dalam Al-Qur’an menurut Imam Ashim riwayat
Hafs yaitu :

1.    Badal ‫ء‬ dengan ) ْ‫ت ا ْئ ُت ْونِي‬


ِ ‫(فِي الس َّٰم ٰو‬ ‫ي‬

Yaitu mengganti hamzah mati dengan ya’, sebagian besar imam qira’ahsepakat


mengganti hamzah qatha’ yang tidak menempel dengan lafadz sebelumnya dan
jatuh sesudah hamzah washal dengan alif layyinah (‫)ى‬. Contoh pada QS. Al-Ahqaf :
4,

ٍ ۢ ‫ت ۖ ٱ ْئ ُتونِى ِب ِك ٰ َت‬
…‫ب‬ ٌ ۭ ْ‫…أَ ْم َل ُه ْم شِ ر‬
ِ ‫ك فِى ٱلس َّٰم ٰو‬

Cara membacanya, yaitu apabila seorang qari’ membaca waqaf pada lafadz (‫فِى‬


ِ ‫ )ۖ ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬maka huruf ta’ mati dan hamzah mati diganti ya’  (‫ت ۖ ِا ْي ُتونِى‬
‫ت‬ ْ ‫فِى ٱلس َّٰم ٰو‬ ) sedangkan
apabila dibaca washal tidak ada perubahan.

2.    Badal  ‫ص‬ dengan ‫س‬ (‫ط‬ 8ُُۜ ‫و َي ْب‬ dan 


ُ ‫ۜص‬ َ 8ْْۜ ‫ َب‬ )
‫ۜص َط ًة‬

Yaitu mengganti shad dengan siin, sebagian imam qira’ah termasuk Imam Ashim


mengganti ‫ص‬ dengan ‫س‬ pada lafadz ‫ط‬ 8ُُۜ ‫و َي ْب‬ dalam
ُ ‫ۜص‬ َ QS. Al-Baqarah : 245 dan
ً َ
lafadz ‫ۜصطة‬ ْۜ
8ْ ‫ َب‬ dalam QS. Al-A’raf : 69. Sebab-sebab digantinya huruf shad
dengan siin pada kedua lafadz tersebut karena mengembalikan pada asal lafadznya,
ُ ‫ َب َس َط – َي ْبس‬.
yaitu ‫ُط‬

Sedangkan pada lafadz ‫يْطِ ٍر‬88‫ُص‬ َ ‫بم‬ dalam


ِ QS. Al-Ghasyiyah : 22, huruf ‫ص‬tetap
dibaca shad karena sesuai dengan tulisan dalam mushaf (rasm utsmani) dan
menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai
sifat isti’la’. Adapun pada lafadz ‫ُون‬ َ ‫ۣصيْطِ ر‬ ْ
َ َۣ8 ‫ٱل ُم‬ dalam QS. At-Thur : 37, huruf ‫ص‬ boleh
tetap dibaca shad dan boleh dibaca siin karena, pertama, mengembalikan pada asal
lafadznya, yaitu ‫يْطِ ُر‬888‫ ْي َط َر – ي َُس‬888‫س‬ ,
َ kedua, menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf
sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’.

7.  Shilah 

Menurut ijma’ para ulama qurra’, bahwa apabila ada ha’ dlamir yang tidak diawali


dengan huruf mati, maka ha’ dlamir tersebut harus dibaca panjang dan perlu
ditambahkan huruf mad setelahnya, alasannya untuk menguatkan huruf ha’
dlamir tersebut karena tidak alasan yang mengharuskan membuang huruf
setelah ha’ dlamir ketika huruf sebelumnya hidup (berharakat). Namun para
ulama qurra’ kecuali Ibnu Katsir kurang senang menggabungkan dua huruf mati
yang dipisah oleh huruf lemah (ha’), sehingga mereka membuang huruf mad dan
memanjangkan ha’ dlamirnya, contoh ِ‫ه‬8 ‫ ِب‬،ُ‫ه‬8 َ‫ل‬, ini adalah madzhab imam Sibawaih.
Sedangkan apabila ha’ dlamir tersebut diawali dengan huruf yang mati (sukun) maka
harus dibaca pendek, contoh ِ‫ إِلَ ْيه‬،ُ‫ ِم ْنه‬.

Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu ha’ dlamir yang tetap dibaca


panjang walaupun diawali dengan huruf mati, yaitu pada kalimat ‫و َي ْخلُ ْد فِيْهٖ ُم َها ًنا‬dalam
َ
QS. Al-Furqan : 69. Pada masalah ini, Imam Ashim riwayat Hafs sama bacaannya
dengan Ibnu Katsir, yakni membaca shilah ha’ ( ٖ‫ه‬88888ْ‫فِي‬ ). Karena diketahui
bahwa ha’ termasuk huruf lemah seperti halnya hamzah, sehingga
apabila ha’berharakat kasrah, maka sebagai ganti dari wawu mati
adalah ya’ dimaksudkan untuk menguatkan huruf ha’, sehingga menjadi ‫فِي ِْهي‬  . Dalam
literatur orang Arab sendiri jarang sekali ditemui wawu mati yang diawali kasrah. 

Alasan ha’ dibaca panjang pada lafadz  ٖ‫فِيْه‬ dalam QS. Al-Furqan : 69 adalah untuk


mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu ‫ـه‬ berasal dari lafadz ‫و‬888ُ َ ‫ه‬ dan ketika
disambung dengan lafadz  ْ‫فِي‬ akan menjadi ‫و‬8َ 8‫فِ ْي ُه‬ , namun karena ha’ dlamirtersebut
diawali dengan ya’ mati yang sebenarnya identik dengan kasrah, sehingga
harakat ha’ perlu disesuaikan dengan harakat sebelumnya dan merubah
huruf mad berupa wawu menjadi ya’ untuk menyesuaikan dengan kasrah maka
menjadi ‫فِي ِْهي‬ dan huruf mad berupa ya’ dirubah dengan kasrah berdiri, jadilah
lafadz  ٖ‫ه‬88888ْ‫فِي‬ . Ada juga yang menyebutkan bahwa ha’ yang terdapat pada
lafadz  ٖ‫ه‬88ْ‫فِي‬ dalam QS. Al-Furqan : 69 adalah ha’ khafdli artinya ha’ panjang yang
berfungsi merendahkan, hal ini sesuai dengan konteks ayat yang menghendaki
dipanjangkannya huruf ha’ dlamir tersebut.

Ada juga ha’ dlamir yang dibaca pendek walaupun diawali dengan huruf mati yaitu
dengan membaca ha’ dlamir berharakat dammah tanpa shilah. Lafadz-lafadz
tersebut diantaranya terdapat pada lafadz ‫ض ُه لَ ُك ْم‬
َ ْ‫ َير‬ dalam QS. Az-Zumar : 7. Alasan
dibaca pendek ha’ dlamir berharakat dammah pada lafadz ‫ض ُه لَ ُك ْم‬ َ ْ‫ َير‬ dan lafadz-lafadz
sejenisnya adalah untuk mengembalikan pada rasm mushaf yang tidak ada wawu
madnya sesudah ha’ dlamir.

Lain halnya dengan lafadz ُ‫ ه‬888ْ‫علَي‬ dalam


َ QS. Al-Fath : 10, disini terdapat ha’
dlamir yang dibaca dammah walaupun jatuh setelah ya’ mati. Hal ini terkait
dengan asbabunnuzul ayat tersebut yang intinya tentang sifat memenuhi janji setia
kepada Nabi dan berjihad di jalan Allah. Sifat memenuhi janji tersebut merupakan
sifat yang luhur mulia dan luhur (rif’ah). Dan penempatan harakat dammah pada
lafadz ُ‫ ه‬8‫ َعلَ ْي‬ memberikan nuansa kemuliaan dan keagungan sifat (akhlak). Karena
suasana sosiologis dan keberadaan lafadz tersebut berada pada ayat yang
menunjukkan kemuliaan dan keluhuran. Sehingga ada ulama yang menyebutkan
bahwa ha’ dlamir tersebut disebut sebagai ha’ rif’ah (ha’keluhuran).
Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs juga terdapat bacaan-bacaan lain yang
dianggap gharib, akan tetapi lebih pada tulisan atau rasmnya (rasm utsmani) dan cara
membacanya. Bacaan-bacaan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Lafadz-lafadz yang dibaca pendek ketika washal dan panjang


ketika waqaf (‫قصر‬ dan ‫)مد‬ 

a.    Lafadz ( ‫اَ َنا‬ ) 

Sebab-sebab lafadz ‫اَ َنا‬ dibaca pendek ketika washal (‫ )اَ َن‬kecuali lafadz ,‫اب ُْوا‬88‫ اَ َن‬,‫اب‬
َ ‫اَ َن‬
‫اْل‬
‫ َل‬88ِ‫ ا َ َنام‬, َّ‫ي‬88‫اس‬
ِ ‫اَ َن‬, adalah karena fungsi alif tersebut hanya sebagai penjelas harakat
seperti  halnya menambahkan  ha’ ketika waqaf (ha’ sakt). Disamping itu juga,
apabila ada isim yang hurufnya sedikit lalu di baca waqaf dengan sukun, maka
suaranya akan terlihat janggal, sehingga ditambahkanlah alifsupaya suara nun tetap
sebagaimana asal lafadznya.

Sedangkan tidak ditambahkannya alif  pada waktu membaca washal pada lafadz


tersebut adalah karena nun sudah berharakat. Ada juga lafadz yang cara
membacanya hampir sama dengan lafadz ‫اَ َنا‬ yaitu lafadz ‫ل ِك َّنا‬ pada ٰ QS. Al-Kahfi : 38,
yakni apabila َّ ٰ
lafadz ‫ل ِكنا‬ dibaca washal maka nun harus dibaca
ٰ
pendek(  َّ‫لكِن‬ ),sedangkan ٰ
apabila dibaca waqaf maka nun tetap dibaca panjang (‫)ل ِك َّنا‬.
ٰ
Hal ini karena lafadz ‫ل ِك َّنا‬ berasal dari lafadz  ‫أنا‬dan lafadz ‫لكن‬.

b.    Lafadz ‫ َق َو ِار ْي َرا‬،‫ ال ُّظ ُن ْو َنا‬، ‫س ْواَل‬


ُ ‫الر‬
َّ

Sebagian ulama qurra’ membaca lafadz-lafadz diatas dengan harakat tanwin,


sedangkan qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs tidak memakai harakat tanwin pada
lafadz-lafadz tersebut. Dan apabila membaca waqaf pada lafadz-lafadz
tersebut, qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs tetap menyertakan alif atau dibaca
panjang, sedangkan tidak menyertakan (membaca) alif atau dibaca pendek apabila
huruf terakhir lafadz-lafadz tersebut diwashalkan. Hal ini disebabkan karena
mencantumkan alif pada lafadz-lafadz tersebut adalah mengikuti rasm utsmani dan
juga lafadz-lafadz tersebut masuk dalam sighat muntahal jumu’yang termasuk isim
ghairu munsharif sehingga tetap mencantumkan alif tidak ditanwin. Sedangkan
lafadz ‫بيال‬888‫ الس‬،‫وال‬888‫ الرس‬،‫ا‬888‫الظنون‬ walaupun bukan termasukjama’, namun lafadz-lafadz
tersebut disesuaikan dengan sya’ir yang pada akhir ba’itnya terdapat fathah yang
dipanjangkan dengan alif. Sehingga lafadz-lafadz tersebut tetap dibaca panjang
ketika waqaf dan dibaca pendek ketika washal. 

c.     Lafadz ‫مالك‬ pada QS. Al-Fatihah: 4 dan ‫ملك‬ pada QS. An-Nas: 2

Qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs membaca mim dengan alif (panjang) pada


lafadz ‫مالك‬ dalam QS. Al-Fatihah: 4, sedangkan beberapa Imam qira’ah yang lain
membaca  tanpa alif (pendek). Alasan Imam Ashim riwayat Hafs membaca
dengan alif (panjang) adalah karena ada kaitannya  dengan lafadz‫مالك الملك‬  pada QS.
Ali Imran: 26  yaitu ‫قل اللهم مالك الملك‬  dan bukan tanpa alif yaitu ‫ك الملك‬88‫مل‬   juga karena
lafadz ‫مالك‬ berarti dzat yang memiliki, sedangkan lafadz ‫ملك‬ berarti tuan atau
penguasa, tidak seperti halnya dalam lafadz ‫ملك الناس‬  (tanpa alif) yang artinya Tuhan
manusia dan hal itu tidak sesuai dengan makna untuk kata hari pembalasan ‫وم‬88‫ي‬
‫الدين‬ . 

Jadi, lafadz ‫مالك‬ pada QS. Al-Fatihah: 4 dengan lafadz ‫ملك‬ pada QS. An-Nas: 2


tidaklah sama dalam membaca mimnya, terutama karena perbedaan segi maknanya
sehingga dibedakan cara membacanya, walaupun beberapa Imam qira’ah selain
Imam Ashim dan Al-Kisa’i membaca kedua lafadz tersebut sama-sama pendek
( ‫ملك‬ ).

2.            Dibolehkannya membaca fathah atau dammah pada ‫ض‬ dalam


lafadz ‫ضعف‬ ْ

Lafadz ‫عْ ف‬88‫ض‬ pada QS. Ar-Rum: 54 yang lafadznya dibaca tiga kali pada ayat
tersebut adalah merupakan masdar dari lafadz ‫ َعف‬8 ‫عُف – يض‬8 ‫ض‬ sehingga beberapa
Imam qira’ah berbeda cara membacanya. Imam Hamzah dan Syu’bah (salah satu
murid Imam Ashim) membaca dlad pada lafadz  ‫عْ ف‬88‫ض‬ dengan fathah, sedangkan
sebagian Imam qira’ah yang lainnya dengan dammah.

Adapun Imam Hafs, membaca dlad pada lafadz ‫عْ ف‬88‫ض‬ dengan fathah dan


dammah. Hal ini disebabkan karena dalam ilmu sharaf, lafadz  – ‫عُف‬8888‫ض‬
‫يضعف‬mempunyai
َ dua masdar yaitu lafadz ‫ضعْ ف‬
َ  dan lafadz ‫ضُعْ ف‬, seperti halnya lafadz
‫فقر‬ yang juga mempunyai dua masdar yaitu lafadz ‫ َف ْقر‬ dan lafadz ‫فُ ْقر‬. Sehingga
menurut qira’ah Imam Hafs huruf dlad pada lafadz ‫عْ ف‬88‫ض‬ boleh dibaca fathah dan
boleh dibaca dammah.

3.            Rahasia permulaan Surat At-Taubah

Dalam Mushaf Al-Qur’anrasm usmani, semua permulaan surat diawali


dengan basmalah kecuali surat At-Taubah. Hal ini karena ada beberapa pendapat
yang terkait dengan tidak ditulisnya basmalah pada permulaan surat At-Taubah.
Pendapat pertama, bahwa Sahabat Ubay bin Ka’ab berkata : Rasulullah saw.
pernah menyuruh kami menulis basmalah di awal setiap surat dalam Al-Qur’an, dan
beliau tidak memerintahkan kami menulisnya di awal surat At-Taubah. Maka sebab
itu, surat tersebut digabungkan dengan surat Al-Anfal dan hal itu lebih utama karena
adanya keserupaan diantara keduanya. Sedangkan pendapat yang kedua, bahwa
Imam Ashim berkata: Basmalah tidak ditulis di awal surat At-Taubah, disebabkan
karena bacaan basmalah itu berisi tentang rahmat atau kasih sayang, sedangkan
surat At-Taubah merupakan surat tentang azab atau siksaan kepada orang-orang
musyrik.

Adapun hukum tentang membaca basmalah pada permulaan surat At-Taubah


diantaranya adalah, Imam Ibnu Hajar dan al-Khatib mengharamkan
membaca basmalah di awal surat At-Taubah dan memakruhkan membacanya di
tengah surat. Sedangkan Imam Ramli dan para pengikutnya memakruhkan
membaca basmalah di awal surat At-Taubah dan mensunnahkan membacanya di
tengah surat sebagaimana surat-surat dalam Al-Qur’an yang lain.

Disusun Oleh Saifurroyya dari Berbagai Sumber


1. Huruf Muqotho'ah;
Huruf Muqotho’ah adalah huruf yang dibaca sebagaimana nama hurufnya.

Huruf Muqotho’ah terdapat pada ayat pertama surat-surat tertentu sebagai pembuka
surat, oleh karena itu Huruf Muqotho’ah juga disebut Fawatikhus Suwar. 

Secara garis besar, Huruf Muqotho’ah dibaca dengan 3 pola sebagai berikut : 

 Pertama : Tidak ada mad (pemanjangan suara) yaitu huruf Alif.  Huruf Alif sebagai Huruf
Muqotho’ah dibaca dengan bunyi “Alif” 

Kedua : Mad sepanjang 2 ketukan, terjadi pada huruf-huruf berikut: Haya Thohara

  
Ketiga : Mad sepanjang 6 ketukan, terjadi pada huruf-huruf berikut : Naqushu 'Asalukum

Contoh ayat yang mengandung Huruf Muqotho’ah adalah: 

Huruf berwarna merah dibaca dengan durasi 2 ketukan, sedangkan huruf


berwarna biru panjangnya 6 ketukan.

Bagaimana cara membedakan huruf yang dibaca 2 ketukan dan 6 ketukan?


Perhatikan bedanya!  Huruf-huruf yang apabila dituliskan namanya, ia terdiri dari 2
huruf, maka ia dibaca 2 ketukan (seperti : ro', ha, ya, tho dan kha).
Huruf-huruf yang apabila dituliskan namanya, ia terdiri dari 3 huruf, maka ia dibaca 6
ketukan, seperti : nun, qaf, shod,  ‘ain, sin, lam, kaf dan mim). 
Cara membaca :

Panjang bacaan  pada “siiiiin” adalah 6 ketukan, yaitu dari  ketukan ke-3 hingga ketukan ke-8.
Dan panjang bunyi  “miiiiim” adalah 6 ketukan, yaitu dari  ketukan ke-12 hingga ketukan ke-17. 
Diantara keduanya (siiiiin dan miiiiim) ada bunyi ghunnah (dengung), karena sifat bunyi “n” akan
melebur ke bunyi “m”. Durasi bacaan ghunnah adalah 4 ketukan, dari ketukan ke-9 hingga
ketukan ke-12. Karena itu, praktek pembacaan Mad Lazim Harfi Mutsaqol  adalah :

Ketukan ke-3 berbunyi “si”.  Pertahankan bunyi “i” hingga ketukan ke-8. Yang terdengar
panjang adalah bunyi “i”-nya. Bunyi “i” dari ketukan ke-3 hingga ketukan ke-8 tidak boleh
terputus.  Bunyi “i” tersebut menghilang bersamaan dengan tersambarnya bunyi “m”
pada ketukan ke-8.

Dengungnya bunyi “m” dimulai sejak ketukan ke-8, namun mulai dihitung ketukannya
sejak ketukan ke-9 hingga ketukan ke-12.  Dengungan suara “m” sejak ketukan ke-9
hingga ketukan ke-12 tidak boleh terputus. Bunyi dengung “m” akan menghilang
bersamaan dengan bunyi “mi” pada ketukan ke-12.

Bersamaan dengan ketukan ke-12 terdengar bunyi “mi”.  Pertahankan bunyi “i” hingga
ketukan ke-17. Yang terdengan panjang adalah bunyi “i”-nya. Bunyi “i” dari ketukan ke-12
hingga ketukan ke-17 tidak boleh terputus.  Bunyi “i” tersebut menghilang bersamaan
dengan tersambarnya bunyi “m” pada ketukan ke-17. Bunyi “m” terakhir, menghilang
bersamaan dengan jatuhnya ketukan ke-18
.
Contoh lain  adalah sebagai berikut :
Sumber: http://binaalquran.wordpress.com/

Contoh lain:

qoo..oo..oof-------------------------- ٓ‫ق‬
----
aii..ii..iinnnsii..ii..iing..ng..ngqoo ‫ع ٓٓسق‬
..oo..oof---
yaasii..ii..iin-------------------------- ‫ي ٰٓس‬
---
Toohaa------------------------------- ٰ‫ٰطه‬
---
toosii..ii..ii..mmmii..ii..iim-------- ‫ٰط ٓس ّ ٓم‬
---------
ĥaamii..ii..iim----------------------- ‫ٰح ٓم‬
----
aliflaa..aa..aammmii..ii..iimroo-- ‫ال ٓ ّم ٰٓر‬
---------
aliflaa..aa.aammmii..ii.ii..mshoo ‫ال ٓ ّمٓص‬
..oo..oo..d
nuu..uu..uun------------------------- ‫ٓن‬
----
shoo..oo..ood------------------------- ‫ٓص‬
---
kaafhaayaa'aii..ii..ii..nnnshoo..o ‫ٰكهٰ ٰيعٓ ٓص‬
o..oo..d---
2. Hamzah Washol
 
Hamzah Washol adalah huruf Hamzah yang apabila berada paling awal, ia  dibaca dan 
berbunyi a, i dan u. Ketika ada ditengah, hamzah washol tidak terbaca.

Hamzah Washol berada di dua tempat. Ia muncul sebagai tanda kata benda bersamaan
dengan huruf Lam (‫ا‬  dan ‫ل‬ ) ia selalu dibaca “a”. Ia juga muncul sebagai tanda kata
kerja perintah (fi’il amr), dan ia mungkin dibaca dengan bunyi  “i” atau  “u”.

Contoh Hamzah washol yang dibaca berbunyi “a”

             
  Contoh Hamzah washol yang dibaca berbunyi “i”

           Contoh Hamzah Washol Yang Dibaca “u”

  
  
Contoh Hamzah Washol yang dibaca berbunyi “ni”
Hamzah Washol di tengah bacaan tidak dibaca, namun muncul bunyi “ni” karena hamzah
washol didahului huruf bertanwin

Contoh Hamzah washol pada kata benda (isim), 


selalu dibaca berbunyi “i”
Contoh berikut ini, mungkin akan memperjelas pemahaman tentangHamzah Washol. 
Huruf yang ditampilkan dengan warna merah, itulah yang disebut dengan Hamzah
Washol. Sementara itu huruf yang ditampilkan dengan warna hijau disebut dengan Alif,
sedangkan huruf berwarna biru disebut sebagai Hamzah Qotho’.

3. Nun Wiqoyah
Nun yang ditambah pada bacaan bila kata yang ber-akhiran tanwin (baris dua)
bertemu dengan kata  yang berawal dengan Alif Lam (‫)ال‬ atau Hamzah Wasal (
‫)ا‬ .

Nun ini juga disebut dengan Nun Wasal atau Nun 'Iwadh, atau Nun Pengganti. Nun Wiqoyah
dibaca dengan baris bawah (kasrah). Dalam al-Qur'an al-Majid nun ini ditulis dengan nyata,
Manakala dalam al-Qur’an al-Karim (Rasam Utsmani) nun ini tidak ditulis dengan nyata tetapi
dari segi bacaannya ianya hendaklah dibunyikan.

Di antara ayat-ayat yang terdapat Nun Wiqoyah;

1. Surah Al-Baqarah : ayat 180 ( ) dan dibaca dengan ; (Khairanil wasiyyah)

2. Surah Yusuf : ayat 8 - 9 ( )


dan dibaca dengan ; (Mubiini niqtulu)

3. Surah Kahf : ayat 88 ( ) dan


dibaca dengan; (Jazaa’a nilhusnaa)

4. Surah An-Najm : ayat 50


dan dibaca dengan; (‘Aadan nil uulaa)

5. Surah Al-Jumu’ah : ayat 11


( ) dan dibaca dengan; (Au lahwanin faddhuu)

6. Surah Al-Ikhlas : ayat 1 - 2 (


) dan dibaca dengan; (Allahu ahadunillahus somad)
7. Surah al-A'raf : ayat 164 ( )
dan dibaca dengan; (Qaumanillahu muhlikuhum)

8. Surah al-A'raf : ayat 177 ( )


dan dibaca dengan; (matsalanil qaumul ladziina)

9. Surah at-taubah : ayat 24 ( )


di dibaca dengan; (wa amwaaluniqtaraftumuuha)

10. Surah at-Taubah : ayat 30


( ) di baca dengan; ('Uzairunubnullaahi)

11. Surah Ibrahim : ayat 18 ( ) di baca dengan; (karamaadinisy taddat)

12. Surah Al-Hijr : ayat 61 ( ) dibaca dengan; (Falammaa jaa'a aala luthi nilmursalin )

13. Surah Al-Kahfi: ayat 100-101 ( )kalau wasal dibaca dengan ('aradha nilladzi...)

14. Surah Maryam: ayat 7 ( ) dibaca dengan (bughalaaminismuhu..)

15. Surah Maryam: ayat 61 ( ) dibaca dengan (jannaati 'adninillati..)

Cara membaca Nun Wiqoyah adalah sebagai berikut:

Pada ketukan ke-5 kita mengucapkan ‘wa’. Bunyi ‘n’  pada kata ‘lahwan’ bergeser ke
posisi hamzah washol pada ketukan ke-6. Posisi Hamzah washol digantikan oleh Nun
Wiqoyah. 
Nun Wiqoyah selalu berbunyi ‘ni’. Nun Wiqoyah mendapatkan hak 1 ketukan. Ketukan ke-
6 berbunyi ‘ninf’ karena menghadapi bacaan Ikhfa Hqiqi (huruf Nun Sukun yang bertemu
huruf Fa).
Pada ketukan ke-3 kita mengucapkan ‘du’. Bunyi ‘n’  pada kata ‘adun' bergeser ke posisi
hamzah washol pada ketukan ke-4. Posisi Hamzah washol digantikan oleh Nun Wiqoyah. 
Nun Wiqoyah selalu berbunyi ‘ni’. Nun Wiqoyah mendapatkan hak 1 ketukan. Ketukan ke-
4 berbunyi ‘nil’ karena menghadapi huruf  Lam  Sukun.

4. Ayat Sajadah 
Ayat Sajadah adalah ayat-ayat tertentu dalam Al Qur'an yang bila dibaca disunnahkan bagi yang membaca
dan mendengarnya untuk melakukan sujud tilawah. 
 
Jadi Sujud Tilawah adalah sujud bacaan ketika mendengar ayat sajadah.

Sujud tilawah dilakukan satu kali,  baik dalam shalat maupun luar shalat, barang siapa yang membaca atau
mendengar ayat sajadah, disunatkan bertakbir lalu sujud dan membaca doa sujud tilawah.

Dari Ibnu Umar ra. Berkata : “Sesungguhnya Nabi Shalallahu 'Alayhi Wasallam pernah membaca Alqur’an di
depan kami ketika beliau melalui (membaca) ayat sajadah beliau takbir, lalu sujud kamipun sujud pula
bersama-sama beliau”. (HR. Turmudzi).

Hukum Sujud Tilawah 

 Sujud tilawah adalah sunat menurut pendapat jumhur ulama.


Hukum sunat ini bersandarkan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Syaikhain (Al-Bukhari dan Muslim) daripada
Ibnu Umar katanya yang maksudnya :

"Bahwasanya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wasallam telah membaca al-Qur’an, lalu Baginda membaca satu
surah yang di dalamnya ada ayat ‘sajadah’, maka Baginda pun bersujud lalu kami pun sujud bersama-sama
Baginda sehingga sebahagian daripada kami tidak mendapati tempat untuk meletakkan dahinya”.

Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu tentang fadhilah/faedah melakukan
sujud tilawah, Baginda bersabda yang maksudnya :

“Apabila anak Adam itu membaca ayat al-Quran yang menuntut untuk sujud, syaitan akan mengasingkan
dirinya lalu menangis dan berkata:” “Celakalah! Anak Adam telah diperintahkan untuk sujud ia pun sujud,
maka baginya balasan syurga, dan aku diperintahkan untuk sujud maka aku enggan, maka balasan bagiku
adalah neraka. (Hadis riwayat Ibnu Majah)

Untuk mengenali ayat-ayat sajadah di dalam mushhaf ditanda dengan garis dan di penghujung ayat itu ditanda
dengan tanda yang berbentuk seakan-akan dom masjid sementara itu di bidainya tertulis perkataan sajadah.
Kapan Sunat Sujud Tilawah Dilakukan?
Sujud tilawah itu sunat dilakukan apabila ayat sajadah itu dibaca di luar sholat bukan pada
waktu-waktu yang makruh menunaikan sholat. Begitu juga sunat melakukan sujud tilawah
ketika dalam sholat jika dibacakan ayat sajadah tersebut.

Syarat-Syarat Sujud Tilawah


Di dalam kitab Al-Majmuk menurut Ashahab Syafi‘ieyah bahwa Hukum Sujud Tilawah itu
sama seperti hukum sholat sunat dari segi syarat-syarat sahnya sujud itu, syarat-syarat itu
adalah seperti berikut:

(i) Bersih daripada hadas kecil atau besar dan juga bersih daripada najis sama ada pada
tubuh badan, pakaian dan juga tempat.
(ii) Orang yang hendak melakukan sujud tilawah itu juga di kehendaki dalam keadaan
menutup aurat.
(iii) Untuk melakukannya hendaklah menghadap kiblat.
(iv) Hendaklah masuk waktunya ketika melakukan sujud itu. Adapun masuknya waktu sujud
itu ialah begitu ia selesai mambaca atau mendengar keseluruhan ayat sajdah. Jika sekiranya
ia bersujud sebelum lagi habis ayat itu di bacanya atau didengarnya maka sujud tilawah itu
tidak sah dan tidak memadai.

Ayat-ayat ini terdapat pada 15 tempat dalam Al-Quran, yaitu;

1. Surah 7 (Al-A’Raaf) Ayat 206


2. Surah 13 (Ar-Ra’d) Ayat 15
3. Surah 16 (Al-Nahl) Ayat 50
4. Surah 17 (Al-Isra’) Ayat 109
5. Surah 19 (Maryam) Ayat 58
6. Surah 22 (Al-Hajj) Ayat 18
7. Surah 22 (Al-Hajj) Ayat 77
8. Surah 25 (Al-Furqaan) Ayat 60
9. Surah 27 (An Naml) Ayat 26
10. Surah 32 (As-Sajdah) Ayat 15
11. Surah 38 (Shaad) Ayat 24
12. Surah 41 (Fushshilat) Ayat 38
13. Surah 53 (An-Najm) Ayat 62
14. Surah 84 (Al-Insyiqaq) Ayat 21
15. Surah 96 (Al-’Alaq) Ayat 19

Bacaan sujud tilawah adalah:

“Subhaanallah Walhamdulillah Walaa Ilaaha Illallah Allahu Akbar” 3x. atau


 

Anda mungkin juga menyukai