saifur ashaqi
Masalah Qur'aniyyah
Tuesday, 30 April 2013
Imam Ashim mengajarkan Al-Qur’an yang sanadnya berasal dari jalur sahabat Ali
bin Abi Thalib kepada muridnya yaitu Hafs bin Sulaiman (Hafs). Sedangkan sanad
yang berasal dari sahabat Abdullah bin Mas’ud, beliau mengajarkan kepada Abu
Bakar bin Iyasy Syu’bah (Syu’bah). Para Ulama yang masyhur pada
masa tabi’in banyak yang pernah berguru kepada Imam Ashim, diantaranya Hafs bin
Sulaiman, Abu Bakar bin Iyasy Syu’bah, al-A’masy, Nua’im bin Maisarah, dan Atha’
bin Abi Rabah. Diantara murid-murid Imam Ashim tersebut hanya Hafs dan Syu’bah
yang paling masyhur dan menjadi perawi utama.
Qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs mulai berkembang dan menyebar luas pada masa
pemerintahan Turki Utsmani yang didukung oleh banyaknya cetakan Al-Qur’an dari
Arab Saudi sampai menyebar ke seluruh dunia, waktu penyebarannya terutama
pada musim-musim haji.
1. Imalah
2. Isymam
3. Saktah
Pada saktah QS. Yaasiin: 52 di dalam kalimat: ُرَّ حْ َمن88 َد ال88ا َو َع88ذا َم88َ َه كتة88س ِد َنا88مِنْ َمرْ َق.
Menurut Ad-Darwisy lafadz ه َذا itu mubtada’ dan khabarnya
ٰ adalah lafadz ُ َما َو َع َد الرَّ حْ َمن .
Berbeda halnya dengan pendapat Az-Zamakhsyari yang menjadikan
lafadz َذا88888888ه itu na’at dari ِ
ٰ د88888888 َمرْ َق, sedangkan َما sebagai mubtada’ yang khabarnya
tersimpan, yaitu lafadz حق atau ذا888888ه. َ ٰ Dari segi makna, kedua alasan
penempatansaktah tersebut sama-sama tepat. Pertama, orang yang dibangkitkan
dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan dari tempat tidur
kami (yang) ini. Apa yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti
benar”. Kedua, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah
yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan
dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Dengan membaca saktah, kedua makna
yang sama-sama benar tersebut bisa diserasikan, sekaligus juga untuk memisahkan
antara ucapan malaikat dan orang kafir.
Adapun lafadz ْ َمن dalam QS. Al-Qiyamah: 27 pada kalimat اق ٍ َر سكتة ْ َمن dan lafadz
ْل8 َب dalam QS. Al-Muthafifin: 14 pada kalimat ان َ َر كتة88س ْل8 َب adalah untuk menjelaskan
fungsi ْ َمن sebagai kata tanya dan fungsi ْ ل888 َب sebagai penegas dan juga untuk
memperjelas idharnya lam dan nun, sebab apabila lam dan nun bertemu
denganra’ seharusnya dibaca idgham, namun karena lafadz ْ َمن dan ْ ل88888 َب dalam
kalimat اق ٍ كتةر88س
َ ْ َمن dan ان
َ َر كتة88س ْل88 َب mempunyai makna yang berbeda, maka perlu
dipisahkan (diidharkan) dengan waqaf saktah.
Di samping itu, Imam Ashim juga menganjurkan membaca saktah, pertama, pada
akhir QS. Al-Anfaal:75 dan permulaan QS. At-Taubah. Alasannya secara bahasa
dipakai untuk memilah dua surat yang berbeda yang mana permulaan surat At-
Taubah tidak terdapat atau diawali dengan basmalah. Kedua, pada QS. Al-Haqqah:
َ َ َّهل.
28-29 dimaksudkan untuk membedakan dua ha’ yakni ha’ saktah َمالِ َي ْهdan ha’ fi’il ك
4. Tashil
Alasan lafadz ٌّ َءاَعْ َجمِى dibaca tashil, karena apabila ada dua hamzah qatha’ bertemu
dan berurutan pada satu lafadz, bagi lisan orang Arab merasa berat
melafadzkannya, sehingga lafadz tersebut bisa ditashilkan (diringankan).
5. Naql
6. Badal (Mengganti)
ٍ ۢ ت ۖ ٱ ْئ ُتونِى ِب ِك ٰ َت
…ب ٌ ۭ ْ…أَ ْم َل ُه ْم شِ ر
ِ ك فِى ٱلس َّٰم ٰو
7. Shilah
Ada juga ha’ dlamir yang dibaca pendek walaupun diawali dengan huruf mati yaitu
dengan membaca ha’ dlamir berharakat dammah tanpa shilah. Lafadz-lafadz
tersebut diantaranya terdapat pada lafadz ض ُه لَ ُك ْم
َ ْ َير dalam QS. Az-Zumar : 7. Alasan
dibaca pendek ha’ dlamir berharakat dammah pada lafadz ض ُه لَ ُك ْم َ ْ َير dan lafadz-lafadz
sejenisnya adalah untuk mengembalikan pada rasm mushaf yang tidak ada wawu
madnya sesudah ha’ dlamir.
Sebab-sebab lafadz اَ َنا dibaca pendek ketika washal ( )اَ َنkecuali lafadz ,اب ُْوا88 اَ َن,اب
َ اَ َن
اْل
َل88ِ ا َ َنام, َّي88اس
ِ اَ َن, adalah karena fungsi alif tersebut hanya sebagai penjelas harakat
seperti halnya menambahkan ha’ ketika waqaf (ha’ sakt). Disamping itu juga,
apabila ada isim yang hurufnya sedikit lalu di baca waqaf dengan sukun, maka
suaranya akan terlihat janggal, sehingga ditambahkanlah alifsupaya suara nun tetap
sebagaimana asal lafadznya.
Lafadz عْ ف88ض pada QS. Ar-Rum: 54 yang lafadznya dibaca tiga kali pada ayat
tersebut adalah merupakan masdar dari lafadz َعف8 عُف – يض8 ض sehingga beberapa
Imam qira’ah berbeda cara membacanya. Imam Hamzah dan Syu’bah (salah satu
murid Imam Ashim) membaca dlad pada lafadz عْ ف88ض dengan fathah, sedangkan
sebagian Imam qira’ah yang lainnya dengan dammah.
Huruf Muqotho’ah terdapat pada ayat pertama surat-surat tertentu sebagai pembuka
surat, oleh karena itu Huruf Muqotho’ah juga disebut Fawatikhus Suwar.
Secara garis besar, Huruf Muqotho’ah dibaca dengan 3 pola sebagai berikut :
Pertama : Tidak ada mad (pemanjangan suara) yaitu huruf Alif. Huruf Alif sebagai Huruf
Muqotho’ah dibaca dengan bunyi “Alif”
Kedua : Mad sepanjang 2 ketukan, terjadi pada huruf-huruf berikut: Haya Thohara
Ketiga : Mad sepanjang 6 ketukan, terjadi pada huruf-huruf berikut : Naqushu 'Asalukum
Panjang bacaan pada “siiiiin” adalah 6 ketukan, yaitu dari ketukan ke-3 hingga ketukan ke-8.
Dan panjang bunyi “miiiiim” adalah 6 ketukan, yaitu dari ketukan ke-12 hingga ketukan ke-17.
Diantara keduanya (siiiiin dan miiiiim) ada bunyi ghunnah (dengung), karena sifat bunyi “n” akan
melebur ke bunyi “m”. Durasi bacaan ghunnah adalah 4 ketukan, dari ketukan ke-9 hingga
ketukan ke-12. Karena itu, praktek pembacaan Mad Lazim Harfi Mutsaqol adalah :
Ketukan ke-3 berbunyi “si”. Pertahankan bunyi “i” hingga ketukan ke-8. Yang terdengar
panjang adalah bunyi “i”-nya. Bunyi “i” dari ketukan ke-3 hingga ketukan ke-8 tidak boleh
terputus. Bunyi “i” tersebut menghilang bersamaan dengan tersambarnya bunyi “m”
pada ketukan ke-8.
Dengungnya bunyi “m” dimulai sejak ketukan ke-8, namun mulai dihitung ketukannya
sejak ketukan ke-9 hingga ketukan ke-12. Dengungan suara “m” sejak ketukan ke-9
hingga ketukan ke-12 tidak boleh terputus. Bunyi dengung “m” akan menghilang
bersamaan dengan bunyi “mi” pada ketukan ke-12.
Bersamaan dengan ketukan ke-12 terdengar bunyi “mi”. Pertahankan bunyi “i” hingga
ketukan ke-17. Yang terdengan panjang adalah bunyi “i”-nya. Bunyi “i” dari ketukan ke-12
hingga ketukan ke-17 tidak boleh terputus. Bunyi “i” tersebut menghilang bersamaan
dengan tersambarnya bunyi “m” pada ketukan ke-17. Bunyi “m” terakhir, menghilang
bersamaan dengan jatuhnya ketukan ke-18
.
Contoh lain adalah sebagai berikut :
Sumber: http://binaalquran.wordpress.com/
Contoh lain:
qoo..oo..oof-------------------------- ٓق
----
aii..ii..iinnnsii..ii..iing..ng..ngqoo ع ٓٓسق
..oo..oof---
yaasii..ii..iin-------------------------- ي ٰٓس
---
Toohaa------------------------------- ٰٰطه
---
toosii..ii..ii..mmmii..ii..iim-------- ٰط ٓس ّ ٓم
---------
ĥaamii..ii..iim----------------------- ٰح ٓم
----
aliflaa..aa..aammmii..ii..iimroo-- ال ٓ ّم ٰٓر
---------
aliflaa..aa.aammmii..ii.ii..mshoo ال ٓ ّمٓص
..oo..oo..d
nuu..uu..uun------------------------- ٓن
----
shoo..oo..ood------------------------- ٓص
---
kaafhaayaa'aii..ii..ii..nnnshoo..o ٰكهٰ ٰيعٓ ٓص
o..oo..d---
2. Hamzah Washol
Hamzah Washol adalah huruf Hamzah yang apabila berada paling awal, ia dibaca dan
berbunyi a, i dan u. Ketika ada ditengah, hamzah washol tidak terbaca.
Hamzah Washol berada di dua tempat. Ia muncul sebagai tanda kata benda bersamaan
dengan huruf Lam (ا dan ل ) ia selalu dibaca “a”. Ia juga muncul sebagai tanda kata
kerja perintah (fi’il amr), dan ia mungkin dibaca dengan bunyi “i” atau “u”.
Contoh Hamzah washol yang dibaca berbunyi “i”
Contoh Hamzah Washol yang dibaca berbunyi “ni”
Hamzah Washol di tengah bacaan tidak dibaca, namun muncul bunyi “ni” karena hamzah
washol didahului huruf bertanwin
3. Nun Wiqoyah
Nun yang ditambah pada bacaan bila kata yang ber-akhiran tanwin (baris dua)
bertemu dengan kata yang berawal dengan Alif Lam ()ال atau Hamzah Wasal (
)ا .
Nun ini juga disebut dengan Nun Wasal atau Nun 'Iwadh, atau Nun Pengganti. Nun Wiqoyah
dibaca dengan baris bawah (kasrah). Dalam al-Qur'an al-Majid nun ini ditulis dengan nyata,
Manakala dalam al-Qur’an al-Karim (Rasam Utsmani) nun ini tidak ditulis dengan nyata tetapi
dari segi bacaannya ianya hendaklah dibunyikan.
12. Surah Al-Hijr : ayat 61 ( ) dibaca dengan; (Falammaa jaa'a aala luthi nilmursalin )
13. Surah Al-Kahfi: ayat 100-101 ( )kalau wasal dibaca dengan ('aradha nilladzi...)
Pada ketukan ke-5 kita mengucapkan ‘wa’. Bunyi ‘n’ pada kata ‘lahwan’ bergeser ke
posisi hamzah washol pada ketukan ke-6. Posisi Hamzah washol digantikan oleh Nun
Wiqoyah.
Nun Wiqoyah selalu berbunyi ‘ni’. Nun Wiqoyah mendapatkan hak 1 ketukan. Ketukan ke-
6 berbunyi ‘ninf’ karena menghadapi bacaan Ikhfa Hqiqi (huruf Nun Sukun yang bertemu
huruf Fa).
Pada ketukan ke-3 kita mengucapkan ‘du’. Bunyi ‘n’ pada kata ‘adun' bergeser ke posisi
hamzah washol pada ketukan ke-4. Posisi Hamzah washol digantikan oleh Nun Wiqoyah.
Nun Wiqoyah selalu berbunyi ‘ni’. Nun Wiqoyah mendapatkan hak 1 ketukan. Ketukan ke-
4 berbunyi ‘nil’ karena menghadapi huruf Lam Sukun.
4. Ayat Sajadah
Ayat Sajadah adalah ayat-ayat tertentu dalam Al Qur'an yang bila dibaca disunnahkan bagi yang membaca
dan mendengarnya untuk melakukan sujud tilawah.
Jadi Sujud Tilawah adalah sujud bacaan ketika mendengar ayat sajadah.
Sujud tilawah dilakukan satu kali, baik dalam shalat maupun luar shalat, barang siapa yang membaca atau
mendengar ayat sajadah, disunatkan bertakbir lalu sujud dan membaca doa sujud tilawah.
Dari Ibnu Umar ra. Berkata : “Sesungguhnya Nabi Shalallahu 'Alayhi Wasallam pernah membaca Alqur’an di
depan kami ketika beliau melalui (membaca) ayat sajadah beliau takbir, lalu sujud kamipun sujud pula
bersama-sama beliau”. (HR. Turmudzi).
"Bahwasanya Rasulullah Shallahu ‘Alaihi wasallam telah membaca al-Qur’an, lalu Baginda membaca satu
surah yang di dalamnya ada ayat ‘sajadah’, maka Baginda pun bersujud lalu kami pun sujud bersama-sama
Baginda sehingga sebahagian daripada kami tidak mendapati tempat untuk meletakkan dahinya”.
Menurut hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu tentang fadhilah/faedah melakukan
sujud tilawah, Baginda bersabda yang maksudnya :
“Apabila anak Adam itu membaca ayat al-Quran yang menuntut untuk sujud, syaitan akan mengasingkan
dirinya lalu menangis dan berkata:” “Celakalah! Anak Adam telah diperintahkan untuk sujud ia pun sujud,
maka baginya balasan syurga, dan aku diperintahkan untuk sujud maka aku enggan, maka balasan bagiku
adalah neraka. (Hadis riwayat Ibnu Majah)
Untuk mengenali ayat-ayat sajadah di dalam mushhaf ditanda dengan garis dan di penghujung ayat itu ditanda
dengan tanda yang berbentuk seakan-akan dom masjid sementara itu di bidainya tertulis perkataan sajadah.
Kapan Sunat Sujud Tilawah Dilakukan?
Sujud tilawah itu sunat dilakukan apabila ayat sajadah itu dibaca di luar sholat bukan pada
waktu-waktu yang makruh menunaikan sholat. Begitu juga sunat melakukan sujud tilawah
ketika dalam sholat jika dibacakan ayat sajadah tersebut.
(i) Bersih daripada hadas kecil atau besar dan juga bersih daripada najis sama ada pada
tubuh badan, pakaian dan juga tempat.
(ii) Orang yang hendak melakukan sujud tilawah itu juga di kehendaki dalam keadaan
menutup aurat.
(iii) Untuk melakukannya hendaklah menghadap kiblat.
(iv) Hendaklah masuk waktunya ketika melakukan sujud itu. Adapun masuknya waktu sujud
itu ialah begitu ia selesai mambaca atau mendengar keseluruhan ayat sajdah. Jika sekiranya
ia bersujud sebelum lagi habis ayat itu di bacanya atau didengarnya maka sujud tilawah itu
tidak sah dan tidak memadai.