qira’ah yang lain adalah lebih pada letak bacaan-bacaan tersebut. Berikut
penjelasan tentang bacaan gharib menurut Imam Ashim riwayat Hafs :
1.) Imalah
Imalah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz َ أ َ َما َلyaitu َ–َأ َ َما َلَ–َ َي ِم ْي ُل
إِ َمالَ َةyang artinya memiringkan atau membengkokan, sedangkan menurut istilah
yaitu memiringkan fathah kepada kasrah atau memiringkan alif kepada ya’.
Bacaan imalah banyak dijumpai pada qira’ah Imam Hamzah dan Al-Kisa’i,
diantaranya pada lafadz-lafadz yang diakhiri oleh alif layyinah, contoh: َ الض ُّٰحى،قَ ٰلى
َ . Sedangkan pada riwayat Imam Hafs hanya ada satu lafadz yang harus
َ,َ ُه َدى،سجٰ ى
dibaca imalah yaitu pada lafadz َمجْ ٰرى َهاdalam QS. Hud: 41 :
ََر ِحي ٌم ٌ َُر ِبىَلَغَف
ور ه َ اَو ُم ْرسٰ َهآََۚ ِإ هن َار َكبُواَْفِ ْي َهاَبِ ْس ِم ه
ٰ ََّللاَِ َم ْج
َ رى َه ْ َوقَا َل
Dalam ilmu qira’ah, ada satu bacaan yang hampir mirip dengan bacaan imalah,
yaitu bacaan taqlil yang termasuk dalam qira’ah imam Warsy. Khususnya pada
lafadz yang berwazan َفُعلى، َفِعلى،فَعلى, namun bacaan taqlil lebih mendekati fathah
seperti halnya bunyi suara “re” pada kata “mereka”.
Sebab-sebab di-Imalahkannya lafadz “ ” َمجْ ٰرى َهاdiantaranya adalah untuk
membedakan antara lafadz “ ” َمجْ ٰرى َهاyang artinya berjalan di darat dengan lafadz
“ ” َمجْ ٰرى َهاyang artinya berjalan di laut. Dalam salah satu kamus bahasa arab
dijelaskan bahwa lafadz “ ” َمجْ ٰرى َهاberasal dari lafadz “ ” َج ٰرىyang artinya berjalan
atau mengalir dan lafadz tersebut dapat dipakai dalam arti berjalan di atas
daratan maupun berjalan di atas lautan (air), namun kecenderungan perjalanan di
permukaan laut (air) tidak stabil seperti halnya di daratan. Terkadang diterjang
ombak kecil dan besar atau terhempas angin, sehingga sangat tepat apabila
lafadz “ ” َمجْ ٰرى َهاtersebut di-Imalahkan.
2.) Isymam
Isymam artinya mencampurkan dammah pada sukun dengan memoncongkan
bibir atau mengangkat dua bibir. Dalam qira’ah riwayat Hafs, Isymam terdapat
pada lafadz “ ” ََل َتَأ ْ َمنهاyaitu pada waktu membaca lafadz tersebut, gerakan lidah
seperti halnya mengucapkan lafadz “”َل َتَأ ْ َمنُنَا
َ sehingga hampir tidak ada perubahan
bunyi antara mengucapkan lafadz “”َل َت َأ َمنهاْ َ dengan mengucapkan “”َل َتَأ ْ َمنُنَا.َ Dengan
ْ
kata lain, asal dari lafadz “”َل َتَأ َمنها ْ
َ adalah lafadz “”َل َتَأ َمنُنَا.
َ Kalau diteliti lebih dalam,
ternyata rasm utsmani hanya menulis satu nun yang bertasydid. Ada pertanyaan
muncul, dimana letak dammahnya?sehingga untuk mempertemukan kedua lafadz
tersebut dipilihlah jalan tengah yaitu bunyi bacaan mengikuti rasm, sedangkan
gerakan bibir mengikuti lafadz asal.
1
Dalam qira’ah imam Ibnu Amir riwayat As-Susy, bacaan isymam dikenal dengan
sebutan idgham kabir, yaitu bertemunya dua huruf yang sama dan sama-sama
hidup lalu melebur menjadi satu huruf bertasydid. Dalam qira’ah Imam Ashim
riwayat Hafs, hanya dikenal satu idgham saja, yaitu idgham shaghir yakni
mengidghamkan dua huruf yang sama yang salah satunya mati. Menurut bahasa,
bahwa lafadz “”َل َتَأْ َمنها
َ dapat difahami berasal dari lafadz “”َل َت َأ ْ َمنُنَا
َ yang terdapat
dua nun yang diidharkan, nun yang pertama di rafa’kan dan yang kedua
dinashabkan. Nun yang pertama dirafa’kan karena termasuk fi’il mudlari yang
tidak kemasukan “amil nawashib” maupun jawazhim.
3.) Saktah
Saktah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz س ُك ْوتا َ َ yang
ُ -َ ُس َكتَ َ– َيَ ْس ُكت
artinya diam, tidak bergerak. Sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah, saktah
ialah berhenti sejenak sekedar satu alif tanpa bernafas. Dalam qira’ah Imam
Ashim riwayat Hafs bacaan saktah terdapat di empat tempat yaitu : QS. Al-
Kahfi: 1, QS. Yaasiin: 52, QS. Al-Qiyamah: 27 dan QS. Al-Muthafifin: 14.
Lafadz قَ ِي َماbukanlah menjadi sifat/na’at dari lafadz ِع َوجا, melainkan menjadi hal
atau maf’ul bihnya lafadz lafadz ِع َوجا. Apabila lafadz قَيِ َماmenjadi na’atnya lafadz
ِع َوجاakan mempunyai arti : “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang
bengkok serta lurus”. Sedangkan apabila menjadi hal atau maf’ul bih akan
menjadi : “Allah tidak menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok,
melainkan menjadikannya sebagai ajaran yang lurus “. Menurut Ad-Darwisy, kata
قَ ِيماdinashabkan sebagai hal (penjelas) dari kalimat َولَ ْم َ َيجْ َع ْل َلَهُ َ ِع َوجا, sedang Az-
Zamakhsyari berpendapat bahwa kata tersebut dinashabkan lantaran menyimpan
fi’il berupa ” ُ “ َجعَلَ َه. Berbeda juga dengan pendapat Abu Hayyan, menurutnya kata
قَيِماitu badal mufrad dari badal jumlah ““ َولَ ْم َيَجْ عَ ْل َلَهَُ ِع َوجا. Tidak mungkin seorang
qari’ memulai bacaan (ibtida’) dari قَ ِيما, sebagaimana juga tidak dibenarkan
meneruskan bacaan (washal) dari ayat sebelumnya. Dengan pertimbangan alasan-
alasan diatas, baik diwaqafkan maupun diwashalkan sama-sama kurang tepat,
maka diberikanlah tanda saktah.
Pada saktah QS. Yaasiin: 52 di dalam kalimat: ََُالرحْ َمن َ م ْن َ َم ْرقَ ِدنَا َسكتة َ َهذَا َ َما.
َو َع َد ه ِ
Menurut Ad-Darwisy lafadz ٰهذَاitu mubtada’ dan khabarnya adalah lafadz َ اَو َع َد َ َم
ه. Berbeda halnya dengan pendapat Az-Zamakhsyari yang menjadikan lafadz
َُالرحْ َمن
ٰهذَاitu na’at dari َم ْرقَ َِد, sedangkan َماsebagai mubtada’ yang khabarnya tersimpan,
2
yaitu lafadz حقatau هذَا.
ٰ Dari segi makna, kedua alasan penempatan saktah
tersebut sama-sama tepat. Pertama, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu
mengatakan: “Siapakah yang membangkitkan dari tempat tidur kami (yang) ini.
Apa yang dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Kedua,
orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang
membangkitkan kami dari tempat tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan
dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Dengan membaca saktah, kedua
makna yang sama-sama benar tersebut bisa diserasikan, sekaligus juga untuk
memisahkan antara ucapan malaikat dan orang kafir.
Adapun lafadz ن َْ َمdalam QS. Al-Qiyamah: 27 pada kalimat ََسكتةَراق َ َم ْنdan lafadz
َْ َ بdalam QS. Al-Muthafifin: 14 pada kalimat َََسكتةَران
ل َ بَ ْلadalah untuk menjelaskan
fungsi ن َْ َمsebagai kata tanya dan fungsi ل َْ َ بsebagai penegas dan juga untuk
memperjelas idharnya lam dan nun, sebab apabila lam dan nun bertemu dengan ra’
seharusnya dibaca idgham, namun karena lafadz ن َْ َمdan ل َْ َ بdalam kalimat ََسكتةَراق
َ َم ْن
dan َََسكتةَران
َ َب ْلmempunyai makna yang berbeda, maka perlu dipisahkan (diidharkan)
dengan waqaf saktah.
4.) Tashil
Tashil menurut bahasa artinya memberi kemudahan, keringanan atau
menyederhanakan hamzah qatha’ yang kedua, adapun menurut istilah qira’ah
artinya membaca antara hamzah dan alif . Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat
Hafs hanya ada satu bacaan tashil yaitu pada QS. Fusshilat: 44
5.) Naql
Naql menurut bahasa berasal dari lafadz َ نَقَ َل َ– َ َي ْن ِق ُل َ– َنَ ْقلyang artinya memindah,
sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah artinya memindahkan harakat ke huruf
sebelumnya. Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu bacaan naql yaitu
lafadz َاَل ْس َُم
ِْ س َ ْ بِئpada QS. Al-Hujurat: 11. Alasan dibaca naql pada lafadz اَل ْس َُم ِْ
3
adalah karena adanya dua hamzah washal, yakni hamzah al ta’rif dan hamzah ismu
yang mengapit lam, sehingga kedua hamzah tersebut tidak terbaca apabila
disambung dengan kata sebelumnya. Faidahnya bacaan naql ialah untuk
memudahkan dalam mengucapkannya atau membacanya.
Yaitu mengganti hamzah mati dengan ya’, sebagian besar imam qira’ah sepakat
mengganti hamzah qatha’ yang tidak menempel dengan lafadz sebelumnya dan
jatuh sesudah hamzah washal dengan alif layyinah ()ى. Contoh pada QS. Al-
Ahqaf : 4,
Cara membacanya, yaitu apabila seorang qari’ membaca waqaf pada lafadz ( َ فِى
)ٱل هmaka huruf ta’ mati dan hamzah mati diganti ya’ (تَۖ َاِ ْيتُونِى
ِ س ٰ َم ٰ َو
َۖت ْ ) فِى َٱلسهمٰ ٰو
sedangkan apabila dibaca washal tidak ada perubahan.
Yaitu mengganti shad dengan siin, sebagian imam qira’ah termasuk Imam
Ashim mengganti صdengan سpada lafadz ط ُ َويَبdalam QS. Al-Baqarah : 245 dan
َُ ْص
lafadz َطة َ ص ْ َ بdalam QS. Al-A’raf : 69. Sebab-sebab digantinya huruf shad dengan
siin pada kedua lafadz tersebut karena mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu
َُ س
ط َ َب.
َ س
ُ طَ–َ َي ْب
Sedangkan pada lafadz َصي ِْطر َ بِ ُمdalam QS. Al-Ghasyiyah : 22, huruf صtetap
dibaca shad karena sesuai dengan tulisan dalam mushaf (rasm utsmani) dan
menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat
isti’la’. Adapun pada lafadz ََصي ِْط ُرون َ ْٱل ُمdalam QS. At-Thur : 37, huruf صboleh
tetap dibaca shad dan boleh dibaca siin karena, pertama, mengembalikan pada
asal lafadznya, yaitu سي ِْط َُر َ , kedua, menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf
َ س ْي
َ ُط َرَ–َي
sesudahnya (tha’) yang mempunyai sifat isti’la’.
7.) Shilah
4
Menurut ijma’ para ulama qurra’, bahwa apabila ada ha’ dlamir yang tidak
diawali dengan huruf mati, maka ha’ dlamir tersebut harus dibaca panjang dan
perlu ditambahkan huruf mad setelahnya, alasannya untuk menguatkan huruf ha’
dlamir tersebut karena tidak alasan yang mengharuskan membuang huruf setelah
ha’ dlamir ketika huruf sebelumnya hidup (berharakat). Namun para ulama qurra’
kecuali Ibnu Katsir kurang senang menggabungkan dua huruf mati yang dipisah
oleh huruf lemah (ha’), sehingga mereka membuang huruf mad dan memanjangkan
ha’ dlamirnya, contoh َبِ َِه،ُلَه, ini adalah madzhab imam Sibawaih. Sedangkan apabila
ha’ dlamir tersebut diawali dengan huruf yang mati (sukun) maka harus dibaca
pendek, contoh َ ِإلَ ْي َِه،ُم ْنه.
ِ
Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu ha’ dlamir yang tetap dibaca
panjang walaupun diawali dengan huruf mati, yaitu pada kalimat َويَ ْخلُ ْد َفِي ْٖه َ ُم َهاناdalam
QS. Al-Furqan : 69. Pada masalah ini, Imam Ashim riwayat Hafs sama bacaannya
dengan Ibnu Katsir, yakni membaca shilah ha’ (َ) فِي ْٖه. Karena diketahui bahwa ha’
termasuk huruf lemah seperti halnya hamzah, sehingga apabila ha’ berharakat
kasrah, maka sebagai ganti dari wawu mati adalah ya’ dimaksudkan untuk
menguatkan huruf ha’, sehingga menjadi فِ ْي ِهي. Dalam literatur orang Arab sendiri
jarang sekali ditemui wawu mati yang diawali kasrah.
Alasan ha’ dibaca panjang pada lafadz فِي َْٖهdalam QS. Al-Furqan : 69 adalah
untuk mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu ـهberasal dari lafadz ه ََُوdan
ketika disambung dengan lafadz ي َْ ِفakan menjadi ِف ْي ُه ََو, namun karena ha’ dlamir
tersebut diawali dengan ya’ mati yang sebenarnya identik dengan kasrah,
sehingga harakat ha’ perlu disesuaikan dengan harakat sebelumnya dan merubah
huruf mad berupa wawu menjadi ya’ untuk menyesuaikan dengan kasrah maka
menjadi فِ ْي ِهيdan huruf mad berupa ya’ dirubah dengan kasrah berdiri, jadilah
lafadz فِي َْٖه. Ada juga yang menyebutkan bahwa ha’ yang terdapat pada lafadz فِي َْٖه
dalam QS. Al-Furqan : 69 adalah ha’ khafdli artinya ha’ panjang yang berfungsi
merendahkan, hal ini sesuai dengan konteks ayat yang menghendaki
dipanjangkannya huruf ha’ dlamir tersebut.
Ada juga ha’ dlamir yang dibaca pendek walaupun diawali dengan huruf mati
yaitu dengan membaca ha’ dlamir berharakat dammah tanpa shilah. Lafadz-
lafadz tersebut diantaranya terdapat pada lafadz ضهَُلَ ُك َْم
َ َي ْرdalam QS. Az-Zumar :
7. Alasan dibaca pendek ha’ dlamir berharakat dammah pada lafadz ضهَُلَ ُك َْم َ يَ ْرdan
lafadz-lafadz sejenisnya adalah untuk mengembalikan pada rasm mushaf yang
tidak ada wawu madnya sesudah ha’ dlamir.
Lain halnya dengan lafadz ُ َع َل ْي َهdalam QS. Al-Fath : 10, disini terdapat ha’
dlamir yang dibaca dammah walaupun jatuh setelah ya’ mati. Hal ini terkait
dengan asbabunnuzul ayat tersebut yang intinya tentang sifat memenuhi janji
5
setia kepada Nabi dan berjihad di jalan Allah. Sifat memenuhi janji tersebut
merupakan sifat yang luhur mulia dan luhur (rif’ah). Dan penempatan harakat
dammah pada lafadz ُ َعلَ ْي َهmemberikan nuansa kemuliaan dan keagungan sifat
(akhlak). Karena suasana sosiologis dan keberadaan lafadz tersebut berada pada
ayat yang menunjukkan kemuliaan dan keluhuran. Sehingga ada ulama yang
menyebutkan bahwa ha’ dlamir tersebut disebut sebagai ha’ rif’ah (ha’
keluhuran).
Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs juga terdapat bacaan-bacaan lain
yang dianggap gharib, akan tetapi lebih pada tulisan atau rasmnya (rasm utsmani)
dan cara membacanya. Bacaan-bacaan tersebut diantaranya adalah sebagai
berikut :
Sebab-sebab lafadz اَنَاdibaca pendek ketika washal (ََ )اَنkecuali lafadz َ ,َاب َ اَن
ْ ,ي
ِ َاَلَن
ََ َام
ل َاَنَا ِس ه,اَنَاب ُْوا, adalah karena fungsi alif tersebut hanya sebagai penjelas
harakat seperti halnya menambahkan ha’ ketika waqaf (ha’ sakt). Disamping itu
juga, apabila ada isim yang hurufnya sedikit lalu di baca waqaf dengan sukun,
maka suaranya akan terlihat janggal, sehingga ditambahkanlah alif supaya suara
nun tetap sebagaimana asal lafadznya.
6
termasuk isim ghairu munsharif sehingga tetap mencantumkan alif tidak
ditanwin. Sedangkan lafadz َالسبيل، َالرسوَل، الظنوناwalaupun bukan termasuk jama’,
namun lafadz-lafadz tersebut disesuaikan dengan sya’ir yang pada akhir ba’itnya
terdapat fathah yang dipanjangkan dengan alif. Sehingga lafadz-lafadz tersebut
tetap dibaca panjang ketika waqaf dan dibaca pendek ketika washal.
Qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs membaca mim dengan alif (panjang) pada
lafadz مالكdalam QS. Al-Fatihah: 4, sedangkan beberapa Imam qira’ah yang lain
membaca tanpa alif (pendek). Alasan Imam Ashim riwayat Hafs membaca dengan
alif (panjang) adalah karena ada kaitannya dengan lafadz مالكَالملكpada QS. Ali
Imran: 26 yaitu قل َاللهم َمالك َالملكdan bukan tanpa alif yaitu ملك َالملكjuga karena
lafadz مالكberarti dzat yang memiliki, sedangkan lafadz ملكberarti tuan atau
penguasa, tidak seperti halnya dalam lafadz َ ( ملك َالناسtanpa alif) yang artinya
Tuhan manusia dan hal itu tidak sesuai dengan makna untuk kata hari pembalasan
يومَالدين.
Jadi, lafadz مالكpada QS. Al-Fatihah: 4 dengan lafadz ملكpada QS. An-Nas: 2
tidaklah sama dalam membaca mimnya, terutama karena perbedaan segi
maknanya sehingga dibedakan cara membacanya, walaupun beberapa Imam
qira’ah selain Imam Ashim dan Al-Kisa’i membaca kedua lafadz tersebut sama-
sama pendek ( ) ملك.
2. Dibolehkannya membaca fathah atau dammah pada ضdalam lafadz
ض ْعف
Lafadz ض ْعفpada QS. Ar-Rum: 54 yang lafadznya dibaca tiga kali pada ayat
tersebut adalah merupakan masdar dari lafadz ضعُف َ– َيضعَفsehingga beberapa
Imam qira’ah berbeda cara membacanya. Imam Hamzah dan Syu’bah (salah satu
murid Imam Ashim) membaca dlad pada lafadz ض ْعفdengan fathah, sedangkan
sebagian Imam qira’ah yang lainnya dengan dammah.
Adapun Imam Hafs, membaca dlad pada lafadz ض ْعفdengan fathah dan
dammah. Hal ini disebabkan karena dalam ilmu sharaf, lafadz ضعُف َ– َيضعَف
mempunyai dua masdar yaitu lafadz ض ْعفَ dan lafadz ض ْعف
ُ , seperti halnya lafadz
فقرyang juga mempunyai dua masdar yaitu lafadz فَقرdan lafadz فُ ْقر. Sehingga
ْ
menurut qira’ah Imam Hafs huruf dlad pada lafadz ض ْعفboleh dibaca fathah dan
boleh dibaca dammah.
3. Rahasia permulaan Surat At-Taubah
Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Dalam Mushaf Al-Qur’an rasm
usmani, semua permulaan surat diawali dengan basmalah kecuali surat At-Taubah.
Hal ini karena ada beberapa pendapat yang terkait dengan tidak ditulisnya
7
basmalah pada permulaan surat At-Taubah. Pendapat pertama, bahwa Sahabat
Ubay bin Ka’ab berkata : Rasulullah saw. pernah menyuruh kami menulis basmalah
di awal setiap surat dalam Al-Qur’an, dan beliau tidak memerintahkan kami
menulisnya di awal surat At-Taubah. Maka sebab itu, surat tersebut digabungkan
dengan surat Al-Anfal dan hal itu lebih utama karena adanya keserupaan
diantara keduanya. Sedangkan pendapat yang kedua, bahwa Imam Ashim
berkata: Basmalah tidak ditulis di awal surat At-Taubah, disebabkan karena
bacaan basmalah itu berisi tentang rahmat atau kasih sayang, sedangkan surat
At-Taubah merupakan surat tentang azab atau siksaan kepada orang-orang
musyrik.
Penjelasan Bacaan Gharib dalam Al-Qur'an| Adapun hukum tentang
membaca basmalah pada permulaan surat At-Taubah diantaranya adalah, Imam
Ibnu Hajar dan al-Khatib mengharamkan membaca basmalah di awal surat At-
Taubah dan memakruhkan membacanya di tengah surat. Sedangkan Imam Ramli
dan para pengikutnya memakruhkan membaca basmalah di awal surat At-Taubah
dan mensunnahkan membacanya di tengah surat sebagaimana surat-surat dalam
Al-Qur’an yang lain.
8
A. Bacaan gharib
1.Sakta()ﺳﻜﺘﻪ
Menurut Imam Hafs, saktah hanya ada di 4 tempat yaitu surat (18:1-
2), (36:52), (75:27) dan (83:14). Pada contoh di bawah ini, huruf ‘SIN’
(sebagai tanda saktah) terletak antara kata berwarna merah dan kata
berwarna biru .Diantara kedua kata itulah terjadi saktah.
2.Sajdah( )ﺳﺠﺪﻩ
9
Sajdah di dalam Alqur’an ditandai dengan gambar berbentuk
kubah.Disunnahkan bagi pembaca dan pendengar untuk melakukan sujud
tilawah ketika membaca/mendengar ayat sajdah.Disunnahkan
melakukan sujud tilawah baik ketika sedang sholat atau diluar sholat.Di
dalam sholat, sunnahnya hanya ketika imam melakukan sujud tilawah,
jika tidak, maka ma’mum tidak boleh sujud sendiri (karena ma’mun
harus mengikuti imam).Di luar sholat, disyaratkan menghadap qiblat dan
suci dari hadats, boleh diawali dengan.berdiri atau duduk, dengan di
awali takbirotul ikhrom ataupun tidak. Jika di awali takbir maka
Ditutup dengan salam, jika tanpa takbir maka tidak perlu salam. Sujud
tilawah yang dilakukan saat shalat tidak didahului takbir lagi serta
tidak diakhiri salam (sudah takbirotul ikhrom diawal sholat dan salam
pada akhir shalat).
3.Imalah
4.Isymam
cara bacanya “laa ta’manna” Nah, karena ini termasuk bacaan isymam,
cara membacanya yaitu “laa ta’mannuna”, namun kata “nuu” yang
menjadi tambahan hanya diisyaratkan dengan gerakan bibir ditambah
mencucu tanpa suara. Jadi suara yang kedengaran hanya sebatas “laa
ta’manna”.
5.Naql
10
Naql, yaitu memindahkan harakat suatu huruf ke huruf sukun sebelumnya.
Menurut imam Hafs, bacaan ini juga hanya ada dalam surat al Hujurat ayat 11 ﺑﺌﺲ
.اﻻﺳﻢAlasan bacaan naql pada kata اﻻﺳﻢyaitu terdapatnya dua hamzah washal
(hamzah yang tidak terbaca di tengah kalimat), yakni hamzah pada al ta’rif
daismu (salah satu dari sepuluh kata benda yang berhamzah washal), yang
mengapit lam sehingga menjadi tidak terbaca di kala sambung dengan kata
sebelumnya. Di antara manfaat bacaan naql ini adalah untuk memudahkan umat
Islam membacanya.
6.Tashil
B. Musykilat
berada di akhir kata yang memiliki fungsi jika waqaf maka dibaca
panjang dan jika washol dibaca pendek
11
Jenis-jenis bacaan musykilat :
1. Perubahan suara, yaitu suara huruf صdi ganti dengan suara huruf س,
ini berada di 3 tempat : QS.Al-Baqarah ayat 245, QS.Al-A’raf ayat 69,
dan QS.Ath-thur ayat 37 (yang ini boleh dibaca tetap صatau di ganti
dengan )س
2. Huruf ro’ di baca tebal
Biasanya jika ada Ro’ Sukun didahului dengan harakat kasrah, maka Ro’
tersebut dibaca tipis, tetapi pada kata-kata tertentu justru harus dibaca
tebal
3. Huruf wawu tidak dibaca
Yaitu terdapat huruf wawu dalam sebuah kata, tapi tidak dibaca.
Yaitu terdapat واdlam sebuah kata, tapi dibaca pendek, Missal : kata اﻧﺒﻮًا
5. Harakat “ ” ﻪ
Adalah jika ada tanwin yang bertemu dengan hamzah washol, maka cara
membacanya suara tanwin harus di ganti dengan nun kasrah.
Dalam Al-Qur’an terdapat hamzah sukun yang jika dibaca setelah waqaf
( ibtida’), maka suara hamzah sukun menjadi suara Ya’ sukun (panjang),
namun jika dibaca washol, maka hamzah sukun tidak berubah.
12
Misal: kata ﺘﻟﻘﺎ ﺊ , وﺭا ﺊdan sebagainya.
9. “ ”ﺃوdibaca pendek
Yaitu terdapat nya dalam sebuah kata,tapi dibaca pendek
Missal: kata ﺃوﻟوا, ﺃوﻟﺌﻙdan sebagainya.
10. Huruf alif tidak dibaca
Yaitu terdapatnya huruf alif dalam sebuah kata,tetapi tidak dibaca
Missal: kata ﺠﺎﻱﺀ, ﺘﺎﻴﺌﺴوا
13