Anda di halaman 1dari 6

HAKIKAT ILMU BALAGHAH

1. FASHĀHAH

A. Definisi Fashāhah

Secara terminologi fashāhah berarti lafaz yang jelas, terang maknanya, mudah
dipahami dan sering dipergunakan para penyair dan penulis. Ia bernilai indah dan bagus
ketika dibaca dan didengar. Standar untuk menilai baik atau buruk, lancar atau tidak
lancarnya pengucapan suatu kata adalah adz-dzauq as-salīm (taste of language) para penyair
dan penulis. Hal itu terbentuk berkat keseringan mendengar, menulis dan merangkai kata-
kata.
Dengan menguasai berbagai kecakapan tersebut dapat dibedakan kalimat-kalimat yang
memenuhi kriteria-kriteria fashāhah. Oleh karenanya, fashāhah menjadi sifat dari ‫( الكلمة‬kata),
‫( الكالم‬kalimat) dan ‫( المتكلم‬pembicara) adalah menurut dari sisi mana seseorang menilainya.

B. Macam-macam Fashāhah
Macam-macam fashahah yaitu

1) Fashāhah al-Kalimah ( kata )


Fashāhah al-Kalimah ( ‫ ) فصاحة الكلمة‬yaitu kata atau lafaz yang memenuhi unsur-unsur
fashāhah. Agar suatu kata bernilai fashāhah ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi,
sebagaimana disebutkan para ulama balaghah, di antaranya harus terhindar dari hal-hal
berikut:
2) Tanāfur al-Hurūf ( ‫) تنافر الحروف‬
Yaitu susunan huruf-huruf yang sulit diucapkan dan tidak jelas kedengarannya
disebabkan ia keluar dari makhraj (jalan keluar) yang berdekatan letaknya. Seperti
ُّ ‫(ا ِل‬tempat yang kasar), ‫( ال ُه ْع ُخ ُع‬tanaman yang dimakan onta), ‫(الُنقَّا ُخ‬air jernih dan
lafaz: ‫ظش‬
tawar) ‫( ُم ْستَ ْش ِز َرات‬tinggi kepang rambutnya), dan ‫(الَ ْنقنَقَ ََ ة‬suara kodok).
3) Al-Gharābah ( ‫)الغرابة‬
Yaitu kosa kata asing (jarang didengar dan dipergunakan oleh para penyair dan penulis).
Kalau dipergunakan menyebabkan pendengar bingung dengan apa yang dimaksudkan,
karena maknanya tidak jelas. Seperti lafaz ‫ تَكَأكَأ‬yang berarti berkumpul dan ‫ اِ ْف َر ْن ِق َع‬yang
berarti bubar.
Contohnya, perkataan seorang badui (Arab pedalaman) yang jatuh dari kendaraannya dan
dikerumuni orang banyak:
‫ي َكتَكَأ ْ ُك ِئ ُك ْم َعلَى ذِي ِجنَّ ٍة ا ْف َر ْن ِقعُ ْوا َع ِن ْي‬
َّ َ‫َما لَ ُك ْم تَكَأْكَأْت ُ ْم َعل‬
“Kenapa kalian berkumpul mengerumuni saya sebagaimana kalian berkumpul
mengerumuni orang gila? Pergilah (bubarlah)!”
4) Mukhālafah al-Qiyās ( ‫) مخالفة القياس‬
Yaitu susunan kata-kata yang dibentuk tidak mengikuti kaidah-kaidah baku ilmu Sharf.
Seperti: ‫األَجْ لَل‬di mana bentuknya yang baku berdasarkan ilmu sharf adalah ‫ األ َ َج ُّل‬.
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah syair:
‫ا َ ْل َح ْمد ُ ِ َّّلِلِ ْالعَ ِلي ِ األَََ جْ لَ ِل‬# ‫اح ِد اْلفَ ْر ِد اْلقَ ِدي ِْم اْأل َ َّو ِل‬
ِ ‫الو‬
َ
“Segala puji bagi Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung # Yang Esa, Maha Kekal lagi
Maha Permulaan.”
Contoh lain adalah kata ‫( بوقات‬terompet), di mana bentuknya yang baku berdasarkan ilmu
sharf adalah ‫ أبواق‬sebagaimana disebutkan dalam sebuah syair:
‫س ْيفًا ِلدْولَ ٍة‬ ِ َّ‫ض الن‬
َ ‫اس‬ َ ‫اس بُوقَاتٌ لَ َها َو‬
ُ ‫فَإ ِ ْن يَكُ بَ ْع‬# ‫طََ ب ُْو ٌل‬ ِ َّ‫فَ ِفي الن‬
“Jika sebagian manusia menjadi pedang negara # maka di antara mereka harus ada
terompet dan genderang.”

C. Fashāhah al-Kalām ( kalimat )


Fashāhah al-Kalām (‫ )فصاحة الكالم‬yaitu kalimat yang memenuhi unsur-unsur fashāhah. Hal ini
terwujud apabila semua kata-kata yang membentuknya bernilai fashāhah juga. Untuk itu ada
beberapa kriteria yang harus terpenuhi, di antaranya adalah harus terhindar dari hal-hal
berikut:

1) Tanāfur al-Kalimāt ( ‫) تنافر الكلمات‬

Yaitu susunan kata-kata yang sulit diucapkan karena makhraj-nya yang berdekatan letaknya
atau karena pengulangan kata yang sama dalam suatu kalimat. Seperti disebutkan dalam
sebuah syair yang bercerita tentang letak kuburan Harb ibn Umaiyah:
‫َان قَ ْف ٍر‬ ٍ ‫وقَب ُْر َح ْر‬#
ٍ ‫ب بِ َمك‬ ٍ ‫ْس قُ ْربُ قَب ِْر َح ْر‬
َ ‫ب قَب ُْر‬ َ ‫َولَي‬
“Kuburan Harb (Harb ibn Umaiyah) di tempat yang tandus # Tidak ada dekat kuburan
Harb (Harb ibn Umaiyah) kuburan.”
Pada bait kedua dari syair terdapat lafaz-lafaz yang keluar dari makhraj yang berdekatan
letaknya sehingga sulit diucapkan berulang-ulang yaitu ‫قرب قبر حرب قبر‬.
Contoh lain dalam sebuah syair yang bercerita tentang seorang yang memiliki sifat mulia;
jika penyair (dalam bait syair berikut) memujinya, orang lain juga ikut memujinya.
Sebaliknya jika ia mencelanya, orang lain tidak ikut mencela kecuali penyair itu sendiri:
‫ك َْري ٌم َمت َى أَ ْمدَ ُحهُ أَ ْمدَ ُحهُ َواْ َلو َرى‬# ‫ي‬
ْ ‫َم ِع ْي َوإِذَا َما لُ ْمتُهُ لُ ْمتُهُ َوحْ ِد‬
“Kapan saja aku memujinya, orang lain juga ikut memujinya # Kalau aku mencelanya, aku
sendirian yang melakukan itu sementara orang lain tidak.”
Pada bait pertama dan kedua dari syair ini terdapat lafaz-lafaz yang disebutkan secara
berulang-ulang yaitu ُ‫ أ َ ْمدَ ُحهُ أ َ ْمدَ ُحه‬dan ُ‫لُ ْمتُهُ لُ ْمتُه‬.

2) 2). Dha‘fu at-Ta’līf ( ‫) ضعف التأ ليف‬


Yaitu susunan kata-kata yang tidak mengikuti kaidah-kaidah ilmu nahwu yang sudah
disepakati mayoritas ulama. Seperti meletakkan dhamir (kata ganti) sebelum disebutkan
lafaz tempat kembali dan kedudukan dhamir itu. Seperti disebutkan dalam sebuah syair:
‫ َجزَ ى بَنُ ْوهُ أَبَا ال ِغ ْيالَ ِن َع ْن ِكبَ ٍر‬# ‫ار‬
َ ‫َو ُحس ِْن فِ ْع ٍل َك َما يُجْ زَ ى ِسنِ َّم‬
“Anak itu membalas kebaikan Abu al-Gailan di waktu tua # Sebagaimana yang di
perlakukan kepada seorang bernama Sinimmar.”
Dhamīr ghā’ib (kata ganti orang ketiga) pada lafaz ُ‫ بَنُ ْوه‬kembali kepada isim (kata benda)
yang disebut setelahnya, yaitu ‫أَبَا ال ِغ ْيالَ ِن‬. Ungkapan dalam syair ini sudah menjadi pepatah
yang dalam bahasa Indonesia berbunyi “Air susu dibalas dengan air tuba.” (kebaikan dibalas
dengan kejelekan).
Contoh lain, penggunaan dhamīr muttashil setelah huruf ‫إال‬, Seperti: . ‫ما رأيت إال ك‬
Penggunaan tersebut salah karena tidak mengikuti kaidah baku dalam ilmu nahwu.
Kalimatnya yang benar adalah: ‫(ما رأيت إال أنت‬Aku tidak melihat seorang pun kecuali
engkau).
3) At-Ta‘qīd al-Lafzhī ( ‫) التعقيداللفظي‬
Yaitu kalimat yang samar penunjukan maknanya, karena tidak disusun berdasarkan
rangkaian makna yang semestinya. Hal tersebut disebabkan oleh adanya fashl (pemisah)
antara kalimat taqdīm (mendahulukan kalimat yang seharusnya di belakang), dan ta’khīr
(menyebut belakangan kalimat yang seharusnya di depan), seperti :
‫احدًا ُم َح َّمد ٌ َم َع ِكتَابًا أَ ِخ ْي ِه‬
ِ ‫َما قَ َرأَ ِإالَّ َو‬
Susunan kalimat ini salah karena tidak disusun berdasarkan rangkaian makna yang sesuai.
Susunan yang benar adalah:
ِ ‫َما قَ َرأَ ُم َح َّمد ٌ َم َع أ َ ِخ ْي ِه إِالَّ ِكت َابًا َو‬
‫احدًا‬
“Muhammad tidak membaca bersama saudaranya kecuali 1 buku saja.”
4) At-Ta‘qīd al-Ma‘nawī ( ‫) التعقيد المعنوي‬
Yaitu penunjukan makna kalimat yang masih samar kecuali setelah pembaca atau pendengar
berfikir lama, karena ia mengandung dua makna. Ini biasanya terjadi pada susunan kata
yang mempunyai uslūb al-majāz dan al-kināyah. Contohnya:
ُ‫نَش ََر ال َم ِلكُ أ َ ْل ِسنَتَه‬
Raja itu menyebar (mengerahkan) lidah-lidahnya.
Karena lafaz ‫ ألسنته‬bukan majaz dari ‫جواسيسه‬. Kalau menggunakan uslūb al-majāz, maka
kalimat yang benar adalah:
ُ ُ‫)نَش ََر ال َم ِلك‬
‫عي ُْونَهُ ( َج َوا ِس ْي ِس ِه‬
“Raja itu mengerahkan mata-matanya.”
Contoh lain dalam sebuah syair disebutkan:
ْ َ ‫سأ‬
‫طلُبُ بُ ْعدَ الدَّاِر َع ْن ُك ْم ِلت ْق ُرب ُْوا‬ َ # ‫ع ِلت َ َج َّمدَا‬ َ ‫َوت َ ْس ُكبُ َع ْين‬
ُ ‫َاي الدُّ ُم ْو‬
“Aku akan mencari tempat (rumah) yang jauh dari kalian agar kalian dekat di hati # Dan air
kedua mataku berlinang karena akan berpisah.”
Kalimat ِ‫كب اْلعَ ْينَي ِْن بِالدُّ ُم ْوع‬
َ ‫س‬َ (berlinangan air mata) adalah kinayah untuk mengungkapkan
perasaan orang yang sedih karena ditinggalkan orang yang dicintai. Adapun kata ‫ تجمد‬yang
artinya membeku dipergunakan untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan gembira
ketika berada dekat dengan sang kekasih. Padahal penggunaan yang kedua ini salah. Yang
benar adalah kata ‫ جمود العينين‬adalah kināyah untuk orang yang meneteskan air mata ketika
bersedih.

D. Fashāhah al-Mutakallim ( Pembicara )


Fashāhah al-Mutakallim ( ‫) فصاحة المتكلم‬, yaitu malākah (kecakapan) seseorang
mengungkapkan maksud dan tujuannya dengan fashīh dalam semua situasi dan kondisi, baik
ketika senang, sedih, kecewa, marah maupun kondisi lainnya. Semua bentuk perasaan itu
mampu diungkapkan dengan kata-kata. Atau pembicara yang mampu merangkai kata-kata
sehingga terbentuk ungkapan yang fashīh ketika menulis atau berbicara dengan orang lain.
Jadi, tanāfur bisa diketahui dengan penggunaan adz-dzauq al-lughawī, mukhālafah al-Qiyās
dengan memahami ilmu Sharf, dha‘fu at-ta’līf dan at-ta‘qīd al-lafzhī dengan menguasai ilmu
Nahwu, al-gharābah dengan banyak mengamati ungkapan-ungkapan Arab, at-ta‘qīd al-
ma‘nawī dengan ilmu al-Bayān, muqtadhā al-hāl dengan ilmu al-Ma‘ānī.

2. BALĀGHAH

A. Definisi Balāghah

Balāghah Menurut Terminologi


Balāghah menurut terminologi yaitu kesesuaian antara konteks pembicaraan dengan situasi
dan kondisi audien (lawan bicara) disertai penggunaan bahasa yang fashāhah.
Balagah menjadi sifat dari ‫( المتكلم‬pembicara) dan ‫( الكالم‬kalimat). Sementara ‫( الكلمة‬kata) tidak
bisa disifati dengan balagah karena ia hanya terdiri dari hurup-hurup yang tidak bisa dipahami
maknanya. Di samping itu ia sendiri tidak mampu menyampaikan si pembicara kepada suatu
maksud dan tujuan.

1) Unsur-unsur Balāghah
Dalam balagah ada 2 unsur prinsipil yang harus diperhatikan:
Situasi dan kondisi ketika berbicara dengan orang lain
Dalam bahasa Arab dinamakan ‫المقام‬/‫ الحال‬yaitu keadaan yang menuntut pembicara
mengungkapkan kata-katanya dengan uslūb (gaya bahasa) tertentu.
2) Bentuk tertentu yang dipergunakan dalam suatu pengungkapan bahasa
َ َ ‫ ال ُم ْقت‬seperti uslūb ithnāb (yaitu penggunaan kalimat
Dalam bahasa Arab dinamakan ‫ضى‬
yang panjang tetapi maksudnya sedikit) dan biasa digunakan untuk pujian. Tetapi kalau
audien (lawan bicara) adalah seorang yang cerdas, maka cukup menggunakan uslūb ījāz
(yaitu penggunaan kalimat yang ringkas tetapi maksudnya sarat dan padat). Jadi memuji
dan orang yang cerdas adalah ‫( الحال والمقام‬situasi dan kondisi), adapun ithnāb dan ījāz
adalah ‫( المقتضى‬tuntutan).
Mengungkapkan perkataan dalam bentuk ithnāb dan ījāz adalah ‫مطابقة للمقتضى‬. Ringkasnya
keadaan yang menyebabkan pembicara menyampaikan perkataannya dengan bentuk
tertentu dinamakan ‫ الحال‬atau ‫المقام‬. Adapun penyampaian perkataan sesuai dengan
tuntutan dan kedaaan tertentu dinamakan ‫المقتضى‬. Jadi, balāghah bukan menyampaikan
kata-kata yang bermakna indah atau hanya memilih lafaz-lafaz yang jelas dan terang tetapi
ia harus memperhatikan penggunaan kedua unsur tersebut yaitu lafaz dan makna secara
bersamaan.

B. Perbedaan Fashāhah dengan Balāgh

Terdapat perbedaan antara fashāhah ( ‫ ) الفصاحة‬dengan balāghah ( ‫) البالغة‬, di antaranya


dalam hal berikut:

1) Obyek kajian fashāhah khusus berkaitan dengan lafaz. Adapun balāghah obyek
kajiannya di samping berkaitan dengan lafaz juga berkaitan dengan makna.
2) Fashāhah adalah sifat dari ‫( الكلمة‬kata), ‫( الكالم‬kalimat) dan ‫( المتكلم‬pembicara). Adapun
balāghah adalah sifat dari ‫( الكالم‬kalimat) dan ‫( المتكلم‬pembicara).
3) Salah satu syarat suatu ungkapan bernilai balagah adalah ‫(الكالم‬kalimat) yang gunakan
untuk mengungkapkannya harus memenuhi kriteria fashāhah sehingga muncul
kaidah:
‫صيْحٍ بَ ِل ْيغًا‬ َ ‫ َولَي‬،‫ص ْي ٌح‬
ِ َ‫ْس ُك ُّل ف‬ ِ َ‫ ُك ُّل ك ََال ٍم بليْغٍ ف‬.
“Semua kalimat yang bernilai balāghah itu pasti memenuhi unsur fashāhah, tetapi
tidak semua kalimat yang bernilai fashāhah itu memenuhi unsur balāghah.”

Anda mungkin juga menyukai