Anda di halaman 1dari 4

Nama : Rosmaning H.

Wali

Nim : 203042006

Kelas : IQT. A

Tugas 1 : Ilmu Qira’at

“Pengaruh Qira’at Terhadap Penafsiran”

Oleh Faizah Ali Syibromalisi

A. Definisi Qira’at
Dilihat Secara etimologis, kata qira’at merupakan bentuk kata benda bentukan
(masdar) mengikuti wazan (rumus) fi’alah, yang berakar kata (‫ا‬-‫ر‬-‫)ق‬. Dari kata dasar ini
lahir kata qur’an dan qira’ah. Kedua kata ini mempunyai makna (a) menghimpun dan
menggabungkan (al-jamú) yakni menghimpun dan menggabungkan antara satu dengan
yang lainnya (b) membaca (al-tilawat) yaitu mengucapkan kalimat-kalimat yang tertulis,
seperti ungkapan aku membaca kitab (mengucapkan atau membunyikan huruf).
Sedangkan Qira’at menurut terminology didefinisikan Abu Syamah sebagai: Ilmu yang
membahas tentang tata cara melafalkan kosa kata Al-Qur’an dari segi perawinya.
B. Kondisi Bangsa Arab Ketika Al-Qura‘an Diturunkan
Keadaan bangsa Arab Ketika Al-Qur’an diturunkan kepada mereka adalah
bangsa yang terdiri dari kabilah-kabilah yang terpencar di beberapa kawasan di
semenanjung Arab. Mereka yang tinggal di perkampungan seperti suku Tamim, Qais,
Sa’d dan lain lainnya mempunyai tradisi, logat dan dialek tersendiri. Sementara yang di
perkotaan juga mempunyai tradisi dan dialek atau gaya bicara yang berbeda pula.
Dialek yang dimiliki suku pedalaman cukup beragam, seperti: Imalah, atau
mengucapkan huruf ‘a’ menjadi huruf ‘e’ seperti Sate. Orang dari suku Badui, karena
ingin meringkas perkataan kerap melipat huruf seperti mengucapkan dua huruf menjadi
satu huruf yang dikenal dengan sebutan Idgham.
1. Pengertian Sab’ah Ahruf dan Pengertian Qira’at Sab’ah
Pakar qira’at Abu Syamah mengatakan bahwa banyak orang yang mengira tujuh
sistim qira’at yang dikenal dengan qira’at sab’ah yang ada sekarang ini adalah tujuh
huruf atau sab’ah ahruf yang dimaksud dalam hadits. Dugaan itu menurutnya,
menyimpang dari kesepakatan para ulama. Hanya orang-orang yang tak berilmu
sajalah yang mempunyai dugaan seperti itu.
a. Pengertian Sab’ah Ahruf.
Kata “sab’atu ahruf” dipahami berbeda oleh ulama. Ada yang memahami
kata sab’ah sebagai bilangan tujuh, dan ada pula yang memahami bilangan yang
banyak, karena orang Arab biasa menyebut jumlah banyak dengan kata sab’ah
C. Sumber Qira’at
Sebagaimana Al-Qur’an diyakini bersumber dari wahyu yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad sallallahu’alihi wasallam. Maka Qira’at yang mutawatir juga dianggap
bersumberkan wahyu. Hadits berikut ini bisa dijadikan dalil bahwa qira’at memang
bersumber pada Nabi Muhammad sallallahu’alaihi wasallam. Hadis tersebut adalah:
“Diberitakan oleh Abd Ar-Rahman dari Ubay Ibn Ka’ab dari Nabi sallallahu’alaihi
wasallam. Bahwa Allah subhanhu wata’aala telah memerintahkanNya untuk membaca
Al-Qur’an satu huruf. Maka Nabi berkata Tuhanku beri keringanan bagi umatku. Maka
Allah memerintahkan Nabi untuk membacakan Al-Qur’an (dengan bacaan) Sab’ah
ahruf.”
D. Sejarah Perkembangan Qira’at.
a. Masa Nabi dan Sahabat
Pada masa Al-Qur’an diturunkan secara bertahap kepada Rasulullah. Setiap ayat
yang turun akan dihafal dengan baik oleh Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam.
sendiri maupun para Sahabat Pemeliharaan Al-Quran dari sisi tulisan dilakukan
dengan cara menunjuk secara resmi beberapa orang Sahabat sebagai penulis wahyu
seperti: Ali ibn Abi Thalib, Mu’awiyah ibn Abi Sufyan, Aban ibn Abi Sa’id, Khalid
ibn Walid, Ubay ibn Ka’ab, Zaid ibn Tsabit dan Tsabit ibn Qais.
Perbedaan bacaan Al-Qur’an di kalangan Sahabat tidak menimbulkan persoalan
karena mereka memahami betul bahwa perbedaan qira’at tersebut bukan hasil
rekayasa atau ijtihad sahabat, tetapi merupakan petunjuk Tuhan kepada Nabi (taufiqi).
Para Sahabat mengajarkan Al-Qur’an dengan qira’at masing-masing pada masa
pemerintahan khalifah Usman, perbedaan qira’at yang selama ini ditolerir
keberadaannya, mulai mengarah kepada pertentangan di kalangan umat Islam.
Berdasarkan kasus ini Khuzaimah mengusulkan kepada khalifah Usman agar
menuliskan kembali Al-Quran untuk dijadikan sebagai master atau pedoman yang
standar. Yakni Mushaf Utsmani
b. Masa Tabi’in
Pada masa Tabi’in, yakni pasca disusunnya mushaf Usmani periwayatan qira’at
seperti pada masa Sahabat tetap berlangsung. Di masa Tabi’in inilah masa keemasan
dan kematangan disiplin ilmu qira’at berlangsung. Antusias masyarakat dalam
mengkaji ilmu ini sangat besar. Sehingga pada abad kedua Hijriyah, lahirlah ahli-ahli
qira’at hasil bimbingan Sahabat, di antaranya Abu Ja’far Yazid ibn Qa’qa’, Nafi’ ibn
Abd Rahman qari’ wilayah Madinah, Ibn Katsir al-Dary, Humaid ibn Qais al-A’raj
qari’ Makkah, Abdullah Yahshubi atau Amir qari’ dari Syam, Abu Amr qari’ Basrah,
Ashim al-Jahdari, Ashim ibn Abi al-Najud, Hamzah ibn Hubaib al-Zayyat, Sulaiman
al-A’masy qari’ dari Kufah.
E. Parameter Keshahihan Sebuah Qira’at
Mengingat banyaknya ragam qira’at yang beredar dikalangan umat Islam yang
diriwayatkan oleh para qari’, Maka untuk menentukan kualitas qira’at, para ulama
membuat parameter berupa syarat-syarat, sebagai ketentuan untuk dijadikan acuan ketika
menilai shahih atau tidaknya sebuah qira’at. Parameter ini meliputi:1) Qira’at itu harus
memiliki rangkaian sanad yang shahih dan bersambung sampai kepada Rasulullah
sallallahu’alaihi wasallam. 2) redaksi dari qira’at itu harus sesuai dengan kaedah bahasa
Arab.3) Bentuk tulisannya harus sesuai dengan salah satu rasm (gambararan dari tulisan)
mushaf Utsmani.
F. Klasifikasi Qira’at
Klasifikasi qira’at didasarkan pada dua kategori, yaitu berdasarkan pada kategori
kualitas keabsahan qira’at dan berdasarkan kuantitas jumlah perawinya. Pertama: Qira’at
berdasarkan Kualitas Keshahihannya. Al-Suyûthi memaparkan kwalitas qira’at yang
didasarkan pada jumlah perawi, menjadi: a. Qira’at Mutawatir, yaitu qira’at yang
diriwayatkan oleh sekelompok orang dari sekelompok orang, sehingga di masing-masing
tingkatan perawinya dan rangkaian sanadnya tidak mungkin terjadi kebohongan. Contoh
qira’at mutawatir adalah qira’at sab’ah. b. Qira’at Masyhur adalah qira’at yang memiliki
sanad berkualitas shahih yang diriwayatkan oleh para perawi yang adil dan dhabit, serta
sesuai dengan kaedah bahasa Arab dan salah satu rasm mushaf Utsmani. Jenis qira’at ini
cukup masyhur di kalangan ahli qira’at, hanya saja jumlah perawi dalam sanadnya tidak
mencapai jumlah mutawatir. c. Qira’at Ahad adalah qira’at yang memiliki sanad
berkualitas shahih, namun tulisannya tidak bersesuaian dengan rasm mushaf Utsmani dan
kaidah tata bahasa Arab. Jenis qira’at ini tidak boleh dibaca dan tidak wajib diyakini
keberadaannya; d. Qira’at Syadz yaitu qira’at yang kualitas sanadnya tidak shahih,
e.Qira’at Maudhu’ yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh seorang perawi tanpa memiliki
asal-usul yang jelas. f. Qira’at Mudraj yaitu bacaan yang disisipkan dalam al-Qur‟an oleh
perawinya sebagai penafsiran.
G. Hubungan Qira’at dengan Penafsiran
Muhammad bin Muhammad al-Thahir bin Asyur al-Tunisi. Dalam muqaddimah
kitab tafsirnya membahas tentang qirra’at dan pengaruhnya terhadap penafsiran Al-
Qur’an. Menurut Ibn Asyur hubungan antara qira’at dan tafsir dapat dikelompokkan
menjadi: pertama, qira’at yang tidak berimplikasi pada penafsiran dan Kedua, qira’at
yang berimplikasi pada penafsiran. Jenis pertama, yaitu qira’at yang tidak berimplikasi
pada penafsiran, diantaranya disebabkan oleh perbedaan pengucapan huruf, tanda baca
(harokat), panjang dan pendeknya bacaan (mad), al-Imalah, al-Takhfif, al-Tashil, al-
Tahqiq, al-Jahr, al-Hams dan al-Gunnah.
H. Pembahasan
Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui bahwa pada saat diturunkannya Al-
Qur’an kepada bangasa Arab, bangsa Arab pada saat itu memiliki perbedaan logat dan
dialek. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab tentang permohonan
Nabi Muhammad kepada malaikat Jibril agar mengajarkan kepadanya beberapa macam
bacaan semata-mata untuk memudahkan umatnya dalam membaca Al-Qur’an. Malaikat
Jibril berkata kepada Nabi Muhammad bahwa Allah memerintahkan Nabi Muhammad
untuk membacakan Al-Qur’an kepada umatnya dengan tujuh huruf (sab’ah ahruf). Pada
saat itu Rasulullah membacakan Al-Qur’an sesuai dengan logat dan dialek bangsa Arab
pada saat itu.

Anda mungkin juga menyukai