Resume Artikel Pengaruh Qiraat Terhadap Penafsiran karya Faizah Ali
Syibromalisi
Dilihat Secara etimologis, kata qira'at merupakan bentuk kata benda
bentukan (masdar) mengikuti wazan (rumus) fi'alah, yang berakar kata qara-a. Dari kata dasar ini lahir kata quran dan qira’ah. Tilawah disebut qira'ah karena menggabungkan suara-suara huruf menjadi satu dalam pikiran untuk membentuk kalimat-kalimat yang akan diucapkan. Sedangkan Qira'at menurut terminology didefinisikan Abu Syamah sebagai: Ilmu yang membahas tentang tata cara melafalkan kosa kata Al- Qur'an dari segi perawinya. Objek kajian ilmu qira'at adalah Al-Qur'an, baik dari segi perbedaan lafaz maupun cara artikulasinya. Oleh sebab itu al- Zarkasy mengatakan bahwa: "Perlu diketahui bahwa Al Qur'an dan qira at adalah realitas yang berbeda. Yang dimaksud dengan Al-Qur'an adalah wahyu yang diturunkan kepada Muhammad saw yang berfungsi sebagai penjelas (ajaran agama Islam) dan sebagai mujizat (bagi Rasul). Sementara qira'at adalah perbedaan beberapa lafal wahyu (Al-Qur'an) dalam hal penulisan huruf maupun cara artikulasinya, baik secara takhfif (membaca tanpa tasydid), tatsqil (membaca dengan tasydid) dan lain sebagainya. Sedangkan ilmu tafsir sebagaimana dikatakan oleh As-Suyuthi-ketika menukil pendapat Abu Hayyan-adalah "ilmu yang membahas tentang cara- cara pengucapan lafaz lafaz Al-Qur'an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum- hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun, serta hal-hal lain yang melengkapinya" Sedangkan Az-zahabi mendefinisikan tafsir sebagai penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah SWT sesuai dengan kemampuan manusia. Maka berdasarkan dua pendapat ulama tersebut. ilmu tafsir terkait juga dengan ilmu-ilmu lain seperti balaghoh, nahwu, sharaf, ushul fiqh dan gira'at. Selain itu, tafsir juga membutuhkan ilmu asbab an- Nuzul dan ilmu nasakh wa al mansukh. Keadaan bangsa Arab Ketika Al-Qur'an diturunkan kepada mereka adalah bangsa yang terdiri dari kabilah-kabilah yang terpencar di beberapa kawasan di semenanjung Arab. Mereka yang tinggal di perkampungan seperti suku Tamim, Quis, Sa'd dan lain lainnya mempunyai tradisi, logat dan dialek tersendiri. Sementara yang di perkotaan juga mempunyai tradisi dan dialek atau gaya bicara yang berbeda pula. Dialek yang dimiliki suku pedalaman cukup beragam, seperti: Imalah, atau mengucapkan huruf "a menjadi huruf 'e' seperti Sate. Orang dari suku Badui, karena ingin meringkas perkataan kerap melipat huruf seperti mengucapkan dua huruf menjadi satu huruf yang dikenal dengan sebutan Idgham. Suku Hudzail hanya mampu membaca yang د إليكمCون و وألم أعهC تعلمorang dari suku Asad mengucapkan . حتى حينsemestinya dibaca dengan mengkasrahkan awal huruf dari fi'il mudlari, orang dari suku Tamim akan membaca hamzah dengan nada kuat, sementara orang Quraisy mengucapkannya dengan nada melemah, satu kabilah mengucapkan lafazh dengan "isymam" yaitu mendlammahkan Qaf dan Ghain terlebih dahulu kemudian dengan cepat mengkasrahkan keduanya, mereka juga membaca: (e) dengan mengisymamkan Ro'nya yaitu mencampurkan suara kasrah dengan djammah. Bisa dibayangkan bagaimana beratnya tugas nabi Muhammad mensosialisasikan Al Qur'an kepada masyarakat arab pada saat itu. Padahal Al-Qur'an merupakan kitab suci yang harus dibaca. Tanpa dibaca, tentu pesan-pesan hidayah Al-Qur'an tak tersampaikan dan tidak bisa difahami umatnya. Menyadari situasi yang majemuk ini, Rasulullah memohon kepada Allah SWT. Agar tidak menurunkan al-Qur'an dengan satu huruf saja. Dengan diturunkannya Al-Qur'an dalam sab'ah ahruf. Rasul membacakan Al-Qur'an dengan bacaan yang sesuai dengan logat dan dialek mereka. Sebab tidak mudah bagi seseorang untuk memahami bahasa dan logat orang lain, selain logat yang dikenalnya sejak lahir dalam waktu singkat, jika toleransi diatas tidak diberikan, maka dengan demikian memahami Al-Qur'an menjadi beban berat bagi mereka. Kata "sab’ah ahruf" dipahami berbeda oleh ulama. Ada yang memahami kata sab'ah sebagai bilangan tujuh, dan ada pula yang memahami bilangan yang banyak, karena orang Arab biasa menyebut jumlah banyak dengan kata sab'ah. Adapun kata ahruf merupakan bentuk plural dari kata harf yang secara etimologi berarti salah satu huruf hijaiyyah. Ada juga yang mengatakan bahwa makna harf secara bahasa adalah tepi sesuatu. Ketika harf dipahami dalam konteks terminologi sab'atu ahruf, maka muncullah berbagai macam pendapat. Ada yang memaknainya dengan bacaan, model, bahasa, dialek, cara, segi, atau lainnya. Menurut Abu Hatim ibn Hibban (w. 354/965) ada sekitar tiga puluh lima pendapat ulama mengenai permasalahan ini. Sedangkan menurut al- Suyuthi (w. 991/1583) ada empat puluh pendapat tentang terminologi sab'atu ahruf. Dari berbagai pendapat ulama, secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua: Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud sab'ah adalah hakekat bilangan tujuh. Namun mereka berbeda pendapat dalam menentukan makna harf atau ahruf. Sufyan ibn 'Uyainah (w. 198), diikuti Abu 'Ubaid Qasim bin Salam (w. 224). Ibn Jarir al-Thabari (w. 310), Abu Syamah (w. 665), al-Qurthubi (w. 761). Memahami harf adalah bahasa, atau lahjah dimana al-Qur'an diturunkan. Ibnu Qutaibah (w. 276). Memahami ahruf dari segi perbedaan lafal di mana al-Qur'an diturunkan yang dimaksud adalah tujuh macam segi perbedaan Adapun tujuh macam perbedaan tersebut meliputi Perbedaan segi harakat kalimat, dimana bentuk dan makna tidak berubah.