Anda di halaman 1dari 3

NAMA : NUR RIZKI AMALIA

KELAS : IQT-B
NIM : 203042025
SEMESTER :5

Resume Artikel Pengaruh Qiraat Terhadap Penafsiran karya Faizah Ali


Syibromalisi

Dilihat Secara etimologis, kata qira'at merupakan bentuk kata benda


bentukan (masdar) mengikuti wazan (rumus) fi'alah, yang berakar kata qara-a.
Dari kata dasar ini lahir kata quran dan qira’ah. Tilawah disebut qira'ah karena
menggabungkan suara-suara huruf menjadi satu dalam pikiran untuk
membentuk kalimat-kalimat yang akan diucapkan.
Sedangkan Qira'at menurut terminology didefinisikan Abu Syamah
sebagai: Ilmu yang membahas tentang tata cara melafalkan kosa kata Al-
Qur'an dari segi perawinya. Objek kajian ilmu qira'at adalah Al-Qur'an, baik
dari segi perbedaan lafaz maupun cara artikulasinya. Oleh sebab itu al-
Zarkasy mengatakan bahwa: "Perlu diketahui bahwa Al Qur'an dan qira at
adalah realitas yang berbeda. Yang dimaksud dengan Al-Qur'an adalah wahyu
yang diturunkan kepada Muhammad saw yang berfungsi sebagai penjelas
(ajaran agama Islam) dan sebagai mujizat (bagi Rasul). Sementara qira'at
adalah perbedaan beberapa lafal wahyu (Al-Qur'an) dalam hal penulisan huruf
maupun cara artikulasinya, baik secara takhfif (membaca tanpa tasydid),
tatsqil (membaca dengan tasydid) dan lain sebagainya.
Sedangkan ilmu tafsir sebagaimana dikatakan oleh As-Suyuthi-ketika
menukil pendapat Abu Hayyan-adalah "ilmu yang membahas tentang cara-
cara pengucapan lafaz lafaz Al-Qur'an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-
hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun, serta hal-hal
lain yang melengkapinya" Sedangkan Az-zahabi mendefinisikan tafsir sebagai
penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah SWT sesuai dengan
kemampuan manusia. Maka berdasarkan dua pendapat ulama tersebut. ilmu
tafsir terkait juga dengan ilmu-ilmu lain seperti balaghoh, nahwu, sharaf,
ushul fiqh dan gira'at. Selain itu, tafsir juga membutuhkan ilmu asbab an-
Nuzul dan ilmu nasakh wa al mansukh.
Keadaan bangsa Arab Ketika Al-Qur'an diturunkan kepada mereka adalah
bangsa yang terdiri dari kabilah-kabilah yang terpencar di beberapa kawasan
di semenanjung Arab. Mereka yang tinggal di perkampungan seperti suku
Tamim, Quis, Sa'd dan lain lainnya mempunyai tradisi, logat dan dialek
tersendiri. Sementara yang di perkotaan juga mempunyai tradisi dan dialek
atau gaya bicara yang berbeda pula.
Dialek yang dimiliki suku pedalaman cukup beragam, seperti: Imalah, atau
mengucapkan huruf "a menjadi huruf 'e' seperti Sate. Orang dari suku Badui,
karena ingin meringkas perkataan kerap melipat huruf seperti mengucapkan
dua huruf menjadi satu huruf yang dikenal dengan sebutan Idgham. Suku
Hudzail hanya mampu membaca yang ‫د إليكم‬C‫ون و وألم أعه‬C‫ تعلم‬orang dari suku
Asad mengucapkan . ‫ حتى حين‬semestinya dibaca dengan mengkasrahkan awal
huruf dari fi'il mudlari, orang dari suku Tamim akan membaca hamzah dengan
nada kuat, sementara orang Quraisy mengucapkannya dengan nada melemah,
satu kabilah mengucapkan lafazh dengan "isymam" yaitu mendlammahkan
Qaf dan Ghain terlebih dahulu kemudian dengan cepat mengkasrahkan
keduanya, mereka juga membaca: (e) dengan mengisymamkan Ro'nya yaitu
mencampurkan suara kasrah dengan djammah. Bisa dibayangkan bagaimana
beratnya tugas nabi Muhammad mensosialisasikan Al Qur'an kepada
masyarakat arab pada saat itu. Padahal Al-Qur'an merupakan kitab suci yang
harus dibaca. Tanpa dibaca, tentu pesan-pesan hidayah Al-Qur'an tak
tersampaikan dan tidak bisa difahami umatnya. Menyadari situasi yang
majemuk ini, Rasulullah memohon kepada Allah SWT. Agar tidak
menurunkan al-Qur'an dengan satu huruf saja.
Dengan diturunkannya Al-Qur'an dalam sab'ah ahruf. Rasul membacakan
Al-Qur'an dengan bacaan yang sesuai dengan logat dan dialek mereka. Sebab
tidak mudah bagi seseorang untuk memahami bahasa dan logat orang lain,
selain logat yang dikenalnya sejak lahir dalam waktu singkat, jika toleransi
diatas tidak diberikan, maka dengan demikian memahami Al-Qur'an menjadi
beban berat bagi mereka.
Kata "sab’ah ahruf" dipahami berbeda oleh ulama. Ada yang memahami
kata sab'ah sebagai bilangan tujuh, dan ada pula yang memahami bilangan
yang banyak, karena orang Arab biasa menyebut jumlah banyak dengan kata
sab'ah. Adapun kata ahruf merupakan bentuk plural dari kata harf yang secara
etimologi berarti salah satu huruf hijaiyyah. Ada juga yang mengatakan bahwa
makna harf secara bahasa adalah tepi sesuatu. Ketika harf dipahami dalam
konteks terminologi sab'atu ahruf, maka muncullah berbagai macam pendapat.
Ada yang memaknainya dengan bacaan, model, bahasa, dialek, cara, segi, atau
lainnya. Menurut Abu Hatim ibn Hibban (w. 354/965) ada sekitar tiga puluh
lima pendapat ulama mengenai permasalahan ini. Sedangkan menurut al-
Suyuthi (w. 991/1583) ada empat puluh pendapat tentang terminologi sab'atu
ahruf.
Dari berbagai pendapat ulama, secara garis besar dapat dikelompokan
menjadi dua: Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud
sab'ah adalah hakekat bilangan tujuh. Namun mereka berbeda pendapat dalam
menentukan makna harf atau ahruf. Sufyan ibn 'Uyainah (w. 198), diikuti Abu
'Ubaid Qasim bin Salam (w. 224). Ibn Jarir al-Thabari (w. 310), Abu Syamah
(w. 665), al-Qurthubi (w. 761). Memahami harf adalah bahasa, atau lahjah
dimana al-Qur'an diturunkan. Ibnu Qutaibah (w. 276). Memahami ahruf dari
segi perbedaan lafal di mana al-Qur'an diturunkan yang dimaksud adalah tujuh
macam segi perbedaan Adapun tujuh macam perbedaan tersebut meliputi
Perbedaan segi harakat kalimat, dimana bentuk dan makna tidak berubah.

Anda mungkin juga menyukai