NUR FITRIANI F
Pondok Pesantren Nurul Huda Malang
katya_silvana@yahoo.co.id
Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kalam ilahi yang diturunkan kepada Rosulullah SAW.
Sebagaimana definisinya, Al-Qur’an tertulis dalam mushaf yang dapat dibaca dan
difahami. Fakta historis mengungkapkan bahwa Al-Qur’an turun pada masyarakat
nomaden yang buta huruf (ummiy) dan diturunkan kepada seorang nabi yang juga
buta huruf. Karena Al-Qur’an berupa wahyu yang dapat diucapkan, maka Rosulullah
SAW mengajarkan Al-Qur’an kepada umatnya dengan cara verbal dari lisan ke lisan
(talaqqi) Nur Faizin (2011:111)
Para sahabat mengajarkan Al-Qur’an dengan cara yang sama kepada sahabat
yang lainnya dan juga kepada tabi’in. memang ada beberapa sahabat yang diperintah
rosulullah SAW untuk menulis ayat yang turun, namun jumlah mereka sangat sedikit.
Metode pengajaran yang verbalis (talaqqi) ini pun akhirnya menjadi satu-satunya
metode yang dianggap sah dalam pengajaran Al-Qur’an. Nash Al-Qur’an tidak cukup
279
dengan ditulis, dibaca, atau difahami tetapi harus diujarkan sebagaimana kaidah
pengujaran yang dipelajari dalam ilmu tajwid (ilmu membaca Al-Qur’an).
Disebutkan bahwa karena banyak nya perbedaan membaca Al-Qur’an membuka
ruang bagi para orientalis untuk mengkritisi Al-Qur’an, bahwa Alqur’an adalah kitab
suci yang rancu disebabkan banyak nya perbedaan bacaan., seyogyanga kita sebagai
umat islam harus lebih memahami bahwa perbedaan yang ada dalam Al-Qur’an telah
diperdebatkan sejak zaman sahabat, kemudian semua keresahan para sahabat
langsung ditanyakan dan dijawab oleh Rosulullah SAW, dan jawaban dari Rosulullah
SAW telah menjawab semua ketidakfahaman sahabat tentang Al-Qur’an.
Para sahabat tidak berasal dari kabilah yang sama, sehingga pada akhirnya
timbullah perbadaan dialek (lahjah) bacaan Al-Qur’an. Munculnya term ahruf sab’ah
dalam kajian Al-Qur’an disinyalir sebagai keringanan (rukhsah) Allah swt untuk umat
islam dalam kaitannya dengan cara membaca Al-Qur’an. Memang para Sahabat belajar
Al-Qur’an dari Rasulullah SAW namun perbedaan dialek membuahkan bermacam-
macam versi cara membaca. Dalam keadaan seperti ini kemudian para sahabat
berpindah dan berdomisili di daerah-daerah yang berbeda-beda. Para tabi’in yang
mengambil Al-Qur’an dari mereka pun menerimanya dengan versi bacaan masing
sahabat. Demikian juga tabi’ut tabi’in mereka belajar Al-Qur’an dari tabi’in dalam
beragam versi. Demikian lah hingga sampai pada imam-imam qira’at yang mendalami
cara-cara membaca Al-Qur’an.
Perlu diketahui bahwa tujuh huruf dan tujuh qiro’ah adalah pembahasan yang
berbeda, maka kami akan merincinya sehingga tidak terjadi kesalahfahaman dan
menukas pendapat bahwa Al-Qur’an yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw
adalah kitab suci yang rancu dan terdapat banyak perbedaan.
Pembahasan Qiraat menjadi salah satu pokok pembahasan dalam kajian ‘ulumul
Qur’an karena perbedaan qira’at sering juga mempengaruhi penafsiran Al-Qur’an.
Oleh karenanya, tidak sedikit para ulama yang memperhatikan masalah qira’at,
bahkan mereka menulis buku yang secara khusus mengkaji tentang qira’at.
280
huruf.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Diriwayatkan juga dalam sebuah hadits ketika
Umar ibn Khattab mendengar bacaan Hisyam ibn Hakam dalam shalat, yang berbeda
dengan bacaannya. Keduanya berselisih dan memutuskan untuk pergi menghadap
Rasulullah SAW. Setelah Rasul mendengar bacaan masing-masing, beliau kemudian
membenarkan keduanya dan berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas
tujuh huruf, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) darinya.” (H.R Bukhari dan
Muslim)
Hadits yang berbicara tentang sab’ah aharuf ternasuk dalam kategori shahih
yang dapat diterima. Namun, para ulama masih berbeda persepsi tentang istilah
sab’ah ahruf. Sebagian berpendapat bahwa jika hadits tentang turunnya Al-Qur’an
atas sab’ah ahruf itu pasti hukum kesahihannya (qat’iyyatuts tsubut), maka ia
memberikan pengertian al ‘ilm al-yaqini al dhoruri bagi yang berpendapat bahwa hadits
nya mutawatir. Dan menurut Ibn Shalah memberikan hukum al-ilm al yaqini an nadzari,
karena hadits nya masih dzanni dilalah sebab makna sab’ah ahruf sendiri masih global
(Al-Qattan, 2006).
281
Arab, meskipun sebagian besarnya dalam bahasa Quraisy, sedang sebagian yang lain
dalam bahasa Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim atau Yaman. Karena itu
maka secara keseluruhan Al-Qur’an mencakup ketujuh bahasa tersebut
Ketiga, sebagian ulama menyebutkan, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah
tujuh segi, yaitu : Amr (perintah), Nahyu (Larangan), wa’d (ancaman), jadal
(perdebatan), qashash (cerita) dan matsal (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halal,
haram, muhkam, mutasyabih, dan amtsal.
Diriwayatkan dari Ibn Mas’ud, Nabi SAW bersabda :
“kitab umat terdahulu diturunkan dari satu pintu dan dengan satu huruf. Sedang Al-
Qur’an diturunkan melalui tujuh pintu dan dengan tujuh huruf, yaitu : zajr (larangan), amr,
halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal.”
Keempat, segolongan ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan tujuh
huruf adalah tujuh macam hal yang didalam nya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu:
1. Ikhtilaful Asma (perbedaan kata benda)
2. Perbedaan dalam segi ‘irab
3. Perbedaan dalam tashrif
4. Perbedaan dalam taqdim
5. Perbedaan dalam segi ibdal
6. Perbedaan dengan sebab adanya penambahan dan pengurangan
7. Perbedaan lahjah dengan pembacaan tafhim (tebal) dan tarqiq (tipis), fathah dan
imalah, izhar dan idgham, hamzah dan tashil, isymam dan lain-lain.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak bisa
diartikan secara harfiyah, tetepi angka tujuh tersebut hanya sebagai symbol
kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab. Dengan demikian, maka kata tujuh
adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan Al-Qur’an merupakan batas dan sumber
utama bagi semua perkataan orang Arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan
tertinggi. Sebab, lafadz sab’ah (tujuh) dipergunakan pula untuk menunjukan jumlah
banyak dan sempurna dalam bilangan satuan, seperti tujuh puluh dalam bilangan
puluhan, dan tujuh ratus dalam bilangan ratusan . kata-kata itu tidak dimaksudkan
dalam bilangan tertentu
Ada juga ulama yang berpendapat, yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut
adalah qiro’ah sab’ah
Ada beberapa ulama yang berpendapat berdasarkan ijtihad mereka, bahwa
maksud dari ahruf bisa juga cara membaca. Ibn Al Jazari berkata, “orang syam
membaca dengan bacaan (harf) ibn Amir”. Kata ahruf juga dapat berarti makna dan
arah, sebagaimana pendapat Abu Ja’far Muhammad ibn Sa’dan An Nahwi, tetapi
pendapat yang mengatakan bahwa maksud dari ahruf adalah bacaan (qiro’ah)
sebagaimana dikutip dari Khalil ibn Ahmad merupakan pendapat yang lemah, apalagi
jika diklaim sebagai qira’at sab’ah (tujuh bacaan qira’ah) (Sholih, 1990: 102-103).
Pertanyaan timbul lagi apakah kata sab’ah dimaksudkan makna yang
sebenarnya atau makna konotasi. Jika dimaksudkan sebagaimana makna asli
(denotasi), maka huruf yang dimaksud benar-benar berjumlah tujuh, tidak lebih dan
tidak kurang. Namun, ada yang berpendapat bahwa sab’ah disitu tidak dimaksudkan
pembatasan huruf sampai pada jumlah tujuh. Maksud dari tujuh bukanlah hakikat
bilangan itu, tetapi dimaksudkan untuk mempermudah (li at taysir wa at tashil). Dalam
penggunaan bahasa Arab, kata tujuh seringkali digunakan menunjukan makna banyak
dalam bilangan satuan, seperti tujuh puluh yang berarti jumlah banyak dalam
bilangan puluhan dan tujuh ratus dalam bilangan ratusan (Al-Suyuti). Tetapi penafian
pembatasan makna dibantah oleh Dr. Subhi Shalih bahwa karena hal itu tidak masuk
akal. Hal ini dilandaskan bahwa turunnya Al-Qur’an dalam tujuh huruf adalah
masalah serius yang mempunyai kaitan langsung dengan wahyu dan turunnya.
282
Sehingga dalam hal semacam ini, Rosulullah SAW sudah semestinya
menyampaikannya dengan jelas. Mereka yang menafikan pembatasan( jumlah ) disini
telah melampaui batas dalam menyikapi nash yang sampai pada derajat mutawatir.
Apalagi jika diperhatikan bahwa tema ini berkaitan dengan permasalahan yang
mempunyai hubungan langsung dengan wahyu dan cara turunnya. Dalam hal
semacam ini, Rasulullas SAW tidak mungkin memberitakan berita yang kabur dan
tidak menyebut bilangan yang tidak difahami.
Jadi, kata tujuh dalam tujuh huruf bukan berarti banyak sebagaimana difahami
oleh sebagian ulama. Tujuh disitu menunjukan arti sebenarnya. Demikian ini pendapat
mayoritas ulama.
283
3. Kemukjizatan Al-Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Sebab,
perubahan bentuk lafadz pada sebagian huruf dan kata-kata memberikan peluang
luas untuk dapat disimpulkan sebagai hukum daripadanya. Hal inilah yang
menyebabkan Al-Qur’an relevan untuk setiap masa. Oleh karena itu, para fuqaha
dalam istinbat dan ijtihadnya berhujjah dengan qira’at tujuh huruf ini
Qira’ah
Qira’ah secara etimologi adalah jamak dari Qira’ah artinya bacaan. Dan secara
terminology qira’ah didefinisikan sebagai cara (madzhab) pelafadzaan dalam
membaca Al-Qur’an yang dipelopori oleh seorang imam qira’at, bacaan itu berbeda
dengan cara membaca (madzhab) yang lain.
Qira’at ini didasarkan kepada sanad-sanad yang bersambung kepada Rosulullah
SAW. Periode Qurra yang mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada
Terminologi qira’at sab’ah sendiri belum dikenal di daerah-daerah islam
(Amshar Islamiyyah) ketika para imam qira’at mulai menulis tentang qira’at. Ilmu
qira’at dipelopori oleh Abu Ubaid Al-Qasim ibn Salam, Abu ja’far Ath thabari dan abu
hatim as sajistani. Berbeda dengan orientalis Goldziher yang menyebutkan bahwa
orang pertama yang membahas tentang qira’at dengan segala variasinya secara kritis
dan detail, kemudian menjelaskan kecenderungan masing-masing bacaan dan meneliti
sanadnya adalah harun ibn Musa. Ilmu Qira’at sendiri baru dikenal pada abad ke 2 H
ketika umat islam di daerah menemukan perbedaan cara baca antara imam satu
dengan yang lain. Sehingga dikenal di Mekah bacaan Ibn Katsir, bacaan Nafi’ di
Madinah, Ibn Amir di Syam, Abu Amr dan Ya’kub di Basrah, ‘Ashim dan Hamzah di
kuffah Ibn Mujahid mengumpulkan ketujuh bacaan imam di atas, tetapi dia mengganti
Ya’qub dengan Al Kisa’i.
Kemudian ada pihak yang menduga bahwa Al-Qur’an adalah qiro’at yang
dibaca oleh masing-masing imam. Atau dengan kata lain al-Qur’an dan Qira’at adalah
satu hakikat. Jika demikan, akan ada banyak versi Al-Qur’an sebagai kitab suci akan
dianggap mempunyai sanad yang rancu, tidak tetap dan tidak pasti.
Orientalis Ignaz Goldziher juga pernah menuduh sinis melalui statement nya
bahwa, “ tidak ditemukan kitab suci yang diakui oleh sekelompok umat beragama
bahwasannya dia benar-benar nash atau wahyu yang turun, yang menyajikan nash
nya dalam perjalanan masa yang panjang penuh dengan kerancuan dan
ketidaktetapan seperti yang kita dapati di dalam Al-Qur’an.
Az-Zarkasyi memberikan distingsi antara Al-Qur’an sebagai kitab suci dan
Qira’at sebagai cara membaca Al-Qur’an. Dia berpendapat bahwa Al-Qur’an dan
Qira’at adalah dua entitas yang berbeda. Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan
kepada Rosulullah SAW sebagai penjelas dan mukjizat, sedang Qira’at adalah
perbedaan pelafadzan wahyu tersebut dalam huruf dan karakternya. Al-Qur’an ada
sebelum qira’at muncul. Qira’at muncul setelah Al-Qur’an turun dan berinteraksi
dengan manusia dalam kapasitasnya sebagai kitab suci yang dibaca. Al-Qur’an adalah
entitas tersendiri hasil dari pewahyuan, sedang qira’at adalah persepsi manusia dalam
membaca teks Al-Qur’an.
284
pembaca dalam huruf dan harakat seperti mad (membaca panjang), imalah (antara
fathah dan kasrah), takhfif (membaca ringan), tashil (mengurangi huruf hamzah),
tahqiq, jahr, hams dan ghunnah. Seperti membaca “ adzabi dan adzabiya” semua ini
tidak mempengaruhi makna atau hukum yang dibawa sebuah ayat.
Kategori kedua, perbedaan yang mempengaruhi maknadalam penafsiran Al-
Qur’an. Yaitu perbedaan pada huruf kata seperti maliki yaumiddin (huruf mim dibaca
panjang) dengan maliki yaum ad-din (min dibaca pendek). Perbedaan bacaan juga
menyebabkan perbedaan hukum dalam kajian fiqh. Sehingga ulama fiqh berbeda
pendapat antara batal dan tidak nya wudhu seseorang karena persentuhan antar jenis
berdasarkan perbedaan juga menyebabkan perbedaan hukum dalam kajian fiqh.
Sehingga ulama fiqh berbeda pendapat antara batal dan tidaknya wudhu seseorang
karena persentuhan antar jenis berdasarkan perbedaan bacaan antara “lamastum” (lam
dibaca pendek) dengan “lamastum” (huruf lam dibaca panjang)
285
dan naskah utsmani. Qira’at jenis ini boleh dibaca. (3) Ahad yaitu qira’at yang shahih
sanad nya tetapi berbeda dengan naskah utsmaniatau bahasa Arab, hukum Qira’at ini
tidak boleh dibaca dalam shalat. (4) syadz yaitu qira’at yang tidak shahih sanad nya.
(5) Maudhu yang tidak mempunyai sandaran sanad sama sekali seperti qira’at Imam
Al-Khuza’i, Az-Zarqani menyebutkan tingkatan yang keenam yaitu qira’at mudraj
sebagaimana istilah mudraj dalam ilmu hadits yaitu tambahan dalam qira’at untuk
menafsirkan ayat, seperti bacaan sa’ad Ibn Waqqas: “wa lahu akhun aw ukhtun min
umm” dengan tambahan “min umm”jenis pertama dan kedua boleh dibaca, sedang
empat jenis qira’at terakhir tidak boleh dibaca sebagai Al-Qur’an.
Jadi secara umum kita dapat membagi qira’at menjadi dua kelompok besar: yang
boleh dibaca (al-maqru biha) dan yang tidak boleh dibaca (ghair maqru’ biha). Jumhur
ulama bersepakat qira’ah sab’ah boleh dibaca (al-maqru’ biha).tujuh imam qira’at
sab’ah itu adalah Abu ‘Amr, Nafi’, Ashim, Hamzah, Al-Kasa’i Ibn Katsir dan Ibn Amir.
Sedangkan Qira’at tsulatsah (tiga bacaan) yang melengkapi sepuluh qira’at masih
diperdebatkan ulama, antara yang membolehkan untuk dibaca dan yang tidak. Ibn Al
Subki berpendapat tiga bacaan tersebut mutawatir, menurut jalaluddin Al Mahalli
hukumnya hanya shahih, sedang menurut Ahli Fiqh adalah syadz (tidak mutawatir
dan tidak shahih).
Namun sebagian ulama berlebihan dalam menilai tujuh bacaan, dan
mengkafirkan orang yang meragukan kemutawatirannya. Mereka berdalil bahwa
mengingkari atau meragukan keutawatiran tujuh Qira’at tersebut sama dengan
meragukan kemutawatiran Al-Qur’an. Yang perlu diingat disini adalah bahwa Al-
Qur’an bukanlah tujuh qira’at, keduanya adalah dua hal yang berlainan. Disebutkan
dalam Manahil Al-irfan, barang siapa menganggap bahwa tujuh qira’at sama sekali
tidak mutawatir, maka dengan itu ia telah kafir. Karena secara umum, hal itu
mengindikasikan ketidakmutawatiran Al-Qur’an. Pendapat ini disandarkan kepada
Mufti Andalusia Abu Sa’id Faraj ibn Lub. Sementara Ibn Al-Subki, Ibn Hajib, Abu
Syamah dan mayoritas ulama berpendapat tujuh qira’at diatas adalah mutawatir.
Kesimpulan
Banyak yang menganggap bahwa qira’at sab’ah adalah ahruf sab’ah yang
disebutkan dalam hadits Rosulullah Saw. Abu Syahmah berkata, “orang yang
menduga bahwa qira’at sab’ah (tujuh bacaan) yang ada sekarang adalah yang
dimaksud dalam hadits (ahruf sab’ah), dimana hal itu bersebrangan dengan
kesepakatan (ijma’) seluruh pakar bidang ilmu ini, maka orang itu hanyalah orang
bodoh.
Jika ditinjau dari fakta historis, term ahruf sab’ah muncul sejak zaman
Rosulullah SAW (sejak turun nya wahyu). Sedangkan Qira’at sab’ah adalah hanya
istilah yang muncul pada zaman Tabi’in (abad kedua hijriyyah) dan merupakan aliran
(madzhab) dalam melafadzkan Al-Qur’an yang dipelopori oleh imam Qiro’at. Tidak
ada alasan untuk menyamakan antara keduanya. Yang perlu kita garis bawahi adalah
qira’at sab’ah, dengan berbagai versi nya masih dalam koridor ahruf sab’ah. Dan
qiro’at merupakan manifestasi dari cara membaca Al-Qur’an yang mencangkup ahruf
sab’ah. Dr. subhi shalih dalam bukunya menulis, “islam pada masa pertumbuhannya,
telah menemukan bahasa ideal yang terpilih dan layak untuk dijadikan perangkat
takbir (pengungkapan) dari beberapa orang arab secara umum. Kemudian,
bertambahlah karakter persatuan dan menguatlah pengaruhnya dengan turun Al-
Qur’an dengan bahasa Arab yang jelas (lisan arabi mubin) yaitu bahasa ideal yang
terpilih, meskipun demikian, pertemuan bahasa yang ditemui islam pada masa
tumbuhnya dan dikuatkan dengan Al-Qur’an setelah turunnya, tidak menafikan
fenomena pluralisasi dialek sebelumnya. Bahkan umumnya, orang Arab ketika
286
kembali ke kampung halaman mereka, tidak berbicara dengan bahasa persatuan yang
ideal tersebut. Tetapi mereka mengekspresikannya dengan dialek mereka masing-
masing, sehingga sangat kentara dalam ekspresi mereka sorak dialek dan melodi
mereka.
Daftar Rujukan
Qattan, Manna’. Mabahits fi ‘ulumil Qur’an,
Qattan, Manna’, Pengantar Study Ilmu Al-Qur’an, Terj. Aunur Rafiq El-Mazni. Cet. 1
Jakarta Timur: Pustaka Al Kautsar, 2012
Faizin, Nur. Tema Kontrovesial ‘Ulumul Qur’an, Jawa Timur : Kediri 2011
Shabur, Abdul, Syahin. Saat Al-Qur’an Butuh Pembelaan, Terj. Khoirul Amru Harahap,
Akhmad Faozan. Cet.1 PT. Gelora Aksara Pratama (2005)
Goldziher, Ignaz, Madzhab Tafsir, Terj, M. Alaika Salamullah, Saifuddin Zuhri Qudsy,
Badrus Syamsul Fata, Cet, 1, Yogyakarta, eLSAQ Press, 2003.
Subhi, Shaleh. Mabahits fi ‘ulumil Qur’an, Dar al ‘ilm Al Malayin. Beirut (1990) hal: 102-
103
As Suyuti, Al- Itqan fi ‘ulumil Qur’an, maktabah Dar At-Turats Kairo. Hal.131.
287