Anda di halaman 1dari 36

LOGIKA

Pengantar Penulis
Mantiq bukanlah ilmu tentang cara berpikir, tapi ia adalah ilmu atau kiat teknis
yang dapat menghindarkan manusia dari kesalahan dalam berpikir. Mantiq
bukanlah ilmu yang menawarkan kebenaran, tapi ia adalah ilmu tentang cara
mendefinisikan, membagi, menghimpun, memilah-milah dan berargumentasi
secara sistematik. Mantiq bukanlah ilmu agama. Ia bersifat universal dan lintas
agama bahkan linats keyakinan ketuhanan, sebagaimana diuraikan secara implisit
di atas.
Pada dasarnya, setiap manusia dapat berpikir sistematik. Namun karena tidak
konsentrasi atau mengutamakan emosi, maka ia terjeremus dalam kesalahan
berpikir dan berkesimpulan. Kasena itulah, Mantiq bukanlah ciptaan Aristoteles
ataupun filsuf lainnya. Manthiq adalah metode berpikir sistematik yang
sebenarnya sudah ada dalam diri setiap manusia secara inheren namun sering
kali tidak disadarinya. Kalau dikatakan, setiap manusia makan ayam, setiap
ayam makan kotoran, dan karenanya, setiap manusia makan kotoran maka
semestinya kita, tanpa perlu lebih dulu belajar Manthiq, akan meastikan bahwa
setiap manusia makan kotoran adalah salah. Kalau dikatakan, Setiap burung
bersayap, kambing bukan burung, karenanya kambing tidak bersayap, maka
semestinya kita, tanpa perlu lebih dulu mendalami Mantiq, akan berkesimpulan
bahwa kambing tidak bersayap adalah premis yang benar.
Lazimnya, berpikir secara benar melahirkan berkomunikasi secara benar
bahkan bersikap secara benar dan berpilaku secara benar. Terjadinya konflik
inter-personal dan inter-komunal baik dalam kehidupan sosial secara umum
maupun dalam dalamrumahtangga, lingkungan kerja, bahkan dalam kancah
politik sering kali disebabkan oleh kesalahfahaman, yang tidak lain adalah akibat
dari kesalahan berkesimpulan. Kesalahan dalam berkesimpulan adalah akibat dari
kesalahan dalam menata pikiran. Itu berarti, logika sangat penting bagi penganut
agama apapaun dan dengan profesi apapun.
Tentu, penulis ini tidak bisa menjamin setiap orang dapat berpikir benar hanya
dengan membaca sekali buku pengantar yang tipis ini. Berpikir benar
memerlukan latihan-latihan. Karena itulah, buku pengantar ini sebaiknya tidak
diperlakukan sebagaimana buku-buku bacaan lainnya yang hanya cukup sekali
dibaca.

Dalam kesempatan ini, saya harus berterimakasih kepada teman-teman yang


turut membantu, terutama Husin Nahrawi.
Mohsen Labib

BAB PERTAMA
Sebenarnya logika bukanlah tema yang terpisah dari epistemologi, karena ia
adalah imu tentang cara menggunakan akal atau cara memperoleh pengetahuan
assentual. Namun, area pembahasannya sangat luas, maka ia dipisahkan dari
epistemologi dan dianggap sebagai bidang ilmu yang mandiri.
Sesungguhnya logika dapat dianggap sebagai salah satu bagian dari
epistemologi. Namun, karena penting dan tema-temanya sangat luas, ia
dipisahkan dan dijadikan sebagai bidang tersendiri.
Definisi Logika
Logika berasal dari kata Latin; ligica atau logikos. Semula berarti apa yang
termasuk ucapan yang dapat dimengerti atau akal budi yang bergungsi baik,
teratur, sistematis, dapat dimengerti. Sebagian membagi logika menjadi dua;
logika klasik atau formal (aristotelian) dan logika modern (simbolik). (Kamus
Filsafat, 527 dan 533).
Logika atau Ilmul-Manthiq Aristotelian adalah tata cara berpikir secara benar
(pengetahuan assentual). Logika juga dapat didefinisikan sebagai pengetahuan
tentang prinsip-prinsip serta aturan-aturan penyimpulan yang sah. (Dasar-dasar
Filsafat, 6.3).
Manfaat Logika
Dengan logika, seseorang dapat meraih pengetahuan assentual. Dan dengan
bekal pengetahuan assentual tersebut, ia dapat melakukan hal-hal sebagai
berikut:
1. Menelurkan sejumlah pengertian (tentang, signifikansi atau Ad-Dilalah,
universalia dan partikularia, substansi dan aksiden, Al-Mafhum dan AlMishdaq, relasi-relasi dan sebagainya).
2. Melakukan definisi secara benar.
3. Melakukan analisis, pembagian dan pengelompokan secara benar.
4. Melakukan inferensi langsung dan tidak langsung.
5. Mendeteksi dan mengidentifikasi sesat pikir (falasi, Al-Mughatathah) dalam
setiap proposisi (Al-Manthiq Al-Islami, 593).
Logika Paripatetik dan Mazhab Qom
Sejarah mencatat bahwa orang yang pertama kali menulis buku tentang logika
adalah Aristoteles dengan karyanya Organon yang sangat terkenal itu. Murid
Plato yang paling menonjol ini
terdorong untuk meletakkan kaidah-kaidah
pemikiran dan teknik merangkai premis demi menghasilkan kesimpulan yang

benar setelah melihat dominasi dan pengaruh kaun sophis di Yunani. Logika
formal ini juga dikenal logika arsitotelian.
Logika formal telah dikembangkan dan dian disempurnakan oleh para filsuf
Muslim. Pelopor logika muslim ini adalah Abu Nashr Al-Farabi (260 339 H).
Logika muslim ini telah berkembang pesat berkat jasa besar Bu Ali Sina atau
Ibnu sina (370 428 H) yang telah menulis Ash-Shifa yang berisikan komentar
atas Organon karya Aristoteles. Ia juga telah menulis Al-Isharat yang berisikan
pandangan-pandangannya yang baru dalam logika.
Kerja besar Ibnu Sina
dilanjutkan oleh Khajah Nasiruddin ath-Tuhsi (597 672 H) yang menggegerkan
dunia pemikiran dengan bukunya Asas Al-iqtibas yang ditulisnya dengan bahas
Parsi.
Pendahuluan dan Inti logika
Pada bagian ini, kita akan mempelajari tema-tema pendahuluan yang sangat
diperlukan sebelum memasuki bagian utama logika. Tema-tema pendahuluan ini
meliputi antara lain; signifikansi antara kata dan arti. Sedangkan tema-tema inti
logika meliputi antara lain deduksi, induksi dan analogi.
Signifikansi
Signifikansi (Ad-Dilalah) adalah sesuatu yang meniscayakan pengetahuan
terhadap sesuatu akibat pengetahuan sebelumnya terhadap sesuatu lain yang
berkaitan, seperti bunyi bel pintu rumah yang akan meniscayakan benak Anda
membayangkan adanya seseorang di balik pintu yang menekan tombol bel.
Tiga pilar signifikansi
Signifikansi terdiri atas tiga pilar utama;
1. Subjek Penunjuk (Ad-Dal), seperti bunyi bel
2. Objek Tertunjuk (Al-Madlul alaih), seperti keberadaan seseorang di balik
pintu
3. Proses kepenunjukan (Ad-Dilalah). Yaitu konfirmasi Anda tentang adanya
seseorang di balik pintu karena adanya bunyi bel.
Dua macam signifikansi
Signifikansi (Ad-Dilalah) ditinjau dari hubungannya terbagi dua yaitu;
1. Signifikansi
verbal
(Ad-Dilalah
Al-Lafdhiyah).
Yaitu
hubungan
kepenunjukan antara sesuatu yang non-kata dengan sesuatu yang kata,
seperti hubungan kepenunjukan antara mendengar suara di balik pintu dan
kepastian adanya seseorang yang berbicara.
2. Signifikansi non verbal (Ad-Dilalah Ghair Al-Lafdhiyah) Yaitu hubungan
kepenunjukan antara sesuatu yang non-kata dan sesuatu non-kata lainnya,
seperti hubungan kepununjukan antara melihat asap di balik dinding dan
kepastian adanya api.
Tiga signifikansi verbal
Signifikansi verbal terbagi tiga;
1. Signifikansi verbal rasional (Ad-Dilalah Al-Lafdhiyah Al-Aqliyah), seperti
mende-ngar suara di luar rumah yang bersignifikansi tentang adanya
seseorang yang berbicar.
2. Signifikansi verbal natural (Ad-Dilalah Al-Lafdhiyah Ath-Thabiiyah),
seperti kata aakh! yang bersignifikansi tentang adanya rintihan nyeri.
3. Signifikansi verbal konvensional (Ad-Dilalah Al-Lafdhiyah Al-Wadhiyah).
Tiga signifikansi non verbal
Signifikansi non verbal (Ad-Dilalah Ghairul-lafdhiyah) terbagi tiga;
1. Signifikansi non verbal rasional (Ad-Dilalah Ghairul-lafdhiyah Al-Aqliyah),
seperti melihat asap di balik dinding yang bersignifikansi tentang adanya
api.
2. Signifikansi non verbal natural (Ad-Dilalah Ghairul-lafdhiyah Ath-

Thabiiyah), seperti kesemutan yang bersignifikansi tentang kurang


lancarnya peredaran darah.
3. Signifikansi non verbal konvensional (Ad-dilalah Ghairul-lafdhiyah AlWadhiyah), seperti lampu merah yang bersignifikansi tentang diperbolehkannya berjalan dan lampu merah yang bersignifikansi tentang larangan
berjalan.
Tiga signifikansi verbal konvensional
Signifikansi verbal konvensional (Ad-dilalah Al-Lafdhiyah Al-Wadhiyah) terbagi
tiga;
1. Signifikansi verbal konvensional komprehensif (ad-dilalah allafdhiyah al-muthabaqiyah). Yaitu signifikansi kata terhadap seluruh arti
yang tercakup di dalamnya, seperti kata rumah yang bersignifikansi
terhadap seluruh sudutnya.
2. Signifikansi verbal konvensional inklusif (ad-Dilalah Al-Lafdhiyah AtTadhamuniyah). Yaitu signifikansi kata terhadap bagian tertentu dalam
arti yang telah ditetapkan, seperti kata pasar yang bersignifikansi
terhadap salah satu bagiannya saja atau salah satu toko di dalamnya.
3. Signifikansi verbal konvensional identik (Ad-Dilalah Al-Lafdhiyah AlIltizamiyah). Yaitu signifikansi kata terhadap sebuah arti yang identik
dengan arti yang telah ditetapkan, seperti kata Tarzan yang
bersignifikansi terhadap keluguan. Bila dikatakan Bondan adalah
Tarzan maka signifikansi identiknya adalah Bondan adalah orang yang
lugu, bukan Bondan adalah Tarzan, karena tarzan adalah nama
seseorang yang hidup di hutan.
Kata
Kata adalah susunan huruf yang diungkap melalui tulisan atau suara dengan
tujuan dan signifikansi arti tertentu.
Kata (al-lafdh), ditinjau dari sisi arti yang disandangnya terbagi enam;
1. Kata anonim (al-lafdh al-mukhtash). Yaitu kata yang menyandang
(mengandung) satu arti, seperti batu, besi, manusia.
2. Kata homonim (al-lafdh al-musytarak). Yaitu kata yang menyandang
beberapa artii, seperti apel (yang berarti buah tertentu, dan berarti
pertemuan antara komandan dan prajurit-prajuritnya), seperti
3. Kata transformatif (al-lafdh al-manqul). Yaitu kata yang semula
mengandung arti sebuah benda, kemudian digunakan secara permanen
dengan arti benda lain, seperti kata motor yang bisa berarti penggerak
mesin atau syaraf.
4. Kata spontan (al-lafdh al-murtajal). Yaitu kata yang semula mengandung
arti benda tertentu kemudian digunakan untuk air benda lain tanpa ada
korelasi antara arti pertama dan arti kedua, seperti kata perwira yang
semula berarti seorang berpangkat tertentu dalam struktur militer,
namun disandang sebagai nama seseorang, atau lincah yang semula
berarti gesit digunakan untuk nama seekor kuda.
5. Kata sejati (al-lafdh al-haqiqi). Yaitu kata ayang sejak semula dan
seterusnya diletakkan dengan arti sebuah benda tertentu, seperti
perwira yang mengandung arti sesungguhnya.
6. Kata metaforik (al-lafdh al-majazi, al-majaz). Yaitu kata yang
mengandung arti tertentu namun digunakan dengan arti lain, karena
adanya korelasi antara dua arti tersebut, seperti bolduzer, yang
semula berarti mobil pemusnah bangunan atau perata jalan, disandang
sebagai nama atau julukan oleh seorang petinju, misalnya, karena
pukulannya yang sangat keras.
Sebagian ahli menolak pembagian klasik ini. Mereka lebih cenderung kepada
pembagian kata menjadi dua; hakiki dan tidak hakiki.

Relasi antar kata


Sebuah kata (verba; Latin) bila direlasikan dengan kata lain akan memberikan
signifikansi arti tertentu. Ada dua bentuk hubungan atau relasi antar dua kata
atau lebih. Yaitu sebagai berikut:
1. Relasi kesamaan (equavalen, Nisbah At-Taraduf), yaitu hubungan
kesamaan antar dua kata atau lebih dalam signifikansi arti, seperti
manusia dan insan atau hewan dan binatang.
2. Relasi kelainan (Nisbah At-Tabayun), yaitu hubungan ketidak-samaan
antar dua kata atau lebih dalam signifikansi arti, seperti langit dan
bumi atau kerbau dan dosen.
Tiga macam Relasi Kelainan
Relasi kelainan bermacam tiga;
1. Relasi kessejenisan (Nisbah At-Tamatsul), yaitu salah satu dari dua kata
atau lebih sama artinya (sama dalam sebuah realitas) dengan kata
lainnya, seperti Zainab dan Fathimah yang merupakan dua kata
dengan realitas objektif yang sama, dalam kemanusiaan atau
kewanitaan atau kelinci dan harimau yang sama dalam kehewanan.
2. Relasi ketidaksamaan (Nisbah At-Takhaluf), yaitu masing-masing dari
dua kata atau lebih mengandung arti yang secara real berbeda, seperti
anjing dan sapi (meski keduanya sama dalam realitas tertentu).
3. Relasi pertentangan (Nisbah At-Taqbul), yaitu dua kata atau lebih yang
masing-masing menafikan arti kata lainnya, seperti ada dan tiada
atau maju dan mundur .
Empat macam Relasi Pertentangan antar kata
Ada empat macam relasi pertentangan, yaitu sebagai berikut;
1. Pertentangan antar dua kata kontradiktif (saling menggugurkan, Taqabul
An-Naqidhain). Yaitu hubungan pertentangan afirmatif dan negatif,
seperti manusia dan bukan manusia.
2. Pertentangan antar dua kata potensial dan impotensial (TaqabululMalakah wa Adamul-Malakah). Yaitu hubunngan pertentangan antara
memiliki sesuatu dan yang tidak memilikinya, seperti buta dan
melihat. Hanya manusia atau setiap makhluk yang punya mata saja
yang bisa disebui buta jika matanya tidak dapat melihat. Sedangkan
kayu yang sejak semula tidak punya mata dan tidak bisa melihat tidak
bisa disebut buta.
3. Pertentangan antar dua kata yang sama-sama mengandung arti
afirmatif namun tidak dapat bertemu dalam satu realitas, meskipun
saling membutuhkan, seperti atas dan bawah atau antara ibu dan
anak, karena yang kedua bergantung pada yang pertama atau
sebaliknya. (Mudzakkiratul-manthiq, 46-48).
4. Pertentangan antara dua kata dan arti sama-sama eksistensial
(afirmatif) dan tidak saling membutuhkan, dan keduanya bisa samasama tiada (Taqbul-Adh-Dhain).
Dua macam kata signifikan
Kata ditinjau dari signifikansi (Ad-Dilalah) atas artinya terbagi dua;
1. Kata tunggal (Al-Lafdh Al-Mufrad). Yaitu kata yang elemen-elemennya
tidak menunjukkan bagian artinya, seperti kata Muhammad tidak
menunjukkan arti secara utuh.
2. Kata rangkai (Al-Lafdh Al-Murakkab). Yaitu kata yang terakumulasi lebih
dari satu.
Tiga macam kata
Kata tunggal dilihat dari fungsinya,(Al-Lafdh Al-Mufrad) terbagi tiga;
1. Kata benda (Al-Ism). Yaitu kata yang disandang sebagai tanda, seperti
Muhammad, sekolah dan sebagainya.
2. Kata kerja (Al-Fi'l), seperti membaca dan berpikir.

3. Kata penghubung (Al-adat), seperti kapan, dalam, dan belum.


Dua macam Kata rangkai
Kata rangkai, dilihat dari pengertian isinya, terbagi dua;
1. Kata rangkai sempurna (Al-Murakkab At-Tam). Yaitu rangkaian kata yang
memberikan pemahaman utuh, seperti Ali makan apel.
2. Kata rangkai tidak sempurna (Al-Murakkab An-Naqish). Yaitu rangkaian
kata yang tidak memberikan pemahaman utuh, seperti Jika ia
datang,...
Kata rangkai sempurna (Al-Lafdh Al-Murakkab At-Tam), dilihat dari unsur-unsurnya,
terbagi dua;
1. Rangkaian kata predikatif (Al-Khabar, Al-Jumlah Al-Khabariyah). Yaitu
rangkaian kata yang mengandung nilai benar dan salah, seperti Salim
telah lulus.
2. Rangkaian kata konstruktif (Al-Insya, Al-Jumlah Al-Insyaiyah). Yaitu
rangkaian kata yang tidak mengandung nilai benar dan tidak benar,
seperti Sugeng! Rajinlah belajar. Siapakah dia? (KhulashatulManthiq, 26-29)
Kata rangkai konstrukstif (Al-Jumlah At-Tammah Al-Insyaiyah) meliputi bentukbentuk sebagai berikut:
1. Kata rangkai konstruktif yang bersignifikansi perintah, seperti Minumlah
air ini!
2. Kata rangkai konstruktif yang bersignifikansi larangan, seperti jangan
memukul kucing itu!
3. Kata rangkai konstruktif yang bersignifikansi pertanyaan, seperti
apakah pasar itu telah dibuka?
4. Kata rangkai konstruktif yang bersignifikansi pengharapan dan anganangan, seperti Oh, seandainya aku menjadi milyuner sekarang
5. Kata rangkai konstruktif yang bersignifikansi sikap heran dan terkejut,
seperti Betapa indahnya panorama di desa ini.
6. Kata rangkai konstruktif yang bersignifikansi pengesahan, seperti Aku
telah menjual rumah ini kepada Anda
7. Kata rangkai konstruktif yang bersignifikansi penetapan sepihak, seperti
Anda dipecat.
Arti
Arti (Al-Mana) adalah setiap kata yang menunjukkan sebuah realitas dan
mengarahkan kepada kegunaan (Rasail Ikhwanush-Shafa, 3, 119). Sebagian
mendefinsikannya sebagai sesuatu yang ditangkap oleh jiwa dengan indera
esoterik (batiniah) (Asy-Syifa, Thabiiyat, Al-fan As-sadis, 35).
Pengertian dan Fakta
Arti terbagi dua;
1. Pengertian (Al-Mafhum). Yaitu arti (Al-Mana) yang ada dalam benak (AdDzihn, subjek).
2. Perwujudan (Al-Mishdaq, ekstensi, terapan). Yaitu arti (Al-Mana) yang ada
dalam realitas (objek).
Hubungan antara Al-Mafhum dan Al-Mishdaq adalah hubungan teori (ide) dengan
aplikasinya, seperti manusia sebagai mafhum dan Bambang dan Arif sebagai
-Mishdaq-mishdaqnya.
Dua macam Pengertian
Pengertian yang juga disebut dengan Al-Mafhum terbagi dua;
1. Universalia (Al-Mafhum Al-Kulli). Yaitu pengertian yang berlaku atas lebih
dari satu ekstensi.
2. Partikularia (Al-Mafhum Al-Juziy). Yaitu pengertian yang berlaku atas satu

ekstensi.(Hakadza Nabda, 223-224, Al-Manhaj Al-Jadid, Bidayatul-Hikmah,


Al-Mausuah Al-Falsafiyah, 427-428, Metafisika, Lorens Bagus, KhulashatulManthiq, 31).
Dua macam Universalia
Universalia atau Al-Kulli, dilihat dari intensitas kekuatan dan kelemahannya,
terbagi dua;
1. Universalia setara (Al-Kulli Al-Mutawathii). Yaitu universalia yang berlaku
atas ekstensi-ekstensinya secara merata, seperti manusia, buku.
2. Universalia gradual (Al-Kulli Al-Musyakkik). Yaitu universalia yang berlaku
atas beberapa ekstensinya (Al-Mashadiq, Al-Mishdaq) secara bertingkat,
seperti wujud, putih, tinggi.
Dua macam Partikularia
Partikularia, dilihat dari aplikasi dalam realitas objektif, terbagi dua;
1. Partikularia sejati (Al-Juziy Al-Haqiqi). Yaitu pengertian parsial yang benarbenar hanya berlaku atas satu ekstensi.
2. Partikularia relatif (Al-Juziy Al-Idhafi). Yaitu pengertian yang termasuk
dalam himpunan pengertian lain yang lebih luas, seperti manusia (yang
termasuk dalam universalia hewan).
Relasi antar Universalia
Relasi antar masing-masing universalia (An-Nisab Al-Arbaah) ketika berlaku atas
setiap ekstensinya (Al-Mishdaq), seperti relasi antar burung dan manusia meliputi
empat bentuk;
1. Relasi kesamaan (Nisbah At-Tasawi), yaitu relasi antar dua universalia yang
berlaku sama-sama atas realitasnya, seperti manusia dan berakal budi.
Universalia manusia beralaku atas realitas yang berakal budi, dan
universalia yang berakal budi berlaku atas realitas manusia .
Contoh proposisi:
Setiap manusia adalah yang berakal budi
Setiap yang berakal budi adalah manusia
2. Relasi keberlainan (Nisbah At-Tabayun), yaitu relasi antar dua universalia
yang masing-masing berlaku atas realitasnya sendiri-sendiri, seperti relasi
antara universalia hewan dan dan universalia benda padat.
Contoh proposisi:
Hewan bukanlah benda padat
Benda padat bukanlah hewan
3. Relasi antara universalia khusus dan universalia yang lebih umum (sempit
dan lebih luas), yaitu relasi antar dua universalia, yang mana salah satu
universalia memiliki esktensi lebih luas sehingga mencakup ekstensi
uinversalia lainnya, seperti relasi antara universalia hewan dan universalia
hewan.
Contoh proposisi:
Semua burung adalah hewan
Sebagian hewan dalah burung
4. Relasi pesilangan (interseksi) antara dua universalia yang masing-masing
berlaku atas ekstensi lainnya , seperti relasi antara universalia putih dan
universalia burung.
Contoh proposisi:
Sebagian (yang berwarna) putih adalah burung
Sebagian burung adalah (yang berwarna) putih .
Agar dapat membuat definisi, klasifikasi dan inferensi, kita perlu mengetahui lebih
jauh tentang macam-macam universalia (Al-Kulliyatul-Khamshah)

Universalia Substansial dan Universalia Aksidental


Universalia dibagi menjadi dua bagian utama;
1. Substansi (penyandang), yaitu adalah universalia yang menyandang
aksiden atau sesuatu yang dilekati oleh entitas-entitas non substansial
lainnya, seperti kaegori manusia yang merupakan sebuah substansi
yang menyandang gembira, di Surabaya dan kemarin. Ia
diterjemahkan dalam bahasa Arab sebagai jauhar.
2. Aksiden (sandangan), yaitu pengertian yang disandang oleh substansi.
Dua Universalia Substansial
Substansi terbagi tiga:
1. Spesies (An-Nau), yaitu universalia yang terdiri atas genus dan difrentia
(ciri pembeda), seperti manusia.
2. Genus (Al-Jins), yaitu universalia yang lebih luas dari spesies, seperti
hewan yang berlaku atas manusia dan Bambang dan kuda.
3. Diffrentia (Al-Fashl), yaitu ciri khas inheren yang membedakan antara
sebuah spesies dan spesies lainnya, seperti berakal bagi manusia,
atau menggonggong bagi anjing.
Dua Universalia Aksidental
Aksiden ditinjau dari penerapannya terbagi dua;
1. Aksiden umum (common accident, Al-Aradh Al-Am), yaitu ciri khas yang
tidak menjadi bagian inheren dalam persona, seperti berjalan bagi
manusia, yang juga ada pada spesies lain, anjing, misalnya.
2. Aksiden khusus (proper accident, Al-Aradh Al-Khash), yaitu ciri khas yang
menjadi bagian inheren dalam persona, namun hanya bersifat kondisional
dan efeksional, seperti dapat menjadi heran, karena heran hanya ada
pada spesies manusia. (Durus fi Ilmil-Manthiq, 45-46, Pengantar menuju
Logika, 51-58, Pengantar Logika, 20-21, dll).
Para ahli logika kuno mempunyai cara dan versi pembagian lain, yaitu
memasukkan substansi dan aksiden dalam kategori-kategori. Kategori (AlMaqulat) berasal dari bahasa Yunani kategoria, yang disusun dari kata kata dan
agoreuein, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan Al-maqulat. Ia adalah
arti-arti abstrak dan konsep primer yang sederhana (tak tersusun). Kategori bisa
diartikan sebagai pernyataan (Metafisika, Lorens Bagus, 119 dan 120, Kamus
Logika The Liang Gie, 21, Hakadza Nabda, 234-235, ).
Aristoteles, bapak Logika, menyebutkan 10 kategori. Semua entitas yang
berbentuk substansi termasuk dalam kategori pertama, sedangkan sembilan
kategori lainnya hanya untuk entitas yang berupa aksiden (non subtansial).
9 Universalia Aksidental
Aksiden meliputi 9 pengertian sebagai berikut:
1. Kuantitas (Al-Kammiyah), yaitu jumlah atau besaran, baik yang
bersambung (geometri) maupun yang tak bersambung (hitung).
2. Kualitas (Al-Kaifiyah), yaitu sifat-sifat sensual eksoteris, seperti rasa,
warna, aroma, dan sesual secara esoteris, seperti dugaan dan perasaan.
3. Relasi (An-Nisbah, Al-Idhafah), yaitu hubungan antara sesuatu dengan
sesuatu lain dengan membandingkan hubungan lain, seperti seorang
wanita adalah ibu dengan relasi anak, sekaligus anak dengan relasi ibu.
4. Posisi (Al-Wadh'), yaitu keadaan tertentu dalam realitas, seperti berdiri,
duduk, dan sebagainya.
5. Lokasi (Al-Makan), yaitu tempat yang menjadi ruang sebuah benda
berada, seperti (ia berada) di rumah, di pasar, dan seterusnya.
6. Durasi (Az-Zaman), yaitu jarak waktu yang menjadi tempo sebuah
benda berada, seperti (ia tidur) tadi, besok, dan seterusmya.
7. Possesi (Al-Milkiyyah), yaitu kepemilikan, seperti rumah Agus,
uangku, Ia punya mobil, dan sebagainya.

8. Aksi (Al-Fi'liyah), yaitu kegiatan atau tindakan, seperti (dia)


meruncingkan (pensi), (aku) membangun (rumah), dan sebagainya.
9. Pasi (Al-Infi'aliyah), yaitu keterpengaruhan atau kependeritaan akibat
sesuatu oleh sesuatu yang lain, seperti setelah kuobati, rasa sakitnya
hilang, ia muntah karena mabuk perjalanan, dan sebagainya.
(Metafisika Lorens bagus, 119, Kamus Logika 21, Hakadza Nabda 335).
Lima Universalia Substansial
Substansi, menurut sebagian besar para filsuf ontologi, ditinjau dari eksistensinya
terbagi menjadi lima;
1. Forma, (Ash-Shurah), yaitu tampilan khusus seseuatu, seperti gambar
(tampilan) manusia, pohon, dan sebagainya.
2. Benda (materi, Al-Maddah), yaitu inti setiap entitas dan mengenakan
forma, seperti benda kayu dalam tampilan kursi, benda katun dalam forma
kemeja, dan sebagainya.
3. Raga, (body, Al-Jism) yaitu entitas (sesuatu) yang terdiri atas benda dan
forma.
4. Jiwa (An-Nafs, Ar-Ruh, spirit), entitas non bendawi namun berhubungan
(bersambung) dengan raga material dan bekerja di dalamnya secara
misterius.
5. Akal (Al-Aql, rasio, akal budi), yaitu substansi unik yang mempunyai
kemampuan untuk memahami dengan perantara benda, dan kadang kala
tanpa perantaranya. (Hakadza Nabda, 232-233, Metafisika, 123-124,
Klubertanz, 1955, Notonagoro, 1671, Dasar-dasar Filsafat, 5.10).
Definisi
Definisi (At-Ta'rif) adalah penjelasan tentang realitas dan arti (hakikat) sesuatu.
Sebagian mendefinisikan definisinya sebagai mengenali sesuatu yang bisa
berkaitan dengan dunia lidah, dunia pikiran dan dunia realitas (Practical Logic, S.
Ali Asqar Khandan, 63)
Macam-macam Definisi
Definisi dapat dibagi dalam beberapa versi pembagian berdasarkan aspek
tertentu. Namun pembagian paling penting dalam definsisi adalah ketika dibagi,
berdasarkan tujuannya, menjadi dua;
1. Definisi hakiki (At-Tarif Al-haqiqi)
2. Definisi verbal (At-tarif Al-lafzhi)
Definsi verbal dapat dibagi dua;
1. Definisi konvensional (At-Tarif Al-wazhI)
2. Definisi informatif
Definisi dapat dilakukan dengan empat versi;
1.
Definisi dengan terma sempurna (Al-Had At-Tam), yaitu definisi yang
memuat genus dekat dan deferentia dekat, seperti manusia adalah hewan
yang berakal budi.
2.
Definisi dengan terma tidak sempurna (Al-Had An-Naqish), yaitu definisi
yang memuat genus jauh (Al-jins Al-baid) dan deferentia dekat atau yang
hanya memuat deferentia semata, seperti manusia adalah benda hidup
yang berakal budi atau manusia adalah yang berakal budi.
3.
Definisi dengan forma sempurna (Ar-Rasm At-Tam), yaitu definisi yang
memuat genus dan aksidentia khusus (Al-aradhi Al-kahsh, Al-khashshah),
seperti manusia adalah hewan yang ketawa., manusia adalah seperti
Muhammad, Agus dan Budi.
4.
Definisi dengan forma tidak sempurna (Ar-Rasm An-Naqish), yaitu definisi
yang hanya memuat aksidentia khusus semata, seperti manusia adalah
yang ketawa, atau kursi adalah yang sama dengan bangku, atau air
adalah yang terdiri atas hidrogen dan oksigen.

Syarat-syarat definisi
Berikut ini adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pendefinisian:
1. Definisi hendaknya sama dalam dengan sesuatu yang didefinisikan dalam
konteks penerapan atas ekstensi-ekstensinya.
Ketika mendefinisikan manusia sebagai (dengan) hewan berakal budi, maka
dalam definisi ini, hendaknya berakal budi juga berlaku atas ekstensi-ekstensi
manusia, dan tidak berlaku atas lainnya, atau sebagian daripadanya.
Atas dasar syarat pertama di atas, maka pelaku definisi harus menghindari
larangan-larangan di bawah ini:

Hendaknya definisi tidak lebih umum dari sesuatu yang didefinisikan,


seperti manusia adalah hewan yang berjalan dengan dua kaki, karena selain
manusia banyak spesies lain yang berjalan dengan dua kaki.

Hendaknya definisi tidak lebih khusus dari sesuatu yang didefinisikan,


seperti sarjana adalah penyandang gelar S3, karena peyandang S1 dan S2
juga termasuk sarjana.

Hendaknya definisi tidak berupa penjelasan yang berbeda dengan sesuatu


yang didefinisikan, seperti manusia adalah benda padat, karena masingmasing mempunyai ekstensi (terapan) yang berlainan.
2. Definisi hendaknya berupa penguraian yang lebih jelas dari sesuatu yang
didefinisikan bagi lawan bicara atau pendengar dan pembaca.
Atas dasar syarat kedua di atas, maka pelaku definisi harus menghindari laranganlarangan di bawah ini:

Hendaknya definisi tidak sama jelasnya dengan sesuatu yang didefinisikan,


seperti ibu adalah yang melahirkan anak dan anak adalah yang dilahirkan
ibu, karena ibu tidak lebih jelas dari anak, demikian pula anak yang tidak
lebih jelas dari ibu.

Hendaknya definisi tidak lebih semu dari sesuatu yang didefinisikan, seperti
cahaya adalah energi yang menyerupai eksistensi atau ilmu adalah konsep
yang tercerap melalui penginderaan., karena energi yang menyerupai
eksistensi lebih semu daripada cahaya, dan konsep yang tercerap melalui
penginderaan lebih tidak jelas dari pengetahuan.
3. Definisi hendaknya berupa kata atau beberapa kata yang mempunyai
pengertian berbeda dengan pengertian sesuatu yang didefinisikan, seperti
manusia adalah hewan berakal. Pengertian hewan dan pengertian berakal
budi berbeda dengan pengertian manusia.
Atas dasar syarat ketiga di atas, maka pelaku definisi harus menghindari larangan
sebagai berikut:
Hendaknya definisi tidak dilakukan dengan menggunakan kata yang sama dengan
sesuatu yang didefinisikan, meski berbeda kata, seperti manusia adalah insan,
karena manusia adalah insan itu sendiri.
4. Definisi hendaknya tidak menggunakan pengertian yang merupakan
konsekuensi (produk) pengetahuan akan sesuatu yang didefinisikan, seperti
manusia adalah hewan berakal budi. Pengetahuan akan hewan dan
pengetahuan tentang berakal budi bukanlah hasil dari pengetahuan tentang
manusia.
Atas dasar syarat keempat di atas, maka pelaku definisi harus menghindari
larangan-larangan di bawah ini:
Hendaknya definisi tidak berupa penguraian pengertian yang merupakan produk

10

dari sesuatu yang yang didefinisikan, seperti matahari adalah cahaya yang terbit
di siang hari, karena siang diketahui setelah matahari diketahui lebih dulu.
5. Definisi hendaknya berupa penguraian dengan kata yang mempunyai arti
jelas, tidak ambigu atau semu. (Khulashatul-manthiq, 39-43, Pengantar Logika,
Durus fi Ilmil-Manthiq, 53-55, Komposisi, hal. 50-53).
Distingsi
Distingsi (At-Taqsim) adalah pembagian (pemilahan) terhadap sesuatu ke spesiesspesiesnya atau penguraian sesuatu dalam unsur-unsurnya.
Dua pilar distingsi
Distingsi hanya dapat menghasilkan secara benar, apabila terdiri atas dua pilar
sebagai berikut:
1. Tujuan (Al-Muqassim), yaitu sasaran yang hendak dicapai oleh pelaku
distingsi.
2. Aspek (Al-Jihah), yaitu sudut dan karateristik yang dijadikan sebagai
patokan dalam melakukan distingsi, seperti hewan dari aspek jenis
makanannya menjadi dua; hewan pemakan tumbuh-tumbuhan dan hewan
pemakan daging, atau pembagian Indonesia dari aspek geografis menjadi
timur, barat, selatan, dan utara.
Dua macam distingsi
Distingsi dapat dibagi menjadi dua macam;
1. Distingsi natural (Al-Qismah Ath-Thabiiyah), yaitu penguraian sesuatu
kepada partikular-partikular yang terhimpun di dalamnya, seperti pembagian
air ke dalam oksigen dan hidrogen.
2. Distingsi logis (Al-Qismah Al-Manthiqiyah), yaitu penguraian sesuatu ke
dalam spesies-spesies yang menjadi terapannya, seperti pembagian kata ke
dalam kata benda, kata kerja, dan kata sifat.
Syarat-syarat distingsi
Pembagian atau distingsi logis dapat dilakukan apabila syarat-syaratnya telah
terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Mengasumsikan sebuah patokan (standar) dalam pembagian. Karenanya,
pembagian terhadap sesuatu (satu hal) menjadi tidak valid apabila dibagi
berdasarkan lebih dari satu standar sekaligus.
2. Setiap sesuatu yang merupakan terapan (ekstensi, objek) bagian harus
menjadi terapan bagi pembagi.
3. Hendaknya setiap spesies tidak saling tumpang tindih. Karenanya, tidak
bisa, misalnya, membagi rumah menjadi dua yang bertembok semen dan
rumah yang dibangun dengan batu, karena rumah yang dibangun dengan batu
termasuk rumah yang bertembok semen.
4. Mata rantainya harus bersambung. Bila salah satu mata rantainya terputus,
seperti membagi membagi hushuli menjadi badihi dan nadhari, lalu membagi
nadhari menjadi pengetahuan eksakta dan humaniora, karena eksakta dan
humaniora adalah pengetahuan-pengetahuan yang muncul setelah beberapa
kali pembagian sebelumnya.
Perbedaan antara pembagian natural dan pembagian logis dapat diringkas
sebagai berikut:

Dalam pembagian logis, "yang dibagi" maupun "yang membagi" dapat


menjadi subjek atau menjadi predikat bagi lainnya, seperti kalimat adalah
kata benda dan kata benda adalah kalimat.

Dalam pembagian natural, hal itu tidak dapat dilakukan, seperti oksigen
adalah air dan air adalah oksigen.

Dalam pembagian logis adalah aksi (proses) yang bersifat menurun,


bermula dari genus ke spesies-spesies, dan dari spesies-spesiesnya ke bagianbagiannya, dan dari bagian-bagiannya ke person-personnya.

11

Agar pembagian menjadi valid dan mencakup semua bagian-bagiannya,


maka calon pembagi dapat melakukan pembagian dengan dua cara sebagai
berikut:

Pembagian secara dikotomis, yaitu berpindah-pindah dari negasi dan


afirmasi, seperti pembagian hewan kepada berakal budi dan tidak berakal
budi, dan pembagian hewan berakal budi ke pria dan selain pria.

Pembagian secara rinci (spesifik), yaitu pembagian sesuatu kepada semua


bagiannya secara detail, seperti pembagian rumah kepada pintu, dinding,
atap, lantai dan seterusnya.
Klasifikasi
Klasifikasi (At-Tashnif, pengelompokan) didefinisikan sebagai meletakkan personapersona dalam kelompok-kelompok yang berlainan beradasarkan standar tertentu,
seperti pengelompokan bermacam buku di perpustakaan berdasarkan kesamaan
bidang ilmu tertentu.
Dua macam klasifikasi
Klasifikasi dapat dibagi dua;
1.
Klasifikasi akademik (At-Tashnif Al-Ilmi).Yaitu tindakan yang bertujuan
meletakkan segala sesuatu dalam satu sistematika tertentu yang
membuatnya berbeda dengan lainnya, dan meletakkan titik-titik temu dan
titik-titik beda di antara spesies-spesiesnya.
2.
Klasifikasi non akademik (At-Tashnif Ghairul-ilmi). Yaitu tindakan yang
mengandalkan pencermatan terhadap sifat-sifat lahiriah segala sesuatu,
seperti sifat bentuk, ukuran, bobot, yang biasanya tidak untuk kepentingan
atau tujuan akademis.
Pembagian dimulai dengan genus ke spesies-spesiesnya lalu ke kelompokkelompoknya, dan dari kelompok ke persona-personanya, dan begitulah
seterusnya. Alur pembagian dimulai atas atas ke bawah.
Sedangkan pengelompokan dimulai dari persona-persona kekelompok, dan dari
kelompok-kelompok ke spesies, dan dari sepesies-spesies ke genus. Alur
pengelompokan dimulai dari bawah ke atas. (Khulasahatul-manthiq, 44-50,
Pengantar Logika, Komposisi, Gorys keraf hal. 96-98, Kamus filsafat, 171-172)
Analisa
Analisis (penguraian, At-Tahlil) adalah membagi sesuatu kepada patikel-partikelnya
dari unsur-unsur atau sifat-sifat atau ciri-ciri khas, atau memilah-milahnya lalu
mempelajarinya satu demi satu untuk mencari-tahu hubungan di antaranya.
Dua macam analisa
Analsis terbagi dua;
1.
Analisis natural atau material (At-Tahlil Al-Maddi).Yaitu pembagian (objektif)
terhadap sesuatu menjadi partikel-partikel atau memilah-milah masingmasing unsur-unsurnya dalam realitas objektif, seperti menganalisis air
kepada oksigen dan hidrogen.
2.
Analisis rasional (At-Tahlil Al-Aqli). Yaitu pembagian dan pemilahan (subjektif)
sesuatu atau sifat sesuatu atau ciri-cirik khas sesuatu dalam benak, seperti
pembagian universalia menjadi substansi dan aksiden, atau membagi
substansi menjadi genus, predikat dan genus.
Komposisi
Komposisi
(At-Tarkib) adalah menyusun partikel-partikel sesuatu atau
menghubungkan masing-masing sifat dan ciri-ciri khas yang terpisah dalam satu
bentuk kesamaan demi menghasilkan hukum general.
Dua macam Komposisi
Komposisi terbagi dua;

12

1.

2.

Komposisi material (At-Tarkib Al-Maddi), yaitu mengumpulkan secara objektif


partikel-partikel sesuatu dalam rangkain yang sempurna, seperti ahli kimia
yang menyusun air buatan (artifisial) kedalam dua unsurnya sebagaimana
menyusun air objektif dengan sifat-sifat dan ciri-ciri khasnya.
Komposisi rasional (At-Tarkib Al-Aqli), yaitu menghubungkan sifat-sifat
sesuatu atau ciri-ciri khsnya dalam benak, seperti pembagian insinyur
terhadap segitiga menjadi tiga garis panjang yang tepotong.

13

BAB KEDUA
Proposisi atau pernyataan (Al-qdhiyah) dalam logika perkataan yang terdiri atas
subjek dan predikat yang mungkin benar dan mungkin pula salah.
Untuk dapat melakukan inferensi tidak langsung dan langsung, kita perlu
membekali diri dengan proposisi atau premis . (Muqaddimat fi Ilmil-Manthiq, 138).
Macam-macam Proposisi
Proposisi dalam dibagi dalam beberapa versi pembagian berdasarkan aspek yang
berbeda-beda.
Dua macam proposisi
Proposisi dapat dibagi, berdasarkan ciri dan nilai yang dikandungnya, menjadi
dua;
1. Proposisi Sintetik. Yaitu setiap proposisi dengan elemen predikat yang
memberikan sesuatu yang pada subjek. Proposisi Kiwi adalah buah adalah
contoh proposisi syntetik, karena predikatnya mengandung data baru yang
tidak terkandung dalam subjek, demikian pula proposisi-proposisi dalam ilmuilmu lainnya.
Tolok ukur kebanaran dan kepalsuannya adalah kesesuaiannya dengan realitas
objektif. Karena itulah, semua proposisi sintetik mungkin benar dan mungkin
palsu. Tolok ukur ini berhubungan dengan teori kerespondensi dalam
epistemologi.
2. Proposisi Analitik. Yaitu setiap proposisi dengan elemen predikat yang
hanya mengulang atau menguraikan sesuatu (makna) yang telah terkandung
dalam subjek dan tidak menambahkan data baru, seperti Bujang adalah
orang yang belum kawin, karena bujang adalah orang belum kawin dan
begitu pula sebaliknya.
Tolok ukur kebenaran dan kepalsuan proposisi analitik adalah keserasian antar
subjek dan predikatnya. Tolok ukur ini berhubungan dengan teori koherensi
dalam epsitemologi.
Dua macam proposisi
Proposisi (baik predikatif maupun hipotetik) juga, ditinjau dari sisi kualitas terbagi
dua;
1.
Proposisi afirmatif (Al-Qadhiyah Al-Mujabah). Yaitu proposisi (predikatif dan
hipotetik) yang mengafirmasi atau mengiayakan adanya hubungan antara
subjek dan predikat.
Contoh: Thabathabai adalah ahli tafsir, semua wanita beradab pasti berpakain
tertutup.
2.
Proposisi negatif (Al-Qadhiyah As-Salibah). Yaitu proposisi (predikatif dan
hipotetik) yang menegasi atau menafikan adanya hubungan antara subjek
dan predikat.
Contoh: Sebagian pejabat bukanlah koruptor, Kertas bukanlah makanan.
Dua macam proposisi
Proposisi dapat dibagi menjadi berdasarkan muatannya;
1. Proposisi minor (Al-Qadhiyyah Ash-Shugra). Yaitu attesendens yang
memuat partikularia yang hendak diketahui nilainya (nilai validitasnya) melalui
inferensi (penalaran, Al-Istidlal)., seperti besi adalah tambang.
2. Proposisi mayor (Al-Qadhiyyah Al-Kubra). Yaitu attesendens yang menjadi
dasar universal yang diterapkan atas partikularia untuk diketahui nilai
(validitas)-nya melalui inferensi silogisme (deduksi), seperti semua besi
adalah tambang unsur homogen.

14

Dua macam proposisi


Proposisi, ditinjau dari sisi bentuk, terbagi menjadi dua;
1. Proposisi Predikatif (Al-Qadhiyah Al-Hamliyah). Yaitu proposisi yang
terdiri atas subjek dan predikat. Dalam proposisi predikatif, predikat
mengafirmasi atau menegasi subjek.
Proposisi predikatif juga didefinisikan sebagai premis yang mengafirmasikan atau
mengasikan berlakunya sesuatu (predikat) atas sesuatu yang lain.
Contoh:Budiman adalah sopir dan Agus bukanlah jenderal.
Plato adalah seorang filsuf, Bambang bukanlah filsuf.
2. Proposisi hipotetik (Al-Qadhiyah Asy-Syarthiyyah). Yaitu proposisi yang
muatannya menjadi syarat bagi muatan proposisi lainnya.
Contoh: Bila matahari terbit, siang akan tiba.
Tiga Pilar Proposisi predikatif
Proposisi predikatif terdiri atas tiga unsur (pilar), yaitu;
1. Penyandang (subjek, Al-Maudhu), Budiman misalnya.
2. Tersandang (predikat, Al-Mahmul), sopir misalnya.
3. Kopula (pembilang, An-Nisbah), yaitu relasi antara subjek dan predikat, yaitu
berlakunya hukum ke-sopir-an atas Budiman atau tidak berlakunya kejenderal-an atas Agus.
Dengan kata lain, Kopula atau pembilang adalah kata yang menghubungan subjek
dan predikat , seperti semua dalam contoh proposisi semua (kopula) manusia
(subjek) berakal (predikat).
Tiga pilar proposisi hipotetik
Proposisi hipotetik terdiri tiga pilar;
1.
Kondisi (antesenden, Al-Muqaddam), seperti bila matahari telah terbit
2.
Konskuensi (akibat, At-Tali), seperti maka siang telah tiba.
3.
Kopula (Ar-Rabith), yaitu kata penghubung seprti jika dan maka.
Empat proposisi predikatif
Proposisi predikatif (Al-Qadhiyah Al-Hamliyah) terbagi empat sebagai berikut:
1. Proposisi personal (Al-Qadhiyah Asy-Syakhshiyah). Yaitu proposisi predikatif
yang memuat subjek parsial, seperti Jakarta adalah ibukota Indonesia,
Sirojudin bukanlah orang batak.
2. Proposisi natural (Al-Qadhiyah Ath-Thabiiyyah). Yaitu proposisi predikatif
yang memuat subjek universal dan diperlakukan sebagai subjek universal,
seperti manusia adalah spesies, yang tertawa bukanlah deferentia.
3. Proposisi muhmalah (Al-Qadhiyyah Al-Muhmalah), yaitu proposisi predikatif
yang memuat subjek universal dan dikenai hukum karena terapan-terapan
(ekstensi-ekstensi)-nya tanpa melihat kuantitasnya secara objektif, seperti
manusia merugi.
4. Proposisi mahshurah (Al-Qadhiyyah Al-Mahshurah), yaitu proposisi predikatif
yang memuat subjek universal namun yang dikenai hukum adalah seluruh
atau sebagian terapan-terapan objektifnya (Al-mashadiq), seperti Setiap Nabi
diutus oleh Tuhan.
Dua macam proposisi predikatif mahshurah
Proposisi predikatif mahshurah, bila dilihat dari sisi kuantitas, terbagi dua:
1. Proposisi universal (Al-Qadhiyyah Al-Kulliyah). Yaitu proposisi predikatif yang
menggunakan kopula (kata penghubung yang bersifat universal, seperti
semua, setiap, siapapun, dan seluruh. Ia juga dapat didefinisikan sebagai
premis yang mengandung hukum yang berlaku atas terapan-terapan
seluruhnya.
Contoh: setiap muslim bersyahadat, semua Imam adalah terpilih, setiap jiwa
akan merasakan kematian.

15

2. Proposisi parsial (Al-Qadhiyyah Asy-Syakhshiyyah, Al-Juziyah). Yaitu


proposisi predikatif yang menggunakan kopula yang bersifat parsial, seperti
kata sebagian, tidak semua. Ia juga dapat didefinisikan sebagai premis yang
mengandung hukum yang berlaku atas sebagian dari terapan-terepannya.
Contoh: sebagian dari mujtahid-mujathid itu adalah marja sebagian dari
mujtahid-mujtahid itu bukanlah marja. ( Khulashatul-manthiq, 51-55,
Muqaddimat fi ilmil-manthiq, 138-139.
Al-Manthiq karya Al-Mudaffar, Al-Manthiq Al-Islami karya M. Taqi Mudarrisi, Kamus
Logika karya The Liang Gie, 178, Pengantar Logika, J. hendrik Rappar, 32-34).
Tiga proposisi predikatif afirmatif
Proposisi predikatif afirmatif, berdasarkan posisi keberadaan subjeknya, terbagi
tiga;
1. Proposisi afirmatif subjektif (Al-Qadhiyyah Al-Hamliyah Al-Mujabah AdzDziihniyah). Yaitu proposisi yang subjeknya terletak dalam benak (mental),
seperti sekutuh Tuhan adalah mustahil.
2. Proposisi afirmatif objektif (Al-Qadhiyyah Al-Hamliyah Al-Mujabah AlKharijiyah). Yaitu proposisi yang subjeknya terletak dalam kenyataan (di luar
mental), seperti Setiap siswa akan hadir besok. Yang dimaksud dengan
setiap siswa adalah para siswa yang ada sekarang.
3. Proposisi afirmatif sejati (Al-Qadhiyyah Al-Hamliyah Al-Mujabah AlHaqiqiyah), yaitu proposisi yang subjeknya berada dalam alam objetif
sekarang dan mendatang, seperti setiap yang mengucapkan dua kalimat
syahadat adalah muslim. Yang dimaksud ialah setiap yang mengucapkannya
sekarang dan pada masa mendatang adalah muslim.
Dua macam proposisi hipotetik
Proposisi hipotetik terbagi dua;
1.
Proposisi hipotetik konjunktif (Al-Qadhiyyah Asy-Syarthiyah AlMuttashilah). Yaitu premis yang menghukumi adanya atau tidak adanya
hubungan antar dua proposisi, seperti bila lonceng dibunyikan, maka tibalah
waktu belajar
2.
Proposisi
hipotetik
disjunktif
(Al-Qadhiyyah
Asy-Syarthiyah
AlMunfashilah). yaitu premis yang menghukumi adanya atau tidaknya
keterputusan antar dua proposisi, seperti angka itu ganjil atau genap
orang tua itu ibu atau ayah manusia itu bukan penyair jika bukan penulis.
Dua macam proposisi hipotetik konjuktif
Proposisi hipotetik konjuktif terbagi dua;
1.
Konjunktif sejati (Asy-Syarthiyah Al-Luzumiyah). Yaitu proposisi yang terdiri
atas kondisi (syarat, muqaddam) dan konsekuens (tali) yang berhubungan
secara hakiki, seperti jika suhunya mencapai 100 derjat celicius, maka air itu
mendidih.
2.
Konjunktif semu (Asy-Syarthiyah Al-Ittifaqiyah). Yaitu proposisi yang terdiri
atas kondisi dan konsekuens yang berhubungan tidak secara hakiki, seperti
setiap kali lonceng telah berbunyi, Bambang terlambat masuk kelas.
Dua macam proposisi hipotetik disjunktif
Proposisi hipotetik disjunktif terbagi dua;
1.
Proposisi hipotetik disjunktif sejati (Asy-Syarthiyah Al-Inadiyah). Yaitu
proposisi yang terdiri atas kondisi (muqaddam, sebab) dan konsekuens (tali,
akibat) yang bertentangan secara haiki, seperti angka itu ganjil atau genap.
2.
Proposisi hipotetik disjunktif semu (Asy-Syarthiyah Al-Ittifaqiyah). Yaitu
proposisi yang terdiri atas kondisi dan konsekuen yang berlawanan tidak
secara hakiki atau secara kebetulan, seperti guru kelas 1 Muhammad atau
Salman, dalam kondisi kedua orang itu tidak datang ke kelas 1.

16

Tiga proposisi hipotetik disjunktif


Proposisi hipotetik disjunktif, beradasarkan prinsip kontradiksi, dibagi menjadi tiga;
1.
Disjunktif sejati.
2.
Disjunktif anti kumpul
3.
Disjunktif anti lenyap.
Dua proposisi hipotetik disjunktif sejati
Proposisi Disjunktif sejati, dilihat dari kualitasnya terbagi dua;
1.
Sejati afirmatif, yaitu premis yang memustahilkan pertemuan dan lenyapnya
dua hal kontradiktif sekaligus, seperti angka itu ganjil atau genap. Sebuah
angka tidak akan menjadi ganjil sekaligus genap, dan tidak ada angka yang
tidak ganjil dan tidak genap.
2.
Sejati negatif, yaitu premis yang memungkinkan (tidak memustahilkan)
pertemuan dan lenyapnya dua hal kontradiktif , seperti hewan bukanlah
yang berakal budi atau berpotensi untuk memperoleh pengetahuan.
Berakal budi dan berpotensi untuk belajar berkumpul dalam manusia,
karena ia adalah berakal budi dan berpotensi untuk memperoleh
pengetahuan, dan sekaligus lenyap dalam hewan lainnya, seperti anjing,
karena ia tidak berakal budi sekaligus tidak berpotensi untuk memperoleh
pengetahuan.
Dua proposisi hipotetik disjunktif anti kumpul
Proposisi disjunktif anti berkumpul (Maniatu Jam), dilihat dari kualitasnya terbagi
dua;
1. Anti berkumpul afirmatif (Al-Qadhiyyah Al-Munfashilah Maniatu Jamin Almujabah). Yaitu proposisi yang memuat hukum tentang kemustahilan
berkumpulnya subjek dan predikat namun memungkinkan keduanya lenyap
sekaligus, seperti burung berwarna putih atau hijau. Putih sekaligus hijau
tidak akan pernah berkumpul, namun keduanya bisa tidak ada sekaligus,
dalam burung berwarna hitam.
2. Anti berkumpul negatif (Al-Qadhiyyah Al-Munfashilah Maniatu Jamin AsSalbiyah). Yaitu proposisi yang memuat hukum tentang kemungkinan (ketidakmustahilan) berkumpulmya subjek dan predikat, namun memustahilan keduaduanya lenyap sekaligus, seperti benda itu tidak berwana putih atau tidak
berwarna hitam. Tidak berwarna putih dan tidak berwarna hitam bisa
disandang sebagi predikat oleh sesuatu.
Dua proposisi hipotetik disjunktif anti lenyap
Proposisi hipotetik disjunktif anti lenyap terbagi dua;
1. Proposisi disjungtif anti lenyap afirmatif. Yaitu proposisi yang memuat
hukum tentang kemungkinan berkumpulnya subjek dan predikat (dalam
sebuah proposisi) dan tentang kemustahilan kedua-duanya lenyap
sekaligus, seperti benda itu tidak berwarna hitam atau tidak berwarna
putih. Sayur sawi, misalnya, adalah benda yang tidak berwarna hitam dan
tidak pula berwarna putih.
2. Proposisi disjungtif anti lenyap negatif. Yaitu proposisi yang memuat
hukum tentang kemustahilan berkumpulnya subjek dan predikat dalam
sebuah proposisi dan tentang kemungkinan kedua-duanya lenyap
sekaligus, seperti benda bukanlah jika tidak berwarna putih, maka
berwarna hitam. Ada sebuah benda yang tidak berwarna hitam dan tidak
berwarna hitam, hanya saja hitam dan putih tidak akab pernah berkumpul
sekaligus. (Khulashatul-manthiq, 58-61).

17

BAB KTIGA
Argumentasi
Empat macam demonstrasi
Argumentasi berdasarkan komposisi proposisi-proposisinya terbagi empat;
1. Al-Qiyas Al-Burhani (Argumen demonstratif) . Yaitu deduksi yang terdiri atas
proposisi-proposisi yang pasti valid atau postulat (Al-yaqiniat).
2. Al-Qiyas Al-Jadali. (argumen dealektik). Yaitu argumentasi yang terdiri atas
proposisi-proposisi yang secara kualitas berada di bawah postulat-postulat
aprior, yaitu Al-Musallamat, Al-Masyhurat, dan Al-Maqbulat, yang disepakati
oleh kedua pihak dalam debat.
3. Al-Qiyas Al-Khithabi (argumen retorik). Yaitu argumentasi yang terdiri atas
proposisi-proposisi yang secara kualitas lebih rendah dari proposisi-proposisi
dalam Al-qiyas Al-Jadali, yaitu Al-Musallamat, Al-Madhununat, dan AlMasyhurat, dengan tujuan meyakinkan lawan bicara atau komukinan.
4. Al-Qiyas Asy-Syiri. Yaitu argumentasi yang terdiri atas proposisi-proposisi
imajinatif, dengan tujuan menydutkan lawan bicara.
5. Al-Qiyas al-mughalathi. Yaitu deduksi yang terdiri atas proposisi-proposisi keliru
dan tak beralasan ( Al-wahmiyat dan Al-musytabihat). Ia juga dikenal dengan
falasi.
(Jurnal Filsafat, Qadhaya Islamiyah, edisi 14, hal. 268, Manthiq va
tafakkur e Intiqadi, 97).

18

Al-Qiyas Al-Burhani
Penalaran (Al-Istidlal) dilakukan untuk menguji dan melahirkan pengetahuan yang
benar.
Dua macam inferensi
Inferensi atau penalaran dilihat dari metodanya terbagi dua;
1. Inferensi langsung, yang meliputi inversi (kontradiksi, At-tanaqudh), obversi
(Al-aksul-mustawi), dan kontraposisi (aksun-naqidh).
2. Inferensi tidak langsung, yang meliputi deduksi (Al-Qiyas), induksi (Al-Istiqra),
dan analogi (At-Tamtsil).
Inferensi langsung
Inferensi langsung (Al-Istidlal Al-Mubasyir) adalah panarikan konklusi hanya dari
sebuah premis (proposisi yang digunakan untuk penarikan konklusi). Ia juga
didefinisikan sebagai pembuktian suatu pernyataan (premis) atas sebuah
pernyataan lain tanpa perantara apapun. pendapat Khulashatul-Manthiq, 50 dan
Mudzakkiratul-Manthiq, 112). Anehnya, sebagian ahli logika menganggap
inferensi pertama ini sebagai inferensi langsung, sebagaimana disebutkan dalam
Durus fi Ilmil-Manthiq, 93.
Penerapan metode pembuktian demikian hanya dapat dilakukan dengan bekal
pengetahuan akan relasi-relasi dalam setiap pernyataan atau premis.
Empat relasi keniscayaan dalam inferensi langsung
Ada empat pola hubungan timbal balik yang niscaya antara dua premis dalam
penalaran langsung, yaitu sebagai berikut:
1. Keniscayaan (Al-Luzum) kebenaran premis kedua (yang diharapkan) karena
kepalsuan premis pertama (yang dibuktikan), yang disebut dengan inversi (AnNaqidh).
2. Keniscayaan kepalsuan premis kedua (yang diharapkan) karena kebenaran
premis pertama (yang dibuktikan), yang disebut dengan obversi (Al-aksulMustawi).
3. Keniscayaan keberanaran premis kedua (yang diharapkan karena kebenaran
premis pertama (yang dibuktikan), yang disebut dengan kontraposisi (AlAksun-Naqidh).
4. Keniscayaan premis kedua (yang diharapkan) karena kepalsuan premis
pertama (yang dibuktikan), yang disebut oposisi (An-Naqdh)..
Inversi
Inversi adalah korelasi niscaya antar dua proposisi yang menyebabkan kebenaran
dan kepalsuan salah satu dari dua premis tersebut.
Inversi dapat didefinisikan sebagai: teknik penyimpulan dengan menegasikan
subjek dan predikat atau bagian pertama dan kedua dalam suatu proposisi.
Syarat-syarat kesatuan dalam inversi
Ada sembilan (9) kesatuan yang harus dipenuhi agar inversi (kontradiksi) terjadi,
yaitu sebagai berikut:
1. Kesatuan (Al-ittihad, unitas) subjek (maudhu), seperti Ali adalah siswa dan
Ali bukanlah siswa. Inversi tidak terjadi bila subjeknya berlainan, seperti Ali
adalah siswa dan Ahmad bukanlah siswa
2. Kesatuan predikat (Al-Mahmul), seperti Zaki adalah siswa dan Zaki
bukanlah siswa. Inversi tidak terjadi bila predikatnya berlainan, seperti Zaki
adalah siswa dan Zaki bukanlah guru.
3. Kesatuan waktu, seperti matahari terbit di siang hari dan matahari tidak
terbit pada waktu siang. Inversi tidak terjadi bila waktunya berlainan , seperti
matahari terbit pada waktu malam dan matahari tidak terbit saat malam.
4. Kesatuan tempat, seperti matahari terbit di timur dan matahari tidak terbit
di timur. Inversi tidak terjadi bila masanya berlainan, seperti matahari terbit

19

di timur dan matahari tidak terbit di barat.


5. Kesatuan aktus (aksi) dan potensi, seperti bayi itu adalah sarjana secara
aktual dan bayi itu bukanlah sarjana secara aktual. Inversi tidak terjadi bila
potensi dan aktusnya berlainan, seperti bayi itu sarjana secara potensial dan
bayi itu bukanlah sarjana secara aktual.
6. Kesatuan partikularia dan universalia (bagian dan himpunan), seperti udara
seluruh Indonesia sejuk dan udara seluruh Indonesia tidak sejuk. Inversi
tidak terjadi bila partikularia dan universalianya berlainan, seperti udara
sebagian Indonesia sejuk dan udara sebagian Indonesia tidak sejuk.
7. Kesatuan kondisi (syarat), seperti siswa itu lulus apabila rajin dan siswa itu
tidak lulus apabila rajin. Inversi tidak terjadi bila kondisinya berlainan, seperti
siswa itu lulus apabila rajin dan siswa itu tidak lulus apabila malas.
8. Kesatuan relasi, seperti 4 adalah separuh dibanding (bagi) 8 dan 4 bukanlah
separuh dibanding (bagi) 8. Inversi tidak terjadi apabila relasinya berlainan,
seperti 4 adalah separuh bagi 8 dan 4 bukanlah separuh bagi 10.
9. Kesatuan predikasi.
Syarat-syarat kelainan dalam inversi
Dalam penalaran langsung, kelainan (perbedaan) harus ada. Karenanya, ada dua
syarat kelainan yang mesti dipenuhi. Yaitu sebagai berikut:
1. Kelainan (perbedaan) dalam kuantitas (partikularia dan universalia).
Contoh:
sebagian tambang adalah emas
semua tambang adalah emas.
Inversi tidak terjadi bila kuantitas ke-semua-an
berkesamaan.
Contoh (dua premis benar):
Sebagian tambang adalah emas
Sebagian tambang bukanlah emas.
Contoh (dua premis palsu):
Semua tambang adalah emas
Tambang sama sama sekali bukanlah tambang

atau

ke-sebagian-annya

2. Kelainan dalam kualitas (negativitas dan afirmativitas).


Contoh
Semua hewan bukanlah manusia
Sebagian hewan adalah manusia
Inversi tidak terjadi bila negativitas dan afirmativitasnya berkesamaan.
Contoh (dua premis benar):
semua manusia berakal budi
sebagian manusia berakal budi.
Contoh (dua premis palsu):
Sebagian manusia bukanlah hewan
Semua manusia bukanlah hewan
Hasil-hasil dari kelainan (perbedaan) adalah sebagai berikut:
1. Premis universal afirmatif berinversi dengan premis parsial negatif
2. Premis afirmatif parsial berinversi dengan premis negatif universal.
Untuk melakukan inferensi dengan inversi hendaknya pelaku inferensi (AlMustadil) mengambil secara sadar inversi premis (Naqidh Al-Qadhiyyah),
kemudian melakukan penalaran silogistik untuk membuktikan kebenaran atau
kepalsuannya. Jika kebenaran premis invertif (Naqih Al-Qadhiyyah) telah terbukti
benar berkat penalaran, maka hukum non kontradiksi (bahwa dua hal yang
saling menafikan tidak akan bersatu) berlaku atasnya. Hasilnya ialah kepalsuan
premis yang diharapkan untuk dibuktikan kepalsuannya tersebut.

20

Obversi
Obversi adalah mengubah (mengganti) subjek menjadi predikat dan sebaliknya,
dengan tidak mengubah kualitas (afirmatif dan negatif) serta kebenaran
(validitas)nya. Premis pertama (yang belum diubah) disebut dengan prinsip (Alashl), sedangkan premis kedua yang telah diganti muatannya disebut dengan
obversi (Al-aksul-mustawi).
Obversi dapat dijadikan sebagai metode inferensi dalam proposisi-proposisi
apablila menggunakan korelasi ketiga antar proposisi-proposisi, sebagaimana
disebutkan di atas, yaitu keniscayaan kebenaran premis kedua (yang telah
diganti muatannya) karena kebenaran premis pertama (yang belum diubah) yang
dijadikan sebagai dalil inferensi.
Syarat-syarat obversi
Dalam menggunakan obversi dalam inferensi, syarat-syarat sebagai berikut harus
dipenuhi:
1. Mengganti dua sisi muatan proposisi (subjek diubah menjadi predikat dan
sebaliknya, kondisi atau attesenden diubah menjadi konsekuen dan
sebaliknya).
2. Mempertahankan kualitas premis. Artinya bentuk afirmatif atau negatif premis
pertama tidak diubah atau dibalik.
3. Mempertahankan kebenaran premis pertama. Artinya, hendaknya penggantian
muatan premis tidak menyebabkan kepalsuan premis kedua.
Bila tiga syarat di atas telah dipenuhi, maka obversi akan menghasilkan premispremis sebagai berikut:
1. Premis afirmatif universal, seperti semua air adalah (yang) cair
menghasilkan premis obvertif premis afirmatif parsial, seperti sebagian (yang)
cair adalah air.
2. Premis afirmartif parsial, seperti sebagian (yang) cair adalah air atau
sebagian air adalah (yang) cair menghasilkan premis afirmatif parsial,
seperti sebagian air adalah (yang) cair atau sebagian (yang )cair adalah air.
3. Premis negatif universal, seperti seluruh hewan bukanlah benda mati
menghasilan premis negatif universal, seperti seluruh benda mati bukanlah
benda mati.
Premis negatif parsial tidak menghasilkan jika diobversi karena dalam aspek
tertentu hasilnya tidak valid, seperti apabila sujek premis negatif parsial lebih
umum (luas) dari predikatnya, seperti sebagian hewan bukanlah manusia, maka
tidak bisa menghasilkan Seluruh manusia bukanlah hewan atau sebagian
manusia bukanlah hewan, karena kedua premis tersebut tidak faktual. Telah
diketahui bersama, syarat ketiga dalam obversi adalah mempertahankan
kebenaran premis pertama yang dijadikan sebagai bukti.
Pelaku inferensi dengan obversi harus melewati lima tahap sebagai berikut:
1. Menentukan premis baru yang hendak diperoleh (Al-Mathlub).
2. Menentukan prinsip (premis pertama yang hendak diubah muatannya).
3. Melakukan penalaran (inferensi) untuk memastikan kebenaran prinsip atau
premis pertama.
4. Menerapkan metode inferensi dengan obversi (Al-Aksul-Mustawi).
Konklusi ( Mudzakkratul-Manthiq,112-122, Durus fi Ilmil-Mnathiq, 91-100)
Kontraposisi
Kontraposisi (Aksun-Naqidh) adalah mengubah (mengganti) proposisi menjadi
sebuah proposisi yang predikatnya menjadi lawan (kontraposisi) subjek proposisi
(premis) pertama (yang belum diubah) sambil tetap mempertahankan kualitas
(afirmatif maupun negatif) serta mempertahankan kebenarannya.
Contoh:
Semua penulis adalah manusia yang menghasilkan kontraposisi semua selain

21

manusia adalah selain penulis.


Kontraposisi (Aksun-Naqidh) digunakan sebagai metode inferensi tidak langsung
dalam bidang yang sama dengan obversi (Al-aksul-Mustawi), yaitu korelasi ketiga
dari empat macam bentuk korelasi tersebut diatas, yaitu keniscayaan kebanaran
premis (proposisi) kedua (yang telah diubah) karena kebanaran premis kedua
(yang telah diubah).
Syarat-syarat Kontreposisi
Dalam menggunakan kontraposisi sebagai metode inferensi, syarat-syarat sebagai
berikut harus dipenuhi:
1. Mengganti dua sisi premis (subjek dan predikat) secara silang menjadi
lawannya, yaitu mengganti lawan (kontraposisi) predikat premis pertama
menjadi subjek bagi premis kedua (yang telah diinferensikan), sedangkan
lawan (kontraposisi) subjek premis pertama diubah menjadi predikat bagi
premis kedua.
2. Mempertahankan
kualitas
afirmatif
tetap
afirmatif
meski
telah
dikontraposisikan dalam bentuk premis lain (kedua), dan kualitas negatif tetap
negatif juga.
3. Mempertahankan kebenarannya. Artinya, peggantian dua sisi premis
hendaknya tidak menyebabkan premis kedua menjadi tidak benar (palsu).
Bila syarat-syarat kontraposisi telah dipenuhi, maka hasil-hasilnya sebagai berikut:
1. Premis negatif universal, seperti Semua manusia bukanlah benda mati
menghasilkan dalam kontraposisi premis negatif parsial, seperti Sebagian
selain benda mati bukanlah selain manusia.
2. Premis negatif parsial, seperti sebagian tambang bukanlah besi
menghasilkan dalam kontraposisi premis negatif parsial, seperti sebagian
selain besi bukanlah selain tambang.
3. Premis afirmatif universal, seperti Semua penulis adalah manusia
menghasilkan premis afirmatif universal, seperti semua selain manusia adalah
bukanlah manusia.
4. Premis afirmatif parsial tidak menghasilkan, karena bila dikontaposisikan akan
menghasilkan prmis baru (kedua) yang palus, seperti sebagian bukan besi
adalah tambang yang tidak menghasilkan dalam kontraposisi sebagian
bukan (selain) tambang adalah besi atau semua selain (bukan) tambang
adalah besi, karena premis kedua dan ketiga tidak faktual. Telah diketahui
bersama bahwa salah satu syarat kontraposisi adalah mempertahanakan
kebenarannya.
Oposisi
Oposisi (An-Naqh) adalah mengganti (mengubah) premis menjadi sebuah premis
baru yang identik dalam kebenarannya sambil mempertahankan posisi semula
dua sisi (subjek dan predikat) premis tanpa mengubahnya sama sekali.
Tiga macam Oposisi
Opisisi dapat dilakukan dengan tiga cara sebagai berikut:
1. Oposisi-subjek, yaitu menjadikan lawan subjek dan pdeikat premis pertama
sebagai subjek dan predikat bagi premis kedua. Premis kedua yang telah
dioposisikan disebut dengan Manqudhatul-Maudhu.
Agar premis oposisi subjek menjadi faktual (benar, valid), maka kuanitas dan
kualitasnya harus diubah sekaligus.
2. Oposisi-predikat, yaitu menjadikan subjek premis pertama sebagai subjek yang
sama dalam premis kedua (yang diubah), dan menjadikan lawan predikatnya
sebagai predikat. Oposisi ini disebut dengan Manqudhatul-mahmul.
Agar premis opisisi predikat dapat menjadi faktual (benar, valid), maka kualitas

22

premisnya harus diubah, namun kualitasnya tetap diperthankan.


3. Oposisi total, yaitu menjadikan lawan subjek sebagai subjek dan lawan
predikat sebagai predikat. Inilah yang disebut dengan Manqudhatuth-Tharafain.
Agar premis oposisi total menjadi faktaul (benar, valid), maka kulaitasnya diubah
sedangkan kuantitasnya dipertahankan.
Hasilnya ialah sebagai berikut:
1. premis oposisi subjek yang afirmatif dan universal menghasilkan premis
negatif parsial, seperti semua perak adalah tambang yang menghasilkan
sebagian bukan perak bukanlah tambang .
2. Premis oposisi subjek yang negatif universal menghasilkan premis afirmatif
pasrial, seperti Tak satupun besi adalah emas yang menghasilkan dalam
opisisi sebagian bukan (selain) besi adalah emas.
3. Dua premis yang sama-sama parsial tidak dapat dioposisi-subjek-kan.
Produk-produk Oposisi-predikat adalah sebagai berikut;
1. Premis oposisi-predikat afirmatif universal, seperti semua manusia dalah
hewan menghasilkan premis negatif universal, seperti Semua selain manusia
bukanlah hewan.
2. Premis oposisi-predikat afirmatif parsial, seperti sebagian hewan adalah
manusia menghasilkan premis negatif parsial, seperti sebagian hewan
bukanlah selain manusia.
3. Premis oposisi-predikat negatif universal, seperti semua selain air adalah
benda padat menghasilkan premis afirmatif universal, seperti Semua air
adalah selain benda padat.
4. Premis oposisi-predikat negatif parsial, sebagian tambang bukan emas
menghasilkan premis afirmatif parsial, seperti sebagian tambang adalah
selain emas.
Produk-produk Oposisi-total adalah sebagai berikut;
1. Premis opisisi total afirmatif universal, seperti semua perak adalah
tambang menghasilkan premis negatif universal seperti sebagian selain
tambang adalah selain tambang.
2. Premis oposisi total afirmatif uinversal, seperti semua besi bukanlah emas
menghasilkan premis afirmatif parsial, seperti sebagian selain besi bukanlah
selain emas.
Inferensi tidak Langsung
Penalaran tidak langsung (Al-Istidlal Ghairul-Mubasyir) adalah inferensi yang tidak
dapat dilakukan hanya dengan hanya menggunakan satu pernyataan (premis),
namun ia memerlukan penelitian terhadap sejumlah pernyataan lain yang akan
dikaitkan dengan pernyataan pertama yang hendak dibuktikan kebenaran atau
kepalsuannya. Penalaran tidak langsung juga dapat didefinisikan sebagai
penggunakan bukti atas proposisi asumtif yang diniscayakannya.
Empat metode penalaran tidak langsung
Ia meliputi silogisme (Al-Qiyas, deduksi), induksi (Al-Istiqra), dan analogi (AtTamtsil).
Deduksi
Deduksi atau Al-Qiyas secara umum adalah perkataan yang terdiri atas beberapa
proposisi yang bila tersusun akan meniscayakan perkataan lain. Ia juga dapat
didefinisikan sebagai penarikan konklusi secara tidak langsung dengan
menggunakan dua buah premis yang merupakan bentuk formal penalaran
deduktif.

23

Dua Tema Deduksi Silogistik


Al-Qiyas Al-Burhani atau silogisme meliputi dua macam tema;
1. Forma (Shuratul-Qiyas). Yaitu tema-tema yang berkaitan dengan tampilan dan
bentuk penyusunan deduksi. Dengan kata lain, forma silogisme adalah bentukbentuk silogisme yang didasarkan pada kualitas dan kuantitas kedua proposisi
yang menjadi premis-premisnya; negatif, afirmatif, universal dan partikular.
2. Materia (modus, Maddatul-Qiyas). Yaitu tema-tema yang bertalaian dengan isi
deduksi.
Distingsi dalam Silogisme

Dua macam Silogisme


Silogisme terbagi dalam dua macam;
1. Silogisme kategorik (Al-Qiyas Al-Iqtirani)
2. Silogisme eksklusif (Al-Qiyas Al-Istitsnai).
Silogisme kategorik
Silogisme kategorik (Al-Qiyas Al-Iqtirani) adalah susunan pikir yang konklusi dan
kontra konklusinya t idak terdapat dapat dua proposisi secara terpisah. Dengan
kata lain, ia adalah deduksi yang hanya memuat dua proposisi (minor dan mayor),
namun tidak mencantumkan konklusi.
Contoh:
Alam (adalah) sesuatu yang berubah
Setiap sesuatu yang berubah adalah bermula dari ketiadaan
maka alam bemula dari ketiadaan.
Peminum khamar adalah fasik
Setiap fasik tidak ditolak kesaksiannya
Peminum khamar ditolak kesaksiannya
Tiga elemen Silogisme Kategorik
Ada tiga elemen penting dalam struktur silogisme kategorik, yaitu sebagai berikut:
1. Proposisi (attesendens, Al-Muqaddimah), yaitu premis yang tersusun dalam
silogisme. Kaum rasionalis mendefiniskan proposisi sebagai pernyataan dalam
bentuk kalimat yang memiliki arti penuh dan utuh.
2. Konsekuens (An-Natihjah, konklusi), yaitu proposisi yang menjadi hasil
dalam silogisme, seperti besi adalah tambang homogen
3. Terma-terma (Al-Hadd), yaitu elemen-elemen partikular dalam proposisi
minor dan proposisi mayor; subjek (Al-Mauddhu), predikat (Al-Mahmul) dalam
silogisme kategorik predikatif (Al-Qiyas Al-Iqtirani Al-Hamli).
4. Asumsi (Al-Mathlub), yaitu konklusi yang hendak dihasilkan sebelum
deduksi. (Durus fi Ilmil-Manthiq 105, Pengantar Logika, 46, Pengantar menuju
Logika karya Muthahhari, 76-80, Manahij Al-Istidlal, 42-43, Filsafat Praktis, 6.17,
Mudzakkiratul-Manthiq, 119-124).
Tiga terma Silogisme Kategorik
Terma terma dalam silogisme kategorik terbagi tiga;
1. Terma Mayor (Al-Had Al-Akbar). Yaitu terma yang hanya disebutkan dalam
proposisi mayor.
Contoh proposisi pertama:
Semua makhluk hidup (adalah) bernyawa.
Contoh terma mayor:
Semua makhluk hidup (adalah) bernyawa.
2. Terma Minor (Al-had Al-Asghar). Yaitu terma yang hanya disebutkan dalam
propisisi minor , atau berupa subjek dalam konklusi.
Contoh proposisi kedua:

24

Agus adalah makhluk hidup.


Contoh term minor:
Agus.
3. Terma medium (Al-Had Al-Awshath). Yaitu terma yang tidak terdapat dalam
proposisi konklusi, namun disebutkan dalam dua proposisi pertama (minor)
dan proposisi kedua (mayor) serta berfungsi sebagai pengikat.
Contoh konklusi atau konsekuens:
Agus (adalah) bernyawa.
Contoh term minor dan mayor:
Agus bernyawa.
Ringkasan:
Jika salah satu dari dua proposisi dalam silogisme kategorik negatif, maka
konklusinya negatif, karena proposisi negatif lebih lemah dari proposisi afirmatif.
Jika salah satu dari dua proposisi dalam silogisme kategorik partikular (parsial),
maka konklusinya partikular, karena proposisi partikular lebih lemah dari proposisi
universal.
Ketentuan-ketentuan dalam Silogisme Kategorik
1. Dua premis sama-sama negatif tidak akan menghasilkan premis baru.
2. Dua premis sama-sama parsial tidak akan menghasilkan premis baru.
3. Premis minor negatif dan premis mayor universal tidak akan menghasilkan
premis baru.
4. Konklusi (premis baru) mengikuti sisi yang lebih rendah dalam dua premis.
Artinya, bila ada negatif dan afirmatif maka konklusi akan mengikuti negatif ,
dan bila ada parsial dan universal, maka konkulsi akan mengikuti parsial.
(Manahij Al-istidlal, 46-56, Asasul- Iqtibas, 193).
Dua Macam Silogisme Kategorik
Silogisme kategorik bermacam dua;
1. Silogisme kategorik hipotetik (Al-Qiyas Al-Iqtirani Asy-Syarthi), yaitu silogisme
terdiri atas proposisi-proposisi hipotetik semata atau terdiri atas proposisi
hipotetik dan proposisi predikatif.
Contoh (dua proposisi hiptetik):
Tentara itu (bisa jadi) perwira atau prajurit
maka marinir itu (bisa jadi) perwira atau prajurit
Contoh (proposisi hipotetik dan proposisi predikatif):
Jika ia pergi, maka kita tidak dapat menemuinya.
2. Silogisme kategorik predikatif (Al-Qiyas Al-Iqtirani Al-Hamli), yaitu silogisme
yang terdiri atas proposisi-proposisi kategorik semata.
Contoh:
Merpati adalah burung
Semua burung adalah hewan
maka merpati adalah hewan.
Empat Figura
Agar silogisme kategorik dapat digunakan secara tepat, Aristoteles membedakan
silogisme, berdasarkan letak terma dalam premis minor dan mayor, atas tiga
figura. Beberapa abad kemudian, Galenus menambahkan satu figura lagi sehingga
silogisme dapat dibedakan atas empat figura (Al-Asykal Al-Arbaah).
Figura satu
Dalam figura 1 (Asy-Syakl Al-Awwal), terma medium (Al-Had Al-Awshath) menjadi
subjek dalam proposisi minor dan menjadi predikat dalam pproposisi mayor.
Syarat-syarat dalam figura 1
1. Premis minor harus afirmatif (Al-Mujabah)
2. Premis mayor harus universal (Al-Kulliyah), dan dikodifikasi dengan semua.

25

Contoh:
Semua manusia (adalah) berakal budi
Semua mahasiswa adalah manusia
Semua mahasiswa (adalah) berakal budi
Setiap muslim mempercayai Al-Quran
Setiap yang mempercayai Al-Quran mempercayai kesetraaan
Setiap muslim mempercayai kesetaraan.
Ini adalah figura pertama, karena terma medium (berakal budi dan mempercayai
Al-Quran) menjadi predikat pada proposisi mayor (premis pertama). Figura
pertama ini adalah figura paling populer dan mudah.
Figura dua
Dalam figura 2 (Asy-Syakl Ats-Tsani), terma medium menjadi predikat dalam dua
proposisi.
Syarat-syarat dalam figura 2:
1. Dua premis harus berbeda secara kualitatif
2. Premis (proposisi) mayor harus universal.
Kedua syarat tersebut menghasilkan 4 macam sebagai berikut:
Macam pertama: terdiri atas premis afirmatif universal dan premis negatif
universal, yang mengahsilkan premis negatif universal.
Contoh:
Semua burung bersayap
Kambing tak bersayap
Kambing bukanlah burung
Macam kedua: terdiri atas premis negatif dan premis afirmatif universal, yang
menghasilkan premis negatif universal juga. Contoh:
Tak satu pun mungkin (adalah) langgeng
Semua yang benar (adalah) langgeng
Tak satu pun mungkin (adalah) langgeng
Macam ketiga: terdiri atas premis afirmatif parsial dan premis negatif universal,
yang menghasilkan premis negatif parsial (parsial)
Contoh:
Sebagian tambang (adalah) emas
Perak bukanlah emas
Sebagian tambang bukanlah perak
Macam keempat: terdiri atas premis negatif parsial (parsial) dan premis afirmatif
universal, yang menghasilkan premis negatif parsial juga.
Contoh:
Sebagian benda bukanlah tambang
Semua emas adalah tambang
Sebagian benda bukanlah emas.
Figura tiga
Dalam figura 3 (Asy-Syakl Ats-Tsalits), terma medium menjadi subjek dalam
proposisi minor dan dalam proposisi mayor.
Syarat-syarat dalam figura 3:
1. Salah satu dari dua premis harus universal
2. Premis minor harus afirmatif.
Kedua syarat tersebut menghasilkan 6 macam sebagai berikut:

26

Macam pertama: terdiri atas dua premis afirmatif universal, yang menghasilkan
sebuah premis afirmatif parsial.
Contoh:
Semua emas adalah tambang
Semua emas (adalah) mahal
Sebagian tambang (adalah) mahal
Macam kedua: terdiri atas dua premis universal sedangkan premis minor negatif,
yang menghasilkan sebuah premis negatif parsial.
Contoh:
Semua emas adalah tambang
Semua perak bukanlah emas
Sebagian tambang bukanlah perak
Macam ketiga: terdiri atas dua premis afirmatif, sedangkan premis minor
pasrsial, yang menghasilkan sebuah premis afirmatif parsial.
Contoh:
Sebagian burung (adalah berwarna) putih
Semua burung adalah binatang
Sebagian yang (berwarna) putih (adalah) binatang.
Macam keempat: terdiri atas dua premis afirmatif, sedangkan premis mayor
parsial, yang menghasilkan sebuah premis afirmatif parsial.
Contoh:
Semua burung adalah hewan
Sebagian burung adalah (berwarna) putih
Sebagian yang (berwarna) putih adalah hewan
Macam kelima: terdiri atas sebuah premis afirmatif universal dan sebuah premis
negatif parsial, yang menghasilkan sebuah premis negatif parsial.
Contoh:
Semua binatang berindera
Sebagian biantang bukanlah manusia
Sebagian yang berindera bukanklah manusia
Macam keenam: terdiri sebuah premis afirmatif parsial dan sebuah premis
negatif universal, yang menghasilkan sebuah premis negatif parsial.
Contoh:
Sebagian emas adalah tambang
Emas bukanlah besi
Sebagian tambang bukanlah besi
Figura empat
Dalam figura 4 (Asy-Syakl Ar-Rabi), terma medium menjadi predikat dari premis
mayor dan menjadi subjek dari premis minor.
Contoh:
Semua filsuf adalah pemikir
Semua pemikir adalah cendekiawan
Sebagian cendekiawan adalah filsuf
Semua muslim adalah beragama
Semua yang beragama adalah berTuhan
Sebagian yang berTuhan adalah muslim
Silogisme eksklusif
Silogisme eksklusif (Al-Qiyas Al-Istitsnai) adalah susunan yang konklusi atau
kontra konklusinya terdapat dalam dua proposisi. Silogisme ecceptif adalah
susunan pikir yang selalu terdiri atas proposisi hipotetis. Contoh (afirmatif) :

27

Jika Bambang orang saleh, wajib dihormati


(Tapi) ia orang saleh
Konklusi (yang tidak disebutkan karena terdapat pada proposisi pertama): Maka
bambang wajib dihormati. Contoh (negatif) :
Jika Agus beriman, maka ia tidak bermaksiat
(Tapi) ia bermaksiat
Konklusi (yang tidak disebutkan karena ada dalam proposisi pertama): Maka
Agus tidak beriman.

1.

2.

Dua Macam Silogisme Eksklusif


Ditinjau dari jenis kondisinya, silogisme eksklusif terbagi dua;
Silogisme eksklusif konjunktif. Yaitu silogisme yang terdiri atas hipotesa
yang bersambung. Contoh I: Apabila air mengalir, maka ia suci. (Namun) air ini
mengalir. Maka air ini suci. Contoh II: Apabila air mengalir, maka ia suci. Namun,
air ini tidak mengalir. Maka air ini tidak suci.
Silogisme ekskusif disjunktif. Yaitu silogisme yang terdiri atas hipotesa
yang tidak bersambung. Contoh: Angka itu ganjil atau genap. Namun angka ini
ganjil. Maka ia bukan genap.
Metode penalaran aristotelian telah dikritik oleh sejumlah filsuf dan pemikir.
Berikut ini kritik-kritik dan bantahannya:
Nilai logika ditentukan oleh nilai silogisme, karena logika mengajarkan bahwa
melakukan deduksi dan menggunakan silogisme secara benar. Yang paling vital
dalam silogisme adalah silogisme kategorik (qiyas iqtirani). Silogisme kategorik
terdiri atas empat figura, sedangkan figura pertama merupakan penyangga bagi
tiga figura lainnya.
Dalam figura pertama, terdapat siklus (daur, circulus vitiosus) yang tentu invalid.
Karenanya, logika Aristoteles juga menjadi invalid.
Keterangan:
Dalam contoh figura I disebutkan proposisi setiap manusia adalah binatang,
setiap binatang adalah benda, maka konklusinya adalah setiap manusia adalah
benda. Bagimana mungkin kita dapat membangun proposisi setiap binatang
adalah benda sebagai proposisi yang universal, sebelum kita memastikan bahwa
setiap partikularia dari proposisi universal tersebut, seperti banusia, adalah
termasuk benda. Itu berarti, premis konklusi setiap manusia adalah binatang
bergantung pada premis pertamanya setiap binatang adalah benda, padahal
premis pertama baru bisa dianggap valid apabila kita telah melakukan penelitian
terhadap person-personnya. Pada saat yang sama, premis yang merupakan
konklusi baru bisa dianggap valid apabila didahului oleh premis pertama tersebut.
Bantahan pertama:
Kritik yang dilontarkan oleh Abu said Abul-Khair ini juga berbentuk deduksi
silogistik yang menggunakan figura I. Mari kita susun pernyataan dan kritikan
tersebut dalam deduksi figura I sebagai berikut:
Figura I menghasilkan siklus
Setiap siklus adalah invalid
maka:
Figura I adalah invalid
Jika figura I yang dibuat oleh Aristoteles invalid karena menghasilkan siklus, maka
kritik terhadap figura I di atas juga invalid, karena menggunakan metode
pembuktian yang invalid.

28

Bantahan kedua:
Pernyataan bahwa pengetahuan terhadap premis mayor universal bergantung
pada pengetahuan atas partikularia-partikularianya lebih dahulu layak ditinjau
kembali.
Jika yang dimaksud dengan pengetahuan akan mayor adalah pengetahuan
tentang partularia-partikularia secara detail, maka maka kritikan di atas tepat
sasaran, fan kita tentu harus mengenali partikularia-partikularia tersebut melalui
induksi secara merata.
Jika yang dimaksud dengan pengetahuan tentang premis mayor adalah
pengetahuan terhadap person-person secara umum (tidak rinci), yakni
pengetahuan akan konklusi (natijah) tersirat dalam premis mayor secara umum,
maka kritikan di atas meleset, dan tudingan tentang adanya siklus dalam figura I
tidak terbukti.
Setiap silogisme, kalau bukan berupa tautologi (pengulangan sesuatu yang telah
diketahui), pastilah mengandung siklus (petitio prinsipil, daur).
Penjelasannya, mari kita susun sebuah contoh dalam silogisme berikut ini:
setiap manusia adalah binatang
setiap binatang adalah benda
maka setiap manusia dalah benda
Kemungkinan pertama:
Saat konklusi (natijah) tersirat dalam premis mayor setiap manusia adalah
binatang, boleh jadi kita sudah mengetahui bahwa manusia adalah benda, maka
konklusi yang sebelumnya telah diketahui dalam premis mayor, terulang lagi dan
tidak menamb
ahkan sesuatu yang baru.
Kemungkinan kedua:
Jika natijah (konklusi) tersebut belum diketahui ada secara tersirat dalam premis
mayor, maka kita telah menjadikan suatu konsep sebagai dasar pijakan untuk
dirinya sendiri, dengan meletakkannya dalam premis mayor, dan dari yang kecil
ke yang lebih besar. Karena itulah, yang lebih bisa dipertanggungjwabakan secara
ilmiah adalah pola induksi, bukan deduksi atau silogisme.
Bantahan padahal kita belum mengetahuinya secara pasti. Inilah yang lazim
disebut Mushadaratul-Mathlub, yaitu menjadikan sesuatu yang belum diketahui
sebagai dasar pijakan bagi dirinya sendiri.
Bantahan:
Kritik dan argumen yang dilontarkan oleh John Stuart Mill, bapak positivisme dari
Inggris, ini tidak memberikan sesuatu yang baru. Jawaban yang kita berikan juga
sama dengan bantahan terhadap kritik pertama di atas.
Logika Yunani adalah logika silogistik, dan pola inferensinya bergerak menurun
dari atas ke bawah, dari universal ke parsial. Tetapi penelitian modern menolak
pola menurun tersebut, bahkan menunjukkan bahwa akal pikiran manusia
cenderung menanjak dari bawah ke atas.
Kritik ini secara substansial tidaklah berbeda dengan kritik pertama dan kedua,
namun ia dipaparkan secara lebih ilmiah. Membatasi pembuktian hanya pada pola
menanjak (induksi) tidaklah benar. Mari kita buktikan argumen dan kritik
tersebut dalam pola pembuktian di bawah ini.
silogisme adalah gerak dari universalia menuju partikularia
gerak dari universalia menuju partikularia adalah mustahil"

29

maka
silogisme adalah mustahil
Bagaimana mungkin seorang membantah silogisme dengan menggunakan
silogisme. Jika silogisme mustahil, maka kritik dan argumennya mustahil juga.
Logika Aristoteles telah mempostulatkan bahwa hubungan antara dua hal dalam
sebuah premis hanyalah hubungan inkulsif (sisipan). Karenanya, silogisme yang
dianggap valid hanyalah yang silogisme eksklusif (Al-Qiyas Al-Istitsnai) dan
silogisme kategorik (Al-Qiyas Al-Iqtirani), sedangkan silogisme kategorik yang
dianggap valid hanyalah empat macam figura, padahal selain hubungan inklusi,
terdapat bentuk hubungan lain, seperti hubungan ekuivalensi (kesamaan, tasawi),
kelebih-besaran dan kelebih-kecilan, yang biasa dipergunakan dalam
matematika. Mari kita perhatikan contoh di bawah ini.
Sudut A sama dengan sudut B
Sudut B sama dengan sudut C
maka Sudut A sama dengan sudut C
Silogisme atau deduksi demikian tidak termasuk dalam salah satu dari empat
figura silogisme, karena terma mediumnya tidak terulang. Dalam proposisi
pertama sama dengan adalah predikat (mahumul), sedangkan predikat dalam
proposisi kedua adalah sudut bukan sama dengan. Meski demikian, ia dapat
memberikan konklusi yang valid.
Bantahan:
Kritik di atas dilontarkan Bertrand Russell dan para ahli logika simbolik.
Jawabannya, para ahli logika menganggap silogisme di atas sebagai silogisme
ekuivalntif (berkesamaan), yang terdiri dari beberapa silogisme kategorik (AlQiyas Al-Iqtirani) dan hubungan-hubungannya bersifat implikatif.
Bentuk logika Aristoteles tidak sempurna, karena ia tidak membedakan antara
premis predikatif (Al-Qadhiyyah Al-Hamliyah) dan premis assentual (Al-Qadhiyyah
Al-Waqiiyah). Contohnya sebagai berikut:
Setiap manusia mempunyai jantung,
Jika ada sesuatu, dan hal tersebut manusia, maka seharusnya ia mempunyai
jantung.
Bantahan:
Para ahli logika muslim telah memperhatikan masalah ini dan mereka
membedakannya. Mereka telah menetapkan syarat-syarat ketat dalam silogisme.
Logika Aristoteles telah dibangun berdasarkan pengertian-pengertian dan
universalia-universalia, padahal itu semua tidak mempunyai hakikat (realitas).
Universalia dan partikularia itu semua tidak lebih dari omong kosong para
aristotelian.
Bantahan:
Kritik ini juga diajukan oleh John Stuart Mill. Kritik ini adalah buah dari teorinya
yang dikenal dengan nominalisme. Dalam bagian sebelumnya kita telah
membahas pengertian dan macam-macamnya. Para penganut nominalisme
mencampur adukkan antara pengertian-pengertian universal filosofis dan
pengertian-pengertian universal logis. (A-Manhaj Al-jadid, 193-194).
Selain enam kritik di atas, ada sejumlah kritik yang ditujukan terhadap logika
aristotelian. Namun, karena didasarkan pada argumen yang sangat sederhana
atau bertalian dengan beberapa tema filsafat, maka kita tidak merasa perlu
menguraikannya.

30

Induksi
Sebelum membahas inferensi kedua, perlu kita ketahui bahwa terjadi kontrovesi
di kalangan hawzah tentang validitas induksi. Sebagian filsuf Mazhab Qom
menganggap silogisme atau deduksi sebagai satu-satunya argumen dan inferensi
yang dapat diandalkan karena ia dapat mengantarkan kepada kepastian,
sedangkan induksi dan analogi tidak dapat memberikan kesimpulan yang pasti
benar. Namun sebagian menolak anggapan tersebut, karena menurut mereka,
induksi bermacam dua; sempurna dan tidak sempurna, dan bahwa induksi
sempurna adalah inferensi yang berdiri di atas deduksi. Telah terbukti bahwa
induksi bermuara pada deduksi, karena ia adalah deduksi dengan rute pembuktian
dari premis minor kepada premis mayor. Jadi, sebetulnya induksi adalah salah
satu dari pola deduksi. (Al-muqarrar, juz 3, 84).
Induksi (Al-istiqra) , menurut sebagian filsuf muslim, adalah
langsung kedua.

Inferensi tidak

Dua macam induksi


Para filsuf muslim membagi induksi menjadi dua;
1.
Induksi sempurna (Al-Istiqra At-Tam). Yaitu meneliti seluruh partikularia (AlJuziyat) dalam sebuah universalia (Al-Kulli) yang hendak diketahui
hukumnya.. Induksi sempurna dapat menimbulkan keyakinan, menurut
sebagian besar ahli logika muslim seperti dalam Syarh Asy-syamsiyah dan
Syarh Al-mawaqif . Contoh: Setiap figura pasti buat atau bersiku, Setiap
yang bulat pasti berhingga, Setiap yang bersiku pasti berhingga. Konklusi:
Setiap figura berhingga.
2.
Induksi cacat atau kurang (Al-Istiqra An-Naqish). Yaitu meneliti sebagian
partikularia dalam sebuah universalia yang hendak diketahui hukumnya. Ia
hanya dapat melahirkan dugaan, karena tidak tertutup kemungkinan hukum
tersebut tidak berlaku atas salah satu dari partikal-partikalnya
Dua Macam Induksi tidak sempurna
Mereka membagi induksi tidak sempurna (Al-istiqra an-naqish) menjadi dua;
1.
Induksi kausal (Al-Istiqra Al-Muallal). Yaitu induksi tidak sempurna yang
mengeneralisasikan hukum berdasarkan keyakinan tentang adanya sebab
hukum (illatul-hukm) dalam partikularia-partikularianya. Contoh, hukum besi
pasti memuai bila suhu panasnya mencapai 100 derajat celsius yang
dibelakukan secara general atas setiap partikal besi setelah mengadakan
penelitian dan uji coba terhadap beberapa contoh besi, karena diyakini
bahwa suhu panas 100 derajat celcius adalah sebab bagi memuai.
2.
Induksi non kausal (Al-istiqra Ghairul-Muallal). Yaitu induksi tidak
sempurna yang mengeneralisasikan hukum tidak berdasarkan keyakinan
akan adanya hubungan kausal, seperti yang sering digunakan dalam
pendataan, survei, dan klasifikasi ilmiah dalam psikologi, sosiologi,
antropologi, dan sebagainya. (Al-muqarrar, juz 2, hal. 386-391).
Induksi dan Positivisme
Dunia barat menganggap induksi dan ferivikasi empirik sebagai metode yang
paling ilmiah. Metode empiris (induktif) telah melewati beberapa fase sejarah.
Pencetus pertama metode dan aliran ini adalah Democritos yang hidup sezaman
dengan Socrates. Empiris itu sendiri digunakan sejak Sxtus Erampiricus tahun 150
Masehi mempelopori pendirian sekolah para dokter empiris.
Induksi dideklarasikan sebagai metode ilmiah pada abad ke 19 oleh Francis Bacon
dengan bukunya yang terkenal, Novel Organum. Ini ini merupakan titik perubahan
dalam sejarah sain Eropa ketika metode induksi mendominasi seluruh bidang ilmu
alam kemudian ilmu-imu humaniora. (Al-Manthiq Al-Islami, 112-113, Nasyatul-

31

Falsafah Al-Ilmiyah,78, Ushulul-Bahts, 55, Mausuatul-Falsafah, Kamus Logika, 30,


Nasyatul-Fikr fil-Islam, 1/27, Ushulul-Bahts Al-Ilmi wa Manahijuhu, 27-28, UshululBahts, 55, Al-Manthiq Al-islami, 113, Manahijul-Istidlal, Al-Mausuah Al-Falsafiyah,
Nasyatul-Falsafah Al-Ilmiyah, 76, Al-Manthiq Al-Iislami, 110-111, Ushulul-Bahts,
54-55 dll).
Empat metode induksi
Tata cara melakukan induksi, menurut kaum empiris dan positivis sebagaimana
disebutkan oleh John Stuart Mill dalam bukunya A System of Logic: Rationative
and inductive, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang valid yang pengetahuan
yang benar, adalah sebagai berikut:
1. Metode Persesuaian (Metodhe of Agreement). Yaityu tata cara membuat
kesimpulan mengenai sebab dari sesuatu gejala berdasarkan persamaan
peristiwa yang terjadi. Dengan kata lain, Bila kita menemukan sebuah faktor
yang selalu ada secara konstan dalam sebuah gejala, meski unsur-unsur dan
sifat-sifat berubah, maka kita harus berkesimpulan bahwa sesuatu yang
konstan tersebut adalah sebab bagi terjadinya fenomena tersebut.
Contohnya, dalam sebuah sekolah anak-anak yang berjajan pecel semuanya
menjadi sakit perut, dapatlah disimpulkan bahwa pecel itu boleh jadi adalah
sebab gejala tersebut. (Ushulul-Bahts, 56, Sejarah Filsafat Inggris,
Nadhariyatul-Marifah, Muhadharat fil Aqidah, Kamus Logika, 150, dll).
2. Metode Perbedaan (Methode of Difference). Yaitu tata cara membuat
kesimpulan mengenai sebab dari suatu gejala berdasarkan perbedaan
peristiwa yang terjadi. Dengan kata lain, Untuk memastikan kebenaran
kesimpulan berdasarkan metode pertama (persesuaian), maka kita perlu
menggunakan metode oposisinya, yaitu metode perbedaan. Contohnya,
dalam sebuah sekolah anak-anak sama-sama makan pecel, makan salak, dan
minum lalu sakit perut, dapatlah disimpulkan bahwa perbedaan yang dimakan
itulah, boleh jadi, merupakan sebab dari sakit tersebut. (Kamus Logika, 151,
Ushul-Bahts, 57, Al-Manthiq Al-islami, 114, Muhadharat fil Aqidah, dll).
3. Metode Perubahan Seiring (Methode of Concomitant variations). Yaitu tata
cara membuat kesimpulan mengenai hubungan sebab-akibat di antara gejalagejala berdasarkan perubahan yang terjadi saat itu juga pada semua gejala
yang dimaksud. Dengan kata lain, Bila kita mengetengahkan serangkaian
gejala-gejala yang terdiri atas proposisi-proposisi dan konklusi-konklusi, lalu
perubahan yang terjadi pada proposisi-proposisi tersebut mengakibatkan
perubahan pada kongklusi-konklusinya dalam dua rangkaian tersebut dan
dengan ukuran tertentu, maka maka kita harus menyimpulkan adanya
hubungan kausal antara proposisi-proposisi tersebut dengan akibat-akibatnya.
Contohnya, Ketika seseorang membawa dua puluh botol yang penuh dengan
cairan yang mendidih, lalu ditemukan di desa bahwa delapan botol saja yang
berubah setelah dibuka penutupnya, dan terbukti bahwa lima botol
mengalami perubahan setelah dibuka penutupnya, dan di puncak gunung tak
satu pun dari 20 botol itu yang mengalami perubahan. Ketika 20 botol
tersebut dibawa ke sebuah ruangan tertutup dan seluruh penutup dibuka, 20
botol itu berubah semuanya. Dari sinilah disimpulkan bahwa perubahan udara
telah mengakibatkan perubahan dalam fermentasi karena bakteri lebih
banyak dalam ruangan berdebu, lebih sedikit di desa, lebih lagi di dataran
tinggi, dan lebih-lebih sedikit lagi di puncak gunung.
4. Metode Sisa (Methode of Residues). Yaitu tata cara membuat kesimpulan
mengenai sebab dari suatu gejala berdasarkan langkah pengurangan sebabsebab yang ada dengan sebab-sebab yang telah diketahui sehingga sisanya
adalah sebab yang dicari Dengan kata lain, Ia adalah sebuah tata cara untuk
mencaritahu sebab dengan menyisihkan sebab-sebab lain yang telah
diketahui. Contohnya, bila dari sebab A,B dan C terjadi gejala X, Y, dan Z,
sedangkan dari penyimpulan yang lalu telah diketahui bahwa peristiwa A dan
B selalu diikuti dengan gejala X dan Y, dapatlah disimpulkan bahwa C boleh
jadi mempunyai hubungan sebab-akibat dengan Z.

32

Empat Tahap Induksi


Ketika melakukan inferensi (pembuktian, Al-Istidlal) dengan menggunakan metode
induksi, pelaku induksi melewati tiga tiga secara berurutan;
1. Tahap eksperimen. Yaitu tahap ketika pelaku induksi mengarahkan
pikirannya ke arah objek untuk diketahui realitasnya atau untuk dijelaskan
artinya.
2. Tahap observasi (Al-Mulahadhah). Yaitu tahap ketika pelaku induksi
memperhatikan objek (Al-Mathlub) dalam natur (alam) sebagaimana adanya.
Eksperimen (At-Tajribah) adalah memperhatikan objek dalam kondisi yang
telah dipersiapkan oleh pelaku induksi sesuai kehendaknya.
3. Tahap asumsi. Yaitu ketika pelaku induksi telah melakukan observasi dan uji
coba. Setelah memperoleh contoh-contoh objek yang memadai, maka pelaku
induksi memasuki tahap berikutnya, yaitu tahap asumsi. Asumsi (Al-Fardh)
adalah perspesi atau pendepat yang diambil oleh pelaku induksi untuk
menginterpretasikan sebab-sebab dan akibat-akibat fenomena yang telah
diperhatikan berdasarkan prediksi dan presumsi.
4. Tahap penetapan hukum. Ketika asumsi yang ia bangun telah terbukti valid,
maka ia membangun dasar umum dan permenan, yang disebut hukum.

Analogi
Inferensi tidak langsung ketiga adalah analogi. Yaitu proses penarikan konklusi
tentang salah satu dari dua hal karena suatu aspek kesamaan antar keduanya. Ia
juga dapat didefinisikan sebagai penarikan hukum rasional yang berlaku atas
sebuah partikularia untuk diterapkan atas partikularia lain yang mempunyai
kesamaan tertentu.
Contoh analogi:
Air kolam berbentuk benda
Setiap air kolam berbentuk benda yang luas tidak akan diemarkan oleh sesuatu
apapun
Konklusi:
Air kolam yang luas tidak akan diemarkan oleh sesuatu apapun
Elemen-elemen analogi
Elemen-elemen dalam analogi terdiri atas tiga unsur yaitu;
1. Pokok, yaitu partikularia pertama yang telah diketahui sebagai sesuatu yang
dikenakan hukum, seperti khamar yang dihukumi haram.
Cabang, yaitu partikularia kedua yang hendak dihukumi, seperti anggur.
2. Titik temu, yaitu aspek kesamaan antara pokok dan cabang, seperti
memabukkan.
3. Hukum, yaitu suatu hal yang telah diketahui telah berlaku atas pokok dan
hendak diberlakukan atas abang, seperti haram.
Tiga Tahap Analogi
Analogi digunakan sebagai metode inferensi melewati tiga tahap;
1. Tahap penentukan objek.
2. Tahap penentuan prinsip.
3. Tahap pembatasan lingkup sebab hukum. Yaitu ketika pelaku analogi
membatasi sebab hukum dalam satu titik temu antara prinsip (pokok) dan
cabang yang dapat (layak) dijadikan sebagai sebab bagi hukum.
4. Konklusi (hasil). Yaitu tahap ketika pelaku analogi mengambil sebuah
kesimpulan.
Sesat Pikir (Fallasi)
Mughalathah atau fallaci atau fallacy adalah kekeliruan penalaran yang
disebabkan oleh penyimpulan yang invalid, dengan melanggar ketentuanketentuan logika atau susunan serta penggunaan kata yang keliru, sengaja atau

33

atau tidak. Falasi sepintas terkesan benar, namun bila diperhatian secara seksama
dengan menggunakan kaidah inferensi yang benar, maka akan mudah dikenali
kekeliruannya.
Dua macam Falasi
Falasi terbagi dua;
1.
Falasi internal (subjektif).
2.
Falasi eksternal (objektif).
Dua macam falasi internal
Falasi internal terbagi dua;
1. Falasi formal.
2. Falasi non formal
Sesat pikir formal
Ia adalah kerancuan yang terjadi karena melanggar ketentuan-ketentuan yang
berlaku dalam penalaran yang benar.
Sesat pikir formal dalam kondisi sebagai berikut:
Apabila dalam sebuah silogisme terdapat empat terma, maka silogisme
tersebut tidak valid.
Apabila terma premis tidak berdistribusi, namun konklusi berdistribusi.

Apabila terma tengah tidak terdistribusi, padahal untuk memperoleh


konklusi yang benar terma sekurang-kurangnya satu kali terdistribusi.
Apabila konklusi dihasilkan dari dua premis negatif, padahal dari dua premis
negatif tidak dapat ditarik konklusi yang benar.
Dua macam Falasi formal
Falasi formal terbagi dua;. Falasi audial (lisan) verbal (tulisan), dan Falasi non
audial.
Dua macam Falasi non formal
Ia terbagi dua; falasi diksionanal dan falasi material.
Falasi diksional
Ia adalah kerancuan yang terjadi karena kekeliruan dan kesalahan bahasa (baik
disengaja maupun tidak).
Falasi diksional terjadi dalam kondisi-kondisi sebagai berikut:
1. Menggunakan terma bermakna ganda (ekuivokal).
2. Menggunakan terma metaforis (kata yang tidak digunakan untuk arti asalnya),
seperti kata atau gelar ujung tombak yang diberikan kepada pemain
sepakbola yang berposisi sebagai penyerang.
3. Menggunakan kata yang bermakna ganda karena aksen dan mimik, seperti
kata apel yang bila diujarkan dengan vokal tertentu berarti buah, dan bila
diucapkan dengan vokal tertentu lainnya berarti pertemuan.
4. Menggunakan kata amfibolik (yang mengundang penafsiran beragam), seperti
Ali mencintai isterinya, demikian pula saya. Kalimat itu bisa ditafsirkan
dengan dua cara: Pertama, Ali mencintai isterinya, saya juga mencintai
isterinya. Kedua, Ali mencintai isterinya. Saya juga mencintai isteri saya.
Falasi substansial (material)
Falasi material adalah kerancuan karena kekeliruan dalam menyusun isi atau
materi penalaran, bukan pada bahasa atau tampilan (forma)-nya.
Falasi material terjadi dalam kondisi-kondisi sebagai berikut;
1. Apabila argumentasi yang diajukan tidak tetuju persoalan yang
sesungguhnya, tetapi terarah kepada pribadi yang menjadi lawan bicara. Ini
disebut dengan argumen terhadap lawan bicara (agumentum ad hominem).

34

2. Apabila argumentasi diajukan untuk memojokkan atau mempermalukan lawan


bicara. Contoh: Jika anda memang seorang pembela kebenaran, maka anda
pasti membenarkan pandangan saya. Hanya orang berakallah yang
menerima pendapat kami. Ini disebut dengan argumentum ad verecundiam
3. Apabila argumentasi yang diajukan berdasarkan kewibawaan atau pengaruh
besar seseorang, bukan berdasarkan penalaran. Contoh: Saya yakin apa
yang dikatakannya, karena ia pemimpin partai besar. Ini disebut dengan
argumentum auctoritatis.
4. Apabila argumen yag diajukan berupa ancaman dan desakan lawan bicara
agar menerima suatu konklusi tertentu, dengan alasan bahwa jika menolak,
akan berdampak negatif terhadap dirinya. Ini disebut dengan argumentum ad
misericordiam.
5. Apabila argumentasi yang diajukan demi memperoleh rasa iba dan kasihan
dari lawan bicara agar diampuni. Ini disebut dengan argumentum ad populum.
6. Apabila argumentasi diajukan untuk meprovokasi dan membangkitkan emosi
massa atau sekelompok orang, dengan alasan bahwa pemikiran yang
melatarbelakangi program adalah demi kepentingan rakyat atau kelompok itu
sendiri, agar pemkirannya diterima. Ini dikenal dengan argumentum ad
misericordiam.
7. Apabila kita memastikan bahwa sesuatu itu tidak ada karena kita tidak
mengetahui apa pun juga mengenai sesuatu itu atau karena belum
menemukannya, maka itulah sesat pikir. Ini disebut dengan argumentum ad
ignorantiam. (Durus fi Ilmil-Manthiq, 105, Pengantar Logika, 46, Pengantar
menuju Khulashatul-Manthiq, 77-91, Logika karya Muthahhari,40 dan 76-80,
Manahij Al-istidlal, 42-43, Manahij Al-Bahts, hal. 11, Al-Manthiq Al-Islami, Durus
fi Ilmil-Manthiq 101-102, Hakadza Nabda, Manahij Al-Istidlal, 46-56, AsasulIqtibas, 193, Durus fi ilmil-Manthiq, 103, Durus fi ilmil-Manthiq, 103, Pengantar
Logika, 40, Al-Manthiq karya Al-mudhaffar, Al-Manthiq Al-islami karya M. Taqi
Mudarrisi, Kamus Logika karya The Liang Gie, 178, Pengantar Logika, J. hendrik
Rappar, 32-34dll).
Kekeliruan
Sesat-pikir biasanya menimbulkan kesalahan logis.
Macam-macam kesalahan berpikir
Kesalahan logis yang terpenting adalah sebagai berikut:
1.
Generalisasi. Yaitu pemberlakuan secara umum suatu atau beberapa hal atas
semua hal tanpa bukti yang cukup, seperti pernyataan semua orang batak
bertabiat keras semua orang yang bertubuh pendek licik.
2.
Penggunaan slogan atau semboyan yang memuat sikap emosional yang tidak
objektif, seperti pokoknya, siapapun yang menentang kebijaksanaan
Presiden adalah pelaku makar!
3.
Memustahilkan suatu ide hanya karena tidak dimengerti, seperti pernyataan
orang yang tidak mengerti tentang antariksa mencapai bulan mustahil dapat
dilakukan. (Al-Manthiq Al-Islami, Kamus Filsafat, 446-447).
Antara kesalahan berpikir dan kesalahan bertindak
Para ahli psikologi dan etika menemukan adanya relasi antara kesalahan berpikir
dengan kesalahan bertindak atau berprilaku. Menurut mereka, kesalahan, selain
disebabkan oleh faktor-faktor eksternal, memiliki akar-akar psikologis internal.
Yaitu antara faktor-faktor sebagai berikut:
Cinta atau keterpesonaan atau kecenderungan
Yaitu ketertarikan jiwa terhadap sesuatu. Ia akan melahirkan kesalahan-kesalahan
berpikir yang disebabkan oleh cinta atau keterpesonaan;

Terpesona pada diri (egoisme, Hub Adz-Dzat). Manusia, demi mencintai


dirinya, rela untuk menolak pendapat orang lain yang bertentangan dengan
kepentingan dirinya, betapapun sangat kuat dan gamblang.

Terpesona pada metode penyampaian (retorika). Terkadang seseorang

35

merasa sangat terpesona bukan pada kebenaran tema yang disampaikan


kepadanya, namun terpesona pada cara dan metode penyampaiannya.

Terpesona pada tema permasalahan yang disampaikan, bukan karena


metode penyampaian dan bukan pula karena bukti-bukti dan argumennya
yang sangat kuat, namun karena ia sesuai dengan apriori keyakinan yang
sama yang terlah bersemayam dalam diri seseorang atau masyarakat.

Terpesona pada leluhur dan nenek moyang. Pengangungan atau pemujaan


dan kebanggaan pada orang tua dan nenek moyang kadang kadang kala
membuat seorang akademis pun secara tidak sadar berpikir salah, karena rasa
ini telah tertanam sejak kecil.
Cinta pada orang-orang dulu. Tidak jarang ulama menolak pendapat yang
lebih masuk akal dan didukung dengan dalil yang sangat kuat hanya
karena para pendahulunya tidak berpendapat seperti itu atau
menentangnya.

Terpesona atau cinta pada kampung halaman dan lingkungan. Secara


naluriah dan kultural, manusia lebih mengutamakan segala sesuatu yang
mempunyai aspek kedekatan dengan dirinya, termasuk tempat kelahiran.
Kadang-kadang demi mendukung tim sepakbola kota kelahiran, seseorang,
yang boleh jadi sangat terpelajar, berpikir bahkan bertindak salah, seperti
berkelahi atau berjingkrak-jingkrak, misalnya.
Hilangnya rasa percaya atau pesimisme
Kadang kala seseorang merasa tidak mempu mencari atau memilih antara konsep
atau pendapat yang benar, karena terkesan sulit dan memakan waktu, sehingga
ia rela meyakini atau berpikir salah. Hala ini menimbulkan akibat-akibat negatif
sebagai berikut:

Ketertupupan (kejumudan). Hanya karena sulit atau tidak mengerti,


seseorang kadang kala meyakini sesuatu yang salah secara matian-matian.
Kaum sophis atau skeptisis adalah contohnya. Kaum materialis, karena tidak
dapat menemukan Tuhan dan spirit dengan pengalaman indferawi, serta merta
menolak keberadaan Tuhan dan spirit.

Kultur paternalistik. Ada kalanya seseorang atau sebuah masyarakat, akibat


dari pembodohan sistematis para kolonial dan imperialis, hidup dengan pola
hubungan paternalistik. Mereka memuja-muja dan mengkultuskan seorang
tokoh di kampung atau daerah karena alasan-alasan yang tidak ada sangkut
pautnya dengan kehidupan mereka atau bukan karena nilai-nilai mulia. Pola
kehidupan sosial demikian menjadi faktor utama kesalahan berpikir dan
berprilaku.

Kecerobohan. Ia merupakan akibat dari kecenderungan yang berlebihan dan


hilangnya kepercayaan.
Kecerobohan dan ketergesa-gesaan menimbulkan dua akibat sebagai berikut:
1. Kecenderungan untuk menjadikan hal-hal kausustik, sporadis, dan parsial
sebagai titik tolak lalu menjadikannya sebagai kesimpulan general. Hanya
karena bermasalah dengan sopir bis, misalnya, maka ia menghujat semua
sopir, atau membenci profesi sopir.
2. Kecenderungan untuk mengambil pendapat yang telah terkemas, tanpa
mempertimbangkan validitas dan invaliditasnya, daripada bersusah payah
untuk merangkai keyakinan dari akumulasi kesimpulan yang diperoleh dari
pencarian. (Al-

36

Anda mungkin juga menyukai