Pengantar Penulis
Mantiq bukanlah ilmu tentang cara berpikir, tapi ia adalah ilmu atau kiat teknis
yang dapat menghindarkan manusia dari kesalahan dalam berpikir. Mantiq
bukanlah ilmu yang menawarkan kebenaran, tapi ia adalah ilmu tentang cara
mendefinisikan, membagi, menghimpun, memilah-milah dan berargumentasi
secara sistematik. Mantiq bukanlah ilmu agama. Ia bersifat universal dan lintas
agama bahkan linats keyakinan ketuhanan, sebagaimana diuraikan secara implisit
di atas.
Pada dasarnya, setiap manusia dapat berpikir sistematik. Namun karena tidak
konsentrasi atau mengutamakan emosi, maka ia terjeremus dalam kesalahan
berpikir dan berkesimpulan. Kasena itulah, Mantiq bukanlah ciptaan Aristoteles
ataupun filsuf lainnya. Manthiq adalah metode berpikir sistematik yang
sebenarnya sudah ada dalam diri setiap manusia secara inheren namun sering
kali tidak disadarinya. Kalau dikatakan, setiap manusia makan ayam, setiap
ayam makan kotoran, dan karenanya, setiap manusia makan kotoran maka
semestinya kita, tanpa perlu lebih dulu belajar Manthiq, akan meastikan bahwa
setiap manusia makan kotoran adalah salah. Kalau dikatakan, Setiap burung
bersayap, kambing bukan burung, karenanya kambing tidak bersayap, maka
semestinya kita, tanpa perlu lebih dulu mendalami Mantiq, akan berkesimpulan
bahwa kambing tidak bersayap adalah premis yang benar.
Lazimnya, berpikir secara benar melahirkan berkomunikasi secara benar
bahkan bersikap secara benar dan berpilaku secara benar. Terjadinya konflik
inter-personal dan inter-komunal baik dalam kehidupan sosial secara umum
maupun dalam dalamrumahtangga, lingkungan kerja, bahkan dalam kancah
politik sering kali disebabkan oleh kesalahfahaman, yang tidak lain adalah akibat
dari kesalahan berkesimpulan. Kesalahan dalam berkesimpulan adalah akibat dari
kesalahan dalam menata pikiran. Itu berarti, logika sangat penting bagi penganut
agama apapaun dan dengan profesi apapun.
Tentu, penulis ini tidak bisa menjamin setiap orang dapat berpikir benar hanya
dengan membaca sekali buku pengantar yang tipis ini. Berpikir benar
memerlukan latihan-latihan. Karena itulah, buku pengantar ini sebaiknya tidak
diperlakukan sebagaimana buku-buku bacaan lainnya yang hanya cukup sekali
dibaca.
BAB PERTAMA
Sebenarnya logika bukanlah tema yang terpisah dari epistemologi, karena ia
adalah imu tentang cara menggunakan akal atau cara memperoleh pengetahuan
assentual. Namun, area pembahasannya sangat luas, maka ia dipisahkan dari
epistemologi dan dianggap sebagai bidang ilmu yang mandiri.
Sesungguhnya logika dapat dianggap sebagai salah satu bagian dari
epistemologi. Namun, karena penting dan tema-temanya sangat luas, ia
dipisahkan dan dijadikan sebagai bidang tersendiri.
Definisi Logika
Logika berasal dari kata Latin; ligica atau logikos. Semula berarti apa yang
termasuk ucapan yang dapat dimengerti atau akal budi yang bergungsi baik,
teratur, sistematis, dapat dimengerti. Sebagian membagi logika menjadi dua;
logika klasik atau formal (aristotelian) dan logika modern (simbolik). (Kamus
Filsafat, 527 dan 533).
Logika atau Ilmul-Manthiq Aristotelian adalah tata cara berpikir secara benar
(pengetahuan assentual). Logika juga dapat didefinisikan sebagai pengetahuan
tentang prinsip-prinsip serta aturan-aturan penyimpulan yang sah. (Dasar-dasar
Filsafat, 6.3).
Manfaat Logika
Dengan logika, seseorang dapat meraih pengetahuan assentual. Dan dengan
bekal pengetahuan assentual tersebut, ia dapat melakukan hal-hal sebagai
berikut:
1. Menelurkan sejumlah pengertian (tentang, signifikansi atau Ad-Dilalah,
universalia dan partikularia, substansi dan aksiden, Al-Mafhum dan AlMishdaq, relasi-relasi dan sebagainya).
2. Melakukan definisi secara benar.
3. Melakukan analisis, pembagian dan pengelompokan secara benar.
4. Melakukan inferensi langsung dan tidak langsung.
5. Mendeteksi dan mengidentifikasi sesat pikir (falasi, Al-Mughatathah) dalam
setiap proposisi (Al-Manthiq Al-Islami, 593).
Logika Paripatetik dan Mazhab Qom
Sejarah mencatat bahwa orang yang pertama kali menulis buku tentang logika
adalah Aristoteles dengan karyanya Organon yang sangat terkenal itu. Murid
Plato yang paling menonjol ini
terdorong untuk meletakkan kaidah-kaidah
pemikiran dan teknik merangkai premis demi menghasilkan kesimpulan yang
benar setelah melihat dominasi dan pengaruh kaun sophis di Yunani. Logika
formal ini juga dikenal logika arsitotelian.
Logika formal telah dikembangkan dan dian disempurnakan oleh para filsuf
Muslim. Pelopor logika muslim ini adalah Abu Nashr Al-Farabi (260 339 H).
Logika muslim ini telah berkembang pesat berkat jasa besar Bu Ali Sina atau
Ibnu sina (370 428 H) yang telah menulis Ash-Shifa yang berisikan komentar
atas Organon karya Aristoteles. Ia juga telah menulis Al-Isharat yang berisikan
pandangan-pandangannya yang baru dalam logika.
Kerja besar Ibnu Sina
dilanjutkan oleh Khajah Nasiruddin ath-Tuhsi (597 672 H) yang menggegerkan
dunia pemikiran dengan bukunya Asas Al-iqtibas yang ditulisnya dengan bahas
Parsi.
Pendahuluan dan Inti logika
Pada bagian ini, kita akan mempelajari tema-tema pendahuluan yang sangat
diperlukan sebelum memasuki bagian utama logika. Tema-tema pendahuluan ini
meliputi antara lain; signifikansi antara kata dan arti. Sedangkan tema-tema inti
logika meliputi antara lain deduksi, induksi dan analogi.
Signifikansi
Signifikansi (Ad-Dilalah) adalah sesuatu yang meniscayakan pengetahuan
terhadap sesuatu akibat pengetahuan sebelumnya terhadap sesuatu lain yang
berkaitan, seperti bunyi bel pintu rumah yang akan meniscayakan benak Anda
membayangkan adanya seseorang di balik pintu yang menekan tombol bel.
Tiga pilar signifikansi
Signifikansi terdiri atas tiga pilar utama;
1. Subjek Penunjuk (Ad-Dal), seperti bunyi bel
2. Objek Tertunjuk (Al-Madlul alaih), seperti keberadaan seseorang di balik
pintu
3. Proses kepenunjukan (Ad-Dilalah). Yaitu konfirmasi Anda tentang adanya
seseorang di balik pintu karena adanya bunyi bel.
Dua macam signifikansi
Signifikansi (Ad-Dilalah) ditinjau dari hubungannya terbagi dua yaitu;
1. Signifikansi
verbal
(Ad-Dilalah
Al-Lafdhiyah).
Yaitu
hubungan
kepenunjukan antara sesuatu yang non-kata dengan sesuatu yang kata,
seperti hubungan kepenunjukan antara mendengar suara di balik pintu dan
kepastian adanya seseorang yang berbicara.
2. Signifikansi non verbal (Ad-Dilalah Ghair Al-Lafdhiyah) Yaitu hubungan
kepenunjukan antara sesuatu yang non-kata dan sesuatu non-kata lainnya,
seperti hubungan kepununjukan antara melihat asap di balik dinding dan
kepastian adanya api.
Tiga signifikansi verbal
Signifikansi verbal terbagi tiga;
1. Signifikansi verbal rasional (Ad-Dilalah Al-Lafdhiyah Al-Aqliyah), seperti
mende-ngar suara di luar rumah yang bersignifikansi tentang adanya
seseorang yang berbicar.
2. Signifikansi verbal natural (Ad-Dilalah Al-Lafdhiyah Ath-Thabiiyah),
seperti kata aakh! yang bersignifikansi tentang adanya rintihan nyeri.
3. Signifikansi verbal konvensional (Ad-Dilalah Al-Lafdhiyah Al-Wadhiyah).
Tiga signifikansi non verbal
Signifikansi non verbal (Ad-Dilalah Ghairul-lafdhiyah) terbagi tiga;
1. Signifikansi non verbal rasional (Ad-Dilalah Ghairul-lafdhiyah Al-Aqliyah),
seperti melihat asap di balik dinding yang bersignifikansi tentang adanya
api.
2. Signifikansi non verbal natural (Ad-Dilalah Ghairul-lafdhiyah Ath-
Syarat-syarat definisi
Berikut ini adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pendefinisian:
1. Definisi hendaknya sama dalam dengan sesuatu yang didefinisikan dalam
konteks penerapan atas ekstensi-ekstensinya.
Ketika mendefinisikan manusia sebagai (dengan) hewan berakal budi, maka
dalam definisi ini, hendaknya berakal budi juga berlaku atas ekstensi-ekstensi
manusia, dan tidak berlaku atas lainnya, atau sebagian daripadanya.
Atas dasar syarat pertama di atas, maka pelaku definisi harus menghindari
larangan-larangan di bawah ini:
Hendaknya definisi tidak lebih semu dari sesuatu yang didefinisikan, seperti
cahaya adalah energi yang menyerupai eksistensi atau ilmu adalah konsep
yang tercerap melalui penginderaan., karena energi yang menyerupai
eksistensi lebih semu daripada cahaya, dan konsep yang tercerap melalui
penginderaan lebih tidak jelas dari pengetahuan.
3. Definisi hendaknya berupa kata atau beberapa kata yang mempunyai
pengertian berbeda dengan pengertian sesuatu yang didefinisikan, seperti
manusia adalah hewan berakal. Pengertian hewan dan pengertian berakal
budi berbeda dengan pengertian manusia.
Atas dasar syarat ketiga di atas, maka pelaku definisi harus menghindari larangan
sebagai berikut:
Hendaknya definisi tidak dilakukan dengan menggunakan kata yang sama dengan
sesuatu yang didefinisikan, meski berbeda kata, seperti manusia adalah insan,
karena manusia adalah insan itu sendiri.
4. Definisi hendaknya tidak menggunakan pengertian yang merupakan
konsekuensi (produk) pengetahuan akan sesuatu yang didefinisikan, seperti
manusia adalah hewan berakal budi. Pengetahuan akan hewan dan
pengetahuan tentang berakal budi bukanlah hasil dari pengetahuan tentang
manusia.
Atas dasar syarat keempat di atas, maka pelaku definisi harus menghindari
larangan-larangan di bawah ini:
Hendaknya definisi tidak berupa penguraian pengertian yang merupakan produk
10
dari sesuatu yang yang didefinisikan, seperti matahari adalah cahaya yang terbit
di siang hari, karena siang diketahui setelah matahari diketahui lebih dulu.
5. Definisi hendaknya berupa penguraian dengan kata yang mempunyai arti
jelas, tidak ambigu atau semu. (Khulashatul-manthiq, 39-43, Pengantar Logika,
Durus fi Ilmil-Manthiq, 53-55, Komposisi, hal. 50-53).
Distingsi
Distingsi (At-Taqsim) adalah pembagian (pemilahan) terhadap sesuatu ke spesiesspesiesnya atau penguraian sesuatu dalam unsur-unsurnya.
Dua pilar distingsi
Distingsi hanya dapat menghasilkan secara benar, apabila terdiri atas dua pilar
sebagai berikut:
1. Tujuan (Al-Muqassim), yaitu sasaran yang hendak dicapai oleh pelaku
distingsi.
2. Aspek (Al-Jihah), yaitu sudut dan karateristik yang dijadikan sebagai
patokan dalam melakukan distingsi, seperti hewan dari aspek jenis
makanannya menjadi dua; hewan pemakan tumbuh-tumbuhan dan hewan
pemakan daging, atau pembagian Indonesia dari aspek geografis menjadi
timur, barat, selatan, dan utara.
Dua macam distingsi
Distingsi dapat dibagi menjadi dua macam;
1. Distingsi natural (Al-Qismah Ath-Thabiiyah), yaitu penguraian sesuatu
kepada partikular-partikular yang terhimpun di dalamnya, seperti pembagian
air ke dalam oksigen dan hidrogen.
2. Distingsi logis (Al-Qismah Al-Manthiqiyah), yaitu penguraian sesuatu ke
dalam spesies-spesies yang menjadi terapannya, seperti pembagian kata ke
dalam kata benda, kata kerja, dan kata sifat.
Syarat-syarat distingsi
Pembagian atau distingsi logis dapat dilakukan apabila syarat-syaratnya telah
terpenuhi, yaitu sebagai berikut:
1. Mengasumsikan sebuah patokan (standar) dalam pembagian. Karenanya,
pembagian terhadap sesuatu (satu hal) menjadi tidak valid apabila dibagi
berdasarkan lebih dari satu standar sekaligus.
2. Setiap sesuatu yang merupakan terapan (ekstensi, objek) bagian harus
menjadi terapan bagi pembagi.
3. Hendaknya setiap spesies tidak saling tumpang tindih. Karenanya, tidak
bisa, misalnya, membagi rumah menjadi dua yang bertembok semen dan
rumah yang dibangun dengan batu, karena rumah yang dibangun dengan batu
termasuk rumah yang bertembok semen.
4. Mata rantainya harus bersambung. Bila salah satu mata rantainya terputus,
seperti membagi membagi hushuli menjadi badihi dan nadhari, lalu membagi
nadhari menjadi pengetahuan eksakta dan humaniora, karena eksakta dan
humaniora adalah pengetahuan-pengetahuan yang muncul setelah beberapa
kali pembagian sebelumnya.
Perbedaan antara pembagian natural dan pembagian logis dapat diringkas
sebagai berikut:
Dalam pembagian natural, hal itu tidak dapat dilakukan, seperti oksigen
adalah air dan air adalah oksigen.
11
12
1.
2.
13
BAB KEDUA
Proposisi atau pernyataan (Al-qdhiyah) dalam logika perkataan yang terdiri atas
subjek dan predikat yang mungkin benar dan mungkin pula salah.
Untuk dapat melakukan inferensi tidak langsung dan langsung, kita perlu
membekali diri dengan proposisi atau premis . (Muqaddimat fi Ilmil-Manthiq, 138).
Macam-macam Proposisi
Proposisi dalam dibagi dalam beberapa versi pembagian berdasarkan aspek yang
berbeda-beda.
Dua macam proposisi
Proposisi dapat dibagi, berdasarkan ciri dan nilai yang dikandungnya, menjadi
dua;
1. Proposisi Sintetik. Yaitu setiap proposisi dengan elemen predikat yang
memberikan sesuatu yang pada subjek. Proposisi Kiwi adalah buah adalah
contoh proposisi syntetik, karena predikatnya mengandung data baru yang
tidak terkandung dalam subjek, demikian pula proposisi-proposisi dalam ilmuilmu lainnya.
Tolok ukur kebanaran dan kepalsuannya adalah kesesuaiannya dengan realitas
objektif. Karena itulah, semua proposisi sintetik mungkin benar dan mungkin
palsu. Tolok ukur ini berhubungan dengan teori kerespondensi dalam
epistemologi.
2. Proposisi Analitik. Yaitu setiap proposisi dengan elemen predikat yang
hanya mengulang atau menguraikan sesuatu (makna) yang telah terkandung
dalam subjek dan tidak menambahkan data baru, seperti Bujang adalah
orang yang belum kawin, karena bujang adalah orang belum kawin dan
begitu pula sebaliknya.
Tolok ukur kebenaran dan kepalsuan proposisi analitik adalah keserasian antar
subjek dan predikatnya. Tolok ukur ini berhubungan dengan teori koherensi
dalam epsitemologi.
Dua macam proposisi
Proposisi (baik predikatif maupun hipotetik) juga, ditinjau dari sisi kualitas terbagi
dua;
1.
Proposisi afirmatif (Al-Qadhiyah Al-Mujabah). Yaitu proposisi (predikatif dan
hipotetik) yang mengafirmasi atau mengiayakan adanya hubungan antara
subjek dan predikat.
Contoh: Thabathabai adalah ahli tafsir, semua wanita beradab pasti berpakain
tertutup.
2.
Proposisi negatif (Al-Qadhiyah As-Salibah). Yaitu proposisi (predikatif dan
hipotetik) yang menegasi atau menafikan adanya hubungan antara subjek
dan predikat.
Contoh: Sebagian pejabat bukanlah koruptor, Kertas bukanlah makanan.
Dua macam proposisi
Proposisi dapat dibagi menjadi berdasarkan muatannya;
1. Proposisi minor (Al-Qadhiyyah Ash-Shugra). Yaitu attesendens yang
memuat partikularia yang hendak diketahui nilainya (nilai validitasnya) melalui
inferensi (penalaran, Al-Istidlal)., seperti besi adalah tambang.
2. Proposisi mayor (Al-Qadhiyyah Al-Kubra). Yaitu attesendens yang menjadi
dasar universal yang diterapkan atas partikularia untuk diketahui nilai
(validitas)-nya melalui inferensi silogisme (deduksi), seperti semua besi
adalah tambang unsur homogen.
14
15
16
17
BAB KTIGA
Argumentasi
Empat macam demonstrasi
Argumentasi berdasarkan komposisi proposisi-proposisinya terbagi empat;
1. Al-Qiyas Al-Burhani (Argumen demonstratif) . Yaitu deduksi yang terdiri atas
proposisi-proposisi yang pasti valid atau postulat (Al-yaqiniat).
2. Al-Qiyas Al-Jadali. (argumen dealektik). Yaitu argumentasi yang terdiri atas
proposisi-proposisi yang secara kualitas berada di bawah postulat-postulat
aprior, yaitu Al-Musallamat, Al-Masyhurat, dan Al-Maqbulat, yang disepakati
oleh kedua pihak dalam debat.
3. Al-Qiyas Al-Khithabi (argumen retorik). Yaitu argumentasi yang terdiri atas
proposisi-proposisi yang secara kualitas lebih rendah dari proposisi-proposisi
dalam Al-qiyas Al-Jadali, yaitu Al-Musallamat, Al-Madhununat, dan AlMasyhurat, dengan tujuan meyakinkan lawan bicara atau komukinan.
4. Al-Qiyas Asy-Syiri. Yaitu argumentasi yang terdiri atas proposisi-proposisi
imajinatif, dengan tujuan menydutkan lawan bicara.
5. Al-Qiyas al-mughalathi. Yaitu deduksi yang terdiri atas proposisi-proposisi keliru
dan tak beralasan ( Al-wahmiyat dan Al-musytabihat). Ia juga dikenal dengan
falasi.
(Jurnal Filsafat, Qadhaya Islamiyah, edisi 14, hal. 268, Manthiq va
tafakkur e Intiqadi, 97).
18
Al-Qiyas Al-Burhani
Penalaran (Al-Istidlal) dilakukan untuk menguji dan melahirkan pengetahuan yang
benar.
Dua macam inferensi
Inferensi atau penalaran dilihat dari metodanya terbagi dua;
1. Inferensi langsung, yang meliputi inversi (kontradiksi, At-tanaqudh), obversi
(Al-aksul-mustawi), dan kontraposisi (aksun-naqidh).
2. Inferensi tidak langsung, yang meliputi deduksi (Al-Qiyas), induksi (Al-Istiqra),
dan analogi (At-Tamtsil).
Inferensi langsung
Inferensi langsung (Al-Istidlal Al-Mubasyir) adalah panarikan konklusi hanya dari
sebuah premis (proposisi yang digunakan untuk penarikan konklusi). Ia juga
didefinisikan sebagai pembuktian suatu pernyataan (premis) atas sebuah
pernyataan lain tanpa perantara apapun. pendapat Khulashatul-Manthiq, 50 dan
Mudzakkiratul-Manthiq, 112). Anehnya, sebagian ahli logika menganggap
inferensi pertama ini sebagai inferensi langsung, sebagaimana disebutkan dalam
Durus fi Ilmil-Manthiq, 93.
Penerapan metode pembuktian demikian hanya dapat dilakukan dengan bekal
pengetahuan akan relasi-relasi dalam setiap pernyataan atau premis.
Empat relasi keniscayaan dalam inferensi langsung
Ada empat pola hubungan timbal balik yang niscaya antara dua premis dalam
penalaran langsung, yaitu sebagai berikut:
1. Keniscayaan (Al-Luzum) kebenaran premis kedua (yang diharapkan) karena
kepalsuan premis pertama (yang dibuktikan), yang disebut dengan inversi (AnNaqidh).
2. Keniscayaan kepalsuan premis kedua (yang diharapkan) karena kebenaran
premis pertama (yang dibuktikan), yang disebut dengan obversi (Al-aksulMustawi).
3. Keniscayaan keberanaran premis kedua (yang diharapkan karena kebenaran
premis pertama (yang dibuktikan), yang disebut dengan kontraposisi (AlAksun-Naqidh).
4. Keniscayaan premis kedua (yang diharapkan) karena kepalsuan premis
pertama (yang dibuktikan), yang disebut oposisi (An-Naqdh)..
Inversi
Inversi adalah korelasi niscaya antar dua proposisi yang menyebabkan kebenaran
dan kepalsuan salah satu dari dua premis tersebut.
Inversi dapat didefinisikan sebagai: teknik penyimpulan dengan menegasikan
subjek dan predikat atau bagian pertama dan kedua dalam suatu proposisi.
Syarat-syarat kesatuan dalam inversi
Ada sembilan (9) kesatuan yang harus dipenuhi agar inversi (kontradiksi) terjadi,
yaitu sebagai berikut:
1. Kesatuan (Al-ittihad, unitas) subjek (maudhu), seperti Ali adalah siswa dan
Ali bukanlah siswa. Inversi tidak terjadi bila subjeknya berlainan, seperti Ali
adalah siswa dan Ahmad bukanlah siswa
2. Kesatuan predikat (Al-Mahmul), seperti Zaki adalah siswa dan Zaki
bukanlah siswa. Inversi tidak terjadi bila predikatnya berlainan, seperti Zaki
adalah siswa dan Zaki bukanlah guru.
3. Kesatuan waktu, seperti matahari terbit di siang hari dan matahari tidak
terbit pada waktu siang. Inversi tidak terjadi bila waktunya berlainan , seperti
matahari terbit pada waktu malam dan matahari tidak terbit saat malam.
4. Kesatuan tempat, seperti matahari terbit di timur dan matahari tidak terbit
di timur. Inversi tidak terjadi bila masanya berlainan, seperti matahari terbit
19
atau
ke-sebagian-annya
20
Obversi
Obversi adalah mengubah (mengganti) subjek menjadi predikat dan sebaliknya,
dengan tidak mengubah kualitas (afirmatif dan negatif) serta kebenaran
(validitas)nya. Premis pertama (yang belum diubah) disebut dengan prinsip (Alashl), sedangkan premis kedua yang telah diganti muatannya disebut dengan
obversi (Al-aksul-mustawi).
Obversi dapat dijadikan sebagai metode inferensi dalam proposisi-proposisi
apablila menggunakan korelasi ketiga antar proposisi-proposisi, sebagaimana
disebutkan di atas, yaitu keniscayaan kebenaran premis kedua (yang telah
diganti muatannya) karena kebenaran premis pertama (yang belum diubah) yang
dijadikan sebagai dalil inferensi.
Syarat-syarat obversi
Dalam menggunakan obversi dalam inferensi, syarat-syarat sebagai berikut harus
dipenuhi:
1. Mengganti dua sisi muatan proposisi (subjek diubah menjadi predikat dan
sebaliknya, kondisi atau attesenden diubah menjadi konsekuen dan
sebaliknya).
2. Mempertahankan kualitas premis. Artinya bentuk afirmatif atau negatif premis
pertama tidak diubah atau dibalik.
3. Mempertahankan kebenaran premis pertama. Artinya, hendaknya penggantian
muatan premis tidak menyebabkan kepalsuan premis kedua.
Bila tiga syarat di atas telah dipenuhi, maka obversi akan menghasilkan premispremis sebagai berikut:
1. Premis afirmatif universal, seperti semua air adalah (yang) cair
menghasilkan premis obvertif premis afirmatif parsial, seperti sebagian (yang)
cair adalah air.
2. Premis afirmartif parsial, seperti sebagian (yang) cair adalah air atau
sebagian air adalah (yang) cair menghasilkan premis afirmatif parsial,
seperti sebagian air adalah (yang) cair atau sebagian (yang )cair adalah air.
3. Premis negatif universal, seperti seluruh hewan bukanlah benda mati
menghasilan premis negatif universal, seperti seluruh benda mati bukanlah
benda mati.
Premis negatif parsial tidak menghasilkan jika diobversi karena dalam aspek
tertentu hasilnya tidak valid, seperti apabila sujek premis negatif parsial lebih
umum (luas) dari predikatnya, seperti sebagian hewan bukanlah manusia, maka
tidak bisa menghasilkan Seluruh manusia bukanlah hewan atau sebagian
manusia bukanlah hewan, karena kedua premis tersebut tidak faktual. Telah
diketahui bersama, syarat ketiga dalam obversi adalah mempertahankan
kebenaran premis pertama yang dijadikan sebagai bukti.
Pelaku inferensi dengan obversi harus melewati lima tahap sebagai berikut:
1. Menentukan premis baru yang hendak diperoleh (Al-Mathlub).
2. Menentukan prinsip (premis pertama yang hendak diubah muatannya).
3. Melakukan penalaran (inferensi) untuk memastikan kebenaran prinsip atau
premis pertama.
4. Menerapkan metode inferensi dengan obversi (Al-Aksul-Mustawi).
Konklusi ( Mudzakkratul-Manthiq,112-122, Durus fi Ilmil-Mnathiq, 91-100)
Kontraposisi
Kontraposisi (Aksun-Naqidh) adalah mengubah (mengganti) proposisi menjadi
sebuah proposisi yang predikatnya menjadi lawan (kontraposisi) subjek proposisi
(premis) pertama (yang belum diubah) sambil tetap mempertahankan kualitas
(afirmatif maupun negatif) serta mempertahankan kebenarannya.
Contoh:
Semua penulis adalah manusia yang menghasilkan kontraposisi semua selain
21
22
23
24
25
Contoh:
Semua manusia (adalah) berakal budi
Semua mahasiswa adalah manusia
Semua mahasiswa (adalah) berakal budi
Setiap muslim mempercayai Al-Quran
Setiap yang mempercayai Al-Quran mempercayai kesetraaan
Setiap muslim mempercayai kesetaraan.
Ini adalah figura pertama, karena terma medium (berakal budi dan mempercayai
Al-Quran) menjadi predikat pada proposisi mayor (premis pertama). Figura
pertama ini adalah figura paling populer dan mudah.
Figura dua
Dalam figura 2 (Asy-Syakl Ats-Tsani), terma medium menjadi predikat dalam dua
proposisi.
Syarat-syarat dalam figura 2:
1. Dua premis harus berbeda secara kualitatif
2. Premis (proposisi) mayor harus universal.
Kedua syarat tersebut menghasilkan 4 macam sebagai berikut:
Macam pertama: terdiri atas premis afirmatif universal dan premis negatif
universal, yang mengahsilkan premis negatif universal.
Contoh:
Semua burung bersayap
Kambing tak bersayap
Kambing bukanlah burung
Macam kedua: terdiri atas premis negatif dan premis afirmatif universal, yang
menghasilkan premis negatif universal juga. Contoh:
Tak satu pun mungkin (adalah) langgeng
Semua yang benar (adalah) langgeng
Tak satu pun mungkin (adalah) langgeng
Macam ketiga: terdiri atas premis afirmatif parsial dan premis negatif universal,
yang menghasilkan premis negatif parsial (parsial)
Contoh:
Sebagian tambang (adalah) emas
Perak bukanlah emas
Sebagian tambang bukanlah perak
Macam keempat: terdiri atas premis negatif parsial (parsial) dan premis afirmatif
universal, yang menghasilkan premis negatif parsial juga.
Contoh:
Sebagian benda bukanlah tambang
Semua emas adalah tambang
Sebagian benda bukanlah emas.
Figura tiga
Dalam figura 3 (Asy-Syakl Ats-Tsalits), terma medium menjadi subjek dalam
proposisi minor dan dalam proposisi mayor.
Syarat-syarat dalam figura 3:
1. Salah satu dari dua premis harus universal
2. Premis minor harus afirmatif.
Kedua syarat tersebut menghasilkan 6 macam sebagai berikut:
26
Macam pertama: terdiri atas dua premis afirmatif universal, yang menghasilkan
sebuah premis afirmatif parsial.
Contoh:
Semua emas adalah tambang
Semua emas (adalah) mahal
Sebagian tambang (adalah) mahal
Macam kedua: terdiri atas dua premis universal sedangkan premis minor negatif,
yang menghasilkan sebuah premis negatif parsial.
Contoh:
Semua emas adalah tambang
Semua perak bukanlah emas
Sebagian tambang bukanlah perak
Macam ketiga: terdiri atas dua premis afirmatif, sedangkan premis minor
pasrsial, yang menghasilkan sebuah premis afirmatif parsial.
Contoh:
Sebagian burung (adalah berwarna) putih
Semua burung adalah binatang
Sebagian yang (berwarna) putih (adalah) binatang.
Macam keempat: terdiri atas dua premis afirmatif, sedangkan premis mayor
parsial, yang menghasilkan sebuah premis afirmatif parsial.
Contoh:
Semua burung adalah hewan
Sebagian burung adalah (berwarna) putih
Sebagian yang (berwarna) putih adalah hewan
Macam kelima: terdiri atas sebuah premis afirmatif universal dan sebuah premis
negatif parsial, yang menghasilkan sebuah premis negatif parsial.
Contoh:
Semua binatang berindera
Sebagian biantang bukanlah manusia
Sebagian yang berindera bukanklah manusia
Macam keenam: terdiri sebuah premis afirmatif parsial dan sebuah premis
negatif universal, yang menghasilkan sebuah premis negatif parsial.
Contoh:
Sebagian emas adalah tambang
Emas bukanlah besi
Sebagian tambang bukanlah besi
Figura empat
Dalam figura 4 (Asy-Syakl Ar-Rabi), terma medium menjadi predikat dari premis
mayor dan menjadi subjek dari premis minor.
Contoh:
Semua filsuf adalah pemikir
Semua pemikir adalah cendekiawan
Sebagian cendekiawan adalah filsuf
Semua muslim adalah beragama
Semua yang beragama adalah berTuhan
Sebagian yang berTuhan adalah muslim
Silogisme eksklusif
Silogisme eksklusif (Al-Qiyas Al-Istitsnai) adalah susunan yang konklusi atau
kontra konklusinya terdapat dalam dua proposisi. Silogisme ecceptif adalah
susunan pikir yang selalu terdiri atas proposisi hipotetis. Contoh (afirmatif) :
27
1.
2.
28
Bantahan kedua:
Pernyataan bahwa pengetahuan terhadap premis mayor universal bergantung
pada pengetahuan atas partikularia-partikularianya lebih dahulu layak ditinjau
kembali.
Jika yang dimaksud dengan pengetahuan akan mayor adalah pengetahuan
tentang partularia-partikularia secara detail, maka maka kritikan di atas tepat
sasaran, fan kita tentu harus mengenali partikularia-partikularia tersebut melalui
induksi secara merata.
Jika yang dimaksud dengan pengetahuan tentang premis mayor adalah
pengetahuan terhadap person-person secara umum (tidak rinci), yakni
pengetahuan akan konklusi (natijah) tersirat dalam premis mayor secara umum,
maka kritikan di atas meleset, dan tudingan tentang adanya siklus dalam figura I
tidak terbukti.
Setiap silogisme, kalau bukan berupa tautologi (pengulangan sesuatu yang telah
diketahui), pastilah mengandung siklus (petitio prinsipil, daur).
Penjelasannya, mari kita susun sebuah contoh dalam silogisme berikut ini:
setiap manusia adalah binatang
setiap binatang adalah benda
maka setiap manusia dalah benda
Kemungkinan pertama:
Saat konklusi (natijah) tersirat dalam premis mayor setiap manusia adalah
binatang, boleh jadi kita sudah mengetahui bahwa manusia adalah benda, maka
konklusi yang sebelumnya telah diketahui dalam premis mayor, terulang lagi dan
tidak menamb
ahkan sesuatu yang baru.
Kemungkinan kedua:
Jika natijah (konklusi) tersebut belum diketahui ada secara tersirat dalam premis
mayor, maka kita telah menjadikan suatu konsep sebagai dasar pijakan untuk
dirinya sendiri, dengan meletakkannya dalam premis mayor, dan dari yang kecil
ke yang lebih besar. Karena itulah, yang lebih bisa dipertanggungjwabakan secara
ilmiah adalah pola induksi, bukan deduksi atau silogisme.
Bantahan padahal kita belum mengetahuinya secara pasti. Inilah yang lazim
disebut Mushadaratul-Mathlub, yaitu menjadikan sesuatu yang belum diketahui
sebagai dasar pijakan bagi dirinya sendiri.
Bantahan:
Kritik dan argumen yang dilontarkan oleh John Stuart Mill, bapak positivisme dari
Inggris, ini tidak memberikan sesuatu yang baru. Jawaban yang kita berikan juga
sama dengan bantahan terhadap kritik pertama di atas.
Logika Yunani adalah logika silogistik, dan pola inferensinya bergerak menurun
dari atas ke bawah, dari universal ke parsial. Tetapi penelitian modern menolak
pola menurun tersebut, bahkan menunjukkan bahwa akal pikiran manusia
cenderung menanjak dari bawah ke atas.
Kritik ini secara substansial tidaklah berbeda dengan kritik pertama dan kedua,
namun ia dipaparkan secara lebih ilmiah. Membatasi pembuktian hanya pada pola
menanjak (induksi) tidaklah benar. Mari kita buktikan argumen dan kritik
tersebut dalam pola pembuktian di bawah ini.
silogisme adalah gerak dari universalia menuju partikularia
gerak dari universalia menuju partikularia adalah mustahil"
29
maka
silogisme adalah mustahil
Bagaimana mungkin seorang membantah silogisme dengan menggunakan
silogisme. Jika silogisme mustahil, maka kritik dan argumennya mustahil juga.
Logika Aristoteles telah mempostulatkan bahwa hubungan antara dua hal dalam
sebuah premis hanyalah hubungan inkulsif (sisipan). Karenanya, silogisme yang
dianggap valid hanyalah yang silogisme eksklusif (Al-Qiyas Al-Istitsnai) dan
silogisme kategorik (Al-Qiyas Al-Iqtirani), sedangkan silogisme kategorik yang
dianggap valid hanyalah empat macam figura, padahal selain hubungan inklusi,
terdapat bentuk hubungan lain, seperti hubungan ekuivalensi (kesamaan, tasawi),
kelebih-besaran dan kelebih-kecilan, yang biasa dipergunakan dalam
matematika. Mari kita perhatikan contoh di bawah ini.
Sudut A sama dengan sudut B
Sudut B sama dengan sudut C
maka Sudut A sama dengan sudut C
Silogisme atau deduksi demikian tidak termasuk dalam salah satu dari empat
figura silogisme, karena terma mediumnya tidak terulang. Dalam proposisi
pertama sama dengan adalah predikat (mahumul), sedangkan predikat dalam
proposisi kedua adalah sudut bukan sama dengan. Meski demikian, ia dapat
memberikan konklusi yang valid.
Bantahan:
Kritik di atas dilontarkan Bertrand Russell dan para ahli logika simbolik.
Jawabannya, para ahli logika menganggap silogisme di atas sebagai silogisme
ekuivalntif (berkesamaan), yang terdiri dari beberapa silogisme kategorik (AlQiyas Al-Iqtirani) dan hubungan-hubungannya bersifat implikatif.
Bentuk logika Aristoteles tidak sempurna, karena ia tidak membedakan antara
premis predikatif (Al-Qadhiyyah Al-Hamliyah) dan premis assentual (Al-Qadhiyyah
Al-Waqiiyah). Contohnya sebagai berikut:
Setiap manusia mempunyai jantung,
Jika ada sesuatu, dan hal tersebut manusia, maka seharusnya ia mempunyai
jantung.
Bantahan:
Para ahli logika muslim telah memperhatikan masalah ini dan mereka
membedakannya. Mereka telah menetapkan syarat-syarat ketat dalam silogisme.
Logika Aristoteles telah dibangun berdasarkan pengertian-pengertian dan
universalia-universalia, padahal itu semua tidak mempunyai hakikat (realitas).
Universalia dan partikularia itu semua tidak lebih dari omong kosong para
aristotelian.
Bantahan:
Kritik ini juga diajukan oleh John Stuart Mill. Kritik ini adalah buah dari teorinya
yang dikenal dengan nominalisme. Dalam bagian sebelumnya kita telah
membahas pengertian dan macam-macamnya. Para penganut nominalisme
mencampur adukkan antara pengertian-pengertian universal filosofis dan
pengertian-pengertian universal logis. (A-Manhaj Al-jadid, 193-194).
Selain enam kritik di atas, ada sejumlah kritik yang ditujukan terhadap logika
aristotelian. Namun, karena didasarkan pada argumen yang sangat sederhana
atau bertalian dengan beberapa tema filsafat, maka kita tidak merasa perlu
menguraikannya.
30
Induksi
Sebelum membahas inferensi kedua, perlu kita ketahui bahwa terjadi kontrovesi
di kalangan hawzah tentang validitas induksi. Sebagian filsuf Mazhab Qom
menganggap silogisme atau deduksi sebagai satu-satunya argumen dan inferensi
yang dapat diandalkan karena ia dapat mengantarkan kepada kepastian,
sedangkan induksi dan analogi tidak dapat memberikan kesimpulan yang pasti
benar. Namun sebagian menolak anggapan tersebut, karena menurut mereka,
induksi bermacam dua; sempurna dan tidak sempurna, dan bahwa induksi
sempurna adalah inferensi yang berdiri di atas deduksi. Telah terbukti bahwa
induksi bermuara pada deduksi, karena ia adalah deduksi dengan rute pembuktian
dari premis minor kepada premis mayor. Jadi, sebetulnya induksi adalah salah
satu dari pola deduksi. (Al-muqarrar, juz 3, 84).
Induksi (Al-istiqra) , menurut sebagian filsuf muslim, adalah
langsung kedua.
Inferensi tidak
31
32
Analogi
Inferensi tidak langsung ketiga adalah analogi. Yaitu proses penarikan konklusi
tentang salah satu dari dua hal karena suatu aspek kesamaan antar keduanya. Ia
juga dapat didefinisikan sebagai penarikan hukum rasional yang berlaku atas
sebuah partikularia untuk diterapkan atas partikularia lain yang mempunyai
kesamaan tertentu.
Contoh analogi:
Air kolam berbentuk benda
Setiap air kolam berbentuk benda yang luas tidak akan diemarkan oleh sesuatu
apapun
Konklusi:
Air kolam yang luas tidak akan diemarkan oleh sesuatu apapun
Elemen-elemen analogi
Elemen-elemen dalam analogi terdiri atas tiga unsur yaitu;
1. Pokok, yaitu partikularia pertama yang telah diketahui sebagai sesuatu yang
dikenakan hukum, seperti khamar yang dihukumi haram.
Cabang, yaitu partikularia kedua yang hendak dihukumi, seperti anggur.
2. Titik temu, yaitu aspek kesamaan antara pokok dan cabang, seperti
memabukkan.
3. Hukum, yaitu suatu hal yang telah diketahui telah berlaku atas pokok dan
hendak diberlakukan atas abang, seperti haram.
Tiga Tahap Analogi
Analogi digunakan sebagai metode inferensi melewati tiga tahap;
1. Tahap penentukan objek.
2. Tahap penentuan prinsip.
3. Tahap pembatasan lingkup sebab hukum. Yaitu ketika pelaku analogi
membatasi sebab hukum dalam satu titik temu antara prinsip (pokok) dan
cabang yang dapat (layak) dijadikan sebagai sebab bagi hukum.
4. Konklusi (hasil). Yaitu tahap ketika pelaku analogi mengambil sebuah
kesimpulan.
Sesat Pikir (Fallasi)
Mughalathah atau fallaci atau fallacy adalah kekeliruan penalaran yang
disebabkan oleh penyimpulan yang invalid, dengan melanggar ketentuanketentuan logika atau susunan serta penggunaan kata yang keliru, sengaja atau
33
atau tidak. Falasi sepintas terkesan benar, namun bila diperhatian secara seksama
dengan menggunakan kaidah inferensi yang benar, maka akan mudah dikenali
kekeliruannya.
Dua macam Falasi
Falasi terbagi dua;
1.
Falasi internal (subjektif).
2.
Falasi eksternal (objektif).
Dua macam falasi internal
Falasi internal terbagi dua;
1. Falasi formal.
2. Falasi non formal
Sesat pikir formal
Ia adalah kerancuan yang terjadi karena melanggar ketentuan-ketentuan yang
berlaku dalam penalaran yang benar.
Sesat pikir formal dalam kondisi sebagai berikut:
Apabila dalam sebuah silogisme terdapat empat terma, maka silogisme
tersebut tidak valid.
Apabila terma premis tidak berdistribusi, namun konklusi berdistribusi.
34
35
36