Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH LAHJAH AL – AROBIYYAH

PENGARUH PERBEDAAN LAHJAH TERHADAP BACAAN


AL – QUR`AN

Dosen Pembimbing : Ibu Zaitun Wardah

Disusun Oleh:

M. Hanif Al-Mubaroq 0302203049


Ridho Ramadhani Fitri 0302203052

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

PENDIDIKAN BAHASA ARAB


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul PENGARUH
PERBEDAAN LAHJAH TERHADAP BACAAN AL – QUR`AN ini tepat pada
waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
ibu Zaitun Wardah pada lahjah Al Arabiyah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Bahasa Arab bagi para pembaca dan juga bagi kami pribadi.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Zaitun Wardah selaku Dosen Mata
kuliah Lahjah Al Arabiyah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang Kami buat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Medan, 5 Juli 2021


Kelompok 10
BAB I
PENDAHULUAN

Secara singkat telah diuraikan bahwa sedikitnya terdapat sepuluh imam yang menjadi
rujukan dalam membaca al-Quran (qiraah ‘asyrah). Pada tulisan kali ini akan dijelaskan asal
usul perbedaan qiraat dalam al-Quran.
Di dalam berbagai literatur dan diktat mengenai ilmu Qiraah maupun Ulumul Quran,
diterangkan bahwa dasar argumentasi berkembangnya ilmu Qiraah ini adalah hadis Nabi Saw
tentang Sab’atu Ahruf (tujuh huruf). Kitab-kitab hadis yang mu’tabar seperti Sahih Bukhari,
Sahih Muslim, Sunan Tirmidzi dan Sunan Abi Daud, memuat hadis mengenai tujuh huruf ini.
Berikut adalah redaksi hadis yang diambil dari kitab Sahih al-Bukhari Nomor Hadis 4992,
Dari Ibnu Syihab, berkata: ‘Urwah bin Zubair mengatakan padaku, bahwasanya al-
Miswar bin Makhramah dan Abdurrahman bin ‘Abdul Qari’ berkata padanya bahwa mereka
mendengar Umar bin Khattab bercerita:
“Aku mendengar bahwa Hisyam bin Hakim bin HIzam dapat membaca (dengan
dihafal) Surat al-Furqan di masa hidup Rasulullah saw. Kemudian aku mencuri dengar
bacaannya. Maka ketika kudapati Hisyam membaca tetapi tidak seperti yang dibacakan Rasul
kepadaku, hampir saja aku menyeretnya ketika dia sedang salat. Saya urungkan dan
menunggunya hingga salam.”
Setelah Hisyam selesai salat, saya tarik selendangnya seraya berkata padanya, “siapa
yang membacakan surat yang baru saja kamu baca?”
Dia menjawab, “Rasulullah yang membacakan”. Aku berkata: “Kamu bohong!
Sungguh Rasul membacakan padaku tetapi berbeda dengan apa yang kamu baca. Kemudian
saya membawanya untuk menghadap Rasul.”
Setelah bertemu Rasul, saya berkata: “Saya mendengar orang ini membaca surat al-
Furqan dengan ‘huruf’ yang berbeda dengan apa yang engkau bacakan”.
Kemudian Rasul bersabda: Lepaskan dia, “coba engkau baca wahai Hisyam. Hisyam
pun membaca sesuai dengan apa yang saya dengar”.
Setelah selesai, Rasul bersabda: “Begitulah surat itu diwahyukan”. Lalu Rasul
bersabda: “Coba engkau baca wahai Umar !”, Kemudian saya membaca dengan apa yang
diajarkan Rasul padaku. Setelah selesai, Rasul bersabda:
“begitulah surat itu diwahyukan. Sungguh al-Quran ini diwahyukan dengan tujuh huruf
(sab’atu ahruf), maka bacalah dengan apa yang mudah bagimu.”
Hadis di atas telah populer di kalangan ulama dan para pakar kajian al-Quran ketika
membahas mengenai perbedaan qiraah dalam al-Quran. Lalu yang seringkali dijadikan
pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan sab’atu ahruf dalam hadis Nabi tersebut?
Para Ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Menurut Ibnu Bathal dalam Syarh
Sahih Bukhari, yang dimaksud dengan Ahruf dapat diartikan menjadi dua macam: pertama
adalah dialek yang beragam seperti dialek Quraish, Thaif, Tamim dan lain lain. Kedua adalah
Qiraat sebagaimana ilmu Qiraat yang berkembang seperti sekarang.
Adapun Ibnu Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh
huruf adalah tujuh wajah (sab’atu awjuh). Penjelasan dari tujuh wajah ini pun dapat
bermacam-macam. Menurut pandangan Ibnu Hajar, tujuh wajah ini bisa berupa perbedaan
antara mad, imalah, isymam dalam hukum ilmu tajwid, dan lain sebagainya. Namun
demikian, Ibnu Hajar menegaskan bahwa pada intinya tujuan dari adanya perbedaan qiraah
ini adalah agar memudahkan umat Muslim untuk membaca, menghafal kemudian
mengamalkan al-Quran.

BAB II
PEMBAHASAN

A. MACAM MACAM QIRAAT

 Macam-macam qiraat dilihat dari segi kualitas

Macam-Macam Qira’at Al-Qur’ana (Macam-macam qiraat dilihat dari segi kuantitas)


1. Qiraah sab’ah (qira’ah tujuh)Kata sab’ah artinya adalah imam-imam qiraat yang
tujuh. Mereka itu adalah :Abdullah bin Katsir ad-Dari (w. 120 H), Nafi bin
Abdurrahman bin Abu Naim (w. 169 H),Abdullah al-Yashibi (q. 118 H), Abu ‘Amar
(w. 154 H), Ya’qub (w. 205 H), Hamzah (w.188 H), Ashim ibnu Abi al-Najub al-
Asadi.
2. Qiraat Asyrah (qira’at sepuluh)Yang dimaksud qiraat sepuluh adalah qiraat tujuh yang
telah disebutkan di atasditambah tiga qiraat sebagai berikut : Abu Ja’far. Nama
lengkapnya Yazid bin al-Qa’qa al-Makhzumi al-Madani. Ya’qub (117 – 205 H)
lengkapnya Ya’qub bin Ishaq bin Yazid binAbdullah bin Abu Ishaq al-Hadrani,
Khallaf bin Hisyam (w. 229 H)
3. Qiraat Arba’at Asyarh (qira’at empat belas)Yang dimaksud qiraat empat belas adalah
qiraat sepuluh sebagaimana yang telahdisebutkan di atas ditambah ditambah dengan
empat qiraat lagi, yakni : al-Hasan al-Bashri (w. 110H), Muhammad bin
Abdurrahman (w. 23 H), Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi and-Nahwial-Baghdadi (w.
202 H), Abu al-Fajr Muhammad bin Ahmad asy-Syambudz (w. 388 H).

 Macam-macam qiraat dilihat dari segi kualitas

Berdasarkan penelitian al-Jazari, berdasarkan kualitas, qiraat dapat dikelompokkan


Dalam enam bagian, yaitu:
1. Qiraat Mutawatir
Yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari awal sampai akhir sanad, yang
tidak mungkin bersepakat untuk berbaat dusta. Umumnya, qiraat yang ada masuk
dalam bagian ini.
2. Qiraat Masyhur
Yakni qiraat yang memiliki sanad sahih dengan kaidah bahasa arab dan tulisan
Mushaf utsmant. Umpamanya, qiraat dari tujuh yang disampaikan melalui jalur
berbeda beda, sebagian perawi, misalnya meriwayatkan dan imam tujuh tersebut,
sementara yang lainnya tidak, dan qiraat semacam ini banyak digambarkan dalam
kitab-kitab qiraat.

3. Qiraat Ahad Yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf
Utsmani dan kaidah bahasa arab, tidak memiliki kemasyhuran dan tidak dibaca
sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan.
4. Qiraat Syadz (menyimpang), Yakni qiraat yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak
kitab yang ditulis untuk jenis qiraat ini.
5. Qiraat Maudhu’ (palsu), seperti qiraat al-Khazzant 61 As-Suyuthi kemudian
menambah qiraat yang keenam,
6. Yakni qiraat yang menyerupai hadits Mudraj (sisipan), yaitu adanya sisipan pada
bacaan dengan tujuan penafsiran.Umpamanya qiraat Abi Waqqash.

B. BIOGRAFI QIRAAT

 Biografi 7 Imam Qiraat Sab’ah

Ada yang pernah mendengar istilah qiraat sab’ah? Qiraat sab’ah adalah 7 ragam bacaan Al-
Quran yang tentunya sampai kepada Nabi Muhammad saw. Ada 7 qurra atau ahli qiraat yang
paling masyhur dan paling banyak digunakan. Ketujuh imam ini memegang peranan penting
dalam qiraat Al-Qur’an hingga bisa sampai kepada kita.
Perlu diketahui bahwa qiraat yang digunakan oleh kaum muslimin Indonesia adalah Imam
‘Ashim riwayat Hafsh. Jika kita ke beberapa negara di timur tengah maka akan mendapati
beberapa bacaan yang sedikit berbeda dengan bacaan kita. Namun perbedaan itu hanyalah
sekadar dialek saja bukan pada makna dari ayat.
1. Ibnu ‘Amir (118 H)
Nama lengkapnya adalah Abdullah Al-Yahshuby seorang qadhi di Damaskus pada masa
pemerintahan Walid ibnu Abdul Malik. Pannggilannya adalah Abu Imran. Dia adalah
seorang tabi’in, belajar qira’at dari Al-Mughirah ibnu Abi Syihab Al-Mahzumy dari Utsman
bin Affan dari Rasulullah SAW. Beliau Wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Orang yang
meriwayatkan qiraat darinya adalah Hisyam wafat pada tahun 240 H. Dan Ibnu Dzakwan
wafat pada tahun 242 H.
2. Ibnu Katsir (120 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah Ibnu Katsir Ad-Dari Al-Makki, ia
adalah imam dalam hal qira’at di Makkah, ia adalah seorang tabi’in yang pernah hidup
bersama shahabat Abdullah ibnu Jubair. Abu Ayyub al-Anshari dan Anas ibnu Malik, dia
wafat di Makkah pada tahun 120 H. Perawinya dan penerusnya adalah al-Bazy wafat pada
tahun 250 H. Dan Qunbul wafat pada tahun 291 H.
3. ‘Ashim al-Kufi (128 H)
Nama lengkapnya adalah ‘Ashim ibnu Abi An-Nujud Al-Asadi. Disebut juga dengan Ibnu
Bahdalah. Panggilannya adalah Abu Bakar, ia adalah seorang tabi’in yang wafat pada sekitar
tahun 127-128 H di Kufah. Kedua Perawinya adalah; Syu’bah wafat pada tahun 193 H dan
Hafsh wafat pada tahun 180 H.
4. Abu Amr (154 H)
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Amr Zabban ibnul ‘Ala’ ibnu Ammar Al-Bashri, sorang guru
besar pada rawi. Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama
Abu Amr itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H. Kedua perawinya
adalah Ad-Duri wafat pada tahun 246 H. Dan As-SusI wafat pada tahun 261 H.
5. Hamzah Al-Kufi (156 H)
Nama lengkapnya adalah Hamzah Ibnu Habib Ibnu ‘Imarah Az-Zayyat Al-Fardhi Ath-
Thaimi seorang bekas hamba ‘Ikrimah ibnu Rabi’ At-Taimi, dipanggil dengan Ibnu ‘Imarah,
wafat di Hawan pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya
adalah Khalaf wafat tahun 229 H. Dan Khallad wafat tahun 220 H. Dengan perantara Salim.
6. Imam Nafi (169 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi’ ibnu Abdurrahman ibnu Abi Na’im al-Laitsy,
asalnya dari Isfahan. Dengan kemangkatan Nafi’ berakhirlah kepemimpinan para qari di
Madinah al-Munawwarah. Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qalun wafat
pada tahun 12 H, dan Warasy wafat pada tahun 197 H.
7. Al-Kisai (189 H)
Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahwu golongan Kufah. Dipanggil
dengan nama Abul Hasan, menurut sebagian orang disebut dengan nama Al-Kisai karena
memakai kisa pada waktu ihram. Beliau wafat di Ranbawiyyah yaitu sebuah desa di Negeri
Roy ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama Ar-Rasyid pada tahun 189 H.
Perawinya adalah Abul Harits wafat pada tahun 424 H, dan Ad-Duri wafat tahun 246 H.
C. SYARAT-SYARAT QIROA`T

 Adapun syarat-syarat Qira`at, para ulama menetapkan beberapa

Qira`at yang dapat diterima keshahihannya antara lain:


1. Ibnu Khawalih (wafat 370 H)
a. Qira`at sesuai dengan rasam
b. Qira`at sesuai dengan (struktur bahasa Arab)
c. Dalam meriwayatkan Qira`at, harus saling mewarisi.
2. Ibnu Abi Thalib (wafat 437 H)
a. Wajah Qira`at yang kuat dalam bahasa Arab
b. Qira`at sesuai dengan rasam
c. Qira`at yang disepakati oleh umum
3. Al-Kawasyi (wafat 680 H)
a. Sanadnya yang shahih
b. Sesuai dengan bahasa Arab
c. Sesuai dengan rasam
4. Ibnu al-Jazary (wafat 833 H)
a. Sanadnya yang shahih
b. Sesuai dengan bahasa Arab secara mutlak
c. Sesuai dengan rasam sekalipun dugaan
BAB III
PENUTUP

Ketika pemerintahan Islam meluas dimasa khalifah Utsman bin Affan, terjadi beberapa
perselisihan di kalangan sahabat tentang cara baca al-Quran, yang mana masing-masing pihak
menyatakan bacaannya adalah yang paling sahih dan benar. Kondisi ini mengancam
keharmonisan umat Islam, hingga khalifah Utsman bin Affan memerintahkan para sahabat
untuk menyusun dan membuat mushaf al-Qur’an. Hal ini dikenal dengan Mushaf Utsmani,
yang sampai saat ini mushaf ini kita temukan, baca dan amalkan. Perlu kita ingat bahwa saat
itu muncul beberapa mushaf yang berasal dari sahabat, seperti Mushaf Ali bin Abi Thalib,
Mushaf Ubay bin Ka’b, Mushaf Abdullah bin Mas’ud, Mushaf Ibnu Abbas, Mushaf Zaid bin
Tsabit, Mushaf Abu Musa al- ‘Asy’ari dan mushaf beberapa sahabat lain yang sangat
mungkin tidak kita kenal.
Qiraah disebutkan oleh para ahli sejarah, menjadi sebuah disiplin ilmu bermula ketika
Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam (w. 224 H) menulis sebuah buku Al-Qiraat, yang
termuat di dalamnya qiraat dari 25 orang rawi. Di masa inilah mulai timbul kebohongan dan
usaha-usaha penggantian kata atau kalimat dalam al-Quran, sehingga para ulama qurra’
memulai penyusunan qira’at al-Qur’an menuju kepada disiplin ilmu.
Dari uraian yang di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan bacaan tersebut
berimplikasi pada istinbath hukum yang dihasilkan oleh para ahli fiqh, antara Imam Syafi’i
dan Imam Abu Hanifah. Namun demikian, perbedaan dalam bacaan Al-Qur’an bukan berarti
terdapat kontradiksi dalam Al-Qur’an, justru perbedaan ini memberikan makna yang luas.
Sebab setiap perbedaan bacaan memiliki fungsi arti dan makna yang tersurat dan tersirat.
DAFTAR PUSTAKA

 al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il, al-Bukhari bi Hasyiah al-Sindi,


jilid.3. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

 al-Maliki, Muhammad ibn Alwi, al-Qawa’id al-asasiyyah fi Ulum al-Quran. Makkah:


Maktabah al-Malik, 1419 H.

 al-Namr, Abd al-Mun’in, Ulum al-Quran al-Karim. Kairo: Dar al-Kitab al-Mishri,
1983.

 al-Qaththan, Manna’ Khalil, Mabahis fi Ulum al-Quran. t.t.p: tp., t.t.

 al-Shibagh, Muhammad ibn Luthfi, Lamhat fi Ulum al-Quran wa Ittijahat al-Tafsir,


cet. III. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1990.

 al-Suyuthi, Jalaluddin, al-Itqan fi Ulum al-Quran, I. Beirut: Muassasah al-Kutub al-


Tsaqafiyah, 1996.

 al-Thail, Al-Sayid Rizq, fi Ulum al-Qira’at. Makkah: al-Maktabah al-Fayshaliyat,


1985.

Anda mungkin juga menyukai