QIRA’AT AL-QURAN
Dosen Pengampu:
Endah Tri Wisudaningsih, M.Pd.I
Disusun Oleh:
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................
A. Latar Belakang............................................................................................
B. Rumusan Masalah.......................................................................................
C. Tujuan Masalah...........................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................
A. Pengertian Qira’at Al-Qur’an.....................................................................
B. Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at...........................................
C. Sebab-sebab perbedaan Qira’at...................................................................
D. Macam-Macam Qira’at...............................................................................
E. Urgensi Mempelajari Qira’at Dan Pengaruhnya Dalam Istinbath
Penetapan Hukum.......................................................................................
BAB III PENUTUP.................................................................................................15
A. Kesimpulan...............................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Arab merupakan komunitas terbesar dengan berbagai suku.
Setiap suku memiliki dialek (lahjah) yang khusus dan berbeda dengan suku-
suku lainnya. Sama halnya dengan Indonesia yang memiliki berbagai suku,
namun untuk memudahkan berkomunikasi Indonesia memiliki bahasa
persatuan, maka bangsa Arabpun demikian. Mereka menjadikan bahasa
Quraisy sebagai bahasa bersama dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi
ka’bah, dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dari kenyataan di
atas, sebenarnya kita dapat memahami alasan al-Qur’an diturunkan dengan
menggunakan bahasa Quraisy. Dengan perbedaan-perbedaan lahjah itu maka
terlahirnya bermacammacam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan al-Qur’an.
Lahirnya bermacam-macam qira’ah itu sendiri, tidak dapat dihindarkan lagi.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW sendiri membenarkan pelafalan al-
Qur’an dengan berbagai macam qira’ah. Sabdanya al-Qur’an itu diturunkan
dengan menggunakan tujuh huruf (unzila hadza al-Qur’an ‘ala sab’ah ahruf)
dan hadis-hadis lainnya yang sepadan dengannya. Bahasa yang digunakan
dalam Al-Qur’an adalah Bahasa Quraisy.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Qira’at itu?
2. Bagaimana latar belakang timbulnya perbedaan Qira’at?
3. Apa saja sebab perbedaan Qira’at?
4. Apa saja macam-macam Qira’at?
5. Apa saja urgensi mempelajari Qira’at dan pengaruhnya dalam penetapan
hukum?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya Qira’at A l-Qur’an
2. Untuk mengetahui macm-macam Qira’at
3. Untuk tau manfaat mempelajari Qira’at
1
BAB II
PEMBAHASAN
)قراءةyang merupakan isim masdar dari qaraa ()قرأ, yang artinya : bacaan.
Pengertian qira’at menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan
oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut.
Berikut ini akan diberikan dua pengertian qira’at menurut istilah.
1. Menurut A-Zarqani
Menurut al-Zarqani (penulis Manaḥil al-'Irfan fi Ulum al-Qur`an) qira’at
adalah mazhab yang dianut oleh seorang imam qira’at yang berbeda
dengan lainnya dalam pengucapan al-Qur`an serta kesepakatan riwayat-
riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-
huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya.
2. Menurut Ibnu Al-Jazairi
(penulis kitab Taḥbir at-Taysir Fi al-Qira’at al-’Asyr), qira’at adalah ilmu
membahas cara-cara mengucapkan kata-kata al-Qur`an dan perbedaan
perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.
3. Menurut Al-Qastalany
penulis kitab Irsyad al-Syary qira’at adalah suatu ilmu yang mempelajari
hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut
persoalan lughat, hazf, i’rab, isbat, fasl, dan waṣl yang kesemuanya
diperoleh secara periwayatan.
4. Menurut az-Zarkasyi
qira’at adalah perbedaan cara mengucapkan lafal-lafal alQur`an, baik
menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut,
seperti takhfīf (meringankan), taṡqīl (memberatkan), dan atau yang
lainnya.
2
Qiraat sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi walaupun pada
saat itu Qiraat bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa
riwayat yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu:(1)
a. Suatu ketika Umar bin Al-khathab berbeda pendapat dengan Hisyam
bin Hakim ketika membaca Al-Qur’an. Umar merasa tidak puas
terhadap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca Surat Al-Furqon.
Menurut Umar, bacaan Hisyam itu tidak benar dan bertentangan
dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam
menegaskan pula bahwa bacaannya pun berasal dari Nabi. Seusai
shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi untuk melaporkan peristiwa
tersebut. Kemudian Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya
sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda :
3
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran Qiraat dimulai pada
masa tabi’in, yaitu pada awal abad II H. tatkala para qari telah tersebar
di berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan Qira’at
gurunya dari pada mengikuti Qiraat Imam-imam lainnya.
Qiraat-Qiraat tersebut diajarkan secara turun temurun dari guru ke
murid, sehingga sampai kepada para Imam Qiraat, baik yang tujuh,
sepuluh, atau yang empat belas.
4
c. Perbedaan pada perubahan huruf tanpa peraubahan I’rab dan bentuk
tulisannya, sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah
Sebagai berikut.
}19 : {ق.ِّْحق ِ
َ ت َس ْك َرةُ ال َْم ْوت بَال
ْ اء
َ َو َج
Artinya : “ Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya “.
(Q.S. Qof (50) : 19).
2
Wahid, Ramli, Abdul, Drs., MA., 1993, Ulumul Quran, Edisi Revisi, PT. Raja Garfindo, Persada,
Jakarta.
5
Konon menurut suatu riwayat, Abu bakar pernah membacanya menjadi
“Wa ja’at sakrat al-haqq bi al-maut”,ia menggeser kata al-Maut ke
belakang, dan memasukan kata al-Haqq, setelah mengalami
pergeseran, bila kalimat itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
berarti “dan datanglah sakarat yang benar-benar dengan kematian”.
Qiraat semacam ini juga tidak dipakai karena menyalahi ketentuan
yang berlaku.
g. Perbedaan dengan menambah dan mengurangi huruf, seperti pada
firman Allah sebagai berikut.
ِ ِ ٍ
ُ َجنَّات تَ ْج ِر ْي م ْن تَ ْح ت َها اَْألْن َه
{25 : ار {البقرة
Artinya : “ surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya”.
Kata Min pada ayat ini dibuang dan pada ayat serupa yang tanpa Min
justru ditambah.
6
Di dalam Al-Qur’an itu berhimpn ejaan-ejaan Arab. Dan setiap kabilah
mempunyai dialek bahasa sendiri-sendiri. Rasul tidak ingin mempersulit
kaumnya dalam melafadzkan Al-Qur’an, sebagaimana hadits Nabi Shalallahu
‘Alaihi Wasallam. Sesungguhnya Al Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf,
maka bacalah oleh kalian mana yang mudah“. (H.R. Bukhari). Abu Bakrah
berkata; setiap ujung ayat telah sempurna, selagi ayat adzab tidak dibatasi
dengan rahmat atau ayat rahmat dengan adzab sebagaimana perkataanmu;
(H.R. Ahmad, Hadits Abu Bakrah Nafi’ bin Al Harits). Sehingga dapat kita
ambil kesimpulan bahwa penyebab munculnya qira’ah yang berbeda-beda
adalah untuk mempermudah bacaan Al-Qur’an dengan tetap memperhatikan
atau mempertahankan maknanya.
Setiap qira’ah tentunya mendapat bimbingan dari Rasul, sehingga ilmu
mengenai suatu qira’ah adalah taukifi berdasarkan petunjuk Rasul. “ Jibril
telah membacakan padaku dengan satu dialek, maka aku pun kembali
kepadanya untuk meminta agar ditambahkan, begitu berulang-ulang hingga
berakhirlah dengan Sab’atu Ahruf (Tujuh dialek yang berbeda)”.(H.R.
Bukhari).
Ketika suku Asadi membaca ayat di hadapan Rasulullah; ٌس َو ُّد ُو ُجوه
ْ ِت
ْ َ( تtaswaddu wujuwhun).
(tiswaddu wujuhun) padahal seharusnya; ٌس َو ُّد ُو ُجوه
7
Orang Tamimi menyebut ( َو ِحينwahiyn) padahal yang seharusnya
( ِحينhiyn), dan masih banyak contoh lainnya.(3)
D. Macam-Macam Qira’at
Menurut al-Suyuthi, qira`at itu ada enam macam yaitu:
1. Qira’at Mutawatir yaitu qira`at yang diriwayatkan oleh sejumlah besar
perawi yang tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta, dari
sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga
penghabisannya yakni Nabi SAW. Dan inilah yang umum dalam hal
qira`at.
2. Qira’at Masyhur yaitu qira’at yang shahih sanadnya, di mana perawinya
„adil dan dhabid. Qira’at tersebut sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan
salah satu Mushaf Usmâni serta terkenal pula di kalangan para ahli qira’at
sehingga qira’at ini tidak dikatagorikan ke dalam qira’at yang salah atau
syaz namun tidak mencapai derajat mutawatir. Qira’at seperti ini
merupakan qira’at yang dapat digunakan.
3. Qira’at Ahad yaitu qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rams
Ustmani dan kaidah bahasa arab atau sesuai dengan rams Ustmani dan
kaidah bahasa Arab, namun tidak terkenal seperti halnya qira’at masyhur.
Qira’at seperti ini tidak dapat dibaca dan tidak wajib untuk diyakini.(4)
Misalnya qira`at yang diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ashim al-Jahdarî
dari Abu Bakar bahwa Nabi Saw.membaca surat al-Rahman ayat 76 :
dengan
ٍ َر ۡف َرdan عباقري, dan yang diriwayatkan oleh Ibnu „Abbas bahwa
ۡ ف ُخ
ضر
Nabi Saw. Membaca surat al-Taubah ayat 128: dengan fathah fa’ pada
ِ ُ َأنف.
kata س ُك ْم
4. Qira’at Syaz yaitu qira’at yang tidak shahih sanadnya. Seperti surat al-
Fatihah ayat 4: yang dibaca dalam bentuk fi’il madhi dan menasabkan يَوْ َم
3
Ibrahim Al-Abyari, Loc. Cit, h. 100-101
4
Muhammad „Abd. Al-„Adhîm al-Zarqâni, Manâhi,, hal. 301. Lihat juga
Mûsâ Syâhain Lâhain, Al Âli‟u, hal.97.
8
5. Qira’at Maudhu’ yaitu qira’at yang tidak ada asalnya.Seperti qira’atal-
Khuza’î yang dinisbahkan kepada Imam Abu Hanifah dalam firman Allah
surat Fathir ayat 28: yang dirafa’ kan lafadh هللاdan dinasabkan العلماء
6. Qira’at Mudraj yaitu qira`at yang menambahkan kalimat penafsiran dalam
ayat-ayat al-Qur`an. Seperti qira`at Sa’ad bin Abî Waqas yang membaca
frman Allah surat al-Baqarah ayat 198: dengan menaambah lafadh
اس ِم ْال َح ّج
ِ فِي َم َوsetelah lafadh من ربكمkalimat فِي َم َوا ِس ِم ْال َح ّجadalah
penafsiran yang ditambahkan ke dalam ayat.(5)
5
Ibid., hal.301-302
9
c. Menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. misalnya, dalam
surat Al-Baqarah [2] ayat 222. Sementara qiraat yang membacanya
ْ َ)ي, dapat
dengan َ( يَطَّهِّرْ نsementara dalam mushaf Ustmani tertulis َطهُرْ ن
difahami bahwa seoranng suami tidak boleh melakukan hubungan
seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
d. Menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi
berbeda pula. Misalnya, yang terdapat dalam surat Al-Maidah [5] ayat
6 ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu membaca َأرْ ُجلِ ُك ْم. Perbedaan
qiraat ini tentu saja mengkonsekwensikan kesimpulan hukum yang
berbeda.
e. Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam Al-Quran
yang mungkin sulit dipahami maknanya. Misalnya, di dalam Surat Al-
Qariah [10] ayat 5, Allah berfirman:
6
Syadzali, Ahmad, H., Drs., 2004, Ulumul Quran I, Pustaka Setia, Bandung.
10
َأح ٌد ِمْن ُك ْم ِم ْن الْغَاِئ ِط َْأو اَل َم ْستُ ْم
َ َضى َْأو َعلَى َس َف ٍر َْأو َجاء َ َوِإ ْن ُكنتُ ْم َم ْر
وه ُك ْم َوَأيْ ِدي ُك ْم
ِ يدا طَيِّبا فَامسحوا بِوج
ُ ُ ُ َ ْ ً ً صع
ِ النِّساء َفلَم جَتِ ُدوا ماء َفَتي َّمموا
َ ُ َ ًَ ْ ََ
ِإ
ً َّن اللَّهَ َكا َن َع ُف ًّوا َغ ُف
ورا
Artinya: “ Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau
datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapatkan air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci): sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun".
11
Pendapat lain menyatakan bahwa pendapat yang kuat adalah
yang berarti bersentuhan kulit. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Razi
yang menyatakan bahwa kata al-lums ( )اللمسdalam qira’at ( )لمستم,
makna hakikinya adalah menyentuh dengan tangan. Ia menegaskan
bahwa bahwa pada dasarnya suatu lafaz harus diartikan dengan
pengertian hakikinya. Sementara itu, kata al-mulamasat ()المالمسات
dalam qira’at (ستُ ْم
ْ )ل َم, makna hakikinya adalah saling menyentuh, dan
bukan berarti bersetubuh.
b. Perbedaan Qiraat yang Tidak Berpengaruh terhadap Istinbat
Hukum
Berikut ini adalah contoh dari adanya perbedaan qira’at tetapi
tidak berpengaruh terhadap istimbath hukum, yaitu pada Q.S. al-
Ahzab (33): 49.
ِ ات مُثَّ طَلَّ ْقتُم ِ َياَأيُّها الَّ ِذين آمنُوا( ِإ َذا نَ َكحتُم الْمْؤ ِمن
ُ وه َّن م ْن َقْب ِل َأ ْن مَتَ ُّس
وه َّن ُ ُ ُ ْ ْ َ َ َ َ
احا مَجِ ياًل ٍ ِ ِ
ً وه َّن َسَر ُ ُفَ َما لَ ُك ْم َعلَْي ِه َّن م ْن عدَّة َت ْعتَدُّو َن َها فَ َمتِّع
ُ وه َّن َو َسِّر ُح
Arinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak
wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara sebaik-baiknya."
Ayat di atas menjelaskan, bahwa seorang istri yanng diceraiakn
oleh suaminya dalam keadaan belum disetubuhi, maka tidak ada masa
iddah baginya. Masa iddah adalah masa menunggu bagi seorang
wanita yang diceraikan suaminya, sebelum wanita tersebut dibolehkan
kawin lagi dengan laki-laki lain.
Berkenaan dengan ayat di atas, Hamzah dan al-Kisa'I,
ُّ ) ِم ْنقَب ِْل َأ ْن ت, sementara Ibn Kasir, Abu
membacanya dengan (وه َُّنŽَمآس
'Amer, Ibn 'Ashim, dan Nafi' membaca: ( ) ِم ْن قَب ِْل َأ ْن تَ َمسُّوه َُّن. Perbedaan
bacaan tersebut tidak menimbulkan perbedaan maksud atau ketentuan
hukum yang terkandung di dalamnya.
12
c. Pemakaian Qira’at Syaz dalam Istinbat Hukum(7)
Tidak hanya qira’at mutawatir dan masyhur yang dapat
dipergunakan untuk menggali hukum-hukum syar’iyah, bahkan qira’at
Syaz juga boleh dipakai untuk membantu menetapkan hukum
syar’iyah. Hal itu dengan pertimbangan bahwa qira’at Syaz itu sama
kedudukannya dengan hadis Ahad (setingkat di bawah Mutawatir), dan
mengamalkan hadis Ahad adalah boleh. Ini merupakan pendapat
Jumhur ulama.
Ulama mazhab Syafi’i tidak menerima dan tidak menjadikan
Qiraat Syaz sebagai dasar penetapan hukum dengan alasan bahwa
Qiraat Syaz tidak termasuk al-Qur’an. Pendapat ini dibantah oleh
Jumhur Ulama yang mengatakan bahwa dengan menolak Qira’at Syaz
sebagai al-Qur’an tidak berarti sekaligus menolak Qiraat Syaz sebagai
Khabar (Hadis). Jadi, paling tidak Qiraat Syaz tersebut merupakan
Hadis Ahad.
Contoh penggunaan Qira’at Syaz sebagai dasar hukum adalah sebagai
berikut :
Memotong tangan kanan pencuri, berdasarkan kepada qiraat Ibn
Mas’ud dalam surat al-Maidah ayat 38, yang berbunyi :
7
Al-Qodi, Abdul Fattah Abdul Ghoni. 2009. Al-Wafi fi Syarhi Asy-Syathibiy. Mesir. Dar el-Islam
13
Artinya: “………..Barangsiapa tidak sanggup melakukan
demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari berturut-turut
….”
Dalam qira’at yang shahihah ayat tersebut berbunyi :
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qira’at adalah ilmu yang mempelajari tentang pengucapan kalimat-
kalimat di dalam al-Qur’an dengan cara menyandarkan kepada penutur asal
dan aslinya. Timbulnya berbagai perbedaan di karenakan lahjah atau dialek
dari berbagai suku itu berbeda-beda, tetapi Qira’ah diturunkan dengan tujuh
huruf. Jika ditinjau dari segi riwayatnya seperti dalam hadith, qira’at
mempunyai enam macam, seperti Mutawattir, Masyhur, Shahih, Syadz,
Maudu’ dan Mudraj. Al-Qur’an dalam wujud mushaf yang dikenal dan
dimiliki kaum muslim sekarang, bukanlah merupakan satu-satunya versi,
karena itu terdapat pula versi qira’ah lainnya yang berbeda dengan versi
qira’ah sebagaiman yang terbaca dalam mushaf al-Qur’an yang kita miliki.
Qira’at memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penetapan suatu
hukum akibat perbedan kata, huruf dan cara baca.dengan adanya qira’atul
Qur’an ini maka dapat memudahkan umat islma untuk membanyanya sesuai
dengan yang ia pehami. Karena Rosulullah Saw, memperbolahkan pembacaan
al-qur’an yang tidak sesuai dengan pertama kali Al-qur’an itu diturunkan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qodi, Abdul Fattah Abdul Ghoni. 2009. Al-Wafi fi Syarhi Asy-Syathibiy. Mesir. Dar
el-Islam
Ibid., hal.301-302
Muhammad „Abd. Al-„Adhîm al-Zarqâni, Manâhi,, hal. 301. Lihat jugaMûsâ Syâhain
Lâhain, Al Âli‟u, hal.97.
Syadzali, Ahmad, H., Drs., 2004, Ulumul Quran I, Pustaka Setia, Bandung.
Wahid, Ramli, Abdul, Drs., MA., 1993, Ulumul Quran, Edisi Revisi, PT. Raja
Garfindo, Persada, Jakarta.
16