Anda di halaman 1dari 10

PEMAKNAAN HADITS NABAWI DENGAN HADITS QUDSI

DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER 1


MATA KULIAH : STUDI QUR’AN HADITS
DOSEN PENGAMPU : ABDULLAH, M.AG.

HALAMAN SAMPUL

DISUSUN OLEH :
FATCHIYANUR RIZKI MUZDALIFAH
2150510103 / C1AKR

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN AKADEMIK 2021/2022

i
Pemaknaan Hadits Nabawi dengan Hadits Qudsi
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester 1
Mata Kuliah : Studi Qur’an Hadits
Dosen Pengampu : Abdullah, M.Ag.

Disusun Oleh :
Fatchiyanur Rizki Muzdalifah
2150510103 / C1AKR

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN AKADEMIK 2021/2022

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warachmatullahi Wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga dapat menyelesaikan laporan analisis ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentu kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan laporan
penelitian ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucap syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu
menyelesaikan pembuatan laporan analisis sebagai tugas penilaian ujian tengah
semester satu dari mata kuliah Studi Qur’an Hadits dengan judul “Analisis
Pengertian, Kedudukan, dan Perbedaan Hadits Nabawi dengan Hadits Qudsi”.
Penulis tentu menyadari bahwa laporan analisis ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca supaya laporan
analisis ini nantinya dapat menjadi lebih baik lagi. Demikian dan apabila terdapat
banyak kesalahan penulis memohon maaf. Semoga laporan analisis ini dapat
bermanfaat. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Warachmatulahi Wabarakatuh

Kudus, 21 Oktober 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................................i

KATA PENGANTAR..........................................................................................iii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1


BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

2.1 Permasalahan..................................................................................................2
2.2 Analisis...........................................................................................................2
BAB III PENUTUP................................................................................................5

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................6

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam hidup terdapat pedoman-pedoman sebagai landasan dalam
kehiduan. Landasan-landasan ini diantaranya adalah Al-Quran dan Hadits. Hadits
terbagi menjadi dua kualifikasinya, yakni hadits qudsi dan hadits nabawi. Hadis
nabawi ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, persetujuan, maupun sifat. Sedangkan hadits qudsi adalah
apa-apa yang disandarkan oleh Nabi Saw kepada Allah Ta'ala.
Terdapat perbedaan antara hadis qudsi dan hadis nabawi. Kedudukan
Hadis Qudsi berada di antara Al-Qur'an dan Hadis Nabawi. Perbedaannya
terdapat pada penisbatan lafal dan makna. Lafal dan makna Al-Qur'an Al-Karim
dinisbatkan langsung kepada Allah. Sedangkan Hadis Nabawi, lafal dan
maknanya dinisbatkan kepada Nabi.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Permasalahan
Subkhi Shaleh, dalam bukunya, “’Ulum al-Hadits” menjelaskan tentang
ketidaksamaan dalam pemaknaan antara hadis Qudsi dengan hadis Nabi pada
umumnya. Tetapi para ulama hadis membedakan antara hadis Qudsi dengan al-
Qur’an baik perbedaan itu dari segi susunan maknanya maupun jumlah dalam
karakter kalimat maupun kata-katanya. Hadis Qudsi disebut pula hadis al-Ilahiy
atau al-Rabaniy, yakni sebuah hadis yang sama halnya seperti hadis Nabi, tetapi
dimana keduanya secara subtansi (kandungan maknanya) berbeda dari asal
sumbernya. Hadis Qudsi maknanya bersunber dari Allah swt, sedangkan hadis
atau sunah pada umumnya bersumber dari Nabi sendiri. Namun keduanya ketika
disampaikan kepada audien (umat) dilafalkan persis secara verbal oleh Nabi saw1
(Subkhi Shaleh, 1978: 11-13).
Meski begitu, terdapat banyak sekali permasalahan-permasalahan yang
timbul mengenai hadits qudsi dan hadits nabawi ini. salah satunya adalah
banyaknya golongan yang tidak percaya dengan segala nasehat-nasehat Allah dan
Rasul-Nya melalui hadits ini. Banyak golongan yang menentang dan menganggap
bahwa pedoman dalam hidup yang wajib dipegang teguh hanyalah Al-Quran
semata. Sedangkan selain Al-Quran, semua itu hanyalah bid’ah. Mirisnya, bahkan
ada beberapa kelompok yang menganggap bahwa mempercayai dan
mengamalkan serta menjadikan pedoman hadits qudsi dan hadits nabawi ini
dianggap telah menyimpang dari ajaran Al-Quran dan tersesat. Hal ini timbul
akibat dari pemaknaan hadis qudsi dan hadis Nabawi yang berbeda-beda oleh
golongan-golongan tersebut.

2.2 Analisis
Menurut az-Zarqani (w,1122 H), hadis Qudsi yang disampaikan
Rasulullah saw, adalah merupakan sebuah ceritera dari Allah SWT atau kalam
Allah. Namun hadis Qudsi tidak memiliki keistimewaan khusus seperti halnya al-
1
Subkhi Shaleh,’Ulum al-Hadits wa Mus}t}alahuhu, Bairut: Dār al- ‘Ilmi, 1978

2
Al-Qur’an (Az-Zarqani: 50). Demikian pula hikmah Allah membedakan kalam-
Nya dengan sifatnya yang mukjizat dan tidak mukjizat, adalah untuk membedakan
tentang kebolehan meriwayatkan dengan makna atau tidak, dan secara psikologis
kebolehan atau tidak membawa, dan memegangnya secara bebas. Disamping
sebagai pembeda keduanya adalah ketika al-Qur’an diperbolehkan menyampaikan
secara makna tanpa diikuti dengan lafal-lafal yang baku, maka akan hilang nilai-
nilai kemukjizatan al-Qur’an. Sehingga al-Qur’an akan mengalami perubahan,
pergantian serta perbedaan kalimat yang dapat merubah setruktur ayat dan surat
sesuai dengan kehendaknya, dan yang paling membahayakan lagi adanya
perbedaan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Berbeda denngan hadis
Qudsi atapun hadis Nabi pada umumnya, lafal-lafal keduanya tidak menandung
keistimewaan (mukjizat), karena itulah kebolehan keduanya diriwayatkan secara
makna. Bahkan keistimewaan dan kesucian al-Qur’an tidak boleh disandangkan
pada hadis Qudsi dan hadis Nabi pada umumnya2.
Pemaknaan hadis Qudsi para ulama sangat beragam dalam menjelaskan
pengertiannya baik oleh ulama salaf (koservatif) maupun khalaf (moderen). Maka
dapat kami petakan dalam empat pengertian yaitu:
Pertama, pandangan yang diwakili oleh kebanyakan ulama koservatif
misalnya; Ibnu Hajar, imam Bukari, Al-Jurjani, Al-Munawi, al-T}ībiy. Mereka
menjelaskan hadis Qudsi yaitu, berita dari Allah yang disampaikan kepada Nabi
saw secara makna, dan lafalnya disampaiakn oleh Nabi sendiri.
Kedua, pandangan dari kalangan para ulama koservatif seperti, azZarqani
hadis Qudsi, adalah merupakan sebuah kalam atau ceritera dari Allah SWT yang
disampaikan Rasulullah saw. Namun hadis Qudsi tidak seperti al-Qur’an yang
memiliki keistimewaan-keistimewaan. Jadi hadis Qudsi hampir disandingkan
perbedaannya dengan al-Qur’an.
Ketiga, pendapat yang diwakili oleh para ulama salaf modern seperti,
Syaih Muhammad bin S}alih al-‘As}īmīn, menyatakan sebaiknya hadis Qudsi
sudah tidak lagi dibahasnya, karena dikhawatirkan dikatakan sebagai pendapat
yang ekstrim dan membinasakan, maka cukup berpendapat bahwa hadis Qudsi
adalah hadis yang diriwayatkan Nabi dari Tuhannya. Jadi pendapat ini boleh jadi
2
Kamaruddin, Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Jakarta: PT Mizan Publika,
2009.

3
dikatakan sebagai pendapat yang tidak mengambil resiko daripada dituduh
bertentangan dengan pendapat pendahulunya (ahli salaf)3.
Keempat, pendapat salaf modern yang sedikit berbeda dengan para
pendahulunya. Yaitu pandangan yang disampaikan oleh seorang Mufti Syaih
S}aleh bin Fauzan bin Abdullah, bahwa sunah Nabi semuanya adalah sebagai
wahyu, Tetapi ada sesuatu perkataan yang datang dari Rasulullah saw dengan
secara lafal dan maknanya, maka disebut sebagai hadis Qudsi, dan ada sesuatu
perkataan Nabi yang maknanya dari Allah tanpa dengan lafalnya, maka disebut
sebagai hadis Nabi secara umum.
Dari pemetaan terhadap pengertian hadis Qudsi ini, Penulis sependapat
dengan ulama hadits yang mengatakan bahwa, hadis qudsi suatu hadis yang
khusus tetapi merupakan hadis yang diverbalkan oleh Nabi secara keseluruhan
baik makna maupun lafalnya. Oleh karena itu, hadis Qudsi sama halnya dengan
hadis Nabi pada umumnya, tidak ada pula perbedaannya dengan hadis Nabawi.
Apabila hadis nabawi terdapat klasifikasi hadis sahih, hasan dan dha’if, maka
demikian juga pada hadis Qudsi. Hanya ada beberapa perbedaan yang berkenaan
dengan materi hadis Qudsi, dimana hadis Qudsi tidak lebih luas daripada hadis
Nabawi. Hadis Qudsi merupakan hadis yang hanya mengatasnamakan Tuhan
(Allah SWT) saja. Karenanya hadis Qudsi bukan firman Tuhan secara langsung,
tetapi diverbalkan lafal dan maknany dari nabi sendiri.

3
Fatah Idris, Abdul. Memahami Kembali Pemaknaan Hadis Qudsi. UIN Wali Songo. Semarang:
International Journal Ihya’ ‘ulum al-din Vol 18 no 2 (2016)

4
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hadits qudsi dan nabawi ini merupakan hadits murni dari Allah hanya
berbeda dalam penyampainnya saja. Hadits menduduki peran penting kedua
setelah Al-Quran. Hadits menjadi penjelas atas ayat-ayat Alquran yang tak
sepenuhnya dipahami oleh umat Islam. Dari sini tampak bahwa kedudukan hadis
menjadi penting terhadap kandungan ayat-ayat Alquran. Karena itu, para ulama
sepakat untuk menempatkannya sebagai sumber hukum Islam kedua setelah
Alquran.
Hingga saat ini, permasalahan-permasahalan seperti tetap dan masih
banyak terjadi di kalangan masyarakat. Satu golongan mengkafirkan golongan ain
hanya karena tidak sepaham mengenai pandangan dalam pedoman hidup.
Permasalahan lain yang bersangkutan dengan hadits qudsi dan hadits nabawi ini
adalah banyak manusia yang sudah tidak menjadikannya landasan dan tidak
mengamalkan isinya. Padahal jika ingin hidup bahagia, sejahtera, dan selamat
dunia akhirat yakni salah satunya dengan memahami dan mengamalkan hadits
qudsi dan hadits nabawi dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, wajib hukumnya bagi umat Islam untuk selalu
berpedoman dan mengamalkan Hadits dalam kehidupan sehari-hari. Karena hadits
ini merupakan komponen penjelas dari pada ayat-ayat isi Al-Quran. Hadits dan
Al-Quran tidak dapat dipisahkan. Ketidakpahaman terhadap isi kandungan
Alquran dan hadits berdampak pada cara menjalankan kehidupan berlawanan
dengan aturan dan peraturan yang sudah termaktub. Mengamalkan isi yang ada di
dalam Alquran dan hadits menjadi satu keharusan di dalam berkehidupan. Karena
di dalamnya berisi mengenai aturan-aturan dan norma-norma kehidupan, seperti
bagaimana manusia harus bertingkah laku, bagaimana aturan-aturan yang harus
dilaksanakan agar hidup menjadi lebih baik dan tertata.

5
DAFTAR PUSTAKA

Awir Yuslem, Ulumul Hadis, PT Mutiara Sumber Widya,2001.

Fatah Idris, Abdul (2016). Memahami Kembali Pemaknaan Hadis Qudsi. UIN
Wali Songo. Semarang: International Journal Ihya’ ‘ulum al-din Vol 18 no 2

Fatah Idris, Abdul. Memahami Kembali Pemaknaan Hadis Qudsi. UIN Wali
Songo. Semarang: International Journal Ihya’ ‘ulum al-din Vol 18 no 2
(2016)

Subkhi Shaleh,’Ulum al-Hadits wa Mus}t}alahuhu, Bairut: Dār al- ‘Ilmi, 1978.

Anda mungkin juga menyukai