Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Al-Quran adalah kalam Allah yang dijadikan sebagai pedoman dalam setiap
aspek kehidupan umat islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman
Al-Quran dapat diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang tercakup
dalam ulumul Quran. Dan menjadi salah satu bagian dari cabang keilmuwan ulumul
Quran adalah ilmu yang membahas tentang Muhkam dan Mutasyabbih ayat..

Ayat muhkam merupakan Ayatullah yang artinya sudah cukup jelas untuk
dipahami oleh manusia, tidak membutuhkan penalaran khusus untuk menguak misteri-
misteri yang ada didalamnya, sedangkan Ayatullah yang mutasyabihat, merupakan
firman Allah SWT yang membutuhkan penalaran khusus untuk menguak misteri yang
tersirat didalamnya.

Muhkam dan Mutasyabbih ayat hendaknya dapat dipahami secara mendalam.


Hal ini dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam objek yang urgen dalam
kajian/pemahaman Al-Quran. Jika kita lihat dalam ilmu kalam, hal yang mempengaruhi
adanya perbedaan pendapat antara firqah satu dengan yang lainnya, salah satunya adalah
pemahaman tentang ayat muhkam dan mutasyabih. Bahasa Al-Quran ada kalimat yang
jelas (muhkam) dan yang belum jelas (mutasyabih), hingga dalam penafsiran Al-Quran
(tentang nuhkam dan mutasyabih) terdapat perbedaan-perbedaan.

Berdalih agar tidak terjadi ketimpangan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran


khususnya dalam ranah muhkam dan mutasyabih, maka kelompok kami menyusun
makalah yang membahas tentang kedua hal tersebut denagn judul “ Al- Muhkam dan
Al-Mutasyabih”. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai ketentuan dan hal-hal yang
berhubungan dengan muhkam dan mutasyabih, akan dijelaskan dalam bab berikutnya

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian muhkam dan mutasyabih?


2. Deskripsikan tentang penggolongan ayat-ayat mutasyabihat
3. Apa ciri-ciri muhkam dan mutasyabih?
4. Apa saja macam-macam ayat mutasyabihat?
5. Sebutkan contoh ayat mutasyabih
6. Bagaimana pendapat para ulama’ mengenai ayat-ayat muhkamat dan
mutasyabihat?
7. Apa hikmah dari ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat.
8. Apa hikmah dan nilai pendidikan di balik ayat Muhkam dan Mutasyabihat.

1.3. Tujuan

1. Dapat memahami dan mampu menjelaskan ayat muhkamat dan mutasyabihat


2. Dapat mendeskripsikani penggolongan ayat- ayat mutasyabihat
3. Dapat menunjukkan ciri-ciri ayat muhkamat dan mutasyabihat
4. Mengetahui dan dapat menjelaskan macam-macamnya ayat mutasyabihat
5. Mengetahui contoh-contoh ayat mutasyabihat
6. Mengerti dan mampu mengenalisis pendapat ulama’ tentang ayat muhkamat dan
mutasyabihat
7. Dapat menunjukkan manfaat ayat muhkamat dan mutasyabih
8. Dapat mengetahui manfaat dan nilai pendididkan di balik ayat Muhkam dan
Mutasyabihat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Muhkam dan Mutasyabih


Kata muhkam diambil dari kata ahkama artinya mencegah. Al-hukmu artinya
memisahkan antara dua hal, maka seseorang dikatakan hakim karena ia mencegah
kezhaliman dan memisahkan antara dua orang yang berselisih, membedakan antara
yang hak dan yang bathil, antara benar dan dusta. Maka kata hikmah artinya mencegah
bagi pelakunya dari hal yang tidak layak. Dan kata muhkam artinya diyakinkan dan
dipastikan.

Dengan demikian, secara bahasa muhkam berarti sesuatu yang dikokohkan.


Ihkam al-kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar
dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Jadi, kalam muhkam adalah
perkataan yang seperti itu sifatnya.

Dengan pengertian inilah, Allah mensifati Al-Qur’an bahwa seluruh isinya


muhkam sebagaimana ditegaskan dalam QS Hud ayat 1 dan QS Yunus ayat 1. Ketika
Al-Qur’an dikatakan seluruhnya muhkam, maka maksudnya adalah Al-Qur’an itu kata-
katanya kokoh, fasih ( indah dan jelas) dan membedakan antara yang hak dan yang
bathil dan antara yang benar dan dusta. Inilah yang dimaksud dengan al-hikam al-amin
atau muhkam dalam arti umum.

Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal
serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu
tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya secara
konkret maupun abstrak. Maka, maksud dari firman Allah dalam surah Al-Baqoroh
ayat 25 adalah, sebagian buah-buahan dari surga itu serupa dengan sebagian yang lain
dalam hal warna, tidak dalam hal rasa hakikat.

Dikatakan pula, mutasyabih adalah mutamatsil (sama atau serupa) dalam


perkataan dan keindahan. Jadi, tasyabuh al-kalam adalah kesamaan dan kesesuaian
perkataan, karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain.

3
Dengan pengertian inilah Allah mensifati Al-Qur’an bahwa seluruhnya dan
mutasyabih, sebgaiamana ditegaskan dalam QS Az-Zumar: 23. Dengan demikian,
berdasarkan pengertian ini maka Al-Qur’an itu seluruhnya mutasyabih. Maksudnya,
Al-Qur’an itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam
kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain
serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan mutasyabih al-‘amm atau
mutasyabih dalam arti umum.

Masing-masing muhkam dan mutasyabih dengan pengertian secara mutlak atau


umum sebagaimana disebutkan di atas, tidak menafikan atau kontradiksi satu dengan
yang lain. Jadi pernyataan Al-Qur’an seluruhnya ‘muhkam’ adalah dengan pengertian
itqan (kokoh, indah) yakni, ayat-ayatnya serupa dan sebagiannya membenarkan
sebagian yang lain. Hal ini karena, ‘’kalam yang muhkam dan mutqim’’ berarti makna-
maknanya sesuai sekalipun lafazh-lafazhnya berbeda-beda.

Jika Al-Qur’an memerintahkan sesuatu hal maka ia tidak akan memerintahkan


kebalikannya di tempat lain, tetapi ia akan memerintahkannya dengan hal yang sama
atau yang serupa dengannya. Demikian pula dalam hal larangan dan berita. Tidak ada
pertentangan dan perselisihan dalam Al-Qur’an . Sebagaimana firman Allah Swt:

‘’Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran


itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya.’’ (QS ANNISA;82 )

Secara terminologis para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan muhkam


dan mutasyabih, namun menurut hemat penulis, pendapat yang kuat adalah apa yang
diungkapkan Ar-Razi bahwa muhkam adalah ayat-ayat yang dalalah maksudnya jelas

4
dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kerancauan dan kekeliruan pemahaman.
Sementara mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalah maksudnya samar, tidak jelas dan
tidak tegas, sehingga jika dipahami secara laterlek akan menimbulkan kerancauan dan
kekeliruan pemahaman.1

2.2 Penggolongan Ayat-ayat Mutasyabihat

Ayat-ayat mutasyabih dapat dikategorikan kepada tiga bagian, yaitu:


1. Mutasyabih dari segi lafaz
Mutasyabih dari segi lafaz ini dapat pula dibagi dua:
a. Yang dikembalikan kepada yang tunggal yang sulitpemaknaanyya, seperti ‫ االب‬dan
‫ يرفون‬dan yang dilihat dari segi gandanya lafaz itu dalam pemakaiannya seperti
lafaz ‫ اليد‬dan ‫العين‬
b.Lafaz yang dikembalikan kepada susunan kalimatnya yang seperti ini ada tiga:
 Mutasyabih Karena ringkasan kalimat, seperti firman Allah:
َ‫ط ْوا ِفى ا ْليَتَام‬ ِ ‫َوا ِْن ِخ ْفت ُ ْم أَالَّ ت ُ ْف‬
ُ ‫س‬
yang dimaksud dengan ‫ ا ْليَتَام‬disini ada juga mencakup ‫ا َ ْلت َ ْي َما ت‬
 Mutasyabih karena luasnya kalimat, seperti firman Allah:

‫س ِل ِه ش َْيء‬ َ ‫ لَي‬niscaya akan lebih mudah dipahami jika diungkapkan dengan


ْ ‫ْس ك َِم‬
‫س ِل ِه ش َْيء‬ َ ‫لَي‬
ْ ‫ْس ِم‬

 Mutasyabih karena susunan kalimatnya seperti firman Allah:


‫ع ُج ْو ًجا قَ ِي ًما‬ ِ ‫ع ْب ِد ِه ا ْل ِكتَا‬
ُ ‫ب َو َل ْم‬ َ ‫علَى‬ َ ‫ ا ُ ْن ِز َل‬akan mudah dipahami jika diungkapkan
dengan ‫ع ُج ْو ًجا‬ ُ ُ‫ب َولَ ْم يَجْ عَ ْل لَه‬ ِ ‫ع ْب ِد ِه ا ْل ِكتَا‬
َ ‫علَى‬
َ ‫ا ُ ْن ِز َل‬
2. Mutasyabih dari segi maknanya
Mutasyabih ini adalah menyangkut sifat-sifat Allah, sifat-sifat hari iamat,
bagaimana dan kapan terjadinya. Semua sifat yang demikian tidak dapat digambarkan
secara konkret karena kejadiannya blm pernah dialami oleh siapa pun.

1
H.Anshori, M.Ulinnuha Khusnan ‘’Ulumul Qur’an kaidah-kaidah memahami firman
Allah’’(Jakarta:RajawaliPers,2014)hlm.133-135

5
3. Mutasyabih dari segi lafaz dan maknanya
Mutasyabih dari segi ini , menurut as-Suyuthi, ada lima macam yaitu:
a. Mutasyabih dari segi kadarnya, seperti lafaz yang umum dan khusus
َ‫اِ ْقتَلُ ْواا ْل ُمش ِْر ِك ْين‬
b. Mutasyabih dari segi caranya, seperti perintah wajib dan sunah
‫اء‬
ِ ‫س‬ َ ‫فَا ْن ِك ُح ْوا َما َطا‬
َ ِ‫ب لَ ُك ْم ِمنَ الن‬
c. Mutasyabih dari segi waktu, seperti nasakh dan mansukh
‫ق ت ُ َقاتِ ِه‬ َّ ‫اِ تَّقُ ْوا‬
َّ ‫َّللا َح‬
d. Mutasyabih dari segi tempat dan suasana dimana ayat itu diturunkan, misalnya:
‫س ُخ ْونَ ِفى ا ْل ِع ْل ِم‬
ِ ‫َوالَّرا‬
e. Mutasyabih dari segi syarat-syarat sehingga suatu amalan itu tergantung dengan
ada atau tidaknya syarat yang dibutuhkan. Misalnya: ibadah shalat, dan nikah
tidak dapat dilaksanakan jika tidak cukup syaratnya.2

2.3 Ciri-ciri ayat Muhkam dan Mutasyabihat


Dalam pengertiannya secara umum sebagaimana disebutkan di atas, term
muhkam dan mutasyabih tidak menyisahkan persoalan di kalangan ulama. Tapi ketika
term muhkam dan mutasyabih ini dilihat dari pengertiannya secara khusus (terminology)
maka para ulama mulai membahas dan memeperdebatkannya.

Pengertian muhkam dan mutasyabih secara khusus ini mulai diperdebatkan ketika
mereka menafsirkan ketika mereka menafsirkan firman Allah Swt;

‫ب وأُخ ُر ُمتشا ِبهاتٌ ۖ فأ َّما الَّذِين فِي قُلُو ِب ِه ْم‬ ِ ‫ُهو الَّذِي أ ْنزل عليْك ْال ِكتاب ِم ْنهُ آياتٌ ُمحْ كماتٌ ُه َّن أ ُ ُّم ْال ِكتا‬
‫الرا ِس ُخون فِي ْال ِع ْل ِم‬ َّ ‫ز ْي ٌغ فيت َّ ِبعُون ما تشابه ِم ْنهُ ا ْبتِغاء ْال ِفتْن ِة وا ْبتِغاء تأ ْ ِوي ِل ِه ۗ وما ي ْعل ُم تأ ْ ِويلهُ ِإ ََّّل‬
َّ ‫َّللاُ ۗ و‬
ِ ‫يقُولُون آمنَّا بِ ِه ُك ٌّل ِم ْن ِع ْن ِد ر ِبنا ۗ وما يذَّ َّك ُر ِإ ََّّل أُولُو ْاْل ْلبا‬
‫ب‬

‘’Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka

2
Abdul Hamid, Lc., M.A., Pengantar Studi Al-Quran, (Jakarta:2013), hlm.136-137

6
mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan
fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.’’(QS ALI IMRAN;7)

Tafsir Ibnu Katsir QS.Al-Imran Ayat 7

Muhkamat adalah ayat-ayat yang terang dan jelas pengertiannya, tiada


seorangpun yang mempunyai pemahaman berbeda tentangnya. Sedangkan mutasyabihat
adalah ayat-yat yang samar pengertiannya bagi kebanyakan orang.3

Dari kajian yang mendalam atas ayat ini, para ulama memiliki beragam
pandangan terhadap pengertian muhkam dan mutasyabih secara khusus (terminologis).
Namun, dari sekian banyak pendapat tersebut, yang terpenting diantaranya sebagai
berikut:

1. Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang mutasyabih


hanya diketahui maksudnya oleh Allah Swt sendiri
2. Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedang mutasyabih
mengandung banyak wajah
3. Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa
memerlukan keterangan lain (takwil), sedang mutasyabih tidak demikian. Ia
memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain

Tiga hal tersebut, selain sebagai pembeda juga sebagai karakteristik bagi ayat-ayat
muhkam dan mutasyabih dalam pengertiannya yang khusus. Kemudian para ulama
memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam Al-Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, ayat-
ayat tentang halal dan haram, hudud (hukuman), larangan dan kewajiban, janji dan

3
Tedi Ruhiat,Zenal Mutaqin & Chandra Kurniawan” Ringkasan tafsir ibnu katsir bersumber dari
mukhtashar tafsir ibnu katsir karya syaikh Muhammad Ali ash-shabuni dan Asbabun Nuzul karya imam jalaluddin
as-suyuti”(Bandung:Jabal,2013)hlm.176

7
ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengan ayat-ayat
tentang asma’ Allah dan sifat-sifat-Nya, antara lain; dalam surah Thaha:5, Al-
Qashash:88, Al-An’am:18, Al-Fath:6,10 &22, Al-Bayyinah:8, Ali-Imran:31. Dan masih
banyak lagi ayat lainnya. Teramsuk di dalamnya permulaan beberapa surah yang dimulai
dengan huruf-huruf hijaiyah( al-huruf muqhaththa’ah), hakikat hari kiamat dan ilmu as-
sa’ah.

Dari pemahaman ayat diatas pula, akhirnya para ulama membagi mutasyabihat
menjadi tiga macam:

1. Makna kandungannya mustahil diketahui manusia, seperti sifat Allah, hari kiamat,
dan lain-lain

2. Melalui penelitian, seperti ayat-ayat yang kandungannya bersifat umum, samar dari
lahir dari singkatannya redaksi

3. Bahwa ayat-ayat mutasyabih, dapat diketahui oleh sebagian ulama dengan


melakukan penyucian diri.

Secara lebih terperinci Al-Asfahani juga membagi mutasyabihat menjadi tiga


macam: pertama, mutasyabihat dari segi lafazh; kedua, mutasyabihat dari segi makna,
seperti sifat-sifat Alla, sifat-sifat hari kiamat yang tidak mungkin tergambarkan
hakikatnya dalam benak manusia.

Sedangkan mutasyabihat dari segi lafazh dan makna terbagi menjadi lima bagian:
(a) dilihat dari segi ukuran (kammiyah) seperti umum dan khusus, contohnya: faqtuluu
al-musyrikin (QS At-taubah:5); (b) dilihat dari segi cara (kaifiyyah) seperti wajib atau
sunnah, contohnya: fankihu maa thaba lakum (QS An-nisa:3);(c) mutasyabihat dari segi
waktu seperti nasikh dan mansukh, contoh: ittaqullaha haqqa tuqaatih(QS Ali-
Imran:102); (d) mutasyabihat dilihat dari segi tempat dan duduk perkaranya yang
memang ayat tersebut turun di tempat itu, seperti: wa laisa al birra bi an ta’tu al-buyuut

8
min zhuhuurihaa (QS Al-Baqoroh:189); dan (e) dari segi syarat-syarat yang menentukan
sah atau rusaknya amal seperti syaratnya shalat atau nikah.4

Ada tiga masalah yang sangat penting terkait dengan ayat-ayat mutasyabihat.
Pertama, boleh tidaknya mentakwil ayat-ayat mutasyabihat. Kedua,jika boleh ,siapa saja
yang memiliki otoritas untuk menginterpretasi ayat-ayat mutasyabihat. Ketiga,kriteria apa
agar sebuah ayat bisa dimasukkan ke dalam kategori muhkamat dan mutasyabihat.

Tidak-adanya kata sepakat tentang pengertian muhkam atau mutasyabihat, ada


banyak kesulitan untuk membuat standar kriteria karena, ada banyak kesulitan untuk
membuat standar kriteria karena, boleh jadi, ayat-ayat yang disebut muhkam oleh
sekelompok orang, justru dipandang mutasyabih oleh kelompok lainnya. Firman Allah
yang berekenaan dengan Jannah dan Nar, misalnya, bagi kebanyakan kaum muslimin
disebut muhkamat, sedangkan oleh sebagian lainnya, seperti golongan bathiniyyah, justru
disebut mutasyabihat karena gambaran tentang Jannah dan Nur dipahami sebagai
metaphor-metafor yang tidak tentu merujuk pada hakikatnya.

J.M.S. Baljon, yang mengutip pendapat Zamakhsyari, berpendapat bahwa yang


termasuk kriteria ayat-ayat muhkamat adalah bila ayat-ayat tersebut berhubungan erat
dengan hakikat (kenyataan), sedangkan disebut ayat-ayat mutasyabihat bila ayat-ayat
tersebut menuntut penelitian (tahqiqat). Terkait dengan masalah kriteria ini, Ali Bin Abi
Thalib memberikan kriteria ayat-ayat muhkamat: ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat
yang lainnya; ayat-ayat yang menghalalkan, ayat-ayat yang mengharamkan, ayat-ayat
yang berisi ketentuan tertentu,ayat-ayat yang mengandung kewajiban, serta ayat-ayat
yang harus diimani dan diamalkan.

Ar-Raghib al-Asfahani memberi kriteria ayat-ayat mutasyabihat sebagai ayat atau


lafal yang tidak diketahui hakikat maknanya, seperti tibanya hari kiamat, ayat-ayat Al-
Qur’an yang hanya bisa diketahui maknanya dengan alat bantu, baik dengan ayat-ayat
muhkamat, hadis sohih maupun ilmu lainnya, seperti ayat-ayat yang lafalnya terlihat aneh
dan hukum-hukumnya tertutup, ayat-ayat yang maknanya hanya bisa diketahui oleh

4
Drs. Ahmad Izzan, M.Ag.,Ulumul Qur’an (Jakarta:Rajawali Pers,2014)hlm. 198

9
orang-orang yang ilmunya sangat mendalam seperti yang disyariatkan oleh doa
Rasulullah Saw. Untuk Ibnu Abbas: ‘’ Ya Allah, karuniakanlah ia ilmu yang mendalam
mengenai agama dan limpahkanlah pengetahuan tentang takwil kepadanya’’.

Sebaliknya, ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang tidak memiliki kriteria


ayat-ayat mutasyabihat. Berdasarkan kriteria yang diberikan sedemikian jelas tersebut,
secara tidak langsung, al-Asfahani mengatakan bahwa zat dan hakikat sifat-sifat Allah
hanya Dia sendiri yang mengetahui karena pengetahuan tentang apa yang gaib hanya ada
pada-Nya (QS Luqman ayat 34). Diantara beberapa kriteria yang ditawarkan oleh ulama
diatas , kiranya kriteria yang diajukan ar-Raghib al-Asfahani sudah termasuk mewakili
yang lainnya.

2.4 Macam-macam Muhkam dan Mutasyabih


Az- zarqani membagi ayat-ayat mutasyabuhat menjadi tiga macam:
1. Ayat-ayat yang seluruh manusia tidak dapat sampai pada maksudnya. Seperti
pengetahuan tentang dzat Allah dan hakikat sifat-sifatnya, pengetahuan tentang
waktu kiamat dan hal-hal gaib lainnya. Allah berfirman dalam surah al-An’am:59

ِ ‫َو ِع ْندَه َمفَاتِ ُح ا ْل َغ ْي‬


‫ب الَ يَ ْعلَ ُمهَا اِالَّ ه َُو‬

“Dan pada sisi Allah-lah kunci kunci semua yang gaib, tidak ada yang
mengetahuinya kecuali dia sendiri”.

2. Ayat-ayat yang semua orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan
pengkajian. Seperti ayat-ayat mutasyabahat yang kesamarannya timbul akibat
ringkas, panjang, dan seumpamanya. Allah berfirman dalam surah an-Nisaa’:3
‫آء‬
ِ ‫س‬ َ ‫ط ْوا ِفى ا ْليَت َ َمى فَا ْن ِك ُح ْوا َما َط‬
َ ِ‫اب لَ ُك ْم ِمنَ الن‬ ُ ‫س‬
ِ ‫َوا ِْن ِخ ْفت ُ ْم اَالَّ ت ُ ْق‬

“dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang
yatim, maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi”.

10
3. Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tentu saja.
Hal inilah yang diisyaratkan nabi dengan doanya bagi Ibn Abbas:
“Ya Tuhanku, jadikanlah dia seseorang yang paham dalam agam, dan ajarkanlah
kepadanya takwil.” (HR.Bukhari).5

2.5. Contoh ayat mutasyabih yang kembali kepada al-muhkam


1. Ayat muhkam
Firman Allah Swt:
َ ‫َّللاَ يَ ْغ ِف ُر الذُّنُ ْو‬
‫ب ج َِم ْيعًا‬ َّ َّ‫إِن‬

“ Sesungguhnyua Allah mengampuni dosa semuanya. (QS.az-Zumar:35)


Ayat ini teermasuk mutasyabih, karena mengandung dua makna, yaitu: (a) Allah
mengampuni dosa semuanya,bagi yang bertobat; (b) pengampunan dosa, secara
keseluruhan, bagi siapa yang tidak bertobat, maka dikembalikan pada muhkamah.
Adapun yang dikembalikan dari mutasyabihah kepada al- muhkamah adalah firman Allah
Swt:

‫ص ِل ًحا ث ُ َّما ْهتَدَى‬ َ َ‫َوإِنِى لَغَ َّفار ِل َم ْن ت‬


َ ‫اب َو َءا َمنَ َوع َِم َل‬
“ sesungguhnya aku (Allah) benar-benar suka mengampuni bagi siapa yang
bertobat, beriman,dan beramal shaleh.” (QS. Taha: 82)
Dari ayat muhkamah ini terlihat, bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosa
semua, bagi siapa yang telah bertobat kepada-Nya, beriman dan mengikuti jalan
hidayahnya.
2. Ayat mutasyabih
Firman Allah Swt:

ُ ‫الذك َْر َو ِإنَّالَهُ لَحَ ِف‬


َ‫ظ ْوان‬ ِ ‫ِإنَّا نَحْ نُ نَ َّز ْلنَا‬

5
Abdul Hamid, Lc., M.A., Pengantar Studi Al-Quran, (Jakarta:2013), hlm.134-135

11
“sesungguhnya kamilah yang telah menurunkan Al-Quran dan
sesungguhnya kami ialah penjaganya yang benar-benar.” (QS.al-Hijr:9)
Ayat ini mengandung dua makna, yaitu: (a) kalimat inna (kami)
mengandung makna satu yang diagungkan , dan adalah kebenaran; (b) inna itu
untuk Jemaah atau sekumpulan atau banyak. Pengertian seperti ini adalah bathil.
Oleh sebab itu, maka kita harus kembalikan ia kepada ayat muhkamah. Ia
memungkinkan pula menunjukkan, bahwa Dia (Allah) yang diagungkan satu dan
disamping-Nya ada yang lain. Ayat ini dijadikan dalil oleh orang-orang nasrani
yang berarti tunggal atau bertrinitas, yaitu bertuhan kepada: (1) Allah, (2) yesus,
(3) roh kudus.
Adapun ayat mutasyabih yang kita kembalikan kepada muhkamah, antara
lain, Firman Allah Swt:

ِ ‫إِلَ ُه ُك ْم إِلَه َو‬


‫احد‬
“ Tuhanmu (kamu banyak) ialah Tuhan yang satu.” (QS. An-Nahl: 22)
Ayat –ayat ini termasuk muhkamat yang dimaksud dengan Inna itu hanyalah
Allah Yang Esa yang mengagungkan dirinya.

2.6 Perbedaan Pendapat Para Ulama’


Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat tentang pengertian muhkam dan
mutasyabih dalam arti khusus, perbedaan pendapat mengenai kemungkinan maksud ayat
yang mutasyabih pun tidak dapat dihindarkan. Sumber perbedaan pendapat ini
berpangkal pada ayat 7 surah Ali-Imran yang telah disebutkan sebelumnya, yakni
kalimat: ‘’wa ma ya’lamu ta’wilahu illallah. Wa ar-rasikhuna fi al-‘ilm’’.

Yang menjadi bahan perbedaan pendapat adalah huruf wawu setelah kaliamat
illallah, apakah wawu tersebut ‘athaf (penyambung) atau wawu isti’naf (permulaan)?
Jika wawu itu isti’naf maka bacaanya wajib waqaf sampai kalimat illallah, dan berarti
bahwa yang mengetahui ayat-ayat mutasyabihat hanyalah Allah Swt. Adapun jika wawu
itu ‘athaf maka bacaannya harus washal (terus/tidak berhenti) pada kalimat illallah, dan
maknanya adalah ada yang mengetahui takwil mutasyabihat selain Allah Swt.

12
Pendapat pertama diikuti oleh sejumlah ulama. Diantaranya Ubai bin Ka’bah, Ibn
Mas’ud, Ibn Abbas, sejumlah sahabat, tabi;in dan yang lainnya. Mereka beralasan antara
lain dengan keterangna yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam mustadrakanya,
bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa ia membaca : ‘’wa ma ya’lamu ta’wilahu illallah, wa
yaquulu ar-rasikhuna fil ‘ilmi amanna bihi.

Dan dengan qira’at Ibnu Mas’ud: ‘’wa inna ta’wilahu ila ‘indallahi, wa ar-
raasikhun fi al-‘ilmi yaquuluna aamanna bihi ‘’terhadap orang-orang yang mengikuti
mutasyabih dan mensifatinya sebagai orang-orang yang hatinya condong kepada
kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah.

Dari Aisyah ia berakata: ‘’Rasulullah Saw. Membaca ayat ini ‘’huwalladzi anzala
‘alaikal kitab’ sampai dengan ‘ulul albab’ kemudian berakata : ‘’ apabila kamu melihat
orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat mereka itulah yang disinyalir oleh Allah,
maka waspadalah terhadap mereka’’.

Pendapat kedua (yang menyatakan wawu sebagai huruf ‘ataf) dipilih oleh
segolongan ulama lain yang dipelopori oleh Mujahid. Diriwayatkan dari Mujahid, ia
berkata: ‘’Saya telah membacakan mushaf kepada Ibnu Abbas mulai dari Fatihah sampai
tamat. Saya pelajari sampai paham setiap ayatnya dan saya tanyakan kepadanya tentang
tafsirannya. Pendapat ini dipilih juga oleh an- Nawawi, dalam syarh muslim-nya ia
menyatakan: ‘’inilah pendapat yang paling sahih, karena tidak mungkin Allah menyeru
kepada hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat diketahui maksudnya oleh
mereka.

Secara kasat mata dua pendapat di sebelumnya terlihat berlawanan, tapi jika dilihat
secara mendalam sejatinya keduanya dapat dikompromikan yaitu melalui pemahaman makna
takwil. Dengan merujuk kepada makna takwil maka akan jelaslah bahwa antara kedua
pendapat di ats tidak terdapat pertentangan, karena lafazh takwil digunakan untuk
menunjukkan tiga makna:

1. Memalingkan sebuah lafazh dari makna yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah
(marjuuh) karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian takwil yang
dimaksudkan oleh mayoritas ulama mutaakhirin.

13
2. Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan) yaitu, pembicaraan untuk
menafsirkan lafazh-lafazh agar maknanya dapat dipahami
3. Takwil adalah hakikat (substansi) yang kepadanya .6

2.7. Hikmah Keberadaan Ayat-ayat Mutasyabihat


1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia

Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih


sebagaimana Allah memeberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya
akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya
seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan
keilmuwannnyasehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya.

Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah


karena kesadarannyaakan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat
mutasyabih itu.

2. Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih

Pada penghujung surat Ali-Imran ayat 7, Allah menyebutkan wa ma yadzdzakkaru


illa ulu Al-abab sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengotak-atik ayat
mutasyabih. Sebaliknya, memeberikan pujian pada orang-orang yang mendalami
ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik
ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la tuzigh quluban. Mereka
menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.

3. Memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia melalui pengalaman


indrawi yang biasa disaksikannya

Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi


gambaran indrawi terlebih dahulu. Dalam kasus sifat-sifat Allah, sengaja Allah memberikan
gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat Allah. Bersamaan dengan itu,

6
Syaih Manna AL-Qathtthan dan Aunur Rafiq L. Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, (Jakarta : Pustaka
Alkautsar,2013), hlm 267-268

14
Allah mengaskan bahwa diri-Nya tidak sama dengan hamba-Nya dalam pemilikan anggota
badan.7

2.8 Hikmah dan Nilai di balik Ayat Muhkam dan Mutasyabihat

Diantara hikmah yang dapat kita ambil dalam memahami adanya ayat muhkamat dan
mutasyabihat dalam Al-Quran adalah:

1. Adanya ayat mutasyabihat menjadi batu ujian keimanan seseorang, sejauh manakah ia
dapat mengimani atau mengikuti hawa nafsu mereka dalam memaknainya.
2. Adanya ayat muhkamat sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia dikarenakan ayat-
ayatnya yang jelas dan tegas.
3. Akal sebagai anggota badan yang paling mulia, diberi cobaan untuk mengimani dan
meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat mutasyabihat merupakan sarana bagi
penundukan akal untuk menghambakan diri pada Allah karena ketidakmampuannya dalam
mengungkap kandungan maknanya.
4. Ayat mutasyabihat bis amenjadi sugesti bagi setiap insan muslim untuk selalu
mempelajari dan menggali isi kandungan Al-Quran dengan sungguh-sungguh dan teliti.
5. Adanya ayat muhkamat memudahkan manusia untuk menghayatinya lalu diamalkan.
Disisi lain adanya ayat mutasyabihat mendorong manusia untuk senantiasa
mengoptimalkan akalnya dalam memahami ayat-ayat itu dengan bantuan dalil-dalil Al-
Quran maupun hadits yang ada.
6. Adanya ayat muhkamat dan mutasyabihat sebagai bukti kemukjizatan Al-Quran yang
memiliki nilai dan mutu sastra yang tinggi, dengan demikian manusia akan yakin bahwa ia
bukanlah produk Muhammad atau manusia lain.
Adanya muhkamat dan mutasyabihat mengindikasiakan bahwa kemahakuasaan
Allah dan pengetahuan Allah Ia Maha Tahu dan Kuasa, ‘ilmu dan qudrah-Nya tidak
terjangklau oleh akal pikiran manusia yang sangat terbatas. Selain itu, hal ini menjadi
tanda kelemahan, ketidakmampuan dan keterbatasan manusia. Selayaknya, manusia

7
Rosihon Anwar dan Maman Abd. Djaliel, Ulum Al-Quran,(Bandung:CV Pustaka Setia ,2008), hlm.134-135

15
menyadari akan hal ini, sehingga dengan berbagai upaya ia kan berusaha menundukkan
dan menyerahkan badan dan akal pikirannya hanya kepada Allah.8

8
Journal. Staihubbulwathan.id/index.php/alishlah/article/view/21

16
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Muhkam adalah ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak
menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang
maknanya belum jelas. Setiap ulama’ berbeda pendapat dalam hal memahami ayat-ayat
mutasyabih, yaitu antara bisa tidaknya manusia memahami/memaknai ayat-ayat
mutasyabihat.

Sebab-sebab munculnya ayat mutasyabihat terbagi menjadi tiga tinjauan , yaitu:


adanya kesamaran dalam lafadz, kesamaran makna ayat, dan kesamaran makna dan ayat.
Terdapat tiga macam ayat mutasyabih, yaitu: ayat yang tidak bisa dipahami manusia,
yang bisa dipahami semua orang dengan pemahaman yang dalam dan ayat yang bisa
dipahami oleh pakarnya saja, seperti para ulama’.

Terdapat juga hikmah adanya ayat-ayat muhkamah dan mutasyabihat yang secara
garis besar masuk pada tataran pemahaman dan penggunaan logika dan akal.

3.2 Saran
Dalam memahami ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat, tentunya akan
menemui perbedaan antara ulama’ satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, sebagai
mahasiswa tidak sepantasnya saling salah menyalahkan pendapat satu dengan yang lainnya.
Karena setiap pendapat yang disampaikan oleh para ulam’ tentunya memiliki dasar, akan
tetapi kita harus lebih bijak dalam memilih mana yang baik dan menagatasiperbedaan.

17
DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Khusnan M.Ulinnuha, Ulumul Qur’an kaidah-kaidah memahami firman Allah,


(Jakarta:RajawaliPers, 2014)

Anwar Rosihon, Djaliel Abd. Maman, Ulum Al-Quran,(Bandung:CV Pustaka Setia ,2008)

Hamid Abdul, Pengantar Studi Al-Quran, (Jakarta:2013)

Izzan Ahmad, Ulumul Qur’an (Jakarta:Rajawali Pers,2014)

Syaih Manna AL-Qathtthan, Aunur Rafiq L. Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, (Jakarta : Pustaka
Alkautsar,2013)

Tedi Ruhiat,Zenal Mutaqin & Chandra Kurniawan” Ringkasan tafsir ibnu katsir bersumber dari
mukhtashar tafsir ibnu katsir karya syaikh Muhammad Ali ash-shabuni dan Asbabun Nuzul karya imam
jalaluddin as-suyuti”(Bandung:Jabal,2013)hlm.176

Journal. Staihubbulwathan.id/index.php/alishlah/article/view/21

18
19

Anda mungkin juga menyukai