PENDAHULUAN
Al-Quran adalah kalam Allah yang dijadikan sebagai pedoman dalam setiap
aspek kehidupan umat islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman
Al-Quran dapat diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang tercakup
dalam ulumul Quran. Dan menjadi salah satu bagian dari cabang keilmuwan ulumul
Quran adalah ilmu yang membahas tentang Muhkam dan Mutasyabbih ayat..
Ayat muhkam merupakan Ayatullah yang artinya sudah cukup jelas untuk
dipahami oleh manusia, tidak membutuhkan penalaran khusus untuk menguak misteri-
misteri yang ada didalamnya, sedangkan Ayatullah yang mutasyabihat, merupakan
firman Allah SWT yang membutuhkan penalaran khusus untuk menguak misteri yang
tersirat didalamnya.
1
1.2 Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal
serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu
tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya secara
konkret maupun abstrak. Maka, maksud dari firman Allah dalam surah Al-Baqoroh
ayat 25 adalah, sebagian buah-buahan dari surga itu serupa dengan sebagian yang lain
dalam hal warna, tidak dalam hal rasa hakikat.
3
Dengan pengertian inilah Allah mensifati Al-Qur’an bahwa seluruhnya dan
mutasyabih, sebgaiamana ditegaskan dalam QS Az-Zumar: 23. Dengan demikian,
berdasarkan pengertian ini maka Al-Qur’an itu seluruhnya mutasyabih. Maksudnya,
Al-Qur’an itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam
kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain
serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan mutasyabih al-‘amm atau
mutasyabih dalam arti umum.
4
dan tegas, sehingga tidak menimbulkan kerancauan dan kekeliruan pemahaman.
Sementara mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalah maksudnya samar, tidak jelas dan
tidak tegas, sehingga jika dipahami secara laterlek akan menimbulkan kerancauan dan
kekeliruan pemahaman.1
1
H.Anshori, M.Ulinnuha Khusnan ‘’Ulumul Qur’an kaidah-kaidah memahami firman
Allah’’(Jakarta:RajawaliPers,2014)hlm.133-135
5
3. Mutasyabih dari segi lafaz dan maknanya
Mutasyabih dari segi ini , menurut as-Suyuthi, ada lima macam yaitu:
a. Mutasyabih dari segi kadarnya, seperti lafaz yang umum dan khusus
َاِ ْقتَلُ ْواا ْل ُمش ِْر ِك ْين
b. Mutasyabih dari segi caranya, seperti perintah wajib dan sunah
اء
ِ س َ فَا ْن ِك ُح ْوا َما َطا
َ ِب لَ ُك ْم ِمنَ الن
c. Mutasyabih dari segi waktu, seperti nasakh dan mansukh
ق ت ُ َقاتِ ِه َّ اِ تَّقُ ْوا
َّ َّللا َح
d. Mutasyabih dari segi tempat dan suasana dimana ayat itu diturunkan, misalnya:
س ُخ ْونَ ِفى ا ْل ِع ْل ِم
ِ َوالَّرا
e. Mutasyabih dari segi syarat-syarat sehingga suatu amalan itu tergantung dengan
ada atau tidaknya syarat yang dibutuhkan. Misalnya: ibadah shalat, dan nikah
tidak dapat dilaksanakan jika tidak cukup syaratnya.2
Pengertian muhkam dan mutasyabih secara khusus ini mulai diperdebatkan ketika
mereka menafsirkan ketika mereka menafsirkan firman Allah Swt;
ب وأُخ ُر ُمتشا ِبهاتٌ ۖ فأ َّما الَّذِين فِي قُلُو ِب ِه ْم ِ ُهو الَّذِي أ ْنزل عليْك ْال ِكتاب ِم ْنهُ آياتٌ ُمحْ كماتٌ ُه َّن أ ُ ُّم ْال ِكتا
الرا ِس ُخون فِي ْال ِع ْل ِم َّ ز ْي ٌغ فيت َّ ِبعُون ما تشابه ِم ْنهُ ا ْبتِغاء ْال ِفتْن ِة وا ْبتِغاء تأ ْ ِوي ِل ِه ۗ وما ي ْعل ُم تأ ْ ِويلهُ ِإ ََّّل
َّ َّللاُ ۗ و
ِ يقُولُون آمنَّا بِ ِه ُك ٌّل ِم ْن ِع ْن ِد ر ِبنا ۗ وما يذَّ َّك ُر ِإ ََّّل أُولُو ْاْل ْلبا
ب
‘’Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka
2
Abdul Hamid, Lc., M.A., Pengantar Studi Al-Quran, (Jakarta:2013), hlm.136-137
6
mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan
fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan
Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.’’(QS ALI IMRAN;7)
Dari kajian yang mendalam atas ayat ini, para ulama memiliki beragam
pandangan terhadap pengertian muhkam dan mutasyabih secara khusus (terminologis).
Namun, dari sekian banyak pendapat tersebut, yang terpenting diantaranya sebagai
berikut:
Tiga hal tersebut, selain sebagai pembeda juga sebagai karakteristik bagi ayat-ayat
muhkam dan mutasyabih dalam pengertiannya yang khusus. Kemudian para ulama
memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam Al-Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, ayat-
ayat tentang halal dan haram, hudud (hukuman), larangan dan kewajiban, janji dan
3
Tedi Ruhiat,Zenal Mutaqin & Chandra Kurniawan” Ringkasan tafsir ibnu katsir bersumber dari
mukhtashar tafsir ibnu katsir karya syaikh Muhammad Ali ash-shabuni dan Asbabun Nuzul karya imam jalaluddin
as-suyuti”(Bandung:Jabal,2013)hlm.176
7
ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengan ayat-ayat
tentang asma’ Allah dan sifat-sifat-Nya, antara lain; dalam surah Thaha:5, Al-
Qashash:88, Al-An’am:18, Al-Fath:6,10 &22, Al-Bayyinah:8, Ali-Imran:31. Dan masih
banyak lagi ayat lainnya. Teramsuk di dalamnya permulaan beberapa surah yang dimulai
dengan huruf-huruf hijaiyah( al-huruf muqhaththa’ah), hakikat hari kiamat dan ilmu as-
sa’ah.
Dari pemahaman ayat diatas pula, akhirnya para ulama membagi mutasyabihat
menjadi tiga macam:
1. Makna kandungannya mustahil diketahui manusia, seperti sifat Allah, hari kiamat,
dan lain-lain
2. Melalui penelitian, seperti ayat-ayat yang kandungannya bersifat umum, samar dari
lahir dari singkatannya redaksi
Sedangkan mutasyabihat dari segi lafazh dan makna terbagi menjadi lima bagian:
(a) dilihat dari segi ukuran (kammiyah) seperti umum dan khusus, contohnya: faqtuluu
al-musyrikin (QS At-taubah:5); (b) dilihat dari segi cara (kaifiyyah) seperti wajib atau
sunnah, contohnya: fankihu maa thaba lakum (QS An-nisa:3);(c) mutasyabihat dari segi
waktu seperti nasikh dan mansukh, contoh: ittaqullaha haqqa tuqaatih(QS Ali-
Imran:102); (d) mutasyabihat dilihat dari segi tempat dan duduk perkaranya yang
memang ayat tersebut turun di tempat itu, seperti: wa laisa al birra bi an ta’tu al-buyuut
8
min zhuhuurihaa (QS Al-Baqoroh:189); dan (e) dari segi syarat-syarat yang menentukan
sah atau rusaknya amal seperti syaratnya shalat atau nikah.4
Ada tiga masalah yang sangat penting terkait dengan ayat-ayat mutasyabihat.
Pertama, boleh tidaknya mentakwil ayat-ayat mutasyabihat. Kedua,jika boleh ,siapa saja
yang memiliki otoritas untuk menginterpretasi ayat-ayat mutasyabihat. Ketiga,kriteria apa
agar sebuah ayat bisa dimasukkan ke dalam kategori muhkamat dan mutasyabihat.
4
Drs. Ahmad Izzan, M.Ag.,Ulumul Qur’an (Jakarta:Rajawali Pers,2014)hlm. 198
9
orang-orang yang ilmunya sangat mendalam seperti yang disyariatkan oleh doa
Rasulullah Saw. Untuk Ibnu Abbas: ‘’ Ya Allah, karuniakanlah ia ilmu yang mendalam
mengenai agama dan limpahkanlah pengetahuan tentang takwil kepadanya’’.
“Dan pada sisi Allah-lah kunci kunci semua yang gaib, tidak ada yang
mengetahuinya kecuali dia sendiri”.
2. Ayat-ayat yang semua orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan
pengkajian. Seperti ayat-ayat mutasyabahat yang kesamarannya timbul akibat
ringkas, panjang, dan seumpamanya. Allah berfirman dalam surah an-Nisaa’:3
آء
ِ س َ ط ْوا ِفى ا ْليَت َ َمى فَا ْن ِك ُح ْوا َما َط
َ ِاب لَ ُك ْم ِمنَ الن ُ س
ِ َوا ِْن ِخ ْفت ُ ْم اَالَّ ت ُ ْق
“dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang
yatim, maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi”.
10
3. Ayat-ayat mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tentu saja.
Hal inilah yang diisyaratkan nabi dengan doanya bagi Ibn Abbas:
“Ya Tuhanku, jadikanlah dia seseorang yang paham dalam agam, dan ajarkanlah
kepadanya takwil.” (HR.Bukhari).5
5
Abdul Hamid, Lc., M.A., Pengantar Studi Al-Quran, (Jakarta:2013), hlm.134-135
11
“sesungguhnya kamilah yang telah menurunkan Al-Quran dan
sesungguhnya kami ialah penjaganya yang benar-benar.” (QS.al-Hijr:9)
Ayat ini mengandung dua makna, yaitu: (a) kalimat inna (kami)
mengandung makna satu yang diagungkan , dan adalah kebenaran; (b) inna itu
untuk Jemaah atau sekumpulan atau banyak. Pengertian seperti ini adalah bathil.
Oleh sebab itu, maka kita harus kembalikan ia kepada ayat muhkamah. Ia
memungkinkan pula menunjukkan, bahwa Dia (Allah) yang diagungkan satu dan
disamping-Nya ada yang lain. Ayat ini dijadikan dalil oleh orang-orang nasrani
yang berarti tunggal atau bertrinitas, yaitu bertuhan kepada: (1) Allah, (2) yesus,
(3) roh kudus.
Adapun ayat mutasyabih yang kita kembalikan kepada muhkamah, antara
lain, Firman Allah Swt:
Yang menjadi bahan perbedaan pendapat adalah huruf wawu setelah kaliamat
illallah, apakah wawu tersebut ‘athaf (penyambung) atau wawu isti’naf (permulaan)?
Jika wawu itu isti’naf maka bacaanya wajib waqaf sampai kalimat illallah, dan berarti
bahwa yang mengetahui ayat-ayat mutasyabihat hanyalah Allah Swt. Adapun jika wawu
itu ‘athaf maka bacaannya harus washal (terus/tidak berhenti) pada kalimat illallah, dan
maknanya adalah ada yang mengetahui takwil mutasyabihat selain Allah Swt.
12
Pendapat pertama diikuti oleh sejumlah ulama. Diantaranya Ubai bin Ka’bah, Ibn
Mas’ud, Ibn Abbas, sejumlah sahabat, tabi;in dan yang lainnya. Mereka beralasan antara
lain dengan keterangna yang diriwayatkan oleh al-Hakim dalam mustadrakanya,
bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa ia membaca : ‘’wa ma ya’lamu ta’wilahu illallah, wa
yaquulu ar-rasikhuna fil ‘ilmi amanna bihi.
Dan dengan qira’at Ibnu Mas’ud: ‘’wa inna ta’wilahu ila ‘indallahi, wa ar-
raasikhun fi al-‘ilmi yaquuluna aamanna bihi ‘’terhadap orang-orang yang mengikuti
mutasyabih dan mensifatinya sebagai orang-orang yang hatinya condong kepada
kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah.
Dari Aisyah ia berakata: ‘’Rasulullah Saw. Membaca ayat ini ‘’huwalladzi anzala
‘alaikal kitab’ sampai dengan ‘ulul albab’ kemudian berakata : ‘’ apabila kamu melihat
orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat mereka itulah yang disinyalir oleh Allah,
maka waspadalah terhadap mereka’’.
Pendapat kedua (yang menyatakan wawu sebagai huruf ‘ataf) dipilih oleh
segolongan ulama lain yang dipelopori oleh Mujahid. Diriwayatkan dari Mujahid, ia
berkata: ‘’Saya telah membacakan mushaf kepada Ibnu Abbas mulai dari Fatihah sampai
tamat. Saya pelajari sampai paham setiap ayatnya dan saya tanyakan kepadanya tentang
tafsirannya. Pendapat ini dipilih juga oleh an- Nawawi, dalam syarh muslim-nya ia
menyatakan: ‘’inilah pendapat yang paling sahih, karena tidak mungkin Allah menyeru
kepada hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat diketahui maksudnya oleh
mereka.
Secara kasat mata dua pendapat di sebelumnya terlihat berlawanan, tapi jika dilihat
secara mendalam sejatinya keduanya dapat dikompromikan yaitu melalui pemahaman makna
takwil. Dengan merujuk kepada makna takwil maka akan jelaslah bahwa antara kedua
pendapat di ats tidak terdapat pertentangan, karena lafazh takwil digunakan untuk
menunjukkan tiga makna:
1. Memalingkan sebuah lafazh dari makna yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah
(marjuuh) karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian takwil yang
dimaksudkan oleh mayoritas ulama mutaakhirin.
13
2. Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan) yaitu, pembicaraan untuk
menafsirkan lafazh-lafazh agar maknanya dapat dipahami
3. Takwil adalah hakikat (substansi) yang kepadanya .6
6
Syaih Manna AL-Qathtthan dan Aunur Rafiq L. Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, (Jakarta : Pustaka
Alkautsar,2013), hlm 267-268
14
Allah mengaskan bahwa diri-Nya tidak sama dengan hamba-Nya dalam pemilikan anggota
badan.7
Diantara hikmah yang dapat kita ambil dalam memahami adanya ayat muhkamat dan
mutasyabihat dalam Al-Quran adalah:
1. Adanya ayat mutasyabihat menjadi batu ujian keimanan seseorang, sejauh manakah ia
dapat mengimani atau mengikuti hawa nafsu mereka dalam memaknainya.
2. Adanya ayat muhkamat sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia dikarenakan ayat-
ayatnya yang jelas dan tegas.
3. Akal sebagai anggota badan yang paling mulia, diberi cobaan untuk mengimani dan
meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat mutasyabihat merupakan sarana bagi
penundukan akal untuk menghambakan diri pada Allah karena ketidakmampuannya dalam
mengungkap kandungan maknanya.
4. Ayat mutasyabihat bis amenjadi sugesti bagi setiap insan muslim untuk selalu
mempelajari dan menggali isi kandungan Al-Quran dengan sungguh-sungguh dan teliti.
5. Adanya ayat muhkamat memudahkan manusia untuk menghayatinya lalu diamalkan.
Disisi lain adanya ayat mutasyabihat mendorong manusia untuk senantiasa
mengoptimalkan akalnya dalam memahami ayat-ayat itu dengan bantuan dalil-dalil Al-
Quran maupun hadits yang ada.
6. Adanya ayat muhkamat dan mutasyabihat sebagai bukti kemukjizatan Al-Quran yang
memiliki nilai dan mutu sastra yang tinggi, dengan demikian manusia akan yakin bahwa ia
bukanlah produk Muhammad atau manusia lain.
Adanya muhkamat dan mutasyabihat mengindikasiakan bahwa kemahakuasaan
Allah dan pengetahuan Allah Ia Maha Tahu dan Kuasa, ‘ilmu dan qudrah-Nya tidak
terjangklau oleh akal pikiran manusia yang sangat terbatas. Selain itu, hal ini menjadi
tanda kelemahan, ketidakmampuan dan keterbatasan manusia. Selayaknya, manusia
7
Rosihon Anwar dan Maman Abd. Djaliel, Ulum Al-Quran,(Bandung:CV Pustaka Setia ,2008), hlm.134-135
15
menyadari akan hal ini, sehingga dengan berbagai upaya ia kan berusaha menundukkan
dan menyerahkan badan dan akal pikirannya hanya kepada Allah.8
8
Journal. Staihubbulwathan.id/index.php/alishlah/article/view/21
16
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Muhkam adalah ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak
menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang
maknanya belum jelas. Setiap ulama’ berbeda pendapat dalam hal memahami ayat-ayat
mutasyabih, yaitu antara bisa tidaknya manusia memahami/memaknai ayat-ayat
mutasyabihat.
Terdapat juga hikmah adanya ayat-ayat muhkamah dan mutasyabihat yang secara
garis besar masuk pada tataran pemahaman dan penggunaan logika dan akal.
3.2 Saran
Dalam memahami ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat, tentunya akan
menemui perbedaan antara ulama’ satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, sebagai
mahasiswa tidak sepantasnya saling salah menyalahkan pendapat satu dengan yang lainnya.
Karena setiap pendapat yang disampaikan oleh para ulam’ tentunya memiliki dasar, akan
tetapi kita harus lebih bijak dalam memilih mana yang baik dan menagatasiperbedaan.
17
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Rosihon, Djaliel Abd. Maman, Ulum Al-Quran,(Bandung:CV Pustaka Setia ,2008)
Syaih Manna AL-Qathtthan, Aunur Rafiq L. Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, (Jakarta : Pustaka
Alkautsar,2013)
Tedi Ruhiat,Zenal Mutaqin & Chandra Kurniawan” Ringkasan tafsir ibnu katsir bersumber dari
mukhtashar tafsir ibnu katsir karya syaikh Muhammad Ali ash-shabuni dan Asbabun Nuzul karya imam
jalaluddin as-suyuti”(Bandung:Jabal,2013)hlm.176
Journal. Staihubbulwathan.id/index.php/alishlah/article/view/21
18
19