Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

USHUL FIQH II

WADHIH AL-DILALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur dalam mata kuliah Ushul Fiqh II

DISUSUN OLEH KELOMPOK III :

1. FERAWATI. S : 1219039
2. ABDURRAHMAN HANIF : 1219045

DOSEN PEMBIMBING : BASRI NA’ALI, LC, M.Ag

HUKUM EKONOMI SYARIAH (HES-B)

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) BUKITTINGGI

2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyusun makalah Ushul Fiqh II yang membahas tentang Wadhih Al-Dilalah.

Sholawat dan salam semoga senatiasa dihanturkan kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW, para sahabat dan pengikutnya sampai hari kiamat.

Tentunya dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik
disengaja ataupun tak disengaja. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk
menimalisir kekurangan tersebut.

Semoga dengan adanya kritik dan saran dari teman-teman dapat bermanfaat dan
menjadi pedoman bagi penulis dalam penyusunan makalah ini karena segala kelebihan
hanyalah milik Allah dan kekurangan milik hambanya.

Maninjau, 9 Oktober 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................2

DAFTAR ISI...........................................................................................................3

BAB I PEMBAHASAN

A. Latar Belakang.......................................................................................4
B. Rumusan Masalah..................................................................................4
C. Tujuan Masalah......................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Wadhih al-dilalah.................................................................5


B. Tingkatan Wadhih al-dilalah..................................................................5

BAB III PENUTUP..............................................................................................13

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Al-Qur’an adalah kitab agung yang dikaruniakan Allah sebagai pedoman
ummat Islam di muka bumi ini. Begitu juga dengan hadits, sebagai penjelas dari
bentuk Al-Quran yang masih bersifat global. Maka, perlunya memahami nas-nash
yang terkandung di dalamnya sebagai peninjau hukum bagi kehidupan kita.
Fuqaha’ menyebutkan,”Min aladzdzil fiqh fahmu istid-laalaat an-nusuush.”,
bahwa termasuk dari nikmatnya ilmu fiqih adalah memahami dalil-dalil nash. Oleh
sebab itu, besarnya perhatian ulama’ dalam memahami beberapa kaidah, diantaranya
Kaidah Ushuliyyah dan Kaidah Fiqhiyyah, sehingga dapat meganalisa dan memahami
dalil-dalil nash yang ada, sehingga menjadi sesuatu yang sangat urgen di kalangan
para ulama’ dalam memahami hukum fiqh.
Wadhihud adalah dari nash, yaitu apa yang menunjukkan maksudnya dengan
sighat itu sendiri, tanpa dimasuki oleh urusan luar. Dilalah adalah pola lafal dalam
menunjukkan maknanya.
Menurut Abd al-Wahhab Khallaf, kelompok ini bagi menjadi empat bagian
yang secara berurutan dimulai dari yang memiliki tingkat kejelasannya terendah
sampai yang tertinggi, yaitu zahir, al-nash, al-muffassar, dan muhkam.
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari Wadhih al-dilalah?
b. Jelaskan Tingkatan Wadhih al-dilalah?
C. Tujuan Masalah
a. Untuk mengetahui pengertian dari Wadhih al-dilalah
b. Untuk mengetahui penjelasan dari masing-masing tingkatan Wadhih al-dilalah

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wadhih al-dilalah


Wadhih ad- Dilalah menurut ahli ushul adalah suatu nash atau lafadz yang
jelas dan menunjukkan arti yang dimaksud dengan bentuknya sendiri tanpa
bergantung kepada faktor eksternal.1
Dilalah adalah pola lafal dalam menunjukkan maknanya. Kalau kita membaca
ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi SAW, akan mendapatkan berbagai pola atau
gaya kalimat yang digunakan keduanya dalam menunjukkan maknanya; ada yang
menunjukkan manknanya secara langsung dan jelas, dan pula yang tidak secara
langsung atau samar-samar. Secara garis besar, para ulama fiqih mengelompokkan
dalil-dalil dalam pola penunjukkan maknanya menjai dua kelompok, yaitu dalil-dali
yang jelas dan dalil-dali yang tidak jelas.2
Hukum dari pada wadhih ad-dalalah adalah seluruh nash yang terdapat
pada wadhih ad-dalalah wajib diamalkan dengan apa yang terdapat di dalam
istilah wadhih ad-dalalah. Meskipun begitu, nash-nash tersebut tidak sah untuk
ditakwil kecuali dengan dalil yang sah.3

B. Tingkatan Wadhih al-dilalah


Menurut Abd al-Wahhab Khallaf, kelompok ini bagi menjadi empat bagian
yang secara berurutan dimulai dari yang memiliki tingkat kejelasannya terendah
sampai yang tertinggi, yaitu zahir, al-nash, al-muffassar, dan muhkam.
1. Dzahir/ Zahir
a) Pengertian
Dzahir adalah yang paling rendah dalam tingkatan
kekuatan dalalahnya. Dzahir secara bahasa, diambil dari kata dzuhuur, yang
berarti nampak dan tersingkap. Menurut madzhab Hanafiyah, dzahir adalah
ungkapan yang menunjukkan makna yang jelas. Akan tetapi, makna asli
dari sebuah lafadz tersebut bukanlah yang dimaksud (secara syari’at).

1
Wahbah Az-Zuhaily, Al- Wajiz fii Ushuul al- Fiqh, (Damaskus: Darul Fikr. Cet: 2. 1419 H/1999 M) hlm.
175
2
Abdul Mughitd, ushul fikih bagi pemula (Jakarta: CV Artha Rivera, 2008), hlm.101
3
Abdullah bin Yusuf Al-Judai’, Taisir Ushuul al-Fiqh (Beirut: Muassasah Ar- Royaan. Cet: 1. 1418
H), hlm.293

5
Sedangkan menurut Ushuliyyiin, ialah sesuatu yang menunjukkan arti
yang dimaksud dari lafadz tersebut dengan bentuk lafadznya sendiri tanpa
bergantung kepada faktor eksternal. Namun, bukan berarti memiliki makna
asli dari bentuknya sendiri atau memiliki kemungkinan untuk ditakwil.
Dengan kata lain, dzahir adalah lafadz yang dapat dipahami oleh akal, akan
tetapi memungkinkan untuk bisa ditakwil.4 Misalnya:

ِ ِ ِ
َ ْ َ‫﴿فاَنكْح ُوا ماَ طاَب لَ َك ُم ْم ِن اَلنِّساَء مث‬
‫]؛‬3 :‫ن وثَُُلث َوَرُُبَع َ﴾[النساء‬

“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga,


atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja....” (QS. An Nisaa’ : 3)
Secara dzahir, adalah kebolehan untuk menikah. Akan tetapi, makna
yang diminta bukanlah dari segi susunan kalimat di atas, melainkan
susunan kalimat di atas untuk menjelaskan bolehnya melakukan poligami.
Begitu juga dengan sabda Rasulullah, ketika ditanya oleh sahabatnya
mengenai kesucian air laut. Secara dzahir, menjelaskan mengenai hukum
bangkai laut. Akan tetapi, yang dimaksud bukanlah dari bentuk asli dari
lafadz tersebut, melainkan kepada kesucian air laut. Karena yang
dititikberatkan adalah mengenai kesucian air laut, bukan kehalalan dari
bangkai tersebut. Hadits Abu Hurairah r.a., ia berkata: “Seorang lelaki
bertanya kepada Nabi s.a.w., : Wahai Rasulullah, kami sedang berlayar di
laut, akan tetapi bekal (persediaan) air yang kami bawa hanya sedikit.
Apabila kami berwudhu dengannya, bisa jadi kami akan kehausan lantaran
air tersebut habis. Haruskan kami berwudhu dengan air laut?, kemudian
Rasulullah bersabda: Airnya suci, dan bangkainya halal.” (Hadits
ini shahih yang dikeluarkan oleh Ash-habus Sunan).5
Firman Ta’alaa: QS. Al-Baqarah: 275
ِّ َ ‫وأ َ َحل َللاه ال ْب َي َع َو َحر َم ا‬....
... َ ‫لربا‬
“...padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba...”
(QS. Al-Baqarah (2): 275).
Secara dzahir, ialah dihalalkannya jual beli dan diharamkannya
riba. Karena makna tersebut jelas dan mudah dipahami secara langsung

4
Abdul Mughitd, Op.Cit, hlm. 103
5
Abdul Karim Zaidan. Al-Wajiiz fie Ushuulil Fiqh. (Beirut: Muassasah Ar-Risalah. 1987 M) hlm. 339

6
dari dua bentuk kalimat ahalla dan harrama, tanpa disertai
kepada qarinah dari jalur eksternal. Akan tetapi, ini bukanlah makna asli
dari bentuk lafadz ayat tersebut, karena maksud asli meniadakan kesamaan
antara jual beli dan riba, serta membantah orang-orang yang mengatakan
bahwasanya jual beli itu seperti riba.6

b) Hukum Dzahir
Hukum dzahir, seperti yang dipaparkan di dalam kitab Al-Qawaa’iid
Al-Ushuuliyyah ‘inda Asy-Syathiby, adalah wajibnya menunaikan makna
lafadz tersebut secara bahasa, qath’iy dan yakin dengan menggunakan
makna yang mudah dipahami secara langsung, karena lafadz tersebut
seperti yang dikehendaki syari’at. Maka harus ditunaikan, dan termasuk
hujjah. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan memalingkan makna tersebut
kepada makna selainnya.7
Abdul Kariim Zaidan di dalam kitabnya, Al-Wajiz fie Ushuulil
Fiqh,manambahkan hukum dzahir dengan diterimanya naskh di dalam
lafadz dzahir hanya pada masa Rasuullah s.a.w., karena naskh tidak terjadi
pada sepeningal beliau s.a.w.[11]
Seperti ditakwilnya sebuah lafadz yang dzahir, dari makna
umum yang mengandung ihtimal untuk ditakhsis, firman Allah QS. Al-
Baqarah: 275
ِّ َ ‫ وأ َ َحل َللاه ال ْبيَ َع َو َحر َم ا‬...
....َ ‫لربا‬
Artinya: “...padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba...” (QS. Al-Baqarah (2): 275).
Makna zahir ayat itu bahwa hukum jual beli adalah mubah, sedangkan
hukum riba adalah haram. Makna sekunder (taba’),bukan makna asalnya.
Makna asalnya adalah “ jual beli dan riba itu berbeda “. Setiap orang wajib
mengamalkan dalil ini sesudai dengan makna zahir-nya, selama tidak dalil
lain yang memiliki derajat sama atau lebih kuat yang menghendaki makna
selain makna zahir.8

6
Abdul Mughitd, Loc. Cit.
7
Al-Jilaly Al-Mariniy, Al- Qawaa’iid Al-Ushuuliyyah ‘inda Asy-Syatibi, (Kairo: Daar Ibnu ‘Affan. Cet: 1. 1433
H) hlm.396-397
8
Abdul Karim Zaidan, Op.Cit, hlm. 340

7
Disamping riba (yang masih bersifat umum), Rasuullah s.a.w.,
melarang pula segala transaksi yang berbau riba, misalnya jual beli gharar
dan jual beli yang tidak sesuai dengan kebiasaan manusia, pada umumnya.

2. An- Nash
a. Pengertian
Nash menurut bahasa, adalah munculnya segala sesuatu yang tampak. Secara
istilah, sesuatu yang menunjukkan makna yang dimaksud secara asli dari susunan
kalimatnya melalui bentuk lafadznya sendiri, Nas juga disebut lafal dengan
sendirinya telah menunjukkan makna pokok nya, tetapi masih menerima takwil
dan naskh pada masa Nabi SAW. Makna asalah adalah makna yang dapat
ditangkap dari pembacaan secra sekilas dari suatu kalimat, dengan tanpa
melibatkan aspek-aspek lain. Hukum nas sama dalil zahir. Artinya, lafal tersebut
wajib diamalkan sesuai dengan bunyi nas-nya. Contoh adalah firman Allah SWT:
ِّ َ‫وأَ َحل َللاه ال ْب َي َع َو َحر َم ا‬....
... َ ‫لربا‬
“...padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba...”
(QS. Al-Baqarah (2): 275).
Makna asalah dalil tersebu adalah bahwa jual beli dan riba itu berbeda.
Keterengan ini sebagai bantahan terhadap anggapan orang yahudi yang
menyatakan bahwa jual beli sama dengan riba, sebagaiman disebutkan pada
potongan ayat sebelumnya.9
b. Hukum Nash
Hukum nash seperti hukum dzahir, yaitu wajib menggunakan dalil
tersebut yang mudah dipahami maknanya secara langsung, baik yang dimaksud
secara dzat maupun asli. Akan tetapi, apabila nash tersebut berupa lafadz yang
khusus, maka mengandung makna untuk ditakwil, dan apabila nash tersebut
berupa lafadz yang umum, maka lafadz tersebut mengandung makna untuk
ditakhshish.10
Perbedaan dzahir dan nash
- Dalalah nash lebih jelas dibanding dzahir bila ditinjau dari segi
maknanya

9
Abdul Mughitd, Op.Cit, hlm. 104
10
wahbah az-Zuhaily, Op. Cit. Hlm.177

8
- Makna nash ialah makna yang asli dari susunan kalimatnya.
Sedangkan makna dzahir ialah makna yang mengikuti, bukan asli dari susunan
kalimatnya.
- Kandungan ihtimal untuk ditakwil pada nash lebih jauh dari
pada ihtimal dzahir untuk ditakwil.
- Bilamana terjadi pertentangan antara nash dengan dzahir, maka yang
dikuatkan adalah nash daripada dzahir11
3. Mufassar
a. Pengertian
menurut istilah ulama ushul fikih, muhkam ialah suatu lafal yang dengan
sendirinya menunjukkan maknanya secara jelas, tidak menerima pembatalan dan
penggantian, dan tidak mengandung takwil sama sekali, atau tidak menghendaki
arti lain yang bukan arti aslinya. Selain itu, juga tidak menerima penghapusan
(naskh, baik pada kenabian Muhammad SAW maupun sesudahnya. Pada
umumnya, dalil-dalil jenis ini menjelaskan kaidah-kaidah agama yang bersifat
asasi (fudemental) dan tidak dapat menerima penghapusan, seperti keimanan
kepada Allah, para rasul, dan kitab-Nya. Muhkam terdiri ats prinsip-prinsip
keutamaan yang tidak akan berubah lantaran perubahan situasi, seperti berbakti
kepada orang tua dan berbuat adil.12
Mufassar, lebih tinggi tingkatannya dari pada nash, karena tidak ada lagi
kemungkinan adanya takwil. Akan tetapi, mengandung kemungkinan untuk
dinaskh hanya pada masa Rasulullah s.a.w. Imam As-Sarakhsy menjelaskan di
dalam kitabnya, Ushuul As-Sarakhsy, bahwa mufassar adalah lafazh yang
menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk yang tegas dan jelas, sehingga
petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil atau ditakhsis, namun pada masa
Rasullullah masih bisa dinasakh.
Mufassar terbagi menjadi dua, yaitu mufassar bi nafsihi dan mufassar
bi ghairihi. Mufassar bi nafsihi, secara langsung dari nash itu sendiri. Seperti
firman Allah,
ً ‫سانَ هخلقَ َهله ْو‬
‫عا‬ َ ‫إن اإل ْن‬

11
Khalid Ramadhan Hasan. Mu’jam Ushuul Al-Fiqh. (t.t: Ar-Raudhah. Cet: 1. 1998 M) hl. 312
12
Abdul Mughitd, Op.Cit, hlm. 10

9
Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan dalam kedaan mengeluh.” (al-
ma’arij:19)
Lafadz ‫ َهلُ ْوعًا‬menjelaskan secara global dan sudah Allah tafsirkan
secara qath’iy. Dan firman Allah Ta’alaa mengenai hadd zina, QS. An-Nuur: 2
ً ‫فَاجْ لد ْهوا هكل َواحد م ْن هه َما مائَةه َج ْل َدة‬
Artinya: “…maka cambuklah masing-masing dari keduanya seratus kali
cambuk…”
Kemudian dijelaskan pula di dalam hadd qadzaf,
ً ‫فَاجْ لد ْهو هه ْم ثَ َمانين َج ْلدَة‬
Artinya: “ Maka cambuklah mereka sebanyak delapan puluh kali.”( QS. An-
Nuur: 4)
Lafadz ُ‫ مِ ائَة‬dan ‫ ثَ َمان ِين‬adalah mufassar, karena masing-masing dari lafadz
tersebut menunjukkan jumlah tetentu. Dan jumlah yang sudah ditetapkan di
dalam syariat tidak dapat menarik kemungkinan untuk ditambah ataupun
dikurangi. 13
Sedangkan mufassar bi ghairihi, menjelaskan arti yang terkait dengan
sumber nash tersebut, seperti sunnah qauliyyah maupun fi’liyyah yang
menjelaskan nah yang masih bersifat mujmal di dalam Al-Qur’an. Contohnya:
sholat, haji, dan semisalnya.
Untuk membedakan dalalah dzahir, nash dan mufassar dengan melihat
bahwa dalalah dzahir dan nash masih memerlukan ihtimal takwil dan takhsis,
sedangkan mufassar sendiri sama sekali tidak membutuhkan ihtimal.
b. Hukum Mufassar
Wajib mengggunakan dalil tersebut secara qath’iy sebagaimana yang
telah terperinci, sebab tidak ada lagi ihtimal untuk ditakwil dan selamanya tidak
bisa menerima naskh. Namun, ada kemungkinan untuk dinaskh apabila lafadz
tersebut berupa hukum far’i yang meminta adanya perubahan14.Dengan begitu,
lafadz mufassar tidak bisa diartikan secara dzahir maupun nash secara langsung,
sebab tidak menerima takwil maupun takhsis.

13
wahbah az-Zuhaily, Op. Cit. Hlm.178
14
Ibid. Hlm.179

10
4. Muhkam
a. pengertian
Secara bahasa, muhkam ialah isim maf’ul dari ‫ أ َ ْحك ََم‬yang
berarti َ‫( أَتْقَن‬meyakinkan).
Menurut As-Sarakhsi, muhkam adalah menolak adanya takwil dan
naskh. Menurut Ushuliyyin, ialah menunjukkan makna dalalah yang jelas (tegas)
dan tidak dapat menerima takwil (takhsis dan naskh) pada masa Rasulullah s.a.w.,
dan pada masa setelah berhenti turun wahyu.
Muhammad Khudhari Bek, di dalam kitabnya, Ushuul Al-
Fiqh mengatakan bahwa muhkam adalah lafadz yang jelas dalalahnya dari segi
maknanya secara wadh’iy tanpa ada kemungkinan (ihtimal) terhadap sesuatu.
Dikarenakan nash-nash tersebut sangat berkaitan erat dengan pokok
aqidah yang tidak dapat menerima perubahan, seperti pokok rukun iman dan
perintah berbuat baik terhadap kedua orangtua dan sesama manusia, serta
menyambung silaturrahim. Disamping itu, diharamkan berbuat sesuatu yang
dapat mendatangkan dampak buruk, seperti berbuat dzalim dan saling
bermusuhan. Atau berupa hukum far’i yang bersifat juz’iy, yang dijelaskan oleh
syariat berdasarkan ketetapannya dan kesinambungannya. Sebagaiman hadits
tentang isra’ mi’raj, atas diwajibkannya shalat lima waktu.15
Seperti firman Allah Ta’alaa yang sangat jelas mengenai hukuman
bagi penuduh ketika tidak dapat mendatangkan empat orang saksi:
...‫ش َها َدة ً أَ َبدًا‬
َ ‫ َولَ تَ ْق َبله ْوا لَ هه ْم‬...
Artinya: “Dan janganlah kamu menerima kesaksiaan mereka selama-
lamanya.” (QS. An Nuur : 4)
Kalimat larangan ini disertai dengan lafadz ‫ أ َ َبدًا‬, hal ini menunjukkan
dalil muhkam yang tidak dapat dinaskh.
b. Hukum Muhkam
Wajib menggunakan dalil tersebut secara qath’iy tanpa ada keraguan,
karena tidak mengandung makna selainnya dan tidak menerima adanya
perubahan secara mutlak, sama halnya seperti pada masa Rasulullah s.a.w., atau
setelahnya. Karena, adanya hukum yang tertera di dalam Al-Quran dan As-

15
Muhammad Khudhari Bek,. Ushuul Al-Fiqh. (Mesir: Maktabah At-Tijariyyah Al- Kubro. Cet: 6. 1389
H/1969 M) hlm.129

11
Sunnah sudah menjadi ketetapan mutlak sepeninggal Rasulullah s.a.w., tanpa
adanya naskh.16

16
wahbah az-Zuhaily, Op. Cit. Hlm.179

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Wadhih ad- Dilalah menurut ahli ushul adalah suatu nash atau
lafadz yang jelas dan menunjukkan arti yang dimaksud dengan bentuknya
sendiri tanpa bergantung kepada faktor eksternal. Dilalah adalah pola lafal
dalam menunjukkan maknanya.
Menurut Abd al-Wahhab Khallaf, kelompok ini bagi menjadi
empat bagian yang secara berurutan dimulai dari yang memiliki tingkat
kejelasannya terendah sampai yang tertinggi, yaitu :
Zahir, adalahl afal yang dengan bentuk kalimatnya sudah menunjukkan
maknanya, tanpa bergantung kepada aspek eksternal. Tetapi makna
tersebut bukan mkana asal (asalah)nya, melainkan makna sekundernya
al-nash, disebut lafal dengan sendirinya telah menunjukkan makna pokok
nya, tetapi masih menerima takwil dan naskh pada masa Nabi SAW.
al-muffassar, ialah lafal yang dengan sendirinya dapat menunjukkan
maknanya secara jelas dan terperinci, hingga tidak menerima takwil lagi.
muhkam, muhkam ialah suatu lafal yang dengan sendirinya menunjukkan
maknanya secara jelas, tidak menerima pembatalan dan penggantian, dan
tidak mengandung takwil sama sekali, atau tidak menghendaki arti lain
yang bukan arti aslinya.
B. Saran

Kami selaku insan biasa tidak luput dari kesalahan, dan masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah, oleh karena itu saran dan masukkan
dari kawan-kawan akan sangat membantu dalam penyempurnaan makalah
ini. Dengan makalah ini diharapkan, bagi pembaca dapat memahami arti
Wadhih ad- Dilalah dan tingkatanya

13
DAFTAR PUSTAKA

Az-Zuhaily, Wahbah. 1999 Al- Wajiz fii Ushuul al- Fiqh, Damaskus: Darul Fikr. Cet: 2.
Mughitd, Abdul. 2008, ushul fikih bagi pemula, Jakarta: CV Artha Rivera.
Yusuf, Abdullah bin. 1418, Taisir Ushuul al-Fiqh, Beirut: Muassasah Ar- Royaan. Cet: 1.
Zaidan, Abdul Karim. 1987, Al-Wajiiz fie Ushuulil Fiqh. Beirut: Muassasah Ar-Risalah.
Al-Mariniy, Al-Jilaly, 1433, Al- Qawaa’iid Al-Ushuuliyyah ‘inda Asy-Syatibi, Kairo: Daar
Ibnu ‘Affan. Cet: 1.
Hasan, Khalid Ramadhan. 1998 Mu’jam Ushuul Al-Fiqh. t.t: Ar-Raudhah. Cet: 1. M
Khudhari Bek, Muhammad.1969, Ushuul Al-Fiqh. (Mesir: Maktabah At-Tijariyyah Al-
Kubro. Cet: 6.

14

Anda mungkin juga menyukai