Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH FIQH USHUL FIQH

“RUANG LINGKUP IJTIHAD”


Dosen Pengampu : Nunung Susfita, M.S.I

Disusun Oleh Kelompok 8/1C :

HIZBU MAULANA HIDAYAT (230202068)


MUHAMMAD KHOIRULLOH (230202075)
MAULANA HIDAYAT (230202080)
MUHAMMAD ANGGI PUTRA (230202082)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2023

i
`

KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan atas Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan kita berbagai nikmat kehidupan, sehingga kita bisa melakukan
aktivitas-aktivitas kehidupan sebagaimana mestinya. Semoga dengan ucapan
syukur yang telah kita panjatkan Tuhan senantiasa memberikan kita berbagai
kenikmatan dan memudahkan segala urusan kita.
Terimakasih kami ucapkan kepada dosen mata kulilah Fiqh dan Ushul
Fiqh Ibu Nunung Susfita, M.S.I yang telah membmerikan tugas ini sehinga dapat
terselesaikan dalam kurun waktu sesuai ketentuan.
Demikianlah penyususanan makalah ini, semoga dengan adanya makalah
ini dapat memberikan pengetahuan tentang “Ruang Lingkup Metode Ijtihad”
kepada para pembaca. Jika terdapat kesalahan atau kekeliruan innformasi dalam
makalah ini, kami mohon maaf sebesar-besarnya dan diharapkan menyampaikan
kritik serta saran terhadap makalah ini sebagaimana semestinya.

Mataram, 01 November 2023

Penyusun
Kelompok 8

ii
`

DAFTAR ISI
COVER .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3
2.1 Pengertian Ijtihad ................................................................................. 3
2.2 Dasar Hukum Metode Ijtihad................................................................ 4
2.3 Syarat-syarat Mujtahid Dan Ijtihad ....................................................... 4
A. Syarat-syarat Mujtahid ..................................................................... 5
B. Syarat-syarat Ijtihad ......................................................................... 6
2.4 Tingkatan Mujtahid .............................................................................. 7
2.5 Objek Ijtihad ........................................................................................ 7
2.6 Metode Ijtihad ..................................................................................... 8
2.7 Contoh Kasus Ijtihad ............................................................................ 9
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 12
3.1 Kesimpulan .......................................................................................... 12
3.2 Saran .................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 13

iii
`

BAB I
PENDAHULLUAN
1.1 Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman
Rasulullah SAW. hingga dalam perkembangannya ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in
hingga masa-masa selanjutnya sampai sekarang. Meskipun pada periode tertentu ijtihad tidak
diperbolehkan, tetapi pada masa-masa tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad
mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah keharusan untuk
menanggapi tantangan kehidupan yang problematikanya semakin kompleks.
Saat ini banyak ditemui perbedaan-perbedaan mazhab dalam hukum islam yang itu
disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan islam kontemporer seperti islam liberal,
fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil
ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang
terbaik. Justru dengan ijtihad, islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala
hal lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat islam menjadi “tidak bisu”
dalam menghadapi problekamtika kehidupan yang semakin kompleks.
Sesungguhnya ijtihad adalah salah satu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui
dalil-dalil agama yaitu Al-Qur’an dan hadis dengan jalan istinbat. Adapun mujtahid itu ialah
ahli fiqh yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kemampuannya untuk memperoleh
suatu hukum tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, bahwa rumusan dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Apa pengertian ijtihad?
2. Apa dasar hukum metode ijtihad
3. Apa saja syarat-syarat mujtahid dan ijtihad?
4. Apa saja tingkatan mujtahid?
5. Apa saja objek ijtihad?
6. Apa saja metode ijtihad?
7. Apa contoh kasus ijtihad dan metode apa yang digunakan dalam berijtihad dalam
kasus tersebut?

1.3 Tujuan Penulisan

1
`

Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk
mengetahui:

1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad


2. Untuk mengetahui dasar hukum ijtihad
3. Untuk mengetehui syarat-syarat mujtahid dan ijtihad
4. Untuk mengetahui tingkatan mujtahid
5. Untuk mengetahui objek ijtihad
6. Untuk mengetahui metode ijtihad
7. Untuk mengetahui contoh kasus ijtihad dan metode yang digunakan dalam
berijtihad dalam kasus tersebut.

2
`

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Ijtihad
Ijtihad dalam arti yang luas memilik makna yakni mengerahakan segala usaha dan
kemampuan untuk mendapatkan sesuatu yang diharapakan. 1 Sedangkan secara etimologi,
kata ijtihad berasal dari kata jahada. Dalam kata jahada ini ada dua bentuk mashdar yang
dapat terbentuk, yaitu: pertama, kata jahad yang berarti kesungguhan. Arti ini sejalan dengan
firman Allah SWT:

‫ٱَّلل َج ْه َد أ َ ْي َٰ َمنِ ِه ْم‬ ۟ ‫س ُم‬


ِ ‫وا بِ ه‬ َ ‫َوأ َ ْق‬
Artinya: Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan.
(Q.S Al-An’am [06]: 109)

Lalu yang kedua dari kata jahadaa ini dapat terbentuk kata juhd yang berarti adanya
kemampuan yang didalamnya terkandung makan sulit, berat, dan susah. Pengertian juhd ini
juga sejalan dengan firman Allah:

‫س ِخ َر‬ َ ۙ ‫س َخ ُرونَ ِم ْن ُه ْم‬ ِ َ‫ص َد َٰق‬


ْ َ‫ت َوٱله ِذينَ ََل يَ ِج ُدونَ إِ هَل ُج ْه َدهُ ْم فَي‬ ‫ٱله ِذينَ يَ ْل ِم ُزونَ ٱ ْل ُم ه‬
‫ط ِو ِعينَ ِمنَ ٱ ْل ُم ْؤ ِمنِينَ فِى ٱل ه‬
ٌ‫اب أ َ ِليم‬
ٌ َ ‫عذ‬ َ ‫ٱَّللُ ِم ْن ُه ْم َولَ ُه ْم‬
‫ه‬
(Q.S At-Taubah [09]: 79)

Artinya: Orang-orang (munafik) yang mencela orang-orang mukmin yang memberi


sedekah dengan sukarela dan (mencela) oroang-orang yang tidak memperoleh (untuk
disedekahkan) kecuali sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina
mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.

Perubahan kata dari kata jahada menjadi ijtihad ini memiliki beberapa arti,
diantaranya adalah lil-mubalaghah, yaitu menunjuk penekanan arti. Jadi, dari kedua bentuk
masdhar dari kata jahada tersebut memiliki makna kesungguhan atau kemampuan yang
maksimum. 2

1
Ahmad Dzazuli, Ilmu Fiqih (Jakarta: Kencana Prenademedia Group, 2013), hal 71
2
Abdurrahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2014), hal 339

3
`

2.2 Dasar Hukum Ijtihad


Sebagai salah satu dasar penetapan hukum syara’, keberadaan ijtihad didukung oleh
banyak dalil, baik dalam ayat Al-Qur’an maupun hadist nabi, baik secara langsung maupun
tidak langsung yang mendukungnya. Allah berfirman:

‫عت ُ ْم فِى ش َْىءٍ فَ ُردُّوهُ إِ َلى ه‬


ِ‫ٱَّلل‬ ْ ‫ٱلرسُو َل َوأ ُ ۟و ِلى ْٱْل َ ْم ِر ِمنكُ ْم ۖ فَ ِإن ت َ َٰنَ َز‬ ۟ ُ‫ٱَّلل َوأ َ ِطيع‬
‫وا ه‬ َ ‫وا ه‬۟ ُ‫َٰيََٰٓأَيُّهَا ٱله ِذينَ َءا َمنُ َٰٓو ۟ا أ َ ِطيع‬
ً ‫سنُ تَأ ْ ِو‬ َٰ ِ ‫وٱلرسول إن كُنتُم ت ُْؤ ِمنُونَ بٱَّلل وٱ ْليَوم ٱ ْلء‬
‫يل‬ َ ْ‫اخ ِر ۚ ذَ ِلكَ َخي ٌْر َوأَح‬ َ ِ ْ َ ِ‫ِ ه‬ ْ ِ ِ ُ ‫َ ه‬

)59 :]04[ Q.S An-Nisa(

Artinya: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang
Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.

Dalam kandungan ayat di atas terdapat perintah untuk mengembalikan segala


sesuatu yang diperselisihkan kepada Allah yang bersumber pada al-Qur’an dan kepada
Rasul-Nya yang bersumber pada sunnah. Hal ini menunjukkan bahwa perintah berijtihad
tidak dengan menggunakan hawa nafsu akan tetapi dengan menjadikan Al-Qur’an dan
hadist Nabi SAW, sebagai sumbernya. Cara yang ditempuh tentulah dengan cara berijtihad
memahami kandungan makna dan prinsip-prinsip hukum yang terdapat pada ayat-ayat
Alquran dan hadis, kemudian menerapkan makna dan prinsip tersebut pada persoalan yang
sedang dihadapi bersama.
Adapun landasan ijtihad yang berasal dari hadis, misalnya, riwayat yang
menceritakan dialog antara Rasulullah SAW, dan Mu'az bin Jabal ketika Rasulullah SAW,
mengutus Mu'az ke Yaman, sebagaimana disebutkan terdahulu. Demikian juga hadis
riwayat Abu Hurairah yang berbunyi:

َ ‫سله َم إِذَا َح َك َم ا ْلحَا ِك ُم فَاجْ ت َ َه َد فَأَص‬


‫َاب فَلَهُ أجزا ٍن َوإِذَا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫عن أبي هريرة قال قَا َل َرسُو ُل هللا‬
َ ُ‫صلهى هللا‬
‫طأ َ فَلَهُ أَجْر‬
َ ‫اجْ ت َ َه َد فَأ َ ْخ‬
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah SAW, bersabda: "Jika seorang
hakim hendak memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad dan ijtihadnya benar, maka
ia mendapat dua pahala. Tetapi jika ia berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia
mendapat satu pahala".

2.3 Syarat-Syarat Mujtahid dan Ijtihad


A. Syarat-syarat Mujtahid

4
`

Orang yang melakukan ijtihad itu disebut mujtahid. Adapun syarat-syarat untuk
menjadi mujtahid, antara lain 3:
1. Mengetahui makna ayat-ayat ahkam dalam Al-Qur’an baik secara bahasa
maupun secara istilah syara’. Ayat-ayat ini tidak perlu dihafal hanya cukup
mengetahui tempat ayat-ayat ini berada sehingga mudah untuk mencarinya
ketika dibutuhkan. Menurut Al-Ghazali, al-Razi dan Ibn Arabi jumlah ayat-
ayat ahkam yang perlu dikuasai sekitar lima ratus ayat. Maksud ungkapan
“secara bahasa” di atas artinya mengetahui makna-makna mufrad dari suatu
lafaz dan maknanya dalam susunan kalimat.
2. Mengetahui hadist-hadist ahkam baik secara bahasa maupun secara istilah.
Tidak perlu dihafal sebagaimana Al-Qur’an. Menurut Ibn Arabi hadist ahkam
berjumlah 3.000 hadist, sedangkan menurut riwayat dari Ahmad Bin Hambal
1.200 hadist. Tetapi Wahbah Zuhaili tidak sependapat, menurutnya yang
terpenting mujtahid mengerti seluruh hadist-hadist hukum yang terdapat dalam
kitab-kitab besar seperti Sahih Bukhori, Muslim, dll.
3. Mengetahui Al-Qur’an dan hadist yang telah dinaskh dan mengetahui ayat dan
hadist yang menaskh. Tujuannya agar mujtahid tidak mengambil kesimpulan
dari nash (Al-Qur’an dan hadis) yang sudah tidak berlaku lagi.
4. Mengetahui sesuatu yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma’, sehingga ia
tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan ijma’.
5. Mengetahui qiyas dan sesuatu yang berhubungan dengan qiyas yang meliputi
rukun, syarat, illat hukum dan cara istinbatnya dari nash, maslahah manusia,
dan sumber syari’at secara keseluruhan. Pentingnya mengetahui qiyas karena
qiyas adalah metode ijtihad.
6. Menguasai bahasa Arab tentang nahwu, saraf, maani, bayan, dan uslub nya,
karena Al-Qur’an dan hadis itu berbahasa arab. Oleh karena itu, tidak
mungkin dapat mengistinbatkan hukum yang berdasar dari keduanya tanpa
menguasai bahasa keduanya.
7. Mengetahui ilmu ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah tiang ijtihad berupa
dalil-dalil secara terperinci yang menunjukkan hukum melalui cara tertentu
seperti amr, nahi, am, dan khas. Istinbat diharuskan untuk mengetahui cara-
cara ini dan semuanya itu ada dalam ilmu ushul fiqh.

3
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), hal 257

5
`

8. Mengetahui maqasid syari’ah dalam penetapan hukum, karena pemahaman


nash dan penerapannya dalam peristiwa bergantung kepada maqasid syari’ah.
Penunujukan suatu lafaz kepada maknanya mengandung beberapa
kemungkinan. Pengetahuan tenatang maqasid memberi keterangan untuk
memilih mana yang layak untuk difatwakan. Dan yang terpenting lagi dari
pengetahuan tentang maqasid adalah prinsip hukum dalam Al-Qur’an dan
sunnah dapat dikembangkan seperti dengan qiyas, istihsan, dan maslahah
mursalah.

B. Syarat-syarat Ijtihad

1. Masalah-masalah baru, yang hukumnya belum ditegaskan dalam Al-Qur’an


atau as-sunnah secara jelas.
2. Masalah-masalah baru, yang hukumnya belum di ijma’i oleh para ulama atau
aimmatul mujtahidin.
3. Nash-nash dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan.
4. Hukum islam yang ma’qulu I-ma’na/ta’aqquly (kausalitas hukumnya/illaynta
dapat diketahui mujtahid).

2.4 Tingkatan Mujtahid


Bedasarkan persyaratan mujtahid di atas, para ulama ushul fiqih telah mengklasifikasi
tingkatan seorang mujtahid sebagai berikut:4

1. Mujtahid al-mutlaq atau juga disebut mujtahid al-mustaqil yaitu seorang mujtahid
yang mampu menggali hukum-hukum syariat dari sumber pokok Al-Qur’an dan as-
Sunnah. Sedangkan metodologipenggali hukum yang ditempuhnya adalah metode
ijtihad secara mandiri tidak mengetahui usul al-istinbath yang lain.
2. Mujtahid al-muntasib atau juga disebut mujtahid gair al-mustaqil, yaitu seorang
mujtahid yang melakukan ijtihadnya degan memilih metodologi istinbath hukum
seorang imam mazhab mutlak, sekalipun dalam masalah furu’ ia berbeda dengan
gurnya.
3. Mujtahid mazhab ialah mujtahid yang mengikuti kepada imam mazhabnya, baik
dalam masalah ushul maupun furu’. Kalaupun dia melakukan ijtihad, ijtihad terbatas
dalam lingkup masalah yang ketentuan hukumnya tidak diperoleh dari imam mazhab

4
Yusrial, Fikih Munakahat dan Pemikiran Ikhtilaf Ibnu Rusyd dalam Kitab Bidayatul Mujtahid (Yogyakarta:
Bintang Semesta Media, 2023), hal 79

6
`

yang dianutnya. Dengan perkataan lain, mujtahid mazhab ini berijtihad hanya dalam
ruang lingkup mazhabnya. Khususnya terhadap kasus-kasus hukum yang belum
dibahas oleh imam mazhabnya.
4. Mujtahid al-murajjih ialah mujtahid yang melakukan tarjih diantara beberapa
pendapat mujtahid sebelumnya dengan tujuan untuk mengetahui pendapat mana yang
didukung oleh riwayat yang lebih sahih, atau pendapat mana yang didukug oleh dalil
dan argumen yang lebih kuat.

2.5 Objek Ijtihad


Ijtihad berlaku pada ayat atau hadis, dengan catatan bahwa nas tersebut masih bersifat
zhan bukan qat’i. Atau pada permasalahan yang belum hukumnya belum ada dalam nash.
Jadi ijtihad tidak berlaku pada masalah yang hukumnya sudah pasti (qat’i) seperti
mengeluarkan hukum wajib sholat, puasa, zakat, dan haji. Karena untuk melakukannya tidak
perlu usaha yang berat.5

Tidak boleh melakukan pada masalah yang sudah ada nasnya secara qat’i (jelas dan
tegas) serta tidak mengandung ta’wil didalamnya seperti ayat tentang keesaan Tuhan, ayat-
ayat tentang hudud (hukuman bagi pencuri, pelaku zina, hukuman membunuh, hukum qisas
dan sebagainya) dan ayat yang berbicara tentang hukum muamalat seperti hukum
perdagangan, riba, menggauili istri, dan etika kepada orang tua. Ayat-ayat diatas bukanlah
termasuk kedalam lapangan ijtihad karena nasnya sudah qat’i, yang menjadi lapangan ijtihad
adalah ayat-ayat atau hadis yang masih mengandung dugaan (zhan) atau belum jelas. Seperti
tentang membasuh kepala dalam wudhu, hukum mendengarkan music dan nyanyian, hukum
bersentuhan kulit antara ghairu mahram yang berwudhu, masalah keberadaan wali dalam
pernikahan, hukum membaca qunut dalam sholat subuh. Dan pada permasalahan yang sama
sekali hukumnya tidak ada dalam nash seperti hukum KB, bayi tabung, operasi plastic pada
tubuh manusia, alat kontrasepsi, bedah mayat, dan menggugurkan kandungan. Semua itu
adalah masalah yang hukumnya belum tegas (zhan), maka diperlukan ijtihad untuk
menetapkan hukumnya. 6

2.6 Metode Ijtihad


Untuk melakukan ijtihad, menurut Azhar Basyir ada beberapa cara yang dapat ditempuh
oleh seorang mujtahid. Cara-cara tersebut adalah:

5
Ibrahim Husen, Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1996), hal 123
6
Ibid., 124

7
`

1. Qiyas, dengan cara menyamakan hukum sesuatu dengan hukum lain yang sudah ada
hukumnya dikarenakan adanya persamaan sebab. Contoh mencium istri ketiak
berpuasa hukumnya tidak membatalkan puasa kareaan disamakan dengan berkumur-
kumur.
2. Maslaahah mursalah, yaitu menetapkan hukum yang sama sekali tidak ada nasnya
dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia yang bersendikan kepada
asas menarik menfaat dan menghindari mudharat, contoh mencatat pernikahan.
3. Istihsan, ialah memandang sesuatu lebih baik sesuai dengan tujuan syariat dan
meninggalkan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum. Contoh, boleh menjual
harta wakaf karena dengan menjualnya akan tercapai tujuan syariat yaitu membuat
sesuatu itu tidak mumbazir.
4. Istishab, ialah melangsungkan berlakunya ketentuan hukum yang ada sampai ada
ketentuan dalil yang mengubahnya. Contoh, segala makanan dan minuman yang tidak
ada dalil keharamannta maka hukumnya mubah.
5. Urf, ialah kebiasaan yang sudah mandarah daging dilakukan oleh suatu kemlompok
masyarakat. Ada dua macam urf. Pertma urf sahih, yaitu urf yang dapat diterima oleh
masyarakat luas, dibenarkan oleh akal sehat, membawa kebaikan dan sejalan dengan
prinsip nas. Contohnya, acara tahlilan, bagian harta gono-gini untuk istri yang
ditinggalkan suaminya. Kedua urf fasid, yaotu kebiasaan jelek yang merupakan lawan
urf sahih, contohnya kebiasaan meninggalkan shalat bagi seseorang yang sedang
menjadi penganting, mabuk-mabukan dalam acar resepsi pernikahan dan sebagainya.

2.7 Contoh Kasus Penempatan Metode Ijtihad


Judul Kasus: “Peran ijtihad sebagai landasan seseorang menggunakan bayi tabung
agar mendapatkan keturunan”

- Dasar hukum:

A. Al-Qur’an

‫علَ ُم َٰٓو ۟ا أَنهكُم ُّم َٰلَقُو ُه ۗ َو َبش ِِر‬


ْ ‫َّلل َوٱ‬ ۟ ُ‫سكُ ْم ۚ َوٱتهق‬
َ ‫وا ٱ ه‬ ۟ ‫شئْت ُ ْم ۖ َوقَ ِد ُم‬
ِ ُ‫وا ِْلَنف‬ ۟ ‫ث لهكُ ْم فَأْت‬
ِ ‫ُوا ح َْرثَكُ ْم أَنه َٰى‬ ٌ ‫سا َٰٓ ُؤكُ ْم ح َْر‬
َ ‫ِن‬
َ‫ٱ ْل ُم ْؤ ِم ِنين‬
Artinya: Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan
kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah

8
`

bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang
beriman.
(Q.S Al-Baqarah [1]: 223)
َٰ
َ‫صنَعُون‬ ٌ ٌۢ ‫َّلل َخ ِب‬
ْ َ‫ير ِب َما ي‬ ۟ ُ‫ص ِر ِه ْم َويَحْ فَظ‬
َ ‫وا فُ ُرو َج ُه ْم ۚ ذَ ِلكَ أ َ ْزك ََٰى لَ ُه ْم ۗ ِإنه ٱ ه‬ ۟ ‫قُل ِل ْل ُم ْؤ ِمنِينَ يَغُض‬
َ َٰ ‫ُّوا ِم ْن أ َ ْب‬
Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci
bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".
(Q.S An-Nur[24]: 31)
ۖ ‫ظه ََر ِم ْنهَا‬ َ ‫ص ِر ِهنه َويَحْ فَ ْظنَ فُ ُرو َج ُهنه َو ََل يُ ْب ِدينَ ِزينَت َ ُهنه إِ هَل َما‬ َ َٰ ‫ضضْنَ ِم ْن أ َ ْب‬ ُ ‫ت يَ ْغ‬ ِ َ‫َوقُل ِل ْل ُم ْؤ ِم َٰن‬
‫علَ َٰى ُجيُو ِب ِهنه ۖ َو ََل يُ ْب ِدينَ ِزينَت َ ُهنه إِ هَل ِلبُعُولَتِ ِهنه أ َ ْو َءابَآَٰئِ ِهنه أ َ ْو َءابَا َِٰٓء بُعُولَتِ ِهنه أ َ ْو‬ َ ‫ض ِر ْبنَ ِب ُخ ُم ِر ِهنه‬ ْ َ‫َو ْلي‬
‫سآَٰئِ ِهنه أ َ ْو َما َم َلكَتْ أ َ ْي َٰ َمنُ ُهنه أ َ ِو‬ َ ِ‫أ َ ْبنَآَٰئِ ِهنه أ َ ْو أَبْنَا َِٰٓء بُعُولَتِ ِهنه أ َ ْو إِ ْخ َٰ َونِ ِهنه أ َ ْو بَنِ َٰٓى إِ ْخ َٰ َونِ ِهنه أ َ ْو بَنِ َٰٓى أ َ َخ َٰ َوتِ ِهنه أ َ ْو ن‬
ْ َ‫سا َِٰٓء ۖ َو ََل ي‬
َ‫ض ِر ْبن‬ َ ِ‫ت ٱلن‬ ِ ‫علَ َٰى ع َْو َٰ َر‬َ ‫وا‬ ۟ ‫لط ْف ِل ٱله ِذينَ لَ ْم يَ ْظه َُر‬ ِ ‫غي ِْر أ ُ ۟و ِلى ٱ ْ ِْل ْربَ ِة ِمنَ ٱ ِلرجَا ِل أ َ ِو ٱ‬ َ َ‫ٱل َٰت ه ِب ِعين‬
َ‫ِبأ َ ْر ُج ِل ِهنه ِليُ ْع َل َم َما يُ ْخ ِفينَ ِمن ِزي َنتِ ِهنه ۚ َوت ُوبُ َٰٓو ۟ا ِإ َلى ٱ هَّللِ ج َِميعًا أَيُّهَ ٱ ْل ُم ْؤ ِمنُونَ َلعَ هلكُ ْم ت ُ ْف ِل ُحون‬
Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau
ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau
putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka
memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah
kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Dari dua ayat di atas dapat disimpulkan bahwa haram hukumnya apabila proses bayi
tabung menggunakan sel sperma atau pun sel telur dari bukan pasangan yang sah. Di dalam
Al-Qur’an juga tidak dibahas secara detail yang membahas tentang dibolehkannya bayi
tabung.

B. Hadist

Nabi SAW, bersabda yang artinya: “Tidak ada satu dosa yang lebih besar disisi Allah
SWT, setelah syirik daripada seseorang laki-laki yang meletakkan air maninya ke dalam
rahim yang tidak halal baginya.”

9
`

Dapat disimpulkan dari melihat hadist Nabi tersebut, bahwa seorang laki-laki yang
meletakkan/menaruh air maninya ke dalam rahim wanita yang bukan istrinya/yang halal
baginya merupakan dosa besar.

C. Undang-undang

Tercantum dalam pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan


yang berisi:

(1) Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk
membantu suami istri mendapat keturunan.

(2) Upaya kehamilan diluar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan :

a) Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan,
ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal;
b) Dilakukan oleh tenaga keschatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu
c) pada sarana kesehatan tertentu.

(3) Ketentuan mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan di luar cara alami


sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

- Tujuan dan Manfaat


Adapun program bayi tabung ini dapat dilakukan dengan tujuan untuk membantu
proses kesuburan maupun mencegah masalah genetika, peluang kehamilan tinggi,
memiliki peluang mendapatkan anak kembar, mendeteksi kelamin sejak dini. Selain
memiliki beragam manfaat, program bayi tabung ini juga memiliki resiko yang cukup
fatal, salah satunya yakni ketika terjadi proses pengambilan sel telur. Saat melakukan
pengambilan sel telur bisa saja terjadinya infeksi atau bahkan pendarahan yang bisa saja
menyebabkan kerusakan pada bagian usus atau organ tubuh yang lain.
- Alasan melakukan proses bayi tabung
Pada dasarnya suami istri melakukan bayi tabung ini disebabkan karena ada kelainan
pada tubuhnya, yaitu endometriosis (radang pada selaput lender rahim), oligospermia
(sperma suami kurang baik), unexplained infertility (tidak dapat diterangkan sebabnya),
dan adanya faktor immunologic (faktor kekebalan).

10
`

- Data pengguna bayi tabung di Indonesia

Bayi tabung atau In Vitro Fertilization (IVF) ini adalah kehamilan yang terjadi dan di
awali dengan sel telur dibuahi oleh sperma di luar tubuh. Pembuahan tersebut pun
dilakukan di dalam sebuah tabung. Prosedur ini dilakukan bila kehamilan tidak kunjung
terwujud meski sudah mencoba berbagai macam cara seperti mongonsumsi obat-obatan
dan melakukan operasi atau inseminasi buatan. Peminat bayi tabung di Indonesia terus
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Ditahun 2022 lalu, sebanyak 8.100 pasangan
mengikuti program bayi tabung didalam 14.000 siklus bayi tabung di Indonesia.
berdasarkan data dari perhimpunan Fertilisasi In Virto Indonesia atau PERFITRI, total
siklus program IVF di Indonesia pada 2021 sebelumnya diperkirakan mencapai 10.000
siklus lebih. Masalah infertilitas atau ketidak suburan memang masih menjadi persoalan
kehamilan yang masih tergolong tinggi di Indonesia sampai saat ini.

- Pandangan Islam tentang bayi tabung


Manfaat dan akibat bayi tabung Bisa membantu pasangan suami istri yang keduanya
atau salah satu nya mandul atau ada hambatan alami pada suami atau istri, menghalangi
bertemunya sel sperma dan sel telur. Mengenai status anak hasil inseminasi dengan donor
sperma atau ovum menurut hukum islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan
anak hasil prostitusi. UU Perkawinan pasal 42 No.1/1974:” Anak yang sah adalah anak
yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” maka memberikan
pengertian bahwa bayi tabung dengan bantuan donor dapat dipandang sah karena ia
terlahir dari perkawinan yang sah. Masalah tentang bayi tabung ini memunculkan banyak
pendapat, boleh atau tidak? Misalnya Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam Muktamarnya
tahun 1980, mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor sebagaimana diangkat oleh
Panji Masyarakat edisi nomor 514 tanggal 1 September 1986. Lembaga Fiqih Islam
Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam sidangnya di Amman tahun 1986
mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor atau ovum, dan membolehkan
pembuahan buatan dengan sel sperma suami dan ovum dari isteri sendiri. Ada 2 hal yang
menyebutkan bahwa bayi tabung itu halal, yaitu:
1. Sperma tersebut diambil dari si suami dan indung telurnya diambil dari istrinya
kemudian disemaikan dan dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
2. Sperma si suami diambil kemudian di suntikkan ke dalam saluran rahim istrinya
atau langsung ke dalam rahim istrinya untuk disemaikan.

11
`

Hal tersebut dibolehkan asal keadaan suami isteri tersebut benar-benar memerlukan
inseminasi buatan untuk membantu pasangan suami isteri tersebut memperoleh
keturunan. Sebaliknya, Ada 5 hal yang membuat bayi tabung menjadi haram yaitu:

1. Sperma yang diambil dari pihak laki-laki disemaikan kepada indung telur pihak
wanita yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
2. Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada sperma yang
diambil dari pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian dicangkokkan ke dalam
rahim si wanita.
3. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari sepasang suami
istri, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain yang bersedia
mengandung persemaian benih mereka tersebut.
4. Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan wanita lain
kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si istri.
5. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari seorang suami dan
istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim istrinya yang lain.

Jumhur ulama menghukuminya haram. Karena sama hukumnya dengan zina yang
akan mencampur adukkan nashab dan sebagai akibat, hukumnya anak tersebut tidak sah
dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya. Sesuai firman Allah
dalam yang berbunyi:

‫سانَ َخلَقنَا لَقَد‬


َ ‫اْلن‬ َ ‫تَق ِويم اَح‬
ِ ‫س ِن فِي‬

Artinya: Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya.

(Q.S At-Tiin [95]: 4)

Dua tahun sejak ditemukannya teknologi ini, para ulama di Tanah Air telah
menetapkan fatwa tentang bayi tabung/inseminasi buatan. Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dalam fatwanya pada tanggal 13 Juni 1979 menetapkan 4 keputusan terkait
masalah bayi tabung, di antaranya :

1. Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami-istri yang sah
hukumnya mubah (boleh), sebab ini termasuk ikhtiar yang berdasarkan
kaidahkaidah agama. Asal keadaan suami istri yang bersangkutan benarbenar

12
`

memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara
pembuahan alami, suami istri tidak berhasil memperoleh anak.
2. Para ulama melarang penggunaan teknologi bayi tabung dari pasangan suamiistri
yang dititipkan di rahim perempuan lain dan itu hukumnya haram, karena
dikemudian hari hal itu akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya
dengan warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang
mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan
sebaliknya).
3. Bayi Tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia
hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah. Sebab, hal ini akan
menimbulkan masalah yang pelik baik kaitannya dengan penentuan nasab maupun
dalam hal kewarisan.
4. Bayi Tabung yang sperma dan ovumnya tak berasal dari pasangan suami istri
yang sah hal tersebut juga hukumnya haram. Alasannya, statusnya sama dengan
hubungan kelamin antar lawan jenis diluar pernikahan yang sah alias perzinahan.

Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait masalah dalam Forum
Munas di Kaliurang, Yogyakarta pada tahun 1981. Ada 3 keputusan yang ditetapkan
ulama NU terkait masalah Bayi Tabung, diantaranya :

1. Apabila mani yang ditabung atau dimasukkan kedalam rahim wanita tersebut
ternyata bukan mani suami-istri yang sah, maka bayi tabung hukumnya haram.
Hal itu didasarkan pada sebuah hadist yang diriwayatkan Ibnu Abbas r.a,
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dalam
pandangan Allah SWT, dibandingkan dengan perbuatan seorang lelaki yang
meletakkan spermanya (berzina) didalam rahim perempuan yang tidak halal
baginya.”
2. Apabila sperma yang ditabung tersebut milik suami-istri, tetapi cara
mengeluarkannya tidak muhtaram, maka hukumnya juga haram. Mani Muhtaram
adalah mani yang keluar/dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syara’.
Terkait mani yang dikeluarkan secara muhtaram, para ulama NU mengutip dasar
hukum dari Kifayatul Akhyar II/113. “Seandainya seorang lelaki berusaha
mengeluarkan spermanya (dengan beronani) dengan tangan istrinya, maka hal
tersebut diperbolehkan, karena istri memang tempat atau wahana yang
diperbolehkan untuk bersenang-senang.”

13
`

3. Apabila mani yang ditabung itu mani suami-istri yang sah dan cara
mengeluarkannya termasuk muhtaram, serta dimasukkan ke dalam rahim istri
sendiri, maka hukum bayi tabung menjadi mubah (boleh). (heriruslan, 2010)

Dengan demikian bahwa bayi tabung yang merupakan usaha di bidang kesehatan
untuk mendapatkan keturunan bagi pasangan suami istri yang tidak dapat mendapat anak
dalam pandangan islam terdapat perbedaan pendapat. Ada yang menyatakan haram, dan
ada juga yang menyatakan halal tergantung pada prosesnya masing-masing.

14
`

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ijihad merupakan suatu metode interpretasi dalam hukum Islam yang memiliki ruang
lingkup yang luas. Metode ini memungkinkan untuk beradaptasi dengan perubahan zaman
dan konteks sosial, sekaligus menjaga nilai-nilai prinsipil dalam ajaran Islam. Ijtihad
melibatkan penalaran dan analisis atas sumber-sumber hukum Islam, seperti Al-Quran dan
Hadis, untuk menghasilkan fatwa atau keputusan hukum yang relevan. Dalam praktiknya,
ijtihad dapat digunakan dalam berbagai bidang, termasuk hukum, etika, dan ekonomi Islam.
Pentingnya ijtihad sebagai metode dinamis dalam merumuskan hukum Islam memungkinkan
terjadinya transformasi sosial dan pembaruan dalam masyarakat Muslim, tetapi juga
memerlukan pemahaman dan keterampilan yang mendalam dari para ulama yang
menjalankannya.

3.2 Saran
Dengan sangat menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari kesempurnaan, sebab
tidak ada satu tulisan di muka bumi ini yang terhindar dari kecacatan selain Al-Qur’an. Untuk
itu kami menyarankan kepada pembaca untuk memberikan sumbang saran serta kritikan yang
konstruktif demi kesempurnaan makalah kami untuk yang akan datang.

15
`

DAFTAR PUSTAKA
Al- Qur’an al-Karim
Dahlan, A. (2014). Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
Dzazuli, A. (2013). Ilmu fiqih. Jakarta: Kencana Prenademedia.
husen, I. (1996). Ijtidhad dalam sorotan. Bandung: Mizan.
Shidiq, S. (Kencana Prenadamedia Group). Ushul Fiqh. Jakarta: 2014.
Yusrial. (2023). Fikih munakahat dan pemikiran ikhtilaf ibnu rusydi dalam kitab bidayatul
mujtahid. Yogyakarta: Bintang semesta media.

16

Anda mungkin juga menyukai