Anda di halaman 1dari 25

Bab Kedelapan TIMBUL DAN BERKEMBANGNYA MISTIKISME ISLAM (SUFISME) l.

Asal-Usul Kehidupan Zuhud (Ashetik) Mistikisme, yang didefinisikan sebagai usaha mencapai yang tak terbatas dan untuk menjadi identik dengannya baik melalui beberapa macam konnaturalitas, seperti dalam agama Kristen, maupun melalui penghan' curan total identitas personal dan pengembalian pada kondisi primordial yaitu kesatuan yaqg tidak dapat dipilah-pilah, seperti dalam Hinduisme dan Budhisme,r banyak mendapat rintangan dari ajaran-ajaran agama Islam. Pertama, konsep tentang transendensi Tuhan yang mutlak "tidak ada suatu apa pun yang menyerupai-Nya", seperti yangdinyata' kan dalam al-Qur'an,2 berlawanan dengan semangat hubungan yang akrab atau intim dengan Tuhan. Kedua, basis pemujaan ritual, dengan ketentuan dan bentuk-bentuknya yang tegas, meniadakan kemungkinan pencapaian yang longgar akan suatu realitas yang ada di seberang sana tanpa syarat atau pembatasan-pembatasan ketiga, konsep Islam tentanp kesatuan atau kesinambungan hidup rnanusia di dunia ini dan dunia berikutnya membuat "pemisahan" antara kehidupan yang terbatas dan yang tak terbatas dalam bentuk penarikan diri dari dunia jauh lebih sulit. Orang Islam yang beriman dituntut untuk menerima dunia yang fana ini (dar fana') dan berpegang teguh padanya, hampir tidak berbeda banyaknya denpn ketika ia dituntut untuk mencari kerajaan yang abadi (darbaqa') yang berada di seberang sana dan untuk berpegang teguh padanya.3,Meskipun begitu, al-Qur'an dan Sunnah menyajikan gambaran lain tentang hubungan Tuhan-manusia dan kehidupan yang akan datang Zaehner, Hindu and Muslim M)'sticism' h. 6-7 Al-Qur'an 42:11. Lih at al-Qur'an 7 :32;2:l8l:'22:77 . l. 2. J. 327 i r::::i:::::r::qi ir: 4. Quran 33:37, dst. 5. Quran 6 :99, 10:25, t 3:18 dst. 6. Patut dicatat bahwa dua istilah ini dan pada kesalchan bcrasal dari akar-kata bahasa Arab. '-:'_" _ ; tr':::r::::?.- :':re yang sangat berbeda dengan gambaran yang baru saja diuraikan. Karena itu dalam perspektif ini ruhan digambarkansebagai lebih dekat kepada orang yang beriman daripada "urat lehernya,'(eur,an 50. l7), dan ada di mana-mana serta mahatahu untuk menyaksikan setiap perbuatan manusia dan untuk membaca setiap pemikirannya.a Kenikmatan sementara kehidupan di sini dikatakan tidak ada harganya jika dibanding

dengan nikmat abadi kehidupan yang akan datang.s Selain itu pertunjukan besar keputusan final ruhan digambarkan dalam ungkapan-ungkapan yang begitu'jelas dan nrembangkitkan rasa takzim, terutama dalam surat-surat Mal<kiyah yang pertama, sehingga para pembaca akan merasa.sia-sia dan kecewa atas segala milik manusia dalam hidup ini. Pada abad-abad pertama Islam, rasa takut (al_khauf) secara wajar menjadi ungkapan kesalahan yang utama (wara,, taqwa)6 dan tanda dari suatu sikap keagamaan yang sejati, dan sekalipun citacita kependetaan yang keras (ar-rahbaniyah) terah dilarang, namun kita sering mendengar banyak orang Islam pertama yang saleh. seperti Abu Dzarr al-Shifari (w- 652) dan Hudzayfa (w 657), dua orang sahabat Nabi,? yang pada suatu -uru r..ilih kehidupan zuhud lasketik) yang keras tatkala sebagian besar teman sezamannya memilih kehidupan dunia yang lebih ringan. Barangkali. figur yang paling penting dalam sejarah asketikisme Muslim pertama adalah seoraqg rakilaki yang patut r'endapat kemuliaan pada abad pertama zaman Muslirn yang pernah dijumpai. Al-Hasan al-Bashri (w. 128) hidup pada suatu ruasa yang sangat pcnting dalanr sejarah Islam. "Perang berkepanjangan'', yang telah menrecuh u.lut '} barisan .lslam setelah pembunuhan atas khalifah ketiga. .Utsnran, pada tahun 656, mengadu donrba Bani Urnayyah dengan partai .Ali dan sepanjang abad menirirbulkan ajang perselisihan politik dan teologis. Perdebatan-perdebatan teologis tentang status orang yang berdosa banyak lagi yang lain yang urengacu yang nrcnlasankan rasa takut dalam 7. Anawati dan Gardet, Mvstiquc mttstltztanc. h. 23_24 dan Smith. Srudicd in Eaily Mysticism in the Near and Mitldte liast. h. l5l_ l-54. 328 i. a: 11. besar dan pertanyaan lain yang,serupa tentang kehendak bebas dan takdir, timbul dalam perselisihan tersebut dan mengarah pada munculnya gerakan teologis pertama dalam Islam, yang pe.rnrakarsanya, Washil bin 'Atha', adalah seorang murid al-Hasan al-Bashri.8 Konsep al-Bashri tentang kehidupan keagamaan pada dasarnya merupakan konsep asketik, di mana kesalehan, kefakiran, dan kejijikan terhadap kehidupan duniawi merupakan unsur.unsur yang. utama. Metode yang ia ajukan terdiri atas refleksi (fikr), pertutungan diri (muhasabah), dan penyerahan total kepada kehendak Tuhan, yang berakhir dengan keadaan puas hati (ridln). Dalam keadaan ini, ketegangan antara kehendak ilahi dan manusiawi akhirnya dapat diatasi.e Pengaruh al-Bashri atas sejarah teologi dan mistikisme berikutnya, yang diteruskan oleh sederetan panjang murid-muridnya, sangatlah besar. fuus baru hidup miskin dan zuhud bergerak di Basrah dan menarik banyak pengikut. Sufi wanita terbesar dalam Islam, Rabi'ah

al-'Adawiyah (w. 801 ), menghabiskan seluruh masa hidupnya di Basrah dan menanamkan cita-cita yang sama tentang kefakiran hidup" membujang, dan anti-keduniaan yang telah disamakan oleh alBashri dengan suatu panggilan mistik sejati. Meskipun begitu, dia (Rabi'ah)-lah yang pertama sekali dalam sejarah mistikisme Islam memperkenalkan konsep cinta ilahi (al-hubb).1o Para mistik yang lebih awal telah berbicara tentang kerinduan /sy auq ) alau persahabatan (khultah) letapi Rabi'ah melangkah lebih jauh dengan membicarakan dalam ucapan-ucapan mesra cinta orang beriman kepada Tuhan. Dalam hal ini, ia berlawanan dengan seluruh tradisi keagamaan dalam Islam di mana manusia tidak berani mendekati Tuhan kecuali dalam suasana ibadat, kebaktian dan penghormatan. Ketika ditanya apakah ia mencintai Tuhan dan membenci setan, ia menjawab. "Cintaku kepada Tuhan telah merinLihat- Hitti, History o!'the Arahs, h. 178- 180, dan vpra, h. 44. Massignon, Essai sur les oigincs du lbxique technique de la mystique muwl mane, h. 168- 169. Ihid.,h. 194-195. 329 8. 9. r0. tangiku untuk membenci Setan.?' Pada kesempatan lain Nabi muncul dalam mimpinya seraya bertanya, "Oh, Rabiah apakah engkau men' cintaiku?" Jawabannya adalah,."\ilahai Rasulullah, adakah sseorang yang tidak mencintai engkau? Namun, cintaku kepada Tuhan Yang Mahakuasa telah ada ruang di hatiku untuk mencintai atau membenci yang lain."l l Pemeriannya yang sangat jelas tentang cinta ini dituang' kan dalam baris-baris yang terkenal ini: Aku rnencintai-Mu dengan dua cinta: cinta birahi (mesra) dan cinta yang didorong oleh kelayakan-Mu sebagai obyek cinta. Cinta birahi, yang hakikatnya adalahmenyebut-nyebut nama-Mu untuk menyisihkan yang lain, sedangkan cinta kelayakan adalah cinta di mana Engkau menyibakkan cadar itu' sehingga aku dapat memandang-Mu. Namun, cintaku bukanlah pujian bagi yang satu dan yang lain. Tetapi cinta-Mu adalah pujian bagi yang satu dan yang lain.12 Pusat kegiatan mistik kemudian berpindah dari Basrah ke Baghdad, yang telah menjadi ibukota politik dan keagamaan seluruh kerajaan setelah al-Manshur mendirikannya pada tahun 762. Di antara mistikus pertama Baghdad, yang paling terkenal adalah Ma'ruf al-Karkhi (w. 815), Manshur bin'Ammar (w.839). Bisyr bin al-Hafi.(w 842)dan ibnu Abi'l-Dunia (w.894).13 Meskipun begitu dua onngsufi terbesar yang dihasilkan aliran Baghdad, tidak pelak lagi adalah al-Muhasibi (w" 857) dan al-Junayd (w. 910). Lahir di Basrah, al Muhasibi kemudi

an pindah ke Baghdad, di mana ia segera bentrok dengan kaum Hanbaliyah karena kegemarannya menggunakan metode teologi skolastik dal am uraian-uraian-uraian keagamaannya. Aj aran mistlk ( tashawvnuf ) nya bersandar pada dua pilar: perhitungan diri(al-muhasabah) selingga dijadikan panggilan namanya sendiri, dan kesediaan menderita cobaan yang paling buruk sekalipun dalam mengabdi kepada Tuhan. sang kekasih.la Batu ujian kepatuhan yang sejati, menurut hematnya, adalah kematian, dan tanda keutamaan terbesar dari kesabaran (al-shabr) 11. Lihat Badawi" Shahidat al-'lsyq al-Ilahi, h. 251. 12. Ihid., h. 123, band. terj. Inggris, Smith, Sadies in Early M1'sticism, ht.223. 13. Massignon, Essay, h. 206-207, dan Anawati dan Gardet, MystiEte musulmane. h.28. 14. Anawati dan Gardet, 310 i adalah kesediaan untuk menderita. Tanpa menolak keabsahan basis pemujaan ritual, al-Muhasibi mengetengahkan aspek batin kepercayaan, yang memberi, ketika dianugerahi semangat kepatuhan dan pengabdian, suatu kondisi spiritual (hal) sepadan dengan kemurnian kepercayaan tadirs Abu'l-Qasim al-Junayd dipandang dalam tradisi sny' sebagai salah seorang perintis terkemuka dan pada umumnya dimuliakan baik oleh doktor-doktor ortodoks maupun bid'ah. dari al-sarraj dan al-eusyayri sampai al-Hallaj dan Sa'id bin Abi'l-Khayr.r u Guru-gurunya termasuk al-Muhasibi, al-saqathi (w. S70). dan Abu Hafs al-Haddad (w. 874), pecandu kesatuan ilahi yang ekstrim. yang akan kita bicarakan kemudian. Pengaruhnya terhadap perkembangan sufisme berikutnya sangatlah besar. Dan, sekalipun pada dasarnya ia pemalu dan pendiam, namun pengertiannya yang mendalam tentang keesaan dan transendensi Tuhan mencapai, puncaknya dalam pernyataan hasratnya yang sangat besar untuk bersatu dengan Tuhan, yang akhir-akhirnya disimbolkan oleh alHallaj (w. 922). Patut dicatat bahwa muridnya, di samping para pecinta kesatuan ilahi yang luarbiasa ini. meliputi beberapa orang ahli teologi dan suftsme yang sangat ortodoks, seperti al-Ghazali, yang memilihnya sebagai salah seorang guru spiritualnya yang utama.r? Menyadari bahaya yang terkandung dalam mistikisme, al-Junayd menyatakan bahwa pengetahuan mistik harus dibatasi oleh al-eur'an dan Sunnalr.l s Meskipun demikian hal tersebut tidaklah merintanginya untuk menetapkan dengan jelas kondisi-kondisi kesatuan mistiklang dapat sepenuhnya ia pahami sekalipun belum pernah ia alami.r e Titik tolak ajaran mistiknya adalah ikrar llahi (mitsaq) yang dijalin Tuhan dengan manusia (Qur'an 7:172) sebelum menciptakannya. profesi intelektual dan mistik manusia terdiri atas pemahamannya yang progresif

tentang hakikat dirinya sebagai sebuah gagasan dalam pikiran 15. Massignon', lissai, h. 221-222. 16. Lihat Massignon, La passion d' al-Hattltaj, Il"h. 34; Abdcl-Kader, The Life, Personalit.y and llitings of al-Juna1.,d, h. 34-35; al-eusyayri, Risalah, h. 18. 17. Lilrat al-Munqidz, h.35. 18. al-Qusyayri, Risalah, h. 19, dan AbdelKader, The l;ift, personaliry and Writings o.l'al-Junoyd, h. 67, 86 dst. 19. Massignon, Iissai, h. 275-276, dan Abdcl-Kader, al-.lunayd, h. 76-77. 33t Tuhan sebelum ia diciptakan dalam waktu, dan tentang perbedaan yang sangat tajarn antara esensinya dengan esensi Tuhan. Pemisahan yang abadi dan yang temporal (ifrad)2o ini bagi al-Junayd merupakan tanda pengakuan yang sebenarnya terhadap keesaan (tauhid) Tuhan, sebagai salah satu pengetahuan yang sejati tentang Tuhan. Meskipun begitu, pengetahuan seperti itu tidak dapat dengan sendirinya mengantar manusia ke tempat tujuan akhirnya yang menjadikan ia terangkat di atas aturan-aturan hukum dan mengantarnya begitu dekat kepada Tuhan sehingga "ia direndahkan menjadi debu, terbunuh, dikuburkan dan kemudian, jika ia menyenangkan-Nya, disadarkan kembali""z I Sekali pemisahan yang temporal dengan yang kekal ini tercipta dengan sempurna dan maktrluk telah diturunkan kepada kondisi primordialnya sebagai gagasan dalam pikiran Tuhan, maka manusia menjadi mati untuk dirinya sendiri dan hidup untuk Tuhan dan ini, seperti dikatakan al-Junayd sendiri, merupakan esensi pengalaman mistik.22 Konsep pemisahan manusia dengan Tuhan dan penurunan manusia kepada kondisi aslinya dari tiada atau praeksistensi dalam pikiran Tuhan ini merupakan tanda kematangan dan kecanggihan suftsme yang tercapai secara berangsur-angsur. Setelah meninggalkan cita-cita asketik dan kebutuhan-untuk memasukkan makna batiniah yang baru ke dalam ritualisme ibadat, suftsme kini merasaterdesak untuk membebaskan diri sepenuhnya agar dapat mengarungi ruang luas pengalaman spirituai. Adanya pengaruh asing sebelum masa ini tidak dapat ditentukan. Tetapi dengan munculnya konsep yang sangat berani tentang penghancuran-diri ftelf4estruction) dan penyerapan kembali (reabsarptionl manusia dalam Tuhan, kemungkinan adanya pengaruh gagasan-gagasan asing dapat dijajaki secara memadai. Dalam mistikisme Yoga, Vineke-jnana atau "pengetahuan tentang perbedaan" (ifrad), seperti yang diuraikan oleh Shankara misalnya, tujuan sang Yogi bukanlah penyatuan dengan Tuhan, tetapi lebih merupakan pengasingan Jiwa dan realisasi dari suatu .modus wujud Al-Qusyayri, Risalah, h. 3. Massignon, Lo passion rl'at-Hallaj,I, h, 36. Al-Qusyayri, Risalah, h. 126; band. Zaehner, Hindu and Muslim Mysticism, h. 14l. 332

20. 21. 22_ ;aIi abadi luar tatanan ruang dan waktu.z3 "Pengasingan" ini pada dasar' nya sama dengan penghancuran eksistensi partikular, yang merupakan tujuan akhir Samkhia-Yoga, seperti juga semua Hinduisrne. Demikian juga tujuan a?'hir sufi, menurut al-Junayd, adalah untuk mencapar LonAiti penghancuran -diri ( fana' ) ini sebagai persiapan bagi pemulihannya kepada kondisi asli keabadian (baqa') yang telah direnggut oleh pencip_taan dalam waktu.24 Sifl-suft lainnya dalam masa pembentukan ini meliputi sejumlah tokoh yang terkenal. Dzu'l-Nun al-Mishri (w' 859), seorang Mesir dari bangsa Qopthi, hampir menjadi tokoh legendaris dalam sejarah sufisme. Seperti tokoh Syi'ah yang lebih legendaris lagi Jabir bin Hayyan (w. 176), yang telah disebut-sebut sebagai gurunya"" ia dilaporkan telah menjadi seorang ahli mistik, al-kimia, dan filosof- Meskipun ia sangat kaya dengan bahasa literalnya, tetapi al-Mishd tetap menjadi prototipe mistikus yang moderat dan seimbang' Tujuan st't71, menurut hematnya, adalah menjalin persahabatan dengan Tuhan' Di samping "memandang wajah Tuhan", tidak ada karunia lain yang dicadangkan buat orang yang dirahmati kecuali hak istimewa untuk mendengar nyanyian para malaikat.26 Jalan mistik menurut hematnya terdiri atas sederetan stasiun (maqamat) yang harus dilalui oleh sang mistik, dan sederetan keadaan (ahwal) yang sepadan dengan mereka yang mungkin dianugerahkan Tuhan kepadanya. Perbedaan antara maqamat dan ahwal, adalah bahwa yang satu diperoleh dengan usaha manusia, sedangkan yang lain dianugerahkan Tuhan kepadanya, yang selanjutnya menjadi suatu perbedaan kunci dalam tradisi suil' Tanpa terlalu memikirkan segi yang istimewa dari kehidupan sufi, allt'lishri sangat hati-hati menekankan corak penyucian sembahyang ritual dan mental. dan juga praktek penolakan di.1| (selfmotilication). Sekali Jiwa berhasil dibersihkan dari segala dosanya maka ia telah patut menerima Tuannya dan mengadakan percakapan spritual dengan-Nya dalam 23- zaehner' Hindu and Muslim M)'sticism' h' 9, 135 dst' 24. Ihid., h. 146, dan Appendir B, II; band. Abdel-Kader' Thc I'ife, Personaliry and l,lritings of al-Junayd, tcks Arabnya. 25. Ibnu al-Nadim, al-Filtris, h. 358, 355. 26. Smith, Srudies in l)at'11' M;'sticism, h" 235' dan Massignon, Z-ssar' h' 18?' -133 suasana persahabatan yang intim. Dengan cara begitu Jiwa dipulihkan kembali kepada kondisi primordial praeksistensinya dalam Tuhan.2 ? Suatu kondisi utama dalam persahabatan ini adatah cinta. Cinta sejati kepada Tuhan diperoleh dengan cara mencegah masuknya segala

emosi yang lain sehingga tiada yang lebih tinggi yang diucapkan Rabi'ah, yang dikatakan sempat bertemu dengan al-Mishri,2 8 cinta kepada Tuhan ini harus samasekali tanpa pamrih (disinterested) dan tidak punya obyek lain selain Tuhan Sendiri.2 e Seorang sufi yanglebih awal, Ibrahim bin Adham (w. 776) sering dikutip oleh pengarang-pengarang yang belakangan dan diakui sebagai model kesalehan dan anti-keduniaan. Sebuah legenda yang mencerminkan kehidupan Buddha Gautama menjadikannya seorang pangeran yang kecewa dengan kesenangan-kesenangan duniawi. Ketika ia sedang berburu, ada suara menegurnya dua kali: "lnikah tujuan engkau dilahirkan? "Setelah mencampakkan kehidupan duniawinya, ia turun, menukar kudanya dengan jubah wol sang penggembala, mengembara di padang pasir, dan berziarahke Kaabah, di mana ia diduga bertemu dengan Rabi'ah.30 Menurut legenda tersebut untuk mencapai Koabah, ia menghabiskan waktu selama empat puluh tahun. Karena setiap langkah ia melakukan sembahyang dua rakaat. "Orang lain," katanya, "melakukan perjalanan dengan kaki mereka, sementara aku melakukannnya dengan kepalaku (yaitu: dahi),"3 t yung secara tidak langsung menunjuk kepada praktek kaum Muslimin menyentuh tanah dengan dahi pada setiap rakaat. Tetapi ketika kemudian ia sampai di Mekah, ia tidak mendapatkan Kuabah, Tempat Suci yang menjadi sasaran ziarahnya, karena ada suara yang menyapanya, Kaabah telah pergi menjumpai Rabi'ah. Ketika ia melihat Rabfah datang, ia menyapanya dengan lembut, seraya berkata. "Kegemparan macam apa yang engkau timbulkan di dunia ini? Setiap orang mengatakan: Kaabah telah pergi menjumpai Rabi'ah. "Ia menjawab, "Kegemparan macam apa yang engkau rbid., h.232-233. Badawi, Sahidat al-'lsyq al-Ilahi, h. 162. Smith, Snrdres in Early M),sticism, h.234. Al-Qusyayri, h. 8; band. Smith, Srudr?s in Early Mysticism, h. 179-f80. Badawi, Syahidat al.'Isyq al-llahi, h. 145. 27. 28, 29. 30. 31. J34 g' sendiri perbuat, dengan menggunakan waktu empat puluh tahun ke tempat ini? Setiap orang mengatakan bahwa Ibrahim berhenti untuk melakukan sembahyang dua rakaat pada setiap langkah yang ia am' bll."32 Meskipun begitu komentar yang sangat khas atas jawaban Rabi'ah terhadap kekasih Tuhan ini, terdapat dalam legendalain. Keti' ka ia melihat l{aabah mendekatinya, ia berseru. "Bukankah Kaabah yang kuinginkan, melainkan Tuannya. Karena apa gunanya Kaabah itu bagiku?"3 3

Konsep lbrahim yang agung tentang cinta kepada Tuhan diungkapkan dalam sebuah fragmen yang dilestarikan oleh al-Muhasibi dalam karyanya yang berjudul Kitab ahMahabbah.Ibrahim menyatakan kepa' da seorang sahabatnya, "Jika anda ingin menjadi sahabat Tuhan atau ingin mendapatkan cinta-Nya, tinggalkan dunia ini dan dunia yang akan datang. Jika tidak menginginkan keduanya, kosongkan dirimu dari kedua dunia tersebut, dan palingkan mukamu ke arah Tuhan. Maka Tuhan akan memalingkan wajah-Nya ke arahmu dan menganugerahimu dengan kumia-Nya. Karena aku telah mendengar bahwa Tuhan me' wahyukan kepada Yahya, putra Zakaia (John Pembaptis) kata' kata sebagai berikut, 'Vahai Yahya, Aku telah bemjanji bahwa tidak ada seorang pun dari hambaku akan mencintai'Ku (Aku tahu segala rahasia tujuannya) tanpa pendengaran buat ia mendengar, penglihatan buat ia melihat, lidah buat ia berkata'kata, dan hati buat ia mengambil pen$er: tian.3a Sekali hal ini dilakukan, Aku akan menjauhkan dari dirinya untuk memasukkan sesuatu selain daripada diri-Ku . dan akan menyertainya siang dan malam. Ia akan datang menghampiri-Ku lebih dekat dan Aku akan menghampirinya lebih dekat lagi, untuk mendengarkan suaranya, dan meluluskan permintaannya. Dengan segala keagungan dan kebesaran-Ku, Aku memberinya sebuah misi, yang bahkan para nabi pun akan merasa iri."3 s Badawi, Syahidat al-'Isyq al-Ilahi, h. 145- 146. Ibid Ini merupakan variasi tentang sebuah hadis qudsiyang diangap benarbenar didiktekan Allah kepada Nabi Muhammad; lihat al-Qusyayri, Risalah, L 143' Dikutip dari Massiprron , Essai, h. 256-257 - Bnd- Recueil, h' 23' 335 32. 33. 34. 35. II. Keoenderungan-kecenderungan Panteistik: Al-Basthami (atau AlAisthami), Al-Hallaj, dan lain-lain. Asal-usul suftsme telah dikemukakan oleh beberapa sarjana seperti Massignon,36 dan telah dipersoalkan oleh yang lainnya, selerti Nicholson dan Zaehner.3 7 Penelitian yang kami lakukan menunjukkan bahwa sedikit sekali dalam cita-cita kehidupan suli pertama yang dasarnya tidak ditemukan baik dalam al-Qur'an maupun Sunnah, dan Massignon mungkin benar ketika menyatakan bahwa "dari al-Qur'an yang secara terus-menerus dibaca, direlungkan dan dipraktekkan, mistikisme Islam muncul dan berkembang".'8 Konsep-konsep kemiskinan keagamaan faqr ), me ditasi ( fikr, dz ikr ), kesabaran ( shabr ), penolakan (te rhadap halhal yang bersifat duniawi) (zuhd), dan juga cinta kepada Tuhan dan

prenungan atas-Nya dapat dikatakan sebagai perkembagan logis dari tekanan anti-dunia dalam al-Qur'an yang telah kita tunjukkan. Apa yang mungkin tepat dipandang sebagai komponen non-Islam dalam sufisme adalah kecenderungan dalam tulisan-tulisan dan praktekpraktek sufi-sufi yang paling awal untuk melangkahi aspek ritual dari hukum-hukum keagamaan (al-Syari'ah) dan untuk menjangkau suatu realitas (Haqiqah) yang sepenuhnya mengatasinya. Perlu diingat bahwa dalam proses pencapaian ini, bukan saja hukum, tetapi juga Nabi Muhammad, sebagai pembawa wahyu ilahi, ditanggalkan dan orang yang beriman menginginkan suatu keakraban dan hubungan yang langsung dengan Tuhan. Sebuah contoh yang penting dari kecenderungan mengabaikan atau melangkahi hukum agama ini adalah praktek hidup membujang dan peringatan terhadap perkawinan sebagai suatu rintangan bagi usaha merealisasi cita-cita mistik tentang kesalehan dan kesucian. Hasan alBashri, Rabi'ah, dan sufi-sufi pertama lainnya tidak saja menghin. dari perkawinan, tetapi juga mengecamnya dengan pedas. Beberapa membenarkan pembujangan yang ada sejak dua abad pertama zaman fssar. h. 84-85, I 16 dst. Zaehne4 Hindu and Muslim Mysticism, h. lll-112, dan Nicholson, Mystics oflslam, h. l0-ll. fssar' h. 84. Di sini kita harus membedakan antara asal-uzul mistik dan perkembangan akhimya 336 36. 37. 38. Islam.3 e Suatu pengakuan yang jelas akan adanya antitesis yang tidak dapat dipecahkan antara perkawinan dan kehidupan asketik telah tum' buh di kalangan sufi, tetapi teladan Nabi Muhammad memaksanya untuk menggunakan pandangan yang aneh bahwa larangan terhadap cara hidup kependetaan (rahbaniyah)telah dicabut oleh Nabi Muhammad sendiri setelah akhir abad kedua. Jika teladan Nabi Muhammad dalam hal perkawinan karena itu dapat dicemooh atau diinterpretasi kembali. maka suatu kesulitan yang lebih serius akan muncul dalam kaitan dengan peranannya sebagai penghubung utama antara manusia dan Tuhan' Beberapa orang sufi pertama, tanpa rnelangkah lebih jauh ke suatu batas, ke arah mana para srzf berikutnya melangkah, dengan nyata memandang peranan Muham' mad sebagai perantara antara Tuhan dan manusia bagaimanapun sebagai hal yang sekunder. Ketika ditanya oleh Nabi dalam sebuah mimpi, "Apakah engkau mencintaiku? "'Rabi'ah dikatakan telah menjawab, "Wahai Rasulullah, adakah seseorang yang tidak mencintai engkau? Akan tetapi cintaku kepada Tuhan Yang Mahakuasa telah memenuhi hatiku demikian sarat sehingga tidak ada peluang apa pun yang tertinggal

di dalamnya untuk mencintai atau membenci yang lainnya."ao Barangkali karena menyadari kesulitan ini, suJi-sufi yang berikutnya, seperti Ibnu 'Arabi (w. 1240) menuniuk kepada "hakikat Muhammad" sebagai suatu silat kepurbaan (arketipe) yang adanya mendahului waktu, ketimbang kepada Muhammad sebagai sebuah pribadi historis yang melaksanakan fungsi ilahi dalam konteks ruang dan waktu.4 1 Meskipun ada kecenderungan-kecenderungan yang inheren tersebut para mistikus yang pertama masih kuat mempertahankan ortodoksi. Juga al-Junayd, yang telah menebarkan benih-benih mistikisme uniter yang dirasuki oleh konsep-konsep Hindu tentang diri, tidak menarik tokoh yang lebih kemudian dan lebih berani. Dari orang-orang yang lebih berani ini yang telah begitu "mabuk" karena cinta Tuhan sehingga mereka tidak dapat membantu mengambil Lihat Badawi, Syahidat al-'ls1,q al-llahi, h.53-54. Ibid., h. 15 1. Lihat supra, h.264. Lillat al-Furuhat al-Makkiyah, PL 2, h. 97 i d?,n Fushush al-Hikam, h. 319320. 39. 40. 41. lengkah terakhir meyeberangi jurang panteistik yang sangat dalam, dua tokoh yang sangat terkemuka pada abad kesembilan adalah d-Bistharni (al-Basthami) dan al-Hallaj. Yang lainnya, seperti Sa'id bin Abi'l-Khayr (w. 1049),4 2 sahabat dan korespondens Ibnu Sina, dan al-Sybli (w.945), mengikuti alur mereka dua abad berikutnya dan mengungkapkan dalam hidup dan pemikiran mereka segi lain dari mistikisme yang berlebihlebihan, seperti eksentrisitas atau kegilaan yang dibuat-buat. Abu Yazid al-Bisthami (w. 875) dilahirkan di Bastham di Khurasan Barat dan diperkenalkan dengan mistikisme oleh seorang India yang telah membuat agama Islam, Abu 'Ali al-Sindi, yang mengajar al-Bisthami ajaran "kepunahan dalam keesaan" (al-fana' ft'l-tauhid).a 3 Melebihi stfi-sufi lain yang telah dibicarakan sebelumnya, al-Bisthami melaksanakan disiplin yang sangat keras sehingga, seperti yang ia katakan sendiri, ia dapat secara sempurna melepaskan kondisi kemanusiaannya dan berjumpa dengan Tuhan secara berhadapan muka. aa Konstruksi apa pun yang telah dibangun di atasnya oleh sarjana-sarjana berikutnya, "pemyataan-pernyataan lepas kontrol" (syatharhat/ al-Bisthamil berkaitan dengan tema-tema mistik yang umum tentang ekstasi atau penyatuan dengan Tuhan dan menyatakan secara tidak langsung suatu prasangka yang jelas tentang penuhanandiri (self deifrcotion ) . OIeh karena itu dalam salah satu "ucapan syathahat" tersebut yang dilaporkan oleh salah seorang pengarang flfi yar:\E belakangan al-Bisthami mengatakan: "Sratu ketika (Tuhan) mengangkatku dan meletakkanku di hadapanNya seraya berkata kepadaku, 'Wahai, Abu Yazid, ciptaanku ingin

melihatmu,' Dan aku berkata: Hiasi diriku dengan keesaan-Mu dan selimutilah aku dengan ke-aku-an-Mu dan angkatlah aku ke dalam kesatuanMu, sehingga ketika makhluk-Mu melihatku mereka boleh berkata: Kami telah melihat Engkau (yaitu, Tuhan) dan Engkau ada di situ. Namun aku (Abu Yazid) tidak akan ada di sana.'/ t Dalam ucapan yang lain yang barangkali ucapannyayang lebih terkenal, ia berseru: "Mahasuci aku, betapa berharganya aku." Tetapi sekalipun implikasi Lihat Nicholson, Sudies in Islamic Mysticisrn, h. 1-3. Zrehne4 Hindu and Mttslim Mltsticivn, h.94. 42. 44. 45. , 339 ; L,'.;.:.' . ..: panteistik dari ucapan -ucapan ini tidak dapat diragukan lagi, namun kulminasi pengalaman misiik baglnya tetap negatif dan lemah, karena Jiwa tetap mengambang, seperti yang terdapat dalam beberapa bentuk mistikisme Hindu (misalnya, Patanjali) antara aku dan Engkau, sang Diri dan yang Mutlak, yang keduanya telah dihapuskan.a t Sebuah pernyataan yang dianggap berasal daripadanya berbicara tentang stasiun non-wujud (laisiyah) yang ia capai dan terus-menerus ia arungi selama sepuluh tahun, sehingga katanya, "aku dapat melangkah dari tiada ( lais ) ke Tiada, melalui Tiada" -a 7 Pengaruh Hindu terhadap tipe mistikisme ini telah diperlihatkan oleh Zaehner dengan begitu meyakinkan. Ada sebuah mata rantai yang jelas dengan metafisika Wedantik bukan saja dalam kasus guru lndia al-Bisthami, al-Sindi, yang mengajarkannya beberapa'''kebenaran sejati", tetapi juga dalam corak pemikirannya yang sejati dan implikasi' implikasi "nihilistik"-nya. Al-Basthami hidup pada suatu zaman di mana kebangkitan kembali dan sistematisasi pemikiran Wedantik sedang giat-giatnya dilakukan oleh Shankara (w. 820) dan alirannya.o t U"apanucapan asketiknya (baca : al-Bisthami), seperti yang telah dikutip "Mahasuci aku" (Subhani) atau "aku adalah Engkau" atau "aku adalah Aku", semuanya bertujuan untuk menguatkan indentifikasi-dirinya yang menyeluruh (total) dengan yang ilahi dan mempunyai kesejajaran baik dengan Upanishad maupun Vedanta.ae Barangkali yang paling berani dari semua ucapannya adalah ucapan dimana ia mengisahkan pencariannya akan Tuhan: ia tidak dapat menemukan Tuhan dan karena itu ia mengambil tempat-Nya d-i Arasy. "Aku selami lautan malakut (dunia lde-Ide) dan singkapkan tirai ilahi (hhut)," tulisnya, "hingga aku mencapai Arasy dan lihatlah! ia kosong.belaka; karena itu aku terdampar di atasnya sambil berkata, 'Tuan, ke mana harus kucari Engkau?' dan tirai-tirai itu tersingkap dan aku melihat bahwa aku adalah aku, ya aku adalah aku. Aku berpaling kapada apa yang aku cari, tetapi

yang ada adalah aku dan bukan yang lain, ke mana aku harus pergi-"s o 46. Massignon, Essai, h.275. 47. Ibid., h.278. 48. Lihat Zaehner, Hindu and Muslim Mystbism, h- Ill. 49. rhid.. h. il2- 113. 50. Al-Sahlaji Manaqibal'Bisthami, dalom Syathahar' h. 128' 339 Bagaimana seorang Muslim dapat menerima tuntutan-tuntutan yang luarbiasa seperti itu yang menempatkannya hampir di atas Tuhan dan masih berjalan tanpa perintang pada abad kesembilan, betul-betul merupakan sesuatu yang mengherankan. Tetapi sebuah catatan yang dibuat oleh pengarang-pengarang yang belakangan memberi kita petunjuk tentang masalah ini. Ketika al-Basthami didakwa karena kelalaiannya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban ritualnya, menurut ceritera, ia terpaksa menggunakan jalan ke luar yang juga dilakukan oleh snfsuft y&g lain, yaitu: gila yang dibuat-buat. Muslihat ini nampaknya telah menyelamatkan hidupnya dan juga kehidupan beberapa saf lainnya. Meskipun begitu, ada seorang sufi abad kesembilan yang tidak mau menggunakan muslihat ini, dan hadiah yang diterimanya atas ucapan-ucapan syathahat-nya sangat luar biasa. Al-Husain bin Manshur al-Hallaj dilahirkan sekitar tahun 858 di sebuah kota kecil yang disebut al-Baydla, tidak jauh dari pantai teluk Persia. Guru-guru sujl-nyztermasuk al-Makki (w. 909), al-Tustari (w. 986), al-syibli (w. 945), d"an alJunayd,s I empat tokoh terbesar di sepanjang sejarah sufisme. Nampaknya al-Junaydlah yang membujuk al-Hallaj untuk mengenakan jubah wol (suft). Ia bertindak sebagai pembimbing spiritualnya selama dua puluh tahun, tetapi setelah menyadari ketegangan yang berlebihan (hyperbolic) dalam watak pribadinya, akhirnya memutuskan hubungan deiigannya karena ketinggian hatinya, demikian menurut ceritera. Zianh pertama al-Hallaj ke Mekah dan penderitaan-penderitaan asketiknya melukiskan ketegangan ini dengan lengkap. Selama perjalanair pertama hajinya itu ia tidak beranjak selama satu tahun penuh di ruang Mesjid. Para pengunjung yang menyaksikannnya ketika ia kemudian duduk di terik matahari di atas sebuah batu di luar kota Mekah dengan peluh yang mengucur dari tubuhnya, lebih terpesona oleh kekeiasan tekadnya ketimbang oleh kesalihannya. "Orang ini," pikir mereka; "dalam ketidaktahuannya berusaha menyaingi Tuhan dalam M assignon, La p as si on d.,al- H ailaj, 1, h. 24 -25 :lbnu Khallikan, W afay at, W us_ tenfeld ed. (Gottingen, 1935), h. lg6. Massigrron, La passion d'at-Hailai, l, SS. 51. 52.

kemampuannya untuk bersabar."s2 Salah seorang rnuridnya menyatakan bahwa ia tidak pernah merebahkan tubuhnya untuk tidur, tetapi tidur dalam keadaan berdiri atau duduk selama tidak lebih dari satujam sekaligus."s 3 Sesampainya di Baghdad sekali lagi ia menjalin persahabatannya dengan al-Junayd. Yang terakhir menyalahkan al-Hallaj karena kesalahpahamannya terhadap sifat kemabukan mtsttk (sukr) dan atas kekeliruannya meninggalkan Kitab Suci dan ritualnya, tetapi terutama sekali karena prasangkanyllgglagai Tuhan.s a Keretakan dengan al-Junayd bertepatan dengan pemisahan diri al-Hallaj yang berangsur-angsur dari ordo-ordo sufi yang sudah mapan. Dari kehidupan ordo-ordo yang agak monistik ini, kini ia memulai kariernya sebagai pendakwah publik, yang penuh mengundang risiko. Ia menjalin persahabatan dengan berbagai ragam manusia - para filosof seperti al-Razi, negarawan seperti Pangeran dari Thaliqan'dan meng' akui bermacam-macam sistem kepercayaun yang samasekali mem' bingungkan teman-teman sezamannya dan memperbanyak jurnlah musuh-musuhnya. Secara khusus, nampaknya ia telah mengidenlifikasi dirinya sampai taraf tertentu dengan pihak Syi'ah atau 'Ali,ss suatu langkah politik yang benar-benar membahayakannya. Setelah menunaikan ibadat haji yang ketiga,, al-Hallaj kembali ke nagnaaA dengan sikap "yang samasekali berubah"., seperti yangdikata' kan putranya Hamid. Perubahan itu nampaknya telah ditandai oleh gagasannya yang lebih jelas dan tegas mengenai identifikasinya dengan Tuhan, dengan siapa ia kini benar-benar terlibat dalam suatu percakapan personal yang lebih intim. Kondisi jalinan personal dengan Aku-Engkau inilah yang disebut "esensi penyatuan" ('ain al'iam'), di mana semua tindakan, pemikiran, dan keinginan-keinginaii sang mistikus samasekali diserap oleh Tuhan. Tetapi, menurut hematnya, penyatuan ini tidaklah mengakibatkan penghancuran atau penghapusan diri secara total, seperti dalam kasus al'Basthami, melainkan meningginya hubungan yang menggembirakan dan intim dengan sang Kekasih. s6 53. Ihid., h. 69. 54. Ibid., h.60-61. 55. Ibid., h.76. 56. rbid., h. 116-117 341 _+ :t,Ir ' Dampak dakwahnya terhadap masyarakat Baghdad sangat ber$acam-macam- Beberapa orang menyambutnya sebagai seorang juru selamat, yang lain sebagai tulong sihir atau hanya sebagai seorang saleh yang melaksanakan jalan keagamaan. Rasa hormatnya atas daya ingat Ibnu Hanbal, tokoh Tradisionis terbesar dan doktor,anti-Mu'tazilah, nampaknya telah memikat hati orang banyak. Tetapi banyak juga

yang memandangnya sebagai seorang dukun .palsu dan ahli bid'ah yang patut mendapat hukuman mati. Dalam salah satu khotbahnya di mesjid al-Manshur di Baghdad, ia sendiri nampaknya telah mengetahui bahwa hukuman marinya telah ditentukan oleh Hukum Suci.sT Akhirnya pengambilan tindakan resmi dilaksanakan oleh Wazir 'Ali bin al-Furat pada tahun 909, tetapi penangkapan dan penghadapannya ke pengadilan-luar-biasa baru dilaksanakan empat tahun kemudian pada masa kewaziran 'Ali bin 'Isa. Ia secara umum diekspos sebagai oknum Qarmatian dan kemudian dipenjara selama sembilan tahun. Sekalipun ia menerima perlakuan yang baik selama dengan khalifah, berkat jasa-jasa yang baik dari bendaharawan negara yang simpatik melihat keadaannya, tetapi akhirnya ia dihukum atas tuduhan menimbulkan fitnah dengan keputusan seorang hakim resmi, yang menggunakan sanksisanlsi al-Qur'an terhadap pembawa bid'ah (Qur'an 5:33) dan ditandatangani oleh khalifah sendiri.sE Meskipun tuduhan resmi terhadap al-Hallaj adalah tuntutannya sebagar Tuhan dan untuk mempunyai otoritas melepaskan diri dari ketentuan hukum-hukum Islam, namun hasutan politiklah yang sebenamya merupakan faktor yang menentukan dalam penyiksaan akhir dan hukuman matinya. Mengenai tuduhan atas penuhanan-diri, perlu dicatat bahwa ketika dihadapkan kepada pernyataan-pernyataan y?ng ir buat dan di mana ia berbicara atas narna Tuhan dalam pribadi (oknum) pertama, ia mempertahankan dirinya dengan alasan bahwa praktek ini sepenuhnya sesuai dengan ajaran sufi tentang "esensi penyatuan", suatu kondisi mistik di mana Tuhanlah yang menulis dan berbicara melalui sang mistikus, yang hanya merupakan instrumenNy".t' Tetapi pendakwa-pendakwanya, khususnya wazir Hamid, Massigrron, La passion d'al-Hallai, I, h. 129 dst. rbid., h.274-275. Ibid., h.260. ,tl/ L -_.- - -,* -i.-.. 57. 58. 59. 342 '*r,:. -.:. -,:: tidak mau mendfigar' keruwetan teologi seperti itu, dan sekalipun ia telah diperintah untuk dicambuk dan dipenggal oleh khalifah, namun karena kefanatikannya yang berlebih-lebihan, wazir tersebut memerintahkan agar al-Hallaj dicambuk, dikutung, disalib, dipenggal leher. nya, dan dibakar; sedangkan abunya dipencarkan ke empat penjuru angin.6o Tiiiak pernah hal seperti itu terjadi di sepanjang sejarah tasawuf Isl4m.

III. Sintesis dan Sistematisasi: Al-Ghazali dan lbnu 'Arabi Ajaran dan kesyalidan al-Ilallaj yang luar biasa melukiskan dengan sangat tepat ekses-e*ses laten dalam mistikisme dan kecenderungannya untuk merobek segala bentuk-bentuk konvensional, di mana ibadat atau refleksi keagamaan diungkapkan. Namun nilainya yang kekal dalam sejarah pemikiran Islam justru terletak dalam suasana kegembiraan dan kebebasan yang tidak bisa dihalang-halangi yang ia masukkan ke dalam suatu sistem pemujaanyang sangat kering. Suatu penilaian yang simpatik terhadap wfisme haruslah memandang ekseseksesnya sebagai gejala dari dorongan semangat keagamaan untuk menyatakan dirinya dan dengan cara begitu dilepaskan dari bentuk-bentuk ritual yang kaku yang kadang-kadang dipaksa dimazukinya. Karena itu konsep cinta ilahi, derita dan kesenangan yang ditimbulkan oleh cinta seperti itu, antikeduniaan, sikap acuh tak acuh terhadap hari esok, yang muncul dalam mistikisme seperti sebatang pohon dalam rumpun yang penuh dengan bunga-bunga, memberi Islam suatu dimensi nilai spiritual tambahan yang tak ternilai harganya. Meskipun begitu, perkembangan radikal ini bukan tanpa risiko. Dan jika harga yang harus dibayar al-Hallaj dan murid-muridnya adalah sangat mahal, maka gagasan tentang kebebasan total, keakraban yang mesra dengan Tuhan, pastilah berpegang pada suatu prasangka spiritual tertentu, sehingga karenanya hanya Tuhanlah yang dapat menyelamatkan hamba-hamba pilihan-Nya. Komentar yang paling menyedihkan barangkali adalah penjelasan yang dilaporkan oleh putranya Hamd, tentang munculnya Tuhan secara tiba-tiba, di mana salah seorang murid ayahnya berceritera kepadanya: "Aku melihat Tuhan yang Maha60. Ihid.. h. 289, 305, band. Ibnu Khallikan, I4lafayat, h. 186. 343 :rq sgung dalam sebuah mimpi; Rasanya aku berdiri berhadapan-hadapan dengan-Nya dan kemudian aku berkata: Tuhan, apa yang telah,Husain bin Manshur lakukan (sehi4gga ia menerima nasib seperti itu)?'Aku telah sibakkan kepadanya Reqlitas, tetapi ia menyebut manusia sebagai Tuhan atas dasar perhitungannya sendiri dan karena itu Aku menjatuhkan hukuman kepadanya seperti yang engkau saksikan'."6 1 Para praktisi yang lain (yang melakukan) mistikisme uniter yang luarbiasa ini memerlukan sedikit diskusi. Al-Syibli, yang konsep penyatuannya sama dengan al-Hallaj, tidak mempunyai keberanian dan kesadaran diri yang terpinggi. Bukan saja ia menarik diri di depan umum dari ajaran al-Hallaj, tetapi ia juga tampil di hadapan umum untuk menuduh al-Flallaj sebagai orang gila. Mungkin saja tidak ada rasa dengki dalam tuduhar itu, karena ia sendiri melakukan kegilaan yang dibuat-buat ketika hidupnya sendiri terancam dan ia kemudian mengakui bahwa, sementara kegilaannya telah menyelamatkan dirinya, kegilaan al-Hallaj telah menyetabkan kematiannya. Kesyahidan al-Hallaj merupakan penjelasan yang paling tepat tentang ajaran utamanya mengenai 'ain al-Jam (esensi penyatuan).

Salah paham, salah saji, dan kritik-kritik tajam, menandai suatu titik peralihan dalam sejarah mistikisme dan bertindak sebagai peringatan yang keras akan bahaya yang membayang-bayangi mistikisme. Tokohtokoh besar dalam mistikisme pasca-Hallajian, seperti al-Ghazali dan Ibnu 'fuabi, menghabiskan waktunya untuk berusaha mengadakan sistematisasi dan sintesis. Al-Ghazali, yang reaksinya .terhadap NeoPlatonisme telah kita bicarakan,62 memperoleh dalamsuftsme jawaban terhadap pencaharian intelektual dan spiritualnya sendiri. Guru-guru utamanya dalam bidang tersebut adalah al-Junayd, al-Makki, al-Basthami, dan al-Syibli. Sebagai seorang yang mempunyai ilmu dan ketajaman intelektual yang lebft besar daripada beberapa gurunya, ia berjanji setia untuk mendukung sepenuhnya ortodoksi dan berusaha mati-matian untuk menjelaskan apayangia inginkan. Tiga unsur yang sebenarnya sangat membantu keberhasilannya dalam merumuskan suatu kepercayaan mistik yang benar-benar serasi dengan ortodoksi: (t) lggp Massignon, La passion d'al-Hallai, I. h. 10, 318. Supra, h.217 -218. 6t. 62. 344 (2) jenjang wujud Neo-Platonik, di mana Akal bertindak sebagai penghubung antara Tuhan yang bersemayam dalam Jiwa dan menggunakannya sebagai sebuah instrumen ('ain al' Jum'). Dalam sejarah filsafat mungkin unzur kedualah yang mempunyai arti yang tersendiri. Terlepas dari apakah al-Ghazali bersalah dalam bermuka-dua dalam polemiknya terhadap kaum Neo-Platonis, seperti yang didakwakan Ibnu Rusyd63 atau tidak, yangjelas adalah bahwa di dalam dua buah risalah mistik utamanya, Misykat al-Anwar danal-Risa' lah al- Laduniyah, jenjangwujud Neo-Platonik dijadikan sebagai kerangka seluruh mistikismenya. Al-Misykal merupakan suatu penjabaran tentang ayat al-Qur'an (Surat 24:35) yang mengatakan Tuhan sebagai cahaya langit dan bumi dan ditafsirkan al-Ghazali, seperti juga oleh kaum Iluminasionis abad kedua belas, dalam istilah-istilah mistik. Nama "cahaya", menurut hematnya. terutama sekali diterapkan kepada Tuhan, dan kepada obyek-obyek yang bercahaya lainnya secara figuratif dan derivatif. Kita mengatakan penglihatan dan Akalbudi sebagai cahaya karena kedua-duanya menjadikan obyek-obyek itu tampak dan dapat dilihat. Tetapi yang lebih tepat disebut cahaya adalah Akalbudi, karena di samping menampakkan obyek, ia juga dapat me' nampakkan dirinya sendiri dan tidak dibatasi oleh kondisi-kondisi ruang dan waktu. Oleh karena itu ia mempunyai suatu analogi yang lebih besar dengan Tuhan, yang n-renciptakan Adam, sebagai prototipe sifat dasar rasional, dalam gambar-Nya sendiri Dunia yang tampak ('alam al-syalwdah) merupakan sebuah tiruan atau bayangan yang lebih rcndah dari dunia akali ('alam al-mnlakut)

yang bisa saja disebut dunia rohani atau yang bercahaya, yang dilukiskan dalam al-Qur'an dan Kitab-kitab Suci yang diwahyukan lainnya.6 a Jenjang entitas-entitas yang bercahaya ditentukan oleh kadar kedekatan mereka dengan Cahaya Tertinggi atau Tuhan. Karena itu lsrafil 63. Lihat Fashl al-Maqal, h. 18. 64. Misykat al-Anwar, h. 51. Terminologi kaum emanasionis tradisional digunakan dalam konteks ini. 345 berada di atas Jibril, yang disusul oleh malaikat-malaikat lain yang lebih rendah, yang bersama+ama dengan entitascntitas korporeal yang ber' m"ra-*"cim, menerima wujud mereka dari Cahaya Tertinggi. Akibatnya wujud mereka bersifat murni derivatif dalam kaitan dengan Penclp' ta mereka; satu-satunya yang memiliki sifat wujud yang esensial' Se' sungguhnya tidak ada yang lain yang memiliki wujud, terlepas darittya. tcarena itu para mistikus atau para wali, yang telah mencapai puncak realitas dan mengatasi "bidang metafor" dapat melihat dengan jelas bahwa tidak ada wujud di dunia ini selain Tuhan dan bahwa wajah (esensi) sogala sezuatu akan musnah, kecuali wajah (esensi)-Nya(Qur'an28:SSr,tidakdalama:tibahwaiamusnahdalam waktu-waktu tertentu atau u,aktu yang lain, tetapi dalam arti bahwa ia fana secara kekal dan selama-l.amanya dan tidak dapat dipahami dengan cara lain. sebenarnya, segala sesuatu selain Dia, dipandang dalam dirinya sendiii, samasekali tiada, dan dipandang dari wujrid yang diterima dari RealitasPertama,mempunyaiwujudbukandalamdirinyasendiritetapi denganmemperhatikanwajah(esensi)Pembuatnya'sehinggasatu.satunya yang benar-benar ada hanyalah wajah (esensi) Tuhan. Jadi tak ada sesuatu selain Tuhan Yang Mahakuasa dan wajah (esensi)-Nya, dan akibatnya segala sesuafu itu selamanya dan secara azali bersifat fana, kecuali wajah Tuhan."" Manusia menempati suatu posisi unik dalam jenjang tersebut. Bukan hanya Tuhan telah menciptakannya menurut gambar-Nya, ttapi' Ia juga telah menciptakannya sebagai sebuah "miniatur" alam semesta. Gambar Tuhan dalam dirinya telah dibentuk oleh Tuhan sendiri, karena hanya orang yang dapat mengenal dirinya sendiri, akan dapat mengetahui Tuhannya, seperti yang dikemukakan oleh sebuah tradisi sruf. Meskipun begitu, gambar ini hanyalah sematamata gambar Tuhan Yang Maha Pengasih (al-Rahnane/, bukan Tuhan sebagai yang dipertuan (the Lord),karenayang terakhir tidak pernah dapat diperankan atau diungkapkan dalam istilah-istilah yang baharu. Ini merupakan rahasia Tuhan, yang, seperti dikatakan al-Ghazali, hanya dapat diungkapkan secara metaforis - atau figuratif.66 Oaya-daya pemahaman manusia bermula dengan indria dan memuncak dalam Akalbudi, yang mengembangkan lingkup pengetahuan Miskat a!-Anwar, h. 55-5?; band. Fakhry,Islamic Occosionalism, il 7 -8.

rhid., h. 7 t-72. 346 65. 66. ET ?secara tidak terbitas melalui penarikan kesimpulan dan sintesis. Meskipun begitu kepada para nabi dan wali diberikan suatu kecakapan khusus yang disebut jiwa suci atau kenabian. Melalui kecakapan ini mereka dapat memperoleh pengetahuan tentang masa depan, kehidupan yang-akan-datang, dan sesuatu yang adikodrati atau ilahiyah. Orang-orang yang ragu akan adanya kecakapan seperti itu sama seperti mereka yang tidak mempunyai selera puitis atau musik dan karena itu tidak dapat memahami bentuk-bentuk seni ini. Biarkan mereka percaya paling tidak kepada kemungkinannya.6T M,@ pengetahuan Akalbudi atau pengetahuan iman, tetapf-gengetahUg$ pg4gatagjgUgg. Karena itu pengetahuan sejati tentang Tuhan termasuk dalam urutan "expetiential" tni. Beberapa orang begitu terpikat oleh kesenangan-kesenangan dan urusan-urusan dunia ini, sehingga mereka tidak dapat mencerap cahaya Tuhan. Yang lain mengenal Tuhan semata-mata sebagai Da yang dihubungkan dengan dunia, yaitu sebagai Penggerak Pertama langit. Untuk memelihara keesaan-Nya beberapa di antaranya telah mengenalnya hanya sebagai Penggerak bola langit yang terjauh, sementara yang lain memberikan fungsi irti kepada suatu agen yang lebih rendah atau roh yang hanya melaksanakan perintah T[annya (al-Mutha').6t . Dalam semua kasus pengetahuan ilahi, Tuhan secara uluhiyah dipahami melalui "selubung cahaya" yang menyingkapkan hakikatNya yang sejati. Kategori keempat dari orangorang yang mengetahui, alwashilun (orang-orang yang telah sampai), sekalipun begitu, mengetahui bahwa al-Mutha' ini tidak mempunyai sifat kesatuan dan kesempurnaan mutlak, dan karenanya mereka melihat di luar dirinya Pencipta langit dan bumi yang tidak terperikan, kepada siapa al-Mutha', penggerak langit terjauh, dan penggerak-penggerak bola langit yang lain semuanya tunduk.6e Yang paling istimewa adalah orang-orang yang, setelah mencapai tingkat ini, samasekali musnah dan tercerap 67. Ihid.,h.78. 68. Mutha' ini dalam al-Risalah al-Laduniyah disamakan dengan intelek universalnya Neo-Platonisme; lihat al-Ianhar al- Ghazali, h. 25. 69. Misykat al-Anwar, h.9l*92. 347 dalam' Yang Mahaesa, dan akibatnya mereka tidak dapat melihat baik dirinrya sendiri maupun wujud yang lain, kecuali wajah Tuhan. Kondisi mistik seperti ini dapat disebut pemusnahan (faru') atau pemusnahan dari pemusnahan, karena di sini sang mistikus mati untuk dirinya dan juga ,untuk kematiannya sendiri. Dalam tindakan mereka yang terlalu beisemangat beberapa orang di antaranyaTo telah menjadi begitu

mabuk kepayang, sehingga mereka yakin bahwa mereka telah menjadi Tuhan. Padahal dalam kenyataannya, kondisi yang mereka capai tidak lebih dari pengakuan terhadap keesaan Tuhan (tauhid), yutu kesadaran pada kenyataan bahwa tidak ada wujud yang nyala (real) di dunia ini selain Dia.? 1 Tetapi ini samasekali berbeda dengan pers, rmaan (identitas) dengan-Nya ( ittihad ). Tanpa memisahkan dirinya secara eksplisit dengan sufi-sufi yang berlebihan sebelumnya dan mereka yang kadang-kadang disalahkannya karena membocorkan apa yang seharusnya dirahasiakan, al-Ghazali seperti gurunya al-Junayd dengan cerdik menelusuri parit panteistik tanpa terperosok ke dalamnya. Oleh karena itu mistikismenya mungkin dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk memberi cita-cita monoteistik Islam suatu tingkat kogensi metafisik yang lebih besar. Sebagaimana yang pernah ditulis Wensinck: "Ghazali tidak melihat pada yang maujud selain Wujud Yang Unik, yang kardna beberat'a alasan yang samar, pada suatu saat keabadian, telah memahami dan menyadari suatu dunia yang dalam dirinya tidak mempunyai eksistensi dan juga daya untuk bertindak . . . .Menurut panteistne, Tuhah tidak ada kecuali melalui alam semesta. Menurut al-Ghazali 'alam semesta tidak ada samasekali. Ajaran Ghazali adalah monoteisme Semitik dilihat melalui prisma Neo'Platonisme."72 Meskipun begitu usaha yang paling berani dan sangat radikal untuk mengekspresikan versi mistik tentang realitas dalam istilahistilah Neo-Platonik tak pelak lagi adalah usaha Ibnu 'fuabi. Dilahirkan Yaknl al-Syibli dan al-Basthami, !'ang telah disinggung sebelumnya (ibrd, h. s7). Itrat lhya', Pt. ry, h. 243 band. ajaran yang sepadan dari al-Junayd dalam Abdel-Kader, The Life, Personality and llritings of al-JunayQ h. 73-74. Wensinck, La pense de Ghazali, h. 9, band. Zaehnet, Hindu and Muslim Mys' tici$n, h. 162-163, tentang kesejajaran Hindr'r dengan ajaran ini. 70. 71. 72. 348 L---..,---,..--.i:'*-:;,:.i-- :, -.*, .--'. - -. .-.' -. -di Murcia (Spanyol) pada tahuh 1165, ia melawatke seluruh pelosok Spanyol, Afrika Utara, dan Timur Dekat dan.akhirnya bernnrkim di Damaskus, di mana ia meninggal pada tahun 1240. Perkenalarinya dengan sufisme nampaknya telah dimulai di'Almeira, di mana aliran Ibnu Masarrah (w. 931), seorang filosof dan wfi, berkembang dengan suburnya.T3 Selain Ibnu Masarrah, para pendahulunya termasuk alTfumidzi (w. 898), al-Wasithi (w. 942), dan Ibnu al-'Arif (w. l14l). ta diperintahkan dalam sebuah visi untuk mengadakan peilawatan ke Timur, dan dengan jalan itu ia mengunjungi Mekah pada tahun 1201. D}i sanalah ia "diperintah" untuk menulis karya besarnya, al-Futuhat

ul-Makkiyah (lilahyu-viahyu triekah), dan berjumpa dengan seorang gadis yang kemudian menjadi istrinya, seorang suf Persia. Dari Mekah ia melanjutkan perjalannya ke seluruh Timur Dekat, mengunjungi Mosul, Konya, Baghdad, Kairo, dan terakhir Damaskus, di mana ia mendirikan tempat tinggalnya pada tahun 1223 dan menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya. Menurut para peneliti yang mutakhir, tidak kurang dari 846 karya yang dipandang berasal dari lbnu 'Arabi, 550 di antaranya sampai ke tangan kita. Dari jumlah yang besar ini hampir 400 karya kelihatan nya asli.?a Dalam kebanyakan karya tersebut Ibnu 'Arabi menyatakan secara eksplisit bahwa selama ia rnenulis karya-karya tersebut ia mendapat bisikan Tuhan atau perintah dari Nabi.Ts Kita baru saja melihat, dalam kasus al-Hallaj, tuntutan bahwa Tuhan menggunakan mistikus sebagai penyambung lidah atau instrumen-Nya. Ajaran Ibnu 'fuabi, seperti yang temuat dalam dua karya utamanya, al-Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam (Mutiara kebi. iaksanaan), terpusat sekitar konsep kesatuan wujud (wahdat al-wu1iud), Meskipun demikian titik tolak spekulasinya adalah teori tentang Logos. Menurut hematnya, setiap nabi dapat disamakan dengan sebuah realitas yang. ia sebut sebuah Logos (Kalimah) dan yang.merupakan satu aspek Wujud Ilahi yang unik. Tetapi karena manifestasi diri yang 73. Asin Palaciog lbnu Masarra ysu escuela,.h. 94-95; tetapi band. Affifi, The Mysrisal pPilosophy of lbnu'l-'Arahi h. 178-179. '14. Llhat Yahya, Histoire et classification de I'awre d'Ibn'Arabi, l,h. Tj-74. 75. Liltal, Fushus al-Hikam, h.57-48, et passim 349 Ilahi dalam Ingos atat epifani kenabian, yang dimulai dengan Adam dan mencapai puncaknya dalarn diri Muhammad ini, maka sifat (hakikat) Wujud Tertinggi akan tetap selamanya tersembunyi. Sebagai sumber segala realitas,'Wujud ini pada dasarnya tidak dapat dibagi' bagi, kekal dan tidak berubah-ubah. Ibnu 'Arabi membedakan antara aspek tersembunyi Wujud ini, yang tidak dapat diketahui dan diperikan dan yang merupakan aspek kesatuan (ahadiyahf dengan aspek ketuhanan (rububiyah), lewat mana Tuhan menjalin hubungan dengan dunia dan menjadi sebuah obyek pemujaan, sebagai Yang Dipertuan dan Pencipta. Dalam aspek pertama tidak ada keanekaan atau pertentangan dan tidak ada ketentuan apa pun. Karena itu dalam hal ini Tuhan dikatakan sebagai cahaya murni, kebaikan murni, atau Kebu' taan semata (al-'Anw'). Dalam aspek kedua terdapat keanekaragaman dan pembedaan, sejauh Tuhan adalah sang Pencipta dan juga keragaman obyek-obyek yang diciptakan.T6 Tuhan menjadi beraneka ragam hanya melalui sifat'sifat atau modifikasimodifikasi-Nya. Dipandang dalam diriNya-sendiri, Ia adalah yang Real (al-Haqq). Dpandang dari hubungannya dengan sifat'sifat' Nya yang mengejawantah dalam keanekaragaman entitas+ntitas yang

mungkin, Ia adalah ciptaan (al-Khalq). Meskipun begitu, kegandaan ini - satu dan banyak, yang pertama dan yang terakhir, yang abadi dao temporal, yang wajib dan mungkin - pada hakikatnya adalah realitas yang satu dan sama.77 Ciptaan yang pada mulanya berada dalam pikiran Tuhan, sebagai suatu rangkaian arketipe, disebut oleh lbnu 'Arabi sebagai "entitasentitas yang baku" (a'yan tsabitah). Tetapi Tuhan yang tetap tersem' bunyi, ingtn mengejawantahkan diri-Nya secara, boleh dikatakan, visual, dan karenanya merasa perlu mewujudkan ciptaan ini seluruhlya melalui ketentuan ilahiah-Nya (alamr), yang bagi-Nya adalah sama dengan sebuah cermin bagi bayangan, bayang'bayang bagi sang figur, dan bilangan bagi satuan. Tujuan Tuhan dalam mewujudkan dunia Fushush al-Hikom, h. 38-39, 63. Ibid., h.76-77 dan komentar, band. AfTifi, The Mystical Philosophy of Ihnu'l-'Arabt h. l0- I 1. Ibid., h. 203, dan Afftfi, The Myxicol Philosophl, of lhnu'l-'Arabi, h.82. 350 76. 77 78. L-1? :=:' ,'--... dari tiada adalah cinta; seperti yang diungkapkan dalam sebuah lhd[s;1 "Aku adalah khazanah yang terpendam dan Aku ingin (Arabnya: cinta) untuk dikenal."?E Pengejawantahan atau epifani Tuhan yang pating tinggi adalah prototipe manusia, yang disamakan oleh lbnu 'fuabi dengan Adam dan disebut L,ogos Adami atau manusia sempurna."e Sebenarnya, wujud manusia sempurna ini adalah tujuan yang sesungguhnya dari pemeliharaan dunia danraison d'efie eksistensinya. Konsep manusia sempurna ini, yang diciptakan menurut gambar i atau rupa Tuhan, berasal dari al-Hallaj dan,telah memainkan suatu I peranan yang penting ,dalam upaya sang saf untuk menerangkan I hubungan Tuhan-manusia. Menurut Ibnu 'Arabi, ketuhanan dan kemanusiaan bukanlah dua sifat (hakikat) yang berbeda, tetapi lebih merupakan dua aspek yang terpantul dalam setiap tingkat penciptaan. Ketuhanan dapat disamakan dengan aspek realitas yang tersembunyi atau batin (bathin), sedangkan kemanusiaan dengan aspek elsternal atau lahir (zhahir). Dalam terminologi filsafat, yang pertama dapat disamakan dengan substansi, sedangkan yang kedua dengan aksiden. Pengejawantahan realitas ini mencapai kesempurnaannya dalam diri manusia.Eo Manusia adalah mikrokosmos atau miniatur seluruh ciptaan, yang mewujudkan di dalam dirinya semua kesempurnaan makrokosmos dan juga kesempurnaan sifat ilahiyah sendiri. Karena alasan

inilah maka ia ditunjuk (dalam al-Qur'an) sebagai wakil Tuhan khalifah) di muka bumi. Sekalipun Ibnu 'Arabi berbicara tentang ras manusia atau keturunan (propeny) Adam sebagai zuatu keseluruhan dalam puji. an yang demikian spekulatif, namun ia menjatahkan bagi para nabi dan wali sebuah posisi yang sangat tinggi di antara manusia-manusia lainnya dan bagi Muhammad gelar "manusia sempuraa" yang sebenarnya. Sebagai manifestasi Tuhan yang paling penuh, manusia sempurna dapat disamakan dengan Ingos, yang diungkapkan sebagai 'trakikat Muhammad". Dengan ini tidaklah dimaksudkan kepribadian historis Muhammad, melainkan roh atau esensinya yang abadi Ibid., h. 48 - 49,.7 5 -7 6. Fushus al-Hil<an, h. 55-56. 't9. 80. 35t sebagai pengemban wahyu Tuhan yang paling tinggi dan paling akhir. Hakikat ini disamakan oleh Ibnu 'Arabi dengan intelek pertama atau Akalbudi universal menurut kosmologi. Neo-Platonik. Kelompok umum "manusia sempurna" atau para nabi merupakan manifestasi langsung dari intelek ini di mana Muhammad menempati posisi paling tinggi, sementara nablnabi yang lain adalah manifestasi yang lebih rendah.sr Hakikat Muhammad bukan hanya Logos utama lewat mana kehendak Tuhan diwahyukan kepada manusia, tetapi juga adalah prinsip kreatif lewat mana dunia diciptakan. Dalam hal ini jelas sekali persamaannya dengan Logos Kristen, lewat mana, seperti yang di' katakan Yahya, "segala sesuatu diciptakan yang rdiciptakan". Selain itu, ia juga serupa dengan konsep Syi'ah tentanglmam, yang dipandang sebagai khalifah Tuhan di muka bunri dan kutub dari seluruh ciptaan dan roison d'etrenya yang sebenarnya.s2 Karenanya manusia bagi lbnu 'Arabi merupakan perwujudan $kalbudi universal dan wujud, di mana semua sifat atau kesempurnaan @alytmanuuararr vu.tg Grttut rnengdtunui furdn--e6ra lengkap. Para malaikat mengenal-Nya hanya sebagai suatu realitas yang transenden atau spiritual, sementara manusia me" ngenal-Nya dalam karakter ganda-Nya sebagai realitas esensial di satu pihak, dan manifestasi realitas ini dalam dunia fenomenal (Khalq) di pihak lain. Jiwa manusia atau rasional dibedakan oleh Ibnu 'Arabi dengan Jiwa hewan atau bestial. Seperti Aristoteles ia menyamakan yang terakhir dengan prinsip kehidupan dalam Jiwa hewani, tetapi seperti Plotinus ia mempertahankannya sebagai bagian Jiwa universal. Meskipun begitu Jiwa hewani ini bersifat material, meiasuki tubuh dan tempat persemayamannya di dalam hati. Jiwa rasional di pihak lain, bersifat imaterial dan tidak dapat dihancurkan. Berbeda dengan Ibnu Rusyd dan kaum Neo-Platonis pada urp-umnya, ia tidak percaya kepada penyatuannya. kembali pada akhirnya dengan Akalbudi universal,

dari mana ia membentuk suatu bagian. Sebaliknya kehendak Tuhan Afftfi, The Mystical Philosophlt of lbnu'l''Arabi' h' 7 l-72' Nicholson, Srudies in Islamic Mysticism, h. vi' 138- 139. Lffrfr, The Mystical Philosophy of lbnu'I''Arabi" h. l2I. 352 81. 82. 83. .1.rnenciptakan' sebuah wahana bagi Jiwa, yang sama dengan dunia ini, ke mana ia akan pergi setelah perceraiannya dengan tubuh-83 : Jiwa rasional atau roh {ruh) secara diametris bertentangan dengan tubuh, yang merupakan tempat sementaranya di dunia ini. Oleh karena itu ia tidak dapat menjadi, baik suatu bagian dari, atau sebuah daya dalam, tubuh itu, melainkan sebagai sebuah substansi sederhana yang mendominir semua daya-daya yang lebih rendah dari Jiwa hewani dan merupakan suatu anggota dari "dunia perintah" atau alam spiritual. sa Apa yang Jiwa rasional benar-benar ketahui, pada.tingkat tertinggi pengalaman mistik, pada akhirnya adalah kesatuan dari keseluruhan dan identitas (kesamaanlnya dengan keseluruhan tersebut. Manakala Jiwa telah mencapai kondisi ini, maka tidak akan ada lagi kesadaran terhadap diri sendiri sebagai entitas yang terpisah dan karena itu dapat dikatakan telah mencapai tingkat kemusnahan misllk (fana') tentang mana para sufi da:.i mulai al-Junayd ke bawatr tidak biasa membica' rakannya. Jiwa yang seperti itu mati, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga terhadap dunia sebagai suatu keseluruhan, dan tidak menyadari adanya entitas, kualitas atau kegiatan apa pun di dunia ini selain daripada Tuhan.ss Dalam mericapai tingkat ini, Jiwa itu harus telah mencapai tujuan akhir segala usaha manusia dan menyadari secara intuitif dan eksperientlal kesatuan mutlak segala sesuatu. Tingkat terakhir kesadaran mistik ini dapat disebut, seperti yang dilakukan al-Ghazali, sebagai tingkat kepunahan atau kematian dalam kesatuan ( a l-fana' fi l'l-tauh id ).E 6 Penjabaran sufisme berikutnya tidak begitu penting bagi ahli sejarah pemikiran Islam. Dengan tercapainya sufisme Ibnu 'Arabi, titik tertinggi perkembangan dan tenaga kreatifnya telah terkuras. Ibnu 'Arabi menggabungkan di dalam sistem raksasanya desakandesakan suJisufi sebelumnya untuk menarik diri mereka dari dunia di satu pihak, dan untuk mencapai suatu pengertian tentang kesatuan segala sesuatu di pihak lain. Di samping itu, seperti Rabi'ah rhid., h. 123. Ibid., h. 143-144 Supra, h.250. .i.s3

84. 85. 86. dan zahid-zahid sebangsanya, ia mengangkat cinta, terutama sinta Tuhan, kepada suatu tingkat kepercayaan keagamaan ritual. Tiga orang sezamannya atau para penerus lbnu 'Arabi, yaitu Ibnul-Faridl (w. 1235), 'Aththar (w. 1229), dan Jalal al-Din Rumi (w. 1273) memberi ungkapan yang sangat mengharukan, dalam bait. bait puisi mereka, perasaan-perasaan yang mendalam yang menggambarkan ketakjuban, cinta, kegembiraan hati, dan pengalaman mistik yang sangat sukar dipahami, yang oleh mistikus-mistikus lain dicoba diungkapkan dalam term-term filosofis yang lebih sederhana. . Ibnu Sab'in (w. l27O), pengikut dan teman senegara Ibnu 'Arabi mengungkapkan versinya tentang kesatuan wujud dari sudut pandang konsep bentuk Aristotelian dan mengadakan reaksi yang sangat keras terhadap kaum Neo-Platonis Muslim.st Satu abad kemudian 'Abd al-Karim al-Jili (w. 1428), wfi dm penyair terbesar yang paling akhir, meneruskan spekulasi Ibnu 'Arabi tentang tema manusia sempurna, hakikat Muhammad dan emanasi, dan memanfaatkan beberapa tema di antaranya, khususnya tentang manusia sempurna, semaksimal mungkin. 88 Dalam bidang keagamaan yang populer, aliran (trend) wfisme berikutnya adalah suatu persaudaraan yang lebih praktis dan sosial. Oleh karena itu tarekat al-Qadariyah, yang didirikan oleh 'Abd alQadir -al-Kilani (atau Jilani) (w. I166) di Baghdad, tersebar luas pada abad kesembilan belas ke seluruh dunia Muslim dari India sampai Marokko, dan nenarik pengikut yang aktif di Sudan Barat sekarang. Tarekat lain, a1-Fifa'iyah, didirikan oleh Ahmad al-Rifa'i (w. ll75) dan berbeda dengan yang pertama dalam hal tingkat kefanatikannya atau ketakhayulannya yang lebih besar yang merupakan ciri khas dari praktek-prakteknya. Tarekat yang lain didirikan di Mesir selama invasi St. Iouis oleh Ahmad al-Badawi (w.1276) (sehingga tarekat itu dinamakan Ahmadiyah atau Badawiyah) mempunyai pusatnya sekarang di Thantha, dataran rendah Mesir.se Anawati dan Gardet, Mystique muvlmane, h.65. Nicholson, Sudies in Islamic Mysticism, h.76-77 Anawati dan Gardet, Mystique muillmane, h. 69. 354 87. 88. 89. r L=:'.: i ::: +. =--qr.!8-3Baik di Asia Barat maupun di Afrika Utara ordo.ordo sr.f telah

tertanam &egitu mendalam dalam kehidupan masyarakat. Selama masa pemerintaltan Almohades, wfisme menerima pengakuan resmi dan dukungan dari negara. Hal tersebut mungkin merupakan kejadian pertama dahm sejarah Islam. Salah satu sisi yang sangat khas dari sulisme Afrika Utara adalah maraboutfstfte'nya atau pemujaan kepada waliwali. Sekte-sekte Maraboute menyebar ke arah selatan sampai Nigeria dan ke barat sampai Mesir. Keberhasilan mereka sebagian dise' babkan oleh kenyataan bahwa mereka menemukan tanah yang subur dalam sisa-sisa animisme dan magis di kalangan bangsa Barbar Afrika Utara.eo Salah satu tarekat sufi yang terkenal sepanjang zaman adalah Syadzaliyah. Didirikan oleh murid'murid Sadzali (w. 1256) di Tunis, tarekat tersebut menyebar ke seluruh pelosok Afrika Utara, dan cabangcabangrya (seperti al-Tijarniyah dan al-Rahmaniyah) terus-rnenerus memberi pengaruh di lvfamkko dan Aljazair sampai saat ini. Meskipun jenis mistikisme pogruler ini cenderung menurun me4frtti sebuah korporasi orang-orang yang hanya mencari ekstansi dbng*n mengulang-ulang rnenyebut asrna Nlah, suftsme telah berulang _kali meaunjukkan kembali vitalitasnya di tengah-tengah kehidupan modern. Kita dapat menyebut di sini kacus Ben 'Aliwa (w. l93a)yangtekeral itu, yang pada, nrasa peralilbrt abad ini rnendirikan sebuah tar,ekat sufi yang semFflft memperoftr*' popufad,tas, yang cukup besar, juga di kalangan kmm intelekltrual Eropa, tenltama Prancis dan Swiss. Monisme Beil 'Aliwa juga" Iebih radikal dari monisme Ibnu 'Arabi, dan ajarannye ditandai oleh suatu kadar sinkretisme yang lebih besar. Meskipun begitu, secara umum, baik tarekat ini maupun tarekat lain yang lebih kuno, secara terus-menexus dipukul dalam &tnia Muslim sekarang, oleh kekuatan-kekuatan yang sangat berlainan: sekularisme, nasionali*me, dan moderaisme di satu pihak, dan neo-ortodoksi, seperti yang dipelopori oleh \Ifahabiyah di Saudi fuabia, Ikhwan al-Muslimin di Mesk dan kelompok-kelompok konservatif yang sejenisnya di pihak lain.e I Anawati dan Gudet, Mystique muilhnane, h,7 O. Ibid., h.72-71. 355 90. 91. 5.:

Anda mungkin juga menyukai