Anda di halaman 1dari 12

1

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya karena
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat sesuai waktu yang telah ditentukan. Adapun
dalam penulisan makalah ini, materi yang akan dibahas adalah “Al-Qur’an dan Sistem Hukum
Masyarakat Arab”.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan masukan berupa
kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah selanjutnya.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penyusunan makalah ini, khususnya kepada dosen pengampu yang bersangkutan. Akhir kata
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah wawasan kita dalam
mempelajari “Sosiologi dan Antropologo Al-Qur’an” serta dapat digunakan semestinya.

Purwokerto, 13-Mei-2022

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

RUMUSAN MASALAH

TUJUAN PENELITIAN

BAB 2

3
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Nabi Muhammad SAW mendapatkan wahyu yang pertama kali pada hari
Senin tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahirannya, yang bertepatan
dengan tanggal 6 Agustus 610 M.1 Sejak saat itulah, Nabi Muhammad
mengemban amanat nubuwwah dari Allah SWT untuk membawa dan
menyebarkan ajaran agama islam ke tengah-tengah manusia, yang ternyata
merupakan ajaran yang di dalamnya itu merubah seluruh system social
masyarakat, terutama mengenai system hukum yang ada pada masyarakat
Jahiliyyah.2 Ketika islam muncul ke tengah-tengah masyarakat Jahiliyyah dengan
membawa syari’ah (system hukum) yang sangat sempurna sehingga dapat
mengatur relasi yang adil dan egaliter antar individu manusia di dalam
masyarakat. Ajaran-ajaran egaliter yang dibawa pada saat kemunculan Nabi
Muhammad SAW, itu membawa sebuah perubahan social terhadap
kejahiliyyahan masyarakat pada saat itu, terutama system hukum dengan wahyu
dan petunjuk dari Allah SWT.3
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Sistem Hukum Jahiliyyah Masyarakat Arab Pra-Islam
2. Bagaimana Hukum Islam yang Berevolusioner dan Egaliter
3. Bagaimana Reaksi Masyarakat Jahiliyyah Terhadap Islam dan Hukum
Islam
C. TUJUAN PENELITIAn
1. Dapat mengetahui mengenai Sistem Hukum Jahiliyyah
2. Dapat mengetahui tentang Hukum Islam yang Revolusioner dan Egaliter
3. Dapat mengetahui tentang Reaksi Masyarakat Jahiliyyah Terhadap Islam
dan Hukum Islam

1
Muhammad Ridho, Muhammad Rasul Allah Shalla Alllahu 'alayhi wa Sallama, cet. V (Kairo: Dar al-Ihya'
al-'Arabiyyah, 1966 M / 1385 H) hlm. 59.
2
Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. I The Classical
Age of Islam (Chicago: Chicago University Press, 1974), hlm. 174.
3
Robert Roberts, The Social Laws of the Qur'an: Considered and Compared with Those of the Hebrew and other
Ancient Codes, cet. I (London: Curzon Press, 1990), hlm. 2.

4
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Sistem Hukum Jahiliyyah Masyarakat Pra-Islam
Secara umum, zaman Jahiliyyah yang berarti kebodohan dan barbarian itu
merupakan periode Mekkah Pra-Islam. Sedangkan secara nyatanya, yang di
kemukakan oleh Philip K. Hitti, masyarakat yang tidak memiliki takdir tertentu
(no dispensation), tidak memiliki nabi tertentu yang terutus dan meminpin (no
inspired prophet) serta tidak memiliki kitab suci khusus yang terwahyukan (no
revealed book) yang menjadi pedoman hidup itu merupakan gambaran dari
masyarakat Pra-Islam.4
Di dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang merujuk pada kata
“Jahiliyyah”, diantaranya di dalam surat Ali Imron/3 ayat 153 (…yazhunnuna bi
Allahi ghayra al-haqqi zhanna al-jahiliyyati…) pada surat al Ahzab/33 ayat 33
(wala tabarrujna tabarruja al-jahiliyyati…) dan pada surat al-Fath/48 ayat 26 (…
fi qulubihmu al-hamiyyata hamiyyata al-jahiliyyati…) yang mana itu semua
ditunjukan oleh Philip K. Hitti5 dan dilakukan identifikasi oleh Muhammad Fuad
bahwa memang benar ayat ayat tersebut mengandung kata “Jahiliyyah”, 6 yang
mana itu semua sangat cukup memberikan sebuah petunjuk bahwa masyarakat
jahiliyyah itu memiliki ciri-ciri yang khas mengenai aspek keyakinan terhadap
Tuhan (zhann bi Allahi), aturan-aturan peradaban (hukm), life style (tabarruj) dan
karakter kesombongannya (hamiyyah). Sehubungan dengan itu semua, hukum
jahiliyyah ternyata ada keberpihakan terhadap kelompok tertentu yang memiliki
karakter yang berbeda-beda yaitu karakter rasial, feudal, dan patriarkhis.
1. Karakter Rasial
Pada hukum jahiliyyah karakter yang pertama yaitu rasial, bisa ditunjukan
dengan adanya perasaan kebangsaan yang berlebihan (ultra nasionalisme) dan
kesukuan (‘ashabiyyah) serta terdapat pembelaan terhadap orang-orang yang

4
Philip K. Hitti, History of Arabs from Earliest Times to the Present, edisi X (London: The Macmillan Press, 1974),
hlm. 87.
5
Philip K. Hitti, History of Arabs from Earliest Times to the Present, edisi X (London: The Macmillan Press, 1974),
hlm. 87.
6
Lihat Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu'jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur'an al-Karim, cet. I (ttp.: Dar al-Fikr,
1986 M / 1406 H), hlm. 184.

5
ada di dalam komunitas kesukuan (qabilah) yang sama. Istilah al-‘ashabiyyah
atau al-qawmiyyah dikenal pada masyarakat Arab pra-Islam yang memiliki
arti kecenderungan seseorang untuk membela mati-matian kepada orang-
orang yang berada di dalam qabilah-nya. Bahkan ketika posisi seseorang itu
benar maupun salah menurut hukum, asalkan seseorang tersebut berasal dari
gtup-nya, maka sudah dipastikan orang tersebut akan dibela hingga mati-
matian ketika dihadapkan dengan orang yang dinilai bukan dari grup-nya.7
Perasaan yang kebanggaanya sangat luar biasa (ultra nasionalisme) itu
dimiliki oleh orang-orang Arab pra-Islam, sehingga mereka (Arab)
menganggap bahwa bangsa merekalah yang mulia dan menganggap bangsa
lain (‘Ajam) memiliki derajat yang sangat rendah dibawahnya. Sehingga Ibn
Jarir al-Thabari pernah menceritakan mengenai sebuah kisah peristiwa hukum
perkawinan jahiliyyah yang memiliki karakter rasial dengan didasari oleh
semangat ultra nasionalisme. Yang mana di dalam cerita tersebut merupakan
sebuah kisah penolakan Nu’man Ibn Munzhir terhadap sebuah lamaran dari
seorang raja Persia Kisra Abruwiz pada anaknya yang bernama Hurqa, karena
Nu’man memegang hukum jahiliyyah bahwa bangsa Arab merupakan bangsa
yang “super” di atas bangsa yang lain Arab. Oleh karena itu, dilarang adanya
hubungan menikah dengan seorang ‘Ajam meskipun pelamarnya itu
merupakan seorang raja, karena Nu’man meyakini bahwa itu bisa menurunkan
kualitas ke-Arab-an yang “super” pada dirinya dan anaknya.8
2. Karakter Feudal
Yang kedua adalah karakter feudal, yang mana di dalam karakter ini
hukum Arab pra-Islam sangat tergambar dengan jelas bahwa ada superioritas
yang dimiliki oleh kaum kaya dan kaum bangsawan terhadap kaum yang
miskin serta kaum yang lemah. Orang arab Mekkah pada waktu itu, menjalani
kehidupan berdagang yang dapat mengutamakan kesejahteraan materi9
mereka yang dapat menjadikan tumbuhnya superioritas antara golongan kaya
7
LIhat nukilan dari al-'Aruba fi Mizan al-Qawmiyyah, hlm 10 yang terdapat dalam Ali Husni al-Khurbuthuli, Ma'a
al-'Arab (I): Muhammad wa al-Qawmiyyah al-'Arabiyyah, cet. II (Kairo: al-Mathbu'ah al-Haditsah, 1959), hlm. 5.
8
Nukilan dari al-Thabari, Tarikh al-Tabari, II: 150-156 dalam buku 'Ali Abd al-Wahid Wafi, al-Musawah fi al-Islam,
Anshari Umar Sitanggal dan Rosichin (penterjemah) (Bandung: al-Ma’arif, 1984), hlm. 17-18.

6
dan bangsawan diatas golongan miskin dan lemah. Sehingga kaum kaya dan
bangsawan pada saat arab pra-Islam itu menjadikan mereka pemegang tahta
kekuasaan serta menjadi golongan yang sangat makmur dan sejahtera di
Mekkah, bahkan sangat jauh berbalik dengan kaum yang miskin dan lemah.10
Sehingga system hukum dan sejarah perbudakan di kalangan masyarakat
arab pra-Islam merupakan salah satu bukti yang kuat bahwa adanya karakter
feudal pada hukum jahiliyyah masyarakat arab tersebut. Yang mana budak
merupakan manusia rendahan yang mempunyai derajat yang jauh di bawah
rata-rata manusia pada umumnya, sehingga budak tersebut bisa
diperjualbelikan, bisa diperlakukan apa saja oleh pemiliknya, serta tidak
memiliki hak-hak asasi manusia yanga sewajarnya selaku seorang manusia.11
3. Karakter Patriarkhis
Karakter berikutnya yang ada pada hukum jahiliyyah yaitu karakter
partriarkhis. Di dalam penelitian Haifaa, kaum laki-laki pada saat itu
memegang kekuasaan tertinggi dan diposisikan lebih tinggi di atas kaum
perempuan, sehingga kaum perempuan mendapatkan perlakuan yang
diskriminatif, tidak adil dan bahkan dianggap sebagai sumber kemelaratan dan
symbol kenistaan (embodiment of sin). Bahkan di dalam hukum jahiliyyah,
seorang perempuan tidak diperbolehkan mendapat hak warisan. Sehingga
ketika seseorang melahirkan seorang anak perempuan, maka anak tersebut
dianggap sebagai aib, dan kemudian bayi perempuan tersebut dikubur secara
hidup-hidup.
Kondisi perempuan pada jaman jahiliyyah tersebut, tergambarkan di
dalam al-Qur’an surat an-Nahl/16 ayat 58-59 sebagai berikut ( wa idza
busysyira ahaduhum bi al-untsa zhalla wajhuhu muswaddan wa huwa kazhim,
yatawara min al-qawmi min su'in ma busysyira bihi, ayumsikuhu 'ala hunin am
yadussuhu fi al-turab…). Yang mana ayat tersebut menceritakan mengenai
sikap orang jahiliyyah dalam menyikapi berita kelahiran seorang anak
9
W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman, cet. II (Oxford: Oxford University Press, 1969), hlm.
51-52.
10
M.A. Shaban, Islamic History: A New Interpretation I A.D. 600-750, cet. IX (Cambridge: Cambridge University
Press, 1971), hlm. 8.
11
Lihat Washington Irving, Life of Mahomet (London: J.M. Dent & Son Lt., 1949), hlm. 13-14.

7
perempuannya yang mereka anggap memalukan, menurunkan harga diri orang
tua dan keluarga, sehingga anak perempuan tersebut jika perlu dibunuh atau
dikubur hidup-hidup. Cerita diatas cukup mewakili mengenai gambaran
tentang karakter patriarkhis yang terdapat pada system hukum jahiliyyah.
B. Hukum Islam yang berevolusioner dan Egaliter

Al-Qur’an sangat menolak penggunaan hukum jahiliyyah karena dinilai


penuh dengan hawa nafsu bahkan untuk pernikahan pun di dalam masyarakat
hanya untuk kelompok-kelompok tertentu yang berkuasa saja. Sehingga untuk
selanjutnya sudah ditegaskan bahwa hukum Islam adalah satu-satunya hukum
yang memang harus dipegang oleh manusia karena hukum tersebut berasal dari
Allah SWT dan di dalamnya membawa prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan
sosial.12

Awal periode Islam, Nabi Muhammad SAW telah menyebarkan ajaran


agama Islam secara universal kepada seluruh manusia, yang tidak terlepas dari
bimbingan wahyu Allah SWT. M.W. Watt telah meringkas ajaran Islam yang
telah disebarkan oleh Nabi Muhammad SAW pada saat awal periode Islam itu
kedalam 5 (lima) tema pokok, yaitu mengenai; kebaikan dan kekuasaan Tuhan
(God’s Goodness and power), pengadilan Tuhan di akhirat (the Return to God
for Judgement), respon manusia supaya bersyukur dan menyembah Tuhan
(Man’s Response-grattitude and worship), respon manusia di hadapan Tuhan
untuk menjadi seseorang yang dermawan (Man Response to God Generosity),
dan yang terakhir risalah kenabian Muhammad SAW (Muhammad’s own
vocation).13

Setelah kita mengetahui secara ringkas mengenai apa saja yang telah di
ajarkan oleh Nabi Muhammad SAW pada awal periode islam, ternyata ajaran
yang merupakan intinya adalah ajaran tauhid, yang mana ajaran tersebut
12
Ayat al-Qur'an surat Al-Ma'idah ayat 50 berbunyi, "afa hukma al-jahiliyyati yabghuna. Wa man ahsanu min
Allahi hukman li qawmin yuqinun". Ayat ini didahului dengan ayat yang menerangkan perintah Allah SWT untuk
memerangi dan menggunakan hukum Islam yang telah diturunkan oleh Allah SWT, lihat surat Al-Ma'idah ayat 48-
49.
13
W.M. Watt, Muhammad; Prophet and Statesman, cet. II (reprint) (Oxford: Oxford University Press, 1969), hlm.
23-24.

8
mengajarkan supaya kita beriman kepada Allah SWT yang Maha Esa, yang
Maha Kuasa, yang telah menciptakan selurah alam semesta beserta isinya, dan
juga merupakan sang penguasa alam akhirat yang akan mengadili
pertanggung jawaban seluruh makhluk-Nya (termasuk manusia) atas segala
sesuatu yang telah di perbuatmya.14 Yang dapat kita temukan juga dari ajaran
ini yang secara logis ialah adanya kewajiban untuk menyembah serta
bersyukur kepada Tuhan serta adanya kewajiban untuk menjadi egaliter dan
untuk selalu saling menyayangi antar sesame makhluk, terutama sesama
manusia.15 Sedangkan Lapidus mengatakan bahwa dasar dari ajaran Islam
periode awal ialah kesalihan keakhiratan, kemuliaan etis dan ibadah shalat
atau eschatological piety, ethical nobility and prayer formed the basis of early
Islam.16

Secara umum, hukum Islam itu berdiri atas prinsip-prinsip yang memang
secara absolut dan universal itu harus dipertahankan. Sebagaimana yang telah
dikatakan oleh Masdar F. Mas’udi bahwa prinsip-prinsip tersebut ialah
merupakan ajaran yang qoth’i dan akan menjadi tolak ukur mengenai
pemahaman dan penerimaan hukum Islam secara keseluruhan. 17 Selain itu
jugs Masdar mengidentifikasi prinsip tersebut yang antara lain merupakan
prinsip kebebasan dan pertanggung jawaban individu,18 prinsip kesetaraan
antar sesama manusia dihadapan Allah SWT,19 prinsip keadilan,20 prinsip
persamaan sesama manusi dihadapan hukum,21 prinsip tidak merugikan diri

14
Marshal G.S. Hodgson, The Venture… I:163.
15
Ira M. Lapidus, A History…, hlm. 24.
16
Ira M. Lapidus, A History…, hlm. 24.
17
Masdar Farid Mas'udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan: Dialog Fiqh Pemberdayaan, cet. II (Bandung:
Mizan, 1997), hlm. 29-30.
18
Surat al-Zalzalah/99 ayat 7-8, Fa man ya'mal mitsqala dzarrotin khairan yarahu. Ma man ya'mal mitsqala
dzarrotin syarran yarahu.
19
Surat al-Hujurat/49 ayat 13, Ya ayyuha al-nassu inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja'alnakum
syu'uban wa qaba'ilan li ta'arafu, inna akramakum 'inda Allahi atqakum.
20
Surat Al-Ma'idah/5 ayat 8, I'dilu huwa aqrabu li al-taqwa.
21
Surat Al-Ma'idah/5 ayat 8, ..Wa la yajrimannakum syana'anu qawmin 'ala alla ta'dilu… dan juga hadits riwayat
al-Bukhari, Ya ayyuha al-nassu innama halaka al-ladzina min qablikum annahum kanu idza saraqa fihim al-syarifu
tarakahu wa idza saraqa fihim al-dha'ifu aqamu 'alayhi al-haddu wa aymu Allahi, law anna Fatimata binta
Muhammadin saraqat laqatha'tu yadaha.

9
sendiri dan orang lain,22 prinsip kritik dan kontrol sosial, 23 prinsip menepati
janji dan menjungjung tinggi kesepakatan,24 prinsip tolong menolong untuk
kebaikan,25 prinsip yang kuat untuk selalu melindungi yang lemah,26 prinsip
musyawarah dalam urusan bersama,27 prinsip kesetaraan antara suami dan istri
dalam keluarga,28 dan yang terakhir prinsip saling memperlakukan dengan
ma’ruf antara suami dan istri.29

Sedangkan mengenai egalitarianitas di dalam Islam, sudah di tegaskan di


dalam surat al-Hujurat/49 ayat 13 bahwa orang yang paling mulia di hadapan
Allah SWT ialah orang yang paling bertaqwa, bukan seseorang yang paling
kaya, paling pandai atau paling berkuasa, baik itu laki-laki maupun
perempuan serta tidak peduli dia berasal dari suku bangsa apapun. Karena
pada awal ayat sudah disebutkan bahwa asal muasal manusia itu tercipta
sama, yaitu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang kemudian
nantinya akan tersebar luaskan kedalam berbagai kelompok dan suku bangsa.
Dan juga ditegaskan bahwa setiap sesame manusia perlu sekali adanya
komunikasi dan interaksi timbal balik. Ayat diatas juga ketika turun
diceritakan berkenaan dengan beberapa peristiwa, diantaranya ada peristiwa
yang terjadi pada saat itu ialah peristiwa fath al-Makkah. Lalu diceritakan pula
bahwa Bilal bin Rabbah mengumandangkan adzan serta dinilai oleh al-Harist
bin Hisyam bahwa Bilal tidak pantas mengumandangkan adzan tersebut
karena dia merupakan seorang “bekas” budak yang berkulit hitam. Sehingga
Suhayl pun merespon mengenai penelian dari Harits tersebut dengan

22
Surat al-Baqarah/2 ayat 279, La tadzlimuna wa la tudzlamuna dan Hadits riwayat Ibn Majah, La dharara wa la
dhirara.
23
Surat al-'Ashr/103 ayat 1-3, Wa al-'Ashri, inna al-insana lafi khusrin, illa al-ladzina amanu wa 'amilu al-shalihati
wa tawashaw bi al-haqqi wa tawashau bi al-shabri.
24
Surat al-Isra'/17 ayat 34, …Wa awfu bi al-'ahdi, inna al-'ahda kana mas'ula
25
Surat al-Ma'idah/5 ayat 2, Wa ta'awanu 'ala al-birri wa al-taqwa.
26
Surat al-Nisa'/4 ayat 75, Wa ma lakum la tuqatiluna fi sabili Allahi wa al-mustadh'afina min al-rijali wa al-nisa'I
wa al-wildani…
27
Surat al-Syura/42 ayat 38, Wa amruhum syura baynahum.
28
Surat al-Baqarah/2 ayat 187, …Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna…
29
Surat al-Nisa'/4 ayat 19, …Wa 'asyiru hunna bi al-ma'ruf…

10
ungkapan bahwa Bilal itu salah, tentu Allah SWT akan mengubahnya dan
turunlah ayat tersebut.30

Apabila nanti ada aturan-aturan dalam hukum Islam yang memang


kelihatannya tidak sesuai dengan prinsip egaliter dan dengan prinsip-prinsip
yang lainnya, maka kita harus memahami aturan tersebut sesuai dengan
konteks realitas sosial yang melingkupinya dan juga harus memperhatikan
fungsinya sebagai legal counter terhadap aturan-aturan non-egaliter yang
berlaku pada masa Jahiliyyah. Salah satu contohnya ialah hukum waris yang
membagi antara bagian laki-laki dan bagian perempuan yang mana laki-laki
mendapatkan dua bagian sedangkan perempuan hanya mendapatkan satu
bagian saja.

C. Reaksi Masyarakat Jahiliyyah Terhadap Islam dan Hukum Islam


Ketika Islam datang kepada masyarakat Jahiliyyah itu membawa
perubahan sosial, dan juga melawan system hukum yang telah ada sebelum Islam
muncul.31 Setelah Islam datang ternyata membawa perubahan yang sangat
signifikan terhadap hukum masyarakat Arab pra-Islam, sehingga misi Islam itu
mendapatkan respond an sambutan dari masyarakat, baik itu dari kelompok yang
menghendaki perubahan tersebut maupun dari masyarakat yang hanya menjadi
penopang dari hukum Jahiliyyah yang telah ada.32
1. Penerimaan Islam Oleh Masyarakat Jahiliyyah
Albert Hourani telah mendefinisikan para penerima ajaran Islam awal
yang terdiri dari beberapa pemuda (dalam jumlah yang relatif kecil) dari
keluarga Quraisy yang berpengaruh, beberapa orang (dalam jumlah yang
relatif besar) dari angota keluarga-keluarga yang kecil serta lemah, orang-
orang yang termasuk anggota suku-suku yang berada di bawah perlindungan
suku Quraisy dan beberapa pekerja (tukang-tukang) serta ada juga beberapa
dari kalangan budak.33 Lapidus mengatakan bahwa orang-orang jahiliyyah
yang menyambut baik ajaran islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad ialah
30
Abu al-Hasan 'Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbab al-Nuzul, Abu al-Qasim Hibatullah ibn Salamah Abu Nashr
(pentahqiq), (Kairo: Maktabah al-Dakwah, t.t.), hlm. 295.
31
Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law…, hlm. 10.
32
Marshal G.S. Hodgson, The Venture…, I: 174.

11
para migran yang marginal serta kaum miskin yang sangat tidak puas dengan
kondisi moral dan kondisi sosial yang ada pada saat itu.34
Para pengikut Islam oleh Nabi Muhammad SAW di perlakukan secara
egaliter, tanpa adanya membedakan asal-usul, status sosial, hingga jenis
kelaminnya. Sehingga Nabi Muhammad menjadi suri tauladan utama bagi
para kaum muslim awal dengan memiliki sikap yang rendah hati kepada para
pengikut Islam. Kenapa harus bersikap rendah hati, karena setelah 3 tahun
turun wahyu pertama dalam rangka perintah untuk menyebarkan agama islam
secara terang terangan,35 yang mana di dalamnya memuat perintah untuk
mempunyai sikap yang rendah hati kepada para pengikut islam yang telah
ada.36
Di dalam sejarah tercatat ada beberapa peristiwa yang dapat
mengambarkan kehidupan egaliter yang kontras dengan hukum jahiliyyah,
diantaranya ialah peran yang sangat besar sekali dari seorang perempuan yang
bernama Khadijah binti Khuwaylid dalam nubuwwah Nabi Muhammad SAW
dan penyebaran agama islam,37 pembebasan Bilal bin Rabbah oleh Abu Bakar
R.A,38penolakan Nabi Muhammad SAW terhadap sikap feodal dan rasial
terhadap Bilal bin Rabbah,39 perubahan sikap ‘Umar bin Khattab setelah
masuk islam yang menjadi penentang hukum Jahilliyah 40 dan beberapa
peristiwa yang lainnya.
2. Pertentangan Masyarakat Jahiliyyah terhadap Transformasi sosial Islam yang
Dibawa Oleh Nabi Muhammad SAW
33
Albert Hourani, A History of The Arab Peoples, cet. I (Cambridge: Belknap Press of Harvard University Press,
1992), hlm. 17.
34
Ira M. Lapidus, A History,.., hlm. 24.
35
Ibn Hisyam, al-Sira hlm. 262
36
wa andzir 'asyirataka al-aqrabin wakhfidh janahaka li man 'ittaba'aka min al-mu 'minin…
37
Tercatat bahwa Khadijah adalah orang yang menenangkan kegelisahan Nab Muhammad saw. setelah menerima
wahyu, meyakinkan Nabi Muhammad saw. terhadap kebenaran tentang datangnya wahyu dari Allah swt.,
penyumbang harta untuk kepentingar Islam dan sebagainya. Lihat Ibn Hisyam, Ibid, him. 237-239.
38
Bilal dimerdekakan tanpa syarat oleh Abu Bakr dari tuannya, Umayyah bin Khalaf, lihat Ibn Hisyam, Ibid., him.
317-318.
39
Rasulullah memperingatkan Abu Dzar al-Ghifari yang memanggil Bilal dengar sebutan Ibn al-sawda' dan beliau
mengatakan, innaka imru 'un fika Jahiliyya. laysa li ibn 'I baydha' 'ala ibn a l-sawda' fadhl illa bi al-taqwa aw 'amal
salih, lihat 'Ali Abd a1-Wahid Wafi, al-Musawah..., him. 11-12.
40
Umar menangis apabila mengingat perbuatannya pernah membunuh anak perempuannya sendiri hidup-hidup
dan pernah menjadi peminum minuman keras pada masa Jahiliyyah, lihat Ibn Hisyam, Sira..., I: 400-402.

12

Anda mungkin juga menyukai