Anda di halaman 1dari 18

Nama : Azzah Yafi’atul Fatin

Nim : 11190240000076

Kelas : Tarjamah 1C

Judul buku : ADONIS-Arkeologi sejarah pemikiran Arab Islam


PROLOG

Berdasarkan atas pemikiran saya, islam kini telah menduduki kekuasaan yang sangat tinggi.
Dengan meningkatnya para pemeluk-pemeluk agamanya, karena semakin banyak yang menyebarluaskan
ajaran-ajaran agama.Akan tetapi keislaman pada zaman terdahulu, menduduki posisi yang sangat kritis,
karena di hadapi oleh permasalahan yang menimbulkan adanya peresepsi antar keyakinan dalam
mengedepankan prinsip Al-Quran dan Hadist. Rumitnya persoalan ini mengakibatkan sikap yang berlebih
atas tradisi-tradisi kekayaan mereka dan terhadap munculnya kemoderenan yang sudah mulai menjelajah
dunia Arab – Islam.

Dalam buku ini menjelaskan tentang sejarah kecenderungan persoalan pemikiran masyarakat
Arab – Islam yang selalu bertentangan dalam memperebutkan kebenaran untuk selalu berpegang teguh
atas keyakinannya. Dan dalam buku tersebut terdapat kesamaan konteks dengan masyarakat Indonesia,
secara sosiologis dan menurut persoalan-persoalan keagamaan yang ada di dalamnya. Karena islam di
Indonesia terbagi menjadi beberapa kelompok keyakinan meskipun mereka berada di dalam satu agama,
satu kepercayaan, satu tujuan, akan tetapi mereka memiliki perbedaan dalam menyikapi jalannya agama
yang mereka anuti. Maka timbulah pertentangan antar kelompok tersebut. Dan di dalamnya akan di
jelaskan, islam seperti apa yang dapat menyelasaikan dan dapat menjadi sebuah rujukan dalam
menghadapi situasi tersebut. Dan akan memberikan gambaran atau kisah tentang kehidupan masyarakat
Arab – Islam, begitupun tentang kebudayaannya, tradisi-tradisi di dalamnya.

Asal nama Adonis berasal dari nama orang yang bernama Ali Ahmad Said. Nama Adonis
diberikan oleh Anton Sa’adah, selaku pendiri dan ketua Partai Nasionalis Syiria pada tahun 1940 an. Dan
Nama Adonis pada dasarnya adalah nama salah seorang dewa dalam sejarah Babilonia kuno. Alasan
mengapa di berikan nama Adonis pada buku ini karena, Ali Ahmad Said ini ingin menghidupkan atau
membangun kembali masa lalu negara-negara tersebut.
Para pemikir Arab kontemporer lainnya memiliki perspektif hubungan yang sama antara realistas
yang sekarang dengan warisan yang terdahulu . Mayoritas masyarakat islam cenderung memiliki
pemikiran untuk kembali kepada zaman terdahulu yaitu zaman keemasan, zaman kenabian
(Khulafaurrasyidin) dengan menguji kesahan era kodifikasi atau himpunan peraturan-peraturan ke dalam
suatu deretan yang mengarahkan perhatiannya kepada masalah pemikiran yang memusatkan era
kodifikasi tersebut. Adonis dan para pemikir lainnya seperti Muhammad Abed al-Jabiri, Nashr Hamid
Abu Zaid, Hassan Hanafi, dan Mohammed Arkoun termasuk dalam deretan pertama. Sedangkan Khalil
Abd al-Karim, Sayyid al-Oimani, dan Said al-Asymawi termasuk dalam deretan kedua. Para deretan
pertama tersebut, banyak melahirkan sebuah proyek-proyek besar, salah satunya adalah proyek Hassan
Hanafi yang bertemakan “Tradisi dan Pembaruan” (At-Turaats wa at-Tajdiid) dengan usaha membangun
persoalan perubahan social menjadi perubahan secaran alami dalam sudut pandang kesejarahan.

Dan untuk ketiga tokok para deretan kedua, yaitu Khalil Abd al-Karim, Sayyid al-Oimani, dan
Said al-Asymawi, mereka memusatkan kajian-kajiannya pada segi sejarah sosiologis masyarakat Arab
pada zaman kenabian. Meskipun mereka berbeda-beda dalam menggunakan dan mengaplikasian
pemikirannya, akan tetapi hasil tersebut tidak dapat di perlakukan secara mutlak, karena kenyataannya
kemampuan nalar berbahasa pada era tersebut mengalami perubahan dan menjadi berkembang.

Buku Adonis ini berjudul asli Ats-Tsaabit wal al-Muthawwil : Bahts fi al-Ibdaa’ wa al-
Ittibaa’inda al-Arab. Dan buku ini di terbitkan melalui proses penerjemahan yang meenyebabkan adanya
pengulur-uluran waktu karena terkait dengan factor eksternal yaitu kesehatan sang penerjemah, maka dari
itu penerbitan buku ini yang seharusnya terbit pada waktu deadline akhirnya harus tertunda atau
melenceng dari jadwal yang semestinya. Penerjemah mengalami kesulitan dalam menerjemahkan, karena
istilah-istilah yang di gunakan di dalam buku ini merupakan istilah yang berkaitan dengan Adonis itu
sendiri.

At-tsabit (mapan) didefinisikan dalam kebudayaan arab sebagai pemikiran yang berdasarkan
kepada teks, dan sifat kemapanannya dijadikan sebagai dasar atau landasan bagi kemapanannya itu
sendiri.

Dan al-muthawwil didefinisikan dengan dua pengertian, yaitu : pertama, pemikiran


yangberdasarkan dengan teks melalui interpretasi yang dapat beradabtasi dengan realitas dan perubahan.
Yang kedua, pemikiran yang memandan teks yang tidak mengandung otoritas dan tidak berdasarkan
dengan naql atau tradisi, akan tetapi berdasarkan dengan aql atau akal. Dengan definisi tersebut tidak
bersifat evaluative, akan tetapi bersifat deskriptif.
Banyak kecenderungan yang memperlibatkan pemikiran dengan kemapanan. Secara umum,
kecenderungan ini menganalogkan sastra, puisi dan pemikiran pada agama. Dan ada banyak pendapat
tentang penjelasan kemapan, diantaranya ada tiga pendapat yang sangat tepat, yang pertama Ath-Thabari,
yang kedua Ibn Hazm, dan yang ketiga Ibn Taimiyah.

At-Thabari mendefinisikan pengetahuannya melalui takwil dan sekitarnya. Ada tiga sisi takwil
dalam seluruh ayat Al-Qur’an,yaitu : sisi pertama, tidak ada jalan yang mengarah ke takwil, hanya Allah
sendirilah yang mengetahuinya dan tertutup bagi seluruh makhluknya. Seperti ruh, nasib, jodoh, maut,
dan sebagainya. Sisi yang kedua ialah persoalan tentang atau cara mengetahuinya, persoalan ini hanya
diberikan kepada nabi-Nya saja oleh Allah. Sisi ketiga adalah persoalan tentang pengetahuan yang hanya
diketahui oleh ahli bahasa, bahasa yang dipakai oleh Al-Qur’an yaitu bahasa Arab.

Dengan adanya definisi ini, ada seorang yang menanyakan persoalan mengenai siapa yang lebih
mengetahui dan memiliki pengetahuan tentang takwil dan yang paling berhak mendapatkan kebenaran
tentang adanya takwil tersebut. Dan At-Thabari pun menjawab persoalan tersebut. Jawaban pertama
adalah “yaitu orang yang palis jelas argumentasinya dengan hal yang diinterpretasikannya atau
ditafsirkan. Menurut kabar-kabar atau bukti yang benar dan dapat dipastikan”. Jawaban kedua ialah “yaitu
yang paling jelas pembuktiannya yang berkaitan dengan apa yang diucapkan dan dijelaskan”. Dan
jawaban yang terakhir ialah “yang paling sejalan atau yang paling berhubungan dan berkaitan dengan apa
yang dia tafsirkan”.

Ibn Hazm al-Andalusi mendefinisikan sebagai berikut : “kata yang muncul dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah, yang menjelaskan hukum-hukum dari segala sesuatu dan tingkatan-tingkatannya. Ia adalah
azd-Dzahir, yaitu makna yang jelas atau yang dituntut oleh kata dalam bahasa yang dinyatakan”. Ibn
hazm menolak untuk mengikuti pendapat para sahabat dan tabi’in dan juga para fuqaha. Ia mengatakan
bahwa, mengikuti pendapat belum terjadi di masa sahabat, dan tidak pula di masa tabi’in. Taklid
merupakan Bid’ah dan dinilai negatif.

Ibn Taimiyah berkata : “Bid’ah lahir dari kekafiran”, maka barang siapa yang dapat menandingi
dan mengalahkan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan nalar atau pendapat mereka sendiri, maka pendapat
tersebut muncul dari pendapat orang-orang yang sesat.

Oleh karena itu, Bid’ah semata-mata bukanlah sesuatu yang baru, baik yang muncul itu berupa
kosa kata maupun sesuatu, akan tetapi bid’ah sebenarnya berada diposisi sebagai makna yang keliru yang
dibawa oleh sesuatu yang baru tersebut. Dan semua yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah
sudah pasti itu adalah batil.
Dalam kekhalifahan atau kepemimpinan terdapat langkah awal untuk mamahami sejarah.
Khilafah tidak hanya sebagai titik temu antara agama dan dunia, tetapi juga merupakan symbol dominasi
atas seorang muslim yang menjadi penggati nabi sebagai khalifah atau pemimpin dan pelaksana perintah
Allah. Khilafah merupakan warisan para nabi. Oleh karena itu, warisan ini harus dilanjutkan terus
menerus oleh orang-orang yang memiliki sifat kekhalifahan dan telah di sepakati dan dipercayai oleh
masyarakat tersebut. Khalifah bukan hanya bertanggung jawab dalam persoalan sipil atau politik, tetapi
juga bertanggung jawab dalam persoalan keagamaan. Kekuasaan kenabian atau kerajaan memiliki posisi
dan kedudukannya sangat tinggi dan sangat berkuasa atas kepemimpinannya dalam memimpin
masyarakatnya. Warisan ini merupakan asal-mula dalam kebudayaan kita.

Saat kita mulai berhadapan dengan budaya kemoderenan masyarakat barat, kita hanya cukup
memprioritaskan atau membedakan pengaruh-pengaruh yang sejalan dengan metode dan ciri khas kita.
Jangan sampai terpengaruh dengan sisi negative dari kebudayaan tersebut. Dengan ini kita harus bersikap
moderat terhadap pengaruh budaya-budaya yang mulai merambat dalam tradisi kehidupan kita. Dan
berusaha supaya bias menyesuaikan diri dan menafsirkan.

Gejala-gejala budaya, sosial, politik, dan yang lainnya sangat penting untuk diketahui maknanya.
Mengetahui hal tersebut bukan hanya dari kondisinya saja, tetapi kita juga harus mengetahuinya dari segi
kekuatan yang dimiliki oleh gejala tersebut.dengan memberinya orientasi dan mengekspresikan dirinya
kedalam gejala-gejalanya. Diantara gejala-gejala kesadaran individualitas yaitu sebuah pengakuan dan
kemasyhuran.

Manusia layak berada dalam kelompok atau umat, sebab kesatuan kelompok merupakan simbol
yang tidak dapat dirusak oleh kesatuan ketuhanan. Dan sejarah Arab merupakan sejarah kekuasaan atau
system yang terstruktur dalam bagian politik. Dan demikian berkaitan dengan kebudayaan dan seni,
karena sejarah pasti memiliki kebudayaan didalamnya yang dapat menyerupai sebuah karya seni.
Berklarifikasi dan berurut-urutan. Sejarah hanya menjadi sebuah memori belaka. Yaitu memori bagi
masyarakat Arab-Muslim. Memori tersebut merupakan upaya untuk menarik ulang kembali persiapan dan
teknik untuk menarik kembali warisan keagamaan dan sastra
Agama islam menjadi salah satu pandangan menurut masyarakat arab yang berkaitan dengan
kehidupan dan alam sehingga menjadi penghujung dan permulaan dalam perspektif agama. Secara
fenomenologis,islam didahului oleh jahiliyah, tetapi secara substansif islam mendahuluinya. Dan dari sini
bahwasannya kita mengetahui jahiliyah melalui islam,bukan mengetahui islam melalui jahiliyah.
Pesoalan mendasar dalam mengkaji peradaban arab isalm dan tradisinya adalah dengan mengetahui dan
memahami watak perbedaan perspektif antara yang tsabit(mapan) dan muthawwil(kuno). Dan dengan
pertarungan antara kecenderungan ittiba’(imitasi) dan ibtida’(kreasi) telah mengambil dua manifestasi
yaitu agama dan politik yang berunsurkan kepemimpinan dan agama yang berasionaliskan watak
hubungan antara agama dan nalar. Dan muncul dua kecenderungan dalam pertarungan ini semenjak rasul
meninggal.

Agama islam dinyatakan sebagai penutup pengetahuan dan puncak kesempurnaan. Maka tidak
mungkin di masa mendatang akan mucul sesuatu yang tidak terkandung di dalam islam. Wahyu
merupakan permulaan zaman atau sejarah. Akan tetapi bukan berarti wahyu itu adalah masa lalu atau
masa lampau, melainkan secara keseluruhan : kemarin, sekarang dan besok.

Wahyu bersifat secara mutlak dan melampaui waktu. Pada masa lalu, wahyu di sisikan bahwa ia
yang pertama, dan pada masa kini wahyu di sisi kan bahwa ia terus menerus bergerak, sedangkan di masa
mendatang, bahwa ia secara mutlak merupakan yang terakhir.wahyu yang mucul pada masa lalu adalah
wahyu yang ada sekarang dan akan ada di masa mendatang. Maka, kemunculan wahyu sangatlah
berpengaruh dibandingkan dengan waktu historisitasnya.

Zaman wahyu bertentangan dengan Yunani-Chronos, yang dimana chronos dapat berperan
sebagai pencipta dan mematikan sesuatu. Pada saat itu, zaman wahyu diluar dari gerak perubahan dan
proses, sehingga tetap menjadi seperti apa adanya. Wahyu tidak dikenali oleh zaman,melaikan zamanlah
yang dikenali melalui waktu. Dan berartikan bahwa pemikiran agama lebih tinggi daripada zaman atau
sejarah. Karena zaman berkembang dengan adanya wahyu yang memiliki nilai lebih di bandingkan
dengan sejarah. Apabila sejarah dihubungkan dengan wahyu, mereka tidak ada kaitannya sama sekali,
karena sejarah adalah kesempatan dimana manusia bias mendapatkan wahyu, maka dari itu sejarah tidak
memiliki makna hakiki kecuali apabila di kaitkan dengan wahyu.

Zaman memiliki dua makna, yaitu : pertama, zaman keruntuhan atau jatuh dari yang asal. Di sini
zaman dinegasikan dengan maksud agar dapat menarik ulang kembali. Kedua, zaman tidaklah terbuka
atau ia bukan tempat untuk mengeksplorisasikan ilmu, akan tetapi kesempatan untuk mengingat ilmu
yang muncul dari asal. Dengan ilmu ini penemuan dapat dikenali, bukan ilmu ini yang dikenali lewat
penemuan.
Dalam perspektif ini, zaman bukan sebagai pokok bagi perkiraan manusia, akan tetapi ia
merupakan sesuatu yang diciptakan sama seperti yang lainnya. Namun ia tidak sempurna sebagai
makhluk yang lainnya, karena kesempurnaan berada dalam keabadian, bukan dalam zaman. Dan Allah
berkuasa untuk menciptakan ulang dalam masa apapun yang ia kehendaki. Maka zaman itu tidaklah abadi
atau kekal selama-lamanya. Zaman merupakan sebuah momen dan tempat dimana manusianya hanyalah
berperan sebagai objek dan menjadi saksi, dan Allah lah sebagai subjeknya. Jadi, manusia hanya terus
beusaha dan menerima takdir yang telah Allah tetapkan. Kun fayakuun.

Menurut imam al-ghazali, dunia merupakan ladang akhirat, dan agama hanya dapat berjalan
dengan sempurna lewat dunia. Maka dari itu, manusia dengan notabene sebagai hamba Allah di dunia
dengan mecari bekal hidup untuk di akhirat.Agama adalah qadim dan bersifat ilahi, hanya satu dan tidak
terpecah, maksudnya ialah tidaklah mungkin ada sesuatu yang ditinggalkan dan dicopot darinya. Agama
merupakan cittra yang sempurna untuk mengekspresikan kesempurnaan yang asal.

Dalam agama mempunyai kewajiban, sebagai landasan untuk manusia menaati atau mamatuhi
peraturan dalam kehidupan, termasuk dengan agama islam itu sendiri mempunyai beberapa macam
kewajiban. Dalam islam kewajiban itu ada dua, yaitu : pertama, wajib ‘ain, yaitu kewajiban individu,
kewajiban ini berlaku untuk semua orang, perihal tengan keibadahan ; atau hubungan manusia dengan
Allah atau dengan hak-hak Nya. Yang bersifat spiritual. Kewajiban ini ditanggung secara individual,
apabila kita melanggar maka kita akan berdosa..Yang kedua, wajib kiffayah, yaitu kewajiban atas seluruh
umat sebagai satu kesatuan tanpa memandang individual. Kewajiban ini berkaitan dengan persoalan
sosial-politik.

Syari’ah ditegakkan atas dasar prinsip kewajiban, bukan hak. Dan manusia sebagai mukallaf atau
sebagai yang dibebani, yaitu orang yang melaksanakan kehendak Allah. Dalam sudut pandang ini,
tindakan manusia dikakitan dengan Allah, baik dalam segi penciptaan maupun tindakan, dan sebagaib
bentuk upaya yang akan dibalas dengan pahala jika kewajiban tersebut dilaksanakan dan ditaati, maupun
dalam bentuk perintah ataupun larangan.

Ketidakmampuannya manusia dalam melakukan upaya atau tindakan tersebut, memiliki


kesejajaran bahasa dalam puisi aliran sastra konservatif. Penyair yang menuliskan, menghubungkan ahli
fiqh dengan dasar dasar keagamaan menurut aliran budaya.

Kata kata tersebut terbagi menjadi beberapa bagian dalam beberapa segi : pertama, tentang aspek dan
struktur bahasa yang merupakan kajian tentang acuan makna yang di tuju. Kedua, aspek gaya dari
struktur tersebut, atau kejelasan tentang makna yang di tuju. Ketiga, aspek tentang yang bersebrangna
dengan aspek yang kedua, adalah makna yang di tuju itu tersembunyi. Dan yang terakhir, aspek tentang
penggunaan struktur tersebut, mencakup tentang cara penggunaan kata kata yang di gunakan untuk
menunjuk pada makna yang di tuju.

Dan aspek aspek tersebut,di dasari oleh makna yang terbagi menjadi empat, yaitu : pertama,
makna yang dipahami berdasarkan isi teks tersebut. Kedua, makna yang dikenali berdasarkan tanda pada
teks tersebut. Ketiga, makna yang didasarkan pada acuan teks. Keempat, makna yang didasarkan pada
keterlibatan teks tersebut.

Ungkapan amm adalah ungkapan yang muncul dalam Al-Qur’an. Makna amm secara khusus
adalam umum atau menyeluruh. Ungkapan tersebut berupa kaidah kaidah dan hukum universal,
sedangkan ungkapan khash adalah ungkapan yang muncul dalam As-Sunnah, yang menafsirkan dan
menjelaskan makna ungkapan amm. Khash berartikan khusus. Terjadinya perbedaan pemahaman
hubungan antara amm dengan khash yang menyebabkan perselisihan.

Secara keagamaan, taklid diartikan atau di definisikan sebagai sikap seseorang yang mengikuti
orang lain berkaitan dengan apa yang ia bicarakan ataupun dengan apa yang dia lakukan. Akan tetapi,
taklid termasuk sikap yang dilakukan tanpa tau faidah dari apa yang dilakukannya, jadi hanya sekedar
ikut ikut saja, dan menurutnya, orang yang diikutinya tersebut adalah orang yang diyakini sebagai yang
paling benar dan sempurna. Kecenderungan terhadap upaya sikap ini karena berasal mula dari keinginan
agar tidak timbul perselisihan. Orang yang mentaklid disebut muqallid, sedangkan orang yang ditaklidi
disebut muqallad. Berkaitan dengan ini, timbullah qiyas yang didefinisikan sebagai menyamakan satu
kata dengan kata lain yang setara dengan statusnya. Hal ini dilakukan ketika apabila tidak ditemukan
sesuatu yang sama sekali bertentangan dengannya.

Sikap taklid dari segi kesejarahan – sosiologis, menjadi kuat karena adanya faktor yang
mendukung hal tersebut, yaitu : pertama, menurut orang Arab, mereka adalah penakluk, dan mereka
beranggapan bahwa bangsa yang mereka taklukkan tidak hanya berbeda darinya, akan tetapi berada
dibawahnya. Dan dengan kecenderungan ini dapat menyebabkan mereka semakin mempertahankan jarak
antara bangsanya dengan yang lain. Dan seolah dia merasa bahwa semua ini hanyalah sebuah aksi yang
bersifat eksternal apabila dihadapkan dengan bahasa dan agama yang mereka temui kepribadiannya dan
berbeda dari yang lain. Yang kedua, setelah penaklukan itu mereda, timbullah berbagai macam aksi dari
penduduk negara asli tersebut. Dan pertentangan berubah menjadi internal antara bangsa Arab dengan
non Arab. Dan akhirnya keduannya menjadi stabil
AKAR KEMAPANAN
KEMAPANAN DALAM PERSOALAN POLITIK

Banyak riwayat yang bermunculan dengan beragam macam rawi dan redaksi nya menjelang Nabi
meninggal dunia, nabi ingin menetapkan seseorang sebagai penggantinya, namun keinginan itu tak
terwujud. dan ada kesepakatan untuk rapat di saqifah yang diadakan ketika Nabi meninggal dan persiapan
mengurus jenazah dan menguburkan beliau belum selesai.

Sahabat Anshar yang pertama kali bergegas melakukan pertemuan. Mereka bermaksud
menjadikan Sa’ad bin ubadah orang yang akan memegang urusan kaum muslimin sepeninggal Nabi.
Berdasarkan fatwa bahwa mereka adalah kelompok pertama yang menerima agama islam, lalu mereka
memperkuat posisi untuk menunjukan bahwa Nabi dalam rentang masa yang panjang menyeru
masyarakat untuk mengimani satu tuhan, namun hanya segelintir orang saja yang di antara meraka tidak
mampu melindunginya atau memperkuat agama baru. Oleh karena itu kekuatan Ansharlah bangsa arab
tunduk kepada islam.

Fakta inilah yang mendorong Sa’ad bin ubadah mengatakan dihadapan mereka : “Peganglag
erat-erat masalah ini sebab itu memamng merupakan kelebihan kalian sendiri”. Ketika sebagian mereka
mempertanyakan tentang hal ini apabila sahabat-sahabat muhajirin menolak pendapat mereka, sebagian
kelompok lainnya mengatakan : kalau demikian, kita akan katakan: “ Dari kami ada seorang pemimpin,
dan dari kalian demikian pula. Kami tidak akan menerima kecuali dengan syarat ini.” Sa’ad bin ubadah
mengatakan: “ Sikap seperti ini awal kelemahan”. Dengan pernyataan ini sebenarnya ia ingin menegaskan
bahwa kekhalifahan Nabi merupakan hak sahabat anshar saja, sebuah hak yang tidak seorang pun
dibenarkan untuk merebutnya.

Umar adalah orang yang pertama kali mendengar berita tentang berkumpulnya sahabat-sahabat
Anshar tersebut. Oleh karena itu, ia kemudian menemui Abu Bakar yang berada di rumah Nabi bersama
Ali yang “ Senantiasa sibu menyiapkan jenazah Rasulullah”. Umar meminta Abu Bakar untuk keluar
menemuinnya. Abu Bakar menjawab: “Saya sibuk”. Namun Umar mendesak dan mengatakan”Telah
terjadi suatu hal yang mengharuskan kehadiranmu”. Abu Bakar keluar dan pergi dengan di temani Umar
menuju pertemuan terebut. Bersama mereka berdua ada Abu Ubaidah bin al-jarrah. Umar menafsirkan
sikap sahabat-sahabat Anshar mengatakan:”Mereka hendak memisahkan kita dari asal usul kita, dan
mereka mengambil kekuasaan kita”. Lalu umar mengatakan:”Demi Allah, bangsa Arab tidak akan rela
menjadikan kalian sebagai pemimpin mereka, sementara Nabi mereka bukan berasal dari kalian. Akan
tetapi, bangsa Arab tidak akan menolak apabila yang memegang urusan mereka adalah kelompok di mana
kenabianberada pada mereka dan pemimpin mereka berasal dari kelompok tersebut”. Ia menambahkan
lagi:”Hanya orang yang beregerak kepada kebatilan, atau hanya orang yang cenderung pada dosa dan
yang terperangkap dalam kehancuran, yang akan merebut kekuasaan Muhammad dari kami, kami adalah
pelindung dan keluarganya”.
Demikianlah, sebagian dari banyaknya perdebatan yang nyaris berubah menjadi perpecahan.
Basyir bin Sa’ad bangkit dan mengumumkan:”Ketahuilah, Muhammad Saw, berasal dari Quraisy, dan
masyarakatnya lebih berhak. Demi Allah, saya tidak diizinkan oleh Allah untuk merebut kekuasaan tu
dari mereka selamanya. Bertakwalah kepada Allah, jangan berbeda dan jangan bertengkar dengan
mereka”. Setelah itu, Umar dan Abu Ubaidah dengan segera membaiat Abu Bakar.Peristiwa-peristiwa
tersebut menjelaskan bahwa perselisihan tentang siapa yang menggantikan Nabi muncul menjelang beliau
meninggal. Perselisihan dalam pertemuan di saqifah mengambil tiga bentuk: Yang pertama, keberkahan
sahabat Anshar atas kekhilafahan Rasul sebab mereka kelompok yang paling awal mengimani dan
mendukung islam. Yang kedua, Keberkahan suku Quraisy sebab mereka kerabat keluarga Nabi
Muhammad Saw. yang ketiga, Pluralisme kepemimpinan, yang pertama bertumpu pada prioritas
keagamaan murni, yang kedua bertumpu pada prioritas agam dan suku sekaligus, dan yang ketiga pada
priorotas suku. Dalam tiga bentuk tersebut, fanatisme kesukuan berbaur dengan fanatisme keagamaan.
Dengan kata lain, fanatisme keagamaan membaur dengan fanatisme poliyik. Dari sini, muncul otoritas
kekhilafahan dalam buaian politik-keagamaan-kesukuan. Kenyataan ini memungkinkan untuk dikatakan
bahwa klaim mengenai prioritas kedekatan dengan Nabi tidak di pegang sebagai prinsip, tetapi sebagai
sarana untuk mengalahkan Anshar. Seandainya prioritas tersebut menjadi prinsip keagamaan, niscaya
yang berhak dengan khilafah adalah Bani Hasyim. Inilah yang disinggung oleh Ali bin Abi Thalib ketika
ia menetapkan diri untuk membaiat Abu Bakar.

Masyarakat yang tsabit hidup di luar gerak sejarah, menggantung diantara masa lampau yang
meeupakan wahyu dengan masa mendatang yang merupakan hari hari akhir. Bagi mereka istilah-istilah
seperti kreasi, meninjau ulang, dan modernitas tidak lain adalah penyimpangan dari asal, mereka secara
umum lebih memprioritaskan generasi terdahulu dari pada generasi belakang, karena mereka
menyimpulkan bahwa manusia yang paling mengenal asal adalah yang paling dekat dengannya.Dalam
perspektif ini, perubahan mengsmbil pengertian negatif, maksudnya menyimpang dari yang tsabit.
Perubahan harus sejalan dengan masa lalu atau harus meniru prototipe yang sudah ada, harus taklid dan
imitasi, bukan kreativitas. Peradapan merupakan pengulangan memori dan pengulangan kebiasaan (adat-
istiadat). Karena memori adalah dasar zaman, dan kebiasaan merupakan perwujudan memori.
Seiring dan sejalanya dengan prinsip kekhalipahan yang berwatak Quraisy dari sini,kekhalifahan
tidak lagi merupakan persoalan yang harus di pegang oleh oraang yang lebih unggul.tetapi mbergeser
menjadi petarungan Dimna yang lebih kuat dan”yang lebih banyak” akan memenangkanya Dengan cara
inilah syaidina ustman memberikan jawaban kepada masyarakat yang memberinya tiga pilihan yang
harus dipilih salah satunya Jawabaan ustman tersebut menunjukan bahwa bukanlah hak masyarakat untuk
meminta kekhalifahan untuk melengserkan dirinya. Dan terbunuhnya ustman menimbilkan keberhasilan
masyarakat menghentikan kekhalifahan ustman.sehinggaa kaum muslim terpecah.pperpecahan ini bukan
saja perpecahan politik dan pemikiran,tetapi juga merupakan perpecahan sosial.yang Terpukul adalah
mereka mengubah sistem despotik dengan sistem islami yang adil. Ketika itu ali mengatakan “ Ingatlah
bahwa bencana yang kalian alami telah kembali seperti keadaan semula ketika Allah mengutus nabi
kalian” . pengertian inilah yang diadopsi, dalam format sosial budaya, oleh ibnu khaldun. Ia berpendapat
bahwa praha antara “Ali dan Muawwiyah” terjadi karena tuntutan fanatisme dan ia juga memandang
bahwa “Mu’awiyah tidak bisa membela dirinya sendiri dan masyarakatnya”. Keinginan pertama
muawiyah setelah menang secara politik adalah menghancurkan budaya dan sosial anak-anak ali. Ia pun
memerintahkan pegawainya untuk menjauhi dan tidak memperdulikanali dan anak-anak nya dihapus dari
departemenkesejahtaraan, agar mereka tidak lagi diberi santunan, dihukum dan dihancurkan rumahnya.

Kekuasaan Umayyah mejustifikasi praktik-praktik politiknya sebagai khalifah ; dalam arti


“pengganti dari pemilik syari’ah dalam memelihara agama dan mengatur dunia” , yang di dalam nya
terdiri dari sholat,fatwa,keputusan peradilan, jihad dan pengawasan. Berada di bawah pimpinan kholifah.
Seolah-olah khalifah merupakan imam besar dan dasar yang menyatukan. Dengan demikian,wajar apabila
kekuasaan Umayyah berbicara , setiap pemikirannya, dan tindakannya atas nama Al-Qur’an dan As-
sunnah. Dengan kata lain ia telah mewarisi konsep-konsep yang sudah dominan dari khalifah
sebelumnya. Pertarungan antara berbagai kelompok menciptakan ke menangan dan kekalahan. Bagi
kelompok yang menang akan berpegang pada sesuatu yang mapan dan stabil, dan kelompok yang kalah
akan berusaha membangun dasar-dasar pemahaman baru mengenai islam. Mereka menafsirkan islam
sesuai dengan kehidupan, kebutuhan, dan ambisi-ambisinya. Dari sini, pemikiran nya akan muncul
sebagai ekspresi dari pergeseran yang terjadi dalam masyarakat islam, sementara pemikiran kekuasaan
yang dominan muncul sebagai ekspresi dari kemampanan yang terwarisi.

Kemapanan didasarkan pada keimanan pada suatu prinsip yang mapan, sempurna, dan mutlak.
Pada prinsip ini nabi merupakan yang pertama karena pada dasarnya prinsip keragaman bertahap dari
dasar pertama yaitu Al-Qur'an. Demikian, posisi penting seseorang ditingkatan pemahamannya terhadap
Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kedekatannya dengan nabi dalam berhijrah. Ini yang menarik perhatian bahwa
seseorang mungkin mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh banyak orang. Diantara orang tersebut
yaitu Abu Bakar dan Umar bin Khattab.Meskipun demikian, seseorang yang digradasikan meminta
bantuan kepada yang memiliki kesejajaran di dalam pemahamannya. Makna fiqhiyyah dari konsensus
berasal dari praktik-praktik yang dikenal oleh para sahabat generasi awal.Jika generasi pertama
merupakan generasi yang paling dekat kepada Allah dan paling pandai maka generasi tersebut merupakan
orang yang paling layak diikuti. Era sahabat berakhir di penhujung abad pertama, sebagian besar adalah
orang-orang Arab. Pada awal abad kedua fiqh di seluruh negeri berada di tangan mawali kecuali
Madinah.

Kriteria dan keilmuan ahli fiqh adalah pengetahuannya mengenai hadis-hadis yang telah
mendahuluinya. Ahli fiqh pada abad kedua disebut dengan fuqaha' tabi'in. Dengan kata lain yang paling
utama adalah orang yang memiliki ilmu generasi yang mendahuluinya. Ini berarti bahwa yang paling
utama adalah konservatif atau yang paling mengetahui tradisi masa lalu. Demikian, konservatisme
menjadi perjuangan melawan sikap melupakan, dalam arti melawan sikap menjauh dari yang
pertama.Perjuangan menjadi mendalam bagi individu setelah generasi tabi'in karena ilmunya mengenai
Al-Qur'an dan As-Sunnah berdasarkan era dan kebutuhannya, sejajar dengan ilmu para tabi'in.
Pengetahuan tentang As-Sunnah adalah ketelitian dalam menerima As-Sunnah. Pengetahuan yang bersifat
menghafal dalam arti bahwa merupakan pendapat.Dalam kaitan at-Turmuzi meriwayatkan satu laporan
yang menilai siapa yg lebih utama antara Abu Hanifah, Malik, dan asy-Syafi'i. Pesan dari laporan tersebut
adalah bahwa asy-Syafi'i lebih utama dari pada imam imam yang lain sebab ia tidak menghasilkan fiqh
melalui pendapatnya, tetapi ia mengambil dari as-Sunnah.

Kaum muslimin awal, generasi sahabat dan tabi'in pada sikap konservatisme beragama dalam
mengikuti sunnah rasul dapat dikembalikan pada tiga peristiwa atau sikap yang dilakukan oleh Abu
Bakar. Peristiwa dan sikap tersebut bersifat tipologis.

Sikap pertama tercermin pada khutbah pendek Abu Bakar setelah dibaiat oleh masyarakat
banyak. Sikap tersebut mendefinisikan pengertian taat kepada Allah dan Rasulnya, dan pengertian
durhaka kepada keduanya. Namu, muncul perselisihan antara Abu Bakar dan Fatimah sejak masa awal
kekuasaannya yaitu seputar masalah warisan.Sikap kedua tercermin pada tindakan Abu Bakar dalam
menyelesaikan tugas mengirim Usamah untuk melakukan ekspedisi militer terhadap penduduk Madinah
dan sekitarnya. Sikap Abu Bakar yang pertama ditegaskan oleh ucapan dalam pidatonya dan yang kedua
ketegasan dalam menjalankan ekspedisi tersebut.Sikap yang ketiga tercermin pada upayanya dalam
memerangi kemurtadan. Bahwa yang murtad tidak mau menunaikan zakat. Alasannya, zakat ditujukan
kepada pribadi nabi selama beliau hidup sehingga tidak ada ada alasan lagi menyerahkan zakat
sepeninggal nabi. Dalam hal ini, menjalankan sholat saja tidak cukup jika tidak barengi oleh zakat. Maka
sebab itu, Abu Bakar mengirimkan surat kepada kabilah yang mutad yang dinyatakan bahwa Abu Bakar
mengirimkan pemimpin pasukan untuk memerangi kemurtadan.

Teks lain merupakan bahwa hanya mendirikan shalat saja tidaklah cukup, jika kalian menduduki
sebuah tempat tinggal, kumandangkanlah adzan dan iqamah. Setelah Malik bin Nuwairah tewas, Khalid
mengawani istri Malik Ummu Tamim Puteri al-Mihal, dan di dengar oleh Umar dan Abu Bakar, dan
demikian Abu Bakar menerima alas an Khalid dan memaafkan yang dilakukan pada peperangan itu. Para
komandan pasukan perang islam, Yarmuk menulis surat untuk Umar meminta abntuan. Dan Umar
membalas: bahwa saya tidak ada yang paling tangguh melainkan Allah. Umar menyuruh mereka meminta
bantuan kepada Allah, karena Rasullah pun di beri bantuan pada saat perang badar.

Menurut Mu’awiyah riba dalam perhiasan tidak diperbolehkan. Tetapi hal tersebut di tanggung
oleh Ubadah bahwasanya diperboleh dalam perhiasan. Ubadah mendatangi Umar dan Umar berkata
kembali pada wilayah-wilayah. Umar sangat kuat dalam meneladani tradisi Rasullah. Dalam yang
berkaitan dengan kehidupan asketik. Bukan hanya asketik dalam menolak kezaliman. Seorang yang
menimbun makanan kaum muslimin maka Allah akan menjadikannya bangkrut. Umar mengingatkan bagi
manusia yang mencoba menikmati dunia dan mengikuti kesenangan nabi. Kehidupan nabi yang sangat
sederhana dan penuh dengan kasih sayang. Rasullah pernah minum sambil berdiri dan duduk.

Gerakan meneladini as-sunnah bergerak seiring dengan gerakan untuk memahami dan
mengenalkannya. Para sahabat diperintahkan untuk mengaji dan melestarikannya. Umar bin Khayal
berkata : “ Belajarlah sebelum kalian menjadi pemimpin”, sahabat- sahabat lain juga mengatakan sesuatu
yang mengandung pesan dan makna yang sama. Dengan kecenderungan yang sama para tabi’in bersikap.
Mereka memberikan dorongan agar hadist dipelajari dengan cara-cara yang sama sebagaimana para
sahabat sebelumnya. Sebagai di antara mereka ada yang menganggap menyebarkan hadist kepada mereka
yang tidak berhak merupakan tidakan penghinaan terhadap hadist atau menyia0nyiakan hadist. Prinsip-
prinsip tersebut tidak mengajarkan hadist kepada orang yang belajar dan menghafal Qur’an baik secara
keseluruhan maupun sebagian besar. Hadist di simpan dalam lembaran-lembaran dan kertas-kertas.

As-sunnah merupakan idealita yang harus diikuti, hubungan antara as-sunnah dengan upaya
meneladaninya bagaikan hubungan antara ide dengan imitasinya. Ini berarti bahwa imitasi merupakan
substansi dari sikap menjalankan as-sunnah.Dari penjelasan sebelumnya, bahwa as-Sunnah merupakan
idealita yang harus di ikuti, dan bahwa hubungan antara as-Sunnah dengan upaya meneladaninya
bagaikan hubungan antara ide dengan imitasinya. Berarti, imitasi merupakan substansi dari sikap
menjalankan as-Sunnah.Sunnah merupakan tindakan yang sangat jelas, tidak membutuhkan pertanyaan
atau penafsiran, karena sunnah merupakan tindakan yang sempurna sebab ia berasal dari Allah. Ia sudah
sempurna dan mapan. Dengan demikian, Ia merupakan kebenaran dan pengetahuan yang mutlak.Sunnah
bersifat ekslusif terhadap selainnya. Ia merupakan pengetahuan yang menutupi pengetahuan lain yang
bertentangan dengannya. Sunnah merupakan upaya mengganti kepercayaan, adat, dan pemikiran yang
mendahuluinya, serta mendatangkan sesuatu yang baru, setiap yang baru berarti bid'ah dan dianggap
kafir. Meniru sunnah termasuk ibadah, sementara itu bernalar sangan dominan dengan politik. upaya
menjalankan nalar seringkali dibarengin dengan kekerasan. oleh karena itu kekerasa menjadi sistem
kekuasaan islam.

Umar sangat tegas dalam memegang as sunnah dan memegang komunitas sebagaimana abu
bakar. Beliau berkata " siapa saja yang beramal menurut hawa nafsu dan maksiat maka dia tidak aman
mendapatkan bagian(pahala) dan hanya akan membahayakan diri sendiri,dan barang siapa yang ikut
sunnah serta tidak melampui batas syari'a dan konsisten maka akan mendapatkan bagianya.Setelah
kejadian itu umar membentuk dewan musyawaroh yang terdiri dari 6 orang di antaranya
ali,ustman,abdurrahman bin auf,sa'aad bin abi waqash, zubair bin al awam dan thalhah.Sikap para sahabat
dalam awal peperangan, khususnya dalam persoalan politik, menyebabkan di satu sisi saling menjahui
Sunnah, maka di sisi lain sikap tersebut justru mencoba untuk menempatkan sunnah pada tempat dan
waktunya. Maksudnya, sunnah sesuai dengan apa yang selaras dengan kehidupan yang berubah ubah dan
dengan segala tuntutannya.

Sunnah di ajarkan beriringan dengan tafsir Al-quran dengan tujuan untuk menjelaskan makna
yang terkandung di dalamnya. Penjelasan tersebut berdasarkan laporan yang diriwayatkan oleh rasul dan
pengikutnya. Tafsir dimulai pada zaman nabi. Para sahabat nabi sangat mencermati berbagai tafsir yang
di sampaikan oleh nabi sehingga mereka memahaminya dan tidak ada perbedaan pemahaman diantara
mereka. Karakteristik tafsir di zaman mereka berupa penjelasan Al-quran yang masih tersirat saja. Tafsir
pada masa tabi’in menafsirkan secara luas dan menyeluruh. Dan pada masa ini mulai terjadi perbedaan
makna.

Karakter tafsir pada era sahabat adalah bahwa tafsir penjelasan atas segala sesuatu yang tidak
jelas dari Al-Quran dan tidak seluruhnya ditafsirkan, bersifat global, hanya ada satu tafsir tanpa ada
perbedaan mengenai makna-makna ayat, tidak dipengaruhi oleh pendapat-pendapat ahli kitab . Tafsir
pada masa tabi’in memuat lebih banyak lagi ayat-ayat Al-Quran, menjelaskan secara detail terhadap
setiap ayat dan kata. Pada masa ini, perbedaan diseputar makna mulai muncul, khususnya ayat-ayat yang
berkaitan dengan kebebasan bertindak, dan pengaruh ahli kitab. Upaya mengkodifikasi tafsir dimulai
pada akhir abad pertama melalui buku Sa’id bin Jabir bin Hisyam al-Kufi, tafsir paling tua adalah tafsir
Sufyan ats-Tsauri, dan tafsir paling tua yang lengkap terhadap Al-Quran adalah tafsir Muqatil bin
Sulaiman al-Balkhi.
Di penghujung masa tabi’in, tahun 130 H, kecenderungan ittiba’iyah dalam penafsiran Al-Quran
mapan dan baku. Ath-Tabari mengatakan bahwa tafsir memiliki tiga sisi : (1) Tidak ada jalan untuk
menembusnya. (2) Tafsir yang ilmunya khusus dimiliki nabi. (3) Tafsir yang ilmunya dimiliki oleh ahli
bahasa Al-Quran. Hanya merekalah yang memiliki akses untuk mengetahui tafsir ini. Ilmu ke-Arab-an
dan i’rab bahasa Al-Quran adalah mengenal pertanda melalui tanda-tandanya yang pasti dan yang diberi
atribut yang khusus dan unik, tidak musytarak, dan menunjukkan i’rabnya. Dengan demikian, ia akan
menjadi mufassir yang paling berhak mendapatkan kebenaran, dan paling jelas argumentasinya yang
hanya didapat melalui laporan (naql) yang melimpah, riwayat-riwayat para rawi yang adil,
dipertanggungjawabkan, dan mengetahui bahasa Arab. Ini berarti Al-Quran memiliki dua sisi : (1)
Kebahasaan yang dapat ditafsirkan oleh mufassir atas dasar pengetahuannya mengenai bahasa. (2)
Keagamaan yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu bersifat ke-gaib-an hanya Allah yang mengetahuinya,
dan bersifat duniawi yang diketahui oleh nabi.

Dalam Al-Quran, sebutan penyair dinyatakan secara bersama-sama dengan sebutan seperti orang
gila, penyihir, dukun, dan setan yang berarti bahwa puisi tidak membawa kebenaran. Sihir, perdukunan,
dan gila bagian dari tindakan setan yang menggoda dan menyesatkan, sehingga yang batil dilihat sebagai
kebenaran dan kebenaran sebagai kebatilan, sebutan tersebut bersatu dalam makna yang memayunginya
yaitu membuat samar, sesat, dan batil. Sihir merupakan tindakan yang dipergunakan untuk mendekatkan
pada setan. Akan tetapi, Allah memperlakukan sunnah-Nya ketika tindakan tersebut terjadi sebagai
bentuk ujian. Jika tindakan tersebut merupakan tindakan kekafiran, seperti menyembah bintang-bintang,
disertai keyakinan adanya pengaruh dari luar selain Allah maka orang yang bersangkutan dikafirkan,
dianggap fasik dan heretik. Oleh karena itu, sihir hanya muncul pada orang-orang fasik saja.

Sihir berkaitan dengan sesuatu yang sebabnya tidak jelas itu, tetapi pengaruhnya terjadi hanya
melalui izin Allah. Atas dasar ini, Al-Quran bukan perdukunan dan sihir. Al-Quran adalah kebenaran, dan
nabi menyatakan dengan benar, dan hanya kebenaran yang dicapai nabi. Al-Quran mampu melemahkan
posisi perdukunan dan sihir, tidak demikian halnya puisi dan penyair, Al-Quran tidak dapat
melemahkannya secara mutlak. Dari sini, Al-Quran tidak mengharamkan puisi, sebagaimana sihir dan
perdukunan yang diharamkan, melainkan memberikan orientasi lain, mengkaitkan puisi dengan agama
dan nilai-nilai yang berkaitan darinya sehingga Al-Quran menjadikannya sebagai sarana untuk mengabdi
kepadanya. Puisi yang disinggung al-qur'an dijelaskan oleh nabi dan diperkuat dalam sunnah, ucapan dan
tindakannya. Sebagaimana sabda nabi mengatakan "Puisi pasa dasarnya hanyalah ujaran. Di antara ujaran
itu ada yang jelek dan ada yang baik, dari sebuah riwayat nabi pernah menyebutkan imri al-qais. Beliau
mengatakan : "Dia adalah pemimpin para penyair menuju neraka" menurut penilaian perawi hadist,
sekalipun hadist yang berkaitan dengan imri' al-qais bernilai lemah (dha'if), paling tidak hadist tersebut
memperlihatkan sikap negatif dari mereka yang menciptakan dan meriwayatkan hadist terkait dengan
puisi imri al-qais. Ibn salam mengatakan : "Ia melakukan tindakan porno dalam puisinya"

Nabi melihat puisi sama dengan beliau melihat ujaran . Nabi memerangi sarana ini (puisi) ketika
sarana-sarana tersebut di tunjukan menyerang agama baru dan mereka yang mengimaninya. Dari sini kita
dapat memahami sikap beliau yang memuji puisi, mengadopsi nilai-nilai islam dan mempertahankan
nilai-nilai, serta melarang untuk meriwayatkan puisi semacam itu.Hadist mengatakan, “Sesungguhnya
dalam pemakaian bahasa terkandung sihir”. Maksudnya pemakaian bahasa memiliki pengaruh terhadap
akal dan hati, seolah-olah menyembunyikan kebenaran dan menghiasi kebathilan. Bahasa juga mampu
membuat akal dan hati manusia melenceng. Sebagaimana dalam puisi Nabi, “Lebih baik perut seorang
diantara kalian penuh nanah, bahkan sekalipun ia melihatnya, daripada penuh dengan puisi”. Menurut
‘Aisyah bahwa puisi ini bertujuan mengejek(hija’).Nabi melarang sebagian dari puisi Jahiliah, yaitu
A’sya yang mengejek al-Qamamah al-Amiri. Larangan ini sebagai penghargaan al-Qamamah yang
menilai bohong Abu Sufyan. Adapun beliau melarang puisi karya Umayyah bin Abi ash-Shalt yang
memberikan semangat patriotism kepada Suku Quraisy setelah Perang Badar. Tetapi Nabi menilai baik
terhadap puisi Jahiliah.

Suatu ketika Rasulullah pernah berkat mengenai Umayyah bin Abi ash-Shalt: “Puisinya
menyiratkan keimanan dirinya, namun hatinya mengingkari”. Demikianlah Nabi mencoba melestarikan
benih dasar dari peran puisi dalam suku dan mempertahankan sifat hubungan antara penyair dengan suku.
Beliau mengalihkan peran puisi dari bingkai nilai-nilai luhur kesukuan ke bingkai nilai-nilai keagamaan
dan mengubah hubungan antara penyair dengan suku ke hubungan antara penyair dengan negara. Dari
sini, pandangan Jahiliah terhadap puisi yaitu, sebagai alat sosial-etika yang efektif, yang berkaitan dengan
keyakinan dan kepentingan negara. Sementara Islam menilai bukan dari sisi pengaruh dan keindahannya,
melainkan menilainya dari sisi pemikiran dan kegunaanya. Para sahabat mengadopsi dan mengikuti sikap
Nabi terhadap puisi. Mereka memberikan penilaian terhadap puisi dan menilai para penyair secara positif
berdasarkan sikap tersebut.

Zuhair berkata : andai pujian dapat mengabadikan manusia, mereka pasti mengabadikannya, akan
tetapi, pujian terhadap mereka tidaklah membuat abadi. Umar berkata : penyair bisa dinilai apabila ia
menguang-ulang ungkapan, menjauhi puisi yang tidak lazim dan memuji sesuai dengan kenyataan, Umar
merasa kagum atas pengetahuan Zuhair dan Umar sering kali mengulang-ulang perkataan tersebut. Dalam
perspektif ini dapat dipahami ucapan Umar terhadap Abu Musa Al-Asyari : perintahlah dirimu untuk
mempelajari puisi, sebab itu menunjukan akhlak yang tinggi, pendapat yang benar dan pengetahuan
tentang nasab. Umar tidak hanya memberi pujian terhadap puisi yang memberikan inspirasi dan
mengajarkan akhlak-akhlak islam, tapi juga menghukumi puisi yang jauh dari nilai tersebut.
Ibnu Nasyid mengatakan : Umar merupakan orang yang paling pandai pada temannya dalam
mengkritik puisi dan paling mengetahui puisi. Secara implisit Ali mengatakan ilmu yang paling valid, dan
bahwa ia merupakan ukuran. Dan yang dimaksud adalah puisi yang telah diberi orientasi dan dipuji Nabi,
Abu Bakar, dan Umar. Ada seorang badui datang kepada Ali untuk memenuhi keinginannya, lalu Ali
memberikan kepada orang badui itu perhiasan, dan berkata orang badui : “Engkau kenakan padaku
perhiasan yang kelak akan usung, akan aku kenakan padamu perhiasan berupa keindahan pujian”. Pujian
akan menghidupkan ingatan kepada pemiliknya, bagaikan tetesan hujan yang menghidupkan padang dan
gunung. Zaman tidak akan meninggalkan kebaikan yang engkau mulai. Setiap hamba akan dibalas sesuai
perbuatannya. Umar pernah berkata kepada Ali : siapa yang pandai bersyair? Ali menjawab : “seorang
yang pandai dalam membuat ilustrasi, serta berkata yang benar, dan dia adalah Abu Muljam”.

Puisi menurut riwayat-riwayat yang berasal dari mereka merupakan ungkapan-ungkapan yang
memperlihatkan mora tinggi dalam menyingkapkan kebenaran dan memberikan ilustrasi yang bagus.
Alquran dan Assunnah idealita terhadap puisi karena tindakan dan ucapan keduannya menjadi tolak ukur.
Pada era Rasul belum muncul satu format sistematis yang berkaitan dengan masalah bahasa dan agama,
serta urusan sosial politik. Alquran dan Assunah merupakan jalan yang harus diikuti dalam beramal dan
berilmu/berpikir.
EPILOG

Keyakinan kaum muslimin dalam berpikir dan bertindak tentang agama islam merupakan dasar
dan norma memandang yang ghaib dan sekaligus kehidupan manusia. Mereka mengaitkan antara agama
dan Bahasa yang diturunkan sebagai syarat keabsahan kepemimpinan. Dan mereka menyejajarkan
pemikiran politik dengan agama. Dari sinilah kebudayaan Arab-Islam secara praktis mulai terorganisir
dalam system kekhalifahannya.

Berawal dari timbulnya perpecahan, perselisihan dalam kecenderungan antar perbedaan


keyakinan atau pemahaman dalam kosep tertentu, berpengaruh terhadap kesejahteraan dalam masa
kekhalifahan. Semenjak terbunuhnya khalifah ketiga menjadi sebuah tanda masuknya kehidupan islami
ke dalam dimana masing-masing pihak meniadakan pihak yang lain. Dalam masa kekhalifahan,
kebudayaan masyarakat memiliki banyak keberagaman budaya dan tradisi. Dalam bentuk material
maupun non material.

Secara logis, Al-Quran dan As-Sunnah tidak dapat pisahkan, tidak dapat diubah kesterilannya
secara apapun itu, karena semua yang terkandung didalamnya sudah jelas bukti kebenarannya berasal dari
kalam Allah.

Pertentangan dan pertarungan antara pihak-pihak yang menghendaki kemapanannya At-Tsabit


dan pihak yang menghendaki perubahan Al-Muthawwil yang terjadi dalam sejarah pemikiran Arab-Islam.

Anda mungkin juga menyukai