Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

Analisis Konsep Perbedaan Pemikiran Politik Menurut Ulama Klasik (Al-


Farabi, Al-Mawardi, Ibnu Khaldun, Imam Ghazali dan Ibnu Taimiyah)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Agama Islam Pertemuan 13

Dosen Pengampu : Aceng Badruzzaman, S. Pd. I, M. Ag.,

Oleh :

Roana 312210027

TI.22.C.1
TEKNIK INFORMATIKA
UNIVERSITAS PELITA BANGSA

2022-2023
KATA PENGANTAR

Sejak kelahirannya, Islam memberikan perhatian sangat besar pada upaya menciptakan
tatanan kehidupan masyarakat yang teratur dan beradab. Hakikat ini bukan saja ditunjukkan
oleh banyaknya ayat-ayat al-Qur`an yang membicarakan kehidupan sosial, tetapi juga
ditunjukkan melalui praktik kehidupan komunitas atau masyarakat muslim awal dibawah
naungan dan bimbingan Nabi Muhammad saw.di Madinah. Praktik kehidupan Nabi
berasama komunitas muslim ini dalam berbagai aspek kehidupan, berimplikasi munculnya
keyakinan dari para pemikir dan tokoh muslim yang lahir di abad modern dan kontemporer
bahwa Islam bukan saja agamayang hanya mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan aspek
akidah dan ibadah (ibadah mahdhoh) saja, melainkan Islam juga mengemban missi untuk
menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang aman, damai, dan sejahtera melalui
pengelolaan kehidupan sosial politik, ekonomi, hukum, pendidikan, dan
sebagainya.Keyakinan ini kemudian mengilhami berbagai generasi Islam untuk melakukan
konseptualisasi tentang apa yang mereka sebut sebagai negara Islam.
Dari satu generasi ke generasi yang lain, banyak pemikir, ahli hukum, sastrawan dan
filosof muslim mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip perpolitikan Islamuntuk menjawab
berbagai tantangan kehidupan sosialpolitik yang mereka hadapi. Hal ini karena mereka
meyakini bahwa kehidupan komunitas muslim awal di Madinah telah mewariskan suatu
model kehidupan sosial politik yang bisa menjadi acuan bagi pengembangan kehidupan
masyarakat di era modern dan kontemporer tanpa harus menutup diri dari dinamika
kehidupan modern itu sendiri. Oleh karenanya, generasi muslim belakangan mencoba
memahami, menafsirkan dan mendasarkan kehidupan sosial politik mereka pada model
tersebut, antaranya dengan mengkonsepsikan pembentukan masyarakat madani, masyarakat
hadhariy, dan sebagainya.

Cikampek, 23 Juni 2023


Roana

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................ 2

DAFTAR ISI ...................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Konsep Pemikiran Politik Menurut Ulama Al-Farabi…………....5

2.2 Konsep Pemikiran Politik Menurut Ulama Al-mawardi. .............. 7

2.3 Konsep Pemikiran Politik Menurut Ulama Ibnu Khaldun ........... 9

2.4 Konsep Pemikiran Politik Menurut Ulama Imam Ghazali ........ 17

2.5 Konsep Pemikiran Politik Menurut Ulama Ibnu Taimyah........... 19

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ................................................................................ 22

3.2 Saran.......................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 24

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penulis mencoba menjelaskan tentang bagaimana politik Islam itu dipahami
secara benar, sumber-sumbernyaapa saja yang menjadi rujukan atau referensi
utama di dalampengkajian pemikiran politik Islam ini. Karena kajian tentang
politik Islam memiliki manhaj atau metodenya tersendiri, di mana kajiannya
tidak sematamata mendasarkan pada kasus-kasus yang bersifat empiris belaka,
tetapi juga berdasarkan pada sumberrujukan utama, yaitu al-Qur`an dan Sunnah
Nabi, sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian. Oleh karena itu, jika manhaj
ini tidak dipahami dengan benar, maka kajian-kajian politik Islam akan menjadi
tidak jelas atau bias, dan bahkan tidak dapat dibedakan mana pemikiran politik
Islam dan mana pemikiran politik yang merujuk pada para pemikir dan budaya
Barat. Dengan demikian, menjadi sangat penting untuk memahami manhaj
kajian pemikiran politik Islam dengan benar. Ada baiknya sebelum berbicara
lebih lanjut tentang pemikiran politik Islam, disampaikan apa itu pemikiran
politik Islam. Pemikiran politik Islam adalah pemikiran atau gagasan tentang
bahasan-bahasan politik berdasarkan al-Qur`an dan Sunnah Nabi, serta praktik-
praktik politik para Khulafa al-Rasyidin dalam rangka terciptanya kesejahteraan
( kebaikan ) di dunia dan akhirat.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Pemikiran Politik Menurut Ulama al-Farabi


Al-Farabi adalah Nashar Muhammad bin Muhammad bin Thurkhan bin
Unzalagh. Al-Farabi dilahirkan di Turkey dari seorang ayah berketurunan Turkey dan
ibu berketurunan Persia (Iran). Tepatnya dia dilahirkan di kota Wasij, wilayah Farab,
termasuk wilayah Turkistan pada tahun 257 H./ 870 M. dan wafat pada tahun 339
H./950 M.339Al-Farabi masa hidupnya pernah berguru kepada seorang Ilmuan Kristen
Nastura, yaitu; Abu Bisyir Matta bin Yunus, seorang penerjemah banyak karya Plato
dan pemikir-pemikir Yunaniyang lain. Tidak cukup belajar dengan Abu Bisyir Matta
bin Yunus, al-Farabi juga belajar kepada seorag Ilmuan Kristen yang lain di Harran,
yaitu; Yohana bin Heilan. Pada zaman pemerintahan Khalifah Muqtadir (dari Dinasti
Abbasiyah), al-Farabi belajar berbagai disiplin ilmu pengetahuan, antaranya; Ilmu
Bahasa Arab (Nahu Sharaf), Logika (Mantiq), Ilmu Pasti, Kedokteran, Musik, dan lain-
lain kepada guru-guru yang lain, antaranya; Abu Bakar bin Siraj.340

Sebagai seorang Ilmuan, al-Farabi dari segi pamor jauh lebih terkenal (masyhur)
dibanding Ibnu Abi Rabi. Al-Farabi tergolong tokoh Filsafat terkemuka di Dunia Islam
( Kana akbaru Falasifah al-Muslimin `alal ithlaqhaytsu ansya`a mazhaban falsafiyan
kaamilan). Halini sebagaimana diakui oleh para Sarjana, baik di Timur atau pun di
Barat. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa al- Farabi memiliki kemampuan yang
sangat luar biasa dalam memahami Ilmu-ilmu Kemanusiaan (Antropologi),
Matematika, Kimia, Ilmu Ketentaraan (al-Ulum al-`Asykariyah), Musik, Ilmu
Pengetahuan Alam (al-Ulum al-Thabi`iyah), Ilmu-ilmu Ketuhanan (al-Ilahiyyah),
Ilmu Peradaban Manusia (al-Ilmu al-Madaniy), Ilmu Fiqh (al-Fiqh), Mantiq (Logika),
Akhlak (Etika dan Moral), dan Politik.341Banyak kalangan para Ulama dan Pemikir,
antaranya; IbnuSina dan Ibnu Rusydi dan lain-lain merujuk kepada al-Farabi dalam
penelitianmereka. Oleh karena itu, al-Farabi dianggap sebagai guru kedua (al-Muallim
al-Tsani) dalam hazanah peradaban Islam, di mana Aristoteles dianggap sebagai guru
pertama (al-Muallim al- awwal) dalamhazanah peradaban Yunani.342
Karya-karya al-Farabi sangat beragam dan banyak sekali, setidaknya ada
delapan belas (18) buku (kitab) yang ditulisnya. Tiga buku di antaranya berkaitan
dengan pandangan-pandanganya tentang teori politik, yaitu;
1. Ara` Ahl al-Madinah al-Fadhilah(Pandangan PendudukNegara Ideal).
2. Tahsil al-Sa`adah (Mencapai Kebahagiaan atauKesejahteraan).
3. Al-Siyasah al-Madaniyah (Politik Orang-orangBerperadaban).
5
Latar belakang situasi dan kondisi politik pada masahidupnya al-Farabi di era
kekuasaan Dinasti Abbasiyah sangat kacau dan tidak kondusif. Hal ini karena
banyaknya goncangan sebagai akibat dari berbagai gejolak, gesekan, konflik, dan
pemberontakan; suatu periode pemerintahan yang paling buruk dalam sepanjang
sejarah pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Situasi ini berdampak pada tidak adanya
stabilitas politik dalam kehidupan masyarakat dan penduduk wilayah kekuasaan
pemerintahan Dinasti Abbasiyah, khususnya antara era pemerintahan Khalifah al-
Mu`tamid sampai Khalifah al-Mu`thi`.344Kondisi ini diperparah dengan adanya
tindakan konspirasi dari anak-anak para penguasa dan pemerintah di masa lalu yang
berupaya mempertahankanstatus quo, kembali untuk berkuasa sebagaimana kakek-
kakek mereka dahulu. Hal ini terjadi, terutama di Persia dan Turkey. 345Secara rinci
dapat disampaikan hal-hal yang menjadi penyebab terjadinyagoncangan-goncangan
ini sebagai berikut;
Pertama;Masalah kehidupan keagamaan (diniyyah), masalah ras,etnik (syu`ubiyah),
budaya (tsaqafiyyah), dan lain- lain.

Kedua;Pada periode ini juga bermnculan berbagai gerakan dan konspirasi yang
dilakukan oleh anak-anak mantan para raja dan para pemimpin negara dahulu,
mereka berusaha mendapatkan kembali wilayah dan kekuasaan yangpernah dikuasai
oleh nenek moyang mereka dahulu, khususnya di wilayah Persia (Iran) dan Turkey.
Mereka berupaya dengan berbagai cara untuk melemahkan pusat pemerintahan yang
berada di tangan Khalifah. Upaya ini dilakukan dengan bekerja sama dengan gerakan
kelompok Syiah yang sudah lama menentang pemerintahan Dinasti Abbasiyah, dan
bahkan pemerintahan Umayyah sebelum ini.
Ketiga: Pada masa hidupnya al-Farabi, juga muncul situasi yang memberi takanan
kepada para penguasa sebagai implikasi dari menghilangnya Imam terakhir
( Ikhtifa al- Imam al-akhir ) dari Imam dua belas kelompok Syiah Imamiyah
Itsnay `Asyariayah, yaitu Muhammad al- Mahdi al-Muntazar; seorang Imam
ke dua belas dalam pahaman Syiah Imamiyah al-Itsnay `asyariyah.
Menghilangnya Imam al-Mahdi al-Muntazar saat dia berumur sekitar tiga belas tahun, tetapi
ada yang menyatakan sekitar berumur empat atau lima tahun.346Peristiwa menghilangnya
Imam kedua belas ini dalam keyakinanSyiah Imamiyah dua belas ( Imamiyah Itsnai `Asyariyah
) memberi tekanan hebat pada situasi politik dan keagamaan (ta`tsiran dokhman `alal audho`
al-siyasah wa al-diniyah). Dampak ini dapat dilihat ketika pemerintahan Bani Buayh dan
Maiziyah (keduanya berpahaman Syiah) telah mengadakan perayaan tanggal 10 bulan
Muharram sebagai memperingati hari berkabung atau kesedihan yang menimpa di Karbala,
yaitu peristiwa terbnuhnya Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Perayaan tanggal 10 bulan

6
Muharram ini kemudian dikenal dengan hari Karbala yang menjadi tradisi di kalangan umat
Islam Syiah Imamiyah Itsnaiy `Asyariah.

Dari berbagai peristiwa dan situasi politik yang penuh gejolak sebagaimana
disebutkan di atas, Munawir Sjadzali menegaskan bahwa al-Farabikemudian gemar
berkhalwat atau mengisolir diri dan merenung, dia merasa terpanggil untuk mencari
pola kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan yang ideal. 347 Seolah-olah al-
Farabi tidak peduli dengan hiruk pikuk perpolitikan yang tengah terjadi saat itu,
meskipun begitu al-Farabi tetap mengamati apa yang terjadi di sekelilingnya.

2.2 Konsep Pemikiran Politik Menurut Ulama Al-mawardi


Nama lengkap al-Mawardi adalah Abu Hasan Ali bin Habib al-Mawardiy, hidup antara
tahun 364 – 450 H. / 975 – 1059 M. al- Mawardi seorang pemikir Islam terkenal, tokoh
terkemuka mazhab Syafi`i dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya pada masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah, seorang politisi dan negarawan yang ulung (min abraz
rijal al-Siyasah fiy al-daulah al-`Abbasiyah). Al-Mawardi diangkat sebagai hakim (Qadhi
) beberapa kali dibeberapa daerah, dan karena saking banyaknya dia menjabat hakim, dia
diangkat sebagai Hakim Agung (Qadhi al-Qudhat) atau Ketua Mahkamah Agung.382Al-
Mawardi seorang ilmuan, pemikir Islam yang handal, politisi, tokoh terkemuka mazhab
Syafii dan pejabat tinggi sebagaiQadhi al-Qudhat; hakim agung pada masa pemerintahan
Khalifah al-Qadir. Karya-karya al-Mawardi banyak

sekali meliputi berbagai disiplin ilmu, khusus yang berkaitan denganpemikiran politiknya
tertuang dalam empat karyanya; 1. Al-Ahkam al-Sulthaniyah. Buku ini terbilang buku
monumental, karenanya dianggap sebagai undang-undang dasar (dustur) bagi negara. Buku
ini berisi dasar-dasar politik yang menjadi rujukan. 2 Kitab Nasihat al-Muluk. Buku ini
sampai sekarang belum pernah diterbitkan dan ada manuskrip salinannya di Paris. 3. Kitab
Tashil al-Nazar wa Ta`jil al-Zafar. Buku ini masih dalam manuskrip dan belum diterbitkan
dan salinannya ada di kota Ghouthah. 4. Kitab Qawanin al-Wuzara wa Siyasat al-Malik.
Buku ini sudah diterbitkan oleh penerbit Dar al-Ushur di Mesir tahun 1929.
Pada masa hidupnya al-Mawardi,krisis politik berkepanjangan telah melanda
negara-negara Eropa pada abad-abad 10 M. dan abad berikutnya (abad 11). Pada waktu itu
negara-negara Eropa telah diguncang oleh berbagai guncangan
(idhthirabat);pemberontakan (al-tsaurah), perang ( al-hurub) yang berlarutan. Situasi
buruk ini menyebabkan tidak adanya stabilitas dan ketentraman (al-qalaq)hidup.Eropa
pada waktu itu benar- benarterpecah-pecah ( mumazzaqah). Kondisi ini menyebabkan
terjadinya berbagai tindak kekerasan dan kriminalitas, serta munculnya kemiskinan sebagai
akibat dari fenomena buruk ini. Padasisi lain, telah terjadiperang antar kota (al-hurub al-
7
madaniyah) di Inggris pada awal abad 11. Demikian juga terjadi perang antara Jerman (al-
Maniya) dengan Perancis. Sementara Italia, kondisinya tidak lebih baik dari Inggris,
Perancis dan Jerman, karena di Italia telah terjadi konflik yang menegangkan antara Paus
(penguasa keagamaan Gereja) dengan Kaisar sebagai representasi penguasapolitik saat itu.
Tetapi Spanyol (Asbania) dan Portotugal berbeda kondisinya dari negara-negara Eropa
lainya, kedua negara ini beradadalam kekuasaan pemerintahan Islam.
Dunia Islam saat itu, berbeda dari negara-negara Eropa Barat. Dunia Islam
selalumendapat keberuntungan berkat pertolongan (inayah) Allah, telah berhasil
memperoleh kemenangan dari suatu wilayah ke wilayah lain dalam perang, sehingga
dapat memperluas wilayah kekuasaan. Misalnya; di belahan dunia sebelah

Oleh karenanya, dapat dijelaskan bahwa pada masa hidupnya al-Mawardi


sebenarnya telah terjadi disintegrasi kekuasaan. Realitas perpolitikan yang buruk ini
menunjukan bahwa Baghdad sebagai pusat pemerintahan Bani Abbas tidak mampu
lagi membendung arus keinginan daerah-aerah yang dikuasainya untuk melepaskan
diri dari pemerintahan pusat di Baghdad dan membentuk daerah otomnom.387Pada
masa ini, Khalifah benar-benar menjadi boneka, karena kekuasaan secara real saat itu
menurut Philip K. Hitti dikendalikan oleh para pejabat tinggi orang-orang Buwaih
selama tahun 945 – 1055 M. Mereka mengangkat atau menurunkan Khalifah sesuai
dengan kehendak mereka. Namun meskipun demikian, mereka tetap tidak berani
merebut ke-khalifahan, karena menurut Philip K. Hitti, paham al-Aimmah min
Quraisyinyangartinya para pemimpin itu dari orang-orang keturunanQuraisy masih
begitu kental di kalangan umat Islam saat itu. Jadi, kata Philip K. Hitti lagi, mereka
cukup puas mengendalikan Khalifah-Khalifah tanpa harus menduduki jabatan ini.388

Dengan keberadaan al-Mawardi sebagai seorang tokoh dan pemikir handal di pusat
pemerinthan, al-Mawardi berusaha mengatasi permasalahan politik ini sebagai upaya
menjembatanikesenjangan yang terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah yang dipimpin oleh para Gubernur, para Sulthan, dan para Amir.al-Mawardi
berusaha menjelaskan hubungan antara keduanya dalam kerangka terciptanya situasi
politik yang kondusif. Upaya ini mendapatkan dukungan dari Khalifah, bahkan upaya
ini sebenarnya Khalifah sendiri menugaskan kepada al-Mawardi untuk melakukan
negosiasi dengan penguasaBuwaih dan menjalankan berbagai missi diplomatik antara
tahun 1030 – 1040-an M.389al-Mawardi sebagai seorang tokoh dan ilmuan yang
memiliki kecakapan dalam berdiplomasi, dia diangkat sebagai mediator perundingan
(safir) antara pemerintah pusat di Baghdad dengan para pejabat Bani Buwaih (antara
tahun 381 – 422 H.), dan al-Mawardi berhasil melakukan missinya dengan
baik.Hasilnya adalah Bani Abbas tetap memegang jabatan tertinggi ke-khalifahan di
8
Baghdad, sementara kekuasaan politik dan pengelolaan harian pemerintahan dipegang
oleh orang-orang Bani Buwaih. Keberhasilangemilang yang dicapai al-Mawardi
dalam missinya tersebut, al-Mawardi kemudian mendapatkan penghargaan,
kedudukan yang terhormat dari Khalifah dan juga para pejabat tinggi Bani Buwaih
yang penganut paham Syiah.

2.3 Konsep Perbedaan Pemikiran Politik Menurut Ulama Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun nama aslinya adalah Abdurrahman bin Muhammad bin


Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin
Khaldun. Ibnu Khaldun lahir di Tunisia, .Afrika Utara pada 1 Ramadhan 732 H./ 7
Mei 1332 M. Ibnu Khaldun berasal dari suku Arab Yaman Selatan. Nenek moyangnya
berasal dari keturunan Khaldun (Bani Khaldun).Sejak abad ke 8 M. nenek moyangnya
melakukan migrasi ke Andalusia, yaitu Spanyol Selatan. Ibnu Khaldun menghabiskan
lebih dari dua pertiga umurnya di kawasan Afrika Barat laut yang sekarang ini berdiri
negera-negara Tunisia, Al-Jazair dan Maroko, serta Andalusia yang terletak diujung
selatan Spanyol. Pada zaman itu, kawasan-kawasan tersebut tidak pernah mengalami
stabilitas politik, karena beberapa kawasan tersebut menjadi ajang perebutan
kekuasaan antar Dinasti, sehingga kawasan-kawasan tersebut sebagian darinya
seringkali berpindah tangan dari satu Dinasti ke Dinasti lain. Kondisi politik seperti ini
berimplikasi pada kehidupan dan karier politik Ibnu Khaldun sebagai pejabat tinggi
negara, baik saat menjabat Perdana Menteri, Protokoler, atau Hakim Agung pada
beberapa Pemerintah atau Dinasti. Tidak jarang Ibnu Khaldun berganti loyalitas dari
satu Dinasti ke Dinasti lain atas dasar kalkulasi untung rugi politik. Dampak dari
situasi yang tidak menentu itu berimplikasi pada pendirian Ibnu Khaldun harus
menempuh jalan pragmatisdemi keselamatan jiwa dan kareir politiknya, sehingga Ibnu
Khaldun terbawa arus ke situasi politik yang sarat dengan kudeta dan perebutan
kekuasaan, dan Ibnu Khaldun sendiri melibatkan diri sebagai aktordalam percaturan
politik di kawasan-kawasan tersebut.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa Ibnu Khaldun meniti kariernya dalam
pemerintahan di kawasan Afrika Barat laut dan Andalusia selama hampir seperempat
abad.568 Jabatan pemerintahanpertama yang diraih Ibnu Khaldun yangcukup berarti
baginya adalah keanggotaan Majelis Ilmuan (`udhwan fiy majlisi al-`ilmiy); yaitu
Lembaga Ilmu Pengetahuan Sulthan Abu Inan dari Bani Marin di ibu kota negara
Maroko; Fez pada sekitar tahun 756 H. Kemudian diadiangkat menjadi salah satu

9
Sekretaris Sulthan (kalau zaman sekarang setingkat jabatan sekretaris negara) yang
bertugas mencatat semua keputusan Sulthan.Tetapi jabatan ini rupanya dianggap oleh
Ibnu Khaldun masih terlalu rendah bagi anggota keluarga Khaldun, karena mungkin
Ibnu Khaldun dari etnik terhormat.570 Belum cukup dua tahun Ibnu Khaldun
memangku jabatan Sekretaris Sulthan, dia dipecat dari jabatannya, bahkan dia
dimasukan ke dalam penjara karena terbongkar rahasia bahwa dia terlibat dalam satu
konspirasi politik tingkat tinggi (al-khaudh fiy ghimari dasairi al-siyasiyah) dengan
Pangeran Abu Abdullah Muhammad dari Bani Hafsh.571 Sebelum ini Pangerang Abu
Abdullah seorang raja yang bertahta di Tunisia (Bijayah), dan setelah wilayah Tunisia
diserang dan dikuasai oleh Bani Marin, Abu Abdullah diturunkan dari tahtanya dan
diasingkan ke Fez (ibu kota Maroko)., pada akhirnya Ibnu Khaldun dituduh melarikan
PangeranAbu Abdullah dari penjara untuk kemudian dikembalikan kepada posisinya
semula sebagai raja di Tunisia. Tetapi konspirasi ini (al- muamarah) terbongkar dan
Ibnu Khaldun ditangkap dan dimasukanke dalam penjara (fiy ghayabat al-sijni) selama
kurang lebih dua tahun, tetapi kemudian Sulthan Abu Inan mengeluarkan keputusan
untuk membebaskan Pangeran Abu Abdullah dari hukuman penjara, tetapi Ibnu
Khaldun tetap mendekap di dalam penjara. Upaya pengampunan (grasi) bagi Ibnu
Khaldun diajukan kepada Sulthan. Dankemudian Sulthan Abu Inan menjanjikan
pengampunanIbnu Khaldun, tetapi Sulthan Abu Inan tengah saki, kondisi
kesehatannya semakin memburuk dan bahkan Sulthan Abu Inan wafat pada tahun 759
H. atau pada akhir tahun 1358 M.
Perdana Menteri Hasan bin Umar mengambil alih roda pemerintahan sebagai
pejabat sementara saat itu (al-qaim bi umur al-daulah) dan mengeluarkan keputusan
untuk membebaskan Ibnu Khaldun bersama-sama dengan tahanan politik yang lain,
dan bahkan Ibnu Khaldun dikembalikan ke jabatannya semula sebagai sekretaris
negara.572 Ibnu Khaldun mengabdikan diri kepada Pemerintah Bani Marin di Fez
selama delapan tahun, dia bekerja kepada tiga Sulthan, yaitu; Sulthan Abu Inan,
Sulthan Mansur bin

Sulaiman, dan Sulthan Abu Salim, selain mengabdi kepada tiga Sulthan tersebut, Ibnu
Khaldun juga mengabdi kepada dua Perdana Menteri, yaitu; Perdana Menteri Hasan
bin Umar dan Perdana Menteri Umar bin Abdullah.Pada masa Pemerintahan Sulthan
Abu Salim, Ibnu Khaldun menajabat Sekretaris Negara dan Hakim Agung (Qadhi al-
Qudhat) yang menangani peradilan mazalim (tindak pidana), yaitu jabatan khusus
yang menangani pengaduan terhadap negara atau pejabat negara dan tindak pidana
yang tidak tercakup di dalam hukum Islam.573

10
Pada saat Sulthan Abu Salim dikudeta melalui pemberontakan oleh para elite
politik yang dipimpin Perdana Menteri Umar bin Abdullah adik ipar Sulthan Abu
Salim sendiri, Ibnu Khaldun sangat kecewa atas situasi politik yang sedang terjadi,
karena Ibnu Khaldun tidak mendapatkanposisi jabatan Perdana Menteri atau jabatan
yang setingkat, seperti jabatan Hijabah(protokoler Sulthan). Perdana Menteri Umar
bin Abdullah kemudian melantik Tasyfin, yaitu saudara Sulthan Abu Salim sebagai
raja (Sulthan).574Untuk menghilangkan kekecewaannya, Ibnu Khaldun bermaksud
untuk kembali ke negara asalnya, yaitu Tunisia dengan tujuan untuk mengabdikan diri
kepada Pemerintah Bani Hafsh atau kepada Pemerintah Bani Abdul Wad di wilayah
Afrika Barat laut. Tetapi keinginan Ibnu Khaldun tersebut kandas, karena dihalangi
oleh Pemerintah Fez, dengan alasan karena Ibnu Khaldun dipandang sebagai seorang
tokoh dan pemikir yang menguasai geopolitik yang luas di kawasan Afrika Barat
laut,jika dia dibiarkan pergi ke Tunisia dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh
Penguasa Dinasti Hafsh atau Penguasa Dinasti Abdul Wad. Hal ini tentu saja dianggap
bakal merugikan kepentingan Pemerintah Fez. Kemudian Ibnu Khaldun diizinkan
meninggalkan Fez, tetapi tidak untuk ke Tunisia atau ke Tlasman, yaitu pusat
pemerintahan Bani Abdul Wad, melainkan ke Andalusia, akhirnya Ibnu Khaldun
berangklat ke Granada, Andalusia, pada tahun 764 H.575
Ketika Ibnu Khaldun memasuki Andalusia, danyang memerintah saat itu adalah
Sulthan Mohammadbin Yusuf bin Ismail bin al-Ahmaral-Nashariy.

Dia naik tahta sebagai raja setelah ayahnya; Sulthan Yusuf terbunuh pada tahun 755
H./1354 M. dan Pangeran Mohammad saat naik tahta usianya masih relatif muda,
maka pejabat sementara untuk mengelola urusan kenegaraan adalah Abu Naim
Ridwan seorang pejabat Protokoler Sulthan Yusuf. Sulthan Mohammad dalam
menjalankan pemerintahannya dibantu oleh Perdana Menteri Muhammad Ibnu
Khatib.Antara Sulthan Mohammad, Perdana Menteri Muhammad Ibnu Khatib dan
Ibnu Khaldun telah terjalin hubungan persahabatan (rawabith al- mahabbah wa al-
sadiqah)ketika dalam pengasinganya di Fez sebagai tamu undangan Sulthan Abu
Salim. Oleh karenanya kedatangan Ibnu Khaldun di Granada, pusat Pemerintahan
Andalusia disambut baik oleh Sulthan Mohammad dan Perdana Menteri Ibnu Khatib
sebagai balas budi jasa dan kebaikan Ibnu Khaldun selama mereka berdua di Fez
dahulu.576Selama tinggal di Andalusia, Ibnu Khaldun pernah mendapatkan
kepercayaan sebagai Duta Besar yang diutus oleh Sulthan untuk tugas menyelesaikan
konflik yang terjadi dengan negara tetangganya.
Situasi di Andalusia tidak selamanya kondusif dan nyaman bagi Ibnu Khaldun,
karena tidak lama kemudian timbul salah paham yang menyebabkan hubungan antara

11
Ibnu Khaldun dan Perdana Menteri Ibnu Khatib memburuk.Situasi ini terjadi sebagai
akibat darikecemburuan dan kekhawatiran Perdana Menteri Ibnu Khatib kepadaIbnu
Khaldun yang kelihatanya semakin dekat dengan Sulthan. Tetapi kemudian situasi
yang tidak menyenangkan ini berubah, saat Ibnu Khaldun menerima undangan dari
Pangeran Abu Abdullah yang pernah dipenjara bersama Ibnu Khaldun di Fez. Abu
Abdullah kini telah berhasil menguasai kembali kedudukanya di Keamiran Buqi,
wilayah Tunisia. Ibnu Khaldun mendapat tawaran jabatan Perdana Menteri, maka
kemudian Ibnu Khaldun dengan senang hati menerima tawaran jabatan tersebut dari
sahabat lamanya, dan Ibnu Khaldun tidak dapat menyembunyikan perasaan gembira
ini.

Namun kegembiraan Ibnu Khaldun ini rupanya tidak lama, karena Sulthan Abu
Abbas, yaitu saudara sepupu atau anak paman Pangeran Abu Abdullah; Penguasa
Konstantin, berambisi menguasaiseluruh wilayah Tunisia, termasuk Keamiran Abu
Abdullah. Ambisi ini dilakukan dalam rangka mengembalikan kejayaan Dinasti
Hafsh.Sekitar satu tahun Ibnu Khaldun berada di Buqi, Pangeran Abu Abdullah
meninggal dunia karena terbunuh saat pasukan Abu Abbas menyerang Buqi, dan
Keamiran itu jatuh ke tangan Abu Abbas.Sepeninggal Abu Abdullah banyak tokoh dan
para elite Buqi menyarankan Ibnu Khaldun agar menobatkan salah seorang putra al-
Marhum yang masih dibawah umur sebagai Amir.Ibnu Khaldun yang posisinya
sebagai pejabat pelaksana pemerintahan sementara justru menolak saran tersebut, dan
sebaliknya Ibnu Khaldun mengambil keputusan untuk bersiap-siap menerima
kedatangan Abu Abbas dan menyerahkan kotaBuqi kepadanya. Sebagai transaksi
politik yang terjadi, Abu Abbas mengangkat Ibnu Khaldun sebagai pejabat Protokoler
(al-Hijabah); jabatan yang lebih tinggi sedikit dari jabatan Perdana Menteri dalam
tradisi pemerintahan saat itu di kawasan Afrika Barat laut.578
Tetapi kemudian Abu Abbas meragukan loyalitas Ibnu Khaldun yang mudah
berubah orientasi politiknya, Ibnu Khaldun menyadari kondisi ini, makanya Ibnu
Khaldun kemudian memohon izin kepada Abu Abbas untuk pindah ke luar Buqi, tetapi
Abu Abbas justeru memerintahkan untuk menangkap Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldung
bernasib mujur selamat berhasil melarikan diri ke Keamiran Biskra, dan Abu Abbas
hanya berhasil menangkap adik Ibnu Khaldun; Yahya, kemudian mengasingkannya ke
salah satu kota pantai al-Jazair.579
Pada saat Dinasti Abdul Wad yang berpusat di Tlasman dipimpin oleh Sulthan
Abu Hammu.Abu Hammu menyampaikan tawaran kepada Ibnu Khaldun jabatan
Protokoler (al-Hijabah), tetapi tawaran tersebut ditolak oleh Ibnu

12
Khaldun.580Meskipun demikian, Ibnu Khaldun tetap memenuhi permintaan Abu
Hammu agar ikut aktif mempengaruhi (mengajak) suku-suku (al-Qabail) wilayah itu

untuk mendukung rencananya merebut Buqi. Pada saat yang sama Ibnu Khaldun juga
tengah berupaya membentuk aliansi antara Abu Hammu dan Pangeran Ishak(Sulthan
Tunisia dan saudara Abu Abbas) yang sangat buruk hubunganya dengan Abu Abbas.
Tetapi serangan Abu Hammu yang kedua kali ini atas Buqi mengalami kegagalan.
Meskipun dengan kegagalan ini, Ibnu Khaldun tetap meneruskan aktivitasnya
menghimpun dukungan suku-suku (al- Qabail) kepada Abu Hammu, dan memperkuat
hubungan (ihkam al-shihabah) antara Abu Hammu dan Pangeran Ishak, yaitu Sulthan
Tunisia.
Sementara itu Sulthan Abdul Aziz dari Bani Marin yang berpusat di Fez
berambisi menguasai kembali wilayah Bani Abdul Wad, oleh karenanya satu pasukan
besar Sulthan Abdul Aziz disiagakan untuk menyerang Tlasman. Serangan ini
menyebabkan Abu Hammu melarikan diri dan Sulthan Abdul Aziz berhasil membujuk
Ibnu Khaldun agar bersedia membantunya mengajak suku-suku di wilayah itu beralih
loyalitas dari Abu Hammu kepada Abdul Aziz. Tetapi missi Ibnu Khaldun kali ini
tidakberhasil, akhirnya Ibnu Khaldun kembali ke Biskra, dan hubunganya dengan
Sulthan Abdul Aziz dilakukan melalui koresponden surat menyurat.
Ibnu Khaldun tidak betah tinggal lama di Biskra, terutama karena hubunganya
dengan penguasa di sana dan suku-suku di wilayah itu tidak serasi, akhirnya Ibnu
Khaldun memutuskan untuk meninggalkan Biskra untuk bergabung dengan Sulthan
Abdul Azizdi Tlasman. Di tengah perjalanan, Ibnu Khaldun menerima khabar bahwa
Sulthan Abdul Aziz meninggal dunia, dan kedudukanya digantikan oleh putranya,
yaitu Pangeran Said di bawah asuhan Perdana Menteri Ibnu Ghazi, dan bahkan pusat
pemerintahanpun telah pindah kembali ke Fez. Selain berita di atas diterima juga
berita lain, yaitu; bahwa Abu Hammu telah kembali ke Tlasman, akhirnya Ibnu
Khaldun memutuskan untuk meneruskan perjalananya ke Fez. Tetapi kemudian,
berita perjalanan Ibnu Khaldun sampai juga kepada Abu Hammu,

kemudian Abu Hammu meminta penduduk di wilayah yang akan dilewati Ibnu
Khaldun agar menangkapnya. Akhirnya Ibnu Khaldun tertangkap di tengah padang
pasir, tetapi beruntung Ibnu Khaldun dapat lolos dari kepungan para penduduk
wilayah yang dilewati Ibnu Khaldun, akhirnya Ibnu Khaldun sampai juga di kota Fez.
Hanya saja di kota itu suasananya tidak seperti yang diharapkan, situasi politik di kota
Fez tidak menentu, dan para penguasa tampaknya sudah kehilangan kepercayaan
13
kepada Ibnu Khaldun. Mereka melihat Ibnu Khaldun dengan penuh
kecurigaan.Sementara Ibnu Khaldun tidak mungkin kembali lagi ke Tlasman yang
dikuasai oleh Abu Hannu atau ke Tunisia yang sedang diperintah oleh Sulthan Abu
Abbas. Tujuan satu-satunya bagi Ibnu Khaldun kalau mau keluar dari Fez adalah
Granada, Andalusia, dan memang ke sanalah Ibnu Khaldun pergi, dan ini terjadi pada
tahun 776 H.
Tetapi kemudian Ibnu Khaldun tidak lama tinggal di Andalusia, karena dia
khawatir akan terjadi hal-hal yangberbahaya kepada keselamatan dirinya dari
Pemerintah Fez, dan ternyata Pemerintah Fez melarang keluarga Ibnu Khaldun yang
masih tinggaldi Fez bergabung denganya, dan bahkan Pemerintah Fez meminta kepada
Sulthan Granada; Ibnu Ahmar agar menyerahkan Ibnu Khaldun kepada Pemerintah
Fez, tetapi permintaan itu ditolak oleh Sulthan Granada. Pada akhirnya Sulthan Abu
Ahmar setuju mengusir Ibnu Khaldun dari negerinya dan agar Ibnu Khaldun kembali
saja ke wilayah Afrika Barat laut. Ibnu Khaldun kemudian meninggalkan Andalusia
dan kembali ke Afrika, turun dan terdampar di Pelabuhan Hanin, tidak tahu akanke
mana pergi (hairan, jaza`an, la ya`lamu ayna yaqshadu). Adik Ibnu Khaldun; Yahya
telah kembali mengabdi kepada Abu Hammu, tetapi terhadap Ibnu Khaldun, Abu
Hammu belum bisa melupakan pengkhiayanatan yang dilakukan Ibnu Khaldun
kepadanya dulu. Namun berkat bantuan dan jaminan seorangsahabat lama Ibnu
Khaldun; Mohammad bin Arif, salah seorang tokoh masyarakat dari Bani Arif agar
Ibnu Khaldun diampuni saja, akhirnya Ibnu Khaldun memperoleh pengampunan dari
Abu Hammu dan Ibnu Khaldun diizinkan datang kembali ke Tlasman, kedatangan
Ibnu Khaldun ke Tlasman pada hari Raya Idul Fitri tahun 771 H./ 1374 M.
Pada waktu itu, seperti ditegaskan Munawir Sjadzali bahwa Ibnu Khaldun
sudah berniat untuk meninggalkan arena percaturan politik, dan kembali ke dunia ilmu
pengetahuan, mengajar dan menulis. Tetapi kemudian Ibnu Khaldun diminta oleh Abu
Hammu untuk membantunya membina dukungan dan loyalitas suku-suku (al-qabail)
untuk Abu Hammu, Ibnu Khaldun berpura-pura menerima baik permintaan itu dan
segera meninggalkan Tlasman, tetapi tidak untuk melaksanakan missinya
sebagaimana yang diminta, namun Ibnu Khaldun pergi ke wilayah Suku Bani Arif
dan kemudian menetap di sana. Tidak lama kemudian keluarga Ibnu Khaldun
menyusul untuk bergabung dengan Ibnu Khaldun. Sementara itu, tegas Munawir
Sjadzali, para pemimpin suku Bani Arif (Ruasa`u Bani Arif) berhasil membujuk Abu
Hammu agar memperkenankan Ibnu Khaldun menetap bersama mereka, yaitu suku
Bani Arif , dan Abu Hammu memperkenankannya. Akhirnya Ibnu Khaldun tinggal
bersama suku Bani Arif di suatu tempat yang jauh dari keramaian dan hiruk pikuk

14
percaturan politik yang penuh dengan intrik-intrik, gejolak dan konflik selama hampir
empat tahun lamanya. Dari sanalah Ibnu Khaldun untuk pertama kalinya melakukan
penelitian dan kajian ilmiah, dan di tempat yang tenang itulah Ibnu Khaldun
menyelesaikan karya tulisnya yang sangat monumental, yaitu Muqaddimah Ibnu
Khaldun, yang merupakan jilid pertama dari al-`Ibar dalam waktu lima bulan,
diselesaikan pada pertengahan tahun 779 H. Penulisan karya tersebut terus berlanjut,
tetapi ketika Ibnu Khaldun menemui kesulitan referensi (al-maraji`), dia kembali ke
Tunisia karena di sana terdapat perpustakaan yang lengkap.
Sejak kembali ke Tunisia pada tahun 783 H. Ibnu Khaldun pernah diminta oleh
Sulthan Abu Abbas untuk menyertainya dalam suatu ekspedisi militer, Ibnu Khaldun
yang sudah mulai jenuh dengan hiruk pikuk permainan politik itu sebenarnya tidak
ingin ikut, tetapi tidak berani menolaknya dan terpaksa mengikutinya sekedar untuk
menghibur hati Sulthan Abu Abbas. Maka sepulangnya dari ekspedisi militer tersebut,

dan sebelum mendapatkan ajakan lagi, Ibnu Khaldun meminta izin kepada Sulthan
untuk menunaikan ibadah haji.Pada tahun 784 H/ 1383 M. Ibnu Khaldun
meninggalkan Tunisia dan berlayar menuju Iskandariah (Alexandria),
Mesir.Dengan keberangkatannya dari Tunisia kali ini Ibnu Khaldun mengakhiri
karier politiknya di Afrika Barat Laut yang penuh dengan berbagai gejolak, konflik
dan dinamika perpolitikan. Sejak itu Ibnu Khaldun tidak pernah kembali lagi ke
kawasan Afrika Barat Laut.
Setelah kurang lebih empat puluh hari berlayar, Ibnu Khaldun sampai di
Iskandariah pada hari Raya Idul Fitri tahun 784 H. / November 1381 M. Tetapi
Ibnu Khaldun tidak langsung pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji
sebagimana yang ia rencanakan semula, justeru Ibnu Khaldun menetap di kota
pantai itu sekitar satu bulan, setelah itu Ibnu Khaldun pergi ke Kairo; Ibu kota
Kerajaan Mamalik. Kairo pada waktu itu menjadi pusat (markaz) kajian pemikiran
Islam.Hal ini karena Penguasa Dinasti Mamalik memberi perhatian sangat besar
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan (science) melalui berbagai kajian dan
penelitian, baik di sekolah-sekolah atau di Universitas al-Azhar.587 Seorang Ilmuan,
seperti Ibnu Khaldun tidak memerlukan waktu lama untuk menjadi seorang terkenal
di pusat kota ilmu dan peradaban seperti Kairo, selain dari itu Ibnu Khaldun sebagai
praktisi yang selama seperempat abad terlibat secara langsung dalam percaturah
dan hirukpikuk politik yang menjadikanya seorang politisi yang berpengalaman dan
memiliki kapabelitas dan kepribadian yang tangguh di Afrika Barat Laut, tidak
sukar untuk menarik perhatian para penguasa di Mesir. Oleh karenanya belum
cukup dua tahun berada di Kairo, Ibnu Khaldun dingkat sebagai dosen Fiqh Mazhab

15
Malikiy pada Lembaga Pendidikan Qamhiyah pada tahun 786 H. dan berturut-turut
diangkat oleh Sulthan Zahir Barquq; salah seorang

Sulthan Dinasti Mamalik sebagai Hakim Agung (Qadhi al-Qudhat) dalam mazhab
Malikiy.588Semenjak kedatanganya di Iskadariah selama hampir dua puluh empat
tahun sampai wafatnya, Ibnu Khaldun tetap tinggal di Mesir. Hanya beberapa kali
Ibnu Khaldun meninggalkan Mesir untuk mengadakan kunjungan singkat ke luar
negeri, antaranya ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji, ke Syiria dan ke Mesjid
al-Aqsha, dan kemudian kembali lagi ke Kairo.589
Demikian latar belakang dan petualangan karier politik Ibnu
Khaldun yang penuh dengan intrik-intrik politik yang membahayakan dirinya, dia
bukan saja seorang teoritikus politik, tetapi juga seorang praktisi yang
berpengalaman. Pengalamannya dibuktikan dengan pengabdianya kepada tiga
orang Sultan dan dua orang Perdana Menteri, dan beberapa kali menjabat jabatan
Protokoler Sulthan, yaitu Jabatan yang lebih tinggi sedikit dari jabatan Perdana
Menteri menurut tradisi politik saat itu, dan pernah menduduki jabatan Hakim
Agung. Oleh karenanya teori-teori politiknya memiliki kekuatan dan kelebihan
dibanding dengan pemikir-pemikir politik Islam lainya, karena teori-teori politiknya
berdasarkan realitas dan pengalamannya selama Ibnu Khaldun terlibat secara
langsung di dalam kancah perpolitikan. Pengalaman politiknya dutulis di dalam
karya monumentalnya, yaitu; Muqaddimah, yang merupakan jilid pertama dari
beberapa jilid karyanya; al-`Ibar.
Mengenai karya Ibnu Khaldun yang diwariskan kepada generasi
sepanjang zaman dan dunia ilmu pengetahuan adalah karyanya yang monumental
tentang sejarah berjudul; al-`Ibar terdiri dari tujuh jilid. Jilid pertamanya lebih
terkenal dengan namaMuqaddimah Ibnu Khaldun, selain karyanya yang lain
berjudul; al-Ta`rif. Muqaddimah Ibnu Khaldun telah diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa di dunia, baik di Timur ataupun di Barat.Muqaddimahmerupakan
kontribusi terbesar Ibnu Khaldun bagi perkembangan ilmu sejarah, peradaban,
sosiologi, dan ilmu politik, oleh karenanya ada sebagian sarjana berpendapat bahwa

16
Ibnu Khaldun adalah seorang perintis (al-munsyi`) cabang-cabang
ilmu filsafat sejarah dan ilmu kemasyarakatan (ilmu-ilmu sosial).590
Beberapa naskah Muqaddimah Ibnu Khaldun telah dihadiahkan
kepada beberapa kepala negara, antaranya satu naskah Muqaddimah, Ibnu Khaldun
menghadiahkannya kepada Sulthan Tunisia; Abu al-Abbas pada tahun 784 H. satu
naskah lagi Ibnu Khaldun menghadiahkannya kepada Sulthan Mesir; Sulthan Zahir
Barquq yang tengah bertahta saat itu, dan satu lagi naskah Ibnu Khaldun
menghadiahkannya kepada Sulthan Maroko; Sulthan Abi Faris Abdul Aziz pada
sekitar tahun 799 H. untuk disimpan di Perpustakaan Universitas Qarawaen di
Fez.591 Dalam perkembanganya ternyata Muqaddimah Ibnu Khaldun telah
memberikan inspirasi dan pengaruh besar terhadap perkembangan berbagai aspek
ilmu pengetahuan, baik dalam aspek kemasyarakatan, politik, ekonomi, sejarah,
sastra, di Barat atau pun di Timur.
Menurut catatan Ahmad Syafi`i Maarif, Ibnu Khaldun sampai
dengan tahun 1970-an menjadi perhatian para peneliti dan penulis, tidak kurang dari
854 buah buku, artikel, review, disertasi, dan bentuk tulisan lainnya yang ditulis
oleh para sejarawan Islam, maupun Barat (Orientalis) tentang Ibnu Khaldun. 592Ibnu
Khaldun wafat pada tahun 808 H. dalam keadaan masih memegang jabatan Hakim
Agung,pada masa Pemerintahan Dinasti Mamalik diMesir.

2.4 Konsep Pemikiran Politik Menurut Ulama Imam Ghazali

Imam Ghazali yang dikenal juga sebagai Abu Hamid al-Ghazali, adalah seorang
cendekiawan Muslim terkemuka dari abad ke-11. Meskipun terkenal karena
kontribusinya dalam bidang filsafat, teologi, dan tasawuf (misticisme Islam), dia juga
memiliki beberapa pemikiran politik yang relevan.
Dalam karyanya yang terkenal, "Ihya Ulum al-Din" (Revival of the Religious Sciences),
Imam Ghazali menyoroti pentingnya kepemimpinan yang adil dalam Islam. Dia
menekankan bahwa pemimpin Muslim harus memenuhi kriteria moral dan etika
tertentu. Menurutnya, pemimpin yang baik adalah mereka yang memiliki
kebijaksanaan, adil, bertanggung jawab, dan bertindak demi kepentingan umum.

17
Pemimpin yang korup, tiran, atau tidak bertanggung jawab dianggap tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam.
Imam Ghazali juga menyoroti pentingnya stabilitas sosial dan ketertiban dalam
masyarakat. Dia berpendapat bahwa masyarakat yang harmonis dan damai
membutuhkan aturan hukum yang jelas dan adil. Dia menganggap hukum sebagai alat
untuk memastikan keadilan sosial, melindungi hak individu, dan menjaga ketertiban
umum. Baginya, keadilan adalah prinsip inti yang harus dijunjung tinggi dalam urusan
politik.Selain itu, Imam Ghazali juga menekankan pentingnya pendidikan dan
pengetahuan dalam pembentukan pemerintahan yang baik. Dia percaya bahwa para
pemimpin harus dididik secara baik dan memiliki pemahaman yang mendalam tentang
agama dan ilmu pengetahuan. Pemimpin yang cerdas dan terdidik akan mampu
membuat keputusan yang bijaksana dan memajukan masyarakat.

Pemikiran politik Imam Ghazali didasarkan pada prinsip-prinsip Islam yang meliputi
keadilan, kebijaksanaan, stabilitas sosial, dan pendidikan. Dia percaya bahwa
pemerintahan yang baik harus mematuhi prinsip-prinsip ini agar dapat memberikan
manfaat dan kesejahteraan bagi masyarakat. Pemikiran-pemikirannya ini masih relevan
dalam konteks politik Islam hingga saat ini. Imam Ghazali tidak secara spesifik
membahas konsep perbedaan politik dalam karyanya yang terkenal. Namun,
berdasarkan pemahaman dan pendekatan pemikiran politiknya, kita dapat merumuskan
beberapa prinsip yang dapat mencerminkan pandangannya tentang perbedaan politik.
Dialog dan musyawarah: Imam Ghazali mendorong pentingnya dialog dan musyawarah
dalam menyelesaikan perbedaan politik. Dia mengajarkan bahwa diskusi yang
konstruktif dan saling mendengarkan pendapat adalah cara yang baik untuk mencapai
kesepakatan dan meredakan konflik. Dalam pandangannya, penyelesaian perbedaan
politik harus didasarkan pada kebijaksanaan dan akal sehat, serta mempertimbangkan
kepentingan umum.
Kesatuan dan persatuan: Imam Ghazali menekankan pentingnya menjaga kesatuan dan
persatuan umat Muslim. Dia mendorong untuk menghindari perpecahan dan konflik
yang dapat merusak stabilitas sosial. Dalam konteks politik, dia mungkin akan
menekankan pentingnya mencari titik persamaan dan mengutamakan kepentingan

18
umum daripada kepentingan individu atau kelompok yang sempit.
Keadilan: Keadilan merupakan prinsip sentral dalam pemikiran politik Imam
Ghazali. Dia menganjurkan agar perbedaan politik ditangani secara adil dan merata.
Pemimpin harus bertindak berdasarkan prinsip keadilan, memperlakukan semua
warga negara dengan sederajat, dan melindungi hak-hak mereka. Dalam
pemahamannya, perbedaan politik yang adil dapat mendorong pertumbuhan dan
kesejahteraan masyarakat.
Menghindari fanatisme dan ekstremisme: Imam Ghazali menekankan pentingnya
menjauhi fanatisme dan ekstremisme dalam konteks politik. Dia mengajarkan
bahwa sifat-sifat ini dapat menyebabkan konflik yang merugikan masyarakat secara
keseluruhan. Sebaliknya, dia mendorong untuk mengadopsi pendekatan yang
moderat dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang.Penting untuk dicatat
bahwa ini adalah interpretasi yang mungkin dari pemikiran politik Imam Ghazali
berdasarkan prinsip-prinsip yang ditemukan dalam karyanya. Meskipun pemikiran-
pemikirannya memberikan panduan umum tentang bagaimana perbedaan politik
harus ditangani, ia tidak secara eksplisit membahas konsep perbedaan politik dalam
konteks yang lebih rinci. Oleh karena itu, pendapatnya tentang isu-isu politik yang
lebih spesifik mungkin tidak dapat dipastikan.

2.5 Konsep Pemikiran Politik Menurut Ulama Ibnu Taimyah


Ibnu Taimiyah lahir di Harran, sebuah tempat dekat dengan Damaskus
pada tahun 661 H./ 1262 M. Pada tahun 1258 M. yaitu lima tahun sebelum
kelahiran Ibnu Taimiyah, Tentara Hulaku Khan dari Mongol menyerang dan
membumi hanguskan kekhilafahan Dinasti Abbasiyah, sekaligus menandai
berakhirnya Khilafah Bani Abbas (Daulah Abbasiyah) yang selama kurang
lebih lima ratus tahun berkibar menjadi lambang kekuatan politik Dunia Islam
saat itu. Ibnu Taimiyah hidup dalam situasi genting, tidak ada stabilitas politik
sebagai akibat dari disintegrasi dan perpecahan dalam berbagai aspek
kehidupan sosial politik, dan bahkan dalam hal keagamaanpun tidak ada
kesatuan dalam bermazhab atau dalam ketetapan hukum (hukum fiqh) dan
undang-undang. Kondisi ini diperparah dengan adanya kehidupan masyarakat

19
yang heterogen dan saling mencurigai antara satu dengan yang lainnya, tidak
ada kesepahaman (tafahum).Masyarakatnya terdiri dari berbagai etnik atau
keturunan; keturunan Turkey (Atrak), keturunan Mesir (Misriyyun), Syam
(Shamiyyun), keturunan Iraq (Iraqiyyun) dan orang-orang keturunan Tatar
(Mongolia). Keberadaan mereka di Syam (Syria) kebanyakannya sebagai
budak atau hamba sahaya karena menjadi tawanan perang, dan mereka semua
menetap di

Syam.Mereka semua berbeda-beda dalam budaya, kepercayaan, perilaku, pemikiran


dan sebagainya, kondisi ini berpengaruh pada kehidupan sosial politik, pemikiran dan
sebagainya.511
Penting untuk disampaikan bahwa Ibnu Taimiyah telah melibatkan diri dalam
perang Syaqjab. Ibnu Taimiyah dalam perang ini telah menggalang kekuatan Tentara
dari Mesir bersama dengan kekuatan Tentara dari Syam. Dalam situasi seperti ini
Ibnu Taimiyah menyeru kepada para Sulthan, para Amir (Gubernur), dan semua
masyarakat untuk tetap teguh dan tegar dalam menghadapi musuh.512
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kondisi sosial politik pada masa Ibnu
Taimiyah hidup tidak jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi sosial politik para
pendahulunya, kondisinya sangat parah, stabilitas politik tidak ada, disintegrasi politik
tengah mengancam di berbagai wilayah, dislokasi sosial, dekadensi moral dan akhlak
melanda di tengah-tengah masyarakat.513 Ini semua terjadi sebagai dampak dari
permasalahan-permasalahan yang melanda Dinasti Abbasiyah, baik karena faktor
internal atau pun eksternal, dan permasalahan ini bukan saja terjadi di pusat
pemerintahan di Baghdad, tetapi juga di wilayah kekuasaan yang terbentang luas di
berbagai wilayah. Malapetaka yang paling parah adalah terjadinya perang dengan
Krusades yang tidak kunjung henti, dan terjadinya serangan kekuatan Tentara
Mongolia yang dipimpin oleh Hulagu Khan.514Dari aspek lain, memang sudah lama
kekuasaan pemerintahan tidak lagi berada dalam kendali Khalifah yang bertahta di
Baghdad, melainkan sudah berada pada penguasa- penguasa wilayah atau daerah, baik
yang bergelar Sulthan, Amir, atau Gubernur. Tetapi kekuasaan mereka kemudian

20
dipersempit ataubahkan ada yang direbut (dikuasai) oleh penguasa Tatar dari Timur
atau Krusades dari Barat.Jatuhnya pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad
ke tangan kekuasaan Tatar sebagai fakta berakhirnya pemerintahan Dinasti
Abbasiyah dan sekaligus merupakan klimaks dari tragedi disintegrasi politik.Dengan
kolapsnya (runtuhnya) Dinasti Abbasiyah, para penguasa wilayah kemudian bebas
mengenakan gelar; Amir, Sulthan, atau Raja

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Para ulama klasik yang Anda sebutkan memiliki pemikiran politik yang berbeda-beda. Berikut
adalah gambaran umum tentang perbedaan pemikiran politik mereka:
1. Al-Farabi: Al-Farabi, seorang filsuf Muslim abad ke-9, mengembangkan konsep
negara ideal yang dikenal sebagai "negara filosofis." Ia percaya bahwa negara yang
ideal adalah yang dipimpin oleh seorang filosof-raja atau pemimpin yang bijaksana.
Menurut Al-Farabi, tujuan negara adalah mencapai kebahagiaan atau kebaikan umum.
Negara yang baik harus menggabungkan prinsip-prinsip moral dan kebijakan yang
adil.
2. Al-Mawardi: Al-Mawardi, seorang ahli hukum dan politik Islam abad ke-10,
mengembangkan teori politik yang didasarkan pada hukum Islam (syariah). Ia
berpendapat bahwa negara ideal adalah yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariah
dan dipimpin oleh seorang khalifah (pemimpin muslim). Al-Mawardi memandang
khalifah sebagai pemimpin yang harus mematuhi hukum Allah dan bertanggung jawab
atas keadilan dan kesejahteraan umat.
3. Ibnu Khaldun: Ibnu Khaldun, seorang sejarawan dan filosof Muslim abad ke-14,
mengembangkan pemikiran politik yang berdasarkan analisis sejarah dan faktor-faktor
sosial. Ia mengemukakan konsep "asabiyyah" yang merujuk pada semangat
kebersamaan dan solidaritas yang diperlukan untuk membangun negara. Ibnu Khaldun
berpendapat bahwa negara akan mengalami siklus perubahan dari kekuasaan kekayaan
dan kemakmuran, hingga kemerosotan dan kehancuran. Menurutnya, faktor-faktor
sosial dan ekonomi berperan penting dalam pembentukan dan kejatuhan suatu negara.
4. Imam Ghazali: Imam Ghazali, seorang teolog dan filosof Muslim abad ke-11, lebih
fokus pada masalah spiritualitas dan moralitas individu daripada politik. Meskipun
demikian, ia mengemukakan beberapa pandangan politik. Imam Ghazali memandang
bahwa pemimpin harus mematuhi hukum Islam dan bertanggung jawab atas keadilan.
Ia juga berpendapat bahwa negara harus memberikan perlindungan kepada rakyatnya
dan mempromosikan kesejahteraan sosial.
5. Ibnu Taimiyah: Ibnu Taimiyah, seorang ulama dan pemikir Islam abad ke-14,
mengembangkan pandangan politik yang berfokus pada pemahaman dan penerapan

22
hukum Islam secara ketat. Ia menekankan pentingnya pemerintahan yang didasarkan
pada hukum Allah dan menentang praktik-praktik yang dianggap bid'ah (inovasi)
dalam agama. Ibnu Taimiyah juga menganggap jihad sebagai sarana yang sah untuk
mempertahankan agama dan negara.
Perlu dicatat bahwa para ulama ini memiliki kontribusi dan pemikiran yang luas di bidang
agama, filsafat, dan politik. Sementara mereka memiliki perbedaan dalam beberapa aspek,
terdapat juga kesamaan dalam pemahaman tentang keadilan, kebaikan umum, dan pentingnya
mematuhi prinsip-prinsip moral dan hukum Allah dalam pemerintahan.

3.2 Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas masih
banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna.

Adapun nantinya penulis akan segera melakukan perbaikan susunan makalah itu dengan
menggunakan pedoman dari beberapa sumber dan kritik yang bisa membangun dari para
pembaca.

23
DAFTAR PUSTAKA

 Erwin I.J. Rosenthal, Political Thought in Medival Islam, Cambridge,ambridge


University Press, 1971)
 Hasan, Hasan Ibrahim, Tarikh Islam, Juz III, Kairo, Maktabah alMishriyyah, 1979
 Gibb, Hamilton A. R., Studies in Islamic Civilization, Princeton, Princeton
University Press, 1982
 Esposito, John L, Islam and Politics, Terj Joesoef Sou’yb, Jakarta, Bulan
Bintang, 1990
 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung, Mizan, 1997
 al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthoniyah wa al-Wilayat al-Diniyah, Mesir,
 Syirkah Maktabah wa Mathba’ah al-Babi al-Halabi wa Auladuh,
1973
 Syazali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran dan Pemikiran, Jakarta,
UI Press, 1993
 Khan, Qomaruddin, The Political Thought of Ibn Taymiyah, Delhi, Adam
Publishers & Distributors, 1992
 Bakhsh, S. Khuda, Politics in Islam, Delhi, Idarah al-Adabiyat, 1975
 Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam
Indonesia, Jakarta, Djambatan, 1992

24

Anda mungkin juga menyukai