Anda di halaman 1dari 35

BAB XII

SIYASAH (ETIKA BERPOLITIK)


Mewujudkan Negarawan dan Politikus yang Jujur, Menegakan HAM,
Hudud dan Qishah Dalam Masyarakat Madani

Editor ahli :
1.Prof. Dr. Asep Saeful Muhtadi, MA
(guru besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
2. Dr. Cecep Alba (dosen agama Islam ITB).

Karakter yang mau dibangun dengan bab SIYASAH (ETIKA BERPOLITIK)


Menegakan HAM, Hudud dan Qishah Dalam Masyarakat Madani adalah (1).
Semangat yang tinggi untuk mewujudkan masyarakat Madani (2). Menumbuhkan
sikap kepemimpinan Rabbaniyah pada setiap calon pimpinan (3). Sikap bijak dalam
menghadapi dan membangun masyarakat yang majemuk (4). Kesadaran tentang
pluralitas dan perlunya sikap toleransi (5). Sikap menghargai kaum wanita secara
proporsional (6). Kesadaran tentang perlunya mengaplikasikan nilai-nilai HAM yang
sesuai dengan isyarat Alquran.
1.

1. Hakikat dan Ruang Lingkup Politik Islam


Siyasah atau politik pada hakikatnya,

cara mengatur atau mengelola negara,

sedangkan strategi politik adalah segala kebijakan dalam mengelola negara beserta semua
tahapan pelaksanaannya. Dalam hubungan ini, Islam

memberikan bimbingan tentang

bagaimana mengatur negara, bahkan telah dipraktekkan oleh Rasulullah saw dalam negara
Madinah.
Ruang lingkup siyasah atau politik Islam terdiri dari tiga objek yakni (1). siyasah
dustruriyah (2). siyasah dauliyah dan (3). siyasah maliyah. Penjelasannya sbb :
Pertama, Siyasah Dusturiyah : politik yang berkenan dengan imamah dan baiah,
kepemimpinan atau hukum tata negara. Persolaan yang dibahas antyara lain Imamah, hak dan
kewajiban warga negara,

2.
3. Mewujudkan Masyarakat Madani
Hakikat politik adalah cara mengelola negara, sedangkan strategi politik adalah segala
kebijakan dalam mengelola negara beserta semua tahapan pelaksanaannya. Dalam hubungan
dengan politik, ada yang disebut politikus ada pula yang disebut negarawan. Politikus adalah
para pemegang kekuasaan politik atau paling tidak, mereka adalah orang-orang yang ikut
terlibat dalam politik negara baik langsung maupun tidak langsung. Adapun negawan adalah
seorang politikus yang memiliki jiwa besar dan kepiawaian dalam mengatur negara. Setiap
negarawan pasti politikus tetapi tidak semua politikus sebagai negarawan.
Dalam bab ini penulis ingin membicarakan etika berpolitik terutama dalam konteks
Masyarakat Madani (masyarakat kota yang sangat beretika), kebalikan dari msyarakat
Badawy (masyarakat badui yang belum banyak mengenal etika).
Kita memaklumi bahwa sebelum kerasulan Muhammad SAW, keadaan masyarakat
dan negara Quresy bercorak kehidupan Jahiliyyah

dengan indikasi pokok adalah karena:

Pertama, Ideologinya Polytheisme yakni loyalitas ganda, mereka menyembah Allah namun
1 Jahiliyah bukanlah masa manusia Arab benar-benar bodoh, tidak tahu apa-apa, atau tidak
punya peradaban sama sekali , tetapi pada waktu itu mereka sesat dalam kehidupan
beragama. Mereka memiliki kepercayaan dan melakukan pemujaan tetapi mereka
menyimpang dan tersesat dari keimanan dan peribadatan yang diajarkan rasul Allah, yakni
nabi Ibrahim a.s. Lihat : Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar
1945, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1995 halaman 31.

dengan perantaraan berhala (QS. 10 : 31, 39). Kedua : Mengaku beragama Ibrahim tetapi
menolak nilai-nilai agama Ibrahim yang bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku di
negara itu. QS. 6 : 136-139). Ketiga : Budaya yang berkembang adalah budaya judi, mabuk
dan seks bebas (QS. 30 : 4,2). Keempat : Sistem pemerintahan berbentuk Aristo Demokrasi
yang memutuskan semua persoalan melalui musyawarah badan legislatif yang bernama Dr
an- Nadwah. Kelima : Hukum positifnya bersumber dari nilai-nilai leluhur nenek moyang
mereka (m wajadn alaih ab-an).2
Nabi Muhammad saw berada di tengah-tengah kaum jahiliyah dengan segala
kebudayaan yang bercorak materealistik paganistik seperti itu, yakni hidup berorientasi
kepada materi serta penuh dengan nilai-nilai kemusyrikan. Bisakah Nabi Muhammad SAW
sebagai manusia pilihan Allah untuk mengubah masyarakat Jahiliyah menjadi masyarakat
Ilahiyah ?
Untuk mengubah masyarakat Jahiliyah menjadi masyarakat Ilahiyah, Allah SWT
mengarahkan Muhammad SAW untuk berkhalwat di Gua Hira di Jabal Nur, sebuah tempat
terpencil dari jantung kota Mekah tetapi dari tempat itu Muhammad bisa melihat aktivitas
orang-orang di Masjdil Haram dan kota Mekah.
Berhari-hari dan berminggu-minggu Nabi saw berada di gua itu, sedangkan makanan
dan minuman dikirim secara berkala oleh Khadijah isteri tercinta. Di gua itu nabi tahanuts,
merenung, memikirkan bagaimana cara mengubah masyarakat. Setelah Allah mengganggap
cukup waktu, Allah pun mengutus Jibril untuk menyampaikan wahyu pertama yakni Iqra
bismi rabbika ladzi khalaqbacalah dengan nam Tuhanmu yang telah menciptakan
(QS. Al-Alaq ayat 1 5). Ayat ini sebagai tanda awal bahwa Muhammad diangkat sebagai
nabi3 (usia 40 tahun). Wahyu pertama ini memberikan isyarat kepada para pejuang bahwa

2 Lihat : Asep Zaenal Ausop, Ajaran dan Gerakan NII Kartosoewirjo, NII KW IX dan
Mahad Al-Zaytun, (Penerbit Tafakkur, Bandung 2012), hal. Pemerintahan Jahiliyah
memiliki15 kementerian antara lain: Kementrian Dalam Negeri yang disebut Asynak
mencakup bidang kepolisian yang diketuai oleh Abu Bakar. Departemen Luar Negeri yang
disebut Syifarah yang diketuai oleh Umar Ibn Khattab; Departemen Kehakiman yang
disebut Hukumah yang diketuai oleh Abu Thalib; Depertemen Perdagangann yang disebut
Qiyadah yang diketuai oleh Abu Sufyan Ibn Harb; Departemen Keuangan yang disebut
Ifadah yang diketuai oleh Haris Ibn Amir dari Bani Thufail. Departemen Hankam yang
diketuai oleh Amr Ibn Ash; sedangkan Panglima Perangnya dipegang oleh Khalid ibn
Walied; Menteri Seketaris Negara dipimpin oleh Aswad ibn Abd Auza.
3 Nabi berasal dari kata naba-a (fiil madhi/pasttens) yang artinya telah menyampaikan berita,
sedangkan nabi adalah isim fail yang artinya penyampai berita.

untuk mengubah suatu bangsa harus dimulai dengan tahap Iqra (bacalah). Maksudnya
bisa membaca tulisan bisa juga membaca keadaan masyarakat.
Misi Nubuwah Nabi yang utama dan pertama adalah mengajak orang-orang terdekat
untuk mengimani La ilaha illallah. Metodenya adalah mengajak mereka secara sembunyisembunyi (dakwah sirri), orang perorang dengan pendekatan persuasif. Beberapa orang yang
dekat dengan Nabi mulai memahami bahwa Tuhan itu hanyalah Allah, dan Muhmamad
adalah sebagai Nabi Allah. Orang-orang yang masuk Islam pada periode pertama antara lain
Khadiyah isteri nabi, Abu Bakar (teman nabi), Ali Ibn Abi Thalib (saudara sepupu nabi ).
Mereka disebut al-sabiquna al-awwalun (kelompok pertama).
Surat yang kedua turun adalah Al-Qalam. Pada surat ini Muhammad SAW diberi
metodologi tentang langkah-langkah teknis yang sistimatis untuk mengubah peradaban
Jahiliyah menjadi masyarakat berperadaban Ilahiyah. Adapun surat ketiga adalah surat AlMuzammil berisi tentang bagaimana Nabi harus mempersiapkan diri dalam situasi dan
kondisi yang buruk untuk menghadapi Abu Jahal, Abu Lahab dan Abu Sufyan yang licik.
Turunnya surat al-Muzammil merupakan tonggak pengangkatan nabi Muhammad
(usia 44 tahun) sebagai Rasul (utusan). Tugasnya lebih luas yakni menyampaikan risalah
kepada umat secara terbuka, terang-terangan atau yang dikenal dengan dakwah jahar. Jika
Rasul selain Muhammad menyampaikan risalahnya kepada umat tertentu sedangkan rasul
Muhammad SAW berkewajiban menyemaikan risalahnya kepada semua manusia.
Dakwah dengan cara terang-terangan ini ternyata direaksi dengan penolakan keras
yang berlanjut dengan tindakan masif penguasa Jahiliyah untuk menghalangi dakwah Nabi.
Bukan hanya itu tetapi Nabi bersama pengikutnya diboikot secara sosial ekonomi,
diintimidasi, disiksa bahkan sampai kepada upaya pembunuhan atas diri nabi sendiri.
Selama 13 tahun Nabi membina di Mekah, isi dakwah Nabi adalah aqidah dan
muakhakh, yakni penanaman keyakinan dan penjalinan persaudaraan, belum banyak
menyentuh soal syariah sampai akhirnya Nabi hijrah dari Mekah ke Yastrib (Madinah).
Di Yastrib terdapat Yahudi dan Nashrani sebagai imigran dari Yerussalem, Mesir dan
Syiria. Mereka berusaha menjadi tuan rumah dan berusaha menguasai lapangan ekonomi.
Namun niat mereka ini mendapat tantangan dari suku asli, yaitu Bani Aus dan Khajraj. Tapi
Yahudi sangat pandai mengadu domba antara Bani Aus dan Khajraj sehingga kedua suku ini
terus menerus berperang selama 150 tahun, sementara Yahudi tenang-tenang membangun
kekuatan ekonomi.
Kedatangan Nabi Muhammad SAW membawa suasana baru bagi Bani Aus dan
Khajraj sebab kini mereka mempunyai pimpinan yang jelas dengan ajaran yang mudah

dipahami dan dirasa adil. Wajar kalau ketaatan umat Islam kepada Nabi sangat kokoh,
sehingga pembelaan mereka kepada Islam melalui jihad harta dan jiwa lebih diutamakan
daripada urusan pribadi. (QS. An-Nur [24] :51).
Prosesing pembentukkan masyarakat Jahiliyah kepada masyarakat Madani yang
dilakukan Nabi adalah melalui metode integralistik transendental, yakni dengan melibatkan
lima dimensi kemanusiaan secara utuh dan terpadu di bawah panduan wahyu. Kelima
dimensi kemanusiaan itu adalah tubuh, perilaku, kesadaran, nurani dan ruh.

Dimensi Tubuh : Nabi menanamkan pentingnya kesehatan dan kebersihan tubuh, juga
tentang cara memilih makanan yang halal dan bergizi. Nabi mengajak semua masyarakat
untuk bercita-cita memilki al-jismi salim (tubuh yang selamat dari berbagai macam
penyakit dan derita).
Dimensi Perilaku : Nabi mengajak masyarakat berperilaku baik (maruf). Nabi

mengajarkan bagaimana perilaku yang baik dalam berdagang, membelanjakan harta,


berumah tangga, bahkan mengajarkan perilaku yang baik ketika berperang. Tidak ada
perilaku dalam satu bidang kehidupan pun yang luput diajarkan nabi. Luar biasa.
Dimensi Kesadaran : Nabi bukan hanya mengajak orang berperilaku, tetapi beliau

menanamkan kesadaran dalam berperilaku, bahwa perilaku itu harus dalam kerangka
ibadah kepada Allah, sehingga double impact, yakni kebahagiaan dunia dan akhirat. Nabi
menamkan kesadaran bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, dunia hanyalah batu
loncatan untuk meraih kebahagiaan akhirat.
Dimensi Nurani : Nabi mengetuk hati nurani setiap anggota masyarakat untuk saling

menyayangi dan saling memaafkan. Nabi bebicara kepada setiap hati masyarakat Madinah
tentang perdamaian. Nabi menempa setiap qalbu masyarakat Madinah tentang kesabaran,
kerja keras, syukur nikmat, dll. Beliau amat sering berbicara mengetuk hati nurani
masyarakat.
Dimensi Ruh : Nabi berdakwah dengan melibatkan ruh setiap insan, melibatkan semua

eksistensi kemanusiaan secara holistik bahkan integral. Tidak heran, jika para sahabat rela
menyerahkan hartanya bahkan mengorbankan nyawanya, mati di medan jihad, demi
tegaknya masyarakat Madani, demi berkibarnya peradaban Islamiyah Ilahiyah.
Jangan lupa bahwa Nabi saw membangun masyarakat bukan dimulai dari
pembangunan fisik material tetapi dimulai dari pembangunan budaya wahyu. Sistematika
pembangunannya sbb :

Budaya wahyu : Ketika awal mula Rasulullah SAW membangun masyarakat Madani,
beliau memprioritaskan dan mengutamakan pembangunan budaya Wahyu, yakni

bagaimana agar setiap anggota masyarakat beriman dengan benar sesuai wahyu Allah.
Target pertamanya

agar masyarakat mencintai Allah dan RasulNya, bukan

mendahulukan pembangunan fisik material. Rasulullah berusaha mendekatkan manusia


dengan wahyu dengan prinsip dasar la ilaha illallah muhammad rasulullah. Jika itu

sudah tertanam, barulah membangun budaya normatif.


Budaya nomatif : Budaya Normatif adalah tentang norma, nilai, hukum atau syariah.
Ini adalah pembangunan tahap kedua. Jadi pada umumnya, syariah atau hukum-hukum
disosialisasikan dan dilaksanakan di Medinah bukan di Mekah. Langkah ini sangat tepat
karena penerapan hukum tanpa didahului oleh sikap mencintai dan menaati rasul

(samina wa athana), mana mungkin hukum akan jalan.


Budaya simbolik : Budaya simbolik adalah pembangunan tahap ketiga, bahkan haji
yang penuh dengan simbol-simbol diberikan pada akhir kenabian, haji wada nabi
dilakukan tahun 10 hijriyah. Budaya simbolik akan dapat dimengerti dengan baik oleh
orang-orang yang hawas (mengerti). Contoh : mengecup hajar aswad ketika thawaf, itu
adalah simbol, normanya adalah al-musawwah atau persamaan derajat. Umar ibn
Khattab sebagai insan hawas menyatakan : Wahai batu hitam, engkau hanyalah batu
hitam. Seandainya nabi tidak menciummu, aku pun tidak akan menciummu. Lantas

Umar mencium hajar aswad.


Budaya sosial : Ialah bagaimana membangun hubungan sosial kemasyarakatan
terutama dengan dunia internasional. Hubungan antar umat manusia dalam jangkauan
yang lebih luas dibangun setelah masyarakat memahami norma dan nilai-nilai sehingga

tidak salah arah serta tidak terbawa oleh arus budaya jahiliyah.
Budaya material : Budaya material seperti jalan, gedung, jembatan, dan lain-lain adalah
perioritas terakhir pembangunan yang dilakukan Nabi saw. Betul bahwa nabi pada awal
kedatangannya

ke Madinah membangun masjid Quba tetapi itu dalam kerangka

membangun ruhiyah manusia.


Outcame pendidikan yang dilaksanakan Rasulullah saw ini adalah masyarakat Madani
bahkan negara Madani yang memiliki karakteristik yang signifikan sebagai berikut :

Tasammuh (bersikap toleran) : Madinah dihuni oleh beragam suku dan agama
(pluralistik) yang didominasi oleh Islam, Yahudi dan Nashrani. Dalam hal ini Nabi
membangun kebiasaan sikap toleransi, antara lain tidak boleh memaksakan agama, tidak
boleh menghina Tuhan dan sembahan orang lain, tidak boleh menghalang-halangi
penganut agama lain untuk beribadah. Akan tetapi ada aturan yang ketat pula yakni tidak

boleh menikah dengan orang musyrik. Jangan gara-gara ingin disebut toleran terus

menganjurkan nikah campur (dengan orang yang berbeda agama, itu haram hukumnya).
Supremasi Hukum : Pada masyarakat Madinah hukum itu panglima. Khusus hukum
yang menyangkut tiang tegaknya masyarakat yang baik, yakni Hudud dan Qishash,
diberlakukan untuk semua rakyat, apapun agamanya. Hukum Hudud adalah hukuman
fisik bagi pencuri, penzina, dan pemabuk. Jika tidak ditegakkan, pasti akan sangat
mengganggu ketertiban masyarakat. Juga hukum qishash seperti untuk pelaku
penganiayaan dan pembunuhan. Apabila seorang Yahudi membunuh orang Islam atau
sebaliknya, pelakunya wajib dibunuh lagi. Hukum qishash menjamin keselamatan dan
terjaminnya nyawa masyarakat, apapun agamanya. Dalam hukum qishash terdapat

kehidupan. Jika hukum ini tidak ditegakkan pasti negara tidak akan pernah aman.
Kesamaan di depan Hukum : Nabi menyatakan Jika anakku Fatimah mencuri, pasti
aku akan aku potong tangannya. Nabi sangat menyadari bahwa apabila sanksi hukum
hanya berlaku bagi orang-orang kecil tetapi tumpul bagi orang besar dan keluarga
penguasa pasti negara akan kacau. Jika di sebuah negara tidak ada kepastian hukum, maka

negara itu bukan negara Madani.


Ketahanan dan keamanan Negara dipikul bersama : Di dalam Piagam Madinah
ditegaskan bahwa apabila Madinah diserang muusuh, maka orang Yahudi dan Nashrani
bersama muslimin memiliki kewajiban yang sama untuk membela negara Madinah.
Sayangnya orang-orang Yahudi berulang kali melanggar kesepakatan ini sehingga nyaris
umat Islam hancur terutama dalam perang Khandak. Waktu itu umat Islam menghadapi
tentara sekutu (al-ahzab) yang jumlahnya amat banyak. Kaum Yahudi malah ikut menjadi
bagian yang akan menghancurkan Islam. Untung Allah membela umat Islam. Ini adalah
dosa Yahudi yang tidak terampuni sehingga mereka diusir dari negara Madinah. Salah

sendiri !.
Amar maruf nayi munkar : Di negara Madinah kewajiban menyuruh orang berbuat
baik dan melarang perbuatan munkar, bukan hanya menjadi kewajiban pemerintah tetapi
merupakan kewajiban semua warga Negara. Kebiasaan itu terjadi sampai hari ini. Dengan
cara ini orang yang berniat berbuat jahat banyak yang mengurungkan niatnya. Apabila
amar maruf nahyi munkar tidak jalan, dijamin kejahatan yang kecil pun akan berkembang
terus. Jika di Indonesia amar maruf nahyi munkar jalan dengan sebaik-baiknya, insya

Allah negeri kita akan aman dan nyaman.


Al-Tawazun (kesimbangan) : yakni terjadi keseimbangan dalam melayani dan
mengayomi, untuk kepentingan pribadi dan masyarakat, untuk orang besar dan kaum
dhuafa, untuk orang yang dekat penguasa atau orang yang jauh dari pusat kekuasaan,

untuk orang yang miskin atau kaya, juga untuk kaum pria atau wanita. Jika keseimbangan
maka terjadilah kehidupan yang puas, adil dalam kemakmuran, dan makmur dalam

keadilan.
Kejujuran : Dalam membangun masyarakat Madani, Nabi saw menanamkan kejujuran.
Kejujuran para pedagang dalam menimbang, kejujuran pedagang untuk tidak mengoplos
barang berkualitas rendah dengan yang baik, kejujuran para buruh dalam bekerja,
kejujuran para pengusaha dalam menghitung dan mengeluarkan zakat, pengakuan yang
jujur dari orang yang berbuat zina, dan lain-lain. Nabi benar-benar mendidik dan

mempersiapkan para politikus dan negarawan yang jujur.


Adalah /Keadilan : Nabi saw senantiasa menebarkan budaya keadilan kepada
masyarakat Madinah. Bagaimana Abu Bakar bersikap keras dan tegas kepada orang-orang
yang mengaku nabi dan enggan membayar zakat. Bagaimana perlakuaan Umar ibn
Khattab yang menangani kasus tanah antara seorang Yahudi di Mesir dengan Amr ibn
Ash sebagai gubernur Mesir. Bagaimana pula hakim memperlakukan terdakwa Yahudi
secara adil yang diduga mencuri baju besi milik Ali ibn Abi Thalib. Keadilan adalah

fondasi tegakkan negara.


Rahmah wa Taawun (Penuh kasih sayang dan gemar tolong menolong) : masyarakat
Madani adalah masyarakat yang tolong menolong yang sifatnya give and give. Sampai
hari ini, orang-orang Madinah sangat senang menolong orang yang susah. Apabila sikap
taawun tidak ditanamkan sejak dini dan secara serius, sangat mungkin akan lahir
masyarakat yang hobi memeras orang yang susah, tega menekan orang kecil, mempersulit

orang yang sedang mencari bantuan, dll.


Taushiyah : yakni menghidupkan kritik membangun. Nabi pernah dikritik soal
mengawinkan kurma sehingga nabi mengatakan antum alamu bi umuri dunyakum (kamu
lebih tahu terhadap urusan duniamu). Salman Al-Farisi penah mengkritik Umar. Dia
mengatakan : Aku menaati Umar selama dia benar, tapi kalau dia salah, maka pedangku
yang bicara. Jika ada orang merasa panas hati ketika dikritik, sangat mungkin itu karena
masih ada sifat sombong did ala hatinya.
Pertanyaan : Bisakah negara Indonesia diwujudkan menjadi Negara Madani ?

Jawabannya : Sangat bisa, asal kita berjuang keras untuk melakukan tarbiyah kepada
seluruh lapisan masyarakat, sehingga 10 karakteristik masyarakat Madani ini menjadi
karakteritik bangsa Indonesia.
Bayangkan jika perioritas pembangunan yang dilakukan Rasulullah adalah
pembangunan fisik material serta mengakhirkan pembangunan ruhiyah dengan pendekatan

budaya wahyu, pasti hasilnya bukan masyarakat Madani tetapi masyarakat yang
materealistik, liberalis, dan hedonis. Naudzu billahi min dzalik.
Blue print pembangunan yang dilakukan Nabi SAW adalah budaya wahyu, hasilnya
sangat luar biasa, dalam tempo 23 tahun, 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Medinah. Nabi
SAW berhasil mengubah bangsa Arab yang biadab menjadi bangsa Arab yang beradab, setara
dengan lima pelita. Di Madinah, pembinaan yang dilakukan oleh Nabi SAW hanya memakan
waktu 10 tahun atau setara dengan dua kali pilkada. Subhanallah.
Menurut Ahmad Sukardja, pada masa nabi Muhammad SAW di Medinah dengan
Piagam Medinahnya secara de facto dan de jure telah berbentuk Negara).4 Kalau Indonesia
ingin baik, menjadi masyarakat yang Madani, maka ubahlah paradigma berpikir para pejabat
dan masyarakatnya terutama para guru/dosennya, ubah pula konsep pembangunannya.
Mulailah dengan memprioritaskan pembangunan ruhiyah dengan pendekatan budaya wahyu,
baru terakhir pembangunan fisik materialnya. Insya Allah berhasil.
Berdasarkan realitas di atas, perjalanan kepemimpinan Rasulullah SAW dimulai
dengan IQRA (bacalah), melalui proses tarbiyah (pendidikan penuh yang melibatkan semua
dimensi kemanusiaan) dengan manajemen uswatun hasanah (memliki keteladanan yang
amat baik) melalui pendekatan budaya wahyu, dengan target yang jelas dan terukur yakni
rahmatan lil alamin (terwujudnya kawasan, wilayah, komunitas, negara) yang diselimuti
perasaan kasih sayang.

4. Kepemimpinan Dalam Pandangan Islam


Berdasarkan realitas sejarah Nabi di atas, tugas pimpinan sebagaimana kepemimpinan
Nabi saw adalah (a) membawa umat menghadap qiblat agar umat melaksanakan Alqur'an
secara utuh (QS. Al-Anbiya [30] : 30 dan QS. Al-Baqarah [ 2] : 142-144) (b) mewujudkan
umat yang kuat, kokoh dan unggul serta sanggup bersaing (QS. Albaqarah [2] : 13 dan QS.
As-Shaf [61] : 4). (c), memotivasi umat agar secara bersama-sama ataupun individual
melakukan amr ma'ruf nahyi munkar (QS. Ali Imran [3] : 104). (d), menebarkan perdamaian
di mana pun dia tinggal di seluruh alam semesta (QS Al-Anbiya [21] : 107). (e)
membebaskan umat dari perbudakan, kemiskinan dan kebodohan (QS. Al-Balad [90] : 1316). (f), berani menegakkan keadilan dan menentang kezaliman walaupun resikonya penjara
4 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945, Penerbit Universitas
Indonesia, Press, Jakarta, 1995 , halaman 97.

dan tiang gantungan (QS. An-Nisa [4 ]: 58 dan QS. An-Nahl [16] : 90). Pokoknya pimpinan,
baik politikus maupun negarawan, dari sisi spiritual harus jujur dan berani, dari sisi skill
harus memiliki keahlian mengatur negara.
Apabila tidak mau menunaikan tugas berat ini, jangan sekali-kali menjadi pemimpin
karena nanti akan menyesal. Jika seseorang menjadi pemimpin tetapi mengabaikan tugas ini,
malah sibuk dengan menumpuk harta untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya,
berarti ia telah berkhianat kepada rakyat, berkhianat kepada Rasulullah dan berkhianat
kepada Allah Rabbul Izzati. Kelak ia akan dimeja hijaukan di pengadilan akhirat, tak ada
yang bisa menolongnya, semua harta dan jerih payahnya tak ada manfaatnya, bahkan segala
hasil usahanya bisa berubah menjadi setrika membara untuk menggosok tubuhnya dalam
jangka waktu yang tak terukur. Naudzu billahi min dzalik.
Di dunia ini, orang yang memiliki harta atau jabatan hasil tidak halal, bisa saja ia tertawa
lebar dan mendapat sanjungan koleganya tetapi di akhirat kelak ia akan mendapat azab yang
amat berat. Hadits menyatakan bahwa Allah SWT tidak akan melihat sebelah mata kepada
tiga kelompok (1). Pemimpin yang tidak adil dan dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya
(2). Laki-laki dayuts yakni bersikap diam ketika anggota keluarganya berbuat maksiat (3).
Orang-orang yang miskin bodoh tetapi sombong. Jika anda menjadi pemimpin dalam level
mana saja, tetapi melakukan gharar atau kecurangan, maka balasannya di akhiat kelak adalah
azab yang sangat pedih.
Hadits Nabi saw menyatakan bahwa orang yang melakukan korupsi walaupun hanya
sebesar jarum, kelak ia akan memikul benda yang dikorupsinya keliling alam mahsyar.
Bayangkan jika ia mengorupsi sebidang tanah, atau sebuah gunung, atau hektaran hutan, ia
akan sangat tersiksa dan manangis pilu di alam mahsyar. Hadits lain riwayat imam Muslim
menerangkan, di akhirat nanti ada orang yang muflis, yakni orang yang bangkrut gara-gara
semua amalnya, baik salat, saum, zakat, haji, mengaji, mengajar, dll habis karena digunakan
untuk membayar utang-utangnya selama di dunia, baik utang janji, utang harta, utang hati,
utang darah, maupun utang nyawa. Bahkan apabila utangnya masih banyak tetapi amal
ibadahnya telah habis, maka dosa-dosa orang yang pernah disakitinya akan dipindahbukukan
kepadanya. Akibatnya, neraca akhir amalnya adalah saldo minus, hingga akhirnya ia masuk
neraka jahannam. Maukah kita bernasib muflis ? Pasti tidak sudi, oleh karena itu jadilah
pemimpin yang jujur. Pemimpin jujur pasti berkah, apabila ada masalah maka Allah akan
memberinya solusi.
Imam atau pimpinan, baik politikus maupun negarawan harus membimbing bawahan
atau rakyat untuk menaati hukum, baik hukum syariah, hukum alam, hukum akal, hukum

Ulul Amri (hukum pemerintahan seperti Perda), maupun hukum uruf (adat istiadat).
Pemimpin itu bisa mempengaruhi kualitas akhlak bawahannya. Coba perhatikan, jika
atasannya senang bermain golf maka anak buahnya pun ikut-ikutan bermain golf. Jika
atasannya senang memancing, maka anak buahnya pun beramai-ramai ikut memancing. Jika
atasannya mengaji di mesjid kantor dan bersikap keras kepada bawahannya untuk mengaji,
anak buahnya pun ikut mengaji, mungkin ikhlas mungkin pula terpaksa.
Ada hadits Nabi saw menyatakan bahwa jangan memberikan jabatan kepada mereka
yang memintanya. Itu betul dalam konteks komunitas sesama orang baik-baik, tetapi apabila
banyak orang-orang jahiliyah yang menginginkan jabatan itu, maka hadits ini harus ditafsir
ulang. Menurut ijtihad penulis, wajib bagi seorang mukmin yang saleh untuk
memperjuangkan dan merebut jabatan itu agar ia menjadi pemimpin sehingga rakyat
memiliki imam yang iman. Zalim hukumnya apabila membiarkan rakyat mendapat pimpinan
yang jahil padahal kita bisa meraihnya.
Apa kriteria syari orang yang boleh menjadi pimpinan ? tentu orang yang saleh.
Sebaliknya orang yang haram dipilih sebagai pimpinan adalah (1). Orang kafir (QS. Ali
Imran [3] : 28). Muslim yang lebih menyukai kekafiran daripada keimanan (QS. At-Taubah
[9] : 17). Muslim tetapi suka menjadikan agama sebagai ejekan (QS Al-Maidah [5] : 58).
Muslim yang diprediksi dapat menimbulkan kemadharatan bagi umat (QS. Ali Imran [3] :
118). Jika ada indikasi bahwa orang-orang rendah seperti ini yang akan terpilih menjadi
pemimpin, maka semua mukminin memiliki kewajiban perseorangan (fardhu ain) dan
kewajiban kolegial (fardhu kifayah) untuk bangkit, berusaha sekuat tenaga, memilih
pemimpin yang adil. Kalau berdiam diri, acuh tak acuh, skeptis, menyerahkan urusan kepada
zaman, pasrah kepada nasib, maka orang itu bukankah sebagai mukmin. Hadits nabi
menyatakan dengan tegas Bukanlah seorang mukmin apabila ia tidak peduli dengan urusan
umat Islam
Pemimpin yang baik harus memiliki integritas (sidiq, jujur, adil), kredibel (dapat
dipercaya), komunikatif dan transparan (tabligh) serta cerdas visioner (fathanah). Ia harus
memimpin sepenuh hati, membela kepentingan rakyat dan selalu menjunjung tinggi
kehormatan Negara.

5. Penegakan HAM, Hudud, dan Qishash


Masyarakat Madani adalah masyarakat yang dibimbing oleh wahyu, semua kegiatan
politik dipandu oleh ayat-ayat Allah. Jika politik terlepas dan dipisahkan dari wahyu, berarti

politiknya bercorak politik sekuler. Dalam masyarakat Madani, konsep Hak Asasi Manusia
(HAM), konsep hukum pidana dan perdatanya dipandu oleh wahyu. Di bawah ini akan
dijelaskan secara berturut-turut tentang penegakkan HAM, Hudud dan Qishash dalam
pandangan Allah SWT.

Penegakkan HAM
HAM atau hak azasi manusia (human right) dalam pandangan Barat bersifat
antroposentrik sedangkan HAM dalam pandangan Islam adalah teosentrik. Wajar kalau
terdapat perbedaan pandangan antara keduanya. Dalam pandangan Islam, HAM adalah hak
azasi yang dibawa oleh manusia sejak lahir yang melekat terus pada manusia dan tidak bisa
dilepaskan. Perhatikan ketika bayi lahir. Apabila bayi lahir dalam keadaan cacat berat,
bolehlah dibunuh ? Jawabannya adalah haram dibunuh tetapi harus dibiarkan dia hidup. Allah
mengharamkan membunuh manusia kecuali karena sebab yang adil. (QS. An-Naml [27] :
33). Inilah HAM pertama yakni hak hidup. Dalam pandangan Allah, membunuh satu orang
sama dengan membunuh sedunia, memberi kehidupan kepada seseorang sama dengan
memberi kehidupan kepada seluruh dunia (QS. Al-Maidah [5] : 32). Di dalam ajaran Islam,
orang yang mengaborsi bayi sebelum masuk ruh dihukum dengan jarimah tazier yakni
hukum penjara, tetapi jika aborsi dilakukan terhadap bayi yang sudah berruh (usia 4 bulan ke
atas), hukumannya adalah qisas (dibunuh lagi). Kalau begitu bayi memiliki hak hidup, hak
hidup adalah HAM yang pertama dan utama.
Selanjutnya, bayi menangis, ini disebut hak berbicara. Bayi berusaha mencari-cari
puting susu ibunya, ini disebut hak berusaha. Bayi menyedot ASI, ini berarti hak makan
dan minum. Nanti bayi buang air, ini juga HAM. Bayi pun diselimuti dan dan mongmong,
ini hak perlindungan. Setelah bayi atau anak berusia 2 tahun ke atas anak secara naluri
akan mencari teman untuk berkumpul, ini namanya hak berserikat. Bahkan sejak lahir bayi
sudah memiliki fitrah bertuhan atau disebut hak beragama. Jadi HAM pada manusia adalah
(1) hak hidup (2) hak bicara (3) hak berusaha (4) hak makan dan minum (5) hak buang air
(6) hak berserikat (7) hak mendapat perlindungan dan (8) hak beragama. Hak-hak dasar ini
kemudian diatur dan diarahkan agar tidak melanggar hak individu lain dan hak Allah sebagai
Tuhan yang Maha Pengatur. Mengapa manusia harus menerima aturan Allah, sebab Allah
telah membeli jiwa raga mukmin dengan surga.
Allah itu Maha Rahman dan Rahim, Dia memberi hak lebih dahulu kepada manusia
sebelum memberi taklief atau beban kewajiban. Setelah balig, barulah manusia dikenai

taklief. Ketika hak-haknya berkurang, maka takliefnya pun berkurang, misalnya ketika sakit
dia boleh tidak berpuasa tetapi diqada di hari lain, ketika usahanya rugi dan banyak utang, ia
tidak diwajibkan mengeluarkan zakat karena ada al-mani (penghalang), ketika miskin ia
tidak diwajibkan menunaikan ibadah haji, dll. Pokoknya Allah Maha Adil.
Kewajiban manusia selama hidup di dunia ini dikelompokkan menjadi tiga, yakni
hablum minallah, hablum minannas dan hablum minal alam. Kewajiban manusia kepada
Allah antara lain wajib mentawhidkan Allah dan haram berbuat syirik. Ini kewajiban terbesar
dan paling utama. Siapapun yang menduakan Allah, betapapun banyak amal kebajikannya,
semua amalnya dianggap hancur tidak bermakna, sia-sia. Jika dosa syirik ini tidak diampuni
oleh Allah sebelum kematiannya, ia pasti menjadi penghuni neraka, selama-lamanya.
Sesungguhnya orang-orang kafir, dari golongan ahki kitab dan musyrik, di neraka
jahannam, langgeng di dalamnya. (QS. Al-bayyinah [98 ]: 6-7). Kewajiban manusia kepada
Allah SWT adalah beribadah dengan ikhlas, baik ibadah mahdhah maupun ibadah ghair
mahdhah. Termasuk kepada ibadah ghair mahdhah adalah kewajiban melaksanakan hukum
hudud dan qisas kepada para pelaku kriminal tertentu. Jika tidak dilaksanakan berarti
manusia tidak menunaikan kewajibannya kepada Allah.
Kewajiban kepada sesama muslim adalah menjadikan muslim yang lain sebagai
saudara, bagaikan satu tubuh. Di dalamnya ada enam kewajiban yang paling mendasar yakni
(1). Jika bertemu mengucapkan salam (2). Jika bersin didoakan (3). Jika minta nasihat
dinasihati (4). Jika diundang harus di jawab (tidak semua undangan wajib dipenuhi yang
penting undangannya dijawab. (5). Jika sakit dijenguk (6). Jika meninggal dunia di urus
jenazahnya. Apabila enam kewajiban dasar ini dilaksanakan, insya Allah akan terjadi
hubungan ukhuwah dan silaturahmi yang kokoh, bukan hanya di permukaan.
Kewajiban muslim kepada nonmuslim adalah tasammuh, itulah esensinya. Tasammuh
adalah bersikap toleransi kepada pemeluk agama apapun. Cara tasammuh yang benar adalah
(1). Meyakini bahwa hanya Islam yang benar sedangkan agama lain salah. Berkeyakinan
bahwa semua agama itu setara adalah penentangan yang nyata terhadap Alquran, itu kufur.
Akan tetapi, sejalan dengan keyakinan itu kita selalu sangat menghormati pemeluk agama
lain (2). Tidak menghina tuhan dan cara ibadahnya penganut agama lain (3). Tidak
menggangunya tetapi selalu hidup berdampingan dengan baik (4). Tidak mencampurkan cara
ibadah. (5). Tidak menikah dengan nonmuslim kecuali menikah dengan perempuan ahli kitab,
yakni Yahudi dan Nashrani yang mengingkari risalah nabi Muhammad saw tetapi tidak
menduakan Allah. Kini jumlahnya di dunia masih ada kira-kira 12 juta orang lagi, salah
satunya bernama Suha yang dinikahi oleh Yaser Arafat. Pendek kata bekerjasama dalam

kehidupan sosial kemasyarakatan tetapi masing-masing dalam ritual. Jika hal-hal di atas
dilanggar berarti tasammuh yang keliru.
Kewajiban manusia kepada alam sekitar adalah berbuat ihsan atau berbuat yang
terbaik kepada air, udara, tanah, binatang, tumbuhan, gunung, hutan, energi, dll. Semuanya
diberdayakan untuk kesejahteraan manusia seluruhnya.
Secara garis besar, prinsip-prinsip penetapan HAM dalam Islam :

Al-Musawwah (persamaan) di depan hukum atau equality before the law. Nabi
bersabda : "Seandainya Fatimah putriku mencuri, akan kupotong tangannya" (Hadits).

Al-'Adalah (keadilan), yakni keadilan di depan hukum Allah menegaskan :"Wahai


orang-orang yang beriman hendaklah kamu menegakkan kebenaran karena Allah,
menjadi saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu
golongan membuat kamu berbuat tidak adil". (QS. Al-Maidah [5] : 8).

Tasammuh (toleransi). Tolerance is liberty to ward the opinions of athers, patience


with others (Webster's New American Dictionary, p. 1050). Toleransi adalah memberi
kebebasan pendapat terhadap orang lain dan berlaku sabar menghadapi orang lain. Di
dalam surat al-Kafirun ayat 1 6 dijelaskan bahwa kita harus toleran dalam beragama.
Kita meyakini kebenaran agama kita sendiri tetapi tetap menghormati orang lain.

Al-Marhamah (penuh kasih sayang). Hukum yang dikenakan bukan karena dendam
atau kebencian tapi karena semata-mata perasaan sayang, harapannya adalah hukum itu
bisa menjadi kifarat dosa bagi pelaku. Jika seseorang dijatuhi hukum mati sebagai qisas
karena membunuh dengan sengaja, maka hukum qisas ini dapat menghapuskan dosanya
sehingga akhirnya ia menjadi ahli surga.

At-Tawazun (pola Keseimbangan). Kita wajib memberikan perlindungan secara


seimbang antara pelayanan individu dan sosial, dan antara kepentingan sekarang dan
masa yang akan datang.

At-Ta'awun dan At-Takaful . HAM dilaksanakan dalam kerangka taawun yakni


tolong menolong, give and give atau takaful yakni give and take.

Al-Haq (benar). HAM dilaksanakan berdasarkan aturan Allah bukan persepsi orang
perorang.

Penegakan Hudud

Hudud adalah bentuk jamak dari kata hadd (batas atau dinding). Hudud berarti dinding
yang berfungsi mencegah terjadinya perbuatan kriminal dengan menjatuhkan hukum yang
berat bagi palakunya. Fungsi hukum hudud adalah sebagai upaya perventif dan repressif
Islam atas berbagai tindak kriminal. Tidak semua tindak kriminal tetrkenan hudud, tindak
kriminal yang terkena hudud adalah tindak kriminal yang amat berat bahayanya bagi
ketertiban masyarakat yakni (1). Zina dan sejenisnya (2). Qadzfu zina atau menuduh zina (4).
Mencuri (4). Hirabah (5). Mabuk.
Penjelasannya sbb :
a). Zina : Bagi pelaku zina berstatus jejaka atau perawan, hukumannya adalah didera 100
kali. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap orang dari
keduanya seratus kali dera. Dan janganlah belas kasihan kamu kepada keduanya mencegah
kamu menjalankan agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhitrat.
Dan hendaklah pelaksanaan hukuman atas mereka itu disaksikan oleh sejumlah orang
mukmin (QS. An-Nur [24] : 2.
Ayat ini berisi : (1). Pelaku zina berstatus perjaka atau perawan wajib (bukan sunnat)
dihukum dera, masing-masing 100 kali. (2). Jika umat Islam tidak melaksanakan hukum dera
bagi pelaku zina, dianggap orang tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir (3). Tidak boleh
merasa kasihan kepada pelaku zina sehingga menghalangi vonis dera. (4). Hukuman harus
disaksikan oleh sebanyak-banyaknya mukmin. Mengapa hukjumannya amat keras dan harus
disaksikan ? Tujuannya adalah agar menjadi pencegahan zina yang efektif sehingga orangorang yang sudah memiliki niat berzina, mau mengurungkan niatnya.
Adapun hukuman bagi pelaku zina muhsan atau orang yang berstatus duda, janda,
bersuami, beristeri (orang yang pernah menikah) hukumannya adalah dikurung di dalam
rumah sampai menemui ajalnya (QS. An-Nisa [4] : 15). Menurut hadits dari Abu Hurairah
dan hadits dari Ibnu Abbas riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud Nasai, juga hadits yang
diterima oleh Abu Amamah bin Sahl riwayat Ahmad dan Thabrani, hukuman zina bagi orang
yang pernah menikah (muhsan) adalah dirajam sampai mati.
Zina adalah dosa yang paling keji, jika pelaku zina tidak dikenai hukum hudud, maka
perzinahan akan merajalela di mana-mana dan akan merusak sendi-sendi kehidupan
masyarakat secara masif. Untuk menetapkan seseorang berbuat zina mesti ada empat orang
saksi yang benar-benar melihatnya. Ini hampir mustahil terjadi di kalangan masyarakat, oleh
karena itu hudud bagi pelaku zina lebih bersifat preventif.
Selain itu hukuman zina tidak berlaku bagi pelaku zina yang keliru misalnya
menyangka isterinya padahal bukan, lupa sehingga tak tahu lagi mana isterinya dan mana

yang bukan isterinya (mungkin ganggung saraf), serta yang melakukannya karena dipaksa
seperti di masa perang atau diperkosa.
b). Penuduh Zina : Bagi orang yang menuduh berbuat zina tanpa mampu mengajukan
empat orang saksi, ia dikenai hukuman dera sebanyak 80 kali. (QS. An-Nur [24] : 4-5. Bagi
suami yang menuduh isterinya berbuat zina juga harus mengajukan empat saksi, jika tidak
mampu maka suami harus mengucapkan sumpah lian sebanyak lima kali di depan hakim.
c). Pencuri : bagi pencuri (bukan karena kelaparan) dan dalam jumlah tertentu dikenai
hukuman potong tangan (QS. Al-Maidah [5] : 38). Batas mana tangan yang harus dipotong
tergantung kepada jumlah barang yang dicuri. Penetapan batasannya ditentukan oleh vonis
hakim. Hadits dari Abu Hurairah riwayat Imam Baihaki yang disahkan oleh Ibnu Hibban
menjelaskan bahwa Rasulullah memerintahkan kepada para sahabatnya untuk memotong
tangan pencuri. Apabila pencuri mengulang-ulangi perbuatannya, maka potonglah kaki
kirinya, bila mencuri lagi potonglah tangan kirinya, bila masih mencuri lagi potonglah tangan
kanannya. Namun perlu diingat bahwa hukum potong tangan pencuri dilakukan setelah infaq
dan zakat berjalan baik sehingga orang-orang miskin memperoleh bagian dari harta orang
kaya sebagai bekal hidupnya.
d). Meminum arak dan sejenisnya :Allah mengharamkan arak (QS. Al-Maidah [5] : 9091). Benda apapun yang sifatnya muskir (memabukkan) seperti ganja dan narkoba termasuk
khamr. Hadits yang diterima oleh Ibnu Umar riwayat Ahmad dan Abu Dawud menegaskan
kullu muskirin khamrun (setiap barang yang memabukan adalah khamr). Hadits riwayat
Imam Muslim dari Ibn Umar dari Aisyah :Setiap yang memabukkan adalah khamar dan
setiap khamar adalah haram.
Peminum arak dikenai hukuman dera sebanyak 40 sampai 80 kali. Di dalam hadits yang
diterima oleh Ali bin Abi Thalib riwayat Imam Muslim, bahwa Nabi saw dan Abu Bakar
menghukum peminum arak sebanyak 40 kali dera, sedangkan umar 80 kali dera. Mengapa
umar mengenakan 40 kali dera, mungkin peminumnya sudah kawakan sehingga hukumannya
ditambah menjadi 80 kali dera.
Mengapa peminjum arak dihukum keras, karena arak adalah induk segala tindakan
kriminal, tidak boleh disepelekan. Membiarkan para peminum arak adalah tindakan fasik.
Meminum arak itu ada manfaatnya tetapi banyak bahayanya, antara lain dapat
menghilangkan akal dan arak menjadi induk penyebab segala tindak kriminal sehingga
pemabuk sangat mungkin menyetubuhi ibunya sendiri. Di dalam sebuah hadits Nabiyullah
menegaskan bahwa Allah melaknat sepuluh oriang yang terlibat dalam aktivitas arak, yakni
(1). produsen, (2). distrributor, (3). peminumnya, (4). pembawanya, (5). pengirimnya, (6).

penuangnya, (7). penjualnya, (8). pemakan uang hasil nya, (9). Pembayarnya dan (10).
pemesannya (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi). Hadits lain menyatakan bahwa :Jika Allah
mengharamkan sesuatu maka haram pula uangnya. (HR. Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu
Abbas). Uang hasil penjulan barang atau jasa yang hukumnya haram, kemudian dipakai
untuk beramal saleh, tidak akan diterima oleh Allah. Hadits yang diterima oleh Abu Hurairah
menerangkan bahwa Nabi saw bersabda : Sesungguhnya Allah itu baik, dan tidak akan
menerima kecuali yang baik.
e). Hirabah : ialah melakukan kerusuhan masal sehingga terjadi pembunuhan, pencurian
bahkan mungkin pemerkosaan, maka pelakunya dihukum secara bertahap. Kelas tertinggi
atau dalang kerusuhan dihukum salib (2). Pelaku kelas dua dihukum potong silang, tangan
kanan dan kaki kirinya. (3). Pelaku kelas tiga dipotong tangan kanannya (4). Pelaku kelas
rendah dibuang ke pulau terpencil selama satu tahun. Lihat QS. Al-Maidah [5] : 33).
f). Riddah (Murtad) : Secara bahasa, riddah adalah kembali ke jalan asal. Dalam istilah
syari, riddah seorang muslim keluar dari Islam lalu kembali kepada agamanya semula.
Pelaku riddah disebut murtad. Orang yang keluar dari Islam diberi tempo selama tiga hari
untuk berpikir kembali ke pangkuan Islam. Apabila setelah tiga hari tidak kembali lagi, maka
hukumannya adalah hukum mati. Nabi bersabda :Barang siapa mengganti agama (Islam)
maka bunuhlah dia. (HR. Bukhari Muslim).

Penegakan Qishash
Qishash adalah hukuman bagi pelaku tindak kriminal kemanusiaan yang dibalas
sesusai dengan perbuatannya; melukai dilukai lagi, mata dibalas mata, hidung dibalas
hidung, gigi dibalas gigi dan nyawa dibalas nyawa. Allah memerintahkan :Wahai orangorang yang beriman diwajibkan atas kamu hukum qishash berkenaan dengan orang yang
dibunuh ... di dalam qishash ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu. (QS.al-Baqarah [2]
: 178.
Ayat ini menjelaskan bahwa hukum qishash itu wajib dan tidak boleh diganti dengan
hukum yang lain. Di dalam hukum qishash mengandung jaminan kehidupan, maksudnya
apabila qishash dilaksanakan maka nyawa akan sangat berharga, sebaliknya apabila hukum
qishash tidak dilanksanakan maka harga akan menjadi sangat murah.
Allah juga berfirman : Kami telah menetapkan kepada mereka di dalam (Taurat)
bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka pun ada pembalasannya. (QS. Al-Maidah [5] :

45). Jadi pembunuh harus dibunuh lagi bukan dipenjara. Akan tetapi terdapat tiga macam
pembunuhan, yakni amdun, ghair amdi dan syibhul amdi. Penjelasannya sbb :
a). Amdun : yakni pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja. Pelakunya wajib
dibunuh lagi (diqishash) kecuali dimaafkan oleh walinya. (HR. Abu Dawud, Nasai, Ibnu
Majah dan Tirmidzi). Pembunuhan yang direncanakan bisa menggunakan benda tajam,
menjatuhkan dari tempat tinggi, meracuni, atau sengaja membuat kesaksian palsu yang
mengakibatkan si tertuduh dihukum mati,
Dan barang siapa dibunuh secara aniaya, maka sesungguhnya Kami memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya , tetapi jangankah ahli waris itu melampaui batas dalam
membunuh. Sesungguhnya ia adalah yang mendapat pertolongan (QS. Al-Isra [17]: 33).
Menurut ayat ini pihak Wali korban diberi hak untuk mengeksekusi korban dengan tidak
berlebihan. Dalam hal ini pemerintah hanya memfasilitasi. Pemerintah menangkap pelaku
dan mengadilinya, adapunh eksekusinya dilakukan oleh wali korban sendiri.
b). Ghair Amdi : yakni pembunuhan tak sengaja. Dia tidak dikenai qishah (Hadits dari
Abu Hurairah riwayat Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, dan Tirmidzi). Pelaku pembunuhan
tidak sengaja seperti sopir yang menabrak orang di jalanan, ia tidak dibunuh lagi tetapi
dikenai diyat atau denda untuk ganti rugi bagi keluarga korban (HR. Daruquthni dari Ibnu
Abbas). Di dalam QS. An-Nisa [4] : 92, pembunuhan tak sengaja pelakunya dikenai diyat dan
memerdekakan hamba sahaya, kecuali kalau wali korban memaafkannya.
c).Syibhul Amdi : yakni pembunuhan seperti disengaja. Pembunuhan ini terjadi antara
sengaja dan tidak sengaja, misalnya seorang guru memukul murid dengan penggaris yang
mengakibatkan kematian murid. Guru pun kaget karena tidak menyangka pukulannya
mengakibatkan kematian. Dalam kasus ini, pelakunya tidak diqishash tetapi dikenai diyat
atau denda. (HR. Daruquthni dari Ibnu Abbas).

Etika eksekusi Hudud dan qishash


Apabila seseorang diduga telah melakukan tindak kriminal, baik zina maupun
mencuri, harus tetap dirahasiakan sampai nanti divonis hakim (Hadits dari Said bin
Musayyab). Pelaksanaannya hukum hudud harus disaksikan tetapi wajah pelakunya
sebisa mungkin dirahasiakan.

Hukuman Hudud dan Qishash mengakibatkan kifarat dosa sehinga di akhirat kelak

dosanya sudah bersih (Hadits dari Ubadah bin Shamit riwayat Bukhari dan Muslim.).
Jangan melakukan hudud dan qisah di dalam mesjid (Hadits diterima oleh Hakim bin

Hizam riwayat Abu Dawud).


Dasar penetapan vonis berasal dari pengetahuan hakim sendiri, dari pengakuan
pelakunya, dan dari pengetahuan para saksi.

6. Wanita dalam Etika Berpolitik


Islam sangat menghargai kaum wanita, jauh lebih santun dari agama dan bangsa manapun
di dunia ini.

Dari sisi tubuh : wanita adalah makhluk Allah yang sangat indah, setiap jengkal tubuhnya
dapat menarik hati, menebar aura yang luar biasa. Setiap sisi tubuh wanita memiliki harga
mahal dan sangat dihormati, oleh karena itu Allah mensyariatkan agar tubuh wanita
ditutup seluruhnya, kecuali wajah dan telapan tangan. Kepala dan rambut wanita adalah
mahligai kecantikan sehingga harus ditutup pula, dari kepala dan terurai sampai ke
dadanya. Beda dengan laki-laki, tubuhnya tidak seperti wanita, sehingga yang wajib
ditutup hanya seputar pusar dan lututnya saja, bahkan pendapat lain menyatakan hanya
sekitar kemaluannya. Perspepsi yang salah jika Islam dianggap tidak menghargai wanita,
dari sisi mana ?

Dari sisi amal : wanita memiliki kesempatan beriman dan beramal yang sama
dengankaum pria (QS. Al-Ahzab [33] : 35 dan An-Nisa [4] : 19). Jika dia sedang haidl
atau nifas sehingga tidak bisa salat dan puasa, wanita mendapatkan pahala dari haidl dan
nifasnya, lebih dari itu wanita bisa melakukan amal yang lain. Jika dia melahirkan anak
dan wafat karena persalinan, ia dinilai mati syahid.

Dari sisi harta : Wanita tidak dilarang mencari nafkah, tetapi jika sudah mempunyai
suami, harus meminta izinnya. Wanita memiliki hak mendapatkan warisan, dan memiliki
kesempatan yang sama untuk mencari dan membelanjakan hartanya QS. An-Nusa [4] : 4
dan 32)

Hak menentukan jodoh dan hak cerai : wanita bukan sebagai pihak yang pasif dalam
perjodohan, ia bisa dilamar tetapi ia pun bisa melamar laki-laki, wanita tak hanya dipilih
tetapi berhak menentukan pilihan sendiri lepas dari intervensi orangtuanya. Ada sebuah
kasus, seorang wanita dinikahkan oleh ayahnya kepada seorang pria yang tidak

dicintainya. Setelah akad selesai, perempuan itu berlari sambil menangis mengadukan
nasibnya kepada Rasulullah saw. Ia berkata : Ankahani abi maa rajulin wa ana
karihatun (aku telah dinikahkan oleh ayahku dengan seorang pria yang aku tidak suka).
Rasul menyatakan la nikaha lak, idzhabi fankihi ma syiti (Tidak sah pernikahanmu,
sekarang kau boleh pergi dan boleh menikah dengan pria yang kau sukai). Sealin itu,
perempuan pun memiliki hak gugat cerai yang disebut khulu.
Ajaran Islam memberikan perlakuan istimewa kepada wanita yakni wanita dinggap
tiang Negara, dijaga kemanaannya bukan terbalik menjaga keamanan pria, wanita dinilai
memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap anak daripada ayah, surga di bawah telapak
kaki ibu, keharusan mengistimewakan pelayanan kepada ibu daripada kepada ayah, dalam
memenuhi kebutuhan anak, dianjurkan untuk mendahulukan anak perempuan daripada anak
laki-laki, dan apabila wanita wafat gara-gara melahirkan dianggap sebagai mati syahid.
Bagaimana dengan hak Wanita dalam berpolitik ?. Tidak ada satu ayat Alquran pun
atau satu hadits shahih pun yang melarang wanita berpolitik, misalnya berkampanye, menjadi
anggota legislatif atau menjadi menteri. Silahkan selama tidak mengganggu tugas pokok
sebagai isteri yang harus mengurus suami dan anak-anak.
Bolehkah wanita menjadi presiden ?
Pada waktu dahulu ada pergantian kepala negara di Yaman, ternyata yang naik adalah
seorang wanita. Lantas nabi bersabda : Lan yaflaha ummatun wallau amarahum imra-atan
(sampai kapanpun tidak akan bahagia, menyerahkan urusan umat / negara kepada seorang
wanita). Sebahagian ulama menyatakan bahwa hadits itu kondisional, kasuistis karena
mungkin wanita yang menjadi kepala negara di Yaman itu tidak memiliki kredibilitas.
Sebahagian ulama lainnya menyatakan bahwa wanita boleh menjadi pimpinan di kalangan
masyarakat tetapi tidak boleh menjadi pimpinan negara (presiden). Apalagi pada hadits
tersebut menmggunakan kata lan bukan la yang artinya sampai kapan pun. Jadi larangannya
bukan sementara, kasuistis, situasional melainkan bersifat permanen. Silahkan diskusikan
dengan baik !
Ada hal yang sangat berat bagi presiden wanita yakni ketika tugas-tugas kepresidenan
bentrok dengan waktu yang diminta suaminya. Mana yang didahulukan ? Bagaimana jika
suami mengatakan tidak, apakah isteri harus tunduk kepada kepentingan pribadi suami atau
tugas kenegaraan ? Bagaimana presiden wanita harus melaksanakan tugas ketika dia hamil
selama 9 bulan dan ketika melahirkan. Apa harus cuti ?
Menurut hemat penulis Rasulullah saw sangat cerdas, futuristik dan memberikan
ajaran yang sangat menyayangi wanita, yakni untuk menjadi presiden pelindung rakyat

adalah pria bukan wanita. Ini bukan soal pemilahan gender, tetapi lihatlah fakta sejarah, tidak
ada seorang nabi pun yang diangkat oleh Allah dari kalangan wanita. Juga bukan soal mampu
dan tidak mampu, tetapi wanita adalah makhluk yang harus dilindungi oleh pria bukan malah
sebaliknya wanita yang melindungi wanita. Ini bukan soal bisa dan tidak bisa secara politik,
tetapi halal dan haram secara syariah.

7. Diskursus tentang Hubungan Agama dengan


Negara
Kajian tentang hubungan Islam dan negara telah banyak diperdebatkan oleh para
pemikir muslim, baik di zaman

Klasik,

zaman Pertengahan, maupun pemikir-pemikir

Modern dan post Modernisme. Pendapat mereka dapat diklasifikasikan menjadi tiga aliran
pokok, yakni :5
Kelompok Pertama, ialah kelompok yang berpendapat bahwa hubungan antara Islam
dan negara sangat lekat bahkan Islam mengatur persoalan negara secara eksplisit dan detail.
Dengan demikian mendirikan sebuah negara Islam adalah wajib, konstruk negara harus
negara Islam. Ajaran Islam harus menjadi dasar konstitusi. Mereka menolak gagasan negara
kebangsaan (nation state) karena dinilai bertentangan dengan prinsip ummah. Mereka
mengakui prinsip musyawarah tetapi menolak musyawarah sistem demokrasi. Tokoh yang
berpendapat demikian antara lain Al-Mawardi, Sayyid Quthub, Ibn Taimiyah, dan AlMaududi.
Al-Mawardi misalnya, menyatakan bahwa dasar tentang kewajiban adanya Imamah
adalah Al-Qur'an surat 4 : 59 :


"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul (Nya), dan Ulil Amri di
antara kamu"
Pada ayat di atas Allah swt mewajibkan muslimin menaati Ulu al-Amri, maksudnya adalah

imam (khalifah). Ibn Taimiyah (wafat 728 H/1328M), menyatakan bahwa dalam sebuah komunitas,
wajib mutlak adanya pemimpin. Alasannya, selain QS.4 : 59, ia pun menggunakan landasan hadis :

( )
Jika tiga orang berangkat bepergian, hendaklah salah satu dari mereka menjadi pemimpin
Dengan hadis ini lantas Ibn Taimiyah berfatwa, bahwa :Enam puluh tahun hidup bersama imam
yang tidak adil, lebih baik daripada hidup semalam tanpa seorang sultan 6
Tokoh lainnya adalah Al-Maududi. Ia menyatakan wajib adanya khalifah dan wajib
menjadikan Islam sebagai konstitusi negara, sebab tidak ada hukum yang lebih baik daripada hukum

5 Lihat : Asep Zaenal Ausop, Ajaran dan Gerakan NII, bab Konsep Negara.

Allah.7 Selanjutnya ia menyatakan bahwa, konsep kekuasaan di dalam Islam didasarkan kepada
prinsip bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta alam, Allah sebagai Pemilik tunggal, dan karena itu
maka Allah-lah Penguasa tunggal yang mengurusi alam ini. Dengan demikian, maka kekuasaan
apapun di atas dunia ini pada hakikatnya adalah milik Allah. Kalau manusia berkuasa itu artinya ia
hanyalah pihak yang dikuasakan oleh Allah untuk menjalankan kedaulatan Allah. Dalam pandangan
Maududi, kedaulatan adalah di tangan Tuhan bukan di tangan rakyat. 8
Senada dengan itu, Sayyid Quthub dengan tegas menyatakan perlunya ada Imam (khalifah),
dan ia menyatakan bahwa menjadikan Islam sebagai konstitusi negara adalah sebuah keniscayaan
yang tak dapat ditawar-tawar lagi.
Di dalam tafsir Fi Dzill al-Qurn, Quthub menjelaskan bahwa manusia hanya mempunyai
dua pilihan dalam menerapkan hukum, yakni antara iman atau kufur, Islam atau Jahiliyyah, mengikuti
hukum Allah atau mengikuti hawa nafsu. Kalau mengaku beriman kepada Allah, mau tidak mau harus
berhukum kepada hukum Allah. Menurut Sayyid Quthub, hanya Allah-lah yang mengetahui mana
yang sebenarnya maslahat bagi manusia dan mana yang tidak.
Menurut Hakim Javid Iqbal, wajibnya mendirikan negara didasarkan kepada beberapa
prinsip antara lain sebagaimana ditegaskan di dalam QS. 5 : 59, bahwa seluruh kekuasaan di alam
semesta pada hakikatnya berada pada kekuasaan Allah karena Dia-lah yang telah menciptakannya.
Karena Allah sebagai penguasa maka hanya Allahlah yang harus ditaati.

Seseorang dikatakan

menaati Allah apabila ia menaati segenap aturan yang telah dibuatNya sebagai-mana tertuang di
dalam Al-Quran yang kemudian dijelaskan oleh hadis nabi. Jadi kewajiban manusia adalah menaati
aturan tersebut bukan membuat aturan baru.
Selain menaati Allah dan Rasul-Nya, setiap muslim wajib menaati Ulu al-Amr dengan syarat
kalau mereka menaati Allah. Apabila

Ulu al-Amr itu tidak menaati Allah lagi maka tidak ada

kewajiban bagi umat untuk menaatinya. Cara hidup demikian hanya bisa dilaksanakan dalam suatu
masyarakat yang bebas secara politik dan ekonomi. Karena itu masyarakat muslim wajib hukumnya

6 Ibn Taymiyah, 1966, Al-Siysah asy-Syariah, (Beirut : Dar al-Kitab al-Arabiyah), hal., 172. Hadis di atas
terdapat dalam kitab Sunan Abi Daud, hadis nomor 2241. Sanadnya berasal dari Ali Ibn Bahr ibn Bara', dari
Hatim Ibn Ismail, dari Muhammad Ibn Azlan, dari Nafi' ibn Abi Salamah, dari Abi Sa'id Al-Khury.

7 Sayyid Quthub, Tafsir Fi Dhilal al-Qurn, (Beirut : Dr al-Syurq, 1980), Jilid 2, hal.
888.
8 Al-Maududi, lahir di Asurangbad, India selatan, tanggal 25 September 1903 Masehi. Tahun 1941 ia bersama
temanya mendirikan organisasi gerakan Jamaat Islami dan dia sendiri sebagai pemimpinnya. Setelah Pakistan
merdeka tanggal 15 Agustus 1947, Maududi dengan jemaat Islamnya memperjuangkan agar syariat islam
menjadi konstitusi Pakistan. Ia menyelenggarakan konferensi Akbar untuk merumuskan konsep Negara Islam.
Ia mendesak Pakistan agar UUD Pakisan menyebutkan bahwa Kedaulatan Pakistan di tangan Tuhan, Syariat
Islam sebagai hukum dasar Pakistan, membatalkan UU yang bertentangan dengan syariat Islam dan pemerintah
Pakistan harus menjalankan kekuasaannya sesuai dengan batas-batas yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.
(Munawir Syadzali, p. 164). Maududi wafat tanggal 22 September 1978 di Buffalo New York dan dimakamkan
di Ichkrah Lahore.

berjuang mendirikan negara Islam di manapun jika memungkinkan. 9 Pendapat serupa disampaikan
pula oleh Wahbah Zuhaily sebagaimana dijelaskan dalam bukunya, tafsir al-Munr. 10
Melihat betapa pentingnya kedudukan dan fungsi imam, Rambi Ka'bi Ahmad menegaskan
bahwa, adanya seorang Imam untuk segenap kaum muslimin adalah wajib, wajar kalau Umar Ibn
Khattab menegaskan : L Islma ill bil jamah wal jamah ill bi al-immah.11 Dalam pandangan
Ka'bi Ahmad, kewajiban terbesar dari Islam adalah keharusan adanya jamaah Islam.

12

Namun saat

ini justeru umat Islam tidak mempunyai imam, karena tidak ada kesepakatan siapa sebenarnya yang
layak menjadi imam. Dalam hal ini Asy-Syahrastani menyatakan bahwa perselisihan umat Islam
terbesar adalah karena persoalan Immah.13
Banyak lagi ulama-ulama lain yang mengharuskan adanya khalifah (imam) yang memimpin
negara. Tetapi secara umum hujjah yang mereka gunakan tentang kewajiban mendirikan negara Islam
adalah :(1). Al-Qur'an surat 4 : 59 tentang kewajiban adanya Ulu al-amr. "Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul (Nya), dan Ulil Amri di antara kamu" (2). Hadis; ada hadis
riwayat Abu Daud dari Abu Said dan Abu Hurairah tentang kewajiban mengangkat pimpinan
walaupun dalam kelompok kecil.

14

Juga hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tentang

kewajiban berbaiat kepada pimpinan :


"Barang siapa yang mati di lehernya tidak ada baiat, maka dia mati dengan kematian Jahiliyyah".15
Ijtihad (Qiyas) bahwa kalau di dalam kelompok kecil saja wajib mengangkat pimpinan apalagi di
dalam sebuah kelompok besar atau negara. Ini dikenal dengan mafhm muwfaqah lahnal khithab16
(4). Qaidah Fiqhiyyah yang menyatakan ml yatimmu wjib ill bih fahuwa wjib (apabila tidak

9 Mumtaz Ahmad (Ed.), Masalah-masalah Teori Politik Islam, (Bandung : Mizan, 1996) ,
hal. 58.
10 Wahbah Zuhaily, Tafsr al-Munr f al-Aqdah wa al-Syarah wa al-Manhj, Juz VI,
halaman 204. Di dalam tafsir tersebut dijelaskan bahwa orang yang tidak berhukum kepada
hukum Allah adalah kafir, zalim dan fasiq. Disebut kafir karena mengingkari hukum Allah,
disebut zalim karena menyalahi hukum Allah, dan disebut fasiq karena keluar dari iman dan
dari ketaatan kepada Allah.
11 Rambi Kabi Ahmad {iddiq Abdurrahman, Baiat , hal. 30.
12 Rambi Kabi Ahmad, Baiat, hal. 30.
13Al-Syahrastani, Al-Mill wa an-Nihl , I , hal. 24
14 Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sultaniyyah fi Wilyah ad-Dniyah, (terjemahan Fadhli Bahri),
Dr al-Falah, Maret, hal. 5.
15 Shahih Muslim, Hadits no, 441. Sanadnya berasal dari Ubaidillah, dari Muadz ibn
Muhammad, dari Ashim, dari Zayd ibn Muhammad, dari Nafi, dari Abdullah. Hadits
Marfu sshahih.

sempurna suatu kewajiban kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib adanya). 17
Dengan demikian, apabila hukum Islam hanya bisa tegak dengan adanya negara Islam maka
mendirikan negara Islam adalah sebuah kewajiban. Oleh karena itulah Abdul Karim Zaidan
berpendapat bahwa orang Islam wajib menegakkan daulah Islmiyyah untuk melaksanakan hukumhukum syariah.18
(5). Dalil Logika. Menurut Ibn Taimiyah, secara logika, kewajiban muslim adalah amr
marf nahyu munkar, wajib membela pihak yang teraniaya, wajib melaksanakan hudud, menegakkan
keadilan, melaksanakan jihad, dll. Untuk menegakkan Islam ini perlu kekuatan politik, tanpa ada
kekuatan politik maka akan sulit menegakkan Islam, oleh karena itulah mendirikan sebuah negara
Islam adalah sebuah kewajiban.19 (6). Bukti Sejarah : Menurut kelompok ini, Nabi Muhammad
SAW ketika berada di Medinah dengan Piagam Madinahnya waktu itu telah melakukan segala
aktivitas kenegaraan sebagaimana dilakukan oleh para pemimpin negara lainnya seperti menjatuhkan
saksi pidana, menyatakan perang, menjadi komando perang dan mengangkat para penguasa daerah
taklukan. Jadi Muhammad ketika itu selain sebagai nabi juga sebagai kepala negara. Lebih jauh,
segala apa yang dilakukan oleh nabi itu terus diikuti oleh khulaf al-Rsyidin dan khalifah-khalifah
setelah itu. Sunnah itu harus diikuti oleh segenap muslimin. Sistem politik Islam bukan saja ada di
dalam doktrin Islam, tetapi sudah menjadi malm min ad-dn bi ad-arrah (sesuatu yang telah
jelas diketahui wajibnya).
Jadi menurut pendapat pertama adalah, wajib hukumnya memilih imam (khalifah) yang
berperan memimpin umat, serta wajib hukumnya menggunakan dasar negara dengan Al-Qur'an.
Kelompok yang menyuarakan kewajiban mendirikan negara Islam sebagaimana di zaman nabi, sering
disebut kelompok fundamentalis Islam. Terhadap istilah ini banyak orang yang merasa keberatan
lantas memunculkan istilah lain yakni Revivalis, kelompok yang ingin mengembalikan segala sesuatu
termasuk pola bernegara sebagaimana adanya di zaman nabi.
Kelompok Kedua, mereka menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara Islam dengan

negara dengan demikian mendirikan negara bukan sebuah kewajiban. Ali Abd Ar-Rziq

20

misalnya, tidak setuju dengan konsep negara Islam, bahkan ia menegaskan tidak ada
hubungan antara agama dan negara. Menurutnya Allah tidak memberikan jabatan rasul
16 Ibrahim Husain, 1993, Fiqih Siyasah dalam Pemikiran Islam Klasik dalam Ulumul Quran no2 vol.1v
hal.,61).

17 Al-Mawardi , Al-Ahkm Al-Sulthaniyah, hal. 8


18 Abdul Kariem Zaidan, hal.9
19 Ibn Taimiyah 1966 , As-Siysah wa Asy- Syarah, ( Beirut : Dar al-Kitab al-Arabiyyah, 1966), hal. 138.
20 M. Haikal, PM. Syafii Anwar, "Idealisme Islam, Realitas Politik dan Dimensi
Kebangsaan Harian Republika 29 Januari 1993.

sekaligus sebagai raja kepada nabi Muhammad SAW. Buktinya hanya beberapa rasul saja
yang menjadi raja seperti nabi Dawud, justeru kebanyakannya rasul itu bukan raja, melainkan
hanyalah rasul semata.
Menurut dia, mayoritas muslim meyakini bahwa nabi SAW adalah seorang rasul
sekaligus raja. Rasulullah SAW dahulu telah membentuk kekuasaan politik dan sekaligus
bertindak sebagai raja, lantas dinyatakan bahwa Islam adalah sebuah kesatuan politik dan
sekaligus sebuah negara yang didirikan oleh nabi SAW. Padahal, kata ar-Raziq bahwa jihad di
zaman nabi bukan semata-mata untuk pengembangan agama tetapi untuk pengembangan
wilayah kekuasaan, dengan demikian maka pemerintahan rasulullah adalah sebagai
manifestasi dari amaliyah duniawi

bukan

tugas risalahnya. Di sini Ar-Rziq memilah

perbuatan nabi menjadi dua, yakni temporal dan nontemporal.


Ar-Rziq mengakui bahwa kepemimpinan Muhammad sebagai nabi sangat penting
pengaruhnya dalam memimpin masyarakat, tetapi kepemimpinan rasulullah waktu itu tidak
identik dengan raja dan rakyatnya. Jadi tidak dapat disamakan antara kekuasaan kerasulan
dengan kekuasaan seorang raja. Alasannya adalah karena ketaatan masyarakat terhadap nabi
adalah karena hubungan ruhaniyah yang bersumber pada iman, sedangkan ketundukan
kepada raja adalah karena hubungan jasmaniyah antara penguasa yang dikuasai. Kekuasaan
Muham-mad SAW atas kaum muslimin adalah kekuasaan kerasulan dan sama sekali bukan
ambisi politik.
Selanjutnya Ali Abd Ar-Rziq menegaskan bahwa, tidak ada seorang ulama pun
yang bisa mengajukan satu ayat Al-Quran saja yang secara pasti menunjukkan kewajiban
mengangkat khalifah serta menjelaskan fungsi khalifah. Dasar pijakan yang ada hanyalah
ijmak ulama yang sebenarnya tak lebih dari sekadar kesimpulan logika para ulama terdahulu.
Dalil Al-Quran yang sering dijadikan pijakan para ulama adalah: QS. 4 : 59: Hai orangorang yang beriman, taatilah Allah, taatilah rasul dan taatilah Ul al-Amr di antara kamu.
Ayat senada terdapat juga di dalam QS.4 : 83, padahal ayat tersebut tidak bisa disimpulkan
wajibnya mendirikan sebuah khilafah walaupun di sana terdapat kata Ul al-Amr. Karena
pengertian Ul al-Amr adalah seseorang yang mengurus keperluan umat bukan berarti
khalifah, tak ada kaitannya dengan persoalan immah.
Lebih jauh Rziq menyatakan bahwa para ulama bukan saja tidak berpijak kepada
ayat Al-Quran tetapi mereka tidak memiliki sandaran dari hadis rasul tentang persoalan
immah. Selanjutnya kata ar-Raziq, betul bahwa terdapat hadis-hadis tentang immah, bai'ah
dan jamah. Imamah artinya pemegang jabatan khilafah, bay'ah artinya baiat kepada
khalifah, sedangkan jamaah artinya pemerintahan kekhalifahan Islam, akan tetapi dari hadis-

hadis itu tidak dapat disimpulkan bahwa kekhalifahan merupakan aqdah syariyyah. Dengan
demikian, yang menjadi dasar pijakan tentang wajibnya khilafah bukanlah dalil tetapi sesuatu
yang mirip dalil (syibhu ad-dall).
Kelompok ketiga : Kelompok ini mengakui bahwa di dalam Islam memang terdapat
ajaran tentang politik dan negara tetapi hanya menyangkut prinsip-prinsipnya saja, tidak
menjelaskan secara ekplisit tentang bentuk negara, dasar negara dan ketatanegaran lainnya.
Itu semua disesuaikan secara fleksibel dengan keadaan negara masing-masing.

Harun

Nasution misalnya dengan mengutif pendapat Abdul Wahhb al-Khallf dalam Ilmu al
Ushul al-Fiqh, menyatakan bahwa ajaran-ajaran Islam yang orisinil dalam soal kenegaraan
hanya sedikit itupun hanya menyangkut prinsip-prinsip, dasar-dasar atau pokok-pokoknya
saja bukan rinci. Dasar dan prinisp inilah yang menjadi pegangan bagi umat Islam dalam
menghadapi perkembangan zaman. Dengan demikian pada hakikatnya dinamika masyarakat
Islam tidak diikat.21
Sejalan dengan itu, Fathi Osman menyatakan sangat jauh dari kebenaran apabila
dikatakan bahwa Islam telah memberikan sistem sosial politik yang menyeluruh dan
terperinci22. Tuntutan al-Quran tentang kehidupan bernegara tidak menunjuk kepada model
tertentu tentang sebuah negara, yang terpenting prinsip-prinsip yang terdapat dalam alQuran itu harus ditransformasikan ke dalam bentuk rumusan rumusan kenegaraan yang
dipandang perlu akan meme-nuhi hajat kebutuhan kaum muslimin tentang sebuah negara
pada zamannya.23
Menurut Harun Nasution, yang penting adalah prinsip-prinsip terpokok Islam yang
harus dijelmakan dalam sebuah negara, pertama-tama adalah tujuan yang hendak dicapai
oleh negara itu yaitu masyarakat beragama dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang di
dalamnya terdapat persatuan, persaudaran, persamaan, musyawarah dan keadilan.24
Para pembaharu teologis yang berusaha melakukan pembaharuan konsep teologi
keagamaan berupaya menyuarakan gagasan mengenai sebuah Islam yang substantif, inklusif,
21 Harun Nasution, Makalah Al-Quran dan Kehidupan Masyarakat, hal. 5.
22 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, (Jakarta : Paramadina, 1998), hal. 1. Dia mengutip dari Fathi Otsman, .
Parameters of the Islamic State, Arabia , The Islamic World Review, No. 17, January,
1983 hal. 10.
23 Tim penulis, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, Tujuh Puluh Tahun Harun Nasution,
(Jakarta : Lembaga studi Agama dan Filsafat, 1989), hal. 225.
24 Harun Nasution, Islam dan kehidupan Kenegaraan Dalam 70 Tahun Harun Nasution, hal. : 228-9.

integratif dan toleran.

25

Dalam pandangan kelompok Modernis, Piagam Madinah adalah

petunjuk pengaturan kehidupan masyarakat yang berasaskan Islam dan disusun berdasarkan
syariat Islam untuk mengatur masyarakat yang majemuk 26. Kelompok ini beranggapan
bahwa Islam mengatur soal politik dan negara namun tidak mendetail. Menurut Amin Rais,
ar-Rziq tidak perlu memilah antara aktivitas kehidupan temporal dan nontemporal karena
dengan cara seperti ini bisa membawa kepada kesimpulan bahwa Islam tidak perlu dibawa
untuk memecahkan masalah sosial politik, bahkan bisa mereduksi Islam sehingga pada
akhirnya Islam hanya berhubungan dengan masalah rohani manusia semata. 27 Jadi dalam
pandangan Amin Rais, nabi itu adalah pengatur dalam segala persoalan, masalah apapun
yang dihadapi. Namun Amin Rais tidak setuju kalau konsep negara di zaman nabi itu
diterapkan sekarang, Amin Rais lebih setuju kalau prinsip-prinsipnya saja yang diterapkan
sekarang seperti prinsip keadilan.28
Pendapat Amin Rais sejalan dengan pemikiran Ibrahim Husein. Menurut Ibrahim
Husein, dalam membahas konsep negara menurut Islam perlu dipisahkan antara konsep
dasar syariah29 yang bersifat universal dengan hal-hal yang bersifat teknis dan kondisional
yang merupakan refleksi dari tuntutan situasi dan kondisi yang temporal seperti bentuk
negara, pemilihan kepala negara, atau tentang lembaga-lembaga negara.30

25 Pemikiran kelompok Rasional tentang Hubungan Islam dan Negara dapat dibaca pada
Azyumardi Azra, Islam Substantif.
26 Azyumardi Azra, Islam Substantif, hal. 92-93.
27M, Amin Rais, Kata Pengantar dalam John Elposito, Islam dan pembaharuan: xxiii.).
28 Wawancara Amin Rais dengan salah satu Televisi Swasta. Menurut dia soal kenegaraan itu
terus menerus berkembang sehingga yang perlu dipegang adalah prinsip-prinsip nilai yang
universal dan absolute bukan hal-hal yang sifatnya kaku.
29 Syariah adalah hukum yang dihasilkan dari ayat-ayat Al-Quran yang tidak mengandung alternatif
penafsiran tetapi hanya mengandung satu penfasiran yang pasti (qai), sedangkan apabila suatu hukum yang
dihasilkan dari ayat yang dapat menimbulkan berbagai macam alternatif penafsiran (any) disebut fiqih
(pemahaman). Syariah kebenarannya bersifat absolut, tidak menerima perubahan dan berlaku sepanjang zaman.
Sedangkan fiqih kebenarannya bersifat relatif, nisbi karena merupakan hasil Ijtihad yang bisa dibantah oleh
hasil Ijtihad lain.

30 Seorang ulama wajib melaksanakan hasil Ijtihadnya karena hasil Ijtihadnya itu telah
dianggap oleh dia sebagai hukum Allah. Tetapi bagi masyarakat luas mereka bebas memilih
hasil Ijtihad para ulama mana yang dinggap paling tepat. Akan tetapi apabila terjadi
perbedaan pendapat yang menyangkut kemaslahan umum maka pemerintahlah yang harus
menentukan dan ketentuan pemerintah ini harus mengatasi semua perbadaan yang muncul,
tujuannya demi kemaslahatan umat.

Seiring dengan itu Abdurrahman Taj menjelaskan bahwa siysah syariah adalah
hukum kebijaksanaan atau peraturan yang berfungsi mengorganisir perangkat kepentingan
negara dan mengatur urusan umat yang sejalan dengan jiwa syariah, sesuai dengan dasardasar yang universal (kully) serta (dapat) merealisasikan tujuan-tujuannya yang bersifat
kemasyarakatan, sekalipun hal itu tidak ditunjukkan oleh nash-nash tashili yang juzi di
dalam Al-Quran dan Sunnah.31
Siysah yang Islami ialah suatu peraturan, perundangan, atau kebijak-sanaan yang
secara faktual lebih dapat mendekatkan umat manusia kepada kemaslahatan dan lebih dapat
menjauhkan diri dari kerusakan sekalipun hal itu tidak ditetapkan oleh Rasul dan tidak pula
ada wahyu turun tentang hal itu.32
Bagi kelompok ini, yang harus diabadikan dalam sebuah negara adalah nilai-nilai
universal dan absolut seperti nilai keadilan, toleransi, musyawarah, dll. Dalam hal ini,
Indonesia yang melaksanakan prinsip-prinsip hukum Islam sudah cukup. Sedangkan Piagam
Madinah sebagaimana dijelaskan oleh Azyumardi hanyalah eksperimen yang menunjukkan
pengalaman kenegaraan dalam Islam. Piagam Medinah memberikan pengalaman historis
yang berharga tentang bagaimana nabi Muhammad membangun negara yang masyarakatnya
majemuk dalam beragama. Bagaimana nabi meletakkan prinsip equality (persamaan) dan
toleransi (tasammuh)33. Selanjutnya Azyumardi Azra menyatakan bahwa konsep dan bentuk
Negara yang baku tidak ada dalam Islam. Bukan tanpa hikmah nabi SAW memberikan
contoh melalui eksperimen Medinah. Apabila nabi sudah membuat model yang baku padahal
nabi sendiri hidup 15 abad yang silam, mungkin saja praktik model itu tidak relevan lagi
dengan masa sekarang. 34
Dalam hal ini ada baiknya kita mengetahui penjelasan Maududi seputar hubungan
tauhid dalam kaitannya dengan kegiatan politik. Menurut Maududi sistem politik Islam
didasarkan kepada tiga prinsip pokok yaitu Tawhid, Rislah dan Khilfah.
Dengan konsep tauhid ditegaskan bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Rabb atau
pencipta dan penguasa alam ini, maka Dialah yang berdaulat terhadap alam ini. Kedaulatan
31 Ibrahim Husein, Fiqih Siyasah Dalam Tradisi Pemikiran Islam Klasik, Disampaikan dalam
Seminar Nasional Sistem Ketatanegaraan dan Politik Islam Dalam Perspektif Islam; Teori dan Implementasinya
dalam Praktek, yang diselenggarakan oleh Jurnal Ulum al-Quran bekerja sama dengan ICMI, halaman 8.

32 Ibrahim Husein, Fiqih Siyasah , hal. 9


33 Azyumardi Azra, Islam Substantif, hal. 40.
34 Azyumardi Azra, Islam Substantif, hal. 148.

tertinggi adalah milik Allah sedangkan manusia sama sekali tidak memiliki kedaulatan. 35
Allah sebagai Rabb berarti Tuhan yang memelihara, mengatur, mengasihi dan
menyempurnakan. Dialah satu-satunya Penguasa dan Pemilik. Karena hanya Allah sebagai
Rabb manusia maka manusia ketaatan dan kepasrahan manusia hanya diserahkan kepada
Allah, tidak boleh diserahkan kepada makhluk. Dalam arti inilah Allah sebagai Ilh (yang
disembah, al-mabud). Hanya Allah-lah yang berhak mengklaim sebagai hakim serta tidak
ada undang-undang selain undang-undang-Nya.36 Segala aturan dan perundang-undangan
yang bertentangan dengan aturan Allah adalah bathil.
Prinsip kedua adalah Rislah,

yaitu sunnah nabi. Al-Quran hanya menjelaskan

prinsip-prinsip pokok sebagai landasan yang harus dipatuhi manusia, selanjutnya apa-apa
yang global itu diperjelas oleh Rasulullah sepanjang hayatnya. Oleh karena itu, pedoman
dasar bagi kehidupan manusia adalah Al-Quran dan Sunnah Rasul. Kedua pegangan itu
dalam terminologi Islam disebut syariat. Selanjutnya Maududi menjelaskan bahwa syari'at
baru dapat ditegakkan apabila didukung oleh kekuasaan (sulthan) .37
Prinsip ketiga adalah Khilfah, yaitu manusia sebagai wakil Tuhan (khalifah) di atas
bumi. Menurut Maududi, manusia mempunyai kekuasaan yang didelegasikan oleh Allah
kepadanya dengan batas-batas tertentu.

Ini artinya bahwa pemilik kekuasaan itu pada

hakikatnya adalah Allah. Umat manusia wajib menaati khalifah itu selama dia menaati
kehendak Allah. Dengan teori kekuasaan mutlak milik Allah, maka negara yang dicitacitakan oleh Maududi adalah kerajaan Tuhan, kingdom of God, Mulkiyah Allah atau
theocracy.38 Landasan hukum negara theocracy adalah :






























Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya. QS. 4 : 65)
35 Abu al-Ala al-Maududi, Islamic Way of Life,(Lahore : Islamic Pulication Ltd, 1967), hal.
40-41.
36 Abu al-Ala al-Maududi, The Islamic Lawc and Constitution, (Lahore : Islamic
Publication Ltd, 1977). hal. 122-124.
37 Abu al-ala Al-Maududi, Islamic Way of Life, hal. 42.
38 Abu al-Ala al-Maududi, The Islamic Lawc and Constitution, hal. 133.

Para pemikir pembaharuan teologis seperti Harun Nasution, Nurcholish Madjid, Amin
Rais, Syafi'i Ma'arif dan Azyumardi Azra, berusaha meyakinkan umat Islam bahwa negara
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45 adalah sudah sesuai dengan prinsipprinsip pokok Islam. Menurut mereka,

Pancasila dengan Piagam Madinah sama-sama

mengajak kepada kalimah sawa (kata yang sama) yang mengatur proses sosial politik dari
sebuah komunitas keagamaan yang bersifat heterogen.
Bagi Azyumardi Azra, NKRI dengan dasar filosofi Pancasila sudah cukup. 39 Menurut
para pemikir kelompok Pembaharu, Negara NKRI sudah final dan bersifat akomodatif
terhadap nilai-nilai Islam misalnya pengesahan UU Peradilan Agama (1989), Kompilasi
Hukum Islam (1991), dan pengesahan Undang - undang Zakat (1999).
Para pembaharu menawarkan konsep yang mengesampingkan segi formal dan legal
Islam, tetapi mengembangkan Islam substantif meminjam istilah Munawir Syadzali
bukanlah theocratic state tetapi religious state. Bedanya, yang pertama menekankan
formalisme dan legalisme ideologis yang menghendaki konstitusi negara yang secara tegas
didasarkan kepada Islam (Islam sebagai ideologi negara) dan menghendaki agar masalah
kenegaraan berada di tangan pemimpin agama, sedangkan yang kedua (religious state) yang
kendatipun secara legal formal tidak mendasarkan konstruk negara kepada ideologi Islam
tetapi memperhatikan nilai-nilai Islam. 40
Walaupun kelompok pembaharu telah menyampaikan argumentasinya secara panjang
lebar dan memakan waktu puluhan tahun, tetapi kelompok fundamentalis tetap pada
pendiriannya, serta menolak model negara demokrasi, bahkan menuduh para pembaharu
teologis itu sebagai mempropagandakan sekularisasi serta menghancurkan watak holistik
Islam.41 Selanjutnya mereka membuat perbedaan antara negara demokratis dengan negara
Islam sbb :
o Dalam

negara demokratis, kedaulatan di tangan rakyat artinya banyak

keterlibatan

rakyat dalam memproduksi hukum, sedangkan dalam negara

39 Azyumardi Azra, Islam Substantif, hal. 82 dan 78.


40Bahtiar Effendy, Repolitisasi Islam, Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik ?, (Bandung :
Mizan, 2000), cetakan I, hal. 72-73.
41Lihat Pembaharuan pemikiran Islam (Nurcholish Madjid) dan Kritik Endang Saifuddin Anshari
dalam Kritik atas Faham Gerakan pembaharuan Islam Nurcholis dan Rasyidi. P. 249

Islam, kedaulatan di tangan Allah, hanya Allah yang berhak memproduksi


hukum.
o Dalam

negara demokratis, pengambilan keputusan diambil dengan

musyawarah mufakat atau dengan suara mayoritas, sedangkan dalam negara


Islam, pengambilan keputusan Syari oleh para mujtahid sedangkan
pengambilan keputusan teknis diambil oleh para ahli.
o Dalam negara demokratis, pemimpin dipilih melalui pemilihan umum
sedangkan dalam negara Islam, pemimpin dipilih oleh ahlu al-halli wa alo

aqdi atau kelompok ilmuwan yang saleh.


Dalam negara demokratis, pemegang kekuasaan di tangan rakyat, sedangkan
dalam negara Islam, pemegang kekuasaan harus dipilih oleh umat ditunjukkan
dengan baiat.

8. Etika Berdemokrasi
Dalam sistem pemerintahan Theokrasi, kekuasaan hukum berada di tangan Tuhan
yang tertuang di dalam kitab suci serta penjelasan para nabinya, sedangkan dalam negara
Demokrasi kekuasaan menetapkan hukum berada di tangan rakyat. Pemerintahan demokrasi
adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Menurut Islam, semua hukum itu dibuat oleh Allah SWT sebab Allah-lah satu-satunya AlSyari yakni yang membuat hukum. Jika hukum Allah tidak tertuang di dalam Al-Quran
maka lihatlah penjelasan Rasulullah SAW. Apabila Rasul pun tidak menjelaskannya, maka
para ulama harus berijtihad bersama untuk mengambil suatu keputusan. Jadi pada hakikatnya,
musyawarah demokrasi dalam Islam adalah untuk menentukan hukum yang belum jelas itu,
bukan membuat hukum baru yang bertentangan dengan hukum Alquran.
Selain itu, musyawarah juga digunakan untuk membahas soal-soal kebijakan dan
teknis operasional menjalankan syariah Allah. Jangan sampai terjadi hasil musyawarah
bertentangan dengan hukum syariah, hukum alam, dan hukum akal.
Karena betapa beratnya persoalan yang mau dibahas, maka peserta musyawarah harus
orang-orang pilihan (ahlu al-hall wa al-aqd)

yang benar-benar memiliki ilmu sebagai

landasan untuk pengambilan keputusan. Dalam hal ini pasti tidak semua orang memiliki
segala keahlian, oleh karena itu

peserta musyawarah harus menyadari mana bidang

keilmuannya dan mana bidang di luar keilmuannya.


Selanjutnya, demokrasi bisa berjalan apabila peserta musyawarah memiliki (1).
kesadaran bahwa musyawarah adalah salah satu cara untuk mencari kebenaran, karena bisa

jadi kebenaran yang kita cari telah ditemukan oleh orang lain (2). Kesadaran tentang realitas
kemajemukan, baik latar belakang pemikiran, maupun kepentingan sehingga apa yang kita
anggap benar belum tentu kata orang lain. (3). Kesadaran bahwa hasil musyawarah pasti
lebih baik daripada hari berpikir perseorangan. (4). Niat musyawarah sebagai ibadah karena
bisa jadi keputusan perseorangan itu keliru. Besar kemungkinan kekeliruan yang hampir kita
buat dapat terkoreksi oleh musywarah (5). Kesadaran tentang manfaat musyawarah, karena
walaupun sebagai peserta pasif, mengikuti musyawarah akan mendapatkan ilmu baru.
Ketika musyawarah berlangsung mesti memperhatikan hal-hal sebagai berikut sikap
musyawirin antara lain :

Tujuan musyawarah adalah baik maka tata cara musyawarah pun harus baik, termasuk
tatacara berbicara, yakni qaulan layyina (ucapan yang lemah lembut), qaulan baligha
(ucapan yang pesannya sampai), qaulan marufa (ucapan yang baik), qaulan sadida

(ucapan yang tegas), qaulan karima (ucapan yang memuliakan orang), dll.
Adanya kejujuran untuk menerima pendapat yang benar dari siapapun dan dari manapun

datangnya.
Mengakui persamaan dalam hak dan kewajiban mengemukakan pendapat. Tidak ada yang
merasa superiority dalam kebenaran.
Apa yang menjadi objek musyawarah dalam demokrasi ? Tadi dikatakan bahwa dalam

demokrasi, keputusan diambil dengan suara terbanyak. Sangat mungkin terjadi apa-apa yang
telah diharamkan oleh Allah akan dihalalkan oleh sistem demokrasi liberal, misalnya aborsi,
zina, bank riba, atau perempuan menjadi imam shalat bagi kaum pria. Ini berarti sudah
mengganti hukum Allah dengan hasil kesepakatan manusia. Jika demikian, berarti manusia
tidak perlu lagi aturan Allah. Naudzu billahi min dzalik. Oleh karena itu Islam memberikan
landasan bahwa soal hukum yang sudah jelas tidak perlu dimusyawarahkan. Hal yang bisa
dimusyawarahkan hanyalah hal-hal yang belum dijelaskan oleh Al-Quran dan Sunnah Rasul,
serta persolan-persoaalan teknis pelaksanaan syariah.
Ketika musyawarah berjalan, ada hal-hal yang perlu dicermati, antara lain tidak
merasa bangga berlebihan jika pendapatnya diterima, tidak merasa kecil hati atau merasa
tidak dihargai jika pendapatnya ditolak, tidak sabar ketika orang berbicara, atau suka
memotong pembicaraan orang lain.

9. Membudayakan Tabayyun dan Islah dalam Dunia


politik

Politik tidak bisa dilepaskan dari hubungan internasional. Allah telah menciptakan
manusia dalam beragam etnis, suku bangsa, dan bermacam-macam bangsa. Dalam berpolitik,
Allah menganjurkan agar kita saling mengenal dan memahami bangsa tersebut (QS. 49/AlHujurat : 13 ), baik menyangkut karakteristiknya, sumber daya alamnya, maupun kebijakan
negaranya.
Dengan banyaknya jejaring sosial dewasa ini, hubungan antar bangsa bisa dilakukan
dengan sangat leluasa, bukan hanya hubungan formal antar pemerintahan tetapi hubungan
nonformal bahkan personal, sehingga bisa saling tukar informasi yang bermanfaat bagi
kemajuan bangsa-bangsa di dunia.
Sebaliknya, jejaring sosial pun bisa digunakan untuk hal-hal yang buruk seperti
menebar fitnah, isu, gosif, bahkan menggunjing, menjelekkan nama seseorang, nama
kelompok, bahkan citra sebuah negara. Dewasa ini, isu, gosif, gunjingan, fitnah dan lain-lain
akan mudah tersebar, tanpa diketahui darimana sumbernya dan identitas pembawa berita.
Oleh karena itu dalam menghadap berbagai informasi atau isu, kitab harus tabayyun. Apa itu
tabayyun ? Tabayyun adalah konfirmasi.
Apabila ada sebuah berita, isu, atau gosif yang kita terima, sikap yang paling baik
adalah tabayyun yakni konfirmasi atau check and recheck untuk mengetahui hal ihwal yang
berkaitan dengan berita yang kita terima, meliputi sumber berita, pembawa berita dan isi
berita yang sebenarnya. Jangan sampai terjadi kita memutuskan sesuatu hanya berdasarkan
persepsi atau opini yang berkembang di masyarakat. Jika kita terlanjur memutuskan vonis
berdasarkan berita yang belum jelas kebenarannya, maka bisa jadi kita akan sangat menyesal
karena bertindak bodoh (Lihat QS 49/Alhujurat : 6). Siapa yang rugi ? Banyak pihak yang
akan dirugikan, sementara pihak yang menghembuskan isu tertawa puas. Keputusan politik
akan sangat mempengaruhi kehidupan rakyat dan mempertaruhkan keamanan negara, oleh
karena itu, politikus dan negarawan harus berhati-hati dalam mempercayai sebuah berita dan
diharuskan sering melakukan tabayyun.
Apabila isu atau gosif itu dipercaya sebelum tabayyun, sangat mungkin akan
melahirkan sengketa politik dan sangat mungkin juga terjadi kerusuhan, huru-hara bahkan
peperangan. Bagaimana jika sudah begini ? apa solusinya ? Solusinya adalah islah. Apa itu
islah ? Islah artinya berdamai.
Apabila ada dua orang atau dua kelompok atau dua negara yang bersengketa bahkan
mengarah kepada peperangan, maka komunitas muslim dunia harus bersatu serta mengajukan
resolusi perdamaian untuk kedua pihak yang berseteru itu. Apabila salah satu pihak menolak
berdamai dan tetap ingin perang, maka semua komunitas muslimin dunia harus menyerang

negara yang ngotot tersebut sampai dia mau menerima resolusi perdamaian tersebut (QS.
49/Al-Hujurat : 8).
Dahulu terjadi sengketa antara Iraq dengan Quwait. Harusnya seluruh negara Islam
atau komunitas Islam dunia menjadi penengah untuk mendamaikannya. Ini malah
mengundang negara Barat untuk menjadi pendamai. Kita tidak tahu apa sebenarnya niat
mereka. Apakah benar-benar ingin mendamaikan, atau malah cari jalan untuk mengusainya ?
Sebuah kesalahan besar umat Islam membiarkan sengketa Irak - Quwait di tangani bukan
oleh negara Islam.

Anda mungkin juga menyukai