OLEH:
ST. TAFRIYYAH HM
G0218326
PENDAHULUAN
Di Indonesia, perikanan merupakan salah satu sumber devisa Negara yang sangat
potensial. Pengembangan budidaya air payau di Indonesia untuk waktu yang akan
datang sangat penting bagi pembangunan di sektor perikanan serta merupakan salah
satu prioritas yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan di sektor perikanan.
Budidaya udang merupakan salah satu usaha yang prospektif dilihat dari tujuan
utama adalah ekspor ke Jepang, Eropa dan Amerika Serikat (Mahmud et al., 2007).
Total produksi perikanan budidaya mencapai 60 juta ton pada tahun 2010 dengan nilai
US$119.4 milyar (FAO, 2012). Total produksi budidaya udang dunia sebanyak 77%
diantaranya diproduksi oleh negara-negara Asia termasuk Indonesia (FAO, 2012). Luas
areal tambak udang di Indonesia saat ini sekitar 344.759 ha atau sekitar 39,78 % dari
potensi lahan yang tersedia yakni seluas 866.550 ha yang tersebar di seluruh Indonesia
(Arifin et al., 2007). Terdapat 80% areal luas tambak diantaranya adalah tambak milik
petani yang masih dikelola secara tradisional sehingga produktivitasnya masih rendah
(Arifin et al., 2007). Luasan tambak udang yang ada yang cukup besar, maka Indonesia
mempunyai peluang yang sangat besar sebagai salah satu produsen produk perikanan
budidaya, terutama udang. Sementara itu, potensi penangkapan udang di laut
diperkirakan 74.000 ton/tahun dan telah dimanfaatkan sekitar 70.000 ton/tahun. Dengan
demikian, tingkat pemanfaatan dari penangkapan di laut sudah mencapai 95% sehingga
andalan utamanya adalah udang hasil budidaya di tambak. Dengan target produksi
sekitar 2 juta ton udang per tahun. Seiring dengan semakin meningkatnya volume
permintaan udang di pasaran internasional maka secara langsung akan mempengaruhi
permintaan benur oleh para petani tambak.
Udang windu (Penaeus monodon) merupakan komoditas unggulan Indonesia
dalam upaya menghasilkan devisa negara dari eksport nonmigas. Berbagai upaya telah
dilakukan dalam meningkatkan produksi udang windu. Salah satu diantaranya adalah
penerapan sistem budidaya udang windu secara intensif yang dimulai sejak pertengahan
tahun 1986.
Komoditas ini dikenal bernilai ekonomis tinggi dibanding beberapa komoditas
lainnya, baik untuk konsumsi lokal maupun untuk pasar ekspor. Selain itu dipilihnya
udang sebagai andalan utama penggaet devisa, secara umum Indonesia memiliki
peluang yang sangat baik untuk memposisikan diri sebagai salah satu produsen dan
eksportir utama produk perikanan, terutama udang. Kenyataan ini bertolak dari besarnya
permintaan produk udang, baik di pasar domestik maupun pasar ekspor. Berdasarkan
kondisi tersebut di atas, maka pengembangan teknologi pembenihan udang perlu terus
ditingkatkan. Menurunnya minat masyarakat akhir-akhir ini untuk mengembangkan
komoditas unggulan ini disebabkan karena ketersediaan benih udang (post larva) yang
belum memenuhi standar. Pembenihan mempunyai peran penting dalam proses
budidaya karena pembenihan merupakan proses awal dari budidaya (Sano et al.,1985).
Pembenihan udang yang bersertifikat merupakan pembenihan yang sudah
menerapkan kriteria-kriteria Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB), Tingkat
keberhasilan budidaya udang windu sangat ditentukan oleh usaha pembenihan udang
yang dilakukan oleh Panti Pembenihan (Hatchery), Panti Pembenihan Skala Rumah
Tangga (Backyard) maupun skala besar dalam menyediakan benur udang yang
berkualitas dan bebas penyakit.
1.3 Tujuan
BAB II
Hasil pembenihan udang windu yang memuaskan akan diperoleh bila ditunjang
oleh sarana yang komplit mulai dari bangunan (heatchery), bak, sarana aerasi dan sarana
pembenihan lainnya.
2.1.1 Layaout Hatchery
layaout hatchery UKM BBU dapat dilihat pada gambar 1 sebagai berikut:
2.1.4 Pakan
Pakan yang digunakan pada hatcheri UKM Balai benih unggul disajikan pada
tabel 3 berikut :
Tabel 3. Pakan yang digunakan pada hatchery UKM Balai benih unggul
No Jenis pakan Fase
1. Pakan Induk Pakan induk -
(pakan alami) Cumi-cumi, hati sapi, cacing laut,
kepiting rajungan, kepiting bakau
dan kerang dara
2. Pakan larva Spirulina Sp 400 gr Nauplius
(pakan buatan)
Spirulina Sp 400 gr Zoea
Spirulina Sp 200 gr Post larva
Vitamin C 500 gr
Artemia 400 gr Post Larva
Flag Post Larva
BP (Campuran Pakan)
2.1.5 Obat-obatan
Obat-obatan yang digunakan pada hatchery UKM Balai Benih Udang disajikan
pada tabel 4 berikut :
Tabel 4. Obat-obatan yang digunakan pada hatchery UKM Balai Benih Udang
No Jenis Obat Satuan Jumlah
1 Kaporit Kg 15
2. Tiosulfat Kg 1
3. EDTA Kg 1
4. Trefplan Ml 100
5. PK Kg 1
6. Prebiotik Bag 1
d. Penanganan telur
Induk udang yang menetaskan telur biasanya berjumlah 1 sampai 1,3 juta butir
telur. Udang windu akan melepaskan telurnya pada malam hari sekitar pukul 20.00–
00.00 malam. Telur yang dilepas akan mengapung dipermukaan air dan melayang–
layang mengikuti pergerakan air. Setelah telur–telur lepas dari induknya, maka induk
diangkat dan dipindahkan ke bak pemeliharaan induk yang telah disiapkan.Telur–telur
udang tersebut dicuci kemudian disimpan di bak konikel sampai menetas menjadi
nauplius. Setelah keseluruhan telur–telur menetas, maka nauplius udang ini dipindahkan
ke bak pemeliharaan larva yang sebelumnya telah disiapkan.
e. Penebaran Nauplius
Benur atau benih udang merupakan salah satu mata rantai dari budidaya
udang.Penebaran nauplius ke dalam bak pemeliharaan larva dilakukan dengan padat
tebar 50–70 ekor/lt (hitungan berdasarkan volume air). Penebaran nauplius ini
dilakukan pada pagi hari dengan tujuan untuk menghindari perubahan suhu yang terlalu
tinggi. Ciri–ciri nauplius yang baik antara lain. Warna gelap kecoklatan, ukuran relative
seragam, gerakan aktif, respon terhadap cahaya, mengumpul dipermukaan bila aerasi
dimatikan. Penebaran nauplius ke dalam bak pemeliharaan larva harus dilakukan
dengan hati–hati agar nauplius tidak stress dengan lingkungan barunya harus
diaklimatisasi terlebih dahulu, juga sebelum ditebar ke dalam bak pemeliharaan larva air
media yang ada di bak pemeliharaan larva harus dicek terlebih dahulu baik salinitas,
pH, oksigen terlarut, juga suhunya. Hal ini dilakukan agar nauplius udang dapat tumbuh
dengan baik.
Aklimatisasi dilakukan dengan cara, air media yang ada di dalam bak pemeliharan
larva dialirkan perlahan ke dalam baskom yang berisi nauplius dengan menggunakan
tangan secara perlahan dan hati–hati. Setelah itu nauplius dilepaskan ke dalam bak
pemeliharaan dengan cara baskom dijungkirkan perlahan–lahan ke dalam bak
pemeliharaan larva sampai nauplius habis keluar dari baskom. Setelah Nauplius berada
di dalam bak pemeliharaan maka aerasi diatur dengan baik dan diperiksa keadaan aerasi
apakah berjalan dengan lancar.
f. Pemberian pakan
Udang windu termasuk hewan pemakan segala atau omnivora makanannya berupa
hewan-hewan kecil, seperti invertebrata (hewan tidak bertulang belakang) air, udang
kecil, kerang (bivalvi), dan ikan kecil. Induk udang memerlukan makanan alami yang
mempunyai kandungan kolesterol tinggi yang berasal dari kerang-kerangan dan krustase
lain (kepiting). Jenis makanan ini diperlukan untuk mempercepat proses pematangan
telur. Larva udang membutuhkan sejumlah pakan untuk kelangsungan hidupnya. Secara
garis besar pakan yang dimakan dipergunakan untuk kelangsungan hidup, selebihnya
baru untuk pertumbuhan. Dengan demikian dalam pemberian pakan untuk larva
jumlahnya harus melebihi kebutuhan untuk pemeliharaan tubuhnya, oleh karena itu
seorang pembenih harus mengetahui jumlah pakan, kebiasan dan cara makan dari setiap
stadium agar tingkat efisiensinya tinggi.
g. pemanenan
Waktu tebar yang paling baik dilakukan adalah pukul 04.00 pagi. Untuk itu
pengusaha pembenihan udang yang akan memanen benurnya harus mengetahui lama
angkut dari pembenihan ke tambak. Biasanya untuk angkutan jarak pendek (1–3 jam
perjalanan) panen benur dimulai pada pukul 23.00, sedangkan untuk jarak jauh 4–6 jam
perjalanan, panen dimulai pada pukul 21.00 malam.
Cara pemanenan dilakukan dengan menurunkan air bak terlebih dahulu hingga air
bak tinggal 50%. Hal ini dimaksudkan agar benur mudah ditangkap dengan seser. Seser
yang digunakan untuk menangkap benur menggunakan seser yang halus, supaya tidak
merusak fisik benur. Disamping itu penangkapan benur tidak boleh dilakukan dengan
kasar tetapi harus dengan ekstra hati–hati dan pelan- pelan.
Kemudian benur yang telah ditangkap dimasukkan kedalam wadah penampungan
yang telah disiapkan sebelumnya, yaitu ember besar yang dilengkapi dengan aerasi.
Bersamaan dengan pemanenan benur, dipersiapkan pula kantong plastik untuk wadah
benur yang akan diangkut. Dalam kantong plastik tersebut dimasukkan 10–15 liter air
yang mempunyai kadar garam yang sama dengan air pemeliharan sebelumnya.
Kemudian kantong plastik tersebut diberi Artemia hidup secukupnya untuk pakan
benur selama perjalanan, sehingga kondisi benur tidak lemah dan selalu sehat. Tetapi
jangan sekali–kali memberikan pakan buatan dalam proses packing karena bisa
berakibat fatal terhadap benur yang akan diangkut.
Sambil menunggu pemanenan benur dari bak, benur yang telah terkumpul dalam
baskom penampungan sebaiknya ditakar dahulu untuk dihitung jumlahnya. Perhitungan
benur biasanya dilakukan dengan cara penimbangan dan cara penakaran.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Sarana pembenihan udang windu di perlukan untuk menunjang berlangsungnya
kegiatan produksi.
2. Manajemen operasional terdiri dari kegiatan persiapan, penanganan induk,
ablasi mata, penebaran nauplius, pemberian pakan, pemanenan. Persiapan
dilakukan dengan persiapan bak seperti bak induk, bak pemijahan, bak inkubasi
telur, bak larva dan bak pemanenan.
DAFTAR PUSTAKA