Anda di halaman 1dari 22

KARYA TULIS ILMIAH

KORALOGI

Oleh :
KELOMPOK 9
Ismu Rizal 141511133105
Umi Hafidloh 141511133023
Zainul Nur Arifiina 141511133033
Neina Aulia Maghfira 141511133047
Dewi Eka Wulandari 141611133002
Yolanda Graciela Budiman 141611133013
Eri Suyanti 141611133014
Becca Varra Raharjo 141611133038
Desenta Panca Kharisma 141611133052
Windi Andhini 141611133111

FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem yang hidup di dasar perairan laut
dangkal di daerah tropis dan subtropis yang dibentuk oleh kegiatan biologis dari
hewanhewan karang Anthozoa. Karang adalah hewan tak bertulang belakang yang
termasuk dalam Filum Coelenterata (hewan berongga) atau Cnidaria, berbentuk
tabung, memiliki mulut yang dikelilingi oleh tentakel. Karang mencakup karang dari
Ordo Scleractinia dan Sub kelas Octocorallia (kelas Anthozoa) maupun kelas
Hydrozoa (VERON, 2000). Hewan karang disebut polip, hidup secara berkoloni dan
membentuk terumbu. Karang mendapatkan makanan melalui dua cara, yaitu dengan
menggunakan tentakel untuk menangkap plankton dan melalui alga kecil
Zooxanthellae yang hidup pada jaringan karang
Karang mempunyai nilai dan arti yang sangat penting dari segi sosial budaya,
ekologi, dan ekonomi, dimana hampir sepertiga penduduk Indonesia yang tinggal di
daerah pesisir menggantungkan hidupnya dari terumbu karang (Suharsono, 2010).
Terumbu karang terdapat di perairan yang relatif dangkal (reef patch) menjadi lokasi
penangkapan pada umumnya (Sinaga, 2010) Terumbu karang memiliki fungsi
ekologi yaitu sebagai perangkap nutrien, baik yang berasal dari daratan maupun dari
laut. Nutrien yang terperangkap dimanfaatkan oleh organisme yang hidup di sekitar
terumbu karang; sebagai daerah asuhan dan daerah mencari makan larva organisme
laut; sebagai tempat tinggal spesies laut yaitu sekitar 25% (Burke et al., 2012); dan
sebagai pencegah abrasi dari hantaman ombak.
Terumbu karang telah banyak memberi manfaat bagi manusia. Namun di sisi
lain terumbu karang memiliki banyak ancaman seperti penangkapan ikan yang tidak
ramah lingkungan dan penyakit. Kedua ancaman tersebut mengakibatkan penurunan
tutupan karang. Berdasarkan hasil pemantauan Kepulauan Spermonde mengalami
penurunan tutupan karang sebesar 40% dari tahun 2008 2 - 2010 akibat bom ikan,
sianida, dan jaring (COREMAP, 2010), sedangkan Willis et al, (2004) menyatakan
kerusakan terumbu karang disebabkan oleh penyakit, selanjutnya Harvell et al.,
(2004) menyatakan salah satu penyakit yang mengakibatkan kerusakan terumbu
karang adalah black band disease (BBD). Berdasarkan penjelasan tersebut karya tulis
ilmiah ini dibuat untuk mengulas tentang penyakit koral, faktor yang mempengaruhi
adanya penyakit serta dampak terhadap lingkungan.

1.2 Tujuan
Tujuan dari karya tulis ilmiah ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa saja penyakit yang dapat menyerang terumbu
karang/koral
2. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi adanya penyakit pada terumbu
karang/koral
3. Untuk mengetahui nilai ekonomis dari terumbu karang/koral

1.3 Manfaat
Manfaat dibuatnya karya tulis ilmiah ini adalah sebagai sumber informasi dan
data bagi pembaca mengenai penyakit terumbu karang/koral, serta diharapkan
dengan adanya karya tulis ilmiah ini masyarakat dapat lebih menjaga kelestarian
dari terumbu karang.
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi

Klasifikasi karang yang merupakan hewan tanpa tulang belakang (avertebrata)


yaitu sebagai berikut (Veron, 1986) :
Kingdom : Animalia
Filum : Coelenterata (Cnidaria)
Kelas : Anthozoa
Ordo : Scleractinia (Madreporaria)
Keluarga :
1. Acroporidae
Genus : Acropora, Astreopora, Anacropora, Montiopora.
2. Agariciidae
Genus : Coeloseris, Gardineroseris, Leptoseris, Pachyseris, Pavona.
3. Astrocoeniidae
Genus : Stylocoeniella
4. Pocilloporidae
Genus : Pocillopora, Palauastrea, Stylophora, Seriatopora, Madracis.
5. Poritidae
Genus : Alveopora, Goniopora, Porites, Stylastrea.
6. Siderastreidae
Genus : Coscinaraea, Psammocora, Pseudosiderastrea, Siderastrea.
7. Fungiidae
Genus : Ctenactis, Cycloseris, Fungia, Halomitra, Heliofungia, Herpolitha,
Lithophyllon, Podabacea, Polyphylla, Sandalolitha, Zoopilus.
8. Oculinidae
Genus : Archelia, Galaxea.
9. Pectinidae
Genus : Echinophyllia, Mycedium, Oxypora, Pectinia.
10. Mussidae
Genus : Acanthastrea, Australomussa, Blastomussa, Cynarina, Lobophyllia,
Scolymia, Symphyllia.
11. Merulinidae
Genus : Boninastrea, Clavarina, Hydnophora, Merulina, Paraclavarina,
Scapophyllia.
12. Faviidae
Genus : Favites, Favia, Barabattoia, Caulastrea, Cyphastrea, Goniastrea,
Diploastrea, Leptoria, Leptastrea, Montastrea, Moseleya, Oulastrea,
Oulophyllia, Platygyra, Plesiastrea.
13. Dendrophylliidae
Genus : Dendrophyllia, Tubastrea, Turbinaria, Heterosammia.
14. Caryophylliidae
Genus : Catalophyllia, Euphyllia, Physogyra, Plerogyra, Neomenzophyllia.
15. Trachypylliidae
Genus : Trachyphyllia, Welsophyllia.

Gambar 1. Morfologi koral


Berdasarkan kemampuan memproduksi kapur maka karang dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang
hermatifik adalah karang yang dapat membentuk bangunan karang yang dikenal
menghasilkan terumbu dan penyebarannya hanya ditemukan didaerah tropis. Karang
ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini merupakan kelompok yang tersebar
luas diseluruh dunia. Perbedaan utama karang Hermatipik dan karang ahermatipik
adalah adanya simbiosis mutualisme antara karang hermatipik dengan zooxanthellae,
yaitu sejenis algae unisular (Dinoflagellata unisular), seperti Gymnodinium
microadriatum, yang terdapat di jaringan-jaringan polip binatang karang dan
melaksanakan fotosistesis. Hasil samping dari aktivitas ini adalah endapan kalsium
karbonat yang struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan
untuk menentukan jenis atau spesies binatang karang. Karang hermatipik mempunyai
sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan sehingga arah
pertumbuhannya selalu bersifat fototeopik positif. Umumnya jenis karang ini hidup di
perairan pantai /laut yang cukup dangkal dimana penetrasi cahaya matahari masih
sampai ke dasar perairan tersebut. Disamping itu untuk hidup binatang karang
membutuhkan suhu air yang hangat berkisar antara 25-32 0C (Nybakken, 1992).

2.2 Reproduksi
Karang merupakan kelompok organisme yang sudah mempunyai sistem saraf,
jaringan otot dan reproduksi sederhana, akan tetapi telah berkembang dan berfungsi
secara baik. Organ-organ reproduksi karang berkembang di antara mesenteri filamen
dan pada saat-saat tertentu organ tersebut terlihat nyata sedang pada waktu lain
menghilang, terutama untuk jenisjenis karang di wilayah subtropis. Sebaliknya, untuk
karang yang hidup di daerah tropis, organ reproduksi dapat ditemukan sepanjang
tahun karena siklus reproduksi berlangsung sepanjang tahun dengan puncak
reproduksi dua kali dalam setahun (Sorokin, 1993).
Hewan karang dapat melakukan reproduksi baik secara seksual maupun
aseksual. Reproduksi aseksual dapat berlangsung dengan cara fragmentasi, pelepasan
polip dari skeleton dan reproduksi aseksual larva. Kecuali reproduksi aseksual larva,
produk dari yang lainnya menghasilkan pembatasan sacara geografi terhadap asal-
usul terumbu karang dan sepanjang pembentukan dan pertumbuhan koloni dapat
melangsungkan reproduksi seksual. Dalam hal reproduksi secara seksual,
gametogenesis akan berlangsung di dalam gonad yang tertanam dalam mesenterium.
Kejadian ini dapat berlangsung secara tahunan, namun dapat juga musiman, bulanan
atau tidak menentu. Konsekuensi dari cara reproduksi ini adalah pemijahan gamet-
gamet untuk fertilisasi eksternal dan perkembangan larva planula, atau pengeraman
larva planula untuk dilepaskan setelah berlangsung fertilisasi internal (Nontji, 1987).
Reproduksi aseksual umumnya dilakukan dengan cara membentuk tunas yang
akan menjadi individu baru pada induk dan pembentukan tunas yang terusmenerus
merupakan mekanisme untuk menambah ukuran koloni, tetapi tidak untuk
membentuk koloni baru (Nybakken, 1992).
Pertunasan ada dua macam yaitu pertunasan intratentakuler dan pertunasan
ekstratentakuler. Pertunasan intratentakuler ialah pembentukan individu baru di
dalam individu lama yaitu dimana mulut baru terbentuk di dalam lingkar tentakel
individu lama melalui invaginasi lempeng oral, sedangkan pertunasan
ekstratentakuler ialah pembentukan individu baru di luar individu lama yaitu dimana
koralit baru tumbuh di-coenosarc diantara koralit dewasa (Nontji, 1987).
Cara lain dari reproduksi aseksual pada karang ialah dengan fragmentasi yaitu
dimana bagian dari koloni karang yang terpisah dari induk disebabkan oleh faktor
fisik (arus dan gelombang) atau faktor biologi (predator) dapat beradaptasi di
lingkungan yang baru hingga tumbuh dan membentuk koloni yang baru. Patahan-
patahan karang yang terpisah dari koloninya tidak selalu diikuti dengan kematian
pada jaringannya, tetapi dapat hidup dan tumbuh pada substrat yang baru, dan jika
kondisinya cocok, dari patahan-patahan karang tersebut bisa terbentuk koloni yang
baru (Dahuri, 1999).
Proses reproduksi karang secara seksual dimulai dengan pembentukan calon
gamet sampai terbentuknya gamet masak, proses ini disebut sebagai gametogenesis.
Selanjutnya gamet yang masak dilepaskan dalam bentuk telur atau planula. Masing-
masing jenis karang mempunyai variasi dalam melepaskan telur atau planulanya.
Karang tertentu melepaskan telur yang telah dibuahi dan pembuahan terjadi di luar.
Sedang karang yang lain pembuahan terjadi di dalam induknya dierami untuk
beberapa saat dan dilepaskan sudah dalam bentuk planula. Planula yang telah
dilepaskan akan berenang bebas dan bila planula mendapatkan tempat yang cocok ia
akan menetap di dasar dan berkembang menjadi koloni baru (Nybakken, 1992).
Karang dapat bersifat gonokhoris atau hermaprodit, dan ia mempunyai segala macam
bentuk variasi reproduksi, termasuk juga adanya variasi-variasi di dalam dan antar
famili, genera dan spesies (Veron, 1995).

2.3 Habitat dan Penyebaran


Secara taksonomi, terumbu karang dikenal memiliki 7500 spesies terumbu
dan menutupi area seluas 2 x 106 km2 dilautan tropis sekeliling dunia. Sebagai
bentuk geologis yang masif, terumbu karang menyediakan perlindungan ombak
secara eksistensif sepanjang pesisir pantai, produksi biologis terumbu karang
menghasilkan komoditi pangan seperti ikan-ikan, molluska (Achituv dan Dubinsky,
1990). Seperti diutarakan sebelumnya bahwa karang tumbuh subur di perairan laut
tropis, walaupun ada di antaranya yang juga dijumpai di perairan laut subtropis.
Keanekaragaman karang berkurang dengan kenaikan derajat lintang. Lebih lanjut
dikatakan bahwa di dunia ini ada tiga (3) daerah pengelompokan terumbu karang, dua
di antaranya adalah di Indonesia Barat (Indo-Pacific) dan karibia (Atlantic), dan
ketiga terletak di sebelah selatan Samudera Hindia (IndoPacific) (Ronsen, 1971).
Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang sedikit tinggi dibandingkan
dengan yang terdapat di Samudera Hindia. secara umum jumlah spesies karang (Reef
Building Corals) yang tumbuh di Indo-Pacific cenderung lebih banyak dibandingkan
dengan di Atlantic (Supriharyono, 2007). Menurut Wells (1954) dan Ronsen (1971)
ada 88 genera karang (hermatypic scleractinian corals) yang hidup di Indo-Pasific,
dengan 700 spesies sedangkan di Atlantic tercatat hanyan ada 26 genera dan 35
spesies. Namun sekitar 10 tahun kemudian, bersama Gureau, Wells melaporkan
adanya kenaikan jumlah spesies hermatypic corals sekitar 50% di jamaika, yaitu
sekitar 41-48 spesies (Goreau dan Wells, 1967).
2.4 Cara Makan
Karang termasuk hewan polytophic (makanan berasal dari beberapa sumber)
seperti plankton, bahan organik partikulat dan terlarut, bakteri, protista, dan hasil
fotosintesis alga simbion yaitu zooxanthellae (Suharsono, 2010). Cara karang
mendapatkan makanan dapat dilakukan dengan aktif dan pasif. Cara karang
mendapatkan mangsanya secara aktif dengan menjulurkan tentakel kemudian mangsa
disengat dengan nematocyt (Veron, 2000). Seperti yang telihat pada gambar dibawah
ini.

Gambar 2. Cara makan karang dengan menggunakan tentakel


III PEMBAHASAN

3.1 Penyakit Koral

Penyakit karang didefinisikan sebagai semua perusakan dari suatu sistem atau
fungsi penting organisme, mencakup gangguan (interruption), perhentian (cessation),
perkembang biakan (proliferation), atau kegagalan lain (other malfunction) Penyakit
karang (coral disease) tidak hanya disebabkan oleh mikroorganisme, namun masih
banyak penyebab lainnya. Berdasarkan penyebabnya, penyakit karang dapat
digolongkan menjadi dua, yakni infeksi pathogen dan noninfeksi. Pathogen
dibedakan menjadi dua, yaitu mikro dan makro parasit. Sedangkan noninfeksi dapat
berupa mutasi genetik, kekurangan nutrisi, meningkatnya suhu air laut, radiasi
ultraviolet, sedimenasi dan polutan (Santavy & Peters, 1997).
Hingga saat ini, telah ditemukan sekitar 30 penyakit karang. Namun
demikian, masih sedikit yang diketahui tentang penyebab dan efek dari penyakit
karang antara lain penyakit karang yang disebabkan oleh bakteri, jamur alga dan
cacing (worm). Berikut ini adalah jenis-jenis penyakit karang yang umum dijumpai
dan masih terus dilakukan pengamatan. antara lain:

1. Black-band Disease

Penyakit ini ditandai dengan suatu lembaran/bercak (mate) hitam yang


luasnya sekitar ¼ - 2 inci pada permukaan jaringan karang. Penyakit ini bergerak
melewati permukaan rangka karang, dengan kecepatan sekitar 3 mm -1 cm perhari
dan kemudian meninggalkan rangka karang berwarna putih kosong. Black Band
Disease atau BBD juga dicirikan oleh suatu cincin gelap, yang memisahkan antara
jaringan karang yang masih sehat dengan rangka karang. Penyakit ini juga disebut
Black Band Ring

2. Dark Spots Disease

Penyakit bintik hitam muncul sebagai pigmen gelap, warna coklat atau warna
ungu yang menyerang pada karang scleractinian. Jaringan karang yang tertinggal
terlihat tetap utuh, walaupun terkadang mengakibatkan kematian jaringan karang
dalam pusat bintik (Gil-Agudelo & Garzon-Ferreira, 2001). Warna ungu gelap ke
coklatan atau kelabu dari jaringan tersebut sering melingkar pada permukaan, tapi
kadangkadang dijumpai juga bentuk yang tidak beraturan pada permukaan koloni
(bercak warna ungu terang terlihat pada pemutihan koloni). Penyebab penyakit ini
belum diketahui, namun diduga disebabkan oleh adanya akumulasi sedimen pada
suatu bintik hitam.

3. Red-band Disease

Penyakit yang menyerupai Blackband disease (BBD) adalah Red-band disease


(RBD). (Santavy & Peters, 1997) melaporkan bahwa suatu "band coklat" telah
menginfeksi karang di Geat Barrier Reef. RBD adalah suatu lapisan microbial yang
berwarna merah bata atau coklat gelap, dan warna tersebut mudah dilihat pada
permukaan jaringan karang. Penyakit ini menginfeksi karang otak (Diploria strigosa,
Montastrea annularis, Montastraea cavernosa, Porites astreoides, Siderastrea sp. dan
Colpophyllia natans) di Great Barrier Reef. Band nampak seperti gabungan dari
cyanobacteria dan jasad renik yang berbeda dibanding dengan biota yang dtemukan
pada BBD. Selain itu, pergerakan microbial ini berbeda, yakni tergantung pada induk
karang (Richardson, 1992).

4. White-band Disease

Ditemukan pada tahun 1977 di Teluk Tague, St. Croix, Kepulauan Virgin,
Amerika dan umumnya terjadi pada jenis karang bercabang. Hilangnya jaringan
tersebut, akan mengakibatkan suatu garis pada koloni karang, oleh karena itu
penyakit ini disebut whiteband disease atau WBD (Green & Bruckner, 2000).
Berbeda dengan kasus BBD, pada penyakit WBD tidak ditemukan adanya kumpulan
jasad renik yang konsisten yang menyebabkan ditemukan pengelupasan pada jaringan
dan rangka karang yang kosong.
5. White Plague

Penyakit White plague (WP) terlihat mirip dengan WBD, tetapi WP


menyerang pada karang yang berbeda. Karang jenis massive dan encrusting yang
diamati terlihat adanya jaringan karang yang hilang, meninggalkan rangka karang
yang berwarna putih kosong, wabah ini disebut wabah putih atau WP.
WP juga dikenal sebagai "white-band disease", "white death" dan "stress-
related necrosis". WP tipe I, dilaporkan mempengaruhi 10 spesies karang dan efeknya
menyebabkan jaringan lunak karang mengalami kematian dengan kisaran sekitar 3
mm/ hari. Pada WP tipe II, menyebabkan kematian pada jaringan lunak karang
sampai sekitar 2 cm/hari. (Richardson, 1998) melaporkan bahwa sekitar 32 spesies
karang terkontaminasi/ terjangkit oleh WP II. WP tipe III mempengaruhi karang
pembentuk terumbu yang sangat luas termasuk karang dengan bentuk pertumbuhan
massive. Jaringan karang yang hilang yang disebabkan oleh WP III, dampaknya lebih
besar dari pengamatan pada tipe I dan tipe II (Richardson, 1998). Hilangnya jaringan
karang yang sangat cepat, mungkin disebabkan oleh bacterium dan dampaknya
meluas dari satu koloni ke koloni yang lain.

6. White Pox

Penyakit karang White Pox telah ditemukan oleh Craig Quirolo dan Jim
Porter di barat Florida pada tahun 1996. Penyakit ini ditandai dengan munculnya
tambalan (bercak) pada rangka karang berwarna putih kosong yang berbentuk
irregular. Tambalan (bercak) dapat terjadi pada permukaan atas atau bagian bawah
percabangan. Jaringan karang terlihat mengelupas, namun tidak rata, sedangkan laju
penghilangan jaringan karang terjadi sangat cepat.

7. Yellow-blotch or Yellow-band Disease

Yellow blotch disease hanya mempengaruhi karang dari genus Montastrea


dan karang otak Colpophyllia natans. Yellow blotch disease (YBD) pertama kali
ditemukan pada tahun 1994 (Green & Bruckner, 2000). Yellow blotch disease
diawali dengan adanya warna yang pucat, bintik yang sirkular pada jaringan
translusen atau sebagai band yang sempit pada jaringan karang yang pucat di bagian
pinggir koloni, namun areal disekitar koloni tersebut masih normal dengan pigmen
jaringan yang baik. Bagian dari jaringan karang yang dipengaruhi oleh penyakit
tersebut, akan keluar dari karang dan kemudian karang akan mati. Jaringan karang
yang hilang dari pengaruh penyakit YBD, rata-rata adalah 5-11 cm/tahun, lebih
sedikit dari penyakit karang lainnya. Meskipun demikian penyakit ini dapat
menyebar pada koloni karang yang lain dan dapat pula menyerang koloni karang
yang sudah dewasa dan berukuran besar (Bruckner, 2001).

3.2 Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Koral


Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi koral adalah :
A. Kecerahan
Kecerahan erat kaitannya dengan intensitas cahaya matahari yang masuk ke
dalam perairan. Kurangnya intensitas cahaya masuk dalam perairan akan
mengganggu proses fotosintesis zooxanthellae, hal ini dapat mengurangi asupan
energi untuk karang dan dengan kurangnya asupan energi dari zooxanthellae dapat
mengakibatkan karang rentan dengan penyakit (Raymundo et al., 2008). Tingkah
laku bakteri juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya, bakteri Phormidium
corallyticum yang merupakan penyebab penyakit BBD cenderung ditemukan pada
intensitas cahaya yang rendah (Viehman dan Richardson, 2002).
B. Kedalaman
Pada umumnya terumbu karang ditemukan pada kedalaman 3- 50 meter,
namun di beberapa perairan masih ditemukan hingga kedalaman 70 meter (Veron,
2000). Tutupan tertinggi ditemukan pada karang dengan kedalaman 20 meter untuk
karang masif dan sub masif sedangkan untuk karang bercabang subur pada
kedalaman 10 meter (Miller, 1995). Kedalaman perairan berhubungan dengan
intensitas cahaya matahari, dengan bertambahnya kedalaman intensitas cahaya yang
masuk semakin rendah (Viehman dan Richardson, 2002).
C. Suhu
Karang hermatipik dikenal sebagai pembentuk utama terumbu karang. Karang
hermatipik mampu hidup di atas suhu 18ºC, namun di perairan Jepang masih
ditemukan karang yang bertahan hidup pada suhu 11ºC - 14 ºC. Di perairan Jepang,
suhu di bawah 11ºC hanya 75% karang yang mampu bertahan hidup (Veron, 2000).
Selanjutnya dikatakan suhu optimal pertumbuhan karang berkisar 25 ºC hingga 29 ºC
untuk karang hermatipik. Suhu selain mempengaruhi pertumbuhan karang juga dapat
mempengaruhi laju infeksi penyakit.
Menurut Raymundo et al., (2006) bahwa peningkatan laju infeksi seiring
dengan peningkatan suhu. Suhu yang tinggi juga mampu menyebabkan stress serta
meningkatkan virulensi patogen. Boyett, (2006) menyatakan bahwa kenaikan suhu
mempengaruhi laju infeksi black band disease di Great Barrier Reef. Dengan adanya
fluktuasi suhu menyebabkan patogen lebih ganas atau agresif (Harvel et al., 2004)
sehingga karang mengalami kematian (Raymundo et al.,2008). Menurut Ritchie
(2006) bahwa pada musim panas, suhu perairan akan naik dan karang cenderung
mengeluarkan lendir lebih banyak. Akibatnya, lendir tersebut akan menurunkan
sistem imun karang sehingga lebih rentan terhadap penyakit.
D. Salinitas
Salinitas berperan penting karena mempengaruhi pertumbuhan karang dan
salintas termasuk sebagai faktor pembatas bagi karang. Pertumbuhan optimal pada
karang yang baik pada kisaran 34 ‰ sampai 36 ‰. Namun karang rentan pada
kisaran salinitas dibawah 27 ‰. Karang juga memiliki tingkat pertahanan terhadap
salinitas tinggi seperti dari jenis Acropora dan Porites yang mampu bertahan hidup
sampai pada salinitas 48 ‰. Karang sulit hidup di sekitar muara sungai atau daerah
dengan salinitas mendekati 0 ‰ atau pantai di daratan utama (Thamrin, 2006).
E. Arus
Arus merupakan pergerakan air yang berperan penting bagi organisme laut
yang ada di dalamnya. Sirkulasi air atau arus air berperan pada penyediaan oksigen
dan makanan bagi zooxanthellae dan karang (Guntur, 2011). Di Negara Jepang arus
laut Kuroshio mempengaruhi penyebaran karang keras. Arus tersebut berasal dari
Negara Filipina (Veron, 2000). Karang memerlukan pergerakan air atau arus untuk
membersihkan permukaannya dari sedimen (Raymundo et al., 2008). Dengan adanya
gelombang atau arus karang akan mendapatkan air yang segar dan bisa
membersihkan diri dari endapan-endapan yang menutupi permukaan koloni karang
dan arus membawa makanan berupa plankton bagi karang (Raymundo et al., 2010).
F. Nutrien (Fosfat Dan Nitrat)
Jumlah fosfat dan nitrat menyebabkan kondisi yang buruk bagi karang
sehingga bisa berakibat pada kematian karang. Nutrien yang berlebih juga merupakan
faktor penyebab meningkatnya penyakit karang (Boyet, 2006). Laju infeksi Yellow
Band Disease dan Aspergilosis berkorelasi positif dengan tingginya unsur hara, fosfat
dan nitrat (Raymundo et al., 2008). Fosfat dan nitrat yang berlebih dalam perairan
akan memicu pertumbuhan fitoplankton sehingga menyebabkan eutrofikasi, apabila
fitoplankton meningkat maka terjadi kompetisi antara karang dan fitoplankton dalam
proses fotosintesis.
Hal ini dapat menyebabkan kondisi karang menurun (Smith, 2006). Selain itu
konsentrasi kadar nitrat dan fosfat yang tinggi menyebabkan fotosintesis pada
cyanobakteri meningkat dan merupakan sumber nutrisi bagi cyanobacteri. Hal ini
akan meningkatkan aktivitas cyanobacteri. Aktivitas cyanobacteri yang tinggi terus
merusak karang dan menyebabkan penyakit. Keadaan tersebut meningkatkan pula
laju penyakit black band disease (Boyet, 2006).
3.3 Dampak Aktifitas Manusia Terhadap Koral
Kerusakan lingkungan di wilayah pantai/pesisir Indonesia sampai saat ini
belum bisa ditanggulangi dengan optimal. Bahkan yang terjadi saat ini, berbagai
kerusakan lingkungan di wilayah pesisir semakin meluas. Penyebab kerusakan
lingkungan di wilayah pesisir tersebut lebih didominasi oleh pencemaran— minyak,
sampah, dan lain-lain, abrasi pantai, kerusakan mangrove dan terumbu karang.
Dengan melihat penyebab kerusakan tersebut terlihat bahwa aktivitas manusia lah
yang menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dan laut.
Padahal kalau dilihat dari dampak kerusakan tersebut sebagai besar akan berdampak
kepada aktivitas manusia dan lingkungan, seperti rusaknya biota laut, terancamnya
pemukiman nelayan, terancamnya mata pencaharian nelayan dan sebagainya. Oleh
sebab itu apabila hal ini tidak secepatnya ditanggulangi dengan optimal maka
dikhawatirkan sumber daya pesisir dan laut akan semakin terdegradasi. Selain itu
juga aktivitas masyarakat pesisir akan semakin terancam.
Kerusakan ekosistem pantai harus dapat dicermati dan diperhatikan secara
mendalam. Karena dengan terjadinya kerusakan ekosistem pantai selalu diikuti
dengan permasalahan-permasalahan lingkungan, diantaranya terjadinya abrasi pantai,
banjir, sedimentasi, menurunnya produktivitas perikanan, sampai terjadinya
kehilangan beberapa pulau kecil. Kestabilan ekosistem pesisir, pantai dan daratan
merupakan suatu hal yang jarang diperhatikan oleh hampir semua stakeholder yang
berkecimpung di dalam pemanfaatan ekosistem pantai tersebut. Sehingga kerusakan
ekosistem pantai dianggap merupakan suatu hal yang wajar sebagai dampak yang
akan muncul akibat kegiatan pengelolaan. Banyak stakeholder yang cenderung
enggan untuk memperbaiki dan merehabilitasi ekosistem pantai yang dieksploitasi
untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sesuatu yang sangat naif yang berdampak pada
kerusakan ekosistem pantai yang pada akhirnya menyebabkan degradasi ekosistem
wilayah pesisir. Beberapa kegiatan manusia yang dapat menggambarkan terjadinya
degradasi, antara lain: Pembukaan hutan manggrove untuk dijadikan tambak udang
dan kayunya dijadikan bahan bangunan, penggunaan plastik, kaleng, peptisida, bahan
bakar untuk kebutuhan aktivitas manusia, eksploitasi sumber daya alam yang
berlebihan dan sebagainya.
Konsekuensi yang akan ditimbulkan akibat terjadinya aktivitas manusia untuk
mengeksploitasi dan mengonversi habis daerah pesisirnya. Yaitu hilangnya dan
terkikisnya pulau-pulau kecil di Indonesia. Perlu memang untuk dicermati dan
direnungkan agar kehilangan pulau tidak terus berlanjut. Namun yang paling penting
adalah mencegah hilangnya dan punahnya ekosistem dan habitat mangrove dan
pesisir, hilang dan punahnya keanekragaman hayati baik flora maupun fauna baik di
darat maupun di perairan. Dan penting rasanya untuk kita hayati bersama agar
dampak-dampak lingkungan seperti abrasi, intrusi, dan banjir tidak terjadi.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga ekosistem pantai,
ekosistem pulau dan ekosistem mangrove yaitu : (1) dibangun suatu konsep
pengelolaan yang berbasis berkelanjutan (sustainable), memiliki visi ke depan (future
time), terintegrasinya kepentingan ekonomi dan ekologi, dan pelibatan masyarakat (2)
membangun Kawasan hutan lindung, yaitu kawasan hutan yang ditetapkan fungsinya
untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam,
sumber daya buatan, dan nilai bersejarah, budaya bangsa guna kepentingan
pembangunan berkelanjutan (3) Melakukan Kegiatan rehabilitasi hutan harus
memperhatikan pola adaptasi tanaman, kesesuaian lahan dan lingkungan, sebaiknya
jenis-jenis endemik setempat, serta disukai dan memberikan tambahan ekonomi bagi
masyarakat, (4) Perlu dibangun renstra pengelolaan pada ekosistem yang dapat
mengurangi tekanan masyarakat terhadap hutan mangrove diantaranya dilakukan
pengalihan mata pencaharian masyarakat, dimana terdapat sebagian masyarakat yang
masih mencari kayu mangrove untuk dijual. Untuk mengatasi hal ini maka perlu
dilakukan upaya peningkatan potensi ikan di kawasan hutan mangrove yaitu dengan
melakukan penanaman mangrove sehingga mangrove dapat menjadi nursery ground
dan fishery ground. Dalam jangka panjang hal ini dapat mengurangi tekanan
masyarakat terhadap hutan mangrove (5) adanya political will untuk
Mempertahankan ekosistem mangrove sebagai upaya untuk menjaga keberadaan
pulau-pulau kecil dan gugus pulau.

3.4 Nilai Ekonomis Dan Eksporasi Koral


Secara umum berdasarkan hasil survey yang dilakukan terhadap kondisi
terumbu karang di KKLD Pulau Randayan dan Sekitarnya yang dinilai berdasarkan
persentase penutupannya tergolong dalam kondisi sedang (lifeform = 50,33 %)
persentase karang keras yang sudah cukup lama mati dan diselimuti alga (Dead
Coral with Algae-DCA) cukup tinggi dijumpai pada semua stasiun pengamatan
sampling terumbu karang. Hal ini diduga karena keberadaan unsur hara yang terikat
pada sedimen cukup tinggi yang masuk ke dalam perairan tersebut. Banyak populasi
algae yang tumbuh menutupi terumbu karang yang mati akan menyebabkan
rekolonisasinya akan berjalan lambat, sebab kehadiran algae mengganggu proses
penempelan Planula (larva karang batu) ada pecahan karang.
Dari hasil survey luasan penutupan terumbu karang di KKLD yang dilakukan
pada 9 (sembilan) stasiun sampling, secara keseluruhan diketahui bahwa terumbu
karang yang hidup didominasi oleh karang jenis massive. Hal ini karena jenis karang
massive memiliki tingkat kerentanan yang lebih baik dari pada jenis karang
bercabang (Branching) terhadap gangguan yang yang berasal dari alam maupun oleh
aktifitas manusia. Walaupun masing-masing punya kecepatan yang sama untuk
bereproduksi. Jenis karang bercabang akan mudah rusak atau patah jika terkena
benturan yang keras atau di bom.
Kondisi kesehatan karang yang bervariasi dari mulai jelek/ kurang baik
hingga kondisi karang yang sangat baik ini diikuti pula dengan dengan rendahnya
keanekaragman karang keras ditemukan. Berdasarkan hasil survey dalam rangka
penyusunan Management Plan KKLD P. Randayan dan sekitarnya Tahun 2005,
hanya sedikit variasi jenis dari karang keras yang berhasil diidentifikasi sepanjang
LIT, beberapa genus dari hard coral yang ditemukan adalah Porites sp, Sinularia sp,
Acropora sp, dan Millepora sp, Isis sp., Seriatopora sp, Pocillopora sp., Echinopora
sp., Euphyllia sp., Pachyseris sp., Jumlah ini relatif rendah jika dibandingkan dengan
area karang yang sehat sebagaimana dijumpai di Wilayah Timur Indonesia, di mana
genus karang batu dijumpai berkisar antara 44 sampai 50 genus (Edrus, t.t.) dalam
Bakosurtanal (2003).
Tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang, memungkinkan
perairan ini sering merupakan tempat pemijahan (spawning ground) pengasuhan
(nursery ground), dan mencari makan (feeding ground) dari kebanyakan organisme
laut, termasuk ikan. Sehingga secara otomatis produksi perikanan (ikan dan hewan
laut lainnya) di daerah terumbu karang didapatkan sangat tinggi. Luasnya tutupan
karang batu dan jenis-jenis fauna bentik lainnya yang tumbuh pada substrat karang
yang tersedia serta banyaknya jenis ikan yang hadir umumnya diterima sebagai
petunjuk yang berarti bagi kondisi karang.
Secara ekologi keberadaan kawasan terumbu karang di KKLD Pulau
Randayan dan Sekitarnya dari sisi fungsi bermanfaat sebagai stabilitas fisik garis
pantai. Secara ekonomi dimanfaatkan untuk oleh masyarakat lokal dan pendatang
untuk menangkap ikan dan budidaya rumput laut serta pariwisata. Terumbu karang
di KKLD merupakan salah satu dari sedikit kawasan terumbu karang yang ada di
wilayah pesisir barat pulau Kalimantan. Terumbu karang di KKLD ini juga penting
untuk mempertahankan stok fauna dan flora sebagai sumberdaya ikan di wilayah
pesisir Pulau Randayan dan sekitarnya, karena merupakan ekosistem yang dominan
dikawasan tersebut. Sehingga sangat penting untuk menyediakan stock ikan untuk
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat setempat. Selain itu juga sebagai sumber
genetika karena merupakan habitat beberapa spesies langka/ dilindugi (Penyu, akar
bahar dan Kima).
IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam Filum
Coelenterata (hewan berongga) atau Cnidaria, berbentuk tabung, memiliki mulut
yang dikelilingi oleh tentakel. Ekosistem terumbu karang adalah ekosistem yang
hidup di dasar perairan laut dangkal di daerah tropis dan subtropis yang dibentuk oleh
kegiatan biologis dari hewanhewan karang Anthozoa. Penyakit yang menyerang
karang diantaranya Black-band Disease, Dark Spot Disease, Red-band Disease,
White-band Disease, White Plague, White Pox dan Yellow-blotch atau Yellow-band
Disease. Adapun faktor yang mempengaruhi penyakit pada karang yaitu kecerahan
perairan, kedalaman, suhu, salinitas, arus, nutrien (fosfat dan nitrat).

4.2 Saran
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga ekosistem karang,
ekosistem pantai dan ekosistem mangrove yaitu dibangun suatu konsep pengelolaan
yang berbasis berkelanjutan (sustainable), membangun Kawasan hutan lindung,
Melakukan Kegiatan rehabilitasi hutan, Pembangunan renstra pengelolaan pada
ekosistem yang dapat mengurangi tekanan masyarakat terhadap hutan mangrove
diantaranya dilakukan pengalihan mata pencaharian masyarakat, dan mengadakan
political will untuk Mempertahankan ekosistem mangrove sebagai upaya untuk
menjaga keberadaan pulau-pulau kecil dan gugus pulau.
DAFTAR PUSTAKA

Bakosurtanal, 2003, Inventarisasi Data Dasar Survei Sumberdaya Alam Pesisir dan
Laut, Sumberdaya Terumbu Karang Kepulauan Kangean, Sumenep, Madura,
Jawa timur, Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut, Cibinong.
Boyett, H.V. 2006. The Ecology and Microbiology of Black Band Disease and
Brown Band Sydrome on The Great Barrier Reef. [Thesis]. James Cook
University, Townsville.
BRUCKNER, A.W. 2001. Coral health and mortalit : Recognizing signs of coral
diseases and predators. In : Humann and Deloach (eds.), Reef Coral
Identification. Jacksonville, FL: Florida Caribbean Bahamas New World
Publications, Inc. : 240-271.
Burke, L., Reytar, K., Spalding, M., Perry, A. 2012. Menengok Kembali Terumbu
Karang yang Terancam di Segitiga Terumbu Karang. World Resources
Institute.
Coral Reef Rehabilitation and Management Project. 2010. Laporan Akhir Monitoring
Kondisi Terumbu Karang Berbasis Masyarakat. Program Rehabilitasi dan
Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II ( Coremap Phase II Kab. Pangkep)
Tahun Anggaran 2009 Bekerja Sama dengan CV Aquamarine, Makassar.
Dahuri, R. 1999. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan.
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
GIL-AGUDELO, D.L. and J. GARZONFERREIRA 2001. Spatial and seasonal
variation of dark spots disease in coral communities of the Santa Marta area
(Columbian Caribbean). Bull Mar Sci. 69 : 619-630
GREEN, E. and A.W. BRUCKNER 2000. The significance of coral disease
epizootiology for coral reef conservation. Biological Conservation 96 : 347-
361.
Guntur. 2011. Ekologi Terumbu Karang pada Terumbu Buatan. Ghalia, Malang.
Harvel, D.,Smith, G., Azam, F,. Jordan, E,. Raymundo, L,. Weil, I.E,. and Willis, B.
2004. Coral Reef Targeted Research and Capacity Building Management.
Queensland: The University of Queensland.
Miller, M.W. 1995. Growth of a temperate coral: effects of temperature, light, depth,
and heterotrophy. Marine Ecology Progress Series. 217-225.
Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Biologis. PT Gramedia.
Jakarta
Raymundo, L.J., Maypa, A.P., Rosell, K. B,. Cadiz, P.L., Rojas, P.T.A. 2006. A
Survey of Coral Disease Prevalence in Marine Protected Areas and Fished
Reefs of the Central Visayas, Philippines. University of Guam: Filipina.
RICHARDSON, L.L. 1992. Red band disease: A new cyanobacterial infestation of
corals. Proc. 10th Ann. Amer. Acad. Underw. Sci. : 153-160.
Ritchie, K.B. 2006. Regulation of microbial populations by coral surface mucus and
mucus-associated bacteria. Marine Ecology Progress Series 322: 1–14
SANTAVY, D.L. and E.C. PETERS 1997. Microbial pests: Coral disease research in
the western Atlantic. Proc. 8th Int. Coral Reef Symp. 1 : 607-612.
Sinaga, L.C. 2010. Keamanan di Selat Makassar sebagai ALKI II: Tantangan dan
Peluang. Jakarta: Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia.
Smith, J.E. 2006. Indirect Effects of Algae on Coral: Algae-Mediated, Microbe
Induce Coral Mortality. Ecology Letters 9: 835-845
Sorokin, Y. I. 1993. Coral Reef Ecology. First Edition. Springer, Berlin
Suharsono. 2010. Buku Petunjuk Bagi Pengajar Pelatihan Metodologi Penilaian
Terumbu Karang. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Thamrin. 2006. Karang, Biologi Reproduksi dan Ekologi. Minamandiri Pres, Riau.
Veron, J. E. N. 1986. Corals of Australia and the Indo-Pacific. Angus and Robertson
Publishers, Australia.
Veron, J. E. N. 1995. Corals in Space and Time. The Biogeography and Evolution of
Scleractinian. UNSW Press, Sydney, Australia
VERON, J.E.N. 2000. Coral of the world. Australian Institute of Marine Science,
PMB 3, Townsville MC, Qld 4810 Australia. Vol. 1 : 463 pp.
Viehman, T.S, and Richardson, L.L. 2002. Motility patterns of Beggiatoa and
Phormidium corallyticum in black band disease. In Prosiding 9th Int.Coral
Reef Symp, Bali 2:1251–1255
Willis, B.L., Page, C.A., Dinsdale, E, A. 2004. Coral Disease on the Great Barrier
Reef In Rosenberg E, Loya Y (eds) Coral Disease and Health. 69-104.
Australia: James Cook University.

Anda mungkin juga menyukai