Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNIK PEMBENIHAN IKAN


PEMIJAHAN IKAN LELE MUTIARA ( Clarias gariepinus )
SECARA ALAMI INDUCED SPWANING DAN BREEDING

Disusun oleh :

Nama : Fatricia Nanda Ferdila


Nim : 3202008029
Kelas : 3B-BDP

JURUSAN ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN


PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERIKANAN
POLITEKNIK NEGERI PONTIANAK
SEMESTER GENAP
2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


ikan lele (Clarias Batrachus) merupakan salah satu komonitas unggulan.
Pengembangan usahanya dapat dilakukan mulai dari benih sampai ukuran
konsumsi. Budidaya ikan lele sudah banyak dilakukan oleh masyarakat. Ikan
lele sudah sejak lama menjadi salah satu komoditas perikanan yang sangat
populer di kalangan masyarakat. sepopuleran ikan lele tidak hanya di dalam
negeri saja masyarakat Indonesia mulai memperkenalkan komoditar tersebut
pada masyarakat tersebut. kebutuhan masyarakat pada ikan lele mengalami
peningkatan. Seiring dengan hal tersebut budidaya ikan lele mengalami
peningkatan dan banyak diminati masyarakat. "karena budidaya ikan lele yang
mudah dan tidak membutuhkan perlakuan khusus seperti ikan lain. Serta
memiliki tata niaga yang mudah, pula memberikan keuntungan yang besar.
Budi daya ikan lele yang mudah dan memiliki keuntungan besar banyak
diminati para pengusaha agribisnis.

1.2. Tujuan
Adapun tujuan dalam melakukan praktikum ini sebagai berikut :
1. Mahasiswa dapat mengetahui Teknik pemijahan ikan lele Mutiara secara
alami
2. Mahasiswa dapat mengetahui perbedaan jenis kelamin jantan dan betina
yang terdapat induk ikan lele
3. Mahasiswa dapat mengetahui Langkah-langkah yang baik untuk
melakukan pemijahan ikan lele

1.3. Manfaat
Adapun manfaat dari kegiatan praktek lapangan ini yaitu untuk menambah
wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa tentang kegiatan Teknik
pemijahan alami pada ikan lele.
1.4. Waktu Dan Tempat
Praktikum Teknik pembenihan ikan ( TPI ) tentang pemijahan ikan lele
Mutiara secara alami induced spawning 16 november 2021 sampai dengan 23
januari 2022 diworkshop baru digedung ilmu kelautan dan perikanan
politeknik negeri Pontianak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Lele Mutiara ( Clarias gariepinus )


Ikan lele adalah ikan yang hidup di perairan umum dan merupakan ikan
yang bernilai ekonomis serta disukai oleh masyarakat. Ikan lele bersifat
nocturnal, yaitu aktif mencari makanan pada malam hari. Ikan lele memiliki
berbagai kelebihan, diantaranya adalah pertumbuhannya cepat, memiliki
kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, rasanya enak dan
kandungan gizinya cukup tinggi (Suyanto 2006 )

2.1.1 Klasifikasi ikan lele Mutiara ( Clarias Gariepinus )


Klasifikasi ikan lele menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Metazoa
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Kelas : Pisces
Sub Kelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub Ordo : Siluroidea
Famili : Clariidae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias gariepinus

2.1.2 Morfologi Ikan Lele Mutiara ( Clarias Gariepinus )


Ikan lele Mutiara memiliki tubuh sama dengan ikan lele pada umumnya
yaitu memeiliki bentuk tubuh menyerupai belut, memiliki badan silinder
memanjang dengan sirip punggung dan anal yang Panjang. Kepalanya gepeng
melonjong, tersusun atas tulang tengkorak untuk membentuk pelindung
kepala. Kulit diselimuti oleh lendir yang licin dan mempunyai warna hitam
pekat. (Khairuman dan Amri, 2009), menyatakan bahwa ikan lele memiliki
tiga buah sirip tunggal yaitu sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur yang
memudahkan ikan lele berenang. Mempunyai sirip berpasangan yaitu sirip
dada dan sirip perut. Sirip dada dilengkapi dengan sirip keras dan runcing
yaitu disebut dengan patil yang berguna sebagai senjata dan alat bantu gerak.

2.1.3 Habitat dan Perilaku


Habitat atau lingkungan hidup ikan lele adalah semua perairan tawar,
meliputi sungai dengan aliran yang tidak terlalu deras atau perairan yang
tenang seperti waduk, danau, telaga, rawa dan genangan air seperti kolam.
Ikan lele tahan hidup di perairan yang mengandung sedikit oksigen dan relatif
tahan terhadap pencemaran bahan- bahan organik. Ikan lele dapat hidup
normal dilingkungan yang memiliki kandungan oksigen terlarut 4 ppm dan air
yang ideal mempunyai kadar karbondioksida kurang dari 2ppm, namun
pertumbuhan dan perkembangan ikan lele akan cepat dan sehat jika dipelihara
dari sumber air yang cukup bersih, seperti sungai, mata air, saluran irigasi
ataupun air sumur (Suyanto, 2006). Ikan lele dapat hidup baik di dataran
rendah sampai dengan perbukitan yang tidak terlalu tinggi, misalnya di daerah
pegunungan dengan ketinggian diatas 700 m. Ikan lele jarang menampakkan
aktivitasnya pada siang hari dan lebih menyukai tempat-tempat yang gelap,
agak dalam dan teduh. Hal ini bisa dimengerti karena lele adalah binatang
nokturnal yang mempunyai kecenderungan beraktivitas dan mencari makan
pada malam hari. Pada siang hari lele lebih suka berdiam atau berlindung
ditempat-tempat yang gelap. Akan tetapi, pada kolam pemeliharaan, terutama
budidaya secara intensif, lele dapat dibiasakan diberi pakan pelet pada pagi
atau siang hari walaupun nafsu makannya tetap lebih tinggi jika diberikan
pada malam hari.
2.1.4 Kebiasaan makan
ikan lele digolongkan sebagai ikan karnivora. Pakan alami yang baik untuk
benih ikan lele adalah jenis zooplankton diantaranya Moina, Dapnia, dan yang
termasuk dapnia adalah cacing, larva (jentik-jentik serangga), siput-siput kecil
dan sebagainya. Pakan alami biasanya digunakan untuk pemberian pakan lele
pada fase larva sampai benih, akan tetapi kan lele biasanya mencari makan di
dasar kolam (Suyanto, 2006). Ikan lele dapat memakan segala macam
makanan. Pakan alami ikan lele adalah jasad renik yang hidup di lumpur dasar
maupun di dalam air, antara lain cacing, jentik-jentik lainnya nyamuk,
serangga, anak-anak siput, kutu air (zooplankton). Selain itu, lele juga dapat
memakan kotoran atau bahkan apa saja yang ada dalam air (Murhananto,
2002).

2.1.5 Kualitas Air


Menurut Bramasta (2009) bahwa dalam pemeliharaan di kolam, ikan lele tidak
memerlukan kualitas air yang jernih atau mengalir seperti ikan ikan
lainnya.Meskipun demikian, para ahli perikanan menyebutkan syarat dari
kualitas air, baik secara kimia maupun fisika yang harus dipenuhi jika ingin
sukses membudidayakan lele. Kualitas air yang dianggap baik untuk
kehidupan lele tersebut sebagai berikut. Suhu air optimum dalam
pemeliharaan ikan lele secara intensif adalah 25–30 oC. suhu untuk
pertumbuhan benih ikan lele sangkuriang 26 –30oC.
2.2 Pemijahan Alami
2.2.1 Seleksi Calon Induk
Langkah pertama untuk pemijahan ikan lele secara alami adalah dengan
memilih induk betina dan jantan yang sudah matang gonad. Pilih sepasang ikan
lele yang memiliki bobot seimbang, tujuannya agar salah satu induk tidak
ketakutan terhadap induk lainnya. Keseimbangan bobot sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan pemijahan.
Sebelum proses pemijahan ikan lele dilakukan, siapkan terlebih dahulu
kolam tempat memijah. Kolam yang ideal untuk pemijahan adalah panjang 2-3
meter, lebar 1-2 meter dan kedalaman 1 meter. Sebaiknya dasar kolam terbuat dari
semen atau fiberglass agar mudah mengawasi telur hasil pembuahan. Sebelumnya
kolam harus dikeringkan dan dijemur, kemudian diisi air sedalam 30-40 cm.
Gunakan air yang berkualitas baik, bersih dan jernih.
Pasang kakaban, bisa dibuat dengan ijuk yang dijepit dengan bambu
seukuran area kolam. Gunakan pemberat agar kakaban tersebut tenggelam tidak
mengapung di atas permukaan air. Kakaban berfungsi agar telur hasil pemijahan
tidak berhamburan dan mudah dipindahkan. Buatlah kakaban sekokoh mungkin
agar tidak berantakan oleh indukan yang aktif. Air untuk pemijahan ikan lele
harus kaya oksigen, oleh karena itu berikan aerasi pada kolam pemijahan. Atau,
apabila tersedia sumber air yang cukup buatkan aliran masuk dan keluar. Atur
debit air sebanyak 2-3 liter per detik.
Waktu yang tepat untuk memasukan indukan kedalam kolam pemijahan
adalah sore hari. Biasanya ikan lele akan memijah sekitar pukul 23.00 hingga
pukul 05.00. Selama proses pemijahan ikan lele kolam harus ditutup, untuk
mencegah induk ikan loncat keluar kolam. Pada pagi hari, biasanya proses
pemijahan sudah selesai. Telur akan menempel pada kakaban. Telur yang berhasil
dibuahi berwarna transparan sedangkan yang gagal berwarna putih susu.
Setelah proses pemijahan selesai, segera angkat induk dari kolam
pemijahan ikan lele. Hal ini untuk menghindari telur disantap oleh induk ikan,
karena setelah memijah induk ikan betina akan merasa lapar. Selanjutnya telur
yang telah dibuahi ditetaskan. Penetasan bisa dilakukan di kolam pemijahan
ataupun di tempat lain seperti akuarium, fiberglass atau kolam terpal. Selama
proses penetasan suplai oksigen (aerasi) harus dipertahankan dan suhu distabilkan
pada kisaran 28-29oC.
Telur yang telah dibuahi akan menetas dalam 24 jam menjadi larva.
Setelah itu segera pisahkan telur yang gagal atau larva yang mati untuk mencegah
tumbuhnya jamur. Larva yang menetas akan bertahan tanpa pemberian makanan
tambahan selama 3-4 hari. Selanjutnya lakukan proses pemesaran larva.
2.2.2 Pemeliharaan Induk
Pemeliharaan induk lele sangkuriang dapat dipelihara dalam kolam atau
bak berukuran agak besar (3 x 4 x 1 m3), sedangkan kepadatannya adalah 5
kg/m2. Induk ikan lele sangkuriang juga dapat dipelihara dalam bak secara
terpisah (jantan dan betina per generasi) dan diberi pakan dengan kandungan
protein 3%, sebanyak 4% dari biomassa/hari dengan frekuensi pemberian pakan
dua kali sehari yaitu pada pukul 08.00 dan pukul 17.00 (Bramasta, 2009).
Dalam pembesaran ikan lele sangkuriang ini dapat diberikan dedak yang
dicampur dengan ikan rucah dengan perbandingan 9:1, atau dapat pula diberikan
bekatul, jagung dan cincangan bekicot dengan perbandingan 2:1:1, berat atau
jumlah makanan yang diberikan berkisar antara 5 – 10 % per hari dari berat total
ikan yang dipelihara (Nurhidayat, dkk., 2004).
Menurut Bramasta (2009) bahwa suhu air optimal dalam pemeliharaan ikan
lele sangkuriang adalah 25 – 30 0C. Suhu di luar batas tersebut tentu akan
mengurangi selera makan ikan lele sangkuriang. Untuk mendapatkan suhu itu,
kolam perlu ditutup dengan tanaman air, dengan demikian air dalam kolam tidak
terkena sinar matahari secara langsung.

2.2 .3 Pemberokan
Pemberokan induk betina dilakukan dalam bak seluas 4 – 6m2 dan tinggi
1m, pemberokan bertujuan untuk membuang kotoran dalam usus pencernaan dan
mengurangi kandungan lemak dalam gonad. Setelah proses pemberokan selesai,
kematangan gonad induk diperiksa kembali. Induce breeding (kawin suntik)
adalah salah satu usaha untuk memproduksi benih ikan secara optimal yang tidak
tergantung pada musim. Disamping itu, metoda ini dapat digunakan untuk
memproduksi benih dari induk yang tidak mau memijah secara alami (Bramasta,
2009).

2.3 Reproduksi Ikan Lele


Reproduksi merupakan kemampuan indivudu untuk menghasilkan keturunan
sebagai upaya untuk melestarikan jenisnya atau kelompoknya. Ikan memiliki ukuran dan
jumlah telur yang berbeda, tergantung tingkah laku dan habitatnya. Sebagian ikan
memiliki jumlah telur banyak, namun ukurannya kecil, sehingga sintasan rendah.
Sebaliknya ikan memiliki telur sedikit, ukurannya besar. Kegiatan reproduksi pada setiap
jenis hewan air berbeda-beda, tergantung kondisi lingkungnya (Fujaya, 2004).

Reproduksi pada ikan dikontrol oleh kelenjar pituitari yaitu kelenjar hipotalamus,
hipofisis – gonad, hal tersebut dipengaruhi oleh adanya pengaruh dari lingkungan yaitu
temperatur, cahaya, cuaca yang diterima oleh reseptor dan kemudian diteruskan ke sistem
syaraf kemudian hipotalamus melepaskan hormon gonad yang merangsang kelenjar
hipofisa serta mengontrol perkembangan dan kematangan gonad dalam pemijahan
(Sumantadinata, 1981).

 Ikan lele juga dapat memijah sewaktu-waktu sepanjang tahun, apabila keadaan
air kolam sering berganti. Pemijahan juga di pengaruhi oleh makanan yang diberikan.
Makanan yang bermutu baik akan meningkatkan vitalitas ikan sehingga ikan lele lebih
sering memijah.

Apabila telah dewasa, lele betina akan membentuk telur di dalam indung
telurnya. Sedangkan lele jantan membentuk sperma atau mani. Bila telur-telurnya telah
berkembang maksimum yaitu mencapai tingkat yang matang untuk siap dibuahi maka
secara alamiah ikan lele akan memijah atau kawin.

Perkembangan telur dan sperma berlangsung di dalam tubuh lele dengan


mekanisme pengaturan oleh zat yang disebut hormone kelamin gonadotropin atau gonade
stimulating hormone (GSH). Bila lele mencapai tingkat dewasa, hormone gonadotropin
secara alami akan terbentuk di dalam kelenjar hipofisa yang terletak di bawah otak kecil.
Awalnya hormone gonadotropin yang terbentuk sedikit kemudian dialirkan melalui darah
ke dalam indung telur, sehingga terbentuklah telur-telur yang semakin besar dan banyak
jumlahnya di dalam indung telur.

Sampai suatu saat telur-telur menjadi matang untuk dibuahi oleh sperma
(fertilisasi). Namun kematangan telur yang terjadi dalam indung telur belum tentu segera
diikuti oleh kemauan induk untuk memijah sehingga diperlukan rangsangan yaitu dengan
mengubah iklim atau sifat-sifat air yang dapat membei rangsangan bagi lele untuk
membentuk hormone gonadotropin lebih banyak lagi.

Perkembangan muakhir untuk merangsang pemijahan ikan lele saat ini dapat
menggunakan hormone buatan atau hormone sintetis yang telah banyak diproduksi.
Beberapa jenis hormone tersebut antara lain Ovaprim, HCG, LHRH. Persyaratan
penggunaan hormone sintetis adalah induk lele hsrus sudah mengandung telur yang siap
untuk memijah (matang gonad).

Karakteristik induk lele jantan dan lele betina

Lele jantan Lele betina


Kepalanya lebih kecil Kepalanya lebih besar
Warna kulit dada agak tua Warna kulit dada agak terang.
Urogenital papilla (kelamin) agak Urogenital papilla (kelamin) berbentuk
menonjol, memanjang ke arah belakang, oval (bulat daun), berwarna kemerahan,
terletak di belakang anus, dan warna lubangnya agak lebar dan terletak di
kemerahan. belakang anus.
Gerakannya lincah, tulang kepala pendek Gerakannya lambat, tulang kepala pendek
dan agak gepeng (depress) dan agak cembung.
Perutnya lebih langsing dan kenyal Perutnya lebih gembung dan lunak.
Bila bagian perut di stripping secara Bila bagian perut di stripping secara
manual dari perut ke arah ekor akan manual dari bagian perut ke arah ekor
mengeluarkan cairan putih kental akan mengeluarkan cairan kekuning-
(sperma) kuningan (ovum/telur).
Kulit lebih halus Kulit lebih kasar
Tabel 1. Karakteristik induk lele jantan dan lele betina

2.4 Hormon Yang Berperan Dalam Pemijahan Alami


Menurut Harvey dan Hoar (1979) dan Harvey dan Carolsfeld (1993),
dalam proses reproduksi, ikan dapat memijah karena adanya rangsangan hormon
yaitu LH (Luteinizing Hormone) yang diproduksi dan dilepas oleh kelenjar
hipofisa (pituitary gland) dan estrogen yang dihasilkan oleh sel-sel teca dari
folikel. Pelepasan hormon LH dan estrogen dalam pemijahan ikan ini disebabkan
oleh adanya pelepasan hormon GnRH (Gonadotropin Releasing Hormone) dalam
hal ini LHRH (Luteininzing Hormone Releasing Hormone) dari hypothalamus.
Pelepasan GnRH dari hypothalamus disebabkan adanya perintah dari Central
Nervous Syatem (otak), akibat dari CNS menerima rangsangan dari luar atau
lingkungan air sekitarnya. Oleh sebab itu, kepastian ikan akan dapat memijah
sangat tergantung kepada kesesuaian atau kecocokan kondisi lingkungan air
dimana ikan tersebut dipijahkan atau dikawinkan. Jadi kalau kondisi lingkungan
air tidak cocok atau sesuai dengan kebutuhannya, maka ikan tersebut tidak akan
dapat memijah. Untuk lebih jelasnya bagaimana mekanisme kerja antara faktor
lingkungan, hypothalamus, hipofisa, gonad (ovarium), sehingga terjadi ovulasi
dan pemijahan
Menurut Cook (1990) dalam Darwisito (2002), ada beberapa hormon yang
terlibat dalam pengaturan reproduksi atau pemijahan ikan. Hormon-hormon
tersebut dihasilkan oleh kelenjar hipothalamus, hipofisa dan gonad. Adapun
hormon-hormon tersebut adalah :

1. Hormon Gonadotropin
Kelenjar hipofisis anterior menghasilkan dua macam hormon yaitu Lutein
Hormon (LH) dan Folikel Stimulating Hormon (FSH). Bila testis dirangsang oleh
LH dari kelenjar hipofisis, maka sekresi testosteron selama kehidupan fetus
penting untuk peningkatan pembentukan organ seks pria.
LH disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. LH berfungsi menstimulasi
sel-sel Leydig untuk mensekresi testoteron. FSH juga disekresi oleh sel-sel
kelenjar hipofisis anterior dan berfungsi menstimulasi sel-sel sertoli. Tanpa
stimulasi ini, pengubahan spermatid menjadi sperma tidak akan terjadi.
Perubahan spermatogenesis menjadi spermatosit dalam tubulus seminiferus
dirangsang oleh FSH. Namun, FSH tidak dapat menyelesaikan pembentukan
spermatozoa. Oleh karena itu, testosteron disekresikan secara serentak oleh sel
intertisial yang berdifusi menuju tubulus seminiferus. Testosteron diperlukan
untuk proses pematangan akhir spermatozoa.
2. Hormon Estrogen
Estrogen (alami) diproduksi terutama oleh sel-sel teka internal folikel di
ovarium secara primer, dan dalam jumlah lebih sedikit juga diproduksi di kelenjar
adrenal mrlalui konfersi hormone androgen. Pada pria diproduksi juga sebagian di
testis. Selama kehamilan, diproduksi juga oleh plasenta. Berfungsi stimulasi
pertumbuhan dan perkembangan (proliferasi) pada berbagai organ reproduksi
wanita. Estrogen berfungsi untuk merangsang sekresi hormon LH.
Pada uterus: menyebabkan proliferasi endometrium. Pada serviks:
menyebabkan pelunakan serviks dan pengentalan lendir serviks pada vagina :
menyebabkan proliferasi epitel vagina. Pada payudara : menstimulasi
pertumbuhan payudara, juga mengatur distribusi lemak tubuh. Pada tulang,
estrogen juga menstimulasi osteoblas sehingga memicu pertumbuhan / generasi
tulang. Pada wanita pascamenopouse, untuk pencegahan tulang kropos/
osteoporosis, dapat diberikan terapi hormone estrogen (sintetik) pengganti.
Hormon estrogen berfungsi mengendalikan perkembangan ciri seksual &
sistem reproduksi wanita, saat pembentukan kelamin sekunder wanita, seperti
bahu mulai berisi, tumbuhnya payudara, pinggul menjadi lebar, dan rambut mulai
tumbuh di ketiak dan kemaluan. Di samping itu, hormon enstrogen juga
membantu dalam pembentukan lapisan endometrium.
3. Hormon Steroid
Salah satu teknik reversal adalah dengan memberikan hormon steroid pada
fase labil kelamin. Pada beberapa spesies ikan teleost gonochoristic, fisiologo
kelamin dapat dengan mudah dimanipulasi melalui pemberian hormone steroid
(piferrer et al. 1994). Nagy et al. (1981) menjelaskan bahwa keberhasilan
manipulasi kelamin pada ikan menggunakan hormn dipengaruhi oleh beberapa
factor antara lain : jenis dan umur ikan, dosis hormon, lama waktu, dan cara
pemberian hormon serta lingkungan tempat pemberian hormon dilakukan
Ditekankan oleh Hunter dan Donaldson (1983), bahwa keberhasilan
pemberian hormone sangat tergantung pada interval waktu perkembangan gonad,
yaitu pada saat gonad dalam keadaan labil sehingga mudah dipengaruhi oleh
hormon. Hormon steroid yang dihasilkan oleh jaringan steroidogenik pada gonad
terdiri atas hormone androgen untuk maskulinasi, esterogen untuk feminisasi dan
progestin yang berhubungan dengan proses kehamilan (Hadley 1992).
Namun pada tahap perkembangan gonad belum terdeferensiasi menjadi
jantan atau betina, hormone steroid belum terbentuk sehingga pembentukan gonad
dapat diarahkan dengan menggunakan hormone steroid sintetik (Hunter &
Donaldson 1983).

3.1 induced breeding

1. Persiapan Media
Pada saat persiapan media terlebih dahulu bak dibersihkan dengan cara
menyikat kotoran yang menempel pada dinding dan dasar bak. Setelah bak
dibersihkan kemudian dilakukan pengeringan bak. Selanjutnya dilakukan
pengisian air dengan ketinggian 50 cm dari dasar bak. Hal ini sesuai dengan
pendapat Adrizal (2002) bahwa sebelum bak budidaya digunakan, bak dicuci
bersih agar kotoran-kotoran dan lumut yang menempel terlepas dan dasar bak
menjadi bersih sehingga benih lele terhindar dari serangan penyakit. Kemudian
bak diisi dengan air bersih setinggi 30-40 cm (Warisno dan Dahana, 2009).
Pemasangan happa dengan cara mengikat pada keempat sudutnya ke kayu
yang terdapat disudut bak. Kemudian pemasangan oksigenasi dan sirkulasi air
harus berjalan lancar untuk penetasan telur. Hal ini sesuai dengan pendapat
Soetomo (2003) bahwa pemasangan happa dengan cara mengikat keempat
sudutnya pada tiang bak. Happa berukuran 2x1 m. Happa dipasang aerator untuk
menyuplai oksigen agar penetasan telur sempurna (Mahyuddin, 2008).
2. Seleksi Induk
Tujuan seleksi induk adalah untuk mengetahui kematangan gonad. Induk
yang diseleksi harus benar-benar unggul. Hal ini sesuai pendapat Darseno (2008)
bahwa kriterianya antara lain induk harus sehat atau tidak cacat, pertumbuhan
baik, umur minimum satu tahun dan bobot minimum per ekor sekitar 1kg. Ciri-
ciri induk lele betina yang matang gonad adalah pergerakan lambat, perut
membesar dan terasa lembek, warna tubuh gelap. Sedangkan untuk induk lele
jantan adalah pergerakan lincah, perut ramping, warna tubuh mengkilat
(Bramasta, 2009).
Selanjutnya seleksi induk secara kuantitatif dengan cara penimbangan dan
pengukuran induk betina dan jantan ikan lele dumbo. Induk betina memiliki berat
700 gram dengan panjang 17,5 cm sedangkan induk jantan memiliki berat 400
gram dengan panjang 41 cm. Hal ini sesuai dengan pendapat Sunarma (2004)
bahwa persyaratan reproduksi ikan lele antara lain umur minimal 1 tahun, berat
0,7-1 kg dan panjang 25-30 cm (betina) sedangkan umur minimal 1 tahun, berat
0,5-0,75 kg dan panjang 30-35 cm (jantan).
3. Pemberokan
Pada tahap pemberokan diperoleh melalui pengamtan dan melakukan
langsung kegiatan pemberokan. Pengumpulan data tersebut meliputi jumlah induk
jantan dan betina yang diberok yaitu tergantung dari induk yang akan dipijahkan,
wadah yang digunakan adalah bak fiber berbentuk bulat. Induk betina secara
keseluruhan memiliki berat 4,4 kg sebanyak 10 ekor sedangkan jantan memiliki
berat 2,6 kg sebanyak 5 ekor.
Pemberokan bertujuan untuk mengeluarkan kotoran agar mengetahui
matang gonad induk ikan lele. Selama proses pemberokan induk jantan dan betina
dipisahkan agar tidak memijah secara liar. Proses pemberokan dilakukan selama
1-2 hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Hernowo (2003) bahwa pemberokan
adalah memuasakan induk selama 12-24 jam dengan tujuan agar kotoran(feses)
keluar dan sekaligus meyakinkan hasil seleksi induk betina. Pemberokan induk
jantan dan betina dilakukan pada wadah terpisah (Mahyuddin, 2008).
4. Penyuntikan Ovaprim+Nacl dengan Dosis 0,5 mL
Penyuntikan ovaprim dengan dosis 0,3 mL dicampur dengan Nacl 0,9%
sebanyak 0,2 mL. Penyuntikan dengan penyampuran Nacl bertujuan
mengencerkan ovaprim. Hal ini sesuai dengan pendapat Gusrina (2008) bahwa
tujuan pemberian Nacl agar larutan lebih encer sehingga mudah untuk
disuntikkan. Ovaprim yaitu proses pematangan gonad di mana sGnRH analog
dan antidopamin yang terkandung dalam ovaprim berperan merangsang hipofisa
untuk melepas gonadotropin, pada kondisi alamiah sekresi gonadotropin
dihambat oleh dopamin, bila dopamin di halang dengan antagonisya maka
peranan dopamin akan berhenti sehingga sekresi gonadotropin akan meningkat
(Azlia, 2010).
Penyuntikan hormon ovaprim sintetik berada di sebelah kiri sirip punggung
pada ikan. Penyuntikan hormon ovaprim sintetik terletak pada otot sirip punggung
ikan dengan kemiringan 450. Teknik penyuntikan yang dilakukan sesuai
dengan pendapat Khairuman dan Amri (2009), bahwa penyuntikan dilakukan
pada punggung induk ikan ( secara intramuscular) dengan kemiringan 45o ke arah
kepala. Yang terpenting adalah bahwa jumlah hormon yang diinjeksikan
mencapai gonad, melalui aliran darah, untuk memacu proses ovulasi (Harvey dan
Carolsfeld, 1993).
Penyuntikan ovaprim dilakukan pada malam hari yaitu pada jam 21.05
WIT. Efektivitas kerja ovaprim setelah disuntikkan pada ikan berkisar 7-8 jam.
Hal ini sesuai dengan pendapat Prihartono et al (2000) bahwa penyuntikan
dilakukan malam hari agar streeping dapat dilakukan pada pagi hari. Hal ini
bertujuan agar hasil streeping maksimal sehingga tingkat stress relative kecil dan
mempermudah mengamati ovulasi.
5. Inkubasi Induk Betina
Setelah dilakukan penyuntikan, induk betina dimasukkan kembali ke dalam
bak inkubasi. Inkubasi induk betina dilakukan selama 10-12 jam. Hal ini sesuai
dengan pendapat Effendi (2004) bahwa bila menggunakan ovaprim dosisnya 0,3
mL/kg per induk sebelum di streeping induk jantan dan induk betina pada
pemijahan ini harus dipisahkan. Setelah (10-12) jam dari penyuntikan, induk
betina siap di streeping.
6. Proses Pemijahan dengan sex ratio (1:1)
Menurut Sunarma (2004), pemijahan ikan lele dumbo dapat dilakukan
dengan tiga cara yaitu: pemijahan alami (natural spawning), pemijahan semi
alami (induced spawning), dan pemijahan buatan (induced breeding). Pemijahan
buatan dilakukan dengan cara merangsang induk betina dengan penyuntikan
hormon perangsang kemudian dipijahkan secara buatan. Pada pemijahan buatan,
induk betina dan jantan yang digunakan adalah dengan perbandingan 1 : 1(telur
dari 1 kg induk betina dapat dibuahi dengan sperma dari jantan 1 kg).
a) Pengambilan Kantung Sperma dari Induk Jantan
Langkah pertama pengambilan sperma yaitu menangkap induk jantan
kemudian induk tersebut diletakkan di sterofom pembedahan dimulai dari anus
hingga belakang insang dan dipotong secara vertikal tepat di belakang tutup
insang sehingga ikan terpisah antara badan dan kepala. Hal ini sesuai dengan
pendapat Hernowo dan Susanto (2008) bahwa pengambilan kantung sperma
dengan cara pembedahan pada induk jantan yang dimulai dari anus dengan
diagonal “Y”.
Kantung sperma berjumlah 2 buah dibersihkan dari darah menggunakan
tissue. Kantung sperma digunting dan diencerkan dengan menggunakan Nacl
sebanyak 50 mL. Kemudian aduk menggunakan spoiled hingga cairan sperma
berwarna putih keruh. Cairan sperma hanya dapat digunakan dengan jangka waktu
2 menit. Hal ini sesuai dengan pendapat Gusrina (2008) bahwa sperma yang telah
dihaluskan hanya dapat bertahan kurang lebih 1 menit dan cairan berwarna putih
keruh.
b) Streeping/Pengurutan Telur
Setelah 24 jam dari penyuntikan dan cairan sperma sudah siap maka
dilakukan streeping. Sebelum induk betina di streeping, ditenangkan terlebih
dahulu kemudian bagian kepalanya di bungkus dengan kain sambil memegang
bagian ekor hal ini dilakukan untuk mempermudah proses streeping dan agar
induk tidak stres.
Streeping dilakukan dengan cara mengurut perut dari arah kepala ke arah
lubang genital sampai telur habis di streeping. Pada saat menstreeping usahakan
agar tangan licin agar perut tidak mengalami luka. Hal ini sesuai dengan pendapat
Gilles et al., (2001) bahwa dalam proses streeping wadah harus benar-benar
kering. Waktu streeping yang tepat adalah saat telur keluar ketika dilakukan
pijatan lembut jangan sekali-kali dilakukan pijatan yang kuat atau dipaksakan.
Kemudian lakukan penghitungan fekunditas dengan cara berat induk betina
sebelum dikurangi berat setelah di streeping sehingga 760 gram – 600 gram
adalah 160 gram butir telur. Telur yang dihasilkan berwarna hijau muda. Dan telur
yang terdapat dalam wadah sempat terkena sinar matahari.
c) Pencampuran Telur dengan Sperma
Pencampuran dengan cara diaduk menggunakan bulu ayam. Pembuahan
dilakukan dengan cara sperma yang telah bercampur dengan telur dibilas dan
dicuci dengan air. Tujuannya untuk membuang sisa sperma yang tidak terpakai.
Hal ini sesuai dengan pendapat Margolang (2008), setelah telur dan sperma
dicampur dengan NaCL diaduk secara perlahan dengan menggunakan bulu
ayam. Proses pembuahan ini berlangsung cepat karena sperma hanya aktif
bergerak dan bertahan hidup lebih kurang satu menit setelah terkena air.
Setelah itu, telur ditebar secara merata pada happa hindari telur yang
menumpuk. Kepadatan telur ikan lele dumbo adalah 6 cm/butir. Kemudian pasang
aerasi dan usahakan suhu hangat agar telur cepat menetas. Penebaran telur
dilakukan di dalam happa berukuran (2x1x0,2)m3 yang dipasang pada bak fiber
persegi panjang berukuran (4x2x0,8)m3 yang telah diisi air setinggi 50 cm
(Susanto, 1999).
9. Penetasan Telur
Penetasan telur dilakukan pada happa penetasan yang sudah terpasang pada
bak. Cara penebaran telur yaitu telur diambil dengan bulu ayam lalu disebarkan ke
seluruh permukaan happa hingga merata. Telur akan menetas selama 24-36 jam
setelah pembuahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Najiyati (2003) bahwa telur
menetas menjadi larva setelah 24-36 jam, larva yang baru menetas akan bergerak
di dasar kolam atau melayang.
Kecepatan penetasan telur dipengaruhi oleh suhu. Apabila suhu air cukup
hangat (26-280C) telur akan menetas lebih cepat. Telur yang tidak menetas akan
mengapung pada permukaan bak. Hal ini sesuai dengan pendapat Riflanto (1999)
bahwa telur akan menetas antara 20-57 jam setelah terjadi pembuahan dengan
derajat penetasan antara 25-350C. Warna telur yang tidak menetas berwarna
kuning pucat dan mengambang di permukaan (Warisno dan Dahana, 2009).
10. Pemeliharaan Larva
Larva yang baru menetas tidak perlu diberi makan sebab masih memiliki
kuning telur (yolk sack) sebagai cadangan makanan. Setelah empat hari kuning
telur akan habis, maka pertama-tama larva diberi pakan alami berupa tubifex
(cacing sutera). Pemberian pakan alami berlangsung selama sekitar 21 hari.
Pemberian pakan harus merata. Hal ini sesuai dengan pendapat Mahyuddin (2008)
larva yang baru menetas tidak perlu diberi pakan karena masih mempunyai kuning
telur (yolk sack) sebagai cadangan makan yang akan habis pada umur 3-4 hari.
Pada hari -15, larva mulai diberi pakan pabrik atau pellet bubuk (pakan formula)
(Darseno, 2008). Umumnya pemeliharaan larva dilakukan selama 5 hari dengan
benih berukuran 0,7-1,0 cm dengan berat 0,002 gram (Sunarma, 2004).

10. Monitoring Pertumbuhan


a) Kualitas air
Pada bak praktik data kualitas air yang diperoleh yaitu suhu: 29,10C, pH:
7,76, salinitas: 1,06 ppt, DO: 06,38 mg/L, dan TDS: 1397. Pengukuran kualitas air
menggunakan aquaread. Hasil pengamatan kualitas air penetasan dan
pemeliharaan larva sesuai dengan SNI : 01-6484.4-2000 bahwa suhu berkisar
antara 25 – 300C, pH berkisar antara 6,5-8,5, Do >3ppm, debit air: 0,5 L/detik,
tinggi air berkisar antara 25-40cm dan kecerahan berkisar antara 40-80 cm.
b) Perkembangan Telur
Setelah terjadi fertilisasi dilakukan pengamatan pada telur dengan
menggunakan mikroskop. Pengamatan dilakukan ketika telur dan sperma
tercampur dan 5 jam setelah pembuahan. Hasil yang didapat pada saat fertilisasi
terdapat bagian inti dan membrane sel yang disebut fase persiapan pembelahan
(cleavage) dan pembentukan 2 lapisan sel yang pada bagian intinya telah matang
disebut stadia morula (Susanto, 1999).
BAB III
METODOLOGI

4.1 Alat Dan Bahan


Alat-alat dan perlengkapan yang digunakan :

 Timbangan ikan Jarum suntik


 Ember - Meteran
 Bak penetasan - jaring
 Baskom - Sterofom
 Penggaris

Bahan yang digunakan :

 Sodium Chlorid 1,5%


 Ovaprim
 Indukan ikan lele yang telah matang gonad ( jantan & betina )

Cara kerja :
1. Sebelum pelaksanaan kegiatan pemijahan siapkan semua keperluan
peralatan dan bahan yang akan digunakan
2. Lakukan seleksi atau pengecekan tingkat kematangan gonad pada induk
yang akan dipijahkan
3. Pisahkan induk yang sudah diseleksi pada bak pemberokan untuk
dipuaskan minimal sehari sebelum pemijahan
4. Lakukan penimbangan terhadap induk yang akan dipijahkan. Usahakan
perbandingan berat induk jantan dan betina 1 : 1 atau menyesuaikan.
5. Lakukan penyuntikan terhadap induk ikan dengan doses ovaprime 0,3 -0,5
ml/kg untuk mempercepat pematangan gonad.setelah disuntik induk jantan
dan betina disatukan dalam bak pemijahan.
6. Ikan akan berpijah sekitar 6 – 12 jam setelah penyuntikan,lakukan
pengamatan terhadap setiap perubahan yang terjadi pada fisik dan aktivitas
induk
7. Setelah pemijahan selesai, keluarkan dari bak pemijahan dan lakukan
perawatan terhadap induk
8. Telur akan menetas sekitar 18 sampai 48 jam
9. Setelah dipastikan larva.larva dapat diberikan pakan setelah habis kuning
telurnya
10. Selama pemeliharaan,larva diberikan pakan sesuai dengan kebutuhan
lakukan penyiponan dan pengontrolan kualitas air minimal satu hari.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Bramasta. 2009. Teknik Pemijahan Ikan Lele Sangkuriang.
http://hobiikan.blogspot.com/2009/01/teknik-pemijahan-lelesangkuriang.html.
(diakses 20 maret 2016) 1 : 1 kolom.

Khairuman dan K. Amri. 2009. Peluang Usaha dan Teknik Budidaya lele
Mutiara . PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Murhananto. 2002. Pembesaran Lele Dumbo Dipekarangan. Jakarta : Penerbit
Agro Media.
Suyanto, S.R. 2006. Budidaya Ikan Lele. Jakarta : Penebar Swadaya.
Schneider, O., V. Sereti, M.A.M. Machiels, E. H. Eding, and J.A.J.
Verreth. 2006. The potential of producing heterotrophic bacteria biomass
aquaculture
waste. Water Research, 40: 2684 – 2694.
Saanin, 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Volume I dan II. Bina
Rupa Aksara. Jakarta
Suyanto, S.R. 2006. Budidaya Ikan Lele. Jakarta : Penebar Swadaya.
Schneider, O., V. Sereti, M.A.M. Machiels, E. H. Eding, and J.A.J.
Verreth. 2006. The potential of producing heterotrophic bacteria biomass
on aquaculture waste. Water Research, 40: 2684 – 2694. Styckney RR.,
1979.
Chen, D. 2001. Biotechnologies For Improving Metabolism and Groeth A
Review. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 14 (12): 1794 – 1802 p.

Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan.Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.

Fujaya, Y. 2004. Fisiologi Ikan Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Cetakan


pertama. Rineka Putra. Jakarta.

Effendie MI. 1997. Metode Biologi Perikanan. Bogor (ID): Yayasan Dewi.

Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. 163 hal

Rottmann, R.W., J.V. Shireman, and F.A. Chapman. 1991. Introduction to


Hormon-Induced Spawning of Fish. SRAC Publication 421
Handoyo,B.,D.Day, C.Harimurti, Solaiman.2005. Decline in Fertilization and
Hatching Rates of Green Catfish (Mystus nemurus) after Ovulation.
Freshwater Aquaculture Development Center. Jambi.
Harvey., B. J. 1993. Cryopreservation Of Sarotherodon Mossambicus
Spermatozoa. Aquacultur, 32: 313-320

Hoar, W. S. And Nagahama.1978. the celluler source of sex steroids in teleost


gonads. Ann. Biol. Anim. Bioch. Biophys., 18(4):893-898

Kordi, Ghufran KM. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan.
Jakarta (ID): PT Rineka Cipta.

Nasrudin, 2010. Jurus Sukses Beternak Lele Sangkuriang. Penebar Swadaya.


Jakarta. 150 hal. Pratiwi R.D., 2014., Aplikasi affective
Microorganisme Untuk Pertumbuhan Ikan Lele Sangkuriang. Jurusan

Alamsjah, Z. dan M.F. Rahardjo. 1977. Penuntun Untuk Identifikasi Ikan.


Departemen Biologi Perairan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Adrizal, O. 2002. Aplikasi Program Linear untuk Menganalisis Pemanfaatan
Salvina monela. Erlangga. Jakarta.
Azila, D, R, A. 2010. Pengaruh Penyuntikan Dosis Ovaprim Terhadap
Ovulasi dan Penetasan Telur Ikan Pantau (Rasbora aurotaenia).
Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau.
Pekanbaru. 32 Hal.
Bond, C.E. 1979. Biology of Fishes. W.B. Saunders Company, Philadelphia.
Darseno. 2008. Meraup Untung Dari Budidaya Ikan Lele. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Perikanan Budidaya Indonesia.
Jakarta.
Djatmika, D.H., Farlina, Sugiharti, E. 1986. Usaha Budidaya Ikan Lele. C.V.
Simplex. Jakarta.
Djoko. 2006. Fisiologi Ikan Lele Dumbo. Erlangga. Jakarta.
Effendi, I. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta.
Gilles, S., R. Dugué dan J. Slembrouck. 2001. Manuel de productiond’alevins du
silure africain, Heterobranchus longifilis. Le technician d’agriculture
tropicale, ed. IRD, Maisonneuve et Larose, Paris. 128 p.
Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Untuk SMK. Diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2008.
Harvey, B. dan J. Carolsfeld. 1993. Induced breeding in tropical fish culture.
Ottawa, Canada, IDCR. 144 p.
Hermawan, I. 2008. Cara Budidaya Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus).
Kanisius. Yogyakarta.
Hernowo dan S. R. Suyanto. 2004. Pembenihan dan Pembesaran Lele di
Pekarangan, Sawah dan Longyam. Penebar Swadaya. Jakarta. 85 Hal.
________ . 2008. Pembenihan dan Pembesaran Ikan Lele. Kanisius. Yogyakarta.
Khairuman dan Amri. 2009. Budidaya Lele Dumbo Secara Intensif. Agro Media
Pustaka. Jakarta.
Kuswiyanto. 2008. Budidaya Lele Sangkuriang. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Lagler, K. F, Amry, K, dan Adhiwinata. 1977. Ichtyologhy. New York. 560 p.
Lukito, A. M. 2002. Lele Ikan Berkumis Paling Populer. Agro Media Pustaka.
Jakarta.
Mahyuddin. 2008. Panduan Lengkap Agribisnis Lele. Penebar Swadaya. Jakarta.
Margolang, A. 2008. Pembesaran Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di
Kolam Terpal. Kanisius. Yogyakarta.
Najiyati, S. 2003. Memelihara Lele Dumbo di Kolam Taman. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Prihartono, E.R, Rasidik, J, dan Arie U. 2000. Mengatasi Permasalahan
Budidaya Ikan Lele Dumbo. Penebar Swadaya. Jakarta.
Santoso. 1994. Petunjuk Praktis Budidaya Ikan Lele Dumbo dan Lokal. Kanisius.
Yogyakarta.
Soetomo. 2003. Teknik Budidaya ikan Lele Dumbo. Sinar Baru Algensindo.
Jakarta.
SNI 01-6484.1-2000. Induk Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus x C. fuscus)
Kelas Benih Sebar. Badan Standar Nasional Indonesia.
Sunarma, A. 2004. Peningkatan Produktifitas Usaha Lele Sangkuriang (Clarias
sp.). Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya. Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi. Sukabumi. Hal.1-6.
Susanto, H. 1999. Budidaya Ikan Lele. Penebar Swadaya. Jakarta.
Ubah S.A., M.A. Orgunbodede dan S. Mailafia. 2011. Selection of Brood stocks
and management of finger lings of Clarias Gariepinus Under Dark and
Light Environment. Journal of Agriculture and Veterinary Sciences. Vol. 3.
March 2011.
Warisno dan K. Dahana. 2009. Meraup Untung Dari Berternak Lele
Sangkuriang. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta.
biologi. Fakultas sains dan Teknologi. Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah. Jakarta. Hal : 6-7,22

Saanin, 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Volume I dan II. Bina Rupa
Aksara. Jakarta

Sinjal, H.J. 2007. Kajian Penampilan Reproduksi Ikan Lele (Clarias gariepinus)
Betina melalui Penambahan Ascrobyl Phosphate Magnesium sebagai
Sumber Vitamin C dan Implantasi Estradiol 17β. Tesis program
pascasarjana. IPB. 7- 21 hal.

Wartono., 2011,. Karya Ilmiah Budidaya ikan Lele. jurusan Teknik Informatika,.
Stimik Amikom Yogakarta,

Anda mungkin juga menyukai