Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ikan lele merupakan salah satu komoditas perikanan yang paling banyak
dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia. Karena kandungan gizi yang cukup
tinggi. Dalam usaha budidaya ikan lele,perlu dilakukan pemilihan metode
pemeliharaan yang disesuaikan dengan kondisi permodalan ,fasilitas dan teknik
budidaya yang akan dilakukan serta ditangani secara profesional baik mulai dari
pemilihan bibit, pembesaran dan sampai ikan siap dipasarkan.
Sistem budidaya yang diaplikasikan selama ini adalah sistem autotrof yang
mempunyai keterbatasan dalam mempunyai keterbatasan dalam memanfaatkan
limbah budidaya terutama dalam bentuk Total Ammonia Nitrogen (TAN) baik
oleh fitoplankton maupun oleh bakteri nitrifikasi. Oleh karena itu diperlukan suatu
sistem yang lebih efisien dalam memanfaatkan limbah budidaya. Sistem
heterotrof adalah salah satu aplikasi yang diharapkan mampu mengatasi
permasalahan efisiensi pakan yang rendah dengan memanfaatkan bakteri
heterotrof untuk mengonversi nitrogen anorganik menjadi nitrogen organik dalam
bentuk biomassa bakteri sebagai pakan tambahan bagi ikan lele. Salah satu
penerapan sistem heterotrof adalah dengan menggunakan sistem bioflok
Bioflok berasal dari kata bios yang berarti kehidupan dan flok yang berarti
gumpalan. Bioflok merupakan campuran heterogen dari mikroba (bakteri,
plankton, fungi, protozoa) , partikel ,koloid, polimen organik, dan kation yang
saling berinteraksi cukup baik dalam air(Azim et al.,2007; De Schryver et
al.,2008)
Di dalam pembesaran ikan lele dengan sistem bioflok kiranya perlu
dilakukan usaha pemijahan salah satu kegiatan yang dapat dilakukan adalah
dengan cara pemijahan lele sangkuriang ( Clarias sp ).

1.2 Tujuan Prakerin


Adapun tujuan Pelaksanan Praktek Kerja Industri di Balai Perikanan
Budidaya Air Tawar(BPBAT) Mandiangin yaitu :
1. Untuk mengetahui teknik pembessaran ikan lele di bak bundar dengan
sistem bioflok
2. Melatih keterampilan dan kemakmuran siswa untuk memasuki lapangan
kerja di bidang perikanan
3. Memberikan pengalaman kerja langsung (real) kepada peserta didik
dalam rangka menanamkan (internalize) iklim kerja positif yang
berorientasi pada peduli mutu proses dan hasil kerja.
1.3 Manfaat Prakerin
Adapun Manfaat yang dapat diperoleh dari Praktek Kerja Industri adalah
Memperoleh wawasan dan pengetahuan tentang dunia perikanan khususnya
pembesaran ikan lele di bak bundar dengan sistem bioflok.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Dan Morfologi Ikan Lele


2.1.1 Klasifikasi Ikan Lele
Klasifikasi ikan lele sangkuriang (Clarias gariepinus) menurut Kordi, (2010)
adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Kelas : Pisces
Subkelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Subordo : Siluroidae
Famili : Claridae
Genus : Clarias
Spesies : Clarias gariepinus
2.1.2 Morfologi Ikan Lele
Sebagaimana halnya ikan lele, lele sangkuriang (Clarias gariepinus)
memiliki ciri-ciri identik dengan lele dumbo sehingga sulit untuk dibedakan.
Secara umum, ikan lele sangkuriang dikenal sebagai ikan berkumis atau
catfish.Tubuh ikan lele sangkuriang ini berlendir dan tidak bersisik serta memiliki
mulut yang relatif lebar yakni ¼ dari panjang total tubuhnya. Ciri khas dari lele
sangkuriang adalah adanya empat pasang sungut yang terletak di sekitar
mulutnya. Keempat pasang sungut tersebut terdiri dari dua pasang sungut maxiral/
rahang atas dan dua pasang sungut mandibula/rahang bawah (Lukito, 2002).
Fungsi sungut bawah adalah sebagai alat peraba ketika berenang dan sebagai
sensor ketika mencari makan. Sirip lele sangkuriang terdiri atas lima bagian
yaitusirip dada, sirip perut, sirip dubur, sirip ekor, dan sirip punggung. Sirip dada
lele sangkuriang dilengkapi dengan patil (sirip yang keras) yang berfungsi untuk
alat pertahanan diri (Lukito, 2002).
Menurut Djoko (2006) ikan lele sangkuriang mempunyai bentuk badan yang
berbeda dengan jenis ikan lainya. Seperti ikan mas, gurami dan tawes. Alat
pernafasan lele sangkuriang berupa insang yang berukuran kecil sehingga lele
sangkuriang sering mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan oksigen.
Ikan lele sangkuriang mengalami kesulitan dan memenuhi kebutuhan oksigen,
akibatnya lele sangkuriang sering mengambil oksigen dengan muncul ke
permukaan. Alat pernafasan tambahan terletak di rongga insang bagian atas, alat
berwarna kemerahan penuh kapiler darah dan mempunyai tujuk pohon rimbun
yang biasa disebut “arborescent organ”.
Untuk memudahkan berenang, lele sangkuriang (Clarias gariepinus var)
dilengkapi sirip tunggal dan sirip berpasangan. Sirip tunggal adalah sirip
punggung dan sirip ekor . Sedangkan sirip berpasangan adalah sirip perut dan
sirip dada. Sirip dada yang keras disebut patil (Khairuman dan Amri, 2009)

2.2 Kualitas Air


Menurut Bramasta (2009) bahwa dalam pemeliharaan di kolam, lele
sangkuriang tidak memerlukan kualitas air yang jernih atau mengalir seperti
ikanikan lainnya. Meskipun demikian, para ahli perikanan menyebutkan syarat
dari kualitas air, baik secara kimia maupun fisika yang harus dipenuhi jika ingin
sukses membudidayakan lele.
Kualitas air yang dianggap baik untuk kehidupan lele sangkuriang tersebut
sebagai berikut. Suhu air optimum dalam pemeliharaan ikan lele sangkuriang
secara intensif adalah 25 – 30 oC. suhu untuk pertumbuhan benih ikan lele
sangkuriang 26 – 30oC (Himawan, 2008).
Umumnya ikan lele hidup normal di lingkungan yang memiliki kandungan
oksigen terlarut 4 mg/l. Sering kandungan oksigen berubah secara mendadak,
misalnya akibat penguraian bahan organik. Keasaman atau pH yang baik bagi lele
sangkuriang adalah 6,5 – 9, pH yang kurang dari 5 sangat buruk bagi lele
sangkuriang, karena bisa menyebabkan penggumpalan lendir pada insang,
sedangkan pH 9 ke atas akan menyebabkan berkurangnya nafsu makan lele
sangkuriang (Himawan, 2008).

2.3 Habitat
Habitat atau lingkungan hidup lele sangkuriang adalah air tawar, meskipun
air yang terbaik untuk memelihara lele sangkuriang adalah air sungai, air saluran
irigasi, air tanah dari mata air, maupun air sumur, tetapi lele sangkuriang relatif
tahan terhadap kondisi air yang menurut ukuran kehidupan ikan dinilai kurang
baik. Lele sangkuriang juga dapat hidup dengan padat penebaran tinggi maupun
dalam kolam yang kadar oksigennya rendah, karena ikan lele sangkuriang
mempunyai alat pernapasan tambahan yang disebut arborescent yang
memungkinkan lele sangkuriang mengambil oksigen langsung dari udara untuk
pernapasan (Himawan, 2008).
Djoko (2006), faktor-faktor yang berhubungan dengan lingkungan hidup
ikan senantiasa harus dijaga dan faktor tersebut antara lain adalah: suhu berkisar
antara 24 – 300C, pH 6,5 – 7,5, oksigen terlarut 5 – 6 mg/l. Dengan kondisi
perairan tersebut di atas ikan lele dapat hidup dengan baik mengenai kepesatan
tubuhnya maupun kemampuan dalam menghasilkan benih ikan.

2.4 Pakan dan Kebiasaan Makan


Menurut Mahyudin (2008), ikan lele Sangkuriang termasuk dalam golongan
pemakan segala, tetapi cenderung pemakan daging (karnivora). Ikan lele
Sangkuriang merupakan jenis ikan yang memiliki kebiasaan makan di dasar
perairan atau kolam (bottom feeder).
Ikan lele Sangkuriang seperti ikan lele lainnya bersifat nokturnal, yaitu
mempunyai kecenderungan beraktivitas dan mencari makan pada malam hari
tetapi dalam usaha budidaya akan beradaptasi (diurnal). Pada siang hari lele lebih
suka berdiam atau berlindung di bagian perairan yang gelap. Pada kolam
pemeliharaan, terutama pada budidaya intensif, lele dapat dibiasakan diberi pakan
pelet pada pagi hari atau siang hari, walaupun nafsu makannya tetap lebih tinggi
jika diberikan pada malam hari (Puslitbang Perikanan 1992). Ikan lele
Sangkuriang tahan hidup di perairan yang mengandung sedikit oksigen dan relatif
tahan terhadap pencemaran bahan-bahan organik (Mahyudin, 2008).
Menurut Kordi (2010) bahwa ikan lele sangkuriang termasuk ikan pemakan
segala bahan makanan (omnivor), baik bahan hewani maupun nabati. Pakan alami
10 lele sangkuriang adalah binatang-binatang renik, seperti kutu air dari kelompok
Daphnia, Cladocera, atau Copepoda.
Sementara itu, lele sangkuriang juga memakan larva jentik nyamuk,
serangga atau siput-siput kecil. Meskipun demikian, jika telah dibudidayakan
misalnya dipelihara di kolam lele dapat memakan pakan buatan seperti pellet,
limbah peternakan ayam, dan limbah-limbah peternakan lainnya (Himawan,
2008).
Menurut Lukito (2002) bahwa pakan buatan pabrik dalam bentuk pellet
sangat digemari induk lele, tetapi harga pellet relatif mahal sehingga
penggunaannya harus diperhitungkan agar tidak rugi. Lele sangkuriang dapat
memakan segala macam makanan, tetapi pada dasarnya bersifat karnivora
(pemakan daging), maka pertumbuhannya akan lebih pesat bila diberi pakan yang
mengandung protein hewani dari pada diberi pakan dari bahan nabati.
2.5 Budidaya Ikan Lele Sistem Bioflock
Secara umum pengertian bioflok adalah kumpulan dari berbagai
organisme baik bakteri, jamur, protozoa, maupun algae yang tergabung dalam
sebuah gumpalan (floc). Bioflok berasal dari kata “BIOS” yang berarti
kehidupan dan “FLOC” yang artinya gumpalan. Pada awalnya teknologi
bioflok merupakan teknologi pengolahan limbah berupa lumpur aktif yang
melibatkan aktifitas mikroorganisme. 
Dalam penerapan pengolahan limbah, bahan organik berupa limbah
lumpur harus terus diaduk dan diaerasi. Tujuannya adalah agar limbah selalu
dalam kondisi tersuspensi sehingga dapat diuraikan oleh bakteri heterotrof
secara aerobik menjadi senyawa anorganik.
Keharusan pengadukan dalam teknologi pengolahan limbah ini
dikarenakan jika bahan organik mengendap, maka akan terjadi kondisi yang
anaerob dimana bakteri anaerob terangsang untuk mengurai bahan organik
menjadi senyawa yang lebih sederhana dan bersifat racun (ammonia, nitrit,
H2S, dan metana).
Dalam perkembangannya konsep teknologi bioflok tersebut diadopsi
untuk kegiatan akuakultur.  Awalnya konsep ini diterapkan dalam budidaya
nila secara intensif di Thailand, kemudian berlanjut pada usaha budidaya
udang. Seiring berjalannya waktu teknologi ini juga sudah diadopsi untuk
budidaya lele dengan wadah kolam bundar.
Bahwa permasalahan utama dalam kegiatan budidaya, khususnya yang
dilakukan secara intensif adalah tingginya kandungan amonia yang bersifat
racun bagi ikan. Hal ini terjadi karena sisa pakan dan hasil metabolisme ikan
yang mengendap di dalam kolam yang secara langsung maupun tidak langsung
merupakan sumber amonia yang bersifat racun bagi ikan.
Konsep teknologi bioflok dalam akuakultur adalah untuk mendaur ulang
senyawa nitrogen anorganik (amonia yang bersifat racun) menjadi protein sel
mikroba yang dapat dimakan oleh hewan pemakan detritus seperti nila, udang
dan juga lele.
Prosesnya, bahan organik dalam kolam diaerasi agar teraduk dalam
kolom air sehingga dapat merangsang bakteri heterotrof aerobik menempel
pada partikel organik tersebut, mengurainya menjadi bahan organik, dan
menyerap mineral beracun seperti amonia, fosfat dan nitrit. Hasilnya, kualitas
air menjadi lebih baik dan bahan organik didaur ulang menjadi detritus.
Mengembangkan dan menjaga keberadaan bakteri  yang
menguntungkan dalam kolam merupakan kunci sukses teknologi bioflok.
Bakteri yang menguntungkan harus dijaga dominasinya di dalam kolam
sehingga akan menekan pertumbuhan bakteri patogen yang dapat
menyebabkan peyakit pada ikan. Disisi lain, jika kumpulan bakteri yang
menguntung tersebut dapat membentuk gumpalam flok yang banyak, akan
berperan dalam merobak limbah nitrogen secara efisien.
Dengan demikian secara konseptual teknologi bioflok jika
dikembangkan dengan benar akan sangat menguntungkan bagi para
pembudidaya dibandingkan dengan teknologi budidaya konvensional yang
selama ini telah lama berkembang.
Teknologi bioflok terbukti lebih stabil daripada sistem yang budidaya
yang didominasi oleh plankton (konvensional) karena tidak tergantung pada
sinar matahari. Dalam teknologi bioflok, penggunaan air juga akan lebih
sedikit karena hanya menambahkan saja jika terjadi penguapan.

2.5.1 Fungsi Bioflok Dalam Media Budidaya


Secara rinci dapat dijelaskan bahwa bioflok yang tersusun dari berbagai
macan mikroorganisme yang ada di dalam kolom air mempunyai fungsi
sebagai berikut:
 Mengurai bahan organik dan menghilangkan senyawa beracun (Bakteri
yang membentuk flok dapat mengurai bahan organik yang berasal dari
sisa pakan dan feces didalam kolam. Dengan kondisi aerob, bahan
organik tersebut diurai menjadi mineral anorganik sedangkan amonia
akan disintesis menjadi protein sel dan sebagian lagi dioksidasi oleh
bakteri Nitrosomonas menjadi nitrit dan kemudian dirubah menjadi
nitrat oleh bakteri Nitrobakter.)
 Menstabilkan kualitas air (Dalam penerapan teknologi bioflok, ciri
umum keberhasilannya adalah tercapainya kondisi pH yang stabil dan
sedikit lebih rendah dari pH normal, dengan fluktuasi harian kurang
dari 0,5. Seperti diketahu bahwa pengaruh amonia akan berkurang jika
kondisi pH lebih rendah dari normal. Kondisi ini membuat air menjadi
stabil sehingga dapat mengurangi stres pada ikan.)
 Mengubah amonia menjadi protein sel yang diperkaya karbohidrat
(Salah satu jenis bakteri yang harus ada dalam sistem bioflok adalah
bakteri Bacillus megaterium. Hal ini patut menjadi cacatan bagi para
pembudidaya yang hendak menerapkan teknologi bioflok. Untuk itu
upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan inokulan
probiotik yang dijual dipasaran. Pemanfaatan amonia oleh bakteri
heterotrof aerobik adalah cara yang paling jitu dalam pengendalian
amonia, karena bakteri heterotrof memiliki waktu pembelahan yang
sangat cepat dalam hitungan jam. Jika dibandingkan  dengan bakteri
nitrifikasi yang memerlukan waktu hingga 3 hari dalam membelah diri,
maka penggunaan bakteri heterotrof akan sangat lebih efisien.)
 Menekan organisme pathogen (Kehadiran bioflok yang terdiri dari
berbagai bakteri nonpatogen dapat menekan pertumbuhan bakteri
patogen yang merugikan. Hal ini dikarenakan ada beberapa jenis bakteri
yang mengeluarkan antibiotik atau senyawa asam organik yang bersifat
menekan bakteri merugikan dalam media budidaya.Bila bioflok
dimakan oleh ikan maka senyawa biopolimer (PHA) yang terdapat
dalam gumpalan bioflok akan diuraikan oleh enzim pencernaan menjadi
asam alkanoat yang dapat menekan bakteri merugikan didalam usus,
sehingga peran bioflok juga sangat penting dalam menjaga kesehatan
pencernaan ikan.)
 Sebagai makanan tambahan bagi ikan (Berkaitan dengan penggunaan
pakan pabrikan yang semakin mahal, untuk mengurangi FCR bioflok
diharapkan mampu menjadi makanan tambahan bagi ikan karena
mengandung nutrisi yang baik dengan kadar protein yang tinggi.)
2.5.2 Proses Pembentukan Bioflok
Mikroba penyusun bioflok terdiri dari bakteri, jamur, mikroalga,
dan zooplankton. Komposisi pembentuk flok sangat tergatung oleh
masukan bahan organik, bakteri, dan alga yang menyusunnya. Keberadaan
flok juga sangat dipengaruhi oleh perubahan nutrisi dan perubahan
lingkungan.
Proses pembentukan bioflok dimulai dari akumulasi bahan organik
yang ada di dalam kolom air. Dengan tidak melakukan penggantian air dan
melakukan pengadukan bahan organik secara terus-menerus maka bioflok
akan berkembang. Penambahan input karbon sebagai sumber energi akan
mempercepat perkembangan mikroba dan membentuk flokulasi. Seiring
dengan perkembangan jumlah bakteri, maka perkembangan plankton akan
terhambat karena terbatasnya orthopospat.
Dominasi bakteri akan terjadi di dalam kolam dan dapat membentuk
flok apabila terjadi qourum sensing. Bakteri-bakteri dengan molekul yang
sama akan saling berikatan membentuk flok. Penambahan kapur/ dolomit
yang mengandung kation divalent (Ca dan Mg) akan mempercepat proses
pembentukan flok.
Ukuran flok tergantung pada usia budidaya dan lama bioflok sejak
mulai terbentuk. Semakin lama usia budidaya maka akan semakin besar
ukuran flok. Semakin besar ukuran flok maka akan semakin menambah
luas permukaanya pada kolam sehingga akan semakin efektif dalam
mengurai bahan organik menjadi mineral anorganik.
2.5.3 Kondisi Yang Mendukung Pembentukan Flok
Syarat utama pembetukan flok adalah adanya bahan organik yang
cukup. Bioflok akan terbentuk dengan baik apabila Total Organik Karbon
telah mencapai 100 ppm. Pada umumnya, pada awal budidaya akan
diawali dengan sistem plankton. Semakin bertambahnya umur budidaya
dimana pemberian pakan sudah mulai banyak, maka bahan organik sisa
pakan dan feces akan semakin banyak dan hal ini akan mendukung bakteri
untuk berkembang dan membentuk flok dalam kolam.Pergeseran
perkembangan populasi bakteri terhadap plankton biasanya dapat dilihat
dari banyaknya busa dipermukaan air. Pada budidaya lele, umumnya
perubahan dominasi plankton menjadi bakteri akan terjadi sekitar 3-5
minggu.Adapun kondisi yang mendukung pembentukan Flock diantaranya
adalah :
 C/N Rasio
Perkembangan bakteri heterotrof sangat tergantung oleh nilai C/N
rasio. Agar perkembangan bakteri heterotrof pembentuk flok optimum,
maka nilai C/N rasio harus berada pada kisaran antara 15-20. Untuk
memenuhi nilai C/N rasio yang sesuai maka perlu penambahan bahan-
bahan sumber karbon, seperti molasses, tepung, atau gula ke dalam air
atau dicampurkan dengan pakan.Nilai C/N rasio dalam perairan harus
dijaga agar tidak kurang dari 12, karena pada kondisi dimana C/N rasio
kurang dari 12,  bakteri heterotrof akan memanfaatkan N organik sebagai
sumber N. Berbeda jika nila C/N rasio diatas 12 maka bakteri heterotrof
akan memanfaatkan N anorganik sebagai sumber N.
 Aerasi dan Pengadukan
Aerasi berfungsi untuk menambah usplai oksige dalam air, dimana
oksigen sangat diperlukan oleh bakteri untuk mengurai bahan organik,
mengoksidasi amonia menjadi nitrit kemudian menjadi nitrat. Kondisi
yang cukup oksigen, bakteri akan mampu mengurai bahan organik secara
sempurna, sehingga tidak menghasilka bahan yang bersifat racun dan
membahayakan bagi ikan.Pengadukan berfungsi untuk mencegah bahan
organik dan flok mengendap di dasar kolam sehingga dalam kondisi
anaerobik. Dalam kondisi anaerobik, bakteri akan menggunakan sulfat
maupun nitrat untuk mengoksidasi bahan organik sehingga menghasilkan
gas-gas beracun (H2S, Nitrit, Amonia) yang sangat berbahaya bagi
kehidupan ikan.
 Suhu dan pH
Suhu berkaitan erat dengan proses metabolisme. Semakin tinggi
suhu maka akan semakin cepat proses metabolisme sel dari
mikroorganisme. Pada suhu rendah flok tidak dapat terbentuk. Semakin
tinggi suhu maka flok yang terbentuk akan semakin besar. Agar kestabilan
flok terjaga maka harus diusahakan suhu air pada kondisi sedang (20-25
0C).Kondisi pH akan berpengaruh terhadap kestabilan flok. Penambahan
bahan yang dapat nenaikkan atau menurunkan pH dapat membantu
kestabilan flok. pH akan berkaitan dengan nilai alkalinitas dan
konduktifitas.
 N/P Rasio
NIla N/P rasio yang rendah (kurang dari 10) akan menyebabkan
kondisi perairan didominasi oleh blue green algae dan dinoflagellata.
Sedangkan green algae dan diaton akan tertekan perkembangannya karena
keterbatasan N. Dalam teknologi bioflok nilai N/P rasio harus diusahakan
lebih tinggi dari 10 agar phospat dapat menjadi faktor pembatas yang akan
menghambat pertumbuhan alga dan diatom. Kondisi seperti ini akan
memberikan kesempatan kepada bakteri untuk berkembang, terutama dari
kelompok bakteri Bacillus

BAB III
KEGIATAN PRAKTIK

3.1 Waktu dan Tempat pelaksanaan


Prakek kerja industri dilaksanakan selama 4(empat) bulan yakni dari tanggal
15 Januari 2020 sampai dengan tanggal 30 oktober 2020 bertempat di Balai
Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Mandiangin, Kabupaten Banjar,
Provinsi Kalimantan Selatan.

3.2 Lokasi Balai


Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Mandiangin terletak di Jl, TAHURA
Sultan Adam Km.14. Mandiangin Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar,
Provinsi Kalimantan Selatan kode pos : 70661 Telpon/Fax 05114780756.
Secara geografis, Balai Perikanan Air Tawar (BPBAT) Mandiangin terletak
pada kaki dalam deretan pegunungan meratus yang membentang dari selatan
hingga diwilayah Utara Provinsi Kalimantan Timur.
Sejarah BPBAT Mandiangin dimulai dengan terbentuknya lokal budidaya
air tawar berdasarkan surat keputusan materi pertanian
No.346/kpls/OT.210/1994. Dengan beban tugas dan tanggung jawab yang
semakin meningkat maka sejak tanggal 12 Januari 2006 status lokal budidaya
air tawar Mandiangin sebagai salah satu Unit Pelaksanaan Teknis (UPT)
direktorat Jendral Perikanan budidaya, mempunyai peran yang sangat strategis
dalam mendukung industrialisasi perikanan budidaya. Mempunyai wilayah
kerja meliputi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat dan Bali.
Balai Perikanan Budidaya Air Tawar Mandiangin terdiri dari satu lokasi
utama dan empat instalasi pengembangan yaitu :
1. Lokasi utama seluas 10 Ha yang terletak di Desa Mandiangin,
Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar.
2. Instalasi Budidaya di Bincau seluas 3.442 Ha, Kecamatan Martapura,
Kabupaten Banjar yang berjarak 10 km dari Mandiangin.
3. Instalasi Awang Bangkal (mempunyai keramba) sebanyak 60 unit
yang terletak di Desa Awang Bangkal, Kecamatan Karang Intan
berjarak 5 km dari Mandiangin.
4. Instalasi Budidaya Ikan Gambut (IBILAGA) Pulang Pisau seluas
kurang lebih 26,415 ha berada di Desa Garung, Kecamatan Jabiren
Raya, Kabupaten Pulang Pisau.

Anda mungkin juga menyukai