Anda di halaman 1dari 27

Biosecurity didefinisikan sebagai suatu perangkat aturan, perlengkapan atau peralatan yang

sangat penting untuk melakukan pencegahan, pengendalian dan pemberantasan  penyakit infeksi
yang bisa menyebabkan kerugian besar secara ekonomi (Zavala, 1999).

Biosecurity didefinisikan sebagai suatu kemampuan untuk mencegah kerugian-kerugian yang


ditimbulkan oleh penyakit melalui pemberantasan patogen penyebab penyakit beserta carriernya
(Maria Haws et. al., 2001) .

Pentingnya menerapkan Biosecurity pada kegiatan perikanan adalah :


 Adanya bakteri patogen dan bakteri yang merugikan di lingkungan/perairan
 Kondisi lingkungan terus berubah

 Food  Safety  bagi konsumen


 Mencegah kerugian secara ekonomi akibat kegagalan panen

Apabila kita mengabaikan penerapan Biosecurity maka berbagai penyakit akan muncul, sebagai
contoh :
1. Virus IHHNV ((Infectious Hypodermal and Haematopoietic Necrosis Virus)

Udang yang terkena Virus IHHNV


2. Taura Syndrome Virus

Udang yang terkena Taura Syndrome Virus


3. White Spot Syndrome Virus (WSSV)
Udang yang terkena WSSV
4. Infectious Myonecrosis Virus (IMNV)

Udang yang terkena IMNV


5. White Fesces

Kotoran udang menjadi putih akibat penyakit White Fesces


Penular penyakit ini dapat melalui udara, darat dan air. adapun yang berpotensi menyebarkan
penyakit pada kegiatan perikanan diantaranya Manusia, Hewan, Peralatan, Kondisi Alam, dan
Sistem.
A. Manusia
Mobilitas manusia sangat tinggi, bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Manusia merupakan
carrier penyakit yang paling berbahaya. Oleh karena itu, semua yang terlibat dalam kegiatan budidaya
baik langsung maupun tidak langsung, harus memperoleh informasi yang lengkap dan jelas mengenai
biosecurity.

Aktivitas manusia yang tinggi di kolam meningkatkan penyebaran penyakit


Penerapan Biosecurity pada manusia :
1. Alas kaki dilepas dan diganti dengan perlengkapan khusus ketika memasuki daerah sensitif.
Penggantian alas kaki

2. Menggunakan pakaian khusus bila memasuki fasilitas sensitif

Pakaian khusus
3. Peralatan tidak steril tidak boleh berada di tambak

Sandal tidak boleh naik ke jembatan anco dan pematang tambak


 
B. Hewan
Hewan bisa masuk ke kawasan budidaya melalui :
 Darat : kepiting, kodok, ular, ayam, kambing, bebek, angsa, unggas liar dan hewan liar
lainnya.
 Air : ikan liar, udang liar, crustaceae kecil, kepiting, ular, serangga air.

 Udara : Burung, serangga, mikroorganisme yang terbawa angin atau aerosol.

Berbagai jenis hewan liar yang biasa masuk ke tambak


yang berpotensi menyebarkan penyakit
Penerapan Biosecurity untuk mencegah hewan liar masuk lahan budidaya:
1. Multiple Screening

Penerapapa Multiple Screening di Tambak


2. Crab Protecting Wall

Penerapan jaring pencegah kepiting


 3. Bird Scaring Line
Penerapan Bird Scaring Line di Tambak
C. Peralatan

Peralatan yang biasa digunakan di tambak


Setiap selesai menggunakan peralatan di tambak/lahan perikanan, peralatan tersebut harus dicuci
dan dikeringkan.

D. Kondisi Alam
1. Lokasi pertambakan di bawah garis pasang surut, sehingga air pasang bisa masuk ke tambak dan ada
potensi terjadi kontaminasi.

Air pasang tinggi bisa melimpas diatas tanggul tambak

2. Lokasi tambak berpasir, porous, sehingga bisa terjadi kontaminasi silang antar tambak atau
antara tambak dengan kanal distribusi.
E. Sistem
Sistem budidaya terbuka (Open System) lebih besar kemungkinan terjadi kontaminasi, baik
secara mikrobiologis maupun kimiawi. Carrier  bisa masuk ke dalam sistem melalui air.

Upaya Pencegahan kontaminasi penyakit :


1. Bak pencuci

Pembuatan bak pencuci sebelum masuk ke area tambak


2. Foot Bath dan Disinfectant

Penerapan Foot Bath dan Penyemprotan Disinfectant untuk mencegah kontaminasi bibit penyakit
http://anggrahinicitra.blogspot.com/2011/05/biosecurity-budidaya-perairan.html

BIOSECURITY BUDIDAYA PERAIRAN


A.    Biosecurity Budidaya Perairan.

1.      Devinisi Biosecurity

Biosecurity merupakan suatu tindakan yang dapat mengurangi resiko masuknya penyakit dan
penyebarannya dari suatu tempat ke tempat lainnya (Lotz, 1997). Biosecurity juga dapat diartikan
sebagai tindakan untuk mengeluarkan pathogen tertentu dari kultivan yang dibudidayakan di kolam
induk, pembenihan, maupun kolam pembesaran dari suatu wilayah atau negara dengan tujuan untuk
pencegahan penyakit (Lighner, 2003).

2.      Tujuan Biosecurity Pada Budidaya Perairan

Pembudidaya perairan di Indonesia melakukan biosecurity dengan berbagai macam tujuan, antara lain
yang umum dilakukan yaitu untuk:

a.       Memperkecil resiko hewan yang dibudidayakan terserang penyakit.

b.      Mendeteksi secara dini adanya wabah penyakit.

c.       Menekan kerugian yang lebih besar apabila terjadi kasus wabah penyakit.

d.      Efisiensi pada waktu, pakan, dan tenaga.

e.       Agar kualitas hewan yang dibudidayakan lebih terjamin.

B.     Penerapan Biosecurity Pada Kegiatan Budidaya Perairan

Penerapan biosecurity pada kegiatan budidaya perairan berbeda-beda tergantung pada  jenis hewan
yang dibudidayakan, serta tempat dilakukannya budidaya hewan tersebut. Di bawah ini terdapat contoh
penerapan biosecurity dari jenis kegiatan usaha budidaya lele sangkuriang berdasarkan pada panduan
Panen Lele 2,5 Bulan (Basahudin, 2009). Penerapan biosecurity pada budidaya lele sangkuriang
khususnya ditujukan pada dua hal, yaitu upaya pencegahan dan upaya pengobatan seperti dijelaskan
pada uraian di bawah ini:
1.      Upaya Pencegahan

Untuk mencegah masuknya wabah penyakit ke dalam kolam pembesaran lele atau mencegah
meluasnya wilayah yang terkena serangan penyakit dalam upaya mengurangi kerugian produksi akibat
timbulnya wabah penyakit. Beberapa tindakan upaya pencegahan antara lain melalui sanitasi kolam,
alat-alat, ikan yang dipelihara, serta lingkungan tempat pembesaran.

a.      Sanitasi Kolam

Sanitasi kolam dilaksanakan melalui pengeringan, penjemuran, dan pengapuran dengan kapur tohor
atau kapur pertanian sebanyak 50-100 gram/m 2 yang ditebar secara merata di permukaan tanah dasar
kolam dan sekeliling pematang kolam. Bahan lain yang bisa digunakan untuk sanitasi kolam di antaranya
methyline blue dengan dosis 20 ppm dan dibiarkan selama 2 jam. Kemudian kolam dimasuki air baru dan
ditebari ikan setelah kondisi air kembali normal.

b.      Sanitasi Perlengkapan dan Peralatan

Perlengkapan dan peralatan kerja sebaiknya selalu dalam keadaan suci hama. Caranya dengan
merendam peralatan dalam larutan PK atau larutan kaporit selama 30-60 menit. Pengunjung dari
luarpun sebaiknya tidak sembarangan memegnag atau mencelupkan bagian tubuh ke dalam media air
pemeliharaan sebelum disucihamakan.

c.       Sanitasi Ikan Tebaran

Benih lele sangkuriang yang akan ditebarkan sebaiknya selalu diperiksa dahulu. Bila menunjukkan gejala
kelainan atau sakit maka lele tersebut harus dikarantina terlebih dahulu untuk diobati. Benih lele
sangkuriang yang akan ditebar dan dianggap sehatpun sebaiknya disucihamakan terlebih dahulu
sebelum ditebar. Caranya dengan merendam benih dalam larutan methyline blue 20 ppm. Lama
perendaman masing-masing selama 10-15 menit. Bila sanitasi ikan tebaran akan menggukan obat-
obatan alam, dapat dilakukan dengan cara merendam benih lele sangkuriang dalam ekstrak cairan
sambiloto dengan dosis 25 ppm, ekstrak cairan rimpang kunyit dengan dosis 15 ppm, atau ekstrak cairan
daun dewa dengan dosis 25 ppm. Lama perendaman masing-masing selama 30-60 menit.
d.      Menjaga Lingkungan Tempat Pembesaran

Upaya lain perlindungan gangguan dari penyakit lele sangkuriang adalah dengan menjaga kondisi
lingkungan atau kondisi ekologis perairan. caranya, setiap kolam pembesaran lele sangkuriang
diusahakan mendapat air yang baru dan masih segar, telah melalui sistem filtrasi, dan bahan-bahan
organik seperti sampah sedapat mungkin dihindari masuk ke dalam kolam.

2.      Upaya Pengobatan

Tindakan penanggulangan penyakit ikan melalui pengobatan diupayakan agar lele sangkuriang sembuh
tanpa membahayakan keselamatannya karena keracunan obat. Untuk itu, perlu diketahui gejala-gejala
umum yang timbul, kemudian dilakukan diagnosis untuk menemukan faktor penyebabnya. Setelah itu
barulah ditentukan cara pengobatannya. Setelah secara pasti faktor penyebabnya diketahui, kemudian
ditentukan pula jenis obat yang akan digunakan serta dosisnya yang tepat sehingga tercapai efisiensi
penggunaan obat dan efektifitas pemberantasannya. Beberapa teknik pengobatan yang dianjurkan dan
biasanya diterapkan dalam mengobati ikan terinfeksi suatu penyakit antara lain pencelupan,
perendaman, usapan, dan pemberian obat melalui pakan.

a.      Pencelupan

Pencelupan adalah cara pengobatan dengan menggunakan obat-obatan alami atau bahan kimia pada
konsentrasi tinggi (ratus/ribuan ppm) dengan waktu pengobatan sangat pendek. Perlu kehati-hatian
dalam pengobatan melalui cara ini, terutama melihat kondisi ikan yang sakit. Bila kondisi ikan sudah
terlalu lemah sedangkan daya racun obat sangat tinggi maka ikan bisa mati. Cara pengobatan ini
dilakukan dengan menangkap lele sangkuriang yang terinfeksi menggunakan serok, kemudian lele
bersama serokannya dicelupkan kedalam larutan obat yang telah disiapkan selama 30-60 detik. Lele
yang telah diobati kemudian dipindahkan ke tempat penampungan sambil diberi aerasi dengan air
mengalir.

b.      Perendaman
Pengobatan melalui perendaman biasanya menggunakan larutan obat tertentu pada konsentrasi relatif
rendah. Waktu yang digunakan untuk perendaman cukup panjang yaitu sampai 24 jam. Pengobatan
dengan teknik perendaman ini dilakukan 3-5 kali berturut-turut selama 3-5 hari. Setiap kali selesai
mengobati, ikan dipindahkan ke tempat yang berisi air bersih sambil diberi pakan.

c.       Usapan/olesan

Pengobatan dengan cara ini dilakukan dengan mengoleskan obat tepat pada bagian yang luka.
Selanjutnya ikan yang sudah diobati dipindahkan kedalam air mengalir agar sisa obat yang beracun bagi
ikan cepat tercuci.

d.      Pemberian obat melalui pakan

Pengobatan ini terutama ditujukan bagi lele sangkuriang yang terinfeksi bakteri pada organ tubuh
bagian dalam. Obat yang akan digunakan dicampurkan ke dalam pakan ikan sesuai dosis yang
dianjurkan. Pakan yang telah dicampur obat diberikan kepada lele yang akan diobati sebanyak 2-3%
biomassa, diberikan 3 kali per hari.

C.    Jenis Penyakit Yang Menyerang Lele Sangkuriang

Terkait upaya biosecurity pada kegiatan budidaya lele sangkuring maka perlu diketahui jenis-jenis
penyakit yang biasanya menyerang lele sangkuriang. Hal ini perlu dilakukan karena tanpa mengetahui
dengan pasti jenis penyakit yang menyerang maka kita tidak dapat melakukan tindakan yang tepat
dalam upaya mencegah penyebaran penyakit tersebut lebih luas. Selain itu dengan mengetahui jenis
penyakit yang menyerang maka dapat ditentukan jenis obat yang tepat untuk mengobati lele
sangkuriang yang terinfeksi. Jenis-jenis penyakit yang biasanya menyerang lele sangkuriang digolongkan
menjadi 2 golongan yaitu zooparasite dan fitoparasit.

1.      Zooparasite.

Zooparasite merupakan parasit yang tergolong dalam dunia hewan (animal) diantaranya yaitu
cyclochaeta ( Trichodina sp.) dan bintik putih.
a.      Cyclochaeta ( Trichodina sp.)

Trichodina sp. berkembang biak dengan cara membelah diri. Selama hidupnya Trichodina sp. berada
dalam tubuh ikan. Pada bagian bawah Trichodina sp. terdapat mulut yang dilingkari suatu alat dari zat
kitin berjumlah 20-30 buah yang berfungsi sebagai alat untuk menempel pada tubuh, sebagai insang,
dan sebagai alat penghisap. Gejala infeksi pada lele sangkuriang yang terkena Trichodina sp. yaitu pada
bagian luar tubuh yang terkena infeksi menjadi berwarna pucat, banyak mengeluarkan lendir serta
mengalami pendarahan. Warna tubuh pucat dan tingkah laku yang tidak normal ditandai dengan
menurunnya ketahanan tubuh, terjadi penurunan berat badan, dan terjadi iritasi pada kulit. Upaya
pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan memelihara kondisi lingkungan, kolam didesinfektan
sebelum dilakukan penebaran ikan, jika memungkinkan Trichodina sp. harus di hambat agar tidak masuk
ke kolam, menjaga populasi lele sangkuriang seoptimal mungkin, serta pakan harus tersedia dalam
jumlah dan mutu yang cukup.

b.      Bintik putih (white spot)

Parasit ini sering dijumpai pada lele sangkuriang dan terlihat seperti bintik-bintik putih sehingga disebut
penyakit bintik putih (white spot). Bintik putih menyerang lele sangkuriang secara berkelompok,
membentuk koloni yang bersarang pada lapisan lender kulit, sirip, hingga lapisan insang. Gejala infeksi
pada lele sangkuriang yang terkena bintik putih yaitu mengeluarkan lendir, tubuhnya pucat,
pertumbuhannya lambat, terjadi iritasi, dan lele tampak menggosok-gosokkan tubuhnya ketepi kolam.
Pada lele sangkuriang yang terinfeksi lebih lanjut akan terlihat meloncat-loncat ke permukaan air, napsu
makan berkurang, terjadi perubahan warna, gerakan menjadi lambat, dan tidak responsive terhadap
rangsangan. Pengobatan penyakit bintik putih agak sulit dilakukan karena bintik putih hidup pada kulit
ikan lele sangkuriang dan terbungkus oleh selaput lendir ikan sehingga larutan obat tidak dapat meresap
dan mengenai parasit tanpa merusak selaput lendir ikan.

2.      Fitoparasit
Fitoparasit adalah jenis parasit yang tergolong dalam dunia tanaman (plant kingdom). Dari golongan
fitoparasit yang paling dikenal dan sering menyerang lele sangkuriang yaitu dari jenis jamur atau fungi.
Jamur atau fungi ini memiliki bentuk menyerupai benang-benang halus dan sangat berbahaya bagi benih
dan telur ikan. Gejala lele sangkuriang yang terkena infeksi jamur yaitu pada badan lele sangkuriang
terdapat benang-benang halus berwarna putih seperti kapas. Jika tidak segera ditangani maka semakin
lama lele menjadi kurus dan akhirnya mati karena jamur mampu menembus kulit bagian dalam terus
masuk ke jaringan otot bahkan sampai ke tulang. Sasaran penyakit jamur ini bukan saja benih atau ikan
dewasa, tetapi telur pun sangat mudah terinfeksi. Penyerangan terjadi terutama pada lele yang
sebelumnya sudah terjangkiti parasit lain atau mengalami luka fisik sehingga penyerangan jamur ini
merupakan infeksi sekunder/ infeksi kedua. Mewabahnya penyakit ini sering terjadi pada kondisi
lingkungan yang banyak mengandung bahan-bahan organik dan sedang terjadi pembusukan. Tindakan
pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:

-          Menghindari penanganan luka pda tubuh ikan pada saat panen atau penanganan pasca panen.

-          Memberikan obat antibiotik dengan dosis rendah (0,5-1 ppm) pada media pengangkutan atau
penampungan ikan.

-          Merendam telur lele sangkuriang dalam antibiotik sebelum dimasukkan ke tempat penetasan telur.

-          Memberikan antibiotik pada media penetasan telur dengan dosis redah.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Penerapan Biosecurity Dalam Budidaya Udang.

http://blog.unila.ac.id/supono/files/2009/09/biosecurity-materi-kuliah.pdf.

Diakses pada 25 Mei 2010 pk.08.05 WIB

Basahudin, M. S. 2009. Panen Lele 2.5 Bulan. Jakarta: Penebar Swadaya.

JOHAN NASHRUDDIN. 2010. Penerapan Biosecurity Pada Pembesaran Udang Vannamei (Litopeneaus vannamei)
Secara Intensif di PT. Centralpertiwi Bahari Kampung Bratasena Adiwarna Kecamatan Gedung Meneng
Kabupaten Tulang Bawang Propinsi Lampung.

http://www.aps.apsidoarjo.ac.id/index.php?
option=com_rokdownloads&view=file&task=download&id=48%3Apenerapan-biosecurity-pada-
pembesaran-udang-vannamei&Itemid=123&lang=en

Diakses pada 24 Mei 2010 pk.07:53 WIB.

Nofiyanta, Jaka. 2010. Kajian Penerapan Biosecurity Pada Pembesaran Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)
Di PT. Surya Windu Kartika Desa Bomo Kecamatan Rogojampi Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur.

http://www.aps.apsidoarjo.ac.id/index.php?
option=com_rokdownloads&view=file&task=download&id=49%3Akajian-penerapan-biosecurity-pada-
pembesaran-udang-vannamei&Itemid=123&lang=in.

Diakses pada 24 Mei 2010 pk.07:51 WIB.

           

Sari, Rohita. 2007. Konsep Biosecurity.

http://biosekuritiakuakultur.blogspot.com/2007/12/cacing-cestoda.html.

Diakses pada 245 Mei 2010 pk.0756 WIB.


Sucipto, Adi. 2009. Ikan Mas Dan KHV.

http://pinginsukses.wordpress.com/2009/09/04/ikan-mas-dan-khv/.

Diakses pada 25 Mei 2010 pk.08.11 WIB.

Diposkan 24th May 2011 oleh Anggrahini Citra

Label: Biosecurity Budidaya Perairan

Lihat komentar

1.

Sukorojo5927 Oktober 2015 07.49

maksih bgt infonya ttng biosecuryti,.....berguna

Balas
Memuat

Anggrahini Citra. Template Dynamic Views. Diberdayakan oleh Blogger.


Biosecurity adalah upaya pengamanan sistem budidaya dari kontaminasi organisme pathogen
dari luar dan mencegah berkembangnya organisme pathogen ke lingkungan. Kelayakan sarana
biosecurity merupakan keharusan dalam penerapan CPIB di unit pembenihan ikan, khususnya
guna mendukung proses produksi benih bermutu di unit pembenihan tersebut. Sarana yang
diperlukan untuk penerapan biosecurity tersebut antara lain :

1. Pagar. Pagar pada unit pembenihan bertujuan untuk secara fisik membatasi keluar dan
masuknya manusia, hewan dan kendaraan yang dapat membawa organisme pathogen
ke dalam lingkungan unit pembenihan. Pagar dapat terbuat dari material seperti besi,
tembok, bambu atau material lainnya yang kokoh dan rapat.
2. Sekat antar unit produksi. Untuk menghindari kontaminasi maka antar unit produksi
harus terpisah secara fisik, baik melalui penyekatan maupun ruangan/bangunan
tersendiri. Sekat antar ruang dapat terbuat dari tembok, papan, triplek atau
anyaman bambu yang dilapisi plastik.

3. Sarana sterilisasi kendaraan di pintu masuk unit pembenihan. Pada pintu masuk utama
unit pembenihan, harus disediakan sarana sterilisasi bagi roda kendaraan yang akan
masuk ke dalam lingkungan unit pembenihan. Sarana celup roda umumnya terbuat dari
semen/beton dengan ukuran luas dan kedalaman disesuaikan dengan lebarnya jalan
serta kendaraan. Sarana celup dibuat di bagian dalam atau di belakang pagar
pintu gerbang lingkungan unit pembenihan. Bahan sterilisasi yang aman
digunakan antara lain adalah cairan Kalium Permanganat (KMnO4), Timsen®
atau Khloramin T (Halamid)®.

4. Sarana sterilisasi alas kaki (foot bath). Sarana sterilisasi alas kaki (foot bath) merupakan
tempat untuk sterilisasi alas kaki personil yang akan masuk ke dalam ruang produksi.
Sarana sterilisasi alas kaki dapat terbuat dari bak semen maupun bahan lain
dengan ukuran sesuai ukuran pintu masuk. Sarana sterilisasi berada di depan
pintu masuk ruang produksi. Bahan sterilisasi yang aman digunakan antara lain adalah
cairan klorin, Kalium Permanganat (KMnO4), Timsen® atau Khloramin T (Halamid)®.
Penggunaan bahan sterilisasi disesuaikan dengan spesifikasi bahan.

5.  Sarana sterilisasi tangan. Sarana sterilisasi tangan merupakan tempat untuk


sterilisasi tangan personil yang akan masuk ruang produksi. Sarana sterilisasi tangan
dapat berupa wastafel atau alat penyemprot yang ditempatkan di depan pintu
masuk ruang produksi. Bahan sterilisasi yang umum dipakai adalah cairan alkohol 70 %
atau sabun antiseptik.
6.  Pakaian dan perlengkapan kerja personil unit produksi. Pakaian dan perlengkapan
kerja personil unit produksi merupakan pakaian dan perlengkapan yang khusus
digunakan oleh personil di ruang produksi. Pakaian dan perlengkapan kerja ini harus
tersedia dalam jumlah yang cukup sesuai jumlah personil. Pakaian dan perlengkapan
kerja harus terbuat dari bahan yang tidak membahayakan pemakainya dan harus selalu
bersih.
7.
Read more: http://www.mycatfish.com/2012/06/sarana-biosecurity-dalam-
cpib.html#ixzz4F3hzvE5d

Read more: http://www.mycatfish.com/2012/06/sarana-biosecurity-dalam-cpib.html#ixzz4F3hfnkrL


pengertian dan definisi silvofisheri

Pengertian dan Definisi dari Silvofishery atau Wanamina adalah suatu pola agroforestri yang digunakan
dalam pelaksanaan program perhutanan sosial di kawasan hutan mangrove. Petani dapat memelihara
ikan dan udang atau jenis komersial lainnya untuk menambah penghasilan, di samping itu ada kewajiban
untuk memelihara hutan Mangrove. Jadi prinsip silvofishery adalah perlindungan tanaman mangrove
dengan memberikan hasil dari sektor perikanan. Sistem ini mampu menambah pendapatan masyarakat
dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan mangrove. Silvofishery yang telah dikembangkan
selama ini menggunakan jenis Rhyzophora sp.

Silvofishery Pengelolaan terpadu mangrove-tambak diwujudkan dalam bentuk sistem budidaya


perikanan yang memasukkan pohon mangrove sebagai bagian dari sistem budidaya yang dikenal dengan
sebutan wanamina (silvofishery). Silvofishery pada dasarnya ialah perlindungan terhadap kawasan
mangrove dengan cara membuat tambak yang berbentuk saluran yang keduanya mampu bersimbiosis
sehingga diperoleh kuntungan ekologis dan ekonomis (mendatangkan penghasilan tambahan dari hasil
pemeliharaan ikan di tambak. Pemanfaatan mangrove untuk silvofishery saat ini mengalami
perkembangan yang pesat, karena system ini telah terbukti mendatangkan keuntungan bagi pemerintah
dan nelayan secara ekonomis. Fungsi mangrove sebagai nursery ground sering dimanfaatkan untuk
kepentingan pengembangan perikanan (sivofishery). Keuntungan ganda telah diperoleh dari simbiosis
ini. Selain memperoleh hasil perikanan yang lumayan, biaya pemeliharaannya pun murah, karena tanpa
harus memberikan makanan setiap hari. Hal ini disebabkan karena produksi fitoplankton sebagai energi
utama perairan telah mampu memenuhi sebagai energi utama perairan telah mampu memenuhi
kebutuhan perikanan tersebut. Oleh karena itu keberhasilan silvofishery sangat ditentukan oleh
produktivitas fitoplankton.

MODEL SILVOFISHERY ATAU MODEL WANAMINA

Secara umum terdapat tiga model tambak wanamina, yaitu; model empang parit, komplangan, dan
jalur. Selain itu terdapat pula tambak sistem tanggul yang berkembang di masyarakat. Pada tambak
wanamina model empang parit, lahan untuk hutan mangrove dan empang masih menjadi satu
hamparan yang diatur oleh satu pintu air. Pada tambak wanamina model komplangan, lahan untuk
hutan mangrove dan empang terpisah dalam dua hamparan yang diatur oleh saluran air dengan dua
pintu yang terpisah untuk hutan mangrove dan empang (Bengen, 2003). Tambak wanamina model jalur
merupakan hasil modifikasi dari tambak wanamina model empang parit. Pada tambak wanamina

model ini terjadi penambahan saluran-saluran di bagian tengah yang berfungsi sebagai empang.
Sedangkan tambak model tanggul, hutan mangrove hanya terdapat di sekeliling tanggul. Tambak jenis
ini yang berkembang di Kelurahan Gresik dan Kariangau Kodya Balikpapan. Berdasarkan 3 pola
wanamina dan pola yang berkembang di masyarakat, direkomendasikan pola wanamina kombinasi
empat parit dan tanggul. Pemilihan pola ini didasarkan atas pertimbangan:
Penanaman mangrove di tanggul bertujuan untuk memperkuat tanggul dari longsor, sehingga biaya
perbaikan tanggul dapat ditekan dan untuk produksi serasah.
Penanaman mangrove di tengah bertujuan untuk menjaga keseimbangan perubahan kualitas air dan
meningkatkan kesuburan di areal pertambakan.
Luas permukaan air di dalam tambak budidaya jenis mang-rove yang biasanya ditanam di tanggul adalah
Rhizophora sp. dan Xylocarpus sp. Sedangkan untuk di tengah/pelataran tambak adalah Rhizophora sp.
Jarak tanam mangrove di pelataran umumnya 1m x 2m pada saat mangrove masih kecil. Setelah tumbuh
membesar (4-5 tahun) mangrove harus dijarangkan. Tujuan penjarangan ini untuk memberi ruang gerak
yang lebih luas bagi komoditas budidaya. Selain itu sinar matahari dapat lebih banyak masuk ke dalam
tambak dan menyentuh dasar pelataran, untuk meningkatkan kesuburan tambak

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ekosistem mangrove sebagai suatu type ekosistem yang terdapat di sepanjang garis pantai dan atau
muara sungai yang digenangi air secara berkala, memiliki beragam fungsi yang tidak mungkin
tergantikan oleh ekosistem jenis tanaman yang lain. Akan tetapi rendahnya tingkat pendidikan dan
kesejahteraan masyarakat desa pantai menjadi salah satu kendala dalam upaya pelestarian ekosistem
mangrove. Sehingga pelaksanaan upaya pelestarian ekosistem mangrove dan rehabilitasinya perlu
dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan petani tambak sebagai pemilik lahan yang menjadi
sasaran upaya rehabilitasi pantai.
Wilayah pantai Jawa Tengah yang memiliki panjang pantai + 652 km, seharusnya memiliki jalur hijau
seluas 13.040 Ha, akan tetapi yang secara teknis memenuhi persyaratan untuk ditanami tanaman bakau
hanya 7.970 Ha, sehingga upaya rehabilitasi tanaman bakau lebih difokuskan pada areal tersebut.

B. Maksud dan Tujuan


Pembuatan Areal Model Budidaya Tanaman Bakau dimaksudkan agar dapat dimanfaatkan sebagai
sarana percontohan bagi masyarakat sekitar areal model pada khususnya dan masyarakat luas pada
umumnya tentang bagaimana suatu ekosistem hutan bakau terbentuk.
Adapun tujuannya adalah agar dapat etrbentuk jalur hijau perlindungan pantai yang selain berfungsi
lindung juga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa pantai.
II. AREAL MODEL EMPANG PARIT

A. Pembuatan
1. Pola empang parit
Terdapat tiga macam pola model empang parit, yaitu :
a. Pola empang parit tradisional
Pola ini lahan mangrove dan empang berada dalam satu hamparan dan pengellaan air diatur
dengan satu buah pintu air. (gambar 1)
Keuntungan dari penerapan pola ini adalah bentuknya yang sedrhana, sehingga biaya
rekonstruksinya realtif lebih murah. Kelemahannya, karean letak hutan dan empang berada
dalam satu hamparan, kemungkinan hama pengganggu ikan cukup tinggi, serasah dan dedaunan
yang jatuh keempang dalam jumlah berlebihan dapat mengganggu kehidupan dan pertumbuhan
ikan. Fungsi hutan sebagai penyedia pakan alami tak terpenuhi dengan baik karena
pertumbuhan ganggang dan plankton kurang, akibat sinar matahari tak dapat mencapai
permukaan empang. Tetapi hal ini bisa diatasi dengan dilakukan penjarangan atau pengaturan
jarak tanam yang lebih lebar.
b. Pola empang parit yang disempurnakan
Pola ini merupakan pengembangan dari pola empang parit tradisional, perbedaannya terletak
pada jumlah pintu air yaitu 2 buah untuk pemasukan dan 1 buah untuk pengeluaran, serta
terdapatnya saluran air tersendiri untuk hutan. (gambar 2)
Pola ini biaya rekonstruksi khususnya untuk pembuatan pematang cukup besar, untuk itu
pengerjaannya dapat dilakukan secara bertahap. Produktivitas empang lebih optimal, karena
permasalahan seperti pola tradisional dapat dieliminasi. Hambatannya, lahan pemeliharaan ikan
kurang terintegrasi dan luasnya terbatas.

c. Pola Komplangan
Pada pola komplangan, areal pemeliharaan ikan dengan lahan hutan bakau terpisah oleh
pematang dan dilengkapi dengan 2 buah pintu air masing-masing untuk pemasukan dan
pengeluaran air. Pada lahan hutan terdapat pintu air pasang surut bebas. (gambar 3)
Keuntungan dari pola ini adalah bentuknya yang lebih terintegrasi, cukup memperoleh sinar
matahari sehigga dapat digunakan untuk budidaya semi intensif.

2. Konstruksi
a. Pematang
Merupakan bagian paling luar dari tambak yang berfungsi sebagai pelindung terhadap banjir
dan gelombang laut, pembatas antar tambak dan antar petakan serta sebagai penahan air di
dalam tambak. Oleh karena itu pematang harus kuat, kokoh, tidak bocor, sehingga menjamin
keselamatan aspek produksi.
Torres (1990) memberikan formula penentuan tinggi pematang sebagai berikut :
[ (WL - GS) + PL + FB ]
H = ----------------------------
(1 % - S)
H = tinggi pematang (utama, sekunder, tersier)
WL = ketinggian air; untuk pematang utama berdasarkan pasang naik astronomi, untuk
pematang sekunder dan tersier berdasarkan ketinggian air yang diinginkan.
GS = tinggi permukaan tanah dari sero darum
FL = tinggi air maksimum pada saat banjir (pematang utama), tinggi air maksimum pada saat
hujan dalam 24 jam (sekunder, tersier)
FB = imbuhan 0,6 - 1,0 m (pematang utama) 0,3 m (pematang sekunder, tersier)
S = penyusutan sekitar 20 - 25 %
b. Pintu air
mengeluarkan air ke dan dari petak tambak. Tinggi dan panjangnya disesuaikan dengan tinggi
dan lebar pematang. Lebarnya disesuaikan dengan luas petakan, disarankan minimal 70 - 80 cm,
maksimal 100 cm untuk memudahkan pengoperasian. Pintu air harus dilengkapi dengan
saringan terbuat dari kere bambu dilapis nylon net, dimaksudkan untuk mencegah lolosnya ikan
peliharaan.
c. Pelataran
Pada sistem wanamina terdapat dua unit pelataran, yaitu untuk pemeliharaan ikan dan untuk
penanaman mangrove. Pelataran untuk pemeliharaan ikan harus rata, terbuka sehingga dapat
menerima sinar matahari penuh, tidak poreous dan dibuat landai ke arah pintu pembuangan
dengan kemiringan 0,1 - 0,2 %.
d. Caren
Caren berada di antara tepi pematang bagian dalam dan pelataran untuk ikan, yang berfungsi
untuk tempat berlindungnya ikan dan sebagai tempat penangkapa. Caren dibuat dengan
kedalaman 30 - 40 cm dan luasnya 20 - 60 % dari luas pelataran.
e. Saluran air
Saluran yang menghubungkan unit tambak dengan laut dalam hal pemasukan dan pembuangan
air. Agar dapat berfungsi dengan baik saluran harus lurus, dalam dan cukup lebar. Saluran
selebar 3 m dengan talut 1 : 1 dapat mengairi tambak seluas 10 - 15 Ha.
3. Penanaman Bakau
Penanaman dengan mempergunakan benih/biji dapat langsung dilakukan apabila benih/biji
cukup tersedia. Benih yang telah diseleksi ditanam dengan cara ditugal sedlam kurang lebih
sepertiga bagian dari panjang buah, denganbakal kecambah menghadap ke atas. Benih
diusahakan berdiri tegak dan tertanam kuat dalam lumpur. Jarak tanam 2 x 1 m atau 3 x 2 m.
4. Penebaran benih ikan
Ciri benih yang baik adalah :
- Moraltilas selama pengankgutan rendah
- Murni satu jenis
- Tidak cacat fisik
- Bebas penyakit
- Reaksi terhadap rangsangan fisik cepat
Penebaran benih ikan dilakukan setelah :
a. persiapan dasar tambak/empang parit
b. pengeringan dasar tambak
c. pengapuran
d. penumbuhan pakan alami
e. pengaturan air dan pembasmian hama
Penaburan dilakukan dengan padat penebaran setiap hektarnya 60.000 ekor/ha. Sedang waktu
penebaran pada saat temperatur air relatif rendah, yaitu pada pagi hari atau pada sore hari
setelahmatahari terbenam.
5. Pemeliharaan
a. Pemeliharaan tanggul
Pemeliharaan dilakukan terhadap tanggul tambak yang mengalami pengikisan dengan
melakukan :
- menimbun kembali bagian yang terkena arosi dengan tanah yang diambil dari caren pada
waktu pemeliharaan caren setelah panen
- melengkapi lereng tanggul dengan anyaman bambu bila anggaran biaya memungkinkan
- membunuh/memberantas hama kepiting
b. Pemeliharaan caren
Pemeliharaan caren cukup dilkaukan sekali dalam satu periode pemeliharaan ikan yaitu pada
waktu selesai panen, dengan jalan mengeruk hasil sedimentasi yang berasal dari tanggul
maupun air saluran masuk. Hasil pengerukan ditimbun pada tanggul yang tererosi.
c. Pemeliharaan tanaman
Pemeliharaan tanaman adalah suatu upaya untuk menjaga dan memelihara tanaman bakau
yang telah ditanam. Pemeliharaan tanaman meliputi kegiatan penyulaman, penjarangan dan
pengendlaian hama.
d. Pemeliharaan ikan dan panen
Untuk keberhasilan usaha empang parit, maka selama pemeliharaan perlu dilakukan perawatan
secara baik. Perawatan tersebut meliputi pengaturan air, pemupukan susulan serta pemberian
pakan tambahan.
6. Panen
Setelah ikan yang dipelihara mencapai ukuran yang sesuai untuk dikonsumsi, maka segera
dilakukan panen. Panen dapat dilakukan secara bertahap (selektif), akan tetapi pada umumnya
dilakukan panen total.
Pemanenan dilakukan dengan mengeluarkan air melalui saluran pembuangan atau dibantu
dengan pompa air secara perlahan sampai air yang tertinggal hanya di caren saja. Pemanenan
dapat dilakukan dengan menggunakan jaring yang ditarik (diseret0 sepanjang caren sampai
udang atau ikan dikumpulkan pada satu tempat tertentu yang luasnya terbatas (sempit) baru
dilakukan penangkapan dengan alat tenggok/jala
Langkah-Langkah Penerapan Biosekuriti Akuakultur
January 31, 2017

Redaktur: Yos Mo

Akuakultur merupakan sektor produksi yang paling berkembang pesat di berbagai


negara, termasuk Indonesia. Namun, bisnis akuakultur memiliki resiko kerugian ekonomi
yang besar, karena industri sektor ini sangat rentan diserang parasit, bakteri, jamur
maupun virus.

Untuk mencegah terjadinya berbagai penyakit, maka perlu ditingkatkan penerapan


biosekuriti di lokasi akuakultur. Biosekuriti adalah serangkaian kegiatan kumulatif untuk
mencegah timbulnya penyakit dan mencegah penularan penyakit dari suatu lokasi
budidaya.
foto dokumentasi lampung.antaranews.com

Langkah-langkah penerapan biosekurit yang dapat dilakukan, antara lain :

 Tidak menggunakan benur yang positif terjangkit virus penyakit. Gunakan benur
yang telah tersertifikasi oleh laboratorium terakreditasi.
 Jangan menaruh sampel ikan atau udang ke dalam kolam. Karena ikan/udang
sampel tersebut telah stress selama sampling yang dapat jadi pemicu
berkembangnya penyakit.

 Gunakan satu set alat untuk satu kolam saja. Hal ini untuk menghindari penyebara
patogen dari satu kolam ke kolam lain. Peralatan dicuci bersih dengan disifenktan.

 Memakai produk disinfektan yang ramah lingkungan untuk mengatasi patogen


dalam air dan permukaan.

 Memberikan pakan berkualitas tinggi untuk ketahanan daya hidup dan menjaga
kesehatan ikan/udang.

 Disinfeksi sepatu dan tangan sebelum dan sesudah memasuki area akuakultur.

 Buat pagar/jaring penghalau kepiting atau burung, untuk mencegah kontaminasi


dari luar.
 Memiliki program pemantauan penyakit secara rutin.

Apabila biosekuriti diterapkan secara tepat dalam lingkungan akuakultur, maka bisa
diminimalkan resiko penyakit semacam White Spot, Early Mortality Syndrome ataupun
White Feces Disease.

Penerapan Biosecurity Pada Pembesaran Udang Vannamei (Litopeneaus vannamei) Secara Intensif
Belakangan ini virus WSSV semakin marak kembali, setelah dulu menyerang udang windu sekarang
udang vannamei yang menjadi targetnya. Berdasarkan hasil penelitian Prof Flagell, udang yang terkena
virus WSSV akan menyerang dengan ganas dan dapat menyebabkan kematian masal apabila ada faktor
pemicu.Oleh sebab itu, untuk meminimalisir berkembangnya virus tersebut dilakukan upaya Biosecurity.
Biosecurity pada budidaya udang adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk menangkal
masuknya penyakit dalam fasilitas budidaya mulai dari tempat pemeliharaan induk, pembenuran sampai
pembesaran serta mencegah penyebaran penyakit dari tambak yang sudah terinfeksi. Penerapan
biosecurity di tambak meliputi kegiatankegiatan sebagai berikut: 1. Persiapan tambak a) Pemasangan
Bird Scaring Device (BSD) dan Pemasangan Crab Protecting Device (CPD). Bird scaring device adalah alat
untuk menghalau masuknya burung-burung ke dalam tambak yang terbuat dari benang jenis D-9 PE
yang diikatkan pada tiang. Crab Protecting Device (CPD) adalah alat untuk mencegah masuknya hewan
sejenis kepiting ke area treatment air yang terbuat dari plastik. b) Pengeringan Pengeringan yang di
lakukan pada tambak-tambak dengan nilai ORP (Organic Residu potensial) minimal 50 mV sekitar ± 10
hari. c) Sterilisasi Sterilisasi adalah kegiatan pengolahan tambak dengan tujuan untuk meminimalisir
hewan maupun organisme benthic ( hidup di dasar perairan) yang berpotensi sebagai carrier pembawa
pathogen. d) Pengapuran Pengapuran dilakukan untuk menetralisir derajat keasaman dasar tambak
menjadi standart (pH 6,5-7). e) Pengecekkan Level Muka SO Pada level muka air SO harus dibawah pipa
elbow sedangkan untuk dasar saluran SO 50 cm di bawah pipa elbow. 2. Persiapan Air a) Pemasangan
Filter Pemasangan filter dilakukan saat air dipompa dari main inlet masuk ke reservoir ataupun talang air
ke petak pengendapan, dari petak pengendapan di flushing ke sub inlet, dari sub inlet ke petakan
treatment dan dari supply canal ke petakan tambak. Digunakan 2 lapisan filter 300 μ dan1000 μ. b)
Double Sterilisasi Pada perlakuan disinfektan digunakan pondfos sebanyak 2-3 ppm. Jarak antara
perlakuan 1 dan 2 dilakukan dalam jangka waktu 3 hari. 3. Seleksi Benur Penerapan biosecurity pada
seleksi benur yang akan ditebar. 4. Budidaya a) Pengadaan Alat Sanitasi Tangan dan Kaki Pengadaan alat
sanitasi tangan dan kaki ditempatkan pada pintu masuk tambak. Untuk Alat sanitasi tangan ini terdiri
dari sabun antiseptik dan air bersih, sedangkan alat sanitasi kaki digunakan Kalium Permanganat
(KMNO4) dengan dosis 70 ppm. b) Perlakuan Sanitasi Peralatan Tambak Perlakukan sanitasi peralatan
tambak perla dilakukan dikarenakan penggunaan peralatan secara bergantian tersebut dapat
diindikasikan berperan sebagai carrier. 5) Panen Emergency a) Pengisolasian Tambak Pengisolasian antar
tambak ini bertujuan mencegah menularnya penyakit dari tambak satu ke lainnya. b) Penggunaan
Dosing Penggunaan dosing ini dilakukan dengan Kalium Permanganat dengan cara mengantungkannya
pada pipa flushing dengan dosis 10 ppm. c) Perlakuan pada daerah Sub Road dan Sub Outlet Pada
daerah sub road ini dilakukan perlakuan agar virus – virus pada udang maupun air bekas panen tidak
terkontaminasi ke lingkungan sekitar tambak. Untuk perlakuan sendiri dapat dilakukan dengan memberi
Kalium Permanganat (KMNO4) sebanyak ± 5 ppm pada daerah sekitar sub road. Setelah proses panen
selesai dilakukan pemberian disinfektan dengan tujuan bibit-bibit penyakit tidak mencemari lingkungan
terutama pada saluran Sub Outlet. d) Pembakaran dan Penguburan Bangkai Udang Untuk sisa – sisa
bangkai udang dilakukan upaya pemusnahan dengan cara pembakaran dan penguburan bangkai udang
tersebut. Dari kegiatan penerapan biosecurity di atas dapat diambil kesimpulan bahwa,kegiatan-
kegiatan biosecurity meliputi: beberapa tahapan diantaranya adalah tahapan persiapan lahan, persiapan
air, pengujian benur, proses budidaya dan proses panen emergency. Dan penilaian dari hasil yang
dicapai tentang penerapan biosecurity yang dilakukan harus memenuhi persyaratan SOP (Standart
Operasional Prosedur). Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap

Anda mungkin juga menyukai