Anda di halaman 1dari 12

PERANAN PENTING BIOSEKURITI DALAM SISTEM RESIRKULASI

AKUAKULTUR

Penurunan kualitas lingkungan yang berakibat menurunnya kuantitas

produksi ikan hasil budidaya merupakan masalah yang sering muncul di tengah

pesatnya industri perikanan untuk memenuhi kebutuhan pangan, khususnya

seafood (Setyono, 2004). Kematian secara masal pada periode waktu

pembudidayaan sering terjadi, khusunya budidaya dengan sistem tambak dan

keramba apung. Berdasarkan hal tersebut, upaya peningkatan kualitas lingkungan

perairan sangat perlu dilakukan dengan menerapkan manajemen lingkungan yang

komprehensif melalui pengembangan metode biosekuriti dan ekologi terapan

guna meningkatkan kapasitas produksi dan sustainability operasionalnya (Landau,

1992). Penerapan biosekuriti dalam industri akuakultur saatini dipandang sangat

penting sebagai salah satu factor penentu keberlanjutan produksi. Penerapan ini

selain didorong oleh tren tuntutan konsumen global untuk mengkonsumsi produk

yang berasal dari sistem produksi yang meme-nuhi unsur-unsur safety dan

sustainable, juga didorong oleh tingginya tingkat kematian dan rendahnya laju

pertumbuhan akibat infeksi mikroorganisme pathogen (Danner and Merril, 2006).

Selain hal tersebut, penerapan biosekuriti juga dilakukan karena adanya

kekhawatiran terhadap introduksi patogen eksotis melalui kegiatan impor

organisme akuatik yang bertindak sebagai pembawa infeksi (carrier) penyakit

(Yanong and Reid, 2012). Oleh karena itu, dalam hal penerapan biosekuriti,

prinsip - prinsip yang harus diaplikasikan sangat luas dan hal ini mencakup

berbagai komponen yang meliputi tindakan pencegahan, pengendalian dan


pemusnahan berbagai penyakit infeksius serta berbagai tindakan untuk menjaga

kesehatan manusia sebagai pengelola produksi, hewan dan lingkungan. Dalam

konteks lingkungan, penerapan biosekuriti juga dilakukan untuk mencegah

lolosnya ikan budidaya ke lingkungan sekitar produksi. Berbeda dengan industri

peternakan lainnya, akuakultur merupakan industri yang cukup unik karena

memiliki beberapa jenis sistem produksi yang disesuaikan dengan tujuan dan jenis

ikan yang dibudidayakan (CEFAS, 2009). Sistem produksi ini meliputi: (1) sistem

produksi indoor, termasuk produksi benih di hatchery dan aplikasi Recirculation

Aquaculture System (RAS), serta (2) sistem produksi outdoor (Arthur et. al.,

2008).

Penyebaran penyakit umumnya terjadi ketika spora atau bibit penyakit

berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain melalui berbagai perantara, seperti

melalui teknisi pengelola, peralatan, kendaraan, hewan liar, transfer benih dan

sumber air yang digunakan. Beberapa penelitian bahkan menyebutkan penyebaran

Viral Nervous Necrosis (VNN) dapat terjadi dari satu bak ke bak yang lain

melalui penggunaan alat siphon yang sama untuk beberapa unit produksi. Sumber

penyebaran infeksi lainnya juga dapat berasal dari pakan khususnya pada siklus

produksi benih. Penggunaan Rotifer atau Artemia yang terinfeksi dapat menjadi

salah satu penyebab utama penyebaran penyakit infeksius serta kontaminasi pada

pakan dapat mempengaruhi tingkat kelulushidupan ikan (Vallat, et.al., 2011).

Penyebaran penyakit dapat terjadi secara vertikal dari induk ke benih yang

dihasilkan ataupun secara horizontal selama proses produksi. Pencegahan

terhadap introduksi ikan budidaya ke lingkungan bebas juga menjadi tugas


penting. dalam aplikasi biosekuriti . Oleh karena itu, tindakan pengendalian

berikut dapat dilakukan untuk penerapan biosekuriti. Penggunaan media air

pemeliharaan yang bebas patogen dan bahan kontaminan. Seleksi induk bebas

penyakit serta penggunaan induk dengan variasi genetik yang beragam. Kedua,

faktor ini sangat mempengaruhi status kesehatan dan sistem imun benih yang

dihasilkan yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat laju pertumbuhan ikan.

Prinsip dasar aplikasi biosecurity adalah isolasi dan desinfeksi serta kunci

keberhasilannya terletak pada pengetahuan tentang penyakit target, daftar

penyakit yang akurat, ketersediaan metode deteksi patogen, kontrol terhadap

induk dan benih, kontrol terhadap lingkungan, penerapan Best Management

Practices (BMP) dan program eradikasi patogen. Efektifitas program biosecurity

tergantung dari faktor teknis, manajerial maupun ekonomi (Noga, 2010).

Terminologi biosecurity dalam bidang akuakultur adalah serangkaian

kegiatan yang ditujukan untuk mencegah masuknya penyakit ke tambak, dan atau

mencegah penyebarannya apabila sudah terlanjur ada di dalam tambak. Prinsip

penerapan biosecurity adalah mengenali jenis penyakit yang membahayakan,

melakukan pencegahan dan perlakuan supaya penyakit tidak menyebar dan pada

usaha budidaya penerapannya dilakukan dalam setiap tingkatan teknologi baik

tradisional, semi intensif maupun intensif. Menurut FAO (2003), biosecurity

adalah langkah-langkah atau prosedur yang layak diterapkan untuk “memanage”

kemungkinan masuknya organisme biologis atau agen penyakit kedalam suatu

individu atau populasi yang menyebabkan kematian. Di dunia perikanan

Indonesia, istilah biosecurity masih sangat baru sehingga belum banyak


perusahaan akuakultur yang melaksanakan konsep ini di tambak udang atau

kolam ikannya. Ada 2 (dua) hal yang menyebabkan para pembudidaya belum

melaksanakan program biosecurity, yaitu (1) kurangnya pengetahuan tentang

biosecurity dan (2) karena mis-konsepsi akan besarnya biaya produksi atas

penerapan biosecurity dibandingkan dengan keuntungan yang akan diperoleh

(Bebak et. al., 2002).

Penerapan Biosecurity

Penerapan sistem resirkulasi pada akuakultur, khususnya pada budidaya

ikan, kini semakin meningkat. Teknik ini sangat populer karena kondisi

Iingkungan budidaya dapat dirancang dan dikontrol secara akurat sesuai dengan

kebutuhan biota budidaya, misalnya budidaya ikan lele, kakap putih, kakap

merah, kerapu, belut laut (eels) dan lobster. Budidaya dengan sistem resirkulasi

tidak memerlukan lahan yang luas, dan menggunakan volume sumberdaya air

yang tidak terlalu banyak seperti pada teknik budidaya lainnya . Sistem resirkulasi

memerlukan biaya peralatan dan biaya operasional yang tinggi, oleb karena itu,

teknik ini banyak diadopsi dan diterapkan pada budidaya biota air bernilai

ekonomis mahal, dan biasanya untuk tujuan pasar luar negeri (ekspor). Biaya

produksi per satuan volume produk biasanya menurun dengan peningkatan skala

usaha. Pada prinsipnya akuakultur dengan sistem resirkulasi adalah sangat

sederhana, namun demikian perlu diperhatikan bahwa sistem ini memerlukan

sumberdaya manusia yang berpengalaman, mulai dari kegiatan konstruksi

(pembangunan) bingga proses produksi (teknik budidaya) (Yanong, 2009).


Biosecurity merupakan pendekatan manajemen untuk meminimalkan

resiko serangan penyakit, hal ini dapat diimplementasikan dengan beberapa level

yang tepat tergantung operasional tambak. Vektor pembawa patogen sangat

bervariasi, diantaranya : induk, benih, ikan sakit, carier, air masuk, air keluar,

pakan, udara, burung, peralatan, wadah budidaya, hewan dan tanaman air serta

manusia (Yanong, 2009). Beberapa upaya yang dilakukan dalam penerapan

biosecurity adalah melalui pendekatan-pendekatan pada :

a. Penerapan sistem budidaya yang tepat, seperti : Penentuan lokasi dan

desain tambak; Penggunaan sistem tertutup dan resirkulasi; Penggunaan

filter pada pintu pemasukan air; Penggunaan tandon; Melakukan treatmen

air buangan (effluent) budidaya; Penggunaan probiotik; Pemagaran

keliling tambak.

b. Pengelolaan inang ( ikan) : Seleksi induk (broodstock centre); Unggul

secara genetik dan bebas virus.

c. Penggunaan benih : SPF (Specific Pathogen Free); SPR (Specific Pathogen

Resistant); Bebas virus dengan tes PCR (Polymerase Chain Reaction).

d. Monitoring kesehatan ikan : Diagnosa berkala, apabila terjadi infeksi berat

maka segera dipanen sedangkan jika terjadi infeksi ringan maka dilakukan

perbaikan kualitas budidaya; Menghindari stress antara lain yang perlu

diperhatikan adalah fluktuasi kualitas air (suhu, pH, salinitas), kandungan

bahan organik tinggi, kandungan oksigen terlarut, ammonia dan media

bakteri, peningaktan daya tahan tubuh dengan pemberian vitamin C atau

imunostimulan (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2008).


Tindakan Biosecurity

Tindakan biosecurity ada 2 (dua) hal , yaitu : a) Internal biosecurity

Tindakan ini meliputi lingkungan dalam tambak budidaya yaitu dengan

membatasi pergerakan udang/ikan, karyawan, peralatan, monitoring kesehatan

udang/ikan, menggunakan sistem produksi yang aman dan meminimalkan

masuknya patogen potensial dan pemindahan (transfer) melalui vektor

udang/ikan; b) Eksternal biosecurity Tindakan yag dilakukan antara lain memfilter

dan mendesinfeksi sumber air, memverifikasi dan menggunakan udang/ikan serta

pakan bebeas penyakit, membatasi pergerakan udang/ikan, karyawan, peralatan,

membatasi jalan masuk bagi umum, meminimalkan masuknya patogen potensial

dan pemindahan (transfer) melalui vektor udang/ikan dan melakukan manajemen

effluent (ASEAN Secretariat, 2008).

Penerapan biosecurity pada areal pertambakan secara teknis dapat

dilakukan dengan cara berikut : Seluruh lingkaran luar unit usaha diberi pagar

tinggi dan pagar rendah rapat untuk mencegah masuknya organisme carier seperti

kepiting, wideng, ketam, dll; Air masuk dari pompa ke petakan tandon dan dari

tandon ke petakan pemeliharaan harus disaring dengan menggunakan kantung

plankton net diameter 50 mm sepanjang 4 – 5 m sebanyak 3 – 5 buah diatur

paralel agar tidak mudah robek; Saluran keliling dibangun lapis dua dengan

konstruksi plastik untuk menjamin agar organisme lain tidak ada yang masuk /

keluar; Pemasangan penghalau burung, berupa tali membentang di atas petakan

tambak yang dilengkapi dengan gantungan kertas pengkilap; Roda kendaraan

yang mungkin telah berjalan di atas pematang tambak lain harus melalui dua
kolam yaitu kolam pembersihan dan kolam desinfeksi (chloramin 10 ppm);

Peralatan panen, ember, pompa dan kincir bahkan pekerja selalu diperlakukan

dengan desinfektan pada saat baru dikeluarkan atau akan dipakai di salah satu

tambak (Wickins and Lee, 2002).

Danner and Merril (2006) juga menyatakan bahwa kondisi air juga perlu

dikontrol. Untuk memantau kondisi air anda memerlukan filtrasi. Hal ini karena

air jernih tidak selalu berarti air yang sehat untuk ikan, mungkin air tersebut

mengandung zat tidak berwarna seperti amonia dan nitrit, yang berbahaya dan

bahkan mematikan. Secara umum, RAS menawarkan karakteristik produksi jauh

lebih baik untuk ikan karena stabilitas relative lingkungan berair di bawah operasi

normal. Larut tingkat oksigen, nitrogen ekskretoris metabolit, pH, alkalinitas,

kesadahan air, suhu dan salinitas/air tawar menyeimbangkan semua sangat diatur

oleh sensor otomatis di fasilitas komersial terbesar dan paling canggih. Advanced

sistem yang baik memiliki tambahan UV atau ozonisasi perawatan air serta

Khusus komponen mekanis dan bio-penyaringan, memungkinkan konversi

amonia tidak langsung ke nitrat. Dengan pencahayaan yang dikendalikan durasi,

intensitas dan pengurangan kebisingan dan getaran, ikan tampilan tingkat

pertumbuhan yang seragam dan efisiensi konversi pakan yang sangat baik.

Sistem Resirkulasi Akuakultur (RAS) yang intensif, biasanya dalam

ruangan, air digunakan kembali diolah dengan filter mekanik, kimia, dan biologi,

dan langkah-langkah perawatan lainnya. Pengendalian lingkungan yang tepat

berarti organisme budidaya dapat dibudidayakan dengan lingkungan normal

mereka, pembudidaya memungkinkan untuk memprioritaskan tujuan produksi


terkait dengan pasar, kriteria ketersediaan sumber daya. Teknologi RAS dapat

berguna dalam kondisi pasokan air yang tersedia atau berkualitas buruk.

Kemampuan untuk mempertahankan kondisi kualitas air yang optimal dan

konstan juga dapat membawa keuntungan (Eding, et.al., 2009)

RAS diharapkan untuk mengurangi timbulnya wabah penyakit,

ketergantungan lebih rendah pada obat-obatan dan mempromosikan produksi

yang lebih stabil ditujukan untuk memenuhi tuntutan pasar. Prinsip dasar RAS

adalah menggunakan kembali air meskipun penerapan proses perawatan telah

sesuai (Krause et. al., 2006). Ada berbagai tingkat penggunaan kembali air

tergantung pada desain sistem. Aliran sederhana tambak ikan di mana pasokan air

dialirkan melalui kolam atau tangki dan kemudian dibuang dan tidak ada air yang

digunakan kembali. Jika aerasi atau oksigenasi ditambahkan ke kolam atau tangki,

maka terdapat beberapa penggunaan kembali air karena lebih banyak ikan dapat

diproduksi menggunakan aliran air yang sama. Namun, resirkulasi menyiratkan

perawatan dari beberapa atau semua air buangan dan mengembalikannya ke

sistem pemeliharaan ikan seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah.

(Sumber : Losordo et al, 1998)


Sistem resirkulasi mengefisienkan penggunaan lahan untuk memelihara biota air

(ikan, kekerangan, udang, dll) dengan kepadatan tinggi, sehingga menghasilkan

produk per unit area yang tinggi pula. Sistem ini memerlukan penanganan atau

manajemen tingkat tinggi, baik penanganan biota yang dipelihara, peralatan

budidaya, maupun kualitas air sebagai media budidaya. ada akuakultur dengan

sistem resirkulasi, biota budidaya ditempatkan di dalam kolam-kolam

pemeliharaan, dan air dialirkan masuk dan keluar kolam-kolam pemelibaraan

secara kontinu. Air bersih dipompa dan dialirkan ke kolam-kolam pemeliharaan,

air kotor keluar dari kolam-kolam pemeliharaan melalui filter biologi dan filter

mekanik, kemudian air yang sudab difilter dipompa kembali ke kolam-kolam

pemelibaraan. Untuk menjaga kestabilan kualitas air, perlu menambahkan air baru

ke dalam sistem resirkulasi sebanyak 5-10% volume setiap hari (Timmons, 2007).

Ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh pada usaha akuakultur

dengan menggunakan sistem resirku1asi, antara lain: (1) dapat memaksimalkan

penggunaan sumberdaya air dan lahan, (2) hampir seeara penuh dapat mengontrol

kondisi lingkungan untuk memaksimalkan pertumbuhan biota budidaya sepanjang

tahun, (3) fleksibel di dalam memilih Iokasi dan peralatan budidaya, (4)

pemanenan hasil dapat dilakukan secara mudah dan arnan, (5) pengontrolan hama

dan penyakit dapat dilakukan secara cepat dan efektif, (6) dapat dipasang sistem

biofiler secara efektif untuk menjaga kestabilan kualitas air (Setyono, 2004).

Penggunaan sistem resirkulasi yang baik akan menghemat penggunaan

sumberdaya air dan tenaga kerja, serta menciptakan media budidaya (air) pada

kondisi prima untuk kehidupan dan pertumbuban biota yang dibudidayakan.


Wabah penyakit menular lebih mungkin terjadi di RAS karena kepadatan ikan

lebih tinggi, retensi air yang berkepanjangan dalam sistem memberikan waktu

tinggal tambahan yang memungkinkan pertumbuhan patogen oportunistik dan

patogen virus, serta kondisi lingkungan yang relatif lebih tertekan. Karantina,

sanitasi dan desinfeksi adalah semua komponen penting dari biosekuriti (Pedersen

et.al., 2012). Oleh karena itu, penerapan biosekuriti dalam sistem RAS sangat

penting. Mode transmisi penyebaran patogen dalam fasilitas RAS dapat dilihat

pada gambar berikut :

(Sumber : Martins et.al., 2010)

Kebanyakan RAS menggunakan filter mekanis yang menghilangkan

padatan dan biofilter yang mengubah amonia dan nitrit menjadi nitrat yang kurang

beracun. Beberapa sistem juga menggunakan jenis unit sterilisasi untuk

mengurangi jumlah mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit, serta

beberapa bentuk filtrasi kimia untuk membantu menyeimbangkan berbagai

senyawa di dalam air. Masing-masing komponen ini dapat mempengaruhi


biosekuriti di dalam sistem (Hamlin, 2006). Penerapan biosecurity dalam jangka

panjang diharapkan mampu menjadi solusi alternatif terhadap kegagalan panen

akibat wabah penyakit, sehingga tercipta budidaya perikanan yang berkelanjutan

(sustainable aquaculture).

DAFTAR PUSTAKA

ASEAN Secretariat. 2008. Guidelines on Development of Standard Operating


Procedures For Health Certification and Quarantine Measures for The
Responsibile Movement of Live Food FinfIsh. Jakarta

Arthur, J.R., Reantaso, M.G.B. and Subasinghe, R.P. 2008. Procedure For The
Quarantine of Lives Aquatic Animals. a Manual. FAO Fisheries Technical
Paper. Rome.

Bebak-Williams, J., A. Noble, P.R. Bowser, and G.A. Wooster. 2002. Chapter 13:
Fish health management. In Recirculating Aquaculture Systems, 2nd
edition. Timmons, M.B., J.M. Ebeling, F.W. Wheaton, S.T. Summerfelt,
and B.J. Vinci (eds.). NRAC Publication 01-002. Ithaca, NY: Cayuga
Aqua Ventures. pp. 427-466.

CEFAS. 2009. Finfish Biosecurity Measures Plan. Guidance and templates for
finfish farmers and traders. Center for Environment Fisheries and
Aquaculture Science. Weymouth. UK.

Danner, G.R. and P. Merrill. 2006. Chapter 8: Disinfectants, disinfection, and


biosecurity in aquaculture. In Aquaculture Biosecurity: Prevention,
Control, and Eradication of Aquatic Animal Disease. A.D. Scarfe, C. Lee,
and P.J. O’Bryen (eds.). Ames, Iowa: Blackwell Publishing. pp. 91-128.

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2008. Cara Budidaya Ikan Yang Baik
(CBIB). Jakarta.

Eding, E., Verdegem, M., Martins, M., Schlaman, G., Heinsbroek, L., Laarhoven,
B., Ende, S., Verreth, J., Aartsen, F., Bierbooms, V., 2009.Tilapia farming
using recirculating aquaculture systems (RAS) – case study in the
Netherlands. A handbook for sustainable aquaculture.

FAO. 2003. Health management and biosecurity maintenance in white shirmp


(litopenaeus vannamei) hatcheries in latin america. Technical report, Food
and Agriculture Organization Of The United Nations.
Hamlin, H.J., 2006. Nitrate toxicity in Siberian sturgeon (Acipenserbaeri).
Aquaculture 253: 688–693.

Krause, J., Kuzan, D., DeFrank, M., Mendez, R., Pusey, J. & Braun, C. 2006.
Design guide for recirculating aquaculture systems. Rowan University, NJ,
USA.

LANDAU, M. 1992. Introduction to aquaculture. John Wiley & Sons, Inc. New
York. 440pp.

Losordo, T.M., M.R. Masser, and J. Rakocy. 1998. Recirculating Aquaculture


Tank Production Systems: An Overview of Critical Considerations.
Southern Regional Aquaculture Center. Publication No. 451. 6 pp.

Noga, E.J. 2010. Fish disease: diagnosis and treatment. 2nd edition. Ames, Iowa:
Wiley-Blackwell.

Martins, C.I.M., Eding, E.H., Verdegem, M.C.J., Heinsbroek, L.T.N., Schneider,


O., Blancheton, J.P., d'Orbcastel, E.R., Verreth, J.A.J., 2010. New
developments in recirculating aquaculture systems in Europe: A
perspective on environmental sustainability. Aquacult. Eng. 43, 83-93.

Pedersen, L.F., Suhr, K.I., Dalsgaard, J., Pedersen, P.B., Arvin, E. 2012. Effects
of feed loading on nitrogen balances and fish performance in replicated
recirculating aquaculture systems. Aquaculture 338-341, 237-245.

Setyono, D.E.D. 2004. Pengetahuan dasar akuakultur. Oseana,29 (1): 27-32.

Timmons, M.B., Ebeling, J.M. 2007. Recirculating Aquaculture. Cayuga Aqua


Ventures, Ithaca, NY, USA.

Vallat, B., Hill, B., Enriquez, R., Berthe, F., Haenen, O., Jie, H., Martinez,
V.M.V. 2011. The OIE Aquatic Animal Health Code (the Aquatic Code).
World Organization For Animal Health (OIE).

Wickins, J.F., Lee, D.O., 2002. Crustacean farming – ranching and culture.
Blackwell Science.

Yanong, R.P.E. 2009. Fish Health Management Considerations in Recirculating


Aquaculture Systems, Part 3: General Recommendations and Problem-
Solving Approaches. Circular 122. Florida Cooperative Extension Service,
University of Florida.

Yanong, R.P.E. and C. Erlacher-Reid. 2012. Biosecurity in Aquaculture, Part 1:


An Overview. Southern Regional Aquaculture Center. Publication 4707.

Anda mungkin juga menyukai