Anda di halaman 1dari 8

Pendahuluan

Cumi-cumi adalah kelompok hewan cephalopoda besar atau jenis moluska yang hidup
di laut. Arti Cephalopoda dalam bahasa Yunani yaitu kaki kepala, hal ini karena kakinya
yang terpisah menjadi sejumlah tangan yang melingkari kepala. Seperti semua cephalopoda,
cumi-cumi dipisahkan dengan memiliki kepala yang berbeda. Akson besar cumi-cumi ini
memiliki diameter 1 mm. Cumi-cumi banyak digunakan sebagai makanan.
Di dalam dunia perdagangan, sebagian besar cephalopoda dibedakan menjadi 3 (tiga)
kelompok yaitu cumi-cumi (squid), sotong (cuttlefish), gurita (octopus) Setiap kelompok
dapat terdiri dari satu suku (family) atau lebih yang mempunyai arti ekonomi penting.
Loliginidae, Onychoteuthidae, dan Ommastrephidae, adalah suku-suku yang mendukung
kelompok cumi-cumi (squid). Sedangkan Sepiidae dan Octopodidae adalah suku-suku yang
secara berturutan mendukung kelompok sotong (cuttlefish) dan gurita (octopus). Ketiga
kelompok tersebut di atas jelas mempunyai peranan yang penting dalam dunia perdagangan.

Gambar 1 tiga kelompok cephalopoda

Cumi merupakan salah satu hasil perikanan penting di dunia. Di Indonesia kelompok
hewan cumi ini mempunyai urutan ketiga produksi di dalam dunia perikanan setelah ikan dan
udang. Namun sampai saat ini, perikanan cumi masih sangat jauh dari yang diharapkan dalam
mengisi ekspor non migas, salah satu sebabnya adalah produksi cumi hingga kini masih
tergantung dari hasil tangkapan di alam. Informasi beberapa aspek yang berhubungan dengan
hewan cumi masih sangat jarang. Pemanfaatannya merupakan suatu proses yang menarik
untuk diketahui sekaligus erat hubungannya dengan aspek biokimia maupun tingkah lakunya
di alam. (Rudiana et al. 2004).
Cumi-cumi juga salah satu komoditas perikanan yang cukup penting setelah ikan dan
udang, akan tetapi tidak semua jenis cumi-cumi disukai oleh masyarakat terutama yang
berdaging liat dan tebal. Tekstur dan rasa yang khas serta kandungan protein yang cukup
tinggi. Cumi-cumi yang layak sebagai bahan baku adalah cumi-cumi yang masih segar yang
memiliki ciri-ciri dagingnya berwarna putih cerah atau warna kemerah-merahan, tentakel
atau kepalnya masih lengkap, bila direndam dalam air akan tenggelam.
Tujuan

1. Untuk mengetahui proses-proses fisiologis pada cumi-cumi


2. Untuk mengetahui penanganan pascapanen pada cumi-cumi

Pembahasan
Cumi-cumi (Loligo sp.) merupakan salah satu sumber daya hayati laut yang memiliki
nilai ekonomis penting dan mengandung nilai gizi tinggi dengan cita rasa yang khas. Sebaran
panjang mantel cumi-cumi berkisar antara 3,0-36,0 cm dengan modus 15 cm dan panjang
mantel rata-rata 13,3 cm. Pola pertumbuhan cumi-cumi baik jantan maupun betina bersifat
alometrik negatif yaitu pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan
bobot. Cumi-cumi merupakan karnivora yang makanan utamanya adalah ikan-ikan kecil
(Chodrijah dan Budiarti 2011).
Cumi-cumi memiliki tubuh langsing, kerangka nya tipis, bening dan terdapat dalam
tubuhnya. Cumi-cumi berenang menggunakan sistem propulsi jet yakni menyemburkan air
lewat organ berupa corong. Kelas Cephalopoda umumnya tidak mempunyai cangkang luar,
pada cumi-cumi cangkang terletak di dalam rongga mantel yang berwarna putih transparan.
Tubuh cumi-cumi tertutup oleh mantel tebal yang diselubungi oleh selaput tipis berlendir,
pada bagian bawah mantel terdapat lubang seperti corong yang berguna untuk mengeluarkan
air dari ruang mantel (Nontji 2002).
Cumi-cumi memiliki sifat yang khas yaitu adanya kelenjar tinta yang tersimpan dalam
kantung tinta. Kantung tinta ini membuka kearah anus. Kelenjar tinta ini mensekresi cairan
berwarna coklat tua ataupun hitam. Warna gelap pada tinta tersebut disebabkan oleh
kandungan melanin yang tinggi. Ketika cumi-cumi dalam keadaan bahaya, maka dalam
keadaan kritis mereka akan menyemburkan cairan tinta sambil berlari menghindar. Cairan
tinta ini dapat membius indera chemoreceptor yaitu indera penciuman atau rasa sehingga
cumi-cumi tidak disenangi oleh predator terutama ikan. Cumi-cumi dapat mengubah dirinya
menjadi kelabu tua, apabila berenang dari tempat berpasir putih ke tempat berbatu.Cumi-
cumi juga memiliki keistimewaan yaitu memiliki organ berpendar (bercahaya,
bioluminescence) yang dikenal dengan fotofor. Fotofor berada di dalam tubuh atau dibawah
lapisan kulit cumi-cumi, bahkan ada yang memilikinya pada bola mata maupun sekitar mata
(Rudiana dan Pringgenies 2004).
Gambar 2 bagian Cumi-cumi (Loligo sp)
Beberapa bagian-bagian serta fungsi dari setiap organ yang dimiliki cumi-cumi yaitu
Faring yaitu bagian depan kerongkongan berfungsi untuk menghisap makanan dari mulut dan
membasahi makanan tersebut dengan lendir. Mult yaitu tempat masuknya makanan. Mata
mata sebagai alat penglihatan. Tentakel berfungsi sebagai alat gerak, merangsang,
memeriksa, dan sebagai alat untuk menangkap mangsa. Anus untuk mengeluarkan sisa
metabolism. Hati sebagai pengambil sari-sari makanan dalam darah dan sebagai tempat
penghasil empedu. Esofagus merupakan saluran di belakang rongga mulut berfungsi
menghubungkan rongga mulut dengan lambung. Insang sebagai organ pernapasan. Lambung
sebagai bagian dari organ pencernaan. Cangkang dalam sebagai pelindung organ tubuh
bagian dalam. Ovarium sebagai penghasil sel telur. Rektum sebagai bagian usus belakang
yang membuka ke anus. Kantung tinta yaitu kantung selaput yang terdapat pada cumi yang
mengandung tinta.
Cumi-cumi merupakan hewan lunak (Phyllum Mollusca) yang banyak digemari
karena mengandung nilai gizi yang tinggi. Kendala dalam pemenuhan permintaan cumi-cumi
yaitu konsistensi mutu cumi-cumi. Kemunduran mutu menyebabkan penurunan penerimaan
konsumen karena adanya penurunan nilai-nilai sensori, misalnya warna, tekstur, bau dan
kenampakan.
Pada proses fisiologis cumi-cumi sama seperti hasil perikanan laut pada umumnya
yaitu terdiri dari beberapa fase:
1. Prerigor
Tahap prerigor merupakan perubahan yang pertama kali terjadi setelah cumi mati.
Fase ini ditandai dengan pelepasan lendir cair, bening, atau transparan yang menyelimuti
seluruh tubuh cumi. Proses ini disebut hiperemia yang berlangsung 2-4 jam. Lendir yang
dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media
ideal bagi pertumbuhan bakteri. Tahap prerigor terjadi ketika daging cumi masih lembut dan
lunak. Perubahan awal yang terjadi ketika pasokan oksigen untuk kegiatan metabolisme
berhenti. Di dalam daging cumi mulai terjadi aktivitas penurunan mutu dalam kondisi
anaerobik. Pada fase ini terjadi penurunan ATP dan keratin fosfat melalui proses aktif
glikolisis. Proses glikolisis mengubah glikogen menjadi asam laktat yang menyebabkan
terjadinya penurunan pH. (Junianto 2003).
2. Rigor mortis
Fase ini ditandai dengan tubuh cumi yang kejang setelah mati (rigor = kaku, mortis =
mati) cumi-cumi masih dikatakan masih sangat segar pada fase ini. Faktor yang
mempengaruhi lamanya fase rigormortis yaitu jenis ikan, suhu, penanganan sebelum
pemanenan, kondisi stress pra kematian, kondisi biologis ikan, dan suhu penyimpanan
prerigor (Skjervold et al. 2001). Ketika ikan mati, kondisi menjadi anaerob dan ATP terurai
oleh enzim dalam tubuh dengan terjadinya suatu proses perubahan biokimia yang
menyebabkan bagian protein otot (aktin dan miosin) berkontraksi dan menjadi kaku (rigor)
(Valtria, 2010).
3. Postrigor
Pada tahap ini daging cumi-cumi kembali melunak secara perlahan-lahan, sehingga
secara organoleptik akan meningkatkan derajat penerimaan konsumen sampai pada tingkat
optimal. Lamanya mencapai tingkat optimal tergantung pada jenis ikan dan suhu lingkungan.
(Sulistyati, 2004).
4. Autolysis
Proses penurunan mutu secara autolisis berlangsung sebagai akasi kegiatan enzim
yang mengurai senyawa kimia kepada jaringan tubuh cumi-cumi. Enzim bertindak sebagai
katalisator yang menjadi pendorong dari segala perubahan senyawa biologis yang terdapat
dalam cumi-cumi, baik perubahan yang sifatnya membangun sel dan jaringan tubuh maupun
yang merombaknya ( Suwetja. 2011). Kerja enzim yang tidak terkontrol bisa mengakibatkan
kerusakan pada organ tubuh cumi-cumi, seperti: dinding usus, otot daging, serta menguraikan
senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana proses inilah yang disebut dengan autolisis
(Purnomowati et al, 2007).
Proses kemunduran mutu secara enzimatis terjadi dengan menguraikan senyawa-
senyawa kimia yang terdapat pada jaringan tubuh cumi-cumi. Enzim merupakan pemicu
kebusukan cumi-cumi atau biota perikanan lainnya secara alami di dalam tubuh. Enzim
tersebut yaitu enzim katepsin dan kolagenase. Enzim katepsin merupakan enzim yang banyak
terdapat pada lisosom sel dan mendegradasi protein miofibril (Jiang 2000). Enzim kolagenase
merupakan enzim yang mampu mendegradasi ikatan polipeptida saat protein belum
mengalami denaturasi. Proses kemunduran mutu cumi-cumi akan terus berlangsung jika tidak
dihambat. Cumi-cumi memiliki kandungan protein tinggi alami yang sebagian besar terdiri
dari protein tegument dan kontraktil seperti myosin dan connectin. Cumi-cumi sangat sulit
untuk tetap segar karena degradasi auto-proteolitik post-mortem yang cepat (Kasamatsu et al.
2004). Hidrolisis protein cumi tidak mengarah pada pembentukan peptida beracun yang
diketahui. Kegiatan anti-toksik seperti antioksidan, antihipertensi, tirosinase dan anti-pemutih
yang sebanding dengan saus tiram, kecap ikan dan makanan lainnya telah dikaitkan dengan
berbagai produk pembelahan peptida dari squidhydrolysate (Choi et al. 2015)
Tabel 1 Tabel komposisi kimia cumi-cumi

Senyawa Kadar (%)


Air 78.42
Protein 14.57
Karbohidrat 4.16
Abu 1.40
Lemak 1.45

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat kadar air pada cumi-cumi sebesar 78.42%,
protein sebesar 14.57%, karbohidrat sebesar 4.16%, kadar abu 1.40%, dan lemak sebesar
1.45%. Cumi-cumi mempunyai kadar protein yang cukup tinggi, yaitu 15.6%, kadar air
81.8%, lemak 1.0%, dan abu 1.5% bahan. (Okuzumi dan Fujii 2000). Perbandingan antara
hasil yang didapatkan dengan literatur tidak terlalu besar, terutama kadar abu dan proteinnya.
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 2731.1:2010), penanganan pascapanen
cumi-cumi berasal dari perairan yang tidak tercemar, bahan baku bersih, bebas dari bau yang
menandakan pembusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat
alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. Secara
organoleptik karakteristik kesegaran cumi-cumi meliputi kenampakan yang utuh, tidak cacat,
cemerlang. Bau segarspesifik jenis. Tekstur elastis, padat dan kompak. Untuk penyimpanan
cumi-cumi pada wadah dengan menggunakan es dengan suhu pusat 0 0C – 5 0C secara saniter
dan higienis.

Kesimpulan
1. Cumi-cumi adalah kelompok hewan cephalopoda besar atau jenis moluska yang hidup
di laut. Arti Cephalopoda dalam bahasa Yunani yaitu kaki kepala, hal ini karena
kakinya yang terpisah menjadi sejumlah tangan yang melingkari kepala. Seperti
semua cephalopoda, cumi-cumi dipisahkan dengan memiliki kepala yang berbeda.
Akson besar cumi-cumi ini memiliki diameter 1 mm. Cumi-cumi banyak digunakan
sebagai makanan. Proses fisiologi cumi-cumi terdiri dari Prerigor, Rigor mortis,
Postrigor, dan Autolysis.
2. penanganan pascapanen cumi-cumi berasal dari perairan yang tidak tercemar, bahan
baku bersih, bebas dari bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda
dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat
menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. Secara organoleptik
karakteristik kesegaran cumi-cumi meliputi kenampakan yang utuh, tidak cacat,
cemerlang. Bau segarspesifik jenis. Tekstur elastis, padat dan kompak. Untuk
penyimpanan cumi-cumi pada wadah dengan menggunakan es dengan suhu pusat 0
0
C – 5 0C secara saniter dan higienis.
Daftar Pustaka

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2010. Cumi-cumi Beku. SNI 2731.1: 2010. Jakarta (ID)
: Badan Standarisasi Nasional
Rudiana, Esti D. Pringgenies. 2004. Morfologi dan Anatomi Cumi-Cumi Loligo duvacuelli
yang Memancarkan Cahaya. Ilmu Kelautan. 9(2):96-100.
Choi JH, Kim KT, and Kim SM. 2015. Biofunctional properties of enzymatic squid meat
hydrolysate. Prev.Nutr.Food Sci. 201(1):67-72.
Chodrijah U dan Budiarti T. 2011. Beberapa Aspek Biologi Cumi-Cumi Jamak (Loligo
duvaucelli) yang Didaratkan di Blanakan, Subang, Jawa Barat. BAWAL. 3(6): 357-362
Kasamatsu C, Kimura S, Kagawa M. and Hatae K. 2014. Identification of High
MolecularWeight Proteins in Squid Muscle by Western Blotting Analysis and
Postmortem Rheological Changes. Bioscience, Biotechnology, and Biochemistry.
68(5):1119-1124.
Gilly WF, Richmond TA, Duda, TF, Elliger C, Lebaric Z, Schulz J, Bingham JP, and
Sweedler, JV. 2011. A diverse family of novel peptide toxins from an unusual cone
snail, Conuscalifornicus. J Exp Biol. 214(1):147–161.
Jiang ST. 2000. Enzymes and Their Effects on Seafood Texture. Di dalam: Haard NF dan
Simpson BK, editor. New York (US): Marcel Dekker, Seafood Enzymes Utilization
and Influence on Postharvest Seafood Quality.
Nurjanah, Abdullah A, Kustiariyah. 2011. Pengetahuan dan Karakteristik Bahan Baku Hasil
Perairan. Bogor (ID): IPB Press.
Okuzumi MT dan Fujii T. 2000. Nutritional and Functional Properties of Squid and
Cuttlefish. Japan: National
Rudiana E, Pringgenies D. 2004. Morfologi dan Anatomi Cumi-Cumi Loligo duvauceli yang
Memancarkan Cahaya. Ilmu Kelautan. 9(2):96 – 100.
Sulistyati. 2004. Kajian Penyaringan dan Lama Penyimpanan Dalam Pembuatan Fish
Pephone Dari Ikan Selar Kuning. Teknologi Hasil Perikanan. FPIK. IPB: Bogor.
Suwetja IK. 2011. Biokimia Hasil Perikanan. Jakarta (ID): Media Prima Aksara
Purnomowati I, Diana H dan Cahyo S. 2007. Ragam Olahan Bandeng. Kanisius:Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai