Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PARAKTIKUM TOKSIKOLOGI

TANAMAN PENYEBAB FOTOSENSITISASI DAN


TANAMAN SIANOGENIK PADA TERNAK

KELOMPOK A3

OLIVIA MARIA UJAN (1409010004)

WINDA ATIKA TOSI (1409010010)

DALMASIA TRISNA DHIU (1409010031)

MERYSAL MAGDALENA SALO (1409010043)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman sangat berguna bagi kebutuhan hewan yang merupakan komponen penting
untuk pertumbuhan dan perkembangan hewan tersebut. Tanaman yang ada dialam sangat
banyak jenisnya. Meskipun demikian, beberapa jenis tanaman dapat mengandung racun yang
dapat membahayakan kesehatan hewan. Hal ini karena pada tanaman yang mengandung
racun tersebut apabila dikonsumsi ternak dapat memacu terjadinya keracunan bahkan
berujung pada kematian. Racun dalam tanaman sebenarnya merupakan salah satu mekanisme
dari tanaman tersebut untuk melawan serangan serangga ataupun predator lain.

Fotosensitisasi adalah gejala dermatitis dan/atau konjungtivitis dan/atau cutaneous


hyperesthesia yang berkembang pada hewan yang terpapar oleh cahaya matahari.
Fotosensitivitas berarti peningkatan kepekaan terhadap sinar matahari secara berlebihan yang
disebabkan oleh deposisi molekul yang mampu mengabsorbsi gelombang matahari pada
kulit.

Tanaman sianogenik adalah tanaman yang mengandung glikosida sianogenik yang


merupakan senyawa yang menghasilkan sianida. Glikosida sianogenik tersebut dapat diubah
menjadi sianida oleh enzim-enzim yang terdapat pada tumbuhan hanya apabila tanaman
tersebut rusak, mengalami perlukaan atau dipotong. Sianida adalah salah satu toksin alami
yang sangat poten. Glikosida sianogenik dapat ditemukan pada singkong (Manihot spp.),
rebung dan white clover.

1.2 Tujuan

Mengidentifikasi tanaman penyebab fotosensitisasi dan tanaman sianogenik yang


menyebabkan gangguan pada hewan/ternak di wilayah Kota Kupang, Propinsi Nusa Tenggara
Timur.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Tanaman penyebab Fotosensitisasi

Fotosensitisasi adalah tanda-tanda dari suatu penyakit yang menyerang ternak


ruminansia yang diakibatkan oleh ternak memakan tanaman yang mengadung agen
fotodinamik. Fotosensitisasi terjadi bila terdapat agen fotodinamik terdapat dalam darah
perifer disertai dengan paparan sinar ultra violet yang menimpa kulit terutama pada daerah
kurang terlindung rambut dan kurang berpigmen. Pada daerah tersebut agen fotodinamik
akan menyerap sianr UV kemudian energi tersebut diteruskan ke dalam komponen-
komponen dari sel disekitarnya, sehingga akan terjadi kerusakan dari struktur membran sel
dan pada akhirnya akan terjadi kerusakan dari struktur seluler yag ditandai dengan dermatitis
di daerah kulit tersebut, pada kondisi kronik terbentuk keropeng dan kulit yang terluka dapat
terkelupas.

Mekanisme fotosensitisasi

Fotosensitisasi dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu:

1) Setelah absorpsi radiasi sinar matahari, molekul sensitisasi mengalami perubahan


panjang gelombang menjadi molekul triplet. Molekul sensitisasi triplet kemudian
berinteraksi dengan molekul lain melalui hidrogen atau proses transfer elektron untuk
menghasilkan radikal bebas yang sangat reaktif. Radikal bebas tersebut kemudian
bereaksi dengan oksigen atau molekul lain, atau melalui transfer energi secara
langsung kepada molekul oksigen yang menghasilkan oksigen tunggal dan kemudian
dapat mengoksidasi substrat yang peka. Proses ini lebih sering terjadi dan porphyrin
merupakan penyebab fotosensitisasi.

2) Penyimpanan senyawa kimia fotosensitisasi umumnya terjadi pada sel endothelial


dari kapiler dermis dan dalam hal tertentu adalah sel mast dermis. Beberapa senyawa
aktif mungkin berikatan hanya pada membran permukaan kapiler, sedangkan lainnya
diabsorbsi ke dalam sel yang akan menyimpan senyawa aktif tersebut di dalam
lysosomes. Melalui absorbsi cahaya dengan penjang gelombang yang tepat oleh
endothelium kapiler yang terdapat di dalam lapisan luar dermis, maka kerusakan sel
umumnya terjadi melalui pelepasan enzim proteolitik dari lysosomes. Akibatnya
terjadi peningkatan permeabilitas kapiler, nekrosis sel, oklusi vaskuler dan inflamasi
akut. Bila penetrasi pada epidermis oleh radiasi dicegah baik oleh ketebalan kulit,
bulu penutup atau pigementasi seperti kulit hitam, maka fostosensitisasi tidak akan
terjadi.

3) Kadang-kadang fotosensitisasi harus didiferensiasi dari dermatitis (sunburn)


sederhana. Dematitis sederhana tersebut merupakan reaksi normal kulit yang tidak
terlindungi, tidak berpigmentasi terpapar oleh cahaya matahari, dan disebabkan oleh
radiasi ultraviolet dengan panjang gelombang yang pendek (320 nm).

Berdasarkan penyebab terjadinya fotosensisitisasi maka dapat dikelompokkan


menjadi fotosensitisasi primer dan fotosensitisasi sekunder. Kedua agen tersebut dapat
menyebabkan terjadinya fotosensitisasi yang disertai dengan atau tidaknya kerusaakkan hepar
pada ternak.

a. Fotosensitisasi primer (Tipe I) langsung dari racun tanaman.

Fotosensitisasi primer. Beberapa tanaman mengandung senyawa fluoresen yang


berpotensi merangsang pigmen, setelah absorpsi dari lambung masuk ke dalam aliran darah
portal, dan tidak dikeluarkan secara sempurna oleh hati, tetapi tetap berada di dalam sirkulasi
peripferal dan mencapai kapiler kulit. Tanaman tersebut meliputi:

Fagopyrum esculentum (boekweit, buckweat) mengandung pigmen


helianthrone.

Seledri mengandung furocoumarin.

Phenothiazine berubah menjadi phenothizine sulphoxide di dalam rumen,


kemudian menjadi phenothiazone di dalam hati.

b. Fotosesitisasi sekunder atau hepatogenus (Tipe II) akibat dari metabolit racun.
Fotosensitisasi sekunder atau hepatogenus. Kebanyakan fotosensitisasi pada hewan
domestik bukan fotosensitisasi primer tetapi bersifat sekunder terhadap kerusakan hati.
Banyak tanaman dapat menimbulkan kerusakan jaringan hati dan sebagai akibatnya
fotosensitisasi merupakan gejala klinis dari keracunan tanaman. Senyawaan fotosensitisasi
tersebut adalah phylloerythrin. Phylloerythrin berasal dari chlorophyll melalui proses
mikroba di dalam saluran pencernaan. Pigmennya merupakan porphyrin fluorescent.
Senyawa ini diserab kedalam darah portal dan dikeluarkan oleh hati untuk diekskresikan ke
dalam empedu, yang merupakan sirkulasi enterohepatik. Salah satu gambaran kerusakan sel
hati adalah ketidak mampuan dalam mengambil phylloerythrin dari darah sinusoid dan
mengeluarkannya ke dalam empedu. Phylloerythrin yang beredar di dalam darah perifer
secara tidak langsung diekskresikan melalui urin sebagai porphyrin endogenous yang
mengandung berbagai kelompok hydrofilik, dan hal ini juga meningkatkan potensi
fotosensitisasinya. Tanaman-tanaman tersebut adalah:

Lantana camara mengandung lantadene.

Cengkeh

Leguminosa

Sapi Bali adalah ras pilihan untuk kegiatan peternakan sapi di daerah dengan
produktivitas pakan hijauan yang rendah (daerah kering), terdapat beberapa kelemahan yang
ditemukan pada sapi Bali, seperti : perlu waktu yang lama untuk berahi kembali setelah
melahirkan, penyakit Jembrana, penyakit Baliziekte dan penyakit Coryza. Penyakit Baliziekte
selalu terjadi pada musim kemarau, paling tidak terjadi selama 9 bulan di daerah-daerah
kering, penyakit ini menunjukkan gejala reaksi hipersensitivitas kulit terhadap sinar matahari
(fotosensitisasi) yang disebabkan oleh konsumsi tanaman yang bersifat meracuni hati, seperti
Lantana camara. Lantana camara mengandung Lantadene-A yang bersifat meracuni hati
(hepatotoksik), sehingga hati akan melepaskan beberapa zat yang akan menimbulkan reaksi
peningkatan kepekaan kulit terhadap sinar matahari (fotosensitisasi). Tanaman sangat mudah
tumbuh dan mampu bertahan dalam situasi kering sehingga terkadang menjadi pilihan
makanan oleh ternak sapi yang dipelihara dengan pola penggembalaan.

2. Tanaman Sianogenik
Tanaman sianogenik adalah tanaman yang mengandung glikosida sianogenik yang
merupakan senyawa yang menghasilkan sianida. Glikosida sianogenik tersebut dapat diubah
menjadi sianida oleh enzim-enzim yang terdapat pada tumbuhan hanya apabila tanaman
tersebut rusak, mengalami perlukaan atau dipotong. Sianida adalah salah satu toksin alami
yang sangat poten.

Glikosida sianogenik dapat ditemukan pada singkong (Manihot spp.). Singkong


mengandung senyawa yang berpotensi racun yaitu linamarin dan lotaustralin. Keduanya
termasuk golongan glikosida sianogenik. Linamarin terdapat pada semua bagian tanaman,
terutama terakumulasi pada akar dan daun. Singkong dibedakan atas dua tipe, yaitu pahit dan
manis. Singkong tipe pahit mengandung kadar racun yang lebih tinggi daripada tipe manis.
Jika singkong mentah atau yang dimasak kurang sempurna dikonsumsi, maka racun tersebut
akan berubah menjadi senyawa kimia yang dinamakan hidrogen sianida, yang dapat
menimbulkan gangguan kesehatan. Singkong manis mengandung sianida kurang dari 50 mg
per kilogram, sedangkan yang pahit mengandung sianida lebih dari 50 mg per kilogram.
Meskipun sejumlah kecil sianida masih dapat ditoleransi oleh tubuh, jumlah sianida yang
masuk ke tubuh tidak boleh melebihi 1 mg per kilogram berat badan per hari (Widodo, 2005).

Hewan ruminansia merupakan spesies yang paling peka terhadap glikosida


sianogenik. Jika hewan ruminansia mengkonsumsi tanaman yang mengandung glikosida
sianogenik, asam sianida akan dilepaskan dalam rumen untuk kemudian diserap dalam
sirkulasi darah dan mencegah hemoglobin melepaskan oksigen ke jaringan-jaringan. Jika
sianida dalam jumlah besar diabsorpsi maka akan menyebabkan hewan mati seketika. Hewan
yang mengkonsumsi tanaman sianogenik tidak dapat bertahan lebih dari 2 jam dan biasanya
hewan mati dalam 5-15 menit setelah menunjukkan gejala keracunan. Gejala toksikosis
sianida meliputi dispnoea, dilatasi pupil, denyut nadi tidak teratur, tremor, dan sempoyongan.
Membrana mukosa berwarna merah cerah akibat tidak adanya pasokan oksigen ke jaringan.

DAFTAR PUSTAKA

Bahri, S., Tarmudji. 1994. Wartazoa Vol.11 No.3 Januari 1994 : Keracunan Sianida pada
Ternak dan Cara Mengatasinya. Bogor : Balai Penelitian Peyakit Hewan
Meredith, T.J., 1993. Antidots for Poisoning by Cyanide. Philadelphia : Elsevier

Smith, B. P. 2002. Large Animal Internal Medicine. New York : Mosby

Utomo, R., Budhi, SPS., Agus, A., Noviandi, C.T. 2008. Bahan Pakan Dan Formulasi
Ransum. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

Widodo, W. 2005. Tanaman Beracun dalam Kehidupan Ternak. Malanag : UMM PRESS.

Anda mungkin juga menyukai