Oleh
DEWI LESTARI
1713453041
ii
ANGKA KAPANG PADA SAUS CABAI KEMASAN
YANG DIJUAL DI PASAR SUKADANA
KABUPATEN LAMPUNG TIMUR
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan
pendidikan pada Program Studi Teknologi Laboratorium Medis
Program Diploma Tiga Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
Oleh
DEWI LESTARI
1713453941
Dewi Lestari
Angka Kapang Pada Saus Cabai Kemasan Yang Dijual di Pasar Sukadana
Kabupaten Lampung Timur
ABSTRAK
Kapang adalah mikroba yang dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan
dan beberapa dapat menyebabkan reaksi alergi dan infeksi terutama pada manusia
yang kekebalan tubuhnya kurang. Penyakit yang ditimbulkan oleh kapang
dibedakan atas dua golongan yaitu infeksi oleh kapang (mikosis) dan keracunan
(mikotoksikosis). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui angka
kapang pada saus cabai kemasan yang dijual di Pasar Sukadana Kabupaten
Lampung Timur, mengetahui persentase saus cabai yang memenuhi syarat dan
tidak memenuhi syarat sesuai SNI: 7388 Tahun 2009, dan mengetahui persentase
penyimpanan saus cabai kemasan yang dijual di Pasar Sukadana Kabupaten
Lampung Timur yang baik atau tidak baik berdasarkan PMK 1096 Tahun 2011.
Jenis Penelitian ini adalah deskriptif. Lokasi penelitian ini di Pasar Sukadana
Kabupaten Lampung Timur. Waktu penelitian adalah bulan Januari – April 2020.
Sampel yang diteliti sebanyak 22 buah saus cabai kemasan dari 22 kios yang ada
di Pasar Sukadana Kabupaten Lampung Timur. Hasil penelitian dari 22 sampel
saus cabai kemasan didapatkan angka kapang berkisar antara 0 koloni/g sampai 12
x 101 koloni/g. Persentase saus cabai kemasan yang tidak memenuhi syarat sesuai
SNI: 7388 Tahun 2009 sebanyak 18.2% (4 sampel) sedangkan yang memenuhi
syarat sebanyak 81.8% (18 sampel). Persentase penyimpanan saus cabai kemasan
yang baik sesuai PMK 1096 Tahun 2011 sebanyak 40.9% sedangkan yang tidak
baik sebanyak 59.1%.
RIWAYAT PENDIDIKAN
SD : SD Negeri 1 Sukadana
SMP : SMP Negeri 1 Sukadana
SMA : SMA Negeri 1 Purbolinggo
D.III : Politeknik Kesehatan Tanjungkarang, Program Studi
Teknologi Laboratorium Medis
LEMBAR PERNYATAAN
“Angka Kapang Pada Saus Cabai Kemasan Yang Dijual Di Pasar Sukadana
Kabupaten Lampung Timur”
Apabila suatu saat nanti saya terbukti melakukan kegiatan plagiat, maka saya akan
menerima sanksi yang telah ditetapkan.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Dewi Lestari
MOTTO
-Dewi Lestari-
PERSEMBAHAN
9
10
KATA PENGANTAR
11
Puji syukur atas kehadirat Allah yang telah melimpahkan rahmat, hidayah
serta anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyusun karya tulis ilmiah yang
berjudul “Angka Kapang Pada Saus Cabai Kemasan Yang Dijual Di Pasar
Sukadana Kabupaten Lampung Timur”, penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak atas bimbingan, bantuan serta dukungan dalam penyusunan
karya tulis ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Warjidin Aliyanto, SKM, M.Kes selaku Direktur Politeknik Kesehatan
Tanjungkarang.
2. Dra. Eka Sulistianingsih, M. Kes selaku Ketua Jurusan Analis Kesehatan
Politeknik Kesehatan Tanjungkarang dan penguji karya tulis ilmiah.
3. Yusrizal Ch, M.Kes selaku pembimbing utama yang telah memberikan
bimbingan karya tulis ilmiah secara offline maupun online dengan terus
memotivasi mahasiswa agar tidak patah semangat dalam menyelesaikan
karya tulis ilmiah ini.
4. Yustin Nur Khoiriyah, M.Sc selaku pembimbing pendamping karya tulis
ilmiah yang sudah meluangkan waktunya untuk membimbing baik secara
offline maupun online dengan sabar dan teliti di tengah-tengah pekerjaan
beliau yang sangat banyak dan cukup menyita waktu.
5. Seluruh Dosen, Staf dan Laboran Jurusan Analis Kesehatan yang telah
memberikan ilmu selama penulis menempuh pendidikan di Politeknik
Kesehatan Tanjungkarang.
Penulis menyadari dalam penyusunan karya tulis ilmiah masih banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna, tetapi penulis berharap semoga karya
tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan mahasiswa/i Jurusan Analis
Kesehatan Politeknik Kesehatan Tanjungkarang.
Penulis
12
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penelitian 4
D. Manfaat Penelitian 4
E. Ruang Lingkup 4
B. Pembahasan 26
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
14
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Angka Kapang Pada Saus Cabai Kemasan Yang Dijual 24
di Pasar Sukadana Kabupaten Lampung Timur
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor lampiran
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kapang menurut SNI: 7388 tahun 2009 adalah mikroba bersel tunggal yang
memiliki hifa, memiliki miselium, dan berkembang biak dengan spora atau
membelah diri. Kebanyakan kapang bersifat aerob, dapat tumbuh pada rentang pH
2-9 dalam kisaran suhu 10ºC-35ºC. Kapang dapat menyebabkan kerusakan pada
bahan pangan dan beberapa dapat menyebabkan reaksi alergi dan infeksi terutama
pada manusia yang kekebalan tubuhnya kurang. Penyakit yang ditimbulkan oleh
kapang dibedakan atas dua golongan yaitu infeksi oleh kapang (mikosis) dan
keracunan (mikotoksikosis). Mikotoksikosis disebabkan oleh tertelannya hasil
metabolisme beracun (toksin) dari kapang yang tidak rusak karena proses
pengolahan pangan dan keracunan biasanya disebabkan oleh konsumsi
mikotoksin secara berulang-ulang dalam suatu periode waktu tertentu. Menurut
Syarief dkk (2003) kerusakan bahan pangan oleh kapang dapat menyebabkan
makanan tidak layak konsumsi akibat penurunan mutu atau karena makanan
tersebut telah beracun. Salah satu racun yang berbahaya adalah aflaktosin.
WHO memperkirakan 600 juta orang atau 1 dari 10 orang di dunia
mengalami keracunan makanan setiap tahun. WHO juga menyebutkan bahwa
aflatoksin turut menyebabkan kematian akibat keracunan makanan. Aflatoksin
juga dikaitkan dengan lebih dari 10.000 kasus kanker hati di Pasifik Barat.
Aflaktosin di Indonesia merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada
produk-produk pertanian dan hasil olahannya (Maryam, 2002).
Pemerintah Indonesia sangat menekankan bahwa keamanan pangan harus
diperhatikan. Hal ini dikarenakan ada begitu banyak penyakit yang dapat
ditularkan melalui makanan yang disebabkan oleh mikroba atau agen-agen yang
masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dikonsumsi. Data tahun 2017 dari
Direktorat Kesehatan Lingkungan dan Public Health Emergency Operation
Center (PHEOC) Kementrian Kesehatan (Kemenkes) mencatat KLB keracunan
pangan berjumlah 163 kejadian. KLB keracunan pangan masih banyak terjadi di
18
Pulau Jawa dan sebagian besar masih bersumber dari pangan siap saji (Kemenkes
RI, 2018).
Pangan siap saji bisa menjadi sumber keracunan karena higiene dan sanitasi
pangan tersebut yang tidak baik. Mikroba penyebab keracunan makanan dapat
masuk pada pangan tersebut saat pengolahan sampai penyimpanan yang kemudian
akan membuat makanan menjadi beracun dan tidak layak konsumsi. Salah satu
mikroba yang dapat merusak pangan siap saji tersebut adalah kapang. Kapang
dapat menghasilkan toksin yang menyebabkan keracunan. Gejala keracunan yang
umum dijumpai adalah diare, mual, muntah, kram perut, dan sakit kepala yang
berkelanjutan. Oleh karena itu beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui
nilai angka kapang atau pun identifikasi kapang pada beberapa bahan pangan siap
saji sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan.
Hasil penelitian Aulia Nurnissa Qurbani (2018) tentang gambaran angka
kapang pada saus cabai kemasan isi ulang yang dijual di Pasar Sentral Kotabumi
Lampung Utara dengan sampel yang berjumlah 20 buah dan keseluruhannya
ditumbuhi kapang dengan jumlah yang melebihi batas standar. Standar yang
diizinkan oleh SNI: 7388 Tahun 2009 adalah 5 x 101 koloni/gram. Hal ini
diperkuat juga dengan persentase penyimpanan yang baik hanya sebesar 38,2 %
dan persentase penyimpanan yang tidak baik sebesar 61,8%. Hal ini menunjukkan
bahwa makanan dalam kemasan pun mempunyai potensi untuk ditumbuhi kapang
apabila tidak diperhatikan bagaimana cara penyimpanan bahan-bahan tersebut.
Menurut KBBI saus adalah kuah kental yang berisi bumbu bahan tertentu
(tomat, cabai, dan sebagainya) untuk kue atau lauk maupun kuah penyedap
makanan. Umumnya saus yang sering dijumpai adalah saus cabai dan juga saus
tomat. Dari pengamatan langsung, didapatkan banyak sekali pedagang yang
menjadikan saus sebagai pendamping makanan. Seperti pada pedagang bakso, mie
ayam, tekwan, bahkan gorengan sekalipun. Jenis saus yang mereka gunakan pun
bukan saus dengan merek terkenal, melainkan saus yang dijual dengan harga
Rp2.000,00-Rp5.000,00. Saus ini menjadi favorit bagi pedagang-pedagang
tersebut lantaran harganya yang murah namun berukuran besar dengan isi yang
banyak. Banyaknya kebutuhan pelanggan terhadap saus cabai kemasan inilah
19
yang membuat para pedagang di pasar tradisional menyetok barang dalam jumlah
banyak dan seringkali mengabaikan cara penyimpanannya.
Pasar Sukadana merupakan satu-satunya pasar tradisional yang ada di
kecamatan Sukadana. Pasar ini memiliki akses yang mudah, yaitu terletak di
pinggir jalan dua jalur yang mana banyak dilalui oleh kendaraan. Di pasar ini
pembeli dapat membeli berbagai macam kebutuhan pangan, termasuk saus cabai
kemasan yang murah karena dari kios secara langsung. Di Pasar Sukadana ini juga
ditemukan banyak pedagang bakso maupun pedagang mie ayam yang
menggunakan saus cabai kemasan sebagai pelengkap makanan lantaran harganya
yang sangat terjangkau dengan volume yang banyak.
Hasil wawancara pemilik kios mengatakan kalau mereka menjual saus cabai
kemasan dan tidak terlalu memperhatikan cara penyimpanannya. Penyimpanan
yang dimaksud pedagang tersebut adalah membiarkan saus cabai tetap bertumpuk
di dalam kardus sementara kardus tetap diletakkan di lantai. Pedagang tersebut
beranggapan bahwa tidak akan ada masalah selama saus cabai kemasan tersebut
belum melewati masa kadaluarsa yang tertera. Padahal menurut Maryam (2002)
selain penggunaan bahan baku yang terkontaminasi dan proses pengolahannya
yang tidak benar, kapang juga dapat tumbuh apabila proses penyimpanan bahan
pangan tersebut tidak baik. Misalnya saja suhu dan kelembaban tempat
penyimpanan yang buruk. Belum lagi kalau saus-saus tersebut tidak dibuat
dengan bahan-bahan yang segar dan mengandung banyak bahan tambahan.
Dengan beragam faktor yang mendukung, tentu saja kapang dapat tumbuh subur
di saus tersebut meskipun masih jauh dari tanggal kadaluarsa.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis perlu melakukan penelitian
terhadap saus cabai kemasan dengan judul “angka kapang pada saus cabai
kemasan yang dijual di Pasar Sukadana Kabupaten Lampung Timur”.
B. Rumusan Masalah
1. Berapa nilai angka kapang pada saus cabai kemasan yang dijual di Pasar
Sukadana Kabupaten Lampung Timur?
2. Berapa persentase saus cabai yang dijual di Pasar Sukadana Kabupaten
Lampung Timur yang memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat
berdasarkan persyaratan SNI:7388 Tahun 2009, yaitu 5 x 101 koloni/gram?
20
C. Tujuan Masalah
Tujuan Umum
1. Diketahui angka kapang pada saus cabai kemasan yang dijual di Pasar
Sukadana Kabupaten Lampung Timur.
Tujuan Khusus
1. Diketahui angka kapang pada saus cabai kemasan yang dijual di Pasar
Sukadana Kabupaten Lampung Timur.
2. Diketahui persentase saus cabai kemasan yang dijual di Pasar Sukadana
Kabupaten Lampung Timur yang memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat
berdasarkan persyaratan SNI:7388 Tahun 2009, yaitu 5 x 101 koloni/gram.
3. Diketahui persentase penyimpanan saus cabai kemasan yang dijual di Pasar
Sukadana Kabupaten Lampung Timur yang baik atau tidak baik berdasarkan
PMK 1096 Tahun 2011.
D. Manfaat Umum
1. Teoritis
Memberi pengetahuan dan wawasan ilmiah bagi peneliti, sebagai bahan
referensi untuk peneliti selanjutnya, dan database jurusan Analis Kesehatan
Politeknik Kesehatan Tanjung Karang.
2. Aplikatif
Memberi data hasil penelitian kepada dinas kesehatan setempat agar ada
tindak lanjut untuk memberi informasi ke pemilik kios agar lebih
memerhatikan pentingnya cara penyimpanan bahan pangan tersebut agar
terhindar dari kontaminasi kapang.
E. Ruang Lingkup
Penelitian ini bersifat deskriptif dalam bidang mikologi. Penelitian ini
dilaksanakan di Pasar Sukadana Kabupaten Lampung Timur pada bulan Januari
2020-April 2020. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh saus cabai kemasan
yang dijual dengan harga Rp2.000,00-Rp5.000,00 oleh 22 kios di Pasar Sukadana
Kabupaten Lampung Timur. Sampel penelitian ini berjumlah 22 saus cabai
kemasan yang dijual dengan harga Rp2.000,00-Rp5.000,00 oleh 22 kios di Pasar
Sukadana Kabupaten Lampung Timur. Sampel diperiksa di Laboratorium
Parasitologi Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Tanjungkarang
21
dengan metode Angka Lempeng Total. Analisa data yang digunakan adalah
univariat.
22
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Jamur
Jamur adalah mikroorganisme yang termasuk golongan eukariotik dan tidak
termasuk golongan tumbuhan. Jamur berbentuk sel atau benang bercabang dan
mempunyai dinding sel yang sebagian besar terdiri atas kitin dan glukan, dan
sebagian kecil dari selulosa atau kitosan. Jamur mempunyai protoplasma yang
mengandung satu atau lebih inti, tidak mempunyai klorofil dan berkembang biak
secara aseksual, seksual, atau keduanya (Sutanto dkk, 2008).
Jamur bersifat heterotropik yaitu organisme yang tidak mempunyai klorofil
sehingga tidak dapat membuat makanannya sendiri melalui proses fotosintesis
seperti tanaman. Untuk hidupnya jamur memerlukan zat organik yang berasal dari
hewan, tumbuh-tumbuhan, serangga dan lain-lain, kemudian dengan
menggunakan enzim zat organik tersebut diubah dan dicerna menjadi zat
anorganik yang kemudian diserap oleh jamur sebagai makanannya. Sifat inilah
yang menyebabkan kerusakan pada benda dan makanan (Sutanto dkk, 2008).
Pada umumnya jamur tumbuh dengan baik di tempat yang lembab. Jamur
juga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga jamur dapat
ditemukan di semua tempat di seluruh dunia termasuk gurun pasir yang panas.
Morfologi jamur pada umumnya mencakup khamir dan kapang. Khamir/ yeast
adalah sel-sel berbentuk bulat, lonjong, atau memanjang yang berkembang biak
dengan membentuk tunas atau membentuk koloni yang basah atau berlendir.
Sedangkan kapang/mold yaitu sel-sel yang memanjang dan bercabang yang
disebut hifa, anyaman hifa yang disebut miselium (Sutanto dkk, 2008).
2. Kapang
a. Morfologi Kapang
Kapang adalah sel-sel yang memanjang dan bercabang yang disebut hifa.
Hifa tersebut dapat bersekat sehingga terbagi menjadi banyak sel, atau tidak
bersekat yang disebut hifa senositik. Anyaman hifa, baik yang multiseluler atau
23
Sumber: https://kumparan.com
Gambar 2.1 Koloni kapang Aspergillus flavus.
Bentuk kapang atau khamir tidak mutlak karena terdapat jamur yang dapat
membentuk kedua sifat tersebut dalam keadaan yang berbeda dan disebut sebagai
jamur dimorfik. Di samping itu terdapat juga khamir yang dapat membentuk tunas
yang memanjang dan bertunas lagi pada ujungnya secara terus menerus, sehingga
membentuk hifa dengan penyempitan pada sekat-sekat dan disebut hifa semu.
Anyaman hifa semu disebut sebagai miselium semu (Sutanto dkk, 2008).
Berbagai jenis kapang dapat menimbulkan penyakit atau gangguan bagi
kesehatan manusia seperti mikotoksikosis. Mikotoksikosis yaitu gangguan
kesehatan yang terjadi apabila mengonsumsi makanan yang telah dicemari oleh
mikotoksin. Gangguan kesehatan ini tidak menular, tapi bisa berbahaya apabila
dikonsumsi secara terus menerus. Contoh toksin yang berbahaya adalah aflaktosin
yang dihasilkan oleh kapang spesies Aspergillus flavus.
Menurut Maryam (2006) beberapa jenis kapang yang mengontaminasi
komoditi pertanian dan menghasilkan mikotoksin adalah sebagai berikut:
24
1) Aspergillus
Sumber : https://www.researchgate.net/
Gambar 2.2 Mikroskopis Aspergillus
sp.
Spesies dari genus Aspergillus diketahui terdapat di mana-mana dan hampir
dapat tumbuh di semua substrat. Fungi ini akan tumbuh pada buah busuk,
sayuran, biji-bijian, roti, dan bahan pangan lainnya. Beberapa spesies termasuk
fungi patogen, misalnya yang dapat menyebabkan penyakit paru-paru dan lainnya
penyakit yang disebabkan oleh Aspergillus sp. disebut Aspergilosis, beberapa di
antaranya bersifat saprofit sebagaimana banyak ditemukan pada bahan pangan.
2) Penicillium
Sumber: https://www.studyblue.com/notes/
Gambar 2.3 Mikroskopis Penicillium sp.
Genus fungi ini tersebar di alam. Penicillium umumnya berwarna hijau biru.
Fungi ini terdapat pada buah jeruk atau buah lain, sayuran, biji-bijian, bahan
organik, keju, bahan pakan ternak serta lainnya. Penicillium mempunyai
25
Sumber: http://thunderhouse4-yuri.blogspot.com/
Gambar 2.4 Mikrokonidia Fusarium sp.
Fusarium merupakan salah satu anggota famili Tuberculariaceae ordo
Moniliales yang potensial sebagai penghasil mikotoksin yang banyak dijumpai
pada bahan pakan maupun pangan. Fungi ini tersebar di mana-mana, bersifat
saprofit juga dapat bersifat parasit.
b. Reproduksi Kapang
Menurut Sutanto dkk (2008) spora dapat dibentuk seksual maupun aseksual.
Spora aseksual disebut talospora (thallospora), yaitu spora yang langsung
dibentuk dari hifa reproduktif. Sedangkan spora seksual dibentuk dari fusi dua sel
atau hifa.
Spora yang termasuk dalam golongan spora aseksual adalah sebagai berikut:
1) Blastospora, yaitu spora yang berbentuk tunas pada permukaan sel, ujung hifa
semu atau pada sekat (septum) hifa semu. Contoh: Candida.
2) Artrospora, yaitu spora yang dibentuk langsung dari hifa dengan banyak
septum yang kemudian mengadakan fragmentasi sehingga hifa tersebut
terbagi menjadi banyak artrospora yang berdinding tebal. Contoh:
Oidiodendron, Geotrichum.
3) Klamidiospora, yaitu spora yang dibentuk pada hifa di ujung, di tengah, atau
menonjol ke lateral, dan disebut klamidiospora terminal, interkaler, dan
26
lateral. Diameter klamidiospora tersebut lebih lebar dari hifa yang berdinding
tebal. Contoh: Candida albicans, Dematofita.
4) Aleuriospora, yaitu spora yang dibentuk pada ujung atau sisi dari hifa khusus
yang disebut konidiofora. Aleuriospora ini uniseluler dan kecil, disebut
mikrokonidia (mikro aleuriospora); yaitu multiseluler, besar atau panjang,
disebut makrokonidia (makro aleuriospora). Contoh: Fusarium curvularia,
Dermatofita.
5) Sporangiospora, yaitu spora yang dibentuk di dalam ujung hifa yang
menggelembung yang disebut sporangium. Contoh: Rhizopus, Mucor,
Absidia.
6) Konidia, yaitu spora yang dibentuk di ujung sterigma bentuk fialid. Sterigma
dibentuk di atas konidiofora. Konidia membentuk susunan seperti rantai.
Contoh: Penicillium, Aspergillus.
Spora yang termasuk dalam spora seksual adalah sebagai berikut:
1) Zigospora, yaitu spora yang dibentuk dari fusi (penggabungan) dua hifa yang
sejenis membentuk zigot dan di dalam zigot terbentuk zigospora.
2) Oospora, yaitu spora yang dibentuk dari fusi dua hifa yang tidak sejenis
(anteridium dan oogonium).
3) Askospora, yaitu spora yang dibentuk di dalam askus sebagai hasil
penggabungan (fusi) dua sel atau dua jenis hifa.
4) Basidiospora, yaitu spora yang dibentuk pada basidium sebagai hasil
penggabungan dua jenis hifa.
c. Fisiologi Kapang
Menurut Pratiwi (2008) fungi membutuhkan kondisi kelembaban yang tinggi,
persediaan bahan organik, dan oksigen untuk pertumbuhan organik, dan oksigen
untuk pertumbuhannya. Lingkungan yang hangat dan lembab mempercepat
pertumbuhan fungi.
Kapang merupakan organisme aerob sejati. Fungi tumbuh dalam kisaran
temperatur yang luas, dengan temperatur optimal berkisar antara 22ºC-30ºC.
Spesies fungi patogenik mempunyai temperatur pertumbuhan optimal yang lebih
tinggi, yaitu berkisar antara 30-37ºC. Beberapa kapang mampu hidup pada
27
rendah, yaitu pH 4,5-5,5. Sangat penting untuk suatu industri mengetahui sifat ini
agar fungi yang ditumbuhkan menghasilkan produk yang optimal dan juga untuk
mencegah pembusukan pangan.
5) Bahan kimia
Bahan kimia sering digunakan untuk mencegah pertumbuhan fungi. Misalnya
Natrium Benzoat dimasukkan ke dalam bahan pangan sebagai pengawet. Hal ini
dilakukan untuk mencegah pertumbuhan kapang yang dapat menurunkan kualitas
bahan tersebut.
3. Mikotoksin
Banyak jamur menghasilkan substansi beracun yang disebut mikotoksin yang
dapat menyebabkan intoksikasi kronis atau akut dan kerusakan. Mikotoksin
adalah metabolit sekunder, dan efeknya tidak tergantung pada infeksi atau
viabilitas jamur. Beragam mikotoksin dihasilkan oleh jamur dan memakannya
bisa menimbulkan penyakit yang berkaitan. Memasak dapat mengurangi
toksisitasnya yang menyebabkan kerusakan parah atau fatal pada hati dan ginjal.
Jamur lain menghasilkan komponen mutagen dan karsinogen yang dapat sangat
toksik terhadap hewan percobaan. Satu dari yang paling poten adalah aflaktosin,
yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan mold-mold yang terkait dan
merupakan kontaminan yang sering pada kacang, jagung, dan makanan lainnya
(Jawetz and Adelberg’s, 2005).
a. Aflatoksin
Aflatoksin merupakan cemaran alami yang dihasilkan oleh beberapa spesies
dari fungi Aspergillus yang banyak ditemukan di daerah yang beriklim panas dan
lembab. Kapang Aspergillus sp. mudah tumbuh dan menghasilkan toksin pada
kisaran suhu 12-48ºC dengan suhu optimal 37ºC. Kelembaban yang tinggi juga
memicu kapang Aspergillus flavus untuk memproduksi aflatoksin. Kontaminasi
aflatoksin dapat terjadi sejak sebelum panen maupun pada saat bahan pangan
tersebut disimpan pada suhu >20ºC (Aini, 2012).
Jagung dan kacang tanah merupakan media yang sangat baik untuk
pertumbuhan jamur penghasil aflatoksin, sehingga digolongkan sebagai
komoditas beresiko tinggi atau sangat rentan terhadap kontaminasi mikotoksin.
Aflatoksin dapat menyebabkan hepatitis akut yang bersifat letal dengan gejala
29
maizena sebagai bahan pengikat sekaligus memberi kesan mengkilap pada saus,
sampai pemberian Natrium Benzoat sebagai bahan pengawet.
Meskipun penggunaan Natrium Benzoat dapat menjaga makanan dari
kerusakan seperti pembusukan, tapi penting juga untuk memerhatikan bahan baku
yang akan digunakan. Seperti pada bahan baku saus cabai di atas terdapat tiga
bahan yang berpotensi untuk terkontaminasi oleh kapang selama masa
penyimpanan seperti cabai, bawang, dan juga tepung. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Makfoeld (1993) bahwa berbagai produk tepung, cabai, dan bawang
berpotensi untuk ditumbuhi kapang spesies Aspergillus flavus yang menghasilkan
aflatoksin. Oleh karena itu penting sekali untuk memerhatikan bahan-bahan
tersebut agar tetap terjaga selama masa penyimpanan.
Menurut Nurbaiti (2016) proses-proses pembuatan saus cabai kemasan adalah
sebagai berikut:
a. Pengolahan saus cabai
Tahap pengolahan cabai menjadi saus cabai meliputi sortasi, pencucian,
pencampuran, pemasakan, dan pengemasan.
1) Sortasi
Sortasi dilakukan untuk memilih cabai yang baik yaitu cabai dengan tingkat
kemasakan yang optimal di atas 60% sehat dan fisiknya mulus (tidak cacat
dan tidak busuk). Pemilihan dilakukan untuk memilih cabai merah yang
benar-benar bagus fisiknya, besar, berwarna merah segar, sehat, dan mulus.
Cacat atau rusak pada cabai akan menghasilkan saus cabai dengan warna yang
kurang cerah. Cabai yang telah dipilih kemudian dibuang tangkainya.
2) Pencucian
Pencucian dilakukan untuk membersihkan cabai dari kotoran yang melekat
dan sisa pestisida yang masih melekat. Setelah pencucian, cabai harus
dikeringkan.
3) Pengukusan
Pengukusan dilakukan pada suhu 60-70ºC hingga cabai menjadi layu (3-5
menit).
32
4) Pembuburan
Pembuburan dilakukan dengan menggunakan mesin pembubur yang
sebelumnya telah disterilisasi dengan menggunakan air panas. Derajat
kehalusan ditentukan dengan produk akhir cabai yang dihasilkan.
5) Pencampuran
Pencampuran cabai harus dengan bahan tambahan lain, seperti pepaya,
bawang putih, garam, gula, harus dilakukan dengan perbandingan yang tepat.
6) Pemasakan
Pemasakan bertujuan untuk mengentalkan saus cabai dan untuk emmastikan
mikroorganisme yang mungkin ada. Pemasukan disertai dengan pengadukan
dilakukan pada api sedang atau menggunakan alat pemasak dan pasteurisasi.
Saat pemasakan ditambahkan tepung maizena, cuka, serta pengawet dengan
perbandingan yang telah ditentukan.
b. Pengemasan
Pengemasan dilakukan secara aseptis pada wadah yang telah disterilisasi. Dan
segera dilakukan penyegelan begitu saus selesai dimasukkan ke dalam
kemasan (pemasukan saus ke dalam kemasan harus menyisakan head space,
tidak boleh terlalu penuh). Selanjutnya diberi label.
c. Penyimpanan
Saus selama masa penyimpanan dan distirbusi dapat dilakukan pada suhu
ruangan. Penyimpanan harus memperhatikan agar saus terhindar dari
gangguan hewan pengganggu dan kontaminasi dari luar.
6. Penyimpanan Bahan Makanan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1096/Menkes/Per/VI/2011 Tentang Higiene Sanitasi Jasaboga menyatakan bahwa
dalam pengelolaan makanan ada 6 prinsip higiene dan sanitasi makanan yang
harus diperhatikan, yaitu:
a. Keadaan bahan pangan
b. Cara penyimpanan bahan makanan
c. Proses pengolahan
d. Cara pengangkutan makanan yang telah masak
e. Cara penyimpanan makanan masak
33
c) Untuk bahan yang mudah tercecer seperti gula pasir, tepung, ditempatkan
dalam wadah penampungan sehingga tidak mengotori lantai.
B. Kerangka Konsep
BAB III
METODE PENELITIAN
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Penelitian Ukur
1. Saus cabai Saus cabai Pengamatan Panca indra 1. Saus cabai Ordinal
yang dikemas dengan
dengan harga harga
Rp2.000,00- Rp2.000,00
Rp5.000,00 -
yang dijual di Rp5.000,00
Pasar 2. Bukan saus
Sukadana cabai
Kabupaten dengan
Lampung harga
Timur Rp2.000,00
-
Rp5.000,00
36
Tidak
memenuhi
syarat apabila
terdapat jumlah
angka kapang >
5 x 101 koloni/g.
Berdasarkan
persyaratan
SNI: 7388
Tahun 2009
E. Pengumpulan Data
1. Observasi
Observasi dilakukan untuk melihat kondisi kios dan kemasan saus cabai
dengan menggunakan lembar observasi, yaitu meliputi kondisi kemasan dan
penyimpanan saus cabai kemasan yang dijual dengan harga Rp2.000,00-
Rp5.000,00 di Pasar Sukadana Kabupaten Lampung Timur. Observasi
dilakukan bersamaan pada saat pembelian sampel dengan memakan waktu
sekitar lima menit pada masing-masing kios.
37
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pengambilan Sampel
1) Sebelum melakukan pengambilan sampel, peneliti harus mengajukan usulan
surat izin penelitian ke Direktur Politeknik Kesehatan Tanjungkarang. Setelah
mendapatkan surat izin penelitian dari institusi, peneliti mengajukan izin ke
Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Lampung Timur. Setelah semua izin
sudah didapat, peneliti bisa melakukan pengambilan sampel dengan cara
membeli beberapa saus cabai kemasan yang dijual dengan harga Rp2.000,00-
Rp5.000,00 oleh 22 kios. Pada saat yang bersamaan juga dilakukan
wawancara untuk pengisian lembar observasi penyimpanan saus cabai dan
kemasan saus cabai. Masing-masing saus cabai kemasan diberi label dengan
mencantumkan kode sampel, tanggal dan waktu pengambilan, lalu
dimasukkan ke box penyimpanan. Sampel kemudian dibawa ke Laboratorium
Parasitologi Jurusan Analis Kesehatan untuk dilakukan pemeriksaan.
Dibutuhkan waktu 3 jam untuk melakukan pembelian sampel sekaligus
wawancara lembar observasi. Lalu waktu yang dibutuhkan untuk membawa
sampel dari Pasar Sukadana Lampung Timur ke laboratorium Parasitologi
Jurusan Analis Kesehatan dibutuhkan waktu selama 2 jam perjalanan
menggunakan motor.
2) Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada saat pengambilan sampel adalah spidol, label, dan
box penyimpanan. Sedangkan sampel yang digunakan untuk pemeriksaan
adalah saus cabai kemasan yang dijual di Pasar Sukadana Kabupaten
Lampung Timur.
b. Proses Pemeriksaan
1) Persiapan Alat
Tabung reaksi, cawan petri, beaker glass, pipet ukur, erlenmeyer 250 ml, rak
tabung reaksi, lampu spirtus, autoclave, inkubator, pipet tetes steril, neraca
elektrik, vortex, gelas ukur 100 ml, ose cincin, kapas, korek api, label, tissue,
kertas alumunium, hotplate, pipet ukur 0,2 ml.
38
2) Persiapan Bahan
Media Potato Dextrose Agar (PDA), aquadest, antibiotik chloramphenicol,
NaCl 0,85%.
3) Sterilisasi Alat
Semua alat gelas dan pinset yang akan digunakan dicuci bersih dan
dikeringkan lalu masing-masing dibungkus dengan kertas kopi, kemudian di
sterilkan dalam oven suhu 160ºC selama 1 jam (Soemarno, 2000).
4) Prinsip
Pertumbuhan koloni kapang terjadi setelah sampel diinokulasi pada media
Potato Dextrose Agar (PDA) pada suhu 37ºC.
5) Metode Penelitian
Pemeriksaan dilakukan dengan perhitungan angka kapang menggunakan
metode Angka Lempeng Total.
6) Prosedur Kerja
Prosedur kerja pemeriksaan ini adalah sebagai berikut:
a) Disiapkan alat dan bahan.
b) Disiapkan tiga tabung reaksi, masing-masing berisi 5 ml NaCl 0,85%
c) Ditimbang sebanyak 1,0 gram sampel saus cabai.
d) Dimasukkan ke dalam tabung 1, lalu dihomogenkan dengan shaker. Diambil
0,2 ml dari tabung 1, lalu diteteskan ke media PDA, dan diratakan dengan ose.
e) Diambil 1 ml dari tabung 1 lalu dimasukkan ke tabung 2. Dihomogenkan
dengan shaker. Kemudian diambil 0,2 ml dari tabung 2, diteteskan ke media
PDA, dan diratakan dengan ose.
f) Diambil 1 ml dari tabung 2 lalu dimasukkan ke tabung 3. Dihomogenkan
dengan shaker. Kemudian diambil 0,2 ml dari tabung 3, diteteskan ke media
PDA, dan diratakan dengan ose.
g) Petridisk diselotip dan diberi label.
h) Diinkubasi pada suhu 37ºC, diamati setiap hari selama 7 hari.
i) Diamati dan dihitung angka kapang.
Interpretasi Hasil:
Jumlah rata-rata koloni kapang lalu dikalikan dengan faktor pengenceran.
(Tim Bakteriologi Balai Veteriner Lampung, 2014).
39
N=A×B
Keterangan:
N = Angka kapang (koloni/g)
A = Jumlah koloni kapang yang tumbuh
B = Faktor pengenceran
(Tim Bakteriologi Balai Veteriner Lampung, 2014).
40
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Hasil penelitian tentang angka kapang pada saus cabai kemasan yang dijual di
Pasar Sukadana Kabupaten Lampung Timur, didapatkan hasil sebagai berikut:
Tabel 4.1 Angka Kapang Pada Saus Cabai Kemasan Yang Dijual Di Pasar
Sukadana Kabupaten Lampung Timur
Angka Kapang
Kode Sampel Keterangan
(Koloni/g)
1 8 x 101 TMS
2 1 x 101 MS
3 2 x 101 MS
4 1 x 101 MS
5 1 x 101 MS
6 11 x 101 TMS
7 1 x 101 MS
8 1 x 101 MS
9 12 x 101 TMS
10 1 x 101 MS
11 1 x 101 MS
12 0 MS
13 1 x 101 MS
14 1 x 101 MS
15 6 x 101 TMS
16 4 x 101 MS
17 0 MS
18 0 MS
19 0 MS
20 1 x 101 MS
21 0 MS
22 0 MS
Keterangan:
MS : Memenuhi syarat SNI: 7388 Tahun 2009, yaitu 5 x 101 koloni/g
TMS : Tidak memenuhi syarat SNI: 7388 Tahun 2009, yaitu 5 x 101 koloni/g
Berdasarkan tabel 4.1 dapat diketahui bahwa hasil angka kapang pada 22
sampel saus cabai kemasan terdapat 4 sampel yang tidak memenuhi syarat sesuai
dengan SNI: 7388 tahun 2009 dimana batas maksimum angka kapang dalam
bahan pangan untuk kategori saus cabai adalah 5 x 101 koloni/g.
41
Tabel 4.2 Persentase Saus Cabai Kemasan Yang Dijual di Pasar Sukadana Kabupaten Lampung
Timur yang memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat SNI: 7388 Tahun 2009
Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui bahwa persentase saus cabai kemasan
yang memenuhi syarat adalah sebesar 81,8% dan persentase saus cabai kemasan
yang tidak memenuhi syarat adalah sebesar 18,2%. Berdasarkan hasil penelitian, 4
sampel yang diketahui tidak memenuhi syarat ditumbuhi kapang dengan ciri-ciri
makroskopis koloni berwarna hijau muda, koloni berwarna hijau tua, koloni
berwarna hitam, koloni berwarna kuning, sampai koloni berwarna putih seperti
kapas.
Tabel 4.3 Persentase Kondisi Penyimpanan Saus Cabai Kemasan Yang Dijual Di Pasar Sukadana
Kabupaten Lampung Timur
4.2 Pembahasan
Sampel saus cabai kemasan yang dijual di Pasar Sukadana Kabupaten
Lampung Timur sejumlah 22 sampel telah dilakukan pemeriksaan dan
perhitungan angka kapang, diperoleh hasil bahwa 4 dari 22 sampel dinyatakan
tidak memenuhi syarat dikarenakan koloni yang tumbuh melebihi batas yang
diizinkan oleh SNI: 7388 tahun 2009. Sementara itu untuk 18 sampel lainnya
dinyatakan memenuhi syarat, dimana 12 sampel ditumbuhi koloni namun masih
dalam batas yang diizinkan sedangkan 6 sampel lainnya tidak ada pertumbuhan
koloni kapang sama sekali. Batas maksimum koloni kapang yang diizinkan untuk
kategori saus cabai kemasan adalah 5 x 101 koloni/g.
Berdasarkan hasil pengamatan pada empat saus cabai kemasan yang tidak
memenuhi syarat, yaitu sampel saus dengan kode nomor 1, 6, 9, dan 15
didapatkan hasil bahwa keempat saus cabai kemasan tersebut ditumbuhi koloni
kapang melebihi batas yang diizinkan oleh SNI: 7388 Tahun 2009 yaitu 5 x 10 1
koloni/g. Sampel dengan kode 1 dan 15 dinyatakan tidak memenuhi syarat dengan
angka kapang sebesar 8 x 101 koloni/g dan 6 x 101 koloni/g. Kedua sampel yang
tidak memenuhi syarat tersebut didukung dengan lembar observasi kondisi
penyimpanan saus cabai selama di gudang yang memang dinyatakan tidak baik.
Berbeda dengan kedua sampel di atas, sampel 6 dan 9 juga dinyatakan tidak
memenuhi syarat tetapi hasil dari lembar observasi penyimpanannya selama di
gudang dinyatakan sangat baik. Hasil ini berbanding terbalik dengan angka
kapang yang didapat kedua sampel tersebut yang tergolong tinggi yaitu pada
sampel dengan kode 6 sebesar 11 x 101 koloni/g dan sampel dengan kode 9
sebesar 12 x 101 koloni/g. Keempat sampel yang dinyatakan tidak memenuhi
syarat tersebut berasal dari merek yang sama.
Angka kapang paling tinggi dimiliki oleh saus cabai kemasan kode 9 yaitu 12
x 101 koloni/g sedangkan angka kapang paling kecil dimiliki oleh saus cabai
kemasan kode 12, 17, 18, 19, 21, dan 22 yaitu 0 koloni/g. Sampel kode 12, 17,
dan 18 dinyatakan baik dari hasil angka kapang dan hasil lembar observasi
penyimpanan dan kemasannya. Lalu sampel kode 19, 21, dan 22 dinyatakan baik
dari hasil angka kapang dan lembar observasi kemasan, namun tidak baik dari
hasil lembar observasi penyimpanannya. Meskipun ada beberapa sampel yang
43
hasil lembar observasinya tidak baik, namun selama angka kapang yang didapat
masih sesuai batasan yang diizinkan oleh SNI maka saus cabai tersebut tetap
dinyatakan memenuhi syarat untuk dikonsumsi.
Pencemaran kapang pada saus cabai kemasan bisa disebabkan oleh banyak
faktor. Menurut Maryam (2002) selain penggunaan bahan baku yang
terkontaminasi dan proses pengolahannya yang tidak benar, kapang juga dapat
tumbuh apabila proses penyimpanan bahan pangan tersebut tidak baik. Beberapa
cara penyimpanan yang baik seperti yang tercantum dalam Permenkes Nomor
1096 tentang Higiene dan Sanitasi Jasaboga meliputi makanan kemasan tidak
disimpan di gudang lebih dari sebulan, adanya ventilasi di tempat penyimpanan,
makanan kemasan tersebut tidak disimpan dengan bahan yang mudah busuk, serta
didukung juga dengan suhu dan kelembabannya yang baik. Apabila kelima syarat
tersebut tidak terpenuhi, dikhawatirkan adanya kontaminasi dari mikroba-mikroba
termasuk kapang. Ketika bahan makanan sudah terkontaminasi oleh kapang dalam
jumlah yang melebihi batas maka makanan tersebut dinyatakan tidak layak untuk
dikonsumsi.
Pada penelitian yang sudah dilakukan ada beberapa hasil yang tidak sesuai
antara angka kapang yang didapat dengan lembar observasi penyimpanan, yaitu
sampel kode nomor 10. Lembar observasi penyimpanan untuk sampel tersebut
memiliki hasil yang tidak baik, dimana penyimpanan saus cabai kemasan di
gudang yang lebih dari satu bulan, gudang tidak memiliki ventilasi, suhu 29ºC,
dan kelembaban 88%. Namun hasil pemeriksaan didapatkan angka kapang yang
tumbuh hanya sebanyak 1 x 101 koloni/g. Artinya, saus cabai kemasan tersebut
masih layak untuk dikonsumsi karena angka kapang yang tumbuh masih di bawah
nilai yang diizinkan SNI: 7388 Tahun 2009.
Hal ini juga terjadi pada sampel dengan kode nomor 19, 21, dan 22. Ketiga
sampel tersebut memiliki kondisi yang berbeda meski angka kapang yang didapat
sama-sama 0 koloni/g. Sampel saus cabai kemasan kode 19 dan 21 disimpan lebih
dari sebulan di gudang penyimpanan. Sementara sampel kode 22 disimpan pada
kelembaban ruang penyimpanan yang tinggi yaitu 88%. Meskipun kondisi
penyimpanan lebih dari sebulan dan kelembaban 88% namun angka kapang
sampel dengan kode 19, 21, dan 22 sebesar 0 koloni/g. Artinya, saus cabai yang
44
dikemas dengan baik akan terlindung dari kontaminasi mikroba, salah satunya
adalah kapang.
Sampel kode nomor 6 dinyatakan tidak memenuhi syarat dikarenakan angka
kapang melebihi batas yang diizinkan oleh SNI: 7388 Tahun 2009, yaitu sebesar
11 x 101 koloni/g. Sedangkan lembar observasi penyimpanan dan kemasan saus
cabai dinyatakan baik, seperti suhu 25ºC dan kelembaban 50% yang merupakan
salah satu faktor pertumbuhan kapang telah memenuhi ketentuan SNI namun
kapang tumbuh dalam jumlah melebihi batas. Pada saus cabai kode nomor 6
ditinjau secara makroskopis dari pertumbuhan koloni diketahui bahwa terdapat
dua spesies kapang, yaitu Aspergillus niger dan Rhizopus sp.
Maka, dapat disimpulkan bahwa penyimpanan yang buruk tidak selalu
menunjukkan angka kapang yang buruk. Sebaliknya, nilai angka kapang kecil
belum mengindikasikan penyimpanan yang baik. Hal ini dikarenakan adanya
faktor di luar penyimpanan yang menyebabkan kapang tumbuh dalam makanan,
antara lain faktor pengolahan dan kondisi kemasan. Kemasan yang bermutu akan
mencegah mikroba mengontaminasi bahan makanan kemasan tersebut.
Jenis kapang yang tumbuh pada media Potato Dextrose Agar (PDA)
diketahui rata-rata berasal dari genus Aspergillus sp., antara lain Aspergillus
flavus dengan ciri-ciri makroskopis koloni berwarna hijau kekuningan yang
terdapat pada sampel kode 1 dan 7. Aspergillus niger dengan ciri-ciri makroskopis
koloni berwarna hitam yang terdapat pada sampel kode 3, 5, 6, 10, 15, dan 20.
Aspergillus fumigatus dengan ciri-ciri makroskopis koloni berwarna hijau tua
yang terdapat pada sampel kode 8 dan 16. Aspergillus oryzae dengan ciri-ciri
makroskopis koloni berwarna kuning yang terdapat pada sampel kode 13. Selain
itu ditemukan juga kapang spesies Rhizopus sp. yang bercirikan koloni berwarna
putih seperti kapas terdapat pada sampel kode 2, 4, 10, 11, 14, dan 22 (Lampiran
11).
Menurut Syarief dkk (2003) kerusakan bahan pangan oleh kapang dapat
menyebabkan makanan tidak layak konsumsi. Hal ini dikarenakan adanya
penurunan mutu atau karena makanan tersebut telah beracun. Salah satu racun
yang berbahaya adalah aflaktosin yang dihasilkan oleh kapang spesies Aspergillus
flavus. Aflatoksin dapat menyebabkan hepatitis akut yang bersifat letal dengan
45
gejala muntah, nyeri perut, perdarahan, kerusakan hati akut, edema, alteration in
digestion, absorbsi metabolisme zat gizi, sehingga terjadi malnutrisi dan
menyebabkan kematian (Broto, 2018). Oleh sebab itu saus cabai yang ditumbuhi
kapang Aspergillus flavus memang sebaiknya tidak dikonsumsi, dikhawatirkan
kapang tersebut sudah menghasilkan aflatoksin yang berbahaya bagi kesehatan
tubuh.
Saus cabai kemasan yang ditumbuhi kapang namun masih di bawah nilai
yang diizinkan oleh SNI: 7388 Tahun 2009 masih dapat dikonsumsi. Saus cabai
tersebut dapat dijadikan sebagai campuran olahan tertentu yang melibatkan proses
pemasakan. Proses pemasakan inilah yang dapat mengurangi toksisitas
mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang dalam saus cabai kemasan (Jawetz and
Adelberg’s, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa dengan pengolahan yang benar
maka saus cabai tersebut masih dapat dikonsumsi dan tidak membahayakan
kesehatan manusia yang mengonsumsinya.
46
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
C. Simpulan
Dari hasil penelitian angka kapang pada saus cabai kemasan yang dijual di
Pasar Sukadana Kabupaten Lampung Timur, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Angka kapang pada saus cabai kemasan yang dijual di Pasar Sukadana
Kabupaten Lampung Timur yang berjumlah 22 sampel berkisar antara 0
koloni/g sampai 12 x 101 koloni/g.
2. Persentase angka kapang pada saus cabai kemasan yang dijual di Pasar
Sukadana Kabupaten Lampung Timur yang tidak memenuhi syarat sesuai
SNI: 7388 Tahun 2009 sebanyak 18.2% (4 sampel) sedangkan yang
memenuhi syarat sebanyak 81.8% (18 sampel).
3. Persentase penyimpanan saus cabai kemasan yang dijual di Pasar Sukadana
Kabupaten Lampung Timur yang baik sesuai PMK 1096 Tahun 2011
sebanyak 40.9% sedangkan yang tidak baik sebanyak 59.1%.
D. Saran
1. Pedagang kios yang memasarkan saus cabai kemasan diharapkan untuk
memerhatikan penyimpanannya di gudang. Saus cabai tidak boleh disimpan di
gudang lebih dari sebulan, penyimpanan tidak boleh bercampur dengan bahan
yang mudah busuk, ruang penyimpanan harus memiliki ventilasi, suhu dan
kelembaban harus baik, dan kemasannya tidak boleh rusak serta dilengkapi
dengan izin yang terdaftar secara resmi, tanggal produksi, dan tanggal expired
yang jelas.
2. Untuk penelitian lanjut dapat dilakukan penelitian identifikasi sepsies kapang
yang tumbuh pada media Potato Dextrose Agar secara makroskopis maupun
mikroskopis. Sehingga diketahui spesies kapang yang mengontaminasi saus
cabai kemasan.
47
DAFTAR PUSTAKA
Broto, Wisnu. 2018. Status Cemaran Dan Upaya Pengendalian Aflatoksin Pada
Komoditas Serealia Dan Aneka Kacang. Jurnal Litbang Pertanian Volume
37. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Bogor.
Kementerian Kesehatan RI, 2018. Lebih Dari 200 Penyakit Dapat Menular
Melalui Makanan, Keamanan Pangan Harus Diperhatikan. Jakarta.
Dipublikasikan pada: 27 September 2018. [Diakses pada 10 Desember
2019]
Qurbani, Aulia Nurnisa. 2018. Gambaran Angka Kapang Pada Saus Cabai
Kemasan Isi Ulang Yang Dijual Di Pasar Sentral Kotabumi Lampung
Utara. Karya Tulis Ilmiah. Poltekkes Tanjungkarang.
SNI 7388. 2009. Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan. Badan
Standardisasi Nasional. Jakarta. 37 halaman.
Syarief, R; LA Ega; C.C Nurwitri. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan. IPB Press:
Bogor. 390 halaman.
Utami, Ulfa; dkk. 2018. Buku Petunjuk Praktikum Mikrobiologi Umum. Malang.
Jurusan Biologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. 49 halaman.