Anda di halaman 1dari 23

TUGAS HERBAL MEDICINE

JAMU DAN SAINTIFIKASI JAMU

Dosen : Verawati, M. Farm, Apt

OLEH :
KELOMPOK 1
1. Zahra Zaviar Camelia, S. Farm (2805003)
2. Aska Vilvi, S. Farm (2805012)
3. Nova Novitasari, S. Farm (2805014)
4. Hilda Ali, S. Farm (2805028)
5. Niselvia Joanda, S. Farm (2805031)
6. Welimarsa Eka Putri, S. Farm (2805036)

PROGRAM PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA
YAYASAN PERINTIS PADANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu Negara mega diversity untuk tumbuhan
obat di dunia dengan keanekaragaman hayati tertinggi ke-2 setelah Brazil. Dari
40.000 jenis flora yang ada di dunia sebanyak 30.000 jenis flora dijumpai di
Indonesia dan 940 jenis diantaranya diketahui berkhasiat sebagai obat yang telah
dipergunakan dalam pengobatan tradisional secara turun-temurun oleh berbagai
etnis di Indonesia. Keanekaragaman hayati ini merupakan aset nasional yang
bernilai tinggi untuk pengembangan industri agromedisin di dunia.
Menurut Permenkes RI No.003 Tahun 2010, jamu adalah obat tradisional
Indonesia. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran
dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan,
dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah
dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu terbukti dari
adanya naskah lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak
pabbura (Sulawesi Selatan), dan relief candi Borobudur yang menggambarkan
orang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya.
Adanya kecenderungan pola hidup kembali kea lam (back to nature)
dengan keyakinan bahwa mengkonsumsi obat alami relative lebih aman dibanding
dengan obat sintetik, maka berdampak tingginya permintaan dunia akan obat
alami sehingga prospek pasar tumbuhan obat Indonesia di dalam maupun di luar
negeri semakin besar peluangnya. Saintifikasi jamu merupakan pembuktian
ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan.

1.2 Tujuan
a. Memahami perlunya saintifikasi jamu dan menemukan solusi atas kendala
yang dapat menghambat terwujudnya saintifikasi jamu.
b. Memahami kaitan antara saintifikasi jamu dengan peranan apoteker dalam
pelayanan pengobatan tradisional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Jamu


Jamu adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenika), atau campuran dari bahan
tersebut yang secar turun-menurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dimasyarakat (Permenkes
No.003/Menkes/Per/I/2010).

2.2 Sejarah Jamu


Jamu atau lebih sering dikenal sebagai obat asli indonesia telah ada sejak
zaman dahulu kala. Jika ditilik dari dokumentasi yang ada, dokumentasi tertua
mengenai jamu terdapat pada relief Candi Borobudur (tahun 772 setelah Masehi)
dimana terdapat lukisan tentang ramuan obat tradisional/jamu. Relief-relief yang
menerangkan tentang penggunaan jamu pada zaman dahulu juga terdapatpada
candi prambanan, candi penataran (Blitar), dan candi tegalwangi (Kediri). Selain
itu, di berbagai daerah di tanah air, dapat ditemukan berbagai kitab yang terisis
tata cara pengobatan dan jenis-jenis obat tradisional. Pada tahun 991-1016 M,
perumusan obat dan ekstraksi dari tanaman ditulis pada daun kelapa/lontar,
misalnya seperti Lontar Usada di Bali, dan Lontarak Pabbura di Sulawesi Selatan.
Beberapa dokumen tersebut telah diterjemahkan kedalam bahasa indonesia
maupun bahasa asing. Pada masa kerajaan-kerajaan di Indonesia, misalnya Bab
kawruh jampi jawi oleh keraton surakarta yang dipublikasikan pada btahun 1858
dan terdiri dari 1734 formulasi herbal.
Sebelumnya, jamu hanya digunakan oleh kaum bangsawan di kerajaan-
kerajaan Indonesia. Namun pada perkembangannya, jamu saat ini dikenal luas dan
digunakan oleh masyarakat untuk memelihara kesehatan dan menyembuhkan
penyakit.

2.3 Persyaratan Bahan Jamu


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 003/Menkes./Perl/
2010. Persyaratan bahan jamu yaitu aman berdasarkan uji toksisitas, berkhasiat
berdasarkan data empiris yang dibuktikan dengan uji praklinik, berkualitas sesuai
dengan pedoman yang berlaku secara nasional.

2.4 Sainifikasi Jamu


Saintifikasi Jamu merupakan pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian
berbasis pelayanan kesehatan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI
nomor 003/Menkes/Per/I/2010, tujuan saintifikasi jamu adalah :
1. Memberikan landasan ilmiah (evidence based) penggunaan jamu secara
empiris melalui penelitian berbasisi pelayanan kesehatan.
2. Mendorong terbentuknya jejaring dokterr gigi dan tenaga kesehatan lainnya
sebagai penelitian dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitatif, dapat
palinbg aktif melalui penggunaan jamu.
3. Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien dengan
penggunaan jamu.
4. Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji
secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri
maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan.
Sedangkan ruang lingkup saintifikasi jamu diutamakan untuk upaya
preventif, rehabilatif dan paliatif. Saintifikasi jamu dalam rangka upaya kuratif
hanya dapat dilakukan sebagai komplementer- alternatif setelah pasien
memperoleh penjelasan yang cukup.
Penyelenggara saintifikasi jamu adalah fasilitas kesehatan pemerintah atau
swasta dengan tenaga kesehatan terdiri dari dokter, dokter gigi, apoteker, perawat,
dan tenaga kesehatan yang lain sesuai peraturan yang ada.
Untuk menjamin tersedianya jamu yang aman, berkhasiat dn bermutu,
pemerintah indonesia melakukan langkah dan upaya untuk menjamin keamanan
jamu. Untuk memperkuat data dan informasi ilmu tentang jamu- utamanya
formula jamu- pemerintah indonesia melaksanakan program saintifikasi jamu atau
scientific based jamu development, yaitu penelitian berbasis pelayanan yang
mencakup pengembangan tanaman obat menjadi jamu saintifik, meliputi tahap-
tahap :
1. Studi etnofarmakologi untuk mendapatkan base-line data terkait penggunaan
tanaman obat secara tradisional.
2. Seleksi formula jamu yang potensial untuk terapi alternatif komplementer.
3. Studi klinik untuk mendapatkan bukti terkait manfaat dan keamanan.
4. Jamu yang terbukti berkhasiat dan aman dapat digunakan dalam sistem
pelayanan kesehatan formal.

Tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan jamu pada fasilitas pelayanan


kesehatan harus memiliki :
1. Surat Tanda Registrasi ( STR) untuk dokter atau dokter gigi dari konsul
Kedokteran , Surat Tanda Registrasi Apoteker ( STRA) untuk apoteker,
Surat Izin/ Registrasi dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi untuk tenaga
kesehatan lainnya.
2. Surat izin praktik untuk dokter atau dokter gigi, surat izin kerja/ surat izin
praktik untuk dari tenaga kesehatan blainnya dari Dinas Kesehatan /Kota
setempat.
3. Surat Bukti Registrasi Tenaga Pengobat Komplementer Alternatif ( SBR-
TPKA) dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
4. Surat Tugas Tenaga Pengobat Komplementer Alternatif / Surat Izin Kerja
Tenaga Pengobat Komplementer Alternatif ( ST- TPKA / SIK- TPKA) dari
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Dalam rangka pembinaan dan peningkatan saintifikasi jamu dalam


penelitian berbasis pelayanan, Menteri Kesehatan membentuk Komisi Nasional
Saintifikasi Jamu dengan tugas.
1. Membina pelaksanaan saintifikasi jamu.
2. Meningkatkan pelaksanaan penegakan etik penelitian jamu.
3. Menyusun pedoman nasional berkaitan dengan pelaksanaan saintifikasi jamu.
4. Mengusulkan kepada Kepala Badan Penlitian dan Pengembangan Kesehatan
tahan jamu , khususnya segi budidaya, formulasi, distribusi dan mutu serta
keamanan yang layak digunakan untuk penelitian.
5. Melakukan koordinasi dengan peneliti, lembaga penelitian dan universitas
serta organisasi profesi dalam dan luar negeri, pemerintah maupun swasta di
bidang produksi jamu.
6. Membentuk jejaring dan membenatu peneliti dokter atau dokter gigi dan
tenaga kesehatan lainnya yang melakukan praktik jamu dalam seluruh aspek
penelitiannya.
7. Membentuk forum antar tenaga kesehatan dalam saintifikasi jamu.
8. Memberikan pertimbangan atas proses dan hasil penelitian yang aspek etik,
hukum dan metodologinya perlu ditinau secara khusus kepada pihak yang
memerlukannya.
9. Melakukan pendidikan berkelanjutan meliputi pembentukan dewan dosen,
penentuan dan pelaksanaan perlu ditinjau secara khusus kepada pihak yang
memerlukannya.
10. Mengevaluasi secara terpisah ataupun bersamaan hasil penelitian pelayanan
termasuk perpindahan metode/ upaya antara kuratif dan nonkuratif hasil
penelitian pelayanan praktik/ klinik jamu.
11. Mengusulkan kelayakan hasil penelitian menjadi program sinergi, intergrasi
dan rujukan pelayanan jamu kepadamenteri kesehatan melalui kepala badan
penelitian dan pengembangan kesehatan.
12. Membina komisi daerah saintifikasi jamu di provinsi atau kabupaten/kota.
13. Memberikan rekomendasi perbaikan dan berkelanjutan program saintifikasi
jamu kepada menteri kesehatan.
14. Melaksanakan tugas-tugas lain diberikan menteri kesehatan.

Sesuai data riset kesehatan dasar (Riskedas) tahun 2010,diketahui bahwa


hampir separuh (49,54%) penduduk indonesia umur 15 tahun ke atas
menggunakan jamu. Dari mereka yang meminum jamu, bentuk sediaan jamu yang
paling banyak dikonsumsi adalah cairan (55,16 %), kemudiaan disusul seduhan
dari serbuk (43,99%) lalu rebusan dari rajangan (20,43%) dan proporsi yang
paling kecil adalah kapsul/ pil/tablet (11,58%). Dari data tersebut menunjukkan
penggunaan jamu terbanyak di masyarakat dalam bentuk cairan/seduhan/rebusan .
sehingga dalam melakukan saintifikasi jamu yang digunakan adalah bentuk
sediaan jamu yang paling banyak digunakan masyarakat yaitu cairan/seduhan
/rebusan.
Penyakit yang paling banyak diobatin dengan komplementer (berdasar
data badan penelitian dan pengembangan kesehatan adalah hipertensi, diabetes
melitus. Penelitian dan pengembangan kesehatan). Penyakit tersebut yang sedang
diuji coba pada penelitian saintifikasi jamu tahun 2011. penelitian
diselenggarakan oleh badan penelitian dan pengembanganan kesehatan. Balai
besar tanamanan obat dan obat tradisional. Formula jamu dan simplisia/bahan
baku jamu untuk saintifikasi jamu disiapkan oleh balai besar tanaman obat dan
obat tradisional . penelitian saintifikasi jamu melibatkan 60 dokter yang telah
mengikuti pendidikan dan latihan saintifikasi jamu 50 jam. 500 subjek serta
pengumpulan data penelitian berlangsung selama 4 bulan (Juni-September 2011).

2.5 Dasar Hukum


a) Undang – undang kesehatan no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan.
b) Peraturan menteri kesehatan RI. No. 003/ Menkes/ Per/I/2010 tentang
saintifikasi jamu dalam penelitian berbasi pelayanan kesehatan.

2.6 Fasilitas Pelayanan Obat Tradisional


(1) Fasilitas pelayanan yang dapat digunakan untuk saintifikasi jamu dapat
diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta.
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
meliputi:
a. Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat
dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan.
b. Klinik jamu.
c. Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T).
d. Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM) Loka Kesehatan
Tradisional Masyarakat (LKTM).
e. Rumah sakit yang ditetapkan
(3) Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat
dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan ditetapkan sebagai Klinik Penelitian
Berbasis Pelayan Kesehatan berdasarkan Peraturan Mentri ini dan
mengikuti ketentukan persyaratan Klinik Jamu Tipe A.
(4) Klinik jamu dapat merupakan praktek perorangan dokter atau dokter gigi
maupun praktis berkelompok dokter atau dokter gigi.
(5) Fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk saintifikasi jamu
sebagimana dimaksud pada ayat (1) hurup b, c, d dan e dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku dengan tipe klinik
ditetapkan sesuai pemenuhan persyaratan.

2.7 Tipe-tipe Klinik Jamu

Klinik Jamu terdiri dari :

a. Klinik Jamu Tipe A

b. Klinik Jamu Tipe B

Persyaratan Tipe A Tipe B


a. Ketenagaan
Dokter √ √
Apoteker dan/atau Asisten apoteker √ -
Tenaga Kesehatan komplementer alternatif lainnya √ √
Diploma Pengobat Tradisional √ √
Tenaga Administrasi √ √
b. Sarana
Peralatan Medis √ √
Peralatan Jamu √ √
Ruang Tunggu √ √
Ruang Pendaftaran dan Rekam Medis √ √
Ruang Konsultasi/Pelaksanaan Penelitian √ √
Ruang Pemeriksaan/Tindakan √ √
Ruang Peracikan Jamu √ √
Ruang Penyimpanan Jamu √ -
Ruang Diskusi √ -
Ruang Laboratorium Sederhana √ -
Ruang Apotek Jamu √ -

Klinik jamu harus memiliki izin dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Kota setempat. Izin tersebut diberikan selama 5 tahun dan dapat diperpanjang
kembali selama memenuhi persyaratan. Klinik jamu harus memiliki kerjasama
rujukan pasien dengan rumah sakit. Untuk rujukan pelayanan jamu dilakukan di
rumah sakit yang memberikan pelayanan dan penelitian komplementer-alternatif,
sedangkan untuk rujukan pengobatan pasien dilakukan di rumah sakit pada
umunya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam menangani pasien santifikasi jamu, dokter atau dokter gigi di


rumah sakit rujukan wajib mendiskusikan penyakit pasiennya dengan dokter atau
dokter gigi klinik jamu yang merujuknya. Dalam hal diperlukan, dokter atau
dokter gigi penerima rujukan di rumah sakit dan dokter atau dokter gigi pengirim
rujukan di klinik jamu dapat meminta konsultasi kepada Komisi Daerah dan/atau
Komisi Nasional Saintifikasi Jamu.

Dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang memberikan
pelayanan jamu pada fasilitas pelayanan kesehatan harus memiliki:
a. Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia untuk dokter
atau dokter gigi, STRA untuk apoteker dan surat izin/registrasi dari Kepala
Dinas Kesehatan Propinsi bagi tenaga kesehatan lainnya.
b. Memiliki surat izin praktik bagi dokter atau dokter gigi dan surat izin
kerja/surat izin praktik bagi tenaga kesehatan lainnya dari Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat.
c. Memiliki surat bukti registasi sebagai tenaga pengobat komplementer
alternatif (SBR-TPKA) dari Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.
d. Memiliki surat tugas sebagai tenaga pengobat komplementer alternatif (ST-
TPKA/SIK-TPKA) dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

2.8 Contoh Obat Santifikasi Jamu yang Beredar di Indonesia


Formula Saintifikasi Jamu untuk Hipertensi Ringan

No. Nama Nama latin Bagian Kandungan


lokal tanaman
1 Seledri Apium graveolens L. Herba Flavonoid (apiin,
apigenin), kumarin
2 Kumis Orthosiphan aristatus
kucing (Thunb).B.B.S. non Daun Diterpen, flavonoid
Bth
Glikosida
3 Pegagan Centella asiatica (L.) Herba (asiatikosida dan
Urban madekasosida),
triterpen asam asiatat,
quersetin, kaempferol
Kurkumin,
4 Temu Curcuma Rimpang xhantorizal,
lawak xanthorrhiza Roxb kurkuminoid, minyak
atsiri
5 Kunyit Curcuma domestica Rimpang Kurkuminoid, resin,
Val minyak atsiri
Lignan (filantin,
6 Meniran Phyllanthus niruri L. Herba hipofilantin),
flavonoid, minyak
atsiri

Formula Saintifikasi Jamu untuk Hiperurisemia

No. Nama Nama latin Bagian Kandungan


lokal tanaman
1 Kepel Stelechocarpus burahol Flavonoid, tanin,
(BI.) Hook.F.&Th Daun steroid
2 Sacang Caesalpinia sappan L. Kayu Fenol (brazilin,
brzilein)
Flavnoid (luteolin,
3 Tempuyung Sonchus arvensis L. Daun apigenin), kumarin
(skopoletin)
Kurkumin,
4 Temulawak Curcuma xanthorrhiza Rimpang xanthorizal,
Roxb kurkuminoid, minyak
atsiri
5 Kunyit Curcuma domestica Rimpang Kurkuminoid, resin,
Val minyak atsiri
Lignan (filantin,
6 Meniran Phyllanthus niruri L. Herba hipofilantin),
flavonoid, minyak
atsiri

2.9 Contoh Klinik Saintifikasi Jamu


Klinik Saintifikasi Jamu Hortus Medicus di B2P2TO-OT Tawangmangu,
Jawa Tengah adalah klinik Tipe A, merupakan implementasi peraturan Menteri
Kesehatan RI nomor 003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam
Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan untuk menjamin jamu aman, bermutu
dan berkhasiat. Klinik Saintifikasi Jamu dirintis tahun 2007, dan sejak tanggal 30
April 2012 menempati gedung baru sebagai rintisan Rumah Riset Jamu “Hortus
Medicus” sebagai tempat uji klinik dilengkapi dengan rawat inap. Selama tahun
2015 setiap bulannya melayani kunjungan pasien yang jumlahnya rata-rata 2.600
pasien. SDM pendukung RRJ “Hortus Medicus” merupakan tenaga terlatih dan
ahli di bidangnya, terdiri dari 8 dokter, 3 orang apoteker, 9 orang dari D3 Farmasi,
5 orang perawat, 2 orang Analis Kesehatan (Laboran), 3 orang petugas medical
record dan 1 orang Ahli Gizi. RRJ “ Hortus Medicus” telah menerapkan Sistem
Manajemen Mutu ISO 9001:2008. Gambar Saintifikasi Jamu Hortus Medicus di
B2P2TO-OT Tawangmangu, Jawa Tengah terlampir.

2.10 Peranan Apoteker dalam Saintifikasi Jamu


Peran dan tanggung jawab apoteker dalam saintifikasi jamu meliputi
proses pembuatan/ penyediaan simplisia dan penyimpanan, pelayanan resep
mencakup skrining resep, penyiapan obat, peracikan, pemberian etiket, pemberian
kemasan obat, penyerahan obat dan informasi obat, konseling. Monitoring
penggunaan obat, promosi dan edukasi, penyuluhan pelayanan residensial (Home
Care) serta pencatatan dan pelaporannya. Peran dan tanggung jawab apoteker
dalam upaya penyelenggaraan praktik kefarmasian tersebut dalam rangka
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif baik bagi perorangan, kelompok dan
masyarakat. Hal ini sesuai dengan paradigma pelayanan kefarmasian yang
sekarang berkembang yaitu pelayanan kefarmasian yang berazaskan pada konsep
Pharmaceutical care, yaitu bergesernya orientasi seorang apoteker dari product
atau drug oriented menjadi pasien oriented. Konsep pelayanan kefarmasian
(pharmaceutical care) merupakan pelayanan yang dibutuhkan dan diterima pasien
untuk menjamin keamanan dan penggunaan obat termasuk obat tradisional yang
rasional, baik sebelum, selama maupun setelah penggunaan obat termasuk obat
tradisional.
Dengan peran dan tanggung jawab diatas maka seorang apoteker harus
memiliki kompetensi dalam praktik kefarmasian yang diperoleh dari pendidikan
formal, memiliki pengetahuan secara mendalam tentang jamu, memiliki
pengetahuan dan keterampilan mengelola jamu serta memiliki tanggung jawab
profesi apoteker pada masyarakat khususnya pemanfaatan jamu. Oleh karena itu
untuk menjadi seorang apoteker saintifikasi jamu diperlukan suatu tambahan
pengetahuan meliputi pengenalan tanaman obat, formulasi jamu yang terstandar,
pengelolaan jamu di apotek (pengendalian mutu sediaan jamu, pengadaan,
penyimpanan dan pengamanan jamu), fitoterapi, adverse reaction, toksikologi,
dosis dan monitoring evaluasi bahan aktif jamu, MESOT (Monitoring efek
samping Obat Tradisional), manajemen pencatatan dan pelaporan, Post market
surveilance, serta komunikasi dan konseling.

BAB III
PEMBAHASAN
Masyarakat umumnya memiliki pandangan bahwa membuat jamu adalah
hal yang mudah yaitu mengambil tanaman yang ada, mengolahnya, serta
menyimpannya tanpa memperhatikan faktor-faktor penting agar jamu tersebut
mempunyai efek terapeutik yang optimal dan aman digunakan. Dalam membuat
jamu tersebut agar disantifikasi harus melewati beberapa tahap standarisasi.
Tahap-tahap ini tidaklah mudah dilakukan karena setiap tanaman memiliki
karakter yang berbeda-beda.
Salah satu parameter kualitas tanaman obat dilihat dari banyaknya
senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan karena senyawa tersebut merupakan
zat aktif yang berkhasiat obat. Selain itu tanaman obat harus memiliki manfaat
serta aman dikonsumsi. Agar didapat manfaat yang optimal serta keamanan dari
suatu tanaman obat yang diolah menjadi jamu, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu:
1. Tanaman yang digunakan adalah tanaman budidaya
Beberapa kejadian yang tidak diinginkan yang dilaporkan setelah
penggunaan obat herbal tertentu salah satu penyebabnya adalah rendahnya
kualitas produk jadi akibat penggunaan bahan baku tanaman obat dengan kualitas
rendah. Untuk mengatasi hal ini maka sebaiknya bahan baku obat diperoleh dari
tanaman yang dibudidayakan. Tanaman yang didapat serta liar memiliki beberapa
kekurangan diantaranya pencemaran mikroba patogen atau polusi yang
mengandung logam berat, kandungan metabolit sekunder yang rendah, serta
adanya kemungkinan salah identifikasi tanaman obat. Dalam budidaya tanaman
obat, bibit yang digunakan haruslah bibit dengan kualitas tinggi. Selain itu,
kondisi lingkungan tanam, kondisi tanah, serta pemeliharaan harus menjadi
perhatian agar kandungan metabolit sekunder yang diharapkan dapat dihasilkan
dengan maksimal. Setiap tanaman memiliki waktu tertentu dimana kandungan
metabolit sekundernya mencapai kadar tertinggu. Pada sat inilah waktu yang tepat
untuk panen. Bagian yang dipanenpun berbeda-beda pada setiap tanaman,
tergantung pada bagian mana metabolit sekundernya paling banyak dihasilkan.
Penanganan pasca panen juga harus diperhatikan agar tumbuhan tidak
terkontaminasi oleh benda asing serta organoleptisnya seperti penampakan fisik,
ukuran, warna, baud an rasa tetap terjaga.
2. Cara pengolahan tanaman obat menjadi jamu
Setiap tanaman memiliki cara pengolahan yang berbeda. Beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam meramu jamu adalah sebagai berikut:
- Bahan jamu harus dipilih dalam keadaan baik, tidak busuk atau berjamur.
Mengetahui bagian dari tanaman yang digunakan serta jumlahnya harus tepat.
- Alat yang digunakan untuk memasak jamu biasanya berupa panel yang terbuat
dari tanah liat atau dapat juga berbahan keramik dan kaca. Untuk memasak
jamu hindari panic yang terbuat dari aluminium agar kandungan obat tidak
berinteraksi dengan aluminium.
- Suhu, waktu, serta jumlah air yang digunakan harus tepat agar zat aktif obat
dapat tersari dengan maksimal.
3. Monitoring penyimpanan dan penggunaan
Tumbuhan obat yang belum diramu sebaiknya disimpan di tempat yang
sesuai dengan kondisi setiap tanaman untuk menghindari pembusukan, berjamur,
dan kontaminasi silang seperti bercampurnya dengan bahan lain. Tumbuhan obat
yang sudah diramu menjadi jamu sebaiknya tidak digunakan berulang-ulang
karena dapat memicu pertumbuhan mikroba patogen yang berbahaya bagi
kesehatan. Selain itu, tanaman obat sudah tidak memiliki khasiat lagi.
Untuk mendukung terlaksana program saintifikasi jamu dan program
pendidikan magister herbal, pemerintah diharapkan memberikan perhatian lebih
terhadap perkembangan jamu di Indonesia berupa penyediaan dana penelitian dan
mendorong peningkatan jumlah pakar herbal yang kompoten.
Dalam saintifikasi jamu hal yang paling mendasar yang harus dilakukan
yaitu salah satunya pembuktian secara ilmiah bahwa obat tradisional berbahan
alami itu memberika manfaat klinis untuk pencegahan atau pengobatan penyakit,
serta tidak menimbulkan efek samping. Program saintifikasi jamu sendiri
merupakan suatu bentuk upaya penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Protocol
penelitian hendaknya mengadaptasi dari jurnal-jurnal ilmiah nasional maupun
internasional yang berkaitan dengan penelitian yang hendak dilakukan, misalnya
protocol penelitian yang terdapat pada jurnal Traditional Chinese Medicine.
Sebagian pemanfaatan bahan alam sebagai obat didasarkan pada resep
ramuan tradisional warisan leluhur. Meski demikian, dalam perkembangannya
khasiat-khasiat itu terbukti melalui beragam penelitian ilmiah. Penelitian itu
memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap obat herbal. Badan Kesehatan
Dunia (WHO) pun telah merekomendasikan penggunaan obat bahan alam dalam
pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit,
tertama untuk penyakit-penyakit kronis, penyakit-penyakit degenerative bahkan
untuk kanker.
Seiring dengan perkembangan itu, industri jamu/obat herbal mulai
memanfaatkan teknologi dalam bidang kefarmasian. Dengan demikian, industri
jamu/obat herbal mampu memproduksi berbagai sediaan serupa obat farmasi
modern. Seperti bentuk tablet, kapsul lunak dan kaplet, sirup, bahkan tablet
effervescent, serta sediaan siap saji dalam sachet. Dengan semakin majunya
teknologi yang digunakan, produk saintifikasi yang sudah terbukti khasiatnya
melalui penelitian ilmiah serta diproduksi sesuai standar yang berlaku mempunyai
peluang pasar yang besar baik sebagai produk “generic public health” atau pun
produk komersial dikarenakan kualitas serta tingkat kemanan yang lebih terjamin,
ditambah lagi meningkatnya permintaan pasar dalam maupun luar negeri terhadap
produk-produk kesehatan berbahan alami. Contohnya Antangin (Antangin JRG
Tablet, Antangin JRG Sirup, Antangin Mint, Antangin Mocca), OBHerbal,
Antalinu, Srongpas, Natur Slim, Rapet Wangi, Pil Tuntas, Permen Antangin, dan
Permen OBHerbal. Seluruh produk itu diproduksi sesuai standar GMP (Good
Manufacturing Process) Eropa, GMP Indonesia (CPOTB/Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik), dan FDA (Food and Drug Administration).
Dalam mempublikasin penelitian saintifikasi jamu, sampai saat ini belum
terdapat sistem dokumentasi yang terintegrasi lintas institusi secara nasional,
sehingga sering terjadi duplikasi penelitian. Untuk mencegah terjadinya hal
tersebut, hendaknya terdapat sistem dokumentasi publikasi penelitian yang
terintegrasi secara nasional dan internasional.
Untuk menjamin akses masyarakat terhadap jamu yang bermutu,
berkhasiat dan aman, dikembangkanlah “Pojok Jamu” di Puskesmas, diklat
kepada dokter umum, dokter spesialis, dokter Puskesmas tentang pelayanan obat
tradisional/jamu, pembinaan.
Salah satu contoh adalah dengan dipilihnya beberapa rumah sakit untuk
menyediakan pelayanan herbal sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1684.Menkes/Per/XII/2005. Salah satu dari Rumah
Sakit tersebut adalah RS Kanker Dharmais yang mendirikan unit Complementary
Alternative Medicine (CAM). Unit CAM RS Kanker Dharmais berfungsi untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan komplementer bagi penderita penyakit
kanker dan atau masalah kesehatan lainnya baik yang berasal dari Rumah Sakit
Kanker Dharmais maupun rujukan dari fasilitas kesehatan lainnya.
Khusus pelayanan dengan menggunakan herbal terstandar ataupun jamu
dapat diberikan dalam bentuk pelayanan berbasis penelitian yang pelaksanaannya
diatur berdasarkan Permenkes tersendiri. Peraturan ini juga mengatur tentang
syarat serta jenis herbal terstandar maupun jamu yang dapat digunakan dalam
pelayanan kesehatan pada masyarakat yang berbasis pada penelitian. Dalam
pelaksanaannya Unit CAM bekerjasama dengan SMF ilmu lainnya serta dengan
Badan Penelitian dan Pengembangan.
Pada RS Kanker Dharmais sebagai pusat kanker nasional, penggunaan
herbal dalam pelayanan berbasis penelitian ditujukan sebagai terapi penunjang
(komplemen) terhadap pengobatan konvensional serta juga dalam mengatasi
berbagai gejala yang timbul baik akibat kanker itu sendiri ataupun terhadap efek
samping yang terjadi akibat dari pengobatan kanker.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dalam mewujudkan saintifikasi jamu diperlukan peranan pemerintah
dalam merumuskan kebijakan dan memberikan dukungan berupa dana dan
fasilitas bagi para peneliti dan tenaga kesehatan terkait.
5.2 Saran
a. Memperbanyak lahan budidaya tanaman obat untuk mempermudah
mendapatkan bahan baku jamu.
b. Melakukan penelitian-penelitian tentang metode budidaya yang baik untuk
meningkatkan kualitas tanaman obat.
c. Membuat standarisasi pengolahan setiap tanaman obat mulai dari
penanaman hingga pembuatan jamu.
d. Pemerintah melibatkan berbagai kementerian untuk mendukung program
saintifikasi jamu baik dari segi regulasi, fasilitasi publikasi penelitian
ilmiah sehingga tidak terjadi penelitian ganda, capacity building dan
melakukan proteksi produk dalam negeri.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2007). Tentang Jamu.
http://www.nyonyameneer.com/Indonesia/tentang-jamu.php
Anonim. (2010). Jamu Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Depkes.go.id
Anonim. (2011). Konsorsium Pengembangan Teknologi Industri Jamu/Obat
Herbal. Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia.
Ristek.co.id
BPOM RI. (2014). Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
No.HK.00.05.4.2411 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok
Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia. Jakarta:
BPOM RI.
BPOM RI. (2005). Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia No. HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata
Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan
Fitofarmaka. Jakarta: BPOM RI.
BPOM RI. (2005). Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik.
Jakarta: BPOM RI.
Dorly. (2005). Potensi Tumbuhan Obat Indonesia dalam Pengembangan Industri
Agromedisin. Makalah Pribadi Pengantar Falsafah Sains (pps 702)
Sekolah Pascasarjana/S3. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Kandini, H. S. (2010). Industri Jamu Tanah Air dan Implementasi ASEAN-China
Free Trade Agreement (ACFTA). Media HKI Vol. VII/No.3/Juni 2010.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 661/MenKes/SK/VII/1994
tentang Persyaratan Obat Tradisional.
Hargono, Djoko. Sejarah Jamu Indonesia.
http://www.airmancur.co.id/artikel/read/sejarah-jamu_2
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 003/Menkes/Per/I/2010
tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbabis Pelayananan
Kesehatan.
LAMPIRAN
Gambar 1. Contoh Klinik Saintifikasi Jamu Hortus Medicus
di B2P2TO-OT Tawangmangu, Jawa Tengah

Gambar 2. Contoh Griya Jamu di Klinik


Saintifikasi Jamu Hortus Mesicus B2P2TO2T Tawangmangu
Gambar 3. Contoh Ruang Peracikan di Griya Klinik
Saintifikasi jamu Hortus Mesicus B2P2TO2T Tawangmangu

Gambar 4. Contoh Klinik Saintifikasi Jamu Griya Sehat di Kabupaten Kendai


Gambar 5. Workshop Penyiapan Bahan Baku Saintifikasi Jamu

Gambar 6. Penanda tangan MOU PB IDI dab Badan Litbangkes


Gambar 7. Acara pembentukan Dewan Etik Saintifikasi Jamu

Anda mungkin juga menyukai