OLEH :
KELOMPOK 1
1. Zahra Zaviar Camelia, S. Farm (2805003)
2. Aska Vilvi, S. Farm (2805012)
3. Nova Novitasari, S. Farm (2805014)
4. Hilda Ali, S. Farm (2805028)
5. Niselvia Joanda, S. Farm (2805031)
6. Welimarsa Eka Putri, S. Farm (2805036)
1.2 Tujuan
a. Memahami perlunya saintifikasi jamu dan menemukan solusi atas kendala
yang dapat menghambat terwujudnya saintifikasi jamu.
b. Memahami kaitan antara saintifikasi jamu dengan peranan apoteker dalam
pelayanan pengobatan tradisional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Klinik jamu harus memiliki izin dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten
Kota setempat. Izin tersebut diberikan selama 5 tahun dan dapat diperpanjang
kembali selama memenuhi persyaratan. Klinik jamu harus memiliki kerjasama
rujukan pasien dengan rumah sakit. Untuk rujukan pelayanan jamu dilakukan di
rumah sakit yang memberikan pelayanan dan penelitian komplementer-alternatif,
sedangkan untuk rujukan pengobatan pasien dilakukan di rumah sakit pada
umunya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang memberikan
pelayanan jamu pada fasilitas pelayanan kesehatan harus memiliki:
a. Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia untuk dokter
atau dokter gigi, STRA untuk apoteker dan surat izin/registrasi dari Kepala
Dinas Kesehatan Propinsi bagi tenaga kesehatan lainnya.
b. Memiliki surat izin praktik bagi dokter atau dokter gigi dan surat izin
kerja/surat izin praktik bagi tenaga kesehatan lainnya dari Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat.
c. Memiliki surat bukti registasi sebagai tenaga pengobat komplementer
alternatif (SBR-TPKA) dari Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.
d. Memiliki surat tugas sebagai tenaga pengobat komplementer alternatif (ST-
TPKA/SIK-TPKA) dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
BAB III
PEMBAHASAN
Masyarakat umumnya memiliki pandangan bahwa membuat jamu adalah
hal yang mudah yaitu mengambil tanaman yang ada, mengolahnya, serta
menyimpannya tanpa memperhatikan faktor-faktor penting agar jamu tersebut
mempunyai efek terapeutik yang optimal dan aman digunakan. Dalam membuat
jamu tersebut agar disantifikasi harus melewati beberapa tahap standarisasi.
Tahap-tahap ini tidaklah mudah dilakukan karena setiap tanaman memiliki
karakter yang berbeda-beda.
Salah satu parameter kualitas tanaman obat dilihat dari banyaknya
senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan karena senyawa tersebut merupakan
zat aktif yang berkhasiat obat. Selain itu tanaman obat harus memiliki manfaat
serta aman dikonsumsi. Agar didapat manfaat yang optimal serta keamanan dari
suatu tanaman obat yang diolah menjadi jamu, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu:
1. Tanaman yang digunakan adalah tanaman budidaya
Beberapa kejadian yang tidak diinginkan yang dilaporkan setelah
penggunaan obat herbal tertentu salah satu penyebabnya adalah rendahnya
kualitas produk jadi akibat penggunaan bahan baku tanaman obat dengan kualitas
rendah. Untuk mengatasi hal ini maka sebaiknya bahan baku obat diperoleh dari
tanaman yang dibudidayakan. Tanaman yang didapat serta liar memiliki beberapa
kekurangan diantaranya pencemaran mikroba patogen atau polusi yang
mengandung logam berat, kandungan metabolit sekunder yang rendah, serta
adanya kemungkinan salah identifikasi tanaman obat. Dalam budidaya tanaman
obat, bibit yang digunakan haruslah bibit dengan kualitas tinggi. Selain itu,
kondisi lingkungan tanam, kondisi tanah, serta pemeliharaan harus menjadi
perhatian agar kandungan metabolit sekunder yang diharapkan dapat dihasilkan
dengan maksimal. Setiap tanaman memiliki waktu tertentu dimana kandungan
metabolit sekundernya mencapai kadar tertinggu. Pada sat inilah waktu yang tepat
untuk panen. Bagian yang dipanenpun berbeda-beda pada setiap tanaman,
tergantung pada bagian mana metabolit sekundernya paling banyak dihasilkan.
Penanganan pasca panen juga harus diperhatikan agar tumbuhan tidak
terkontaminasi oleh benda asing serta organoleptisnya seperti penampakan fisik,
ukuran, warna, baud an rasa tetap terjaga.
2. Cara pengolahan tanaman obat menjadi jamu
Setiap tanaman memiliki cara pengolahan yang berbeda. Beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam meramu jamu adalah sebagai berikut:
- Bahan jamu harus dipilih dalam keadaan baik, tidak busuk atau berjamur.
Mengetahui bagian dari tanaman yang digunakan serta jumlahnya harus tepat.
- Alat yang digunakan untuk memasak jamu biasanya berupa panel yang terbuat
dari tanah liat atau dapat juga berbahan keramik dan kaca. Untuk memasak
jamu hindari panic yang terbuat dari aluminium agar kandungan obat tidak
berinteraksi dengan aluminium.
- Suhu, waktu, serta jumlah air yang digunakan harus tepat agar zat aktif obat
dapat tersari dengan maksimal.
3. Monitoring penyimpanan dan penggunaan
Tumbuhan obat yang belum diramu sebaiknya disimpan di tempat yang
sesuai dengan kondisi setiap tanaman untuk menghindari pembusukan, berjamur,
dan kontaminasi silang seperti bercampurnya dengan bahan lain. Tumbuhan obat
yang sudah diramu menjadi jamu sebaiknya tidak digunakan berulang-ulang
karena dapat memicu pertumbuhan mikroba patogen yang berbahaya bagi
kesehatan. Selain itu, tanaman obat sudah tidak memiliki khasiat lagi.
Untuk mendukung terlaksana program saintifikasi jamu dan program
pendidikan magister herbal, pemerintah diharapkan memberikan perhatian lebih
terhadap perkembangan jamu di Indonesia berupa penyediaan dana penelitian dan
mendorong peningkatan jumlah pakar herbal yang kompoten.
Dalam saintifikasi jamu hal yang paling mendasar yang harus dilakukan
yaitu salah satunya pembuktian secara ilmiah bahwa obat tradisional berbahan
alami itu memberika manfaat klinis untuk pencegahan atau pengobatan penyakit,
serta tidak menimbulkan efek samping. Program saintifikasi jamu sendiri
merupakan suatu bentuk upaya penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Protocol
penelitian hendaknya mengadaptasi dari jurnal-jurnal ilmiah nasional maupun
internasional yang berkaitan dengan penelitian yang hendak dilakukan, misalnya
protocol penelitian yang terdapat pada jurnal Traditional Chinese Medicine.
Sebagian pemanfaatan bahan alam sebagai obat didasarkan pada resep
ramuan tradisional warisan leluhur. Meski demikian, dalam perkembangannya
khasiat-khasiat itu terbukti melalui beragam penelitian ilmiah. Penelitian itu
memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap obat herbal. Badan Kesehatan
Dunia (WHO) pun telah merekomendasikan penggunaan obat bahan alam dalam
pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit,
tertama untuk penyakit-penyakit kronis, penyakit-penyakit degenerative bahkan
untuk kanker.
Seiring dengan perkembangan itu, industri jamu/obat herbal mulai
memanfaatkan teknologi dalam bidang kefarmasian. Dengan demikian, industri
jamu/obat herbal mampu memproduksi berbagai sediaan serupa obat farmasi
modern. Seperti bentuk tablet, kapsul lunak dan kaplet, sirup, bahkan tablet
effervescent, serta sediaan siap saji dalam sachet. Dengan semakin majunya
teknologi yang digunakan, produk saintifikasi yang sudah terbukti khasiatnya
melalui penelitian ilmiah serta diproduksi sesuai standar yang berlaku mempunyai
peluang pasar yang besar baik sebagai produk “generic public health” atau pun
produk komersial dikarenakan kualitas serta tingkat kemanan yang lebih terjamin,
ditambah lagi meningkatnya permintaan pasar dalam maupun luar negeri terhadap
produk-produk kesehatan berbahan alami. Contohnya Antangin (Antangin JRG
Tablet, Antangin JRG Sirup, Antangin Mint, Antangin Mocca), OBHerbal,
Antalinu, Srongpas, Natur Slim, Rapet Wangi, Pil Tuntas, Permen Antangin, dan
Permen OBHerbal. Seluruh produk itu diproduksi sesuai standar GMP (Good
Manufacturing Process) Eropa, GMP Indonesia (CPOTB/Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik), dan FDA (Food and Drug Administration).
Dalam mempublikasin penelitian saintifikasi jamu, sampai saat ini belum
terdapat sistem dokumentasi yang terintegrasi lintas institusi secara nasional,
sehingga sering terjadi duplikasi penelitian. Untuk mencegah terjadinya hal
tersebut, hendaknya terdapat sistem dokumentasi publikasi penelitian yang
terintegrasi secara nasional dan internasional.
Untuk menjamin akses masyarakat terhadap jamu yang bermutu,
berkhasiat dan aman, dikembangkanlah “Pojok Jamu” di Puskesmas, diklat
kepada dokter umum, dokter spesialis, dokter Puskesmas tentang pelayanan obat
tradisional/jamu, pembinaan.
Salah satu contoh adalah dengan dipilihnya beberapa rumah sakit untuk
menyediakan pelayanan herbal sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1684.Menkes/Per/XII/2005. Salah satu dari Rumah
Sakit tersebut adalah RS Kanker Dharmais yang mendirikan unit Complementary
Alternative Medicine (CAM). Unit CAM RS Kanker Dharmais berfungsi untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan komplementer bagi penderita penyakit
kanker dan atau masalah kesehatan lainnya baik yang berasal dari Rumah Sakit
Kanker Dharmais maupun rujukan dari fasilitas kesehatan lainnya.
Khusus pelayanan dengan menggunakan herbal terstandar ataupun jamu
dapat diberikan dalam bentuk pelayanan berbasis penelitian yang pelaksanaannya
diatur berdasarkan Permenkes tersendiri. Peraturan ini juga mengatur tentang
syarat serta jenis herbal terstandar maupun jamu yang dapat digunakan dalam
pelayanan kesehatan pada masyarakat yang berbasis pada penelitian. Dalam
pelaksanaannya Unit CAM bekerjasama dengan SMF ilmu lainnya serta dengan
Badan Penelitian dan Pengembangan.
Pada RS Kanker Dharmais sebagai pusat kanker nasional, penggunaan
herbal dalam pelayanan berbasis penelitian ditujukan sebagai terapi penunjang
(komplemen) terhadap pengobatan konvensional serta juga dalam mengatasi
berbagai gejala yang timbul baik akibat kanker itu sendiri ataupun terhadap efek
samping yang terjadi akibat dari pengobatan kanker.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dalam mewujudkan saintifikasi jamu diperlukan peranan pemerintah
dalam merumuskan kebijakan dan memberikan dukungan berupa dana dan
fasilitas bagi para peneliti dan tenaga kesehatan terkait.
5.2 Saran
a. Memperbanyak lahan budidaya tanaman obat untuk mempermudah
mendapatkan bahan baku jamu.
b. Melakukan penelitian-penelitian tentang metode budidaya yang baik untuk
meningkatkan kualitas tanaman obat.
c. Membuat standarisasi pengolahan setiap tanaman obat mulai dari
penanaman hingga pembuatan jamu.
d. Pemerintah melibatkan berbagai kementerian untuk mendukung program
saintifikasi jamu baik dari segi regulasi, fasilitasi publikasi penelitian
ilmiah sehingga tidak terjadi penelitian ganda, capacity building dan
melakukan proteksi produk dalam negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2007). Tentang Jamu.
http://www.nyonyameneer.com/Indonesia/tentang-jamu.php
Anonim. (2010). Jamu Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Depkes.go.id
Anonim. (2011). Konsorsium Pengembangan Teknologi Industri Jamu/Obat
Herbal. Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia.
Ristek.co.id
BPOM RI. (2014). Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
No.HK.00.05.4.2411 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok
Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia. Jakarta:
BPOM RI.
BPOM RI. (2005). Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia No. HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata
Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan
Fitofarmaka. Jakarta: BPOM RI.
BPOM RI. (2005). Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik.
Jakarta: BPOM RI.
Dorly. (2005). Potensi Tumbuhan Obat Indonesia dalam Pengembangan Industri
Agromedisin. Makalah Pribadi Pengantar Falsafah Sains (pps 702)
Sekolah Pascasarjana/S3. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Kandini, H. S. (2010). Industri Jamu Tanah Air dan Implementasi ASEAN-China
Free Trade Agreement (ACFTA). Media HKI Vol. VII/No.3/Juni 2010.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 661/MenKes/SK/VII/1994
tentang Persyaratan Obat Tradisional.
Hargono, Djoko. Sejarah Jamu Indonesia.
http://www.airmancur.co.id/artikel/read/sejarah-jamu_2
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 003/Menkes/Per/I/2010
tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbabis Pelayananan
Kesehatan.
LAMPIRAN
Gambar 1. Contoh Klinik Saintifikasi Jamu Hortus Medicus
di B2P2TO-OT Tawangmangu, Jawa Tengah