Anda di halaman 1dari 24

TUGAS HERBAL MEDICINE

SAINTIFIKASI JAMU

OLEH KELOMPOK V :

1. TARI ELVITA (2605021)


2. SUKMA YONNITA (2605022)
3. MUSDALIFAH (2605023)
4. WENNO DWI PUTRI (2605024)
5. REZANIA RIZAL (2605025)

PROGRAM PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA
YAYASAN PERINTIS
PADANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara mega diversity untuk tumbuhan obat di
dunia dengan keanekaragaman hayati tertinggi ke-2 setelah Brazilia. Dari 40.000 jenis
flora yang ada di dunia sebanyak 30.000 jenis dijumpai di Indonesia dan 940 jenis di
antaranya diketahui berkhasiat sebagai obat yang telah dipergunakan dalam pengobatan
tradisional secara turun-temurun oleh berbagai etnis di Indonesia. Keanekaragaman
hayati ini merupakan aset nasional yang bernilai tinggi untuk pengembangan industri
agromedisin di dunia.
Menurut Undang-undang Kesehatan No.36 Tahun 2009, obat tradisional adalah
bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral,
sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun
telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang
berlaku di masyarakat.
Penggunaan bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh
nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu terbukti dari adanya naskah lama pada
daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak pabbura (Sulawesi Selatan), dan
relief candi Borobudur yang menggambarkan orang sedang meracik obat (jamu) dengan
tumbuhan sebagai bahan bakunya.
Adanya kecenderungan pola hidup kembali ke alam (back to nature) dengan
keyakinan bahwa mengkomsumsi obat alami relatif lebih aman dibanding dengan obat
sintetik, maka berdampak tingginya permintaan dunia akan obat alami sehingga prospek
pasar tumbuhan obat Indonesia di dalam maupun di luar negeri semakin besar
peluangnya.
Saintifikasi jamu merupakan pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis
pelayanan kesehatan.
1.2. Tujuan
a. Memahami perlunya saintifikasi jamu dan menemukan solusi atas kendala yang
dapat menghambat terwujudnya saintifikasi jamu.
b. Memahami kaitan antara saintifikasi jamu dengan peranan apoteker dalam
pelayanan pengobatan tradisional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Jamu

Jamu adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, bahan hewan,
bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara
turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat (Permenkes No.003/Menkes/Per/I/2010).

2.2. Sejarah Jamu

Jamu, atau yang lebih sering dikenal sebagai obat asli Indonesia, telah ada sejak
zaman dahulu kala. Jika ditilik dari dokumentasi yang ada, dokumentasi tertua
mengenai jamu terdapat pada relief Candi Borobudur (tahun 772 setelah Masehi)
dimana terdapat lukisan tentang ramuan obat tradisional/jamu. Relief-relief yang
menerangkan tentang penggunaan jamu pada zaman dahulu juga terdapat pada Candi
Prambanan, Candi Penataran (Blitar), dan Candi Tegalwangi (Kediri). Selain itu, di
berbagai daerah di tanah air, dapat ditemukan berbagai kitab yang berisi tata cara
pengobatan dan jenis-jenis obat tradisional. Pada tahun 991-1016 M, perumusan obat
dan ekstraksi dari tanaman ditulis pada daun kelapa/lontar, misalnya seperti Lontar
Usada di Bali, dan Lontarak Pabbura di Sulawesi Selatan. Beberapa dokumen tersebut
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing. Pada masa
kerajaan-kerajaan di Indonesia, pengetahuan mengenai formulasi obat dari bahan alami
juga telah dibukukan, misalnya Bab kawruh jampi Jawi oleh keraton Surakarta yang
dipublikasikan pada tahun 1858 dan terdiri dari 1734 formulasi herbal.
Sebelumnya, jamu hanya digunakan oleh kaum bangsawan di kerajaan-kerajaan di
Indonesia. Namun pada perkembangannya, jamu saat ini dikenal luas dan digunakan
oleh masyarakat untuk memelihara kesehatan dan menyembuhkan penyakit.
2.3. Persyaratan Bahan Jamu

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 003/Menkes/Per/I/2010,


persyaratan bahan jamu yaitu aman berdasarkan uji toksisitas, berkhasiat berdasarkan data
empiris yang dibuktikan dengan uji praklinik, berkualitas sesuai dengan pedoman yang
berlaku secara nasional.

2.4. Saintifikasi Jamu

Saintifikasi jamu merupakan pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis


pelayanan kesehatan. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor
003/Menkes/Per/I/2010, tujuan saintifikasi jamu adalah:
1. Memberikanlandasanilmiah (evidence based)
penggunaanjamusecaraempirismelaluipenelitianberbasispelayanankesehatan.
2. Mendorongterbentuknyajejaringdokterataudoktergigidantenagakesehatanlainnyase
bagaipenelitidalamrangkaupayapreventif, promotif, rehabilitatif,
danpaliatifmelaluipenggunaanjamu.
3. Meningkatkankegiatanpenelitiankualitatifterhadappasiendenganpenggunaanjamu.
4. Meningkatkanpenyediaanjamu yang aman, memilikikhasiatnyata yang
terujisecarailmiah,
dandimanfaatkansecaraluasbaikuntukpengobatansendirimaupundalamfasilitaspelay
anankesehatan

Sedangkanruanglingkupsaintifikasijamudiutamakanuntukupayapreventif, promotif,
rehabilatifdanpaliatif.
Saintifikasijamudalamrangkaupayakuratifhanyadapatdilakukanataspermintaantertulispasi
ensebagaikomplementer-alternatifsetelahpasienmemperolehpenjelasan yang cukup
.

Penyelenggara saintifikasi jamu adalah fasilitas kesehatan pemerintah atau swasta


dengan tenaga kesehatan terdiri dari dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, dan tenaga
kesehatan yang lain sesuai peraturan yang ada.
Untuk menjamin tersedianya Jamu yang aman, berkhasiat dan bermutu,
Pemerintah Indonesia melakukan langkah dan upaya untuk menjamin keamanan Jamu.
Untuk memperkuat data dan informasi ilmiah tentang Jamu –utamanya formula Jamu-.
Pemerintah Indonesia melaksanakan Program Saintifikasi Jamu atau Scientific Based
Jamu Development, yaitu penelitian berbasis pelayanan yang mencakup Pengembangan
Tanaman Obat menjadi Jamu Saintifik, meliputi tahap-tahap :
1. Studi etnofarmakologi untuk mendapatkan base-line data terkait penggunaan
tanaman obat secara tradisional.
2. Seleksi formula jamu yang potensial untuk terapi alternatif/ komplementer.
3. Studi klinik untuk mendapatkan bukti terkait manfaat dan keamanan.
4. Jamu yang terbukti berkhasiat dan aman dapat digunakan dalam sistem pelayanan
kesehatan formal.

Tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan jamu pada fasilitas pelayanan


kesehatan harus memiliki:

1. Surat Tanda Registrasi (STR) untuk dokter atau dokter gigi dari Konsil
Kedokteran; Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) untuk apoteker; Surat
Izin/Registrasi dari Kepala Dinas Kesehatan Propinsi untuk tenaga kesehatan
lainnya.

2. Surat izin praktik untuk dokter atau dokter gigi; surat izin kerja/surat izin praktik
untuk dari tenaga kesehatan lainnyadari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
setempat.

3. Surat Bukti Registrasi Tenaga Pengobat Komplementer Alternatif (SBR-TPKA)


dari Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.
4. Surat Tugas Tenaga Pengobat Komplementer Alternatif / Surat Izin Kerja
Tenaga Pengobat Komplementer Alternatif (ST-TPKA / SIK-TPKA) dari
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Dalam rangka pembinaan dan peningkatan saintifikasi jamu dalam penelitian


berbasis pelayanan, Menteri Kesehatan membentuk Komisi Nasional Saintifikasi Jamu,
dengan tugas:

1. Membina pelaksanaan saintifikasi jamu.

2. Meningkatkan pelaksanaan penegakan etik penelitian jamu.

3. Menyusun pedoman nasional berkaitan dengan pelaksanaan saintifikasi jamu.

4. Mengusulkan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

bahan jamu, khususnya segi budidaya, formulasi, distribusi dan mutu serta

keamanan yang layak digunakan untuk penelitian.

5. Melakukan koordinasi dengan peneliti, lembaga penelitian dan universitas serta


organisasi profesi dalam dan luar negeri, pemerintah maupun swasta di bidang
produksi jamu.
6. Membentuk jejaring dan membantu peneliti dokter atau dokter gigi dan tenaga
kesehatan lainnya yang melakukan praktik jamu dalam seluruh aspek
penelitiannya.
7. Membentuk forum antar tenaga kesehatan dalam saintifikasi jamu.
8. Memberikan pertimbangan atas proses dan hasil penelitian yang aspek etik,
hukum dan metodologinya perlu ditinjau secara khusus kepada pihak yang
memerlukannya.
9. Melakukan pendidikan berkelanjutan meliputi pembentukan dewan dosen,
penentuan dan pelaksanaan silabus dan kurikulum, serta sertifikasi kompetensi.
10. Mengevaluasi secara terpisah ataupun bersamaan hasil penelitian-pelayanan
termasuk perpindahan metode/upaya antara kuratif dan nonkuratif hasil
penelitian-pelayanan praktik/klinik jamu.
11. Mengusulkan kelayakan hasil penelitian menjadi program sinergi, intregrasi dan
rujukan pelayanan jamu kepada Menteri Kesehatan melalui Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
12. Membina Komisi Daerah Saintifikasi Jamu di propinsi atau kabupaten/kota
13. Memberikan rekomendasi perbaikan dan keberlanjutan program saintifikasi
jamu kepada Menteri Kesehatan.
14. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan Meneteri Kesehatan.

Sesuai data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, diketahui bahwa
hampir separuh (49,54%) penduduk Indonesia umur 15 tahun ke atas menggunakan jamu.
Dari mereka yang meminum jamu, bentuk sediaan jamu yang paling banyak dikonsumsi
adalah cairan (55,16%), kemudian disusul seduhan dari serbuk (43,99%) lalu rebusan dari
rajangan (20,43%), dan proporsi yang paling kecil adalah kapsul/pil/tablet (11,58%). Dari
data tersebut menunjukkan penggunaan jamu terbanyak di masyarakat dalam bentuk
cairan/seduhan/rebusan. Sehingga dalam melakukan saintifikasi jamu yang digunakan
adalah bentuk sediaan jamu yang paling banyak digunakan masyarakat yaitu
cairan/seduhan/rebusan

Penyakit yang paling banyak diobati dengan komplementer (berdasar data Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan) adalah hipertensi, diabetes melitus,
dislipidemia, hiperurisemia. Penyakit tersebut yang sedang diuji coba pada penelitian
saintifikasi jamu tahun 2011. Penelitian diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan cq. Balai Besar Tanaman Obat dan Obat Tradisional.
Formula jamu dan simplisia/bahan baku jamu untuk saintifikasi jamu disiapkan oleh
Balai Besar Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Penelitian saintifikasi jamu
melibatkan 60 dokter yang telah mengikuti pendidikan dan latihan saintifikasi jamu 50
jam, 500 subjek serta pengumpulan data penelitian berlangsung selama 4 bulan (Juni –
September 2011).
.
2.5. Dasar Hukum

a. Undang-undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.


b. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi
Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan.

2.6. Fasilitas Pelayanan Obat Tradisional


(1) Fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk saintifikasi jamu dapat
diselenggarakan oleh Pemerintah atau Swasta.

(2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan
Obat Tradisional (B2P2TOOT) Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan.
b. Klinik Jamu.
c. Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T).
d. Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM)/Loka Kesehatan Tradisional
Masyarakat (LKTM).
e. Rumah Sakit yang ditetapkan.

(3) Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional (B2P2TOOT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan ditetapkan sebagai Klinik Penelitian Berbasis Pelayanan
Kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri ini dan mengikuti ketentuan persyaratan
Klinik Jamu Tipe A.
(4) Klinik jamu dapat merupakan praktik perorangan dokter atau dokter gigi maupun
praktik berkelompok dokter atau dokter gigi.
(5) Fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk saintifikasi jamu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, c, d, dan e dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan yang berlaku dengan tipe klinik ditetapkan sesuai pemenuhan
persyaratan.
2.7. Tipe-tipe Klinik Jamu
(1) Klinik Jamu terdiri dari :
a. Klinik Jamu Tipe A
b. Klinik Jamu Tipe B

(2) Klinik jamu tipe A harus memenuhi persyaratan:

a. Ketenagaan yang meliputi :


1) Dokter sebagai penanggung jawab
2) Asisten Apoteker.
3) Tenaga kesehatan komplementer alternatif lainnya sesuai kebutuhan.
4) Diploma (D3) pengobat tradisional dan/atau pengobat tradisional ramuan
yang tergabung dalam Asosiasi Pengobat Tradisional yang diakui
Departemen Kesehatan.
5) Tenaga administrasi.
b. Sarana yang meliputi:
1) Peralatan medis
2) Peralatan jamu
2.7. contoh obat santifikasi jamu yang beredar di indonesia
Formula Jamu Saintifik untuk hipertensi ringan

Formula Jamu Saintifik untuk hiperurisemia


2.7. Peranan Apoteker Dalam Saintifikasi Jamu
Peran dan tanggung jawab apoteker dalam saintifikasi jamu meliputi proses
Pembuatan/ penyediaan simplisia dan penyimpanan, Pelayanan Resep mencakup skrining
Resep, Penyiapan obat, Peracikan, pemberian Etiket, pemberian Kemasan Obat, Penyerahan
Obat, dan Informasi Obat, Konseling. Monitoring Penggunaan Obat. Promosi dan Edukasi,
penyuluhan Pelayanan Residensial (Home Care). serta Pencatatan dan pelaporannya. Peran
dan tanggungjawab apoteker dalam upaya penyelenggaraan praktik kefarmasian tersebut
dalam rangka promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif baik bagi perorangan, kelompok
dan atau masyarakat. Hal ini sesuai dengan paradigma pelayanan kefarmasian yang sekarang
berkembang yaitu pelayanan kefarmasian yang berazaskan pada konsep Pharmaceutical
Care, yaitu bergesernya orientasi seorang apoteker dari product atau drug oriented menjadi
patient oriented.Konsep pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) merupakan pelayanan
yang dibutuhkan dan diterima pasien untuk menjamin keamanan dan penggunaan obat
termasuk obat tradisional yang rasional, baik sebelum, selama, maupun sesudah penggunaan
obat termasuk obat tradisional.

Dengan peran dan tanggung jawab di atas maka seorang apoteker harus memiliki
kompetensi dalam praktik kefarmasian yang diperoleh dari pendidikan formal, memiliki
pengetahuan secara mendalam tentang jamu, memiliki pengetahuan dan keterampilan
mengelola jamu serta memiliki tanggung-gugat profesi apoteker pada masyarakat khususnya
pemanfaatan jamu. Oleh karena itu untuk menjadi seorang apoteker saintifikasi jamu
diperlukan suatu tambahan pengetahuan meliputi Pengenalan tanaman obat, Formula jamu
yang terstandar, Pengelolaan jamu di apotek (pengendalian mutu sediaan jamu, pengadaan,
penyimpanan dan pengamanan jamu), Fitoterapi, Adverse reaction, Toksikologi, Dosis dan
monitoring evalusi bahan aktif jamu, MESOT (Monitoring efek samping OT), Manajemen
pencatatan dan pelaporan, Post market surveilance, serta Komunikasi dankonseling.
BAB III

PEMBAHASAN

Masyarakat umumnya memiliki pandangan bahwa membuat jamu adalah hal yang
mudah yaitu mengambil tanaman yang ada, mengolahnya, serta menyimpannya tanpa
memperhatikan faktor-faktor penting agar jamu tersebut mempunyai efek terapeutik
yang optimal dan aman digunakan. Dalam membuat jamu agar bisa tersaintifikasi harus
melewati beberapa tahap standarisasi. Tahap-tahap ini tidaklah mudah dilakukan karena
setiap tanaman memiliki karakter yang berbeda-beda.

Salah satu parameter kualitas tanaman obat dilihat dari banyaknya senyawa
metabolit sekunder yang dihasilkan karena senyawa tersebut merupakan zat aktif yang
berkhasiat obat. Selain itu tanaman obat harus memiliki manfaat serta aman dikonsumsi.
Agar didapat manfaat yang optimal serta keamanan dari suatu tanaman obat yang diolah
menjadi jamu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Tanaman yang digunakan adalah tanaman budidaya


Beberapa kejadian yang tidak diinginkan yang dilaporkan setelah penggunaan obat
herbal tertentu salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas produk jadi akibat
penggunaan bahan baku tanaman obat dengan kualitas rendah. Untuk mengatasi hal ini
maka sebaiknya bahan baku obat diperoleh dari tanaman yang dibudidayakan. Tanaman
yang di dapat secara liar memiliki beberapa kekurangan diantaranya pencemaran
mikroba patogen atau polusi yang mengandung logam berat, kandungan metabolit
sekunder yang rendah, serta adanya kemungkinan salah identifikasi tanaman obat.
Dalam budidaya tanaman obat, bibit yang digunakan haruslah bibit dengan kualitas
tinggi. Selain itu kondisi lingkungan tanam, kondisi tanah, serta pemeliharaan harus
menjadi perhatian agar kandungan metabolit sekunder yang diharapkan dapat dihasilkan
dengan maksimal. Setiap tanaman memiliki waktu tertentu dimana kandungan metabolit
sekundernya mencapai kadar tertinggi. Pada saat inilah waktu yang tepat untuk panen.
Bagian yang dipanenpun berbeda-beda pada setiap tanaman, tergantung pada bagian
mana metabolit sekundernya paling banyak dihasilkan. Penanganan pasca panen juga
harus diperhatikan agar tumbuhan tidak terkontaminasi oleh benda asing
sertaorganoleptisnya seperti penampakan fisik, ukuran, warna, bau, dan rasa tetap
terjaga.

2. Cara pengolahan tanaman obat menjadi jamu

Setiap tanaman memiliki cara pengolahan yang berbeda. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam meramu jamu adalah sebagai berikut:
- Bahan jamu harus dipilih dalam keadaan baik, tidak busuk atau berjamur.
- Mengetahui bagian dari tanaman yang digunakan serta jumlahnya harus tepat.
- Alat yang digunakan untuk memasak jamu biasanya berupa panci yang terbuat
dari tanah liat atau dapat juga berbahan keramik dan kaca. Untuk memasak jamu
hindari panci yang terbuat dari alumunium agar kandungan obat tidak
berinteraksi dengan aluminium.
- Suhu, waktu, serta jumlah air yang digunakan harus tepat agar zat aktif obat
dapat tersari dengan maksimal.

3. Monitoring penyimpanan dan penggunaan

Tumbuhan obat yang belum diramu sebaiknya disimpan ditempat yang sesuai
dengan kondisi setiap tanaman untuk menghindari pembusukan, berjamur, dan
kontaminasi silang seperti bercampurnya dengan bahan lain. Tumbuhan obat yang
sudah diramu menjadi jamu sebaiknya tidak digunakan berulang-ulang karena dapat
memicu pertumbuhan mikroba patogen yang berbahaya bagi kesehatan, selain itu
tanaman obat sudah tidak memiliki khasiat lagi.
Untuk mendukung terlaksananya program saintifikasi jamu dan program
pendidikan magister herbal, pemerintah diharapkan memberikan perhatian lebih
terhadap perkembangan jamu di Indonesia berupa penyediaan dana penelitian dan
mendorong peningkatan jumlah pakar herbal yang kompeten.
Dalam saintifikasi jamu hal yang paling mendasar yang harus dilakukan yaitu salah
satunya pembuktian secara ilmiah bahwa obat tradisional berbahan alami itu
memberikan manfaat klinis untuk pencegahan atau pengobatan penyakit, serta tidak
menimbulkan efek samping. Program Saintifikasi Jamu sendiri merupakan suatu bentuk
upaya penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Protokol penelitian hendaknya
mengadaptasi dari jurnal-jurnal ilmiah nasional maupun internasional yang berkaitan
dengan penelitian yang hendak dilakukan, misalnya protokol penelitian yang terdapat
pada jurnal Traditional Chinese Medicine.
Sebagian pemanfaatan bahan alam sebagai obat didasarkan pada resep ramuan
tradisional warisan leluhur. Meski demikian, dalam perkembangannya khasiat-khasiat
itu terbukti melalui beragam penelitian ilmiah. Penelitian itu memperkuat kepercayaan
masyarakat terhadap obat herbal. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun telah
merekomendasikan penggunaan obat bahan alam dalam pemeliharaan kesehatan
masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit-penyakit
kronis, penyakit-penyakit degeneratif bahkan untuk kanker.
Seiring dengan perkembangan itu, industri jamu/obat herbal mulai memanfaatkan
teknologi dalam bidang kefarmasian. Dengan demikian, industri jamu/obat herbal
mampu memproduksi berbagai sediaan serupa obat farmasi modern. Seperti bentuk
tablet, kapsul lunak dan kaplet, sirup, bahkan tablet efervesens, serta sediaan siap saji
dalam sachet. Dengan semakin majunya teknologi yang digunakan, produk jamu
saintifikasi yang sudah terbukti khasiatnya melalui penelitian ilmiah serta diproduksi
sesuai standar yang berlaku mempunyai peluang pasar yang besar baik sebagai produk
“generic public health” atau pun produk komersial dikarenakan kualitas serta tingkat
keamanan yang lebih terjamin. Ditambah lagi meningkatnya permintaan pasar dalam
maupun luar negeri terhadap produk-produk kesehatan berbahan alami, contohnya
Antangin (Antangin JRG Tablet, Antangin JRG Syrup, Antangin Mint, Antangin
mocca), OBHerbal, Antalinu, Srongpas, Natur Slim, Rapet Wangi, Pill Tuntas, Permen
Antangin, dan Permen OBherbal. Seluruh produk itu diproduksi sesuai standar GMP
(Good Manufacturing Process) Eropa, GMP Indonesia (CPOTB/Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik), dan FDA.
Dalam mempublikasikan penelitian saintifikasi jamu, sampai saat ini belum
terdapat sistem dokumentasi yang terintegrasi lintas institusi secara nasional, sehingga
sering terjadi duplikasi penelitian. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, hendaknya
terdapat sistem dokumentasi publikasi penelitian yang terintegrasi secara nasional dan
internasional.
Untuk menjamin akses masyarakat terhadap jamu yang bermutu, berkhasiat dan
aman, dikembangkanlah “Pojok Jamu” di Puskesmas, diklat kepada dokter umum,
dokter spesialis, dokter Puskesmas tentang pelayanan obat tradisional/jamu, pembinaan
Salah satu contoh adalah dengan dipilihnya beberapa rumah sakit untuk
menyediakan pelayanan herbal sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1684/Menkes/Per/XII/2005. Salah satu dari Rumah Sakit tersebut adalah
RS Kanker Dharmais yang mendirikan unit Complementary Alternative Medicine (CAM).
Unit CAM RS Kanker Dharmais berfungsi untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
komplementer bagi penderita penyakit kanker dan atau masalah kesehatan lainnya baik
yang berasal dari Rumah Sakit Kanker Dharmais maupun rujukan dari fasilitas kesehatan
lainnya.
Khusus pelayanan dengan menggunakan herbal terstandar ataupun jamu dapat
diberikan dalam bentuk pelayanan berbasis penelitian yang pelaksanaannya diatur
berdasarkan Permenkes tersendiri. Peraturan ini juga mengatur tentang syarat serta jenis
herbal terstandar maupun jamu yang dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan pada
masyarakat yang berbasis pada penelitian. Dalam pelaksanaanya Unit CAM
bekerjasama dengan SMF ilmu lainnya serta dengan Badan Penelitian dan
Pengembangan.
Pada RS Kanker Dharmais sebagai pusat kanker nasional, penggunaan herbal
dalam pelayanan berbasis penelitian ditujukan sebagai terapi penunjang (komplemen)
terhadap pengobatan konvensional serta juga dalam mengatasi berbagai gejala yang
timbul baik akibat kanker itu sendiri ataupun terhadap efek samping yang terjadi akibat
dari pengobatan kanker.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

a. Dalam mewujudkan saintifikasi jamu, diperlukan peranan pemerintah dalam


merumuskan kebijakan dan memberikan dukungan berupa dana dan fasilitas
bagi para peneliti dan tenaga kesehatan terkait.

5.2. Saran

a. Memperbanyak lahan budidaya tanaman obat untuk mempermudah


mendapatkan bahan baku jamu.
b. Melakukan penelitian-penelitian tentang metode budidaya yang baik untuk
meningkatkan kualitas tanaman obat.
c. Membuat standarisasi pengolahan setiap tanaman obat mulai dari penanaman
hingga pembuatan jamu.
d. Pemerintah melibatkan berbagai kementerian untuk mendukung program
saintifikasi jamu baik dari segi regulasi, fasilitasi publikasi penelitian ilmiah
sehingga tidak terjadi penelitian ganda, capacity building dan melakukan
proteksi produk dalam negeri.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim.(2007). Tentang Jamu.http://www.nyonyameneer.com/indonesia/tentang-


jamu.php
Anonim. (2010). Jamu Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. http://www.depkes.go.id
Anonim. (2011). Konsorsium Pengembangan Teknologi Industri Jamu/Obat Herbal.
Kementerian Riset dan Teknologi Republik Indonesia. http://www.ristek.go.id
BPOM RI. (2004). Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
No.HK.00.05.4.2411 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan
Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia. Jakarta: BPOM RI.
BPOM RI. (2005). Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
RepublikIndonesia No. HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana
Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan
Fitofarmaka.Jakarta: BPOM RI.
BPOM RI. (2005). Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik. Jakarta:
BPOM RI.
Dorly. 2005. Potensi Tumbuhan Obat Indonesia dalam Pengembangan Industri
Agromedisin. Makalah Pribadi Pengantar Falsafah Sains (pps 702)
SekolahPascasarjana/S3. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
Kandini, H.S. (2010). Industri Jamu Tanah Air dan Implementasi ASEAN-China
FreeTrade Agreement (ACFTA). Media HKI Vol. VII/No.3/Juni 2010.
KeputusanMenteri Kesehatan Republik Indonesia No. 661/MenKes/SK/VII/1994 tentang
Persyaratan Obat Tradisional.
Hargono, Djoko. Sejarah Jamu Indonesia. http://www.airmancur.co.id/artikel/read/sejarah-
jamu_2
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi Jam dalam
Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai