SAINTIFIKASI JAMU
OLEH KELOMPOK V :
Jamu adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa tumbuhan, bahan hewan,
bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara
turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat (Permenkes No.003/Menkes/Per/I/2010).
Jamu, atau yang lebih sering dikenal sebagai obat asli Indonesia, telah ada sejak
zaman dahulu kala. Jika ditilik dari dokumentasi yang ada, dokumentasi tertua
mengenai jamu terdapat pada relief Candi Borobudur (tahun 772 setelah Masehi)
dimana terdapat lukisan tentang ramuan obat tradisional/jamu. Relief-relief yang
menerangkan tentang penggunaan jamu pada zaman dahulu juga terdapat pada Candi
Prambanan, Candi Penataran (Blitar), dan Candi Tegalwangi (Kediri). Selain itu, di
berbagai daerah di tanah air, dapat ditemukan berbagai kitab yang berisi tata cara
pengobatan dan jenis-jenis obat tradisional. Pada tahun 991-1016 M, perumusan obat
dan ekstraksi dari tanaman ditulis pada daun kelapa/lontar, misalnya seperti Lontar
Usada di Bali, dan Lontarak Pabbura di Sulawesi Selatan. Beberapa dokumen tersebut
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing. Pada masa
kerajaan-kerajaan di Indonesia, pengetahuan mengenai formulasi obat dari bahan alami
juga telah dibukukan, misalnya Bab kawruh jampi Jawi oleh keraton Surakarta yang
dipublikasikan pada tahun 1858 dan terdiri dari 1734 formulasi herbal.
Sebelumnya, jamu hanya digunakan oleh kaum bangsawan di kerajaan-kerajaan di
Indonesia. Namun pada perkembangannya, jamu saat ini dikenal luas dan digunakan
oleh masyarakat untuk memelihara kesehatan dan menyembuhkan penyakit.
2.3. Persyaratan Bahan Jamu
Sedangkanruanglingkupsaintifikasijamudiutamakanuntukupayapreventif, promotif,
rehabilatifdanpaliatif.
Saintifikasijamudalamrangkaupayakuratifhanyadapatdilakukanataspermintaantertulispasi
ensebagaikomplementer-alternatifsetelahpasienmemperolehpenjelasan yang cukup
.
1. Surat Tanda Registrasi (STR) untuk dokter atau dokter gigi dari Konsil
Kedokteran; Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) untuk apoteker; Surat
Izin/Registrasi dari Kepala Dinas Kesehatan Propinsi untuk tenaga kesehatan
lainnya.
2. Surat izin praktik untuk dokter atau dokter gigi; surat izin kerja/surat izin praktik
untuk dari tenaga kesehatan lainnyadari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
setempat.
bahan jamu, khususnya segi budidaya, formulasi, distribusi dan mutu serta
Sesuai data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, diketahui bahwa
hampir separuh (49,54%) penduduk Indonesia umur 15 tahun ke atas menggunakan jamu.
Dari mereka yang meminum jamu, bentuk sediaan jamu yang paling banyak dikonsumsi
adalah cairan (55,16%), kemudian disusul seduhan dari serbuk (43,99%) lalu rebusan dari
rajangan (20,43%), dan proporsi yang paling kecil adalah kapsul/pil/tablet (11,58%). Dari
data tersebut menunjukkan penggunaan jamu terbanyak di masyarakat dalam bentuk
cairan/seduhan/rebusan. Sehingga dalam melakukan saintifikasi jamu yang digunakan
adalah bentuk sediaan jamu yang paling banyak digunakan masyarakat yaitu
cairan/seduhan/rebusan
Penyakit yang paling banyak diobati dengan komplementer (berdasar data Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan) adalah hipertensi, diabetes melitus,
dislipidemia, hiperurisemia. Penyakit tersebut yang sedang diuji coba pada penelitian
saintifikasi jamu tahun 2011. Penelitian diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan cq. Balai Besar Tanaman Obat dan Obat Tradisional.
Formula jamu dan simplisia/bahan baku jamu untuk saintifikasi jamu disiapkan oleh
Balai Besar Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Penelitian saintifikasi jamu
melibatkan 60 dokter yang telah mengikuti pendidikan dan latihan saintifikasi jamu 50
jam, 500 subjek serta pengumpulan data penelitian berlangsung selama 4 bulan (Juni –
September 2011).
.
2.5. Dasar Hukum
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan
Obat Tradisional (B2P2TOOT) Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan.
b. Klinik Jamu.
c. Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T).
d. Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM)/Loka Kesehatan Tradisional
Masyarakat (LKTM).
e. Rumah Sakit yang ditetapkan.
(3) Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat
Tradisional (B2P2TOOT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan ditetapkan sebagai Klinik Penelitian Berbasis Pelayanan
Kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri ini dan mengikuti ketentuan persyaratan
Klinik Jamu Tipe A.
(4) Klinik jamu dapat merupakan praktik perorangan dokter atau dokter gigi maupun
praktik berkelompok dokter atau dokter gigi.
(5) Fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk saintifikasi jamu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, c, d, dan e dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan yang berlaku dengan tipe klinik ditetapkan sesuai pemenuhan
persyaratan.
2.7. Tipe-tipe Klinik Jamu
(1) Klinik Jamu terdiri dari :
a. Klinik Jamu Tipe A
b. Klinik Jamu Tipe B
Dengan peran dan tanggung jawab di atas maka seorang apoteker harus memiliki
kompetensi dalam praktik kefarmasian yang diperoleh dari pendidikan formal, memiliki
pengetahuan secara mendalam tentang jamu, memiliki pengetahuan dan keterampilan
mengelola jamu serta memiliki tanggung-gugat profesi apoteker pada masyarakat khususnya
pemanfaatan jamu. Oleh karena itu untuk menjadi seorang apoteker saintifikasi jamu
diperlukan suatu tambahan pengetahuan meliputi Pengenalan tanaman obat, Formula jamu
yang terstandar, Pengelolaan jamu di apotek (pengendalian mutu sediaan jamu, pengadaan,
penyimpanan dan pengamanan jamu), Fitoterapi, Adverse reaction, Toksikologi, Dosis dan
monitoring evalusi bahan aktif jamu, MESOT (Monitoring efek samping OT), Manajemen
pencatatan dan pelaporan, Post market surveilance, serta Komunikasi dankonseling.
BAB III
PEMBAHASAN
Masyarakat umumnya memiliki pandangan bahwa membuat jamu adalah hal yang
mudah yaitu mengambil tanaman yang ada, mengolahnya, serta menyimpannya tanpa
memperhatikan faktor-faktor penting agar jamu tersebut mempunyai efek terapeutik
yang optimal dan aman digunakan. Dalam membuat jamu agar bisa tersaintifikasi harus
melewati beberapa tahap standarisasi. Tahap-tahap ini tidaklah mudah dilakukan karena
setiap tanaman memiliki karakter yang berbeda-beda.
Salah satu parameter kualitas tanaman obat dilihat dari banyaknya senyawa
metabolit sekunder yang dihasilkan karena senyawa tersebut merupakan zat aktif yang
berkhasiat obat. Selain itu tanaman obat harus memiliki manfaat serta aman dikonsumsi.
Agar didapat manfaat yang optimal serta keamanan dari suatu tanaman obat yang diolah
menjadi jamu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
Setiap tanaman memiliki cara pengolahan yang berbeda. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam meramu jamu adalah sebagai berikut:
- Bahan jamu harus dipilih dalam keadaan baik, tidak busuk atau berjamur.
- Mengetahui bagian dari tanaman yang digunakan serta jumlahnya harus tepat.
- Alat yang digunakan untuk memasak jamu biasanya berupa panci yang terbuat
dari tanah liat atau dapat juga berbahan keramik dan kaca. Untuk memasak jamu
hindari panci yang terbuat dari alumunium agar kandungan obat tidak
berinteraksi dengan aluminium.
- Suhu, waktu, serta jumlah air yang digunakan harus tepat agar zat aktif obat
dapat tersari dengan maksimal.
Tumbuhan obat yang belum diramu sebaiknya disimpan ditempat yang sesuai
dengan kondisi setiap tanaman untuk menghindari pembusukan, berjamur, dan
kontaminasi silang seperti bercampurnya dengan bahan lain. Tumbuhan obat yang
sudah diramu menjadi jamu sebaiknya tidak digunakan berulang-ulang karena dapat
memicu pertumbuhan mikroba patogen yang berbahaya bagi kesehatan, selain itu
tanaman obat sudah tidak memiliki khasiat lagi.
Untuk mendukung terlaksananya program saintifikasi jamu dan program
pendidikan magister herbal, pemerintah diharapkan memberikan perhatian lebih
terhadap perkembangan jamu di Indonesia berupa penyediaan dana penelitian dan
mendorong peningkatan jumlah pakar herbal yang kompeten.
Dalam saintifikasi jamu hal yang paling mendasar yang harus dilakukan yaitu salah
satunya pembuktian secara ilmiah bahwa obat tradisional berbahan alami itu
memberikan manfaat klinis untuk pencegahan atau pengobatan penyakit, serta tidak
menimbulkan efek samping. Program Saintifikasi Jamu sendiri merupakan suatu bentuk
upaya penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Protokol penelitian hendaknya
mengadaptasi dari jurnal-jurnal ilmiah nasional maupun internasional yang berkaitan
dengan penelitian yang hendak dilakukan, misalnya protokol penelitian yang terdapat
pada jurnal Traditional Chinese Medicine.
Sebagian pemanfaatan bahan alam sebagai obat didasarkan pada resep ramuan
tradisional warisan leluhur. Meski demikian, dalam perkembangannya khasiat-khasiat
itu terbukti melalui beragam penelitian ilmiah. Penelitian itu memperkuat kepercayaan
masyarakat terhadap obat herbal. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun telah
merekomendasikan penggunaan obat bahan alam dalam pemeliharaan kesehatan
masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit-penyakit
kronis, penyakit-penyakit degeneratif bahkan untuk kanker.
Seiring dengan perkembangan itu, industri jamu/obat herbal mulai memanfaatkan
teknologi dalam bidang kefarmasian. Dengan demikian, industri jamu/obat herbal
mampu memproduksi berbagai sediaan serupa obat farmasi modern. Seperti bentuk
tablet, kapsul lunak dan kaplet, sirup, bahkan tablet efervesens, serta sediaan siap saji
dalam sachet. Dengan semakin majunya teknologi yang digunakan, produk jamu
saintifikasi yang sudah terbukti khasiatnya melalui penelitian ilmiah serta diproduksi
sesuai standar yang berlaku mempunyai peluang pasar yang besar baik sebagai produk
“generic public health” atau pun produk komersial dikarenakan kualitas serta tingkat
keamanan yang lebih terjamin. Ditambah lagi meningkatnya permintaan pasar dalam
maupun luar negeri terhadap produk-produk kesehatan berbahan alami, contohnya
Antangin (Antangin JRG Tablet, Antangin JRG Syrup, Antangin Mint, Antangin
mocca), OBHerbal, Antalinu, Srongpas, Natur Slim, Rapet Wangi, Pill Tuntas, Permen
Antangin, dan Permen OBherbal. Seluruh produk itu diproduksi sesuai standar GMP
(Good Manufacturing Process) Eropa, GMP Indonesia (CPOTB/Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik), dan FDA.
Dalam mempublikasikan penelitian saintifikasi jamu, sampai saat ini belum
terdapat sistem dokumentasi yang terintegrasi lintas institusi secara nasional, sehingga
sering terjadi duplikasi penelitian. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut, hendaknya
terdapat sistem dokumentasi publikasi penelitian yang terintegrasi secara nasional dan
internasional.
Untuk menjamin akses masyarakat terhadap jamu yang bermutu, berkhasiat dan
aman, dikembangkanlah “Pojok Jamu” di Puskesmas, diklat kepada dokter umum,
dokter spesialis, dokter Puskesmas tentang pelayanan obat tradisional/jamu, pembinaan
Salah satu contoh adalah dengan dipilihnya beberapa rumah sakit untuk
menyediakan pelayanan herbal sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1684/Menkes/Per/XII/2005. Salah satu dari Rumah Sakit tersebut adalah
RS Kanker Dharmais yang mendirikan unit Complementary Alternative Medicine (CAM).
Unit CAM RS Kanker Dharmais berfungsi untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan
komplementer bagi penderita penyakit kanker dan atau masalah kesehatan lainnya baik
yang berasal dari Rumah Sakit Kanker Dharmais maupun rujukan dari fasilitas kesehatan
lainnya.
Khusus pelayanan dengan menggunakan herbal terstandar ataupun jamu dapat
diberikan dalam bentuk pelayanan berbasis penelitian yang pelaksanaannya diatur
berdasarkan Permenkes tersendiri. Peraturan ini juga mengatur tentang syarat serta jenis
herbal terstandar maupun jamu yang dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan pada
masyarakat yang berbasis pada penelitian. Dalam pelaksanaanya Unit CAM
bekerjasama dengan SMF ilmu lainnya serta dengan Badan Penelitian dan
Pengembangan.
Pada RS Kanker Dharmais sebagai pusat kanker nasional, penggunaan herbal
dalam pelayanan berbasis penelitian ditujukan sebagai terapi penunjang (komplemen)
terhadap pengobatan konvensional serta juga dalam mengatasi berbagai gejala yang
timbul baik akibat kanker itu sendiri ataupun terhadap efek samping yang terjadi akibat
dari pengobatan kanker.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
5.2. Saran