Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penggunaan bahan alam sebagai obat saat ini cenderung mengalami


peningkatan dengan adanya isu back to nature dan dalam krisis
berkepanjangan yang mengakibatkan turunnya daya beli masyarakat terhadap
obat-obatan modern yang relatif lebih mahal harganya. Hutan tropis indonesia
memiliki 30.000 spesies tumbuhan. Sebanyak 9.600 spesies dari jumlah
tersebut diketahui berkhasiat obat, tetapi baru 200 spesies saja yang telah
dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri obat tradisional. Peluang
pengembangan budi daya tanaman obat-obatan masih terbuka luas sejalan
dengan berkembangnya industri jamu, obat herbal, fitofarmaka dan kosmetika
tradisional (Prastyono, 2012). Saat ini diperkirakan sekitar 80% orang di
negara berkembang masih mengandalkan obat tradisional yang sebagian besar
didasarkan pada spesies tumbuhan dan hewan untuk perawatan kesehatan
primer mereka (Pathak dan Das, 2013).
Potensi kekayaan alam Indonesia bagi pengembangan bahan baku obat
tradisional sangat tinggi. Indonesia memiliki berbagai jenis keanekaragaman
hayati dan keanekaragaman etnis yang menyimpan pengetahuan tentang
pengobatan tradisional (etnobotani) (Departemen Kesehatan RI., 2013).
Indonesia sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman jenis tumbuhan
juga memiliki suku budaya yang beranekaragam. Diperkirakan hutan tropis
Indonesia mengandung >28.000 jenis tumbuhan. Oleh karena itu, Indonesia
merupakan salah satu negara pengguna tumbuhan obat terbesar di dunia
bersama negara lain di Asia seperti Cina dan India. Tumbuhan merupakan
keanekaragaman hayati yang selalu ada di sekitar kita, baik yang tumbuh liar
ataupun yang sudah dibudidayakan (Elfahmi et al., 2014). Sejak jaman
dahulu, manusia sangat mengandalkan lingkungan sekitarnya untuk memenuhi
kebutuhannya Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan
tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi
masalah kesehatan. Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat berdasarkan
pada pengalaman dan keterampilan yang secara turun temurun telah
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Penggunaan bahan alam
sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek moyang kita
sejak berabad-abad yang lalu. Penggunaan obat tradisional secara umum
dinilai lebih aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan
karena obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari
pada obat modern (Sari, 2016).
Hal tersebut mendorong Kementerian Kesehatan melalui Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan menjalankan program Saintifikasi
Jamu (SJ) berdasarkan Peraturan Kementerian Kesehatan RI Nomor
003/PerMenKes/I/2010 untuk membuktikan khasiat jamu dengan metode
penelitian berbasis pelayanan. SJ adalah pembuktian ilmiah jamu melalui
penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Salah satu tujuannya adalah
memberikan landasan ilmiah (evidence based) penggunaan jamu secara
empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan dan meningkatkan
penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah,
dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam
fasilitas pelayanan kesehatan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2010).
Menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 pasal 108 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
menyatakan bahwa praktik kefarmasian meliputi pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan
dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Seluruh kegiatan
pengawasan internal dari hulu ke hilir ini dapat dilakukan oleh seorang
apoteker (Suharmiati et al., 2012).
Menyadari pentingnya peran dan tanggung jawab dari seorang
apoteker dalam pengobatan tradisional khususnya program SJ, maka seorang
apoteker harus memiliki bekal ilmu pengetahuan, dan keterampilan yang
cukup di bidang SJ baik dalam teori maupun praktiknya. Oleh karena itu,
Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Kudus bekerja sama dengan Klinik Herbal Materia Medica
dalam pelaksanaan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA).
1.2. Tujuan
1. Meningkatkan pemahaman calon apoteker tentang eran, fungsi, posisi dan
tanggung jawab apoteker dalam pelayanan kefarmasian
2. Membekali calon apoteker agar memiliki wawasan, pengetahuan,
ketrampilan, dan pengalaman praktis untuk melakukan pekerjaan
kefarmasian
3. Memberi kesempatan kepada calon apoteker untuk melihat dan
mempelajari strategi dan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan dalam
rangka pengembangan praktek farmasi
4. Mempersiapkan calon apoteker dalam memasuki dunia kerja sebagai
tenaga farmasi yang profesional
5. Memberi gambaran nyata tentang permasalahan pekerjaan kefarmasian.
1.3. Manfaat PKPA
1. Mengetahui, memahami tugas dan tanggungjawab apoteker
2. Mendapatkan pengalamam praktis mengenai pekerjaan kefarmasian
3. Mendapatkan pengetahuan manajemen praktis
4. Meningkatkan rasa percaya diri untuk menjadi apoteker yang profesional
1.4. Tempat dan Waktu

Waktu : Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) dilaksanakan selama 1


minggu secara daring dimulai tanggal 15 Februari 2021 sampai 20 Februari
2021. Untuk Praktek di lokasi selama 2 minggu dimulai tanggal 22 Maret
2021 sampai 3 April 2021

Tempat : Klinik Herbal Materia Medica Batu

Alamat : Jl. Lahor No.87, Pesanggrahan, Kec. Batu, Kota Batu, Jawa
Timur 65313

Anda mungkin juga menyukai