1. Yosepha Stephani
2. Gapar
3. M. Dirga Iswara
4. Aditya Islami
5. Syahrina Fakihun
6. Cindy Lidia
7. Hendri Wijaya
8. Dwika Hermia Putri
9. Elsa Restiana
10. Anatria Amyrra Iqlima
I11110034
I11111001
I11111011
I11112009
I11112002
I11112006
I11112013
I11112039
I11112057
I11112078
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pemicu
Potensi Penggunaan Obat Herbal di Indonesia Semakin Besar
Biaya
Produsen
Seleksi
Uji toksisitas
Uji preklinik
Uji farmakodinamik
Standarisasi sediaan
Uji klinik
Pengawasan
1.6 Hipotesis
Bahan obat herbal perlu dilakukan uji lebih lanjut untuk mengetahui standarisasi,
manfaat dan keamanannya.
1.7 Pertanyaan Diskusi
1. Jelaskan mengenai pengobatan tradisional! Berdasarkan poin-poin di bawah ini:
a. Definisi
5
b. Jenis
c. Pengaturan penyelenggaraan berdasarkan UU
2. Jelaskan mengenai level of evidence!
3. Bagaimana tahap pengembangan obat tradisional di Indonesia?
4. Jelaskan kelebihan dan kelemahan obat tradisional!
5. Apa kebijakan pemerintah terhadap pengobatan tradisional?
6. Apa faktor yang mempengaruhi obat tradisional belum teruji secara klinis?
7. Jelaskan obat-obat herbal yang telah terstandarisasi di Indonesia!
8. Apa saja penyakit yang dapat ditanggulangi dengan obat herbal?
9. Apa perbedaan obat herbal dengan obat modern?
10. Bagaimana budaya dapat mempengaruhi penggunaan obat herbal di masyarakat?
11. Apakah obat tradisional dapat menggantikan obat modern?
12. Apa saja tanaman obat di Kalimantan Barat?
13. Bagaimana aspek etik dan medikolegal terhadap tanaman obat herbal?
14. Jelaskan perbedaan jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka!
BAB II
PEMBAHASAN
dan/atau
perawatan
patah
tulang
dengan
cara
obat/ramuan
potensi
dengan
penyembuhan
dosis
tinggi,
minimal
dengan
(kecil)
tetapi
menggunakan
dengan
menggunakan
kemampuan
indera
ke
enam
yang
memberikan
pelayanan
kesehatan
dan/atau
lisensi
yang
memiliki
izin
sesuai
ketentuan
peraturan
perundangundangan.
11
(1) Registrasi obat tradisional impor hanya dapat dilakukan oleh IOT, UKOT,
atau importir obat tradisional yang mendapat penunjukan keagenan dan
hak untuk melakukan registrasi dari industri di negara asal.
(2) Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan:
a. memiliki fasilitas distribusi obat tradisional sesuai ketentuan yang berlaku;
dan
b. memiliki penanggung jawab Apoteker.
(3) Penunjukan keagenan dan hak untuk melakukan registrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan untuk 1 (satu) nama produk
kepada 1 (satu) IOT, UKOT, atau importir.
(4) Pemenuhan persyaratan CPOTB bagi industri di luar negeri dibuktikan
dengan sertifikat cara pembuatan yang baik untuk obat tradisional dan jika
diperlukan dilakukan pemeriksaan setempat oleh petugas yang berwenang
(5) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilengkapi dengan
data inspeksi terakhir paling lama 2 (dua) tahun yang dikeluarkan oleh
pejabat berwenang setempat.
(6) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Badan.
Registrasi Obat Tradisional Khusus Ekspor
Pasal 13
(1) Registrasi obat tradisional khusus ekspor dilakukan oleh IOT, UKOT, dan
UMOT yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Obat tradisional khusus ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bila ada
persetujuan tertulis dari negara tujuan.
2. Jelaskan mengenai level of evidence!
Evidence-Based Medicine (EBM)4
a. EBM adalah integrasi hasil-hasil penelitian terbaru dengan subyek pasien dan
kejadian klinik dalam membuat keputusan klinik .
12
13
c. Level C:
Suatu penelitian yang memberikan manfaat klinik sedikit, dimana
perbandingan antara manfaat dan resiko sama.
d. Level D:
Suatu penelitian yang memberikan resiko klinik lebih berat.
U. K. National Health Service (level of evidence [LOE]).4
Pembagaian berdasarkan pendekatan prevention, diagnosis, prognosis dan
therapy.
a. Level A:
Consistent Randomised Controlled Clinical Trial, Cohort study, keputusan
klinik berdasarkan validitas pada populasi yang berbeda.
b. Level B:
Consistent Retrospective Cohort, Explonatory Cohort, Ecological Study,
Outcomes Research, Case-control Study, atau extrapolasi dari studi level A.
c. Level C:
Case-series Study atau extrapolasi dari studi level B
d. Level D:
Opini tanpa critical appraisal atau berdasarkan patofisiologi.
14
Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat
tradisional agar masuk ke tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan
secara selektif bila:5,9
a) Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan efek
khusus seperti kanker, cacat bawaan.
b) Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur
c) Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit tertentu
misalnya kanker.
d) Obat digunakan secara kronik
3. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar
Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan identitas, dan
menentukan bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan obat herbal sangat
mempengaruhi efek yang ditimbulkan. Bahan segar berbeda efeknya
dibandingkan dengan bahan yang telah dikeringkan. Proses pengolahan
seperti direbus, diseduh dapat merusak zat aktif tertentu yang bersifat
termolabil.10 Sebagai contoh tanaman obat yang mengandung minyak atsiri
atau glikosida tidak boleh dibuat dalam bentuk decoct karena termolabil.
Demikian pula prosedur ekstraksi sangat mempengaruhi efek sediaan obat
herbal yang dihasilkan. Ekstrak yang diproduksi dengan jenis pelarut yang
berbeda dapat memiliki efek terapi yang berbeda karena zat aktif yang terlarut
berbeda. Sebagai contoh daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk)
memiliki tiga jenis kandungan kimia yang diduga berperan untuk pelangsing
yaitu tanin, musilago, alkaloid. Ekstraksi yang dilakukan dengan etanol 95%
hanya melarutkan alkaloid dan sedikit tanin, sedangkan ekstraksi dengan air
atau etanol 30% didapatkan ketiga kandungan kimia daun jati belanda yaitu
tanin, musilago, dan alkaloid tersari dengan baik.7
4. Uji klinik
Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/obat herbal harus
dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan
obat moderen maka uji klinik berpembanding dengan alokasi acak dan
tersamar ganda (randomized double-blind controlled clinical trial) merupakan
16
desain uji klinik baku emas (gold standard). Uji klinik pada manusia hanya
dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal tersebut telah terbukti
aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji klinik obat tradisional seperti
halnya dengan uji klinik obat moderen, maka prinsip etik uji klinik harus
dipenuhi. Sukarelawan harus mendapat keterangan yang jelas mengenai
penelitian dan memberikan informed-consent sebelum penelitian dilakukan.
Standardisasi sediaan merupakan hal yang penting untuk dapat menimbulkan
efek yang terulangkan (reproducible). Uji klinik dibagi empat fase yaitu:5
a) Fase I: dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan
b)
c)
d)
e)
17
beberapa
pasien
mengalami
kesulitan
persalinan
akibat
mengkonsumsi
daun
keji
beling.
Pada
pemeriksaan
20
pencahar). Dari formulasi ini walaupun nafsu makan ditingkatkan oleh temu
lawak dan kunyit, tetapi penyerapan sari makanan dapat ditahan oleh kulit
kayu rapet dan jati belanda. Pengaruh kurangnya defakasi dinetralisir oleh
temulawak dan kunyit sebagai pencahar, sehingga terjadi proses
pelangsingan sedangkan proses defakasi dan diuresis tetap berjalan
sebagaimana biasa.11
Terhadap ramuan tersebut seringkali masih diberi bahan-bahan tambahan
(untuk memperbaiki warna, aroma dan rasa) dan bahan pengisi (untuk
memenuhi jumlah/volume tertentu). Bahan tambahan sering disebut sebagai
Coringen, yaitu C.saporis (sebagai penyedap rasa, misalnya menta atau kayu
legi), C.odoris (penyedap aroma/bau, misalnya biji kedawung atau buah
adas) dan C.coloris (memperbaiki warna agar lebih menarik, misalnya kayu
secang, kunyit atau pandan). Untuk bahan pengisi bisa digunakan pulosari
atau adas, sekaligus ada ramuan yang disebut adas-pulowaras atau adaspulosari. Untuk sediaan yang berbentuk cairan atau larutan, seringkali
masih diperlukan zat-zat atau bahan yang berfungsi sebagai stabilisator dan
solubilizer. Stabilisator adalah bahan yang berfungsi menstabilkan
komponen aktif dalam unsur utama, sedangkan solubilizer untuk menambah
kelarutan zat aktif. Sebagai contoh, kurkuminoid, yaitu zat aktif dalam
kunyit yang bersifat labil (tidak stabil) pada suasana alkalis atau netral,
tetapi stabil dalam suasana asam, sehingga muncul ramuan kunir-asem.
Demikian juga dengan etil metoksi sinamat, suatu zat aktif pada kencur yang
agak sukar larut dalam air; untuk menambah kelarutan diperlukan adanya
suspending agent yang berperan sebagai solubilizer yaitu beras, sehingga
dibuat ramuan beras-kencur.11
Selain itu beberapa contoh TO yang memiliki efek sejenis (sinergis),
misalnya untuk diuretik bisa digunakan daun keji beling, daun kumis
kucing, akar teki, daun apokat, rambut jagung dan lain sebagainya.
Sedangkan efek komplementer (saling mendukung) beberapa zat aktif dalam
22
satu tanaman, contohnya seperti pada herba timi (Tymus serpyllum atau
T.vulgaris) sebagai salah satu ramuan obat batuk. Herba timi diketahui
mengandung minyak atsiri (yang antara lain terdiri dari : tymol dan
kalvakrol) serta flavon polimetoksi. Tymol dalam timi berfungsi sebagai
ekspektoran (mencairkan dahak) dan kalvakrol sebagai anti bakteri
penyebab batuk; sedangkan flavon polimetoksi sebagai penekan batuk non
narkotik, sehingga pada tanaman tersebut sekurang-kurangnya ada 3
komponen aktif yang saling mendukung sebagai anti tusif. Demikian pula
efek diuretik pada daun kumis kucing karena adanya senyawa flavonoid,
saponin dan kalium.11
3). Pada satu tanaman bisa memiliki lebih dari satu efek farmakologi
Zat aktif pada tanaman obat umunya dalam bentuk metabolit sekunder,
sedangkan satu tanaman bisa menghasilkan beberapa metabolit sekunder;
sehingga memungkinkan tanaman tersebut memiliki lebih dari satu efek
farmakologi. Efek tersebut adakalanya saling mendukung (seperti pada
herba timi dan daun kumis kucing), tetapi ada juga yang seakan-akan saling
berlawanan atau kontradiksi (seperti pada akar kelembak). Sebagai contoh
misalnya pada rimpang temu lawak (Curcuma xanthoriza) yang disebutkan
memiliki beberapa efek farmakologi, antara lain: sebagai anti inflamasi (anti
radang),
anti
hiperlipidemia
(penurun
lipida
darah),
cholagogum
tanin yang bersifat polar dan berfungsi sebagai astringent/pengelat dan bisa
menyebabkan konstipasi untuk menghentikan diare. Lain lagi dengan buah
mengkudu (Morinda citrifolia) yang pernah populer karena disebutkan dapat
untuk pengobatan berbagai macam penyakit.11
Kenyataan seperti itu disatu sisi merupakan keunggulan produk obat
alam / TO/ OT; tetapi disisi lain merupakan bumerang karena alasan yang
tidak rasional untuk bisa diterima dalam pelayanan kesehatan formal.
Terlepas dari itu semua, sebenarnya merupakan lahan subur bagi para
peneliti bahan obat alam untuk berkiprah memunculkan fenomena ilmiah
yang bisa diterima dan dipertangungjawabkan kebenaran, keamanan dan
manfaatnya.11
4). Obat tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan
degeneratif
Sebagaimana diketahui bahwa pola penyakit di Indonesia (bahkan di
dunia) telah mengalami pergeseran dari penyakit infeksi (yang terjadi sekitar
tahun 1970 ke bawah) ke penyakit-penyakit metabolik degeneratif (sesudah
tahun 1970 hingga sekarang). Hal ini seiring dengan laju perkembangan
tingkat ekonomi dan peradaban manusia yang ditandai dengan pesatnya
perkembangan ilmu dan teknologi dengan berbagai penemuan baru yang
bermanfaat dalam pengobatan dan peningkatan kesejahteraan umat
manusia.11
Pada periode sebelum tahun 1970-an banyak terjangkit penyakit infeksi
yang memerlukan penanggulangan secara cepat dengan mengunakan
antibiotika (obat modern). Pada saat itu jika hanya mengunakan OT atau
Jamu yang efeknya lambat, tentu kurang bermakna dan pengobatannya tidak
efektif. Sebaliknya pada periode berikutnya hinga sekarang sudah cukup
banyak ditemukan turunan antibiotika baru yang potensinnya lebih tinggi
sehingga mampu membasmi berbagai penyebab penyakit infeksi.11
24
Akan tetapi timbul penyakit baru yang bukan disebabkan oleh jasad
renik, melainkan oleh gangguan metabolisme tubuh akibat konsumsi
berbagai jenis makanan yang tidak terkendali serta gangguan faal tubuh
sejalan dengan proses degenerasi. Penyakit ini dikenal dengan sebutan
penyakit metabolik dan degeneratif. Yang termasuk penyakit metabolik
antara lain: diabetes (kecing manis), hiperlipidemia (kolesterol tinggi), asam
urat, batu ginjal dan hepatitis; sedangkan penyakit degeneratif diantaranya :
rematik (radang persendian), asma (sesak nafas), ulser (tukak lambung),
haemorrhoid (ambaien/wasir) dan pikun (Lost of memory). Untuk
menanggulangi penyakit tersebut diperlukan pemakain obat dalam waktu
lama sehinga jika mengunakan obat modern dikawatirkan adanya efek
samping yang terakumulasi dan dapat merugikan kesehatan. Oleh karena itu
lebih sesuai bila menggunakan obat alam/OT, walaupun penggunaanya
dalam waktu lama tetapi efek samping yang ditimbulkan relatif kecil
sehingga dianggap lebih aman.11
B. Kelemahan Produk Obat Alam / Obat Tradisional
Disamping berbagai keuntungan, bahan obat alam juga memiliki
beberapa kelemahan yang juga merupakan kendala dalam pengembangan
obat tradisional (termasuk dalam upaya agar bisa diterima pada pelayanan
kesehatan formal). Adapun beberapa kelemahan tersebut antara lain : efek
farmakologisnya yang lemah, bahan baku belum terstandar dan bersifat
higroskopis serta volumines, belum dilakukan uji klinik dan mudah tercemar
berbagai jenis mikroorganisme. Menyadari akan hal ini maka pada upaya
pengembangan OT ditempuh berbagai cara dengan pendekatan-pendekatan
tertentu, sehingga ditemukan bentuk OT yang telah teruji khasiat dan
keamanannya, bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah serta memenuhi
indikasi medis; yaitu kelompok obat fitoterapi atau fitofarmaka. Akan tetapi
untuk melaju sampai ke produk fitofarmaka, tentu melalui beberapa tahap
25
(uji farmakologi, toksisitas dan uji klinik) hingga bisa menjawab dan
mengatasi berbagai kelemahan tersebut.11
Efek farmakologis yang lemah dan lambat karena rendahnya kadar
senyawa aktif dalam bahan obat alam serta kompleknya zat balast/senyawa
banar yang umum terdapat pada tanaman. Hal ini bisa diupayakan dengan
ekstrak terpurifikasi, yaitu suatu hasil ekstraksi selektif yang hanya menyari
senyawa-senyawa yang berguna dan membatasi sekecil mungkin zat balast
yang ikut tersari. Sedangkan standarisasi yang komplek karena terlalu
banyaknya jenis komponen OT serta sebagian besar belum diketahui zat
aktif masing-masing komponen secara pasti, jika memungkinkan digunakan
produk ekstrak tunggal atau dibatasi jumlah komponennya tidak lebih dari 5
jenis TO. Disamping itu juga perlu diketahui tentang asal-usul bahan,
termasuk kelengkapan data pendukung bahan yang digunakan; seperti umur
tanaman yang dipanen, waktu panen, kondisi lingkungan tempat tumbuh
tanaman (cuaca, jenis tanah, curah hujan, ketinggian tempat dan lain-lain)
yang dianggap dapat memberikan solusi dalam upaya standarisasi TO dan
OT. Demikian juga dengan sifat bahan baku yang higroskopis dan mudah
terkontaminasi mikroba, perlu penanganan pascapanen yang benar dan tepat
(seperti cara pencucian, pengeringan, sortasi, pengubahan bentuk,
pengepakan serta penyimpanan).11
5. Apa kebijakan pemerintah terhadap pengobatan tradisional?
Kebijakan Obat Tradisional Nasional (Kotranas) Tahun 2007 Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 381/Menkes/Sk/Iii/2007 Tanggal 27 Maret
2007.12
Kebijakan Obat Tradisional Nasional selanjutnya disebut KOTRANAS adalah
dokumen resmi yang berisi pernyataan komitmen semua pihak yang menetapkan
tujuan dan sasaran nasional di bidang obat tradisional beserta prioritas, strategi
dan peran berbagai pihak dalam penerapan komponen-komponen pokok
26
6. Apa faktor yang mempengaruhi obat tradisional belum teruji secara klinis?
Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yang dilakukan di Indonesia
meskipun nampaknya cenderung meningkat dalam lima tahun belakangan ini.
Kurangnya uji klinik yang dilakukan terhadap obat tradisional antara lain
karena:13
1. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik
2. Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti berkhasiat
dan aman pada uji preklinik
3. Perlunya standardisasi bahan yang diuji
4. Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan
dosis empiris, selain itu kandungan kimia tanaman tergantung pada banyak
faktor.
5. Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang telah
laku di pasaran
27
Rhizoma
yang
berkhasiat
melancarkan
peredaran
darah,
28
Cacingan
Panu/kadas/kudis
2.
Batuk
Sakit kepala
Demam
Encok
Mual dan diare
Sembelit
Mulas
Sariawan
Wasir
3.
Malaria
Gigitan serangga
29
jerawat
ketombe
pelancar ASI
bau badan
penghitam rambut
4.
penyubur rambut
kurang nafsu makan
habis bersalin
kehamilan
lesu darah
hipertensi
dibetes malitus
nefrolitiasis
penyakit mata
batu empedu
keputihan
susah kencing (disuria)
NAMA
TANAMAN
OBAT
Temu lawak (Curcuma
xantorrhiza, Roxb)
Kunyit
(Curcuma
domestica Val.)
Bawang putih (Alium
sativum Linn)
Jati Belanda (Guazuma
ulmifolia Lamk.)
Handeuleum
(Graptophyllum pictum
Griff.)
Tempuyung
(Sonchus
arvensis Linn)
Kejibeling (Strobilanthus
crispus Bl.)
Labu merah (Curcubita
moschata Duch)
Katuk
(Sauropus
androgynus Merr.)
Kumis
kucing
(Orthosiphon stamineus
BAGIAN
INDIKASI POTENSI
Rimpang
Hepatitis, artitis
Rimpang
Umbi lps
Kandidiasis, hiperlipidemia
Daun
Anti hiperlipidemia
Daun
Haemorrhoid
Daun
Nefrolitiasis, diuretika
Daun
Nefrolitiasis, diuretika
Biji
Taenisiasis
Daun
Daun
Diuretika
30
Linn)
11.
12.
13.
14.
15.
Daun
Anti hipertensi
Buah/biji
Diabetes malitus
Daun
Anti diare
Biji
Askariasis, oksiuriasis
Daun
Analgesik
31
32
bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek
moyang sejak berabad-abad yang lalu terbukti antara lain dari adanya naskah
lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Serat Primbon Jampi (Jawa), Usada (Bali),
dan Lontarak pabbura (Sulawesi Selatan). Dalam bentuk karya monumen,
informasi sejenis diperoleh pada relief candi Borobudur yang menggambarkan
orang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya. 25,26,
27
dan
pasak
bumi
(Eurycoma
longifolia)
dari
keluarga
tradisional
dan
pengobatan
konvensional
dapat
berjalan
berdampingan dan saling mengisi untuk memberikan manfaat yang optimal bagi
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat banyak.
35
36
37
13. Bagaimana aspek etik dan medikolegal terhadap tanaman obat herbal?
Uji klinik pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat
herbal tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji
klinik obat tradisional seperti halnya dengan uji klinik obat moderen, maka
prinsip etik uji klinik harus dipenuhi. Sukarelawan harus mendapat keterangan
yang jelas mengenai penelitian dan memberikan informed-consent sebelum
penelitian dilakukan. Standardisasi sediaan merupakan hal yang penting untuk
dapat menimbulkan efek yang terulangkan (reproducible).30
Untuk dapat menjalankan peran secara optimal, para pihak yang terlibat dalam
uji klinik untuk memperhatikan hal-hal seperti:31
- Sponsor dan ORK:
a. Memiliki sumber daya yang kompeten dan memahami prinsip GCP serta
regulasi yang berlaku.
b. Mengetahui dokumen yang harus tersedia saat uji klinik dan memahami fungsi
dari setiap dokumen tersebut.
- Komisi Etik dan Regulator:
38
terhadap
39
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Obat herbal perlu dilakukan uji pre klinis dan uji klinis untuk mengetahui
standarisasi, manfaat dan keamanannya.
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1076/ Menkes/ SK/
VII/ 2003 Tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. 2003.
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jenis-jenis Pengobatan
Tradisional.
[Cited:
Oct
7,
2015;
Updated
2013].
Available
from:
http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-content/uploads/downloads/2011/03/KMKNo.-1076-Th-2003-ttg-Penyelenggaraan-Pengobatan-Tradisional.pdf
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun 2012 Tentang
Registrasi Obat Tradisional. Menteri Kesehatan RI. 2012.
41
4. Gerstein H.C and Haynes RB. 2001 Evidence-based diabetes care. BC decker Inc
London.
5. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan,
Direktorat Pengawasan Obat Tradisional. Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat
Tradisional, 2000.
6. Timmermans K. ASEAN Workshop on the TRIPS agreement and traditional
medicine; 2001. Diunduh dari: http://www.-who.or.id/eng/products/ow5/sub1/
display. asp?id=4
7. Pramono S, Nurwati S, Sugiyanto. Pengaruh lendir daun jati belanda terhadap
berat badan tikus jantan galur Wistar. Warta Tumbuhan 0bat Indonesia 2000:6(2).
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Obat Kelompok Fitoterapi, 1985.
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Materia Medika Indonesia, 1977.
10. Fluck H, Jaspersen R. Medicinal plants and their uses. London: W. Foulsham &
Co. Ltd; 1976.
11. Depkes RI. 2008. Tingkat Manfaat Keamanan dan Efektifitas Tanaman Obat dan
Obat Tradisional. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan
Obat Tradisional.
12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor: 381/Menkes/SK/III/2007 Tanggal 27 Maret 2007.
13. Hedi R. Dewoto. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi
Fitofarmaka. Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007.
14. Buletin Sehat. Obat Herbal Terstandar di Indonesia dengan Jaminan Mutu. [Cited:
Oct
7,
2015;
Updated
Jan
9,
2014].
Available
from:
http://buletinsehat.com/mengenal-6-obat-fitofarmaka.
15. Penyakit yang dapat ditanggulangi dengan obat herbal. [Cited: Oct 7, 2015].
Available from: http://cintaialam.tripod.com/keamanan_obat%20tradisional.pdf
16. Fluck H, Jaspersen R. Medicinal plants and their uses. London: W. Foulsham &
Co. Ltd; 1976.
17. Raskin I, Ripoll C. Can an apple a day keep the doctor away? Current
Pharmaceutical Design 2004;10:1-9.
18. Mills S, Bone K. Principles and practice of phytotherapy: modern herbal
medicine. Churchill Livingstone, 2000.
42
43
44