Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN HASIL DISKUSI

MODUL ETNOMEDIK ET FARMAKA


PEMICU 1
KELOMPOK DISKUSI 4

1. Yosepha Stephani
2. Gapar
3. M. Dirga Iswara
4. Aditya Islami
5. Syahrina Fakihun
6. Cindy Lidia
7. Hendri Wijaya
8. Dwika Hermia Putri
9. Elsa Restiana
10. Anatria Amyrra Iqlima

I11110034
I11111001
I11111011
I11112009
I11112002
I11112006
I11112013
I11112039
I11112057
I11112078

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pemicu
Potensi Penggunaan Obat Herbal di Indonesia Semakin Besar

Kompas| 21 Juli 2010

Yogya - Banyaknya kasus penyakit degeneratif dan kelainan metabolik di


masyarakat seperti jantung koroner, stroke dan diabetes, menunjukkan adanya
kecenderungan perubahan pola penyakit, sehingga peluang pemanfaatan obat
bahan alam atau herbal semakin besar.
Menurut dr Dewa Putu Pramantara selaku penanggung jawab klinik herbal
Rumah Sakit Sarjito, saat ini minat masyarakat terhadap pengobatan herbal
semakin meningkat.
Tetap diperlukan kajian lebih lanjut tentang standarisasi, manfaat dan
keamanan bahan obat alam, seiring dengan meningkatnya taraf pendidikan
masyarakat, ujarnya di Sela Workshop Terapi Medis Berbasis Herbal untuk
Dokter dan Praktisi Kesehatan di RS Sardjito Yogyakarta, Sabtu (17/07/2010).
Diungkapkan dr Dewa, Indonesia memiliki potensi sumber daya alam besar
yang bisa digali sebagai bahan baku obat alam. Bahkan saat ini telah dilakukan
penelitian tentang obat bahan alam dan ada beberapa bahan yang memiliki Level
of Evidence A (uji klinik) dan Level of Evidence B (uji pra klinik).
Saat ini baru tersedia 5 jenis sediaan obat herbal Fitofarmaka yang telah
melalui uji praklinik dan uji klinik, serta 22 jenis sediaan obat herbal terstandar
yang baru melalui uji praklinik dan telah tersedia di pasaran,terangnya.
Selama ini masyarakat telah mengenal jamu sebagai obat herbal turuntemurun, hanya saja manfaatnya belum terdata secara jelas. Maka Kementrian
Kesehatan memberi ruang kepada RS Sarjito untuk mengadakan penelitian dalam
rangka penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif berdasarkan SK
Menkes No 1109/Menkes/Per/IX/2007.

RS Sarjito unggul di herbal, sehingga ditunjuk oleh kementrian kesehatan


RI untuk pengembangan pelayanan kesehatan berbasis sinergi antara pegobatan
tradisional dan konvensional terangnya.
Walaupun saat ini masih dirasa sulit mensinergikan antara pengobatan
tradisional dan modern karena membutuhkan pengetahuan dan keterampilan
khusus, maka penggunakan obat herbal masih sebagai komplemen dan bukan
sebagai obat alternatif. Jika ternyata nanti kita bisa melihat itu bisa mengganti,
itu lain masalah, pungkas dr Dewa.
1.2 Klarifikasi dan Definisi
1.2.1 Fitofarmaka adalah obat dari bahan alam terutama dari alam nabati yang
khasiatnya jelas dan terbuat dari bahan baku baik berupa simplisia atau sediaan
galenik yang telah memenuhi persyaratan minimal sehingga terjamin
keragaman komponen aktif, keamanan dan kegunaannya.
1.2.2 Obat herbal adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian atau galenik, atau campuran dari
bahan tersebut, yang secara turun menurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman.
1.2.3 Pengobatan tradisional adalah satu upaya pengobatan dan atau perawatan cara
lain diluar ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan yang banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan.
1.3 Kata Kunci
1.3.1 Obat Herbal
1.3.2 Level of evidence
1.3.3 Pengobatan tradisional
1.3.4 Standarisasi
1.3.5 Penyakit degeneratif
1.3.6 Penyakit metabolik

1.4 Rumusan Masalah


Banyaknya kasus penyakit degeneratif dan kelainan metabolik di masyarakat
menyebabkan peningkatan penggunaan obat herbal yang belum teruji secara
klinis.

1.5 Analisis Masalah

Kultur dan pengetahuan


masyarakat

Institusi peneliti obat


herbal

Biaya

Penggunaan obat herbal


yang belum teruji klinis

Produsen

Alur uji fitofarmaka


tanaman herbal

Seleksi
Uji toksisitas
Uji preklinik
Uji farmakodinamik

Standarisasi sediaan

Uji klinik

Pengawasan
1.6 Hipotesis
Bahan obat herbal perlu dilakukan uji lebih lanjut untuk mengetahui standarisasi,
manfaat dan keamanannya.
1.7 Pertanyaan Diskusi
1. Jelaskan mengenai pengobatan tradisional! Berdasarkan poin-poin di bawah ini:
a. Definisi
5

b. Jenis
c. Pengaturan penyelenggaraan berdasarkan UU
2. Jelaskan mengenai level of evidence!
3. Bagaimana tahap pengembangan obat tradisional di Indonesia?
4. Jelaskan kelebihan dan kelemahan obat tradisional!
5. Apa kebijakan pemerintah terhadap pengobatan tradisional?
6. Apa faktor yang mempengaruhi obat tradisional belum teruji secara klinis?
7. Jelaskan obat-obat herbal yang telah terstandarisasi di Indonesia!
8. Apa saja penyakit yang dapat ditanggulangi dengan obat herbal?
9. Apa perbedaan obat herbal dengan obat modern?
10. Bagaimana budaya dapat mempengaruhi penggunaan obat herbal di masyarakat?
11. Apakah obat tradisional dapat menggantikan obat modern?
12. Apa saja tanaman obat di Kalimantan Barat?
13. Bagaimana aspek etik dan medikolegal terhadap tanaman obat herbal?
14. Jelaskan perbedaan jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka!

BAB II
PEMBAHASAN

1. Jelaskan mengenai pengobatan tradisional! Berdasarkan poin-poin di bawah ini:


a. Definisi
Bahwa pengobatan tradisional merupakan salah satu upaya pengobatan
dan atau perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran dan atau ilmu
keperawatan, yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dalam mengatasi
masalah kesehatan. 1
b. Jenis
Klasifikasi dan jenis (Pengobatan Tradisional) BATTRA meliputi:2

1. Battra Ketrampilan adalah seseorang yang melakukan pengobatan dan/atau


perawatan tradisional berdasarkan ketrampilan fisik dengan menggunakan
anggota gerak dan/atau alatbantu lain, antara lain :
a. Battra Pijat Urut adalah seseorang yang melakukan pelayanan pengobatan
dan/atau perawatan dengan cara mengurut/memijat bagian atau seluruh
tubuh. Tujuannya untuk penyegaran relaksasi otot hilangkan capai, juga
untuk mengatasi gangguan kesehatan atau menyembuhkan suatu keluhan
atau penyakit. Pemijatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan jari
tangan, telapak tangan, siku, lutut, tumit atau dibantu alat tertentu antara
lain pijat yang dilakukan oleh dukun/tukang pijat, pijat tunanetra, dsb.
b. Battra Patah Tulang adalah seseorang yang memberikan pelayanan
pengobatan

dan/atau

perawatan

patah

tulang

dengan

cara

tradisional.Disebut Dukun Potong (Madura), Sangkal Putung (Jawa),


Sandro Pauru (Sulawesi Selatan).
c. Battra Sunat adalah seseorang yang memberikan pelayanan sunat
(sirkumsisi) secara tradisional. Battra sunat menggunakan istilah berbeda
seperti Bong Supit (Yogya), Bengkong (Jawa Barat). Asal ketrampilan
umumnya diperoleh secara turun temurun.
d. Battra Dukun Bayi adalah seseorang yang memberikan pertolongan
persalinan ibu sekaligus memberikan perawatan kepada bayi dan ibu
sesudah melahirkan selama 40 hari. Jawa Barat disebut Paraji, dukun
Rembi( Madura ), Balian Manak (Bali), Sandro Pammana (Sulawesi
Selatan), Sandro Bersalin (Sulawesi Tengah), Suhu Batui di Aceh.
e. Battra Pijat Refleksi adalah seseorang yang melakukan pelayanan
pengobatan dengan cara pijat dengan jari tangan atau alat bantu lainnya
pada zona-zona refleksi terutama pada telapak kaki dan/atau tangan.
f. Akupresuris adalahseseorang yang melakukan pelayanan pengobatan
dengan pemijatan pada titik-titik akupunktur dengan menggunakan ujung
jari dan/atau alat bantu lainnya kecuali jarum.

g. Akupunkturis adalahseseorang yang melakukan pelayanan pengobatan


dengan perangsangan pada titik-titik akupunktur dengan cara menusukkan
jarum dan sarana lain seperti elektro akupunktur.
h. Chiropractor adalahseseorang yang melakukan pengobatan kiropraksi
(Chiropractie) dengan cara teknikkhusus untuk gangguan otot dan
persendian.
i. Battra lainnya yang metodenya sejenis
2. Battra Ramuan adalah seseorang yang melakukan pengobatan dan/atau
perawatan tradisional dengan menggunakan obat / ramuan tradisional yang
berasal dari tanaman (flora), fauna,bahan mineral, air, dan bahan alam lain,
antara lain:
a. Battra Ramuan Indonesia (Jamu) adalah seseorang yang memberikan
pelayanan pengobatan dan/atau perawatan dengan menggunakan ramuan
obat dari tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral dll baik diramu sendiri,
maupun obat jadi tradisional Indonesia.
b. Battra Gurah adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan
dengan cara memberikan ramuan tetesan hidung, yang berasal dari larutan
kulit pohon sengguguh dengan tujuan mengobati gangguan saluran
pernafasan atas seperti pilek, sinusitis,dll.
c. Shinshe adalahseseorang yang memberikan pelayanan pengobatan
dan/atau perawatan dengan menggunakan ramuan obat-obatan tradisional
Cina. Falsafah yang mendasari cara pengobatan ini adalah ajaranTao
(Taoisme) di mana dasar pemikirannya adalah adanya keseimbangan
antara unsur Yin dan unsur Yang.
d. Tabib adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dengan
ramuan obat tradisional yang berasal dari bahan alamiah yang biasanya
dilakukan oleh orang-orang India atau Pakistan.
e. Homoeopath adalah seseorang yang memiliki cara pengobatan dengan
menggunakan
mempunyai

obat/ramuan
potensi

dengan

penyembuhan

dosis
tinggi,

minimal
dengan

(kecil)

tetapi

menggunakan

pendekatan holistik berdasarkan keseimbangan antara fisik, mental, jiwa


dan emosi penderita.
f. Aromatherapist adalah seseorang yang memberikan perawatan dengan
menggunakan rangsangan aroma yang dihasilkan oleh sari minyak murni
(essential oils) yang didapat dari sari tumbuh-tumbuhan (ekstraksi dari
bunga, buah, daun, biji, kulit, batang/ranting akar, getah) untuk
menyeimbangkan fisik, pikiran dan perasaan.
g. Battra lainnya yang metodenya sejenis.
3. Battra Pendekatan Agama adalah seseorang yang melakukan pengobatan
dan/atau perawatan tradisional dengan menggunakan pendekatan agama
Islam, Kristen, Katolik, Hindu atau Budha
4. Battra Supranatural adalah seseorang yang melakukan pengobatan dan/atau
perawatan tradisional dengan menggunakan tenaga dalam, meditasi,olah
pernapasan, indera keenam ( pewaskita) , kebatinan antara lain :
a. Tenaga Dalam (Prana) adalah seseorang yang memberikan pelayanan
pengobatan dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam (bio energi,
inner power) antara lain Satria Nusantara, Merpati Putih, Sinlamba,
Padma Bakti, Kalimasada, Anugrah Agung, Yoga, Sinar Putih, Sinar
Pedrak, Bakti Nusantara, Wahyu Sejati dan sebagainya.
b. Battra Paranormal adalah seseorang yang memberikan pelayanan
pengobatan

dengan

menggunakan

kemampuan

indera

ke

enam

(pewaskita). Reiky Master (Tibet, Jepang) adalah seseorang yang


memberikan pelayanan pengobatan dengan menyalurkan, memberikan
energi (tenaga dalam) baik langsung maupun tidak langsung (jarak jauh)
kepada penderita dengan konsep dari Jepang.
c. Qigong (Cina) adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan
dengan cara menyalurkan energi tenaga dalam yang berdasarkan konsep
pengobatan tradisional Cina.
d. Battra kebatinan adalah seseorang

yang

memberikan

pelayanan

pengobatan dengan menggunakan kebatinan untuk menyembuhkan


penyakit.
e. Battra lainnya yang metodenya sejenis
9

c. Pengaturan penyelenggaraan berdasarkan UU


Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun 2012
Tentang Registrasi Obat Tradisional.3
Pasal 2
(1) Obat tradisional yang diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki izin
edar.
(2) Izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Kepala
Badan.
(3) Pemberian izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
melalui mekanisme registrasi sesuai dengan tatalaksana yang ditetapkan.
Pasal 6
(1) Obat tradisional yang dapat diberikan izin edar harus memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. menggunakan bahan yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu;
b. dibuat dengan menerapkan CPOTB;
c. memenuhi persyaratan Farmakope Herbal Indonesia atau persyaratan lain
yang diakui;
d. berkhasiat yang dibuktikan secara empiris, turun temurun, dan/atau secara
ilmiah; dan penandaan berisi informasi yang objektif, lengkap, dan tidak
menyesatkan
Pasal 7
(1) Obat tradisional dilarang mengandung:
a. etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang
pemakaiannya dengan pengenceran;
b. bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat
obat;
c. narkotika atau psikotropika; dan/atau
d. bahan lain yang berdasarkan pertimbangan

kesehatan

dan/atau

berdasarkan penelitian membahayakan kesehatan.


(2) Bahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditetapkan dengan
Peraturan Kepala Badan
Pasal 8
Obat tradisional dilarang dibuat dan/atau diedarkan dalam bentuk sediaan:
a. intravaginal;
b. tetes mata;
c. parenteral; dan
10

d. supositoria, kecuali digunakan untuk wasir.


Registrasi Obat Tradisional Produksi Dalam Negeri
Pasal 9
Registrasi obat tradisional produksi dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh
IOT (Industri Obat Tradisional), UKOT (Usaha Kecil Obat Tradisional), atau
UMOT (Usaha Mikro Obat Tradisional) yang memiliki izin sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Registrasi Obat Tradisional Kontrak
Pasal 10
(1) Registrasi obat tradisional kontrak hanya dapat dilakukan oleh pemberi
kontrak dengan melampirkan dokumen kontrak.
(2) Pemberi kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa IOT,
UKOT, atau UMOT yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pemberi dan penerima kontrak bertanggung jawab atas keamanan,
khasiat/manfaat, dan mutu obat tradisional yang diproduksi berdasarkan
kontrak.
(4) Penerima kontrak hanya dapat berupa IOT atau UKOT yang memiliki izin
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan sertifikat CPOTB
(Cara Pembuatan Obat Tradisional) untuk sediaan yang dikontrakkan.
Registrasi Obat Tradisional Lisensi
Pasal 11
Registrasi obat tradisional lisensi hanya dapat dilakukan oleh IOT atau UKOT
penerima

lisensi

yang

memiliki

izin

sesuai

ketentuan

peraturan

perundangundangan.

Registrasi Obat Tradisional Impor


Pasal 12

11

(1) Registrasi obat tradisional impor hanya dapat dilakukan oleh IOT, UKOT,
atau importir obat tradisional yang mendapat penunjukan keagenan dan
hak untuk melakukan registrasi dari industri di negara asal.
(2) Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan:
a. memiliki fasilitas distribusi obat tradisional sesuai ketentuan yang berlaku;
dan
b. memiliki penanggung jawab Apoteker.
(3) Penunjukan keagenan dan hak untuk melakukan registrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan untuk 1 (satu) nama produk
kepada 1 (satu) IOT, UKOT, atau importir.
(4) Pemenuhan persyaratan CPOTB bagi industri di luar negeri dibuktikan
dengan sertifikat cara pembuatan yang baik untuk obat tradisional dan jika
diperlukan dilakukan pemeriksaan setempat oleh petugas yang berwenang
(5) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilengkapi dengan
data inspeksi terakhir paling lama 2 (dua) tahun yang dikeluarkan oleh
pejabat berwenang setempat.
(6) Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Badan.
Registrasi Obat Tradisional Khusus Ekspor
Pasal 13
(1) Registrasi obat tradisional khusus ekspor dilakukan oleh IOT, UKOT, dan
UMOT yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Obat tradisional khusus ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bila ada
persetujuan tertulis dari negara tujuan.
2. Jelaskan mengenai level of evidence!
Evidence-Based Medicine (EBM)4
a. EBM adalah integrasi hasil-hasil penelitian terbaru dengan subyek pasien dan
kejadian klinik dalam membuat keputusan klinik .

12

b. EBM merupakan hasil-hasil penelitian terbaru yang merupakan integrasi


antara pengalaman klinik, pengetahuan patofisiologi dan keputusan terhadap
kesehatan pasien.
Klasifikasi EBM4
1. Evidence-Base guideline: EBM praktis pada tingkat organisasi atau institusi
dalam bentuk guideline, pedoman, dan aturan
2. Evidence-Base individual decision making : EBM praktis pada individual.
Kualifikasi EBM Klinik (Evidence-Based Medicine).4
1. U.S. Preventive Services Task Force
2. U. K. National Health Service (level of evidence [LOE])
U.S. Preventive Services Task Force.4
a. Level I:
Designed randomized controlled trial.
b. Level II-1:
Designed controllled trial tanpa random
c. Level II-2:
Studi cohort atau case-control analytic.
d. Level II-3:
Multiple time series dengan atau tanpa intervensi.
e. Level III:
Pendapat ahli, penelitian klinik dasar, studi deskriptif atau laporan kasus.
Kategori dari rekomendasi ( US. Preventive Services Task Force).4
a. Level A:
Suatu penelitian yang memberikan manfaat klinik lebih baik dengan resiko
sedikit.
b. Level B:
Suatu penelitian yang memberikan manfaat klinik sedikit lebih baik dengan
resiko sedikit

13

c. Level C:
Suatu penelitian yang memberikan manfaat klinik sedikit, dimana
perbandingan antara manfaat dan resiko sama.
d. Level D:
Suatu penelitian yang memberikan resiko klinik lebih berat.
U. K. National Health Service (level of evidence [LOE]).4
Pembagaian berdasarkan pendekatan prevention, diagnosis, prognosis dan
therapy.
a. Level A:
Consistent Randomised Controlled Clinical Trial, Cohort study, keputusan
klinik berdasarkan validitas pada populasi yang berbeda.
b. Level B:
Consistent Retrospective Cohort, Explonatory Cohort, Ecological Study,
Outcomes Research, Case-control Study, atau extrapolasi dari studi level A.
c. Level C:
Case-series Study atau extrapolasi dari studi level B
d. Level D:
Opini tanpa critical appraisal atau berdasarkan patofisiologi.

3. Bagaimana tahap pengembangan obat tradisional di Indonesia?


Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka adalah sebagai
berikut.5,6,7
1. Seleksi
Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat
tradisional/obat herbal yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat

14

tradisional/obat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan


adalah:5,8
a) Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam
angka kejadiannya (berdasarkan pola penyakit)
b) Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu
c) Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker.
2. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik
Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional
yang akan dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara
in vitro dan in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek
farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan coba
disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia. Menurut pedoman
pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan Direktorat Jenderal
POM Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk sementara
satu spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO menganjurkan pada dua
spesies. Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan untuk memprediksi
efek pada manusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk melihat
keamanannya.5
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji
toksisitas khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan
karsinogenisitas. Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD 50
(lethal dose50) yaitu dosis yang mematikan 50% hewan coba, menilai
berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara kematian.
Uji LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis obat yang akan diberikan pada
manusia. Untuk pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut.
Pada uji toksisitas subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan,
sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau
lebih. Uji toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek
toksik obat tradisional pada pemberian jangka lama. Lama pemberian sediaan
obat pada uji toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada
manusia.5
15

Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat
tradisional agar masuk ke tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan
secara selektif bila:5,9
a) Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan efek
khusus seperti kanker, cacat bawaan.
b) Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur
c) Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit tertentu
misalnya kanker.
d) Obat digunakan secara kronik
3. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar
Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan identitas, dan
menentukan bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan obat herbal sangat
mempengaruhi efek yang ditimbulkan. Bahan segar berbeda efeknya
dibandingkan dengan bahan yang telah dikeringkan. Proses pengolahan
seperti direbus, diseduh dapat merusak zat aktif tertentu yang bersifat
termolabil.10 Sebagai contoh tanaman obat yang mengandung minyak atsiri
atau glikosida tidak boleh dibuat dalam bentuk decoct karena termolabil.
Demikian pula prosedur ekstraksi sangat mempengaruhi efek sediaan obat
herbal yang dihasilkan. Ekstrak yang diproduksi dengan jenis pelarut yang
berbeda dapat memiliki efek terapi yang berbeda karena zat aktif yang terlarut
berbeda. Sebagai contoh daun jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk)
memiliki tiga jenis kandungan kimia yang diduga berperan untuk pelangsing
yaitu tanin, musilago, alkaloid. Ekstraksi yang dilakukan dengan etanol 95%
hanya melarutkan alkaloid dan sedikit tanin, sedangkan ekstraksi dengan air
atau etanol 30% didapatkan ketiga kandungan kimia daun jati belanda yaitu
tanin, musilago, dan alkaloid tersari dengan baik.7
4. Uji klinik
Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/obat herbal harus
dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan
obat moderen maka uji klinik berpembanding dengan alokasi acak dan
tersamar ganda (randomized double-blind controlled clinical trial) merupakan

16

desain uji klinik baku emas (gold standard). Uji klinik pada manusia hanya
dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal tersebut telah terbukti
aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji klinik obat tradisional seperti
halnya dengan uji klinik obat moderen, maka prinsip etik uji klinik harus
dipenuhi. Sukarelawan harus mendapat keterangan yang jelas mengenai
penelitian dan memberikan informed-consent sebelum penelitian dilakukan.
Standardisasi sediaan merupakan hal yang penting untuk dapat menimbulkan
efek yang terulangkan (reproducible). Uji klinik dibagi empat fase yaitu:5
a) Fase I: dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan
b)
c)
d)
e)

tolerabilitas obat tradisional


Fase II awal: dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding
Fase II akhir: dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding
Fase III : uji klinik definitif
Fase IV : pasca pemasaran,untuk mengamati efek samping yang jarang atau
yang lambat timbulnya
Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan
tidak menunjukkan efek samping yang merugikan, setelah mengalami uji
preklinik dapat langsung dilakukan uji klinik dengan pembanding. Untuk obat
tradisional yang belum digunakan secara luas harus melalui uji klinik
pendahuluan (fase I dan II) guna mengetahui tolerabilitas pasien terhadap obat
tradisional tersebut.5
Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan umumnya
berdasarkan dosis empiris tidak didasarkan dose-ranging study. Kesulitan
yang dihadapi adalah dalam melakukan pembandingan secara tersamar
dengan plasebo atau obat standar. Obat tradisional mungkin mempunyai rasa
atau bau khusus sehingga sulit untuk dibuat tersamar.5

4. Jelaskan kelebihan dan kelemahan obat tradisional!


A. Kelebihan Obat Tradisional
Dibandingkan obat-obat modern, memang OT/TO memiliki beberapa
kelebihan, antara lain: efek sampingnya relatif rendah, dalam suatu ramuan

17

dengan komponen berbeda memiliki efek saling mendukung, pada satu


tanaman memiliki lebih dari satu efek farmakologi serta lebih sesuai untuk
penyakit-penyakit metabolik dan degeneratif.11
1). Efek samping OT relatif kecil bila digunakan secara benar dan tepat OT/TO
akan bermanfaat dan aman jika digunakan dengan tepat, baik takaran, waktu
dan cara penggunaan, pemilihan bahan serta penyesuai dengan indikasi
tertentu.11
a. Ketepatan takaran/dosis
Daun seledri (Apium graviolens) telah diteliti dan terbukti mampu
menurunkan tekanan darah, tetapi pada penggunaannya harus berhati-hati
karena pada dosis berlebih (over dosis) dapat menurunkan tekanan darah
secara drastis sehingga jika penderita tidak tahan dapat menyebabkan syok.
Oleh karena itu, dianjurkan agar jangan mengkonsumsi lebih dari 1 gelas
perasan seledri untuk sekali minum. Demikian pula mentimun, takaran yang
diperbolehkan tidak lebih dari 2 biji besar untuk sekali makan.11
Untuk menghentikan diare memang bisa digunakan gambir, tetapi
penggunaan lebih dari 1 ibu jari, bukan sekedar menghentikan diare bahkan
akan menimbulkan kesulitan buang air besar selama berhari-hari
(kebebelen). Sebaliknya penggunaan minyak jarak (Oleum recini) untuk
urus-urus yang tidak terukur akan menyebabkan iritasi saluran pencernaan.
Demikian juga dengan pemakaian keji beling (Strobilantus crispus) untuk
batu ginjal melebihi 2 gram serbuk (sekali minum) bisa menimbulkan iritasi
saluran kemih.11
b. Ketepatan waktu penggunaan
Sekitar tahun 1980-an terdapat suatu kasus di salah satu rumah sakit
bersalin,

beberapa

pasien

mengalami

kesulitan

persalinan

akibat

mengkonsumsi jamu cabe puyang sepanjang masa (termasuk selama masa


kehamilan). Setelah dilakukan penelitian, ternyata jamu cabe puyang
mempunyai efek menghambat kontraksi otot pada binatang percobaan. Oleh
18

karena itu, kesulitan melahirkan pada ibu-ibu yang mengkonsumsi cabe


puyang mendekati masa persalinan karena kontraksi otot uterus dihambat
terus-menerus sehingga memperkokoh otot tersebut dalam menjaga janin
didalamnya. Sebaliknya jamu kunir asem bersifat abortivum sehingga
mungkin dapat menyebabkan keguguran bila dikonsumsi pada awal
kehamilan. Sehubungan dengan hal itu, seyogyanya bagi wanita hamil
minum jamu cabe-puyang di awal kehamilan (antara 1-5 bulan) untuk
menghindari resiko keguguran dan minum jamu kunir-asem saat menjelang
persalinan untuk mempermudah proses persalinan.11
Kasus lain adalah penggunaan jamu sari rapet terus menerus sejak gadis
hingga berumah tangga dapat menyebabkan kesulitan memperoleh
keturunan bagi wanita yang kurang subur karena ada kemungkinan dapat
memperkecil peranakan.11
c. Ketepatan cara penggunaan
Daun kecubung (Datura metel L.) telah diketahui mengandung alkaloid
turunan tropan yang bersifat bronkodilator (dapat memperlebar saluran
pernafasan) sehingga digunakan untuk pengobatan penderita asma.
Penggunaannya dengan cara dikeringkan lalu digulung dan dibuat rokok
serta dihisap (seperti merokok). Akibat kesalahan informasi yang diperoleh
atau kesalah fahaman bahwasanya secara umum penggunaan TO secara
tradisional adalah direbus lalu diminum air seduhannya; maka jika hal itu
diperlakukan terhadap daun kecubung, akan terjadi keracunan karena
tingginya kadar alkaloid dalam darah. Orang Jawa menyebutnya mendem
kecubung dengan salah satu tandanya midriasis, yaitu mata membesar.11
d. Ketepatan pemilihan bahan secara benar
Berdasarkan pustaka, tanaman lempuyang ada 3 jenis, yaitu lempuyang
emprit (Zingiber amaricans L) lempuyang gajah (Zingiber zerumbert L.)
dan lempuyang wangi (Zingiber aromaticum L.). Lempuyang emprit dan
lempuyang gajah berwarna kuning berasa pahit dan secara empiris
19

digunakan untuk menambah nafsu makan; sedangkan lempuyang wangi


berwarna lebih putih (kuning pucat) rasa tidak pahit dan berbau lebih harum,
banyak digunakan sebagai komponen jamu pelangsing. Kenyataannya
banyak penjual simplisia yang kurang memperhatikan hal tersebut, sehingga
kalau ditanya jenisnya hanya mengatakan yang dijual lempuyang tanpa
mengetahui apakah lempuyang wangi atau yang lain.11
Kerancauan serupa juga sering terjadi antara tanaman ngokilo yang
dianggap sama dengan keji beling, daun sambung nyawa dengan daun
dewa, bahkan akhir-akhir ini terhadap tanaman kunir putih, dimana 3 jenis
tanaman yang berbeda (Curcuma mangga, Curcuma zedoaria dan
Kaempferia rotunda) seringkali sama-sama disebut sebagai kunir putih
yang sempat mencuat kepermukaan karena dinyatakan bisa digunakan untuk
pengobatan penyakit kanker.11
e. Ketepatan pemilihan TO/ramuan OT untuk indikasi tertentu
Kenyataan dilapangan ada beberapa TO yang memiliki khasiat empiris
serupa bahkan dinyatakan sama (efek sinergis). Sebaliknya untuk indikasi
tertentu diperlukan beberapa jenis TO yang memiliki efek farmakologis
saling mendukung satu sama lain (efek komplementer). Walaupun demikian
karena sesuatu hal, pada berbagai kasus ditemui penggunaan TO tunggal
untuk tujuan pengobatan tertentu. Misalnya seperti yang terjadi sekitar tahun
1985, terdapat banyak pasien di salah satu rumah sakit di Jawa Tengah yang
sebelumnya

mengkonsumsi

daun

keji

beling.

Pada

pemeriksaan

laboratorium dalam urine-nya ditemukan adanya sel-sel darah merah (dalam


jumlah) melebihi normal. Hal ini sangat dimungkinkan karena daun keji
beling merupakan diuretik kuat sehingga dapat menimbulkan iritasi pada
saluran kemih. Akan lebih tepat bagi mereka jika menggunakan daun kumis
kucing (Ortosiphon stamineus) yang efek diuretiknya lebih ringan dan
dikombinasi dengan daun tempuyung (Sonchus arvensis) yang tidak

20

mempunyai efek diuretik kuat tetapi dapat melarutkan batu ginjal


berkalsium.11
Penggunaan daun tapak dara (Vinca rosea) untuk mengobati diabetes
bukan merupakan pilihan yang tepat, sebab daun tapak dara mengandung
alkaloid vinkristin dan vinblastin yang dapat menurunkan jumlah sel darah
putih (leukosit). Jika digunakan untuk penderita diabetes yang mempunyai
jumlah leukosit normal akan membuat penderita rentan terhadap serangan
penyakit karena terjadi penurunan jumlah leukosit yang berguna sebagai
pertahanan tubuh.11
2). Adanya efek komplementer dan atau sinergisme dalam ramuan obat
tradisional/komponen bioaktif tanaman obat
Dalam suatu ramuan OT umumnya terdiri dari beberapa jenis TO yang
memiliki efek saling mendukung satu sama lain untuk mencapai efektivitas
pengobatan. Formulasi dan komposisi ramuan tersebut dibuat setepat
mungkin agar tidak menimbulkan kontra indikasi, bahkan harus dipilih jenis
ramuan yang saling menunjang terhadap suatu efek yang dikehendaki.
Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan bahwa suatu formulasi terdiri dari
komponen utama sebagai unsur pokok dalam tujuan pengobatan, asisten
sebagai unsur pendukung atau penunjang, ajudan untuk membantu
menguatkan efek serta pesuruh sebagai pelengkap atau penyeimbang dalam
formulasi. Setiap unsur bisa terdiri lebih dari 1 jenis TO sehingga komposisi
OT lazimnya cukup komplek.11
Misalnya suatu formulasi yang ditujukan untuk menurunkan tekanan
darah, komponennya terdiri dari: daun sledri (sebagai vasodilator), daun
apokat atau akar teki (sebagai diuretika), daun murbei atau besaren (sebagai
Ca-antagonis) serta biji pala (sebagai sedatif ringan). Formulasi lain
dimaksudkan untuk pelangsing, komponennya terdiri dari: kulit kayu rapet
dan daun jati belanda (sebagai pengelat), daun jungrahap (sebagai diuretik),
rimpang kunyit dan temu lawak (sebagai stomakik sekaligus bersifat
21

pencahar). Dari formulasi ini walaupun nafsu makan ditingkatkan oleh temu
lawak dan kunyit, tetapi penyerapan sari makanan dapat ditahan oleh kulit
kayu rapet dan jati belanda. Pengaruh kurangnya defakasi dinetralisir oleh
temulawak dan kunyit sebagai pencahar, sehingga terjadi proses
pelangsingan sedangkan proses defakasi dan diuresis tetap berjalan
sebagaimana biasa.11
Terhadap ramuan tersebut seringkali masih diberi bahan-bahan tambahan
(untuk memperbaiki warna, aroma dan rasa) dan bahan pengisi (untuk
memenuhi jumlah/volume tertentu). Bahan tambahan sering disebut sebagai
Coringen, yaitu C.saporis (sebagai penyedap rasa, misalnya menta atau kayu
legi), C.odoris (penyedap aroma/bau, misalnya biji kedawung atau buah
adas) dan C.coloris (memperbaiki warna agar lebih menarik, misalnya kayu
secang, kunyit atau pandan). Untuk bahan pengisi bisa digunakan pulosari
atau adas, sekaligus ada ramuan yang disebut adas-pulowaras atau adaspulosari. Untuk sediaan yang berbentuk cairan atau larutan, seringkali
masih diperlukan zat-zat atau bahan yang berfungsi sebagai stabilisator dan
solubilizer. Stabilisator adalah bahan yang berfungsi menstabilkan
komponen aktif dalam unsur utama, sedangkan solubilizer untuk menambah
kelarutan zat aktif. Sebagai contoh, kurkuminoid, yaitu zat aktif dalam
kunyit yang bersifat labil (tidak stabil) pada suasana alkalis atau netral,
tetapi stabil dalam suasana asam, sehingga muncul ramuan kunir-asem.
Demikian juga dengan etil metoksi sinamat, suatu zat aktif pada kencur yang
agak sukar larut dalam air; untuk menambah kelarutan diperlukan adanya
suspending agent yang berperan sebagai solubilizer yaitu beras, sehingga
dibuat ramuan beras-kencur.11
Selain itu beberapa contoh TO yang memiliki efek sejenis (sinergis),
misalnya untuk diuretik bisa digunakan daun keji beling, daun kumis
kucing, akar teki, daun apokat, rambut jagung dan lain sebagainya.
Sedangkan efek komplementer (saling mendukung) beberapa zat aktif dalam
22

satu tanaman, contohnya seperti pada herba timi (Tymus serpyllum atau
T.vulgaris) sebagai salah satu ramuan obat batuk. Herba timi diketahui
mengandung minyak atsiri (yang antara lain terdiri dari : tymol dan
kalvakrol) serta flavon polimetoksi. Tymol dalam timi berfungsi sebagai
ekspektoran (mencairkan dahak) dan kalvakrol sebagai anti bakteri
penyebab batuk; sedangkan flavon polimetoksi sebagai penekan batuk non
narkotik, sehingga pada tanaman tersebut sekurang-kurangnya ada 3
komponen aktif yang saling mendukung sebagai anti tusif. Demikian pula
efek diuretik pada daun kumis kucing karena adanya senyawa flavonoid,
saponin dan kalium.11
3). Pada satu tanaman bisa memiliki lebih dari satu efek farmakologi
Zat aktif pada tanaman obat umunya dalam bentuk metabolit sekunder,
sedangkan satu tanaman bisa menghasilkan beberapa metabolit sekunder;
sehingga memungkinkan tanaman tersebut memiliki lebih dari satu efek
farmakologi. Efek tersebut adakalanya saling mendukung (seperti pada
herba timi dan daun kumis kucing), tetapi ada juga yang seakan-akan saling
berlawanan atau kontradiksi (seperti pada akar kelembak). Sebagai contoh
misalnya pada rimpang temu lawak (Curcuma xanthoriza) yang disebutkan
memiliki beberapa efek farmakologi, antara lain: sebagai anti inflamasi (anti
radang),

anti

hiperlipidemia

(penurun

lipida

darah),

cholagogum

(merangsang pengeluaran produksi cairan empedu), hepatoprotektor


(mencegah peradangan hati) dan juga stomakikum (memacu nafsu makan).
Jika diperhatikan setidak-tidaknya ada 2 efek yang kontradiksi, yaitu antara
anti hiperlipidemia dan stomakikum. Bagaimana mungkin bisa terjadi pada
satu tanaman, terdapat zat aktif yang dapat menurunkan kadar
lemak/kolesterol darah sekaligus dapat bersifat memacu nafsu makan. Hal
serupa juga terdapat pada tanaman kelembak (Rheum officinale) yang telah
diketahui mengandung senyawa antrakinon bersifat non polar dan berfungsi
sebagai laksansia (urus-urus/pencahar); tetapi juga mengandung senyawa
23

tanin yang bersifat polar dan berfungsi sebagai astringent/pengelat dan bisa
menyebabkan konstipasi untuk menghentikan diare. Lain lagi dengan buah
mengkudu (Morinda citrifolia) yang pernah populer karena disebutkan dapat
untuk pengobatan berbagai macam penyakit.11
Kenyataan seperti itu disatu sisi merupakan keunggulan produk obat
alam / TO/ OT; tetapi disisi lain merupakan bumerang karena alasan yang
tidak rasional untuk bisa diterima dalam pelayanan kesehatan formal.
Terlepas dari itu semua, sebenarnya merupakan lahan subur bagi para
peneliti bahan obat alam untuk berkiprah memunculkan fenomena ilmiah
yang bisa diterima dan dipertangungjawabkan kebenaran, keamanan dan
manfaatnya.11
4). Obat tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan
degeneratif
Sebagaimana diketahui bahwa pola penyakit di Indonesia (bahkan di
dunia) telah mengalami pergeseran dari penyakit infeksi (yang terjadi sekitar
tahun 1970 ke bawah) ke penyakit-penyakit metabolik degeneratif (sesudah
tahun 1970 hingga sekarang). Hal ini seiring dengan laju perkembangan
tingkat ekonomi dan peradaban manusia yang ditandai dengan pesatnya
perkembangan ilmu dan teknologi dengan berbagai penemuan baru yang
bermanfaat dalam pengobatan dan peningkatan kesejahteraan umat
manusia.11
Pada periode sebelum tahun 1970-an banyak terjangkit penyakit infeksi
yang memerlukan penanggulangan secara cepat dengan mengunakan
antibiotika (obat modern). Pada saat itu jika hanya mengunakan OT atau
Jamu yang efeknya lambat, tentu kurang bermakna dan pengobatannya tidak
efektif. Sebaliknya pada periode berikutnya hinga sekarang sudah cukup
banyak ditemukan turunan antibiotika baru yang potensinnya lebih tinggi
sehingga mampu membasmi berbagai penyebab penyakit infeksi.11

24

Akan tetapi timbul penyakit baru yang bukan disebabkan oleh jasad
renik, melainkan oleh gangguan metabolisme tubuh akibat konsumsi
berbagai jenis makanan yang tidak terkendali serta gangguan faal tubuh
sejalan dengan proses degenerasi. Penyakit ini dikenal dengan sebutan
penyakit metabolik dan degeneratif. Yang termasuk penyakit metabolik
antara lain: diabetes (kecing manis), hiperlipidemia (kolesterol tinggi), asam
urat, batu ginjal dan hepatitis; sedangkan penyakit degeneratif diantaranya :
rematik (radang persendian), asma (sesak nafas), ulser (tukak lambung),
haemorrhoid (ambaien/wasir) dan pikun (Lost of memory). Untuk
menanggulangi penyakit tersebut diperlukan pemakain obat dalam waktu
lama sehinga jika mengunakan obat modern dikawatirkan adanya efek
samping yang terakumulasi dan dapat merugikan kesehatan. Oleh karena itu
lebih sesuai bila menggunakan obat alam/OT, walaupun penggunaanya
dalam waktu lama tetapi efek samping yang ditimbulkan relatif kecil
sehingga dianggap lebih aman.11
B. Kelemahan Produk Obat Alam / Obat Tradisional
Disamping berbagai keuntungan, bahan obat alam juga memiliki
beberapa kelemahan yang juga merupakan kendala dalam pengembangan
obat tradisional (termasuk dalam upaya agar bisa diterima pada pelayanan
kesehatan formal). Adapun beberapa kelemahan tersebut antara lain : efek
farmakologisnya yang lemah, bahan baku belum terstandar dan bersifat
higroskopis serta volumines, belum dilakukan uji klinik dan mudah tercemar
berbagai jenis mikroorganisme. Menyadari akan hal ini maka pada upaya
pengembangan OT ditempuh berbagai cara dengan pendekatan-pendekatan
tertentu, sehingga ditemukan bentuk OT yang telah teruji khasiat dan
keamanannya, bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah serta memenuhi
indikasi medis; yaitu kelompok obat fitoterapi atau fitofarmaka. Akan tetapi
untuk melaju sampai ke produk fitofarmaka, tentu melalui beberapa tahap
25

(uji farmakologi, toksisitas dan uji klinik) hingga bisa menjawab dan
mengatasi berbagai kelemahan tersebut.11
Efek farmakologis yang lemah dan lambat karena rendahnya kadar
senyawa aktif dalam bahan obat alam serta kompleknya zat balast/senyawa
banar yang umum terdapat pada tanaman. Hal ini bisa diupayakan dengan
ekstrak terpurifikasi, yaitu suatu hasil ekstraksi selektif yang hanya menyari
senyawa-senyawa yang berguna dan membatasi sekecil mungkin zat balast
yang ikut tersari. Sedangkan standarisasi yang komplek karena terlalu
banyaknya jenis komponen OT serta sebagian besar belum diketahui zat
aktif masing-masing komponen secara pasti, jika memungkinkan digunakan
produk ekstrak tunggal atau dibatasi jumlah komponennya tidak lebih dari 5
jenis TO. Disamping itu juga perlu diketahui tentang asal-usul bahan,
termasuk kelengkapan data pendukung bahan yang digunakan; seperti umur
tanaman yang dipanen, waktu panen, kondisi lingkungan tempat tumbuh
tanaman (cuaca, jenis tanah, curah hujan, ketinggian tempat dan lain-lain)
yang dianggap dapat memberikan solusi dalam upaya standarisasi TO dan
OT. Demikian juga dengan sifat bahan baku yang higroskopis dan mudah
terkontaminasi mikroba, perlu penanganan pascapanen yang benar dan tepat
(seperti cara pencucian, pengeringan, sortasi, pengubahan bentuk,
pengepakan serta penyimpanan).11
5. Apa kebijakan pemerintah terhadap pengobatan tradisional?
Kebijakan Obat Tradisional Nasional (Kotranas) Tahun 2007 Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 381/Menkes/Sk/Iii/2007 Tanggal 27 Maret
2007.12
Kebijakan Obat Tradisional Nasional selanjutnya disebut KOTRANAS adalah
dokumen resmi yang berisi pernyataan komitmen semua pihak yang menetapkan
tujuan dan sasaran nasional di bidang obat tradisional beserta prioritas, strategi
dan peran berbagai pihak dalam penerapan komponen-komponen pokok

26

kebijakan untuk pencapaian tujuan pembangunan nasional khususnya di bidang


kesehatan.12
Tujuan KOTRANAS adalah:12
1. Mendorong pemanfaatan sumber daya alam dan ramuan tradisional secara
berkelanjutan (sustainable use) untuk digunakan sebagai obat tradisional
dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan
2. Menjamin pengelolaan potensi alam Indonesia secara lintas sektor agar
mempunyai daya saing tinggi sebagai sumber ekonomi masyarakat dan devisa
negara yang berkelanjutan.
3. Tersedianya obat tradisional yang terjamin mutu, khasiat dan keamanannya,
teruji secara ilmiah dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan
sendiri maupun dalam pelayanan kesehatan formal.
4. Menjadikan obat tradisional sebagai komoditi unggul yang memberikan multi
manfaat yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat, memberikan
peluang kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan

6. Apa faktor yang mempengaruhi obat tradisional belum teruji secara klinis?
Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yang dilakukan di Indonesia
meskipun nampaknya cenderung meningkat dalam lima tahun belakangan ini.
Kurangnya uji klinik yang dilakukan terhadap obat tradisional antara lain
karena:13
1. Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik
2. Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti berkhasiat
dan aman pada uji preklinik
3. Perlunya standardisasi bahan yang diuji
4. Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan
dosis empiris, selain itu kandungan kimia tanaman tergantung pada banyak
faktor.
5. Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang telah
laku di pasaran

27

7. Jelaskan obat-obat herbal yang telah terstandarisasi di Indonesia!


Daftar Nama Obat Fitofarmaka14
a. Diabmeneer Nyonya Meneer Fitofarmaka Diabetes (Kencing Manis)
mengandung ekstrak momordica fructis yang membantu mengurangi
konsentrasi gula darah.
b. Stimuno Dexa Medica Fitofarmaka Modulator Imun (Imunomodulator);
ekstrak Phylanthus niruri atau meniran di dalamnya berkhasiat merangsang
tubuh lebih banyak memproduksi lebih banyak antibodi dan mengaktifkan
sistem kekebalan tubuh agar bekerja optimal.
c. Tensigard Phapros Fitofarmaka Hipertensi (Darah Tinggi); ekstrak apii
herba dan ekstrak orthosiphonis berkhasiat untuk menurunkan tekanan darah
sistolik dan diastolik.
2. Rheumaneer Nyonya Meneer Fitofarmaka Rematik; mengandung ekstrak
Curcumae

Rhizoma

yang

berkhasiat

melancarkan

peredaran

darah,

menghilangkan nyeri dan kaku sendi, menghangatkan, dan menyegarkan


badan.
3. X-Gra Phapros Fitofarmaka Lemah Syahwat (Impoten Aphrodisiaka);
terbuat dari ekstrak ginseng, royal jelly, ekstrak ganoderma, dan lainnya. Obat
ini berkhasiat meningkatkan stamina pria dan membantu mengatasi disfungsi
ereksi serta ejakulasi dini.
4. Nodiar Kimia Farma Fitofarmaka Diare (Mencret); yang terbuat dari ekstrak
apel dan rimpang kurkuma. Kandungan attapulgite dan pectin di dalamnya
diklaim dapat mengabsorpsi virus, bakteri, gas, dan toksin yang terdapat
dalam usus.

28

8. Apa saja penyakit yang dapat ditanggulangi dengan obat herbal?


Tabel 1. Beberapa Contoh Penyakit Yang Bisa Ditanggulangi Dengan Obat
Tradisional /Tanaman Obat15
1.

PENYAKIT YANG MUNGKIN DAPAT DIOBAT SECARA KAUSAL

Cacingan
Panu/kadas/kudis
2.

Gejala penyakit yang dapat diobati secara simtomatik

Batuk
Sakit kepala
Demam
Encok
Mual dan diare
Sembelit
Mulas
Sariawan
Wasir
3.

Malaria
Gigitan serangga

bisul dan gatal-gatal


luka ringan
bengkak terpukul
kembung
luka bakar kecil
mimisen/pendarahan kecil
pilek
anyang-anyangen (polakisuria)
sakit gigi

Keadaan yang dapat diobat secara suportif

29

jerawat
ketombe
pelancar ASI
bau badan
penghitam rambut
4.

penyubur rambut
kurang nafsu makan
habis bersalin
kehamilan
lesu darah

Penyakit yang telah didiagnosis dokter (dalam kelangkaan obat modern)

hipertensi
dibetes malitus
nefrolitiasis
penyakit mata

batu empedu
keputihan
susah kencing (disuria)

Tabel 2. Daftar Tanaman Obat yang Prospektif untuk Fitofarmaka15


NO
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

NAMA
TANAMAN
OBAT
Temu lawak (Curcuma
xantorrhiza, Roxb)
Kunyit
(Curcuma
domestica Val.)
Bawang putih (Alium
sativum Linn)
Jati Belanda (Guazuma
ulmifolia Lamk.)
Handeuleum
(Graptophyllum pictum
Griff.)
Tempuyung
(Sonchus
arvensis Linn)
Kejibeling (Strobilanthus
crispus Bl.)
Labu merah (Curcubita
moschata Duch)
Katuk
(Sauropus
androgynus Merr.)
Kumis
kucing
(Orthosiphon stamineus

BAGIAN

INDIKASI POTENSI

Rimpang

Hepatitis, artitis

Rimpang

Hepatitis, artitis, antiseptik

Umbi lps

Kandidiasis, hiperlipidemia

Daun

Anti hiperlipidemia

Daun

Haemorrhoid

Daun

Nefrolitiasis, diuretika

Daun

Nefrolitiasis, diuretika

Biji

Taenisiasis

Daun

Meningkatkan produksi ASI

Daun

Diuretika

30

Linn)
11.
12.
13.
14.
15.

Sledri (Apium graviolens


Linn)
Pare
(Momordica
charantia Linn)
Jambu
biji/klutuk
(Psidium guajava Linn)
Ceguk/wudani
(Quisqualis indica Linn)
Jambu
mede
(Anacardium ocidentale)

Daun

Anti hipertensi

Buah/biji

Diabetes malitus

Daun

Anti diare

Biji

Askariasis, oksiuriasis

Daun

Analgesik

9. Apa perbedaan obat herbal dengan obat modern?


Berbeda dengan obat moderen yang mengandung satu atau beberapa zat aktif
yang jelas identitas dan jumlahnya, obat tradisional/obat herbal mengandung
banyak kandungan kimia dan umumnya tidak diketahui atau tidak dapat
dipastikan zat aktif yang berperan dalam menimbulkan efek terapi atau
menimbulkan efek samping. Selain itu kandungan kimia obat herbal ditentukan
oleh banyak faktor. Hal itu disebabkan tanaman merupakan organisme hidup
sehingga letak geografis/tempat tumbuh tanaman, iklim, cara pembudidayaan,
cara dan waktu panen, cara perlakuan pascapanen (pengeringan, penyimpanan)
dapat mempengaruhi kandungan kimia obat herbal.16,17 Kandungan kimia tanaman
obat ditentukan tidak saja oleh jenis (spesies) tanaman obat, tetapi juga oleh anak
jenis dan varietasnya. Sebagai contoh bau minyak kayu putih yang disuling dari
daun Eucalyptus sp bervariasi tergantung dari anak jenis dan varietas tumbuhan,
bahkan ada di antaranya yang tidak berbau.
Pada tanaman obat, kandungan kimia yang memiliki kerja terapeutik termasuk
pada golongan metabolit sekunder. Umumnya metabolit sekunder pada tanaman
bermanfaat sebagai mekanisme pertahanan terhadap berbagai predator seperti
serangga dan mikroorganisme dan hanya dihasilkan oleh tanaman tertentu
termasuk tanaman obat. Kandungan aktif tanaman obat antara lain berupa
alkaloid, flavonoid, minyak esensial, glikosida, tanin, saponin, resin, dan terpen. 18

31

Lemak, protein, karbohidrat merupakan metabolit primer yang dihasilkan oleh


semua jenis tanaman.
16,17,18

10. Bagaimana budaya dapat mempengaruhi penggunaan obat herbal di masyarakat?


Perkembangan pengobatan tradisional sangat ditentukan oleh tradisi dan
kepercayaan masyarakat setempat atau masyarakat lain yang bukan dari barat. 19
Menurut kepercayaan kesehatan, seseorang dalam memilih pengobatan ditentukan
oleh pengetahuan, motivasi, kepercayaan tentang keberhasilan suatu metode
pengobatan, dan adanya faktor yang mendukung tindakan tersebut. Selanjutnya,
faktor predisposisi keluarga dalam menggunakan pelayanan kesehatan ditentukan
oleh variabel demografik (seperti umur, jenis kelamin, status perkawinan),
variabel struktur sosial (seperti pendidikan, pekerjaan, suku bangsa), serta
kepercayaan dan sikap terhadap sarana pelayanan kesehatan.20
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor motivasi sangat penting
dalam menentukan perilaku manusia dalam perilaku pencarian pengobatan.
Motivasi pasien ke pengobatan tradisional karena komunikasi medis tidak

32

memuaskan, takut operasi, dokter menyatakan tidak mampu, serta motivasi


ekonomi.21,22 Pemilihan masyarakat pada pengobatan tradisional terutama
berdasarkan pada kepercayaan tentang kriteria manfaat atau khasiat serta
mekanisme pengobatan tradisional.23
Ada tiga karakteristik pengobatan tradisional yang membuat pasien percaya
menggunakan pengobatan tradisional. Tiga karakteristik tersebut yaitu: (1)
kepercayaan bahwa hidup adalah kesatuan dari badan, emosi, pikiran, dan roh
atau jiwa, dan kesehatan adalah keseimbangan antara beberapa aspek di dalam
badan manusia dengan lingkungan. Penyakit akan terjadi bila tidak ada
keseimbangan antara fisik, emosional, mental atau spiritual; (2) pengobatan
tradisional menggunakan pendekatan menyeluruh pada diagnosis dan tindakan,
bukan melihat bagian per bagian tubuh; (3) pengobatan tradisional berdasarkan
pada kebutuhan individu, berbeda orang berbeda tindakan meskipun pada kasus
penyakit yang sama.24
Pada dasarnya dalam setiap komunitas masyarakat, termasuk komunitas
masyarakat tradisional sekalipun, terdapat suatu proses untuk menjadi pintar dan
berpengetahuan. Hal itu berkaitan dengan adanya keinginan agar dapat
mempertahankan dan melangsungkan kehidupan sehingga warga komunitas
masyarakat secara spontan akan memikirkan cara-cara untuk melakukan dan/atau
menciptakan sesuatu, termasuk misalnya cara untuk membuat makanan dan cara
untuk membuat peralatan yang diperlukan untuk mengolah sumber daya alam
demi menjamin tersedianya bahan makan. Dalam proses tersebut suatu penemuan
yang sangat berharga dapat terjadi tanpa disengaja. Mereka menemukan bahwa
suatu jenis tanaman tertentu dapat menghasilkan buah yang dapat dimakan setelah
dilakukan cara pengolahan tertentu; atau daun tertentu dapat menyembuhkan
mereka dari sakit perut, sedang daun lain bisa mengobati demam; atau akarakaran tertentu dapat menyembuhkan luka. Pengetahuan tentang tanaman
berkhasiat obat berdasar pada pengalaman dan keterampilan yang secara turun
temurun telah diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Penggunaan
33

bahan alam sebagai obat tradisional di Indonesia telah dilakukan oleh nenek
moyang sejak berabad-abad yang lalu terbukti antara lain dari adanya naskah
lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Serat Primbon Jampi (Jawa), Usada (Bali),
dan Lontarak pabbura (Sulawesi Selatan). Dalam bentuk karya monumen,
informasi sejenis diperoleh pada relief candi Borobudur yang menggambarkan
orang sedang meracik obat (jamu) dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya. 25,26,
27

Dalam buku Tumbuhan obat Indonesia; Penggunaan dan khasiatnya, yang


disusun oleh Supriadi pada tahun 2001 dinyatakan bahwa pengetahuan lokal
dalam pemanfaatan tumbuhan/bahan alami untuk pengobatan umumnya dimiliki
oleh masyarakat yang terutama berada di sekitar kawasan hutan. Pengetahuan
tentang tumbuhan obat, mulai dari pengenalan jenis tumbuhan, bagian yang
digunakan, cara pengolahan sampai dengan khasiat pengobatannya, merupakan
kekayaan pengetahuan lokal dari masingmasing etnis dalam masyarakat setempat
tersebut.28
Berasal dari pengetahuan masyarakat etnis Kalimantan setempat telah
diketahui beberapa jenis tumbuhan dalam hutan tropika berkhasiat obat. Jenis
tumbuhan tersebut antara lain pulai (Alstonia scholaris) dari keluarga
Apocynaceae

dan

pasak

bumi

(Eurycoma

longifolia)

dari

keluarga

Simaroubaceae. Kedua jenis tumbuhan ini telah digunakan untuk mengobati


penyakit malaria oleh 15 dari 45 etnis di sana. Dari hasil penelitian ilmiah
diperoleh bahwa pasak bumi adalah tumbuhan liar yang banyak dijumpai di
hutan-hutan Sumatra dan Kalimantan yang mengandung senyawa bioaktif
eurycomanone yang efektif utuk menyembuhkan penyakit malaria. Hal ini
memperkuat pengetahuan lokal dari masyarakat tersebut bahwa pasak bumi cocok
digunakan sebagai obat malaria. Dari beberapa contoh yang dikemukakan
tersebut, Supriadi menyimpulkan bahwa khazanah pengetahuan lokal dapat
dipergunakan sebagai landasan sumber untuk membantu pengembangan obat
modern yang berasal dari tumbuhan obat lainnya.28
34

11. Apakah obat tradisional dapat menggantikan obat modern?


Obat tradisional tidak dapat menggantikan obat konvensional. Pengobatan
tradisional sudah merupakan bagian integral dari lingkungan sosial budaya dan
ada nilai-nilainya yang patut dipertahankan dan ditingkatkan yang dapat
memberikan sumbangan positif bagi upaya kesehatan. Oleh karena itu sebetulnya
pengobatan

tradisional

dan

pengobatan

konvensional

dapat

berjalan

berdampingan dan saling mengisi untuk memberikan manfaat yang optimal bagi
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat banyak.

12. Apa saja tanaman obat di Kalimantan Barat?


Tabel 4. Tanaman Obat di Kalimantan Barat29

35

Tabel 5. Pengelompokkan Tanaman Obat Berdasarkan Jenis Penyakit dan


Pengobatannya29

36

37

13. Bagaimana aspek etik dan medikolegal terhadap tanaman obat herbal?
Uji klinik pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat
herbal tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji
klinik obat tradisional seperti halnya dengan uji klinik obat moderen, maka
prinsip etik uji klinik harus dipenuhi. Sukarelawan harus mendapat keterangan
yang jelas mengenai penelitian dan memberikan informed-consent sebelum
penelitian dilakukan. Standardisasi sediaan merupakan hal yang penting untuk
dapat menimbulkan efek yang terulangkan (reproducible).30
Untuk dapat menjalankan peran secara optimal, para pihak yang terlibat dalam
uji klinik untuk memperhatikan hal-hal seperti:31
- Sponsor dan ORK:
a. Memiliki sumber daya yang kompeten dan memahami prinsip GCP serta
regulasi yang berlaku.
b. Mengetahui dokumen yang harus tersedia saat uji klinik dan memahami fungsi
dari setiap dokumen tersebut.
- Komisi Etik dan Regulator:

38

Memiliki sumber daya yang kompeten dalam rangka mengawal bahwa


protokol uji serta dokumen uji lainnya dapat dipertanggungjawabkan secara etis
dan ilmiah untuk dilaksanakan serta melakukan pengawasan

terhadap

pelaksanaan uji tersebut.31


- Peneliti:
a. Memiliki latar belakang yang sesuai dan memahami GCP/CUKB serta
memiliki sertifikat GCP/CUKB.
b. Memiliki sumber daya yang kompeten dan memahami prinsip GCP serta
regulasi yang berlaku.
- Tempat Penelitian (site):
Harus memiliki fasilitas yang cukup, seperti ketersediaan ruangruang sesuai
fungsi masingmasing, peralatan medis serta obat untuk keadaan darurat,
peralatan elektronik yang menunjang pelaksanaan uji klinik.31
Sesuai dengan prinsip GCP/CUKB (Cara Uji Klinik yang Baik) bahwa uji
klinik yang akan dilaksanakan harus dilengkapi dengan protokol yang jelas, rinci
dan lengkap. Peneliti beserta sponsor harus memahami isi dari protokol uji klinik.
Sponsor dapat melaksanakan pertemuan antar peneliti untuk memahami isi
protokol, sehingga dalam pelaksanaan uji terdapat kesamaan pemahaman di
antara tim penelitian, demikian pula dengan sponsor.31
Dalam hal diperlukan, sponsor dapat mengontrakan sebagian atau keseluruhan
fungsinya kepada ORK. Namun sponsor tetap bertanggung jawab terhadap
keseluruhan uji klinik tersebut.31
14. Jelaskan perbedaan jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka!
Jamu sebagai warisan budaya bangsa perlu terus dikembangkan dan
dilestarikan dengan fokus utama pada aspek mutu dan keamanannya (safety).
Khasiat jamu sebagai obat herbal selama ini didasarkan pengalaman empirik
yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama.32
Fitofarmaka adalah obat dari bahan alam terutama dari alam nabati, yang
khasiatnya jelas dan terbuat dari bahan baku, baik berupa simplisia atau sediaan
galenik yang telah memenuhi persyaratan minimal, sehingga terjamin
keseragaman komponen aktif, keamanan dan kegunaannya.30

39

Obat herbal terstandar adalah obat yang simpliasianya telah dilakukan


standarisasi dan telah dilakukan uji pra klinik. Standarisasi simplisia
merupakan upaya menyeluruh dimulai dengan pemilihan lahan (unsur tanah) yang
tepat untuk tumbuhan obat tertentu, budi daya yang baik sampai pasca panen
(good agriculture practices). Setiap simplisia mengandung komponen yang
kompleks. Untuk standarisasi bagi setiap simplisia maka perlu ditetapkan zat
penanda (finger print) yang digunakan sebagai parameter.32
Jamu33
- Penggunaannya secara turun menurun, empiris
- Bahan baku tidak distandarisasi
- Untuk pengobatan sendiri
Obat herbal terstandar33
- Pembuktian khasiat dan keamanan berdasarkan uji preklinik
- Bahan baku distandarisasi
- Untuk pengobatan sendiri
Fitofarmaka33
- Pembuktian khasiat dan keamanan berdasarkan uji preklinik & uji klinik
- Bahan baku, produk jadi distandarisasi
- Untuk pelayanan kesehatan formal

BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Obat herbal perlu dilakukan uji pre klinis dan uji klinis untuk mengetahui
standarisasi, manfaat dan keamanannya.

40

DAFTAR PUSTAKA
1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1076/ Menkes/ SK/
VII/ 2003 Tentang Penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. Menteri Kesehatan
Republik Indonesia. 2003.
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Jenis-jenis Pengobatan
Tradisional.

[Cited:

Oct

7,

2015;

Updated

2013].

Available

from:

http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-content/uploads/downloads/2011/03/KMKNo.-1076-Th-2003-ttg-Penyelenggaraan-Pengobatan-Tradisional.pdf
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun 2012 Tentang
Registrasi Obat Tradisional. Menteri Kesehatan RI. 2012.

41

4. Gerstein H.C and Haynes RB. 2001 Evidence-based diabetes care. BC decker Inc
London.
5. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan,
Direktorat Pengawasan Obat Tradisional. Pedoman Pelaksanaan Uji Klinik Obat
Tradisional, 2000.
6. Timmermans K. ASEAN Workshop on the TRIPS agreement and traditional
medicine; 2001. Diunduh dari: http://www.-who.or.id/eng/products/ow5/sub1/
display. asp?id=4
7. Pramono S, Nurwati S, Sugiyanto. Pengaruh lendir daun jati belanda terhadap
berat badan tikus jantan galur Wistar. Warta Tumbuhan 0bat Indonesia 2000:6(2).
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Obat Kelompok Fitoterapi, 1985.
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Materia Medika Indonesia, 1977.
10. Fluck H, Jaspersen R. Medicinal plants and their uses. London: W. Foulsham &
Co. Ltd; 1976.
11. Depkes RI. 2008. Tingkat Manfaat Keamanan dan Efektifitas Tanaman Obat dan
Obat Tradisional. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan
Obat Tradisional.
12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor: 381/Menkes/SK/III/2007 Tanggal 27 Maret 2007.
13. Hedi R. Dewoto. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi
Fitofarmaka. Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007.
14. Buletin Sehat. Obat Herbal Terstandar di Indonesia dengan Jaminan Mutu. [Cited:
Oct

7,

2015;

Updated

Jan

9,

2014].

Available

from:

http://buletinsehat.com/mengenal-6-obat-fitofarmaka.
15. Penyakit yang dapat ditanggulangi dengan obat herbal. [Cited: Oct 7, 2015].
Available from: http://cintaialam.tripod.com/keamanan_obat%20tradisional.pdf
16. Fluck H, Jaspersen R. Medicinal plants and their uses. London: W. Foulsham &
Co. Ltd; 1976.
17. Raskin I, Ripoll C. Can an apple a day keep the doctor away? Current
Pharmaceutical Design 2004;10:1-9.
18. Mills S, Bone K. Principles and practice of phytotherapy: modern herbal
medicine. Churchill Livingstone, 2000.

42

19. Supardi, S. Pengambilan keputusan dan pemilihan sumber pengobatan. cermin


dunia kedokteran nomor 112. 1996 Available from www.kalbefarma.com
(Accessed 25 Februari 2006)
20. Muzaham F. Memperkenalkan sosiologi kesehatan. Penerbit Universitas
Indonesia (UIPress). Jakarta 1995.
21. Supardi S, Wiyadi N, Subroto JB. Faktor keterlambatan penderita kanker berobat
ke pelayanan kesehatan dan manfaat pengobatan tradisional. Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 1997.
22. Pudyastuti RR. Cara komunikasi dan pemilihan berobat pasien ke pengobatan
tradisional gurah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Naskah publikasi tesis,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2000.
23. Turana Y. Seberapa besar manfaat pengobatan alternatif. 2003. Available from
www.tempo.co.id/medika/arsip/062002/ pus1.htm (Accessed 16 Juli 2006).
24. WHO. Traditional medicine. 2001. Available from www.wpro.who. (Accessed 12
September 2006).
25. Hadi, A.C Sungkana. Melestarikan kearifan masyarakat tradisional (Indigenous
Knowledge), Buletin Perpustakaan dan Informasi Bogor (Juni): 2006. 27-32.
26. Redaksi Agromedia. Ramuan tradisional untuk mengatasi aneka penyakit. Jakarta:
AgroMedia Pustaka, 2005
27. Sukandar E Y. Tren dan paradigma dunia farmasi, Industri-KlinikTeknologi
Kesehatan. Orasi ilmiah Dies Natalis Institut Teknologi Bandung. 2006.
(Http://itb.ac.id/focus/ focus_file /orasi-ilmiah-dies-45.pdf).
28. Supriadi dkk. Tumbuhan obat Indonesia; Penggunaan dan khasiatnya. Jakarta:
Pustaka Populer Obor, 2001
29. Muslimin, L dkk. Laporan Akhir: Kajian Potensi Pengembangan Pasar Jamu.
Jakarta: Kementerian Perdagangan RI, 2009.
30. Dewoto HR. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi Fitofarmaka.
Maj Kedokt Indon, 2007: 57(7);205-11.
31. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Klinik Obat Herbal
32. Sampurno. Obat Herbal dalam Prespektif Medik dan Bisnis. Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, diakses tanggal 7 Oktober 2015, pukul
15.00 WIB, pada

43

33. Ritiasa K. Kebijakan pengembangan obat herbal Indonesia. Disampaikan pada

Seminar nasional obat herbal dan akupunktur, 3 Juli 2004.

44

Anda mungkin juga menyukai