LAPORAN AKHIR
JAMU KONSTIPASI ORAL
KELOMPOK II
Ni Kadek Sriani 1608551039
Ni Nyoman Fitria Widianti 1608551050
I Putu Yogi Astara Putra 1608551061
I Gusti Ayu Putu Sukmarani 1608551073
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui formulasi jamu yang digunakan secara oral untuk mengobati konstipasi.
1.3.2 Mengetahui hasil evaluasi sediaan obat tradisional jamu konstipasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Jamu
Jamu berasal dari kata Djamoe yang bermanfaat membantu penyembuhan, meingkatkan
kesehatan, kebugaran, dan perawatan kecantikan. Jamu merupakan keluhuran budaya khas
bangsa Indonesia yang secara turun temurun telah diakui dan dimanfaatkan oleh masyarakat
Indonesia [8]. Bentuk sediaan berwujud sebagai serbuk seduhan, rajangan untuk seduhan dan
sebagainya. Jamu tradisional pada umumnya dijual tanpa label dan dijual dalam bentuk segar
(tanpa pengawet) yang dijajakan dari rumah ke rumah. Istilah penggunaanya masih memakai
pengertian tradisional seperti galian singset, sekalor, pegel linu, tolak angin [9].
Menurut Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.
HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat
Herbal Terstandar dan Fitofarmaka pada pasal 4 disebutkan bahwa jamu harus memenuhi
kriteria aman sesuai dengan persyaratan ditetapkan, antara lain: menggunakan bahan
berkhasiat dan bahan tambahan yang memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan
kemanfaatan / khasiat, dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara Pembuatan
Obat Tradisional yang Baik atau Cara Pembuatan Obat yang Baik yang berlaku serta
penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin penggunaan obat
tradisional secara tepat, rasional dan aman sesuai dengan hasil evaluasi dalam rangka
pendaftaran [10].
2.3 Konstipasi
Konstipasi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh perubahan konsistensi feses
menjadi keras, ukurannya besar, penurunan frekuensi atau kesulitan defekasi [11]. Gejala
konstipasi umumnya adalah mengedan terlalu kuat, tinja yang keras, butuh waktu lama saat
defekasi dan frekuensi defekasi kurang dari 3 kali seminggu [12].
Berdasarkan patofisiologis, konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi konstipasi akibat
kelainan struktur dan konstipasi fungsional. Konstipasi akibat kelainan struktual terjadi
melalui proses obstruksi aliran tinja, sedangkan konstipasi fungsional berhubungan dengan
gangguan motilitas kolon atau anorektal. Konstipasi fungsional dapat dikelompokkan menjadi
bentuk primer atau sekunder bergantung pada ada tidaknya penyebab yang mendasari.
Konstipasi fungsional primer ditegakkan bila penyebab dasar konstipasi tidak dapat
ditemukan, sedangkan konstipasi fungsional sekunder ditegakkan bila kita dapat menentukan
dasar keluhan tersebut. Klasifikasi lain yang perlu dibedakan adalah apakah keluhan tersebut
bersifat akut atau kronis. Konstipasi akut bila kejadian baru berlangsung selama 1-4 minggu,
sedangkan konstipasi kronis bila keluhan telah berlangsung lebih dari 4 minggu [13].
Penatalaksanaan farmakologi pada konstipasi adalah dengan terapi laksatif karena obat
tersebut mempunyai efek terhadap peningkatan sekresi elektrolit, penurunan absorpsi air dan
elektrolit, peningkatan osmolaritas intraluminal, dan peningkatan tekanan hisrostatik usus
[13]. Namun, penggunaan obat tradisional lebih sering digunakan selain karena masyarakat
kembali ke konsep back to nature, juga dikarenakan mudah didapat, murah, efek toksik lebih
sedikit dan memiliki efek samping yang minim dibandingkan dengan obat konvensional.
Penggunaan obat tradisional dalam mengatasi konstipasi yang telah terbukti secara ilmiah
diantaranya adalah daun jati cina (Cassia angustifolia), lidah buaya (Aloe vera) dan biji adas
(Foeniculi vulgaris).
b. Deskripsi
Tanaman jati cina memiliki tinggi sekitar 60-80 cm. Daunnya memiliki panjang 6-10,5
cm dengan 5-9 pasang selebaran berbentuk lanset dan ujung daun yang tajam, berbulu lebat
dan berwarna hijau pucat. Bunganya terdapat 5 kelopak, pedikelnya memiliki panjang 3-4 cm.
Sepal sedikit tidak rata, warna kuning-hijau dengan panjang 10-13 mm dan lebar 6-9 mm.
Kelopaknya berwarna kuning dengan panjang 14-17 mm dan lebar 7-10 mm. Tanaman ini
mekar pada bulan April-Juni. Buahnya tipe polong-polongan berbulu dengan panjang 5-6 cm
dan lebar 1,7-2,3 cm, sedikit melengkung. Buahnya berubah menjadi hitam saat dewasa [17].
c. Kandungan Kimia dan Khasiat
Kandungan kimia dari daun jati cina adalah glikosida antrakuinon, glikosida naftalen
dikenal sebagai tinnevellin glycoside (0.3%), kaempferol (3, 4’, 5, 7-trihydroxyflavone),
glukosida (kaempferin) dan isorhamnetin, β-sitosterol, kalsium oksalat, resin, saponin dan
polisakarida hidrokoloid [16].
C. angustifolia digunakan untuk pengobatan pembesaran limpa, anemia, tifoid, obat
penurun panas, sebagai pembersih darah, sebagai anthelmintik, sebagai obat untuk konstipasi,
hepatoprotektif, antioksidan, analgesik, antiinflamasi, antikanker, antialergi, efek relaksan
pada otot, immunosupressan, antidiabetes, antidepresan [14][15].
b. Deskripsi
Tanaman ini cocok tumbuh di lahan yang gersang dan minim air, dengan ciri-ciri
berwarna hijau, daun berduri dan besar yang mengandung banyak gel. Batang tanaman
pendek, mempunyai daun yang bersap-sap melingkar. Panjang daun 40-90 cm, lebar 6-13 cm,
dengan ketebalan lebih kurang 2,5 cm dipangkal daun, serta bunga berbentuk lonceng [20].
c. Kandungan Kimia dan Khasiat
Dari segi kandungan nutrisi, gel atau egene, lidah buaya mengandung beberapa mineral,
seperti kalsium, magnesium, kalium, sodium, besi, zinc, dan kromium. Beberapa vitamin dan
mineral tersebut dapat berfungsi sebagai pembentuk antioksidan alami, seperti fenol,
flavonoid, vitamin C, vitamin E, vitamin A, dan magnesium. Secara kuantitatif, protein dalam
lidah buaya ditemukan dalam jumlah yang cukup kecil, akan tetapi secara kualitatif protein
gel lidah buaya kaya akan asam-asam amino essensial terutama leusin, lisin, valin, dan
histidin. Selain kaya akan asam-asam amino essensial, gel lidah buaya juga kaya akan asam
glutamat dan asam aspartat [20]. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa senyawa bioaktif
yang terdapat pada lidah buaya yaitu acemannan, glikoprotein, aloe emodin, lectin, aloin,
alomicin [21].
Lidah buaya dapat digunakan sebagai penyembuhan luka bakar, efek pelembab dan
anti-penuaan, pemulihan sistem kekebalan tubuh, antiinflamasi, antidiabetes, antimutagenik,
antioksidan, imunomodulator, antibakteri dan antifungi, efek pada sekresi asam lambung,
untuk nyeri sendi dan otot, laksatif serta antiseptik [22].
d. Peran Sebagai Konstipasi
Lidah buaya (Aloe vera) merupakan tanaman yang dapat mengatasi berbagai masalah
kesehatan salah satunya gangguan pada sistem pencernaan. Lidah buaya mengandung aloin
dan asam amino esensial. Lidah buaya memiliki efek pencahar (laksatif) yang disebabkan
kandungannya, berupa 1,8 dihidroksiantrasen glukosida, aloin A dan B (barbaloin). Setelah
penggunaan aloin A dan B secara oral maka akan menghasilkan aloe-emodin9-antron
(antrakinon) sebagai metabolit aktif. Antrakinon pada saluran penceranaan memiliki fungsi
sebagai stimulan dan mengiritasi saluran pencernaan sehingga menimbulkan efek pencahar
[18].
Zat yang terkandung pada eksudat daun lidah buaya adalah glikosida Hydroxy-
anthraquinone merupakan laksan yang poten, mempengaruhi motilitas usus besar
(penghambatan pompa Na+/K+dan kanal Cl pada membran kolon), mengakibatkan percepatan
waktu transit pada kolon, dan mempengaruhi proses sekresi mukus dan klorida yang
mengakibatkan peningkatan volume cairan. Turunan glikosida Hydroxy-anthraquinone yaitu
Aloe-emodin-anthrone yang dapat digunakan sebagai obat pencahar. Aloe-emodin-anthrone
akan direduksi menjadi Anthrone atau Anthranol dan akan merangsang sekresi mukosa kolon,
menghambat absorpsi air dan elektrolit sehingga feses menjadi lebih cair dan meningkatkan
peristaltik usus. Selain itu, Aloe-emodin berikatan dengan glukosa dan berkembang menjadi
molekul Barbaloin. Molekul tersebut menyebabkan pelepasan air dan elektrolit ke dalam
lumen kolon yang menyebabkan absorpsi air dan elektrolit terhambat sehingga feses lebih
cairdan volume di dalam rektum bertambah dan akan memacu tejadinya peristaltik. Kedua zat
tersebut yaitu Aloe-emodin-anthrone dan Barbaloin yang terkandung dalam daging daun lidah
buaya yang berkhasiat sebagai laksansia atau obat pencahar [18].
2.5 Teh
Penggunaan tanaman obat tradisional saat ini makin meningkat, seiring dengan
meningkatnya harga obat dan efek samping penggunaan obat modern. Kepercayaan akan
manfaat tanaman obat tersebut harus didukung data ilmiah. Teh herbal dapat dikonsumsi
sebagai minuman sehat yang praktis tanpa mengganggu rutinitas sehari-hari dan tetap
menjaga kesehatan tubuh. Definisi teh mengacu pada produk dari daun, kuncup daun dan ruas
dari tanaman. Teh ini dibuat dalam bentuk rajangan. Berdasarkan Permenkes RI no
661/MENKES/SK/VII/1994, rajangan adalah sediaan obat tradisional berupa potongan
simplisia, campuran simplisia, atau campuran simplisia dengan sediaan galenik, yang
penggunaannya dilakukan dengan pendidihan atau penyeduhan dengan air panas. Teh herbal
yang dibuat diharapkan dapat meningkatkan cita rasa dari tiap bahan yang digunakan tanpa
mengurangi khasiatnya [29].
BAB III
METODE/PROSEDUR KERJA
3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan
3.1.1 Tempat
Praktikum dilakukan di Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia Program Studi
Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA).
3.1.2 Waktu
Waktu praktikum dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2019, dengan
rincian kegiatan :
Tabel 1. Jadwal Praktikum Farmasi Bahan Alam
Tanggal Kegiatan
11-10-2019 Persiapan bahan- bahan untuk praktikum
18-10-2019 Skrining Fitokimia dan Uji Secara KLT Kandungan Kimia
pada BAUK dan BAPK sebelum dijadikan bahan “Jamu”
25-10-2019 Pembuatan jamu segar dan evaluasi sediaan
01-11-2019 Optimasi jamu segar hasil evaluasi
08-11-2019 Pembuatan jamu instan
15-11-2019 Optimasi jamu instan hasil evaluasi
22-11-2019 Skrining fitokimia dan Uji Secara KLT Kandungaan Kimia
pada BAUK dan BAPK dari “Jamu Segar” dan “Jamu
Instan”
29-11-2019 Uji hedonik (kepuasan) terhadap jamu yang dibuat dan
kemasannya
Bahan :
a. Daun Jati Cina
b. Daun Lidah buaya
c. Biji adas
d. Etanol 96%
e. Pereaksi Meyer
f. Pereaksi Bourchat
g. HCl pekat
h. Logam magnesium
i. FeCl3
3.3 Formula
3.3.1 Formula Jamu Konstipasi Oral
Tabel 2. Formula jamu konstipasi oral
No. Bahan Jumlah yang digunakan
1. Daun Jati Cina 1000 mg
2. Lidah buaya 330 mg
3. Biji adas 200 mg
4. Gula Pasir Secukupnya
b. Etiket
3.6 Cara Evaluasi Mutu Sediaan Jamu
3.6.1 Evaluasi Organoleptis
Uji organoleptis merupakan uji secara visual dengan alat indra yang mana pada
praktikum ini dilakukam pengamatan warna, bau, rasa, dan tekstur [41].
Tabel 5. Evaluasi Organoleptis
Sediaan
No. Organoleptis Jamu 1 Jamu 2
(Jamu Segar) (Jamu Instan)
1. Warna
2. Bau
3. Rasa
4. Tekstur
Penampilan
Aroma
Warna
Rasa
Kenampakan
Endapan
Saran : .........................................................................................................................
..........................................................................................................................
.........................................................................................................................
Dipotong- potong daun senna, lidah buaya, dan biji adas menjadi bagian yang lebih
kecil, kemudian ditimbang 5 gram
Ditambahkan beberapa tetes HCl pekat, kemudian ditambahkan 0,5 gram bubuk
logam Magnesium
Hasil positif ditunjukan dengan timbulnya warna merah muda hingga merah
magenta selama 3 menit
Hasil positif steroid memberikan warna biru atau hijau dan apabila mengandung
triterpenoid maka larutan memberikan warna merah atau ungu
Hasil positif ditandai terbentuknya busa setinggi 1-10 cm yang stabil selama kurang
dari 10 menit menunjukan adanya saponin. Pada penambahan 1 tetes HCl 2 N, busa
tidak hilang
Diuapkan di atas penangas air lalu dilarutkan dalam 5 mL asam asetat anhidrida
kemudian ditambah 10 tetes asam sulfat pekat.
Hasil positif ditandai terbentuknya warna biru atau hijau menunjukkan adanya
glikosida
Dimasukkan 3 mL larutan ke dalam 2 tabung reaksi yang berbeda yaitu tabung I dan
II
3.8.2 Uji Secara KLT Kandungan Kimia pada Bahan Sebelum Dijadikan Jamu
a. Uji KLT Ekstrak Daun Jati Cina
Disiapkan fase diam berupa pelat silika Gel 60 F254 berukuran 3 x 10 cm yang telah
dicuci dengan metanol dan diaktivasi pada suhu 110°C di dalam oven selama 10
menit
Disiapkan fase diam berupa pelat silika xx berukuran 3 x 10 cm yang telah dicuci
dengan metanol dan diaktivasi pada suhu 110°C di dalam oven selama 10 menit
Disiapkan fase gerak dengan mencampur 7,7 mL etil asetat P, 1,3 mL metanol P, dan
1 mL air
Disiapkan fase diam berupa pelat silika gel 60 F254 berukuran 3 x 10 cm yang telah
dicuci dengan metanol dan diaktivasi pada suhu 110°C di dalam oven selama 10
menit
Disiapkan fase gerak dengan mencampur 9 mL toluene P dan 1 mL etil asetat P
Disiapkan semua bahan- bahan yang digunakan dalam keadaan segar meliputi daun
senna, daun lidah buaya, dan biji adas, kemudian dicuci dengan air bersih
Dipotong-potong Daun Jati Cina dan biji adas. Dikupas kulit daun lidah buaya
kemudian diambil dan dipoton daging daunnya.
Ditimbang potongan Daun Jati Cina sebanyak 6,534 g, potongan daging daun lidah
buaya sebanyak 2,155 g, dan potongan biji adas sebanyak 1,307 g
Semua bahan kemudian diseduh dalam 1 L air minum panas (90°C) selama 3-5
menit. Pisahkan air hasil hasil seduhan dari ampas semua bahan
Evaluasi sediaan dilakukan melalui uji organoleptis air hasil seduhan. Diamati warna
dan aroma serta dicicipi rasa teh. Warna teh sesuai standar adalah hijau kekuningan
sampai merah kecokelatan. Sementara rasa dan aromanya yaitu khas teh bebas asing.
Disiapkan semua bahan meliputi daun jati cina, daun lidah buaya, dan biji adas
dalam keadaan segar
Dilayukan daun jati cina yang utuh pada suhu ruang selama 18 jam. Selama
pelayuan dilakukan pembalikkan daun sebanyak dua sampai tiga kali. itu, biji adas
dipotong-potong hingga kecil. Daun lidah buaya dikupas kulitnya kemudian diambil
dan dipotong daging daunnya.
Daun jati cina dirajang hingga menjadi bagian yang kecil. Rajangan daun jati cina,
potongan biji adas dan daun lidah buaya kemudian dikeringkan dalam oven pada
suhu 50°C hingga diperoleh kadar air seluruh bahan tidak lebih dari 8%.
Ditimbang potongan- potongan kering daun jati cina sebanyak 1.307 g, potongan
daging daun lidah buaya sebanyak 431 mg, dan potongan biji adas sebanyak 261 g.
Bahan yang telah ditimbang kemudian dimasukkan dalam kantung teh. Penimbangan
bahan dan pengemasan dalam kantung teh dilakukan hingga diperoleh 10 kantung
teh. Kantung-kantung teh yang telah berisi bahan dimasukkan dalam kemasan
sekunder.
Skrining fitokimia pada jamu segar dan jamu instan dilakukan serupa dengan
skrining fitokimia pada bahan segar jamu
Larutan uji pada jamu segar digunakan air hasil seduhan bahan segar, sedangkan
larutan uji dalam skrining jamu instran yang digunakan adalah hasil seduhan
rajangan yang sudah dikeringkan
3.8.8 Uji Secara KLT Kandungan Kimia pada Jamu Segar dan Jamu Instan
Pengujian dengan KLT dilakukan pada jamu segar dengan air hasil seduhan
sementara uji KLT pada jamu instan dilakukan pada air hasil seduhan rajangan
kering.
Dilakukan uji KLT yang untuk mendeteksi antrakuinon dan mendeteksi trans-anetol
Disiapkan fase gerak dengan mencampur 8,1 mL etil asetat P, 1,1 mL metanol P, dan
0,8 mL air
Disiapkan fase diam berupa pelat silika gel 60 F254 berukuran 3 x 10 cm yang telah
dicuci dengan metanol dan diaktivasi pada suhu 110°C di dalam oven selama 10
menit
4.1 Hasil
4.1.1 Penyiapan Bahan-bahan
1. Daun jati cina, biji adas diperoleh dari Pasar Badung dan lidah buaya diperoleh dari
halaman rumah masing-masing.
2. Semua bahan tersebut dicuci bersih dengan air mengalir, daun jati cina kering dan
biji adas disortasi, dan dipisahkan kulit daun lidah buaya diambil dagingnya.
3. Seluruh bahan dipotong hingga menjadi rajangan.
Tabel 9. Bahan-bahan yang digunakan
Daun jati cina 1000 mg
Biji adas 200 mg
Lidah buaya 330 mg
4.1.2 Skrining Fitokimia dan Uji secara KLT Kandungan Kimia pada BAUK dan BAPK
Sebelum Dijadikan Bahan Jamu
Hasil skrining fitokimia dan uji secara KLT kandungan kimia pada BAUK dan BAPK
sebelum dijadikan bahan jamu disajikan pada tabel 10.
Tabel 10.Skrining Fitokimia danUji secara KLT pada Kandungan Kimia pada BAUK dan
BAPK Sebelum Dijadikan Jamu Segar
Skrining Minyak Steroid atau Glikosida
Saponin Tanin Flavonoid Alkaloid
Fitokimia Atsiri Triterpenoid Antrakuinon
Daun Jati
Cina - - - + + - +
Daun Lidah
- - - - - - +
Buaya
Biji Adas - + - - - - -
Hasil kromatografi lapis tipis daun jati cina dan daun lidah buaya sebagai berikut:
Gambar 5. Visualisasi pelat dibawah UV 254 nm (kiri) dan 366 nm (kanan)
dengan (A) daun jati cina dan (B) daun lidah buaya
4.1.7 Skrining Fitokimia dan Uji secara KLT Kandungan Kimia pada BAUK dan BAPK
dari Jamu Segar dan Jamu Instan
Hasil skrining fitokimia kandungan daun jati cina, lidah buaya, dan biji adas sebagai
berikut.
Tabel 2.Skrining Fitokimia kandungan kimia pada BAUK dan BAPK dari Jamu Segar dan
Jamu Instan
Skrining Minyak Steroid atau Glikosida
Saponin Tanin Flavonoid Alkaloid
Fitokimia Atsiri Triterpenoid Antrakuinon
Jamu Segar - + - - - - -
Jamu Instan + + + + + - +
4.1.8 Hasil Kromatografi Lapis Tipis Jamu Segar dan Jamu Instan
a. Deteksi Trans-Anetol
Penampakan pelat untuk mendeteksi trans-anetol dengan tiga mode pengamatan
disajikan pada Gambar 8.
Jamu instan:
Jamu segar:
b. Deteksi Antrakuinon
Penampakan pelat untuk mendeteksi antrakuinon dengan tiga mode pengamatan
disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Penampakan pelat setelah elusi dimana (A) sebelum dan (B) setelah
penyemprotan KOH alkoholis 10%
Gambar 11. Penandaan bercak untuk perhitungan Rf (A) sebelum dan (B) setelah
penyemprotan KOH alkoholis 10%
Jamu Segar
Sebelum penyemprotan KOH alkoholis 10%
Pengamatan Visual
(Tidak teramati bercak)
Pengamatan UV 254 nm
Pengamatan UV 366 nm
(Tidak teramati bercak yang dapat dihitung Rf-nya)
Setelah penyemprotan KOH alkoholis 10%
Pengamatan Visual
(Tidak teramati bercak)
Pengamatan UV 254 nm
Pengamatan UV 366 nm
(Tidak teramati bercak yang dapat dihitung Rf-nya)
Jamu Instan
Sebelum penyemprotan KOH alkoholis 10%
Pengamatan Visual
(Tidak teramati bercak)
Pengamatan UV 254 nm
Pengamatan UV 366 nm
(Tidak teramati bercak)
Setelah penyemprotan KOH alkoholis 10%
Pengamatan Visual
Pengamatan UV 254 nm
Pengamatan UV 366 nm
Tidak terdapat responden yang memberikan penilaian tidak suka dan sangat tidak suka.
Saran-saran yang sebagian besar diberikan oleh responden :
- Rasa teh sebaiknya dibuat lebih manis
- Produk dikembangkan menjadi serbuk instan
- Tutup kemasan sekunder diperbaiki
- Tali kantong the teh celup ditambahkan pegangan
- Kemasan dibuat lbih lebih menarik lagi
- Pada kemasan ditambahkan komposisi serta diindikasi dan kontraindikasi sesuai
literatur.
4.2 Pembahasan
Pratikum ini dilakukan pembuatan sediaan jamu konstipasi dengan komposisi bahan
antara lain daun jati cina, lidah buaya, dan biji adas. Sebelum pembuatan jamu, semua bahan
disiapkan kemudian melewati tahap sortasi dan pencucian semua bahan dengan menggunakan
air bersih mengalir. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan pengotor seperti sisa-sisa tanah
yang menempel pada bahan. Daun jati cina dan biji adas disortasi yang bertujuan untuk
memisahkan benda-benda asing seperti bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor-
pengotor lain yang masih tertinggal pada bahan. Seluruh bahan-bahan dipotong hingga
menjadi rajangan. Semua bahan disimpan dan diambil jika akan membuat jamu. Apabila akan
dilakukan pembuatan jamu, maka semua bahan ditimbang dan langsung digunakan kecuali
lidah buaya. Daging lidah buaya dikupas dari kulitnya pada saat pembuatan jamu. Sebelum
dilakukan pembuatan jamu, semua bahan diskrining fitokimia dan diidentifikasi dengan
kromatografi lapis tipis.
Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian untuk
memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam sampel [33]. Pada
praktikum ini dilakukan skrining fitokimia pada bahan-bahan yang akan dijadikan jamu untuk
memastikan kandungan berkhasiat pada bahan tersebut yang berperan penting pada jamu
konstipasi. Skrining fitokimia yang dilakukan seperti pengujian kandungan saponin, minyak
atsiri, steroid atau triterpenoid, tanin, flavonoid, alkaloid dan glikosida antrakuinon. Pada
daun jati cina menghasilkan positif pada tanin dengan megubah larutan menjadi hitam
kehijauan, mengandung flavonoid pada UV 366 nm berfluoresensi kuning intensif,
mengandung glikosida antrakuinon dibuktikan dengan berubahnya larutan menjadi merah.
Pada lidah buaya menghasilkan positif hanya pada pengujian glikosida antrakuinon. Pada biji
adas menghasilkan positif hanya pada pengujian minyak atsiri. Kandungan yang berperan
penting pada daun jati cina dan lidah buaya yaitu glikosida antrakuinon sehingga dapat
disimpulkan pada bahan yang akan digunakan positif mengandung glikosida antrakuinon
yang nantinya berperan dalam mengatasi konstipasi terjadi. Kandungan yang berperan penting
pada biji adas adalah minyak atsiri, dimana telah dibuktikan kebenarannya dengan dilakukan
pengujian minyak atsiri adanya bau khas dari biji adas sehingga terbukti memiliki khasiat
yang nantinya dapat mengurangi sakit perut yang terjadi jika ditambahkan dengan bahan yang
mengandung glikosida antrakuinon.
Analisis kromatografi lapis tipis perlu dilakukan pada sampel bahan segar jamu. Hal ini
ditujukan untuk memastikan kandungan senyawa aktif dalam masing-masing bahan. Daun jati
cina dan lidah buaya dilakukan analisis terhadap antrakuinon sementara pada biji adas
dilakukan analisis terhadap trans-anetol. Hasil analisis KLT menunjukkan bahwa pada sampel
daun jati cina terdapat bercak berwarna merah pada UV 366 nm dengan Rf bernilai 1. Nilai Rf
1 menandakan bahwa senyawa yang ingin dianalisis tidak tertambat pada fase diam.
Walaupun hasil positif antrakuinon berwarna kemerahan pada pengamatan UV 366, tidak
dapat diduga bahwa senyawa tersebut merupakan trans-anetol karena memiliki Rf yang sangat
jauh dari pustaka, yaitu sebesar 0,36. Sementara pada sampel lidah buaya tidak teramati
adanya bercak. Hal ini diduga akibat kesalahan dalam pembuatan fase diam dimana
perbandingan pelarut yang digunakan tidak sesuai. Sedangkan dalam analisis KLT biji adas,
terdeteksi satu pemadaman bercak pada pengamatan UV 254 nm dengan Rf 0,29 yang diduga
merupakan trans-anetol. Rf ini mendekati dengan nilai Rf trans-anetol dalam Farmakope
Herbal Indonesia yaitu sebesar 0,25 [38].
Ramuan jamu segar dengan formulasi daun jati cina, lidah buaya, dan biji adas telah
terbukti digunakan untuk jamu konstipasi. Daun jati cina dan lidah buaya sebagai Bahan Aktif
Utama Khasiat (BAUK) dan biji adas digunakan sebagai Bahan Aktif Pendukung Khasiat
(BAPK). Khasiat dari daun jati cina adalah sebagai pencahar dengan menghambat penyerapan
air dan elektrolit dari dari usus besar, yang meningkatkan volume dan tekanan isi usus. Ini
akan merangsang motilitas usus besar yang menghasilkan kontraksi pendorong. Kandungan
sennosides dan metabolit aktifnya rhein-anthrone yang termasuk kedalam senyawa
antrakuinon berperan sebagai pencahar dengan sekresi Cl- dan atau menghambat penyerapan
Na+ menghasilkan akumulasi cairan dan selanjutnya meningkatkan motilitas kolon sehingga
menyebabkan kontraksi pendorong dalam proses sekresi. Selain itu, lidah buaya memiliki
efek sebagai pencahar karena kandungan aloin A dan B yang akan menhasilkan aloe-
emodin9-antron apabila penggunaannya secara oral sehingga memiliki fungsi sebagai
stimulan dan mengiritasi saluran pencernaan. Bahan Aktif Pendukung Khasiat (BAPK) adalah
biji adas yang memiliki khasiat mengurangi sakit perut akibat adanya kontraksi dan iritasi
apabila dikombinasikan dengan antrakuinon. Jamu konstipasi oral dibuat dalam bentuk teh.
Hal ini dilakukan karena pengerjaannya mudah dan sederhana yaitu hanya dilakukan dengan
penyeduhan rajangan dengan air panas. Praktikum kali ini dilakukan pembuatan jamu
konstipasi oral segar dan instan, evaluasi masing- masing jamu.
Pembuatan jamu segar diawali dengan pencucian daun jati cina dan lidah buaya segar
dengan air hingga bersih. Pencucian bahan- bahan dilakukan untuk menghilangkan pengotor
yang mungkin masih terdapat pada bahan. Selanjutnya dilakukan pengupasan pada lidah
buaya untuk memperoleh daging lidah buaya. Pengupasan bertujuan untuk menghilangkan
kulit pada lidah buaya. Daun jati cina masih berupa daun utuh yang panjang, sedangkan biji
adas yang digunakan berupa biji yang masih utuh tetapi dalam keadaan kering. Biji adas
dirajang agar kandungan minyak atsirinya keluar saat dilakukan penyeduhan. Semua bahan
diseduh dengan air panas. Setelah dilakukan penyeduhan, dilakukan penyaringan untuk
memisahkan ampas dengan teh yang dibuat. Selanjutnya dilakukan penyeduhan pada semua
bahan dengan air panas kemudian dilanjutkan dengan evaluasi organoleptis jamu segar yang
dilihat dari warna, aroma, dan rasa. Jamu segar yang dibuat memiliki warna coklat kemerahan
sesuai dengan warna teh pada umumnya [39]. Hal tersebut dikarenakan daun jati cina, apabila
diseduh akan menunjukkan warna merah kecoklatan. Aroma dari jamu segar didominasi oleh
aroma biji adas dengan bau yang khas. Sementara rasa dari jamu konstipasinya adalah tawar.
Selanjutnya, dilakukan optimasi dan evluasi hasil optimasi sediaan jamu segar.
Optimasi jamu segar bertujuan untuk mendapatkan formulasi dengan rasa, aroma, warna
yang dapat diterima. Proses optimasi dilakukan dengan menambahkan atau mengurangi
jumlah bahan yang terdapat didalam komposisi jamu. Dalam formulasi ini, optimasi jamu
dibuat sebanyak tiga variasi dengan kode A, B, dan C. Variasi A dibuat tanpa pemanis apapun
termasuk gula dan madu, variasi B dibuat dengan penambahan madu, dan variasi C dengan
penambahan gula pasir. Masing- masing variasi ditambahkan bunga melati untuk
memperbaiki aroma dari jamu yang dibuat. Pembuatan jamu segar hasil optimasi dilakukan
sama seperti pembuatan jamu segar untuk menghasilkan jamu dengan rasa dan aroma yang
lebih baik. Selanjutnya dilakukan evaluasi. Variasi jamu A menghasilkan aroma yang
didominasi oleh daun jati cina sebelum dilakukan penambahan bunga melati. Rasanya tawar
dengan sedikit ada rasa daun jati cina dan warna merah kecoklatan. Setelah dilakukan
penambahan bunga melati, aroma jamu didominasi oleh bunga melati. Variasi B menunjukkan
rasa manis pas yang diperoleh setelah penambahan satu sendok teh gula pasir, sedangkan
variasi C menunjukkan rasa manis pas setelah penambahan tiga sendok teh madu. Aroma dari
variasi C dan B didominasi daun jati cina sebelum ditambahkan bunga melati dan
menunjukkan warna yang merah kecoklatan serta aroma bunga melati setelah penambahan
bunga melati. Selain jamu segar, dilakukan juga pembuatan jamu instan.
Jamu instan dibuat dari bahan-bahan yang telah dikeringkan. Bahan daun jati cina dan
biji adas telah dibeli dalam keadaan kering sehingga tidak perlu dilakukan proses
pengeringan. Sementara, daging lidah buaya perlu dikeringkan. Proses pengeringan yang
dipilih yaitu dalam oven bersuhu 80. Dipilihnya suhu yang demikian dikarenakan antrakuinon
dalam daging daun lidah buaya masih stabil pada suhu tersebut. Bahan yang telah kering
kemudian ditimbang sesuai formula dan dikemas dalam kantong teh. Pengemasan dalam
kantong the bertujuan untuk memudahkan dalam penyeduhan karena tidak perlu repot-repot
untuk menyaring ampas rajangan dari air hasil seduhan. Air yang digunakan untuk menyeduh
jamu instan ini adalah bersuhu 90ºC. Dengan suhu yang demikian, senyawa aktif yang
terkandung dalam rajangan dapat tersari dan keluar dari matriksnya.
Evaluasi organoleptis menunjukkan bahwa air seduhan jamu instan memiliki bau jati
cina yang diseduh bercampur aroma melati dan adas. Warnanya yaitu merah kecokelatan.
Sedangkan, rasanya yaitu khas teh jati cina dengan rasa yang manis. Parameter ini telah sesuai
dengan persyaratan organoleptis yang harus dimiliki teh, dimana salah satunya adalah tidak
boleh adanya rasa dan bau asing, serta warna yang dihasilkan berkisar dari kuning kehijauan
hingga merah kecokelatan [39].
Optimasi jamu instan dilakukan dengan membuat sediaan dalam bentuk serbuk instan.
Serbuk instan merupakan Serbuk Instan adalah sediaan obat tradisional berupa butiran
homogen dengan derajat halus yang sesuai, terbuat dari ekstrak yang cara penggunaannya
diseduh dengan air panas atau dilarutkan dalam air dingin [40]. Tujuan dilakukannya optimasi
ini adalah untuk membuat sediaan yang penggunaannya praktis dan cepat. Dengan
mengoptimasikannya dalam bentuk serbuk instan, maka penggunaannya hanya tinggal
melarutkan serbuk instannya saja dengan air panas sehingga tidak perlu repot lagi untuk
mencelupkan kantong teh ke dalam air panas sambil menambahkan gula. Setelah dilakukan
optimasi, hasil optimasi dievaluasi secara organoleptis yang diperoleh dari serbuk instan
ternyata berbeda dari jamu instan dalam bentuk rajangan. Jamu dari serbuk instan memilik
aroma bau khas teh dengan bau seduhan daun jati cina, karamel, dan bunga melati. Aroma
karamel ini diakibatkan karena proses pemanasan dari gula yang ditambahkan. Aroma adas
juga tidak tercium pada jamu dari serbuk instan. Hal ini disebabkan karena trans-anetol pada
biji adas habis menguap ketika proses pemanasan yang tinggi saat pembuatan serbuk. Dari
segi warna, jamu instan dalam bentuk serbuk instan memiliki warna yang lebih gelap. Hal ini
diduga karena terjadi pemekatan dari air seduhan rajangan sehingga warnanya lebih gelap
dibandingkan warna air seduhan jamu instan rajangan. Sementara itu, rasa jamu serbuk instan
juga lebih manis karena dalam proses pembuatan serbuk ini diberikan penambahan gula
dengan takaran yang lebih banyak daripada takaran gula untuk satu porsi jamu instan
rajangan. Penambahan gula bertujuan untuk mengikat senyawa aktif yang tersisa dan tidak
ikut menguap dari air seduhan. Jumlah gula yang terlalu sedikit dapat membuat serbuk
menjadi gosong. Mengingat jamu serbuk instan yang dibuat sudah kehilangan trans-anetolnya
akibat proses pemanasan yang tinggi, maka bentuk sediaan jamu instan yang dipilih adalah
dalam bentuk rajangan. Pembuatan jamu dalam bentuk rajangan, tingkat rasa manis juga
dapat diatur oleh konsumen, sehingga mereka yang tidak terlalu suka dengan rasa manis
masih dapat menikmati jamu ini tanpa penambahan gula.
Skrining fitokimia dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui senyawa metabolit
sekunder yang terdapat dalam sampel [44]. Praktikum ini dilakukan skrining fitokimia pada
bahan-bahan yang akan dijadikan jamu untuk memastikan kandungan berkhasiat pada bahan
tersebut yang berperan penting pada jamu konstipasi. Pertama-tama dibuat jamu segar dan
jamu instan terlebih dahulu. Jamu segar dibuat dengan cara merajang daun jati cina, daging
lidah buaya dan biji adasnya. Sedangkan untuk jamu instan dibuat dengan merajang daun jati
cina dan daging lidah buaya yang telah dikeringkan serta dengan biji adas. Pengujian skrining
fitokimia yang dilakukan pada praktikum kali ini adalah pengujian kandungan saponin,
minyak atsiri, steroid atau triterpenoid, tanin, flavonoid, alkaloid dan glikosida antrakuinon.
Pada praktikum kali ini, jamu segar hanya menghasilkan hasil positif pada pengujian minyak
atsiri dikarenakan adanya kandungan biji adas, sedangkan pada jamu instan menghasilkan
hasil positif pada pengujian saponin dengan terbentuknya buih 1 cm, pengujian minyak atsiri
dengan beraroma khas aromatis karena adanya kandungan biji adas, mengandung tanin karena
berwarna hijau kehitaman, mengandung glikosida antrakuinon dengan berubah menjadi
berwarna merah, mengandung steroid dengan terbentuknya warna kehijauan serta adanya
flavonoid karena larutan berfluoresensi kuning intensif pada UV 366 nm. Hal ini dikarenakan
jamu segar yang digunakan untuk skrining fitokimia menggunakan sampel daun jati cina yang
salah. Dimana daun yang digunakan memiliki fisik yang hampir sama namun ternyata
berbeda dengan daun jati cina yang sebenarnya yang mempunyai fisik ujung daun tajam dan
lebih ramping sedangkan daun yang digunakan ujung daunnya tumpul dan lebih lebar
dibanding daun jati cina yang sebenarnya, sehingga mempengaruhi hasil yang didapat. Hasil
yang diperoleh pada jamu instan disimpulkan sesuai karena saponin yang terkandung
dikarenakan adanya lidah buaya [42]. Adanya glikosida antrakuinon yang merupakan
kandungan utama berkhasiat dari lidah buaya dan daun jati cina yang nantinya dapat
mengatasi konstipasi terjadi, adanya minyak atsiri dikarenakan pada jamu instan mengandung
biji adas, mengandung flavonoid karena terdapat lidah buaya, biji adas serta daun jati cina.
Analisis KLT juga dilakukan pada jamu segar dan jamu instan. Analisis KLT yang
dilakukan tetap bertujuan untuk memastikan bahwa bahan yang sudah dalam bentuk jamu
masih mengandung senyawa aktifnya, yaitu antrakuinon dan trans-anetol. Hasil analisis KLT
menunjukkan bahwa jamu segar dan jamu instan masih mengandung trans-anetol. Hal ini
ditunjukkan dari Rf yang teramati yaitu 0,32 dengan hanya satu pemadaman bercak pada
pengamatan UV 254 nm. Sementara, antakuinon hanya terdeteksi secara jelas pada jamu
instan. Pada jamu segar tidak tejadi perubahan warna menjadi merah setelah penyemprotan
dengan KOH alkoholis sehingga pada jamu segar tidak terkandung antrakuinon. Tidak adanya
antrakuinon ini diduga karena bahan segar berupa daun jati cina yang digunakan tidaklah
tervalidasi. Praktikan menemukan tanaman yang serupa dengan daun jati cina sehingga
berinisiatif untuk mengolah daunnya menjadi jamu segar. Daun segar yang dianggap sebagai
jati cina tidak dilakukan determinasi terlebih dahulu sehingga tidak bisa dijamin keasliannya.
Hasil KLT tidak menunjukkan adanya antrakuinon, sehingga diduga daun segar yang
digunakan bukanlah daun jati cina.
Jamu yang telah dibuat dilakukan uji hedonik. Uji hedonik yang dilakukan pada
praktikum ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap produk jamu
konstipasi yang dibuat. Dalam pelaksanaan uji hedonik, panelis diminta memberikan
penilaian dalam skala yang menunjukkan tingkat dari sangat tidak suka sampai amat sangat
suka terhadap rasa, aroma, warna, penampilan dan kemasan jamu konstipasi. Pengujian
dilakukan dengan cara meminta sebanyak 30 orang panelis untuk mengisi kuisioner terhadap
produk jamu yang dibuat oleh praktikan. Panelis yang dipilih merupakan mahasiswa dan
mahasiswi farmasi dari berbagai angkatan.
Evaluasi pengujian hedonik didapatkan hasil penilaian responden yang dilihat dari
persentase terbesar terhadap penilaian rasa, warna, aroma, penampilan dan kemasan dari jamu
konstipasi. Hasil penilaian responden terhadap rasa dari jamu konstipasi yaitu sebanyak
63,3% responden menyatakan sangat suka dengan rasa teh yang dihasilkan. Hasil penilaian
responden yang diperoleh dari segi warna yaitu 56,6 % menyatakan sangat suka dengan
warna jamu konstipasi yaitu berwarna cokelat kemerahan. Dari segi aroma yaitu sebanyak
60% responden menyatakan sangat suka dengan aroma daun jati cina jamu konstipasi yang
dihasilkan. Hasil penilaian dari segi kemasan yaitu sebanyak 60% menyatakan sangat suka
dengan kemasan yang dibuat. Sebagian besar responden menyukai desain kemasan dan brosur
dilihat dari warna dan kelengkapan informasi yang diberikan. Saran yang diberikan dari
responden untuk rasa jamu konstipasi yaitu Rasa teh sebaiknya dibuat lebih manis, produk
dikembangkan menjadi serbuk instan, tutup kemasan sekunder diperbaiki, tali kantong teh
celup ditambahkan pegangan, kemasan dibuat lbih menarik lagi dan pada kemasan
ditambahkan komposisi serta diindikasi dan kontraindikasi sesuai literatur. Tingkat kesukaan
dari responden di ukur menggunakan 4 tingkat pengukuran yaitu sangat suka, suka, tidaksuka,
sangat tidak suka,. Setelah dilakukan analisis data terhadap nilai tingkat kepuasan responden
dari aspek rasa, bau, warna serta kemasan, diperoleh hasil kepuasan akhir yaitu sangat suka.
Hal ini menunjukkan bahwa jamu konstipasi “Herbasti” dapat diterima oleh responden, baik
dari segi rasa,warna, bau maupun kemasan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Formulasi jamu konstipasi yang cocok berdasarkan praktikum ini adalah :
No Bahan Jumlah yang Fungsi Khasiat
digunakan
1 Daun jati cina 1000 mg BAUK Laksatif
2 Lidah buaya 330 mg BAUK Laksatif
3 Biji adas 200 mg BAPK Antinyeri
4 Gula pasir Secukupnya BT Corigen
odorissaporis
5 Bunga melati 1 buah bunga BT Corigen
saporisodoris
5.2 Jamu konstipasi segar dan instan dievaluasi melalui uji organoleptis yang dilihat dari air
hasil seduhan diamati warna dan aroma serta dicicipi rasa. Jamu segar dan jamu instan
yang dibuat memiliki warna coklat kemerahan sesuai dengan warna teh pada
umumnya.Hal tersebut dikarenakan daun jati cina, apabila diseduh akan menunjukkan
warna merah kecoklatan. Aroma dari jamu segar didominasi oleh aroma biji adas
dengan bau yang khas. Sementara rasa dari jamu konstipasinya adalah tawar. Hasil uji
hedonik kepada 30 panelis memberikan nilai bagus pada rasa, aroma, warna,
penampilan, dan kemasan. Hasil penilaian responden terhadap rasa dari jamu konstipasi
yaitu sebanyak 63,3% responden menyatakan sangat suka dengan rasa teh yang
dihasilkan. Hasil penilaian responden yang diperoleh dari segi warna yaitu 56,6 %
menyatakan sangat suka dengan warna jamu konstipasi yaitu berwarna cokelat
kemerahan. Dari segi aroma yaitu sebanyak 60% responden menyatakan sangat suka
dengan aroma daun jati cina jamu konstipasi yang dihasilkan. Hasil penilaian dari segi
kemasan yaitu sebanyak 60% menyatakan sangat suka dengan kemasan yang dibuat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dianto, I. dan Khumaidi. S. (2015): studi etnofarmasi tumbuhan berkhasiat obat pada
suku kaili ledo di kabupaten sigi. Journal of Pharmacy.1 (2): 85-91.
2. Sari, A. D., K. dan Wirjatmadi, B. (2016): hubungan aktivitas fisik dengan kejadian
konstipasi pada lansia di kota madiun. Media Gizi Indonesia.11 (1): 40-47.
3. Ali, Md. (2014): Cassia fistula Linn: A Review Of Phytochemical And
Pharmacological Studies. International Journal of Pharmaceutical Sciences and
Research. 5 (6): 125–2130.
4. Rahayu, M., S. Sunarti., D. Sulistarni., dan S. Prawiroatmodjo (2006): Pemanfaatan
tumbuhan obat secara tradisional oleh masyarakat lokal di pulau wawonii, sulawesi
tenggara. Biodiversitas. 7 (3): 245-250.
5. Purwaningsih, E. H. (2013): Jamu, obat tradisional asli indonesia pasang surut
pemanfaatannya di indonesia. eJKI. 1 (2): 85-89.
6. Permenkes RI. (2012): PerMenKes/007/MenKes/Per/2012 tentang Registrasi Obat
Tradisional. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
7. Sari, L. K. (2006): Pemanfaatan obat tradisional dengan pertimbangan manfaat dan
keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian. 3 (1): 01-07.
8. Permenkes RI. (2015): PerMenKes/66/MenKes/Per/2015 tentang Gerai Djamoe
Terdaftar Dan Etalase Djamoe. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
9. Elfahmi, Woerdenbag, H. J., Kayser, O. (2014): Jamu: indonesian traditional herbal
medicine towards rational phytopharmacological use. Journal of Herbal Medicine. 4
(2): 51-73.
10. BPOM RI. (2005): Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor : HK.00.05.41.1384 tentang kriteria dan tata laksana pendaftaran
obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Badan Pengawasan Obat
Dan Makanan Republik Indonesia. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
11. Jannah, I. N., Mustika, A., Puruhito, E. F. (2017): Efektivitas pemberian dekokta buah
trengguli (Cassia fistula l.) terhadap penurunan constipation scoring system untuk
penanganan konstipasi pada wanita usia 18-25 tahun. Journal of Vocational Health
Studies. 01: 58-62.
12. Serimbing, L. P. (2015): Konstipasi pada kehamilan. Jurnal Ilmu Kedokteran. 9 (1): 7-
10.
13. Endyarni, B. dan Syarif, B. H. (2004): Konstipasi fungsional. Sari Pediatri. 6 (2): 75-
80.
14. Khare, P., Kishore, K., Sharma, D. K. (2017): A study on the standardization
parameters of Cassia angustifolia. Asian J Pharm Clin Res. 10 (7): 329-332.
15. Kaur, Ahmad S, Harikumar, S. L. (2014): Pharmacognosy, phytochemistry and
pharmacology of Cassia occidentalis Linn. International Journal of Pharmacognosy
and Phytochemical Research. 6 (2): 151-155.
16. Ramchander, Jalwal, P., Middha, A. (2017): Recent advences on senna as a laxative: A
comprehensive review. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry. 6 (2): 349-
353.
17. Săvulescu, E., Georgescu, M. I., Popa, V., Luchian, V. (2018): Morphological and
anatomical properties of the Senna alexandrina Mill. (Cassia angustifolia Vahl.).
Sciendo. 305-310.
18. Rahma, E. dan Oktafany (2018): Efektivitas lidah buaya (Aloe vera) terhadap
konstipasi. Journal Agromedicine. 5 (1): 427-432.
19. Aloe vera (L.) Burm. f. dari ITIS, data diperoleh melalui situs internet:
https://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?
search_topic=TSN&search_value=182653#null. Diunduh pada tanggal 30 September
2019.
20. Melliawati, R. (2018): Potensi tanaman lidah buaya (aloe pubescens) dan keunikan
kapang endofit yang berasal dari jaringannya. Biotrends. 9 (1): 1-6.
21. Reynolds, T. dan Dweck, A. C. (1999): Aloe vera leaf gel: a review update. Journal of
Ethnopharmacology. 68: 3-37.
22. Sharma, P, Kharkwal, A.C., Kharkwal, H., Abdin, M. Z., Varma, A. (2014): A review
on pharmacological properties of Aloe vera. International Journal of Pharmaceutical
Sciences Review and Research. 29 (2): 31-37.
23. Badgujar, S. B., Patel, V. V., Bandivdekar, H. (2014): Foeniculum vulgare Mill: a
review of its botany, phytochemistry, pharmacology, contemporary application, and
toxicology. BioMed Research International. 1-32.
24. Khan, M. dan Musharaf, S. (2014): Foeniculum vulgare Mill. a medicinal herb.
Medicinal Plant Research. 4 (6): 46–54.
25. Bermawie, N., Ajijah, N., Rostiana, O. (2017): Karakteristik morfologi dan mutu adas
(Foeniculum vulgare Mill.). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 13 (2): 25-
32.
26. Rather, M. A., Dar, B. A., Sofi, S. N., Bhat, B. A., Qurishi, M. A. (2012): Foeniculum
vulgare: A comprehensive review of its traditional use, phytochemistry, pharmacology,
and safety. Arabian Journal of Chemistry. 9 (2): 1574-1583.
27. Sastrawan, I. N., Sangi, M., Kamu, V. (2013): Skrining fitokimia dan uji aktivitas
antioksidan ekstrak biji adas (Foeniculum vulgare) menggunakan metode DPPH.
Jurnal Ilmiah Sains. 13 (2): 110-115.
28. Picon, P. D., Picon, R. V., Costa, A. F., Sander, G. B., Amaral, K. M., Aboy, A. L.,
Henriques, A. T. (2010): Randomized clinical trial of a phytotherapic compound
containing Pimpinella anisum, Foeniculum vulgare, Sambucus nigra, and Cassia
augustifolia for chronic constipation. BMC Complementary and Alternative Medicine.
10 (17): 2-9.
29. Mun’im, A., Hanani, E., Mandasari, A. (2008): Pembuatan teh herbal campuran
kelopak bunga rosella (Hibuscus sabdariffa) dan herba seledri (Apium graveolens).
Majalah Ilmu Kefarmasian. 5 (1): 47 – 54.
30. Depkes RI. (1989): Materia medika Indonesia. Jilid V. Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta.
31. Mojab, F. Kamalinejad, M., Ghaderi, N, Vahidipour, H. R. (2003): Phytochemical
screening of some species of iranian plants, Iranian Journal of Pharmaceutical
Research. 2:77–82.
32. Depkes RI. (1979): Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 21
33. Simaremare, E. S. (2014): Skrining fitokimia ekstrak etanol daun gatal (Laportea
decumana (Roxb.) Wedd). Pharmacy, 11(01): 98-107
34. Yuda, P. S . K. ErnA, C. Winariyanthi, Y. (2017): Skring fitokimia dan analisis
kromatografi dan analisis kromatografi lapis tipis ekstrak tanaman pantikan kebo
(Euphorbia hirta L.). Medicamento. 3 (2)
35. Depkes RI. (2010): Farmakope Herbal Indonesia. Suplemen I. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
36. Sakulpanich, A., dan Gritsanapan, W. (2009): Determination of anthraquinone
glycoside content in Cassia fistula leaf extracts for alternative source of laxative drug,
International Journal of Biomedical and Pharmaceutical Sciences, 3(1): 42-45
37. Depkes RI. (2008): Farmakope Herbal Indonesia. Edisi I. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
38. BSN (2000): Teh kering dalam kemasan. Badan Standardisasi Nasional. Balai
Penelitian dan Pengembangan Industri, Departemen Perindustrian dan Perdagangan
39. Yamin, M., Ayu, D. F., Hamzah, F. (2017): Lama pengeringan terhadap aktivitas
antioksidan dan mutu teh herbal daun ketepeng cina (Cassia alata L.), Jurnal Online
Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Riau, 4(2): 1-15
40. BPOM (2014): Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor 12 tahun 2014 tentang persyaratan mutu obat tradisional. Badan
Pengawas Obat dan Makanan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
41. Dewi, I. K. dan Lestari, T. (2016): Formulasi dan uji hedonik serbuk jamu instan
antioksidan buah naga super merah (Hylocereus Costaricensis) dengan pemanis alami
daun stevia (Stevia rebaudiana bertoni M.). Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan. 5 (2):
110-237.
42. Amilia, S. (2016): Pengaruh atribut produk terhadap keputusan pembelian kacang
garuda di kota langsa. Jurnal Manajemen Dan Keuangan. 5 (2): 2252-844.
43. Dewi, I. K. dan Lestari, T. (2016): Uji hedonik sediaan instan ekstrak buah naga super
merah (Hylocereus costaricensis). Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat
Indonesia. Samarinda
44. Agustina, W. Nurhamida, Handayani, D. (2017): Skrining Fitokimia Dan Aktivitas
Antioksidan Beberapa Fraksi Dari Kulit Batang Jarak (Ricinus communis L.). Jurnal
Pendidikan dan Ilmu Kimia. 1(2): 117-122
LAMPIRAN
Skrining Fitokimia Kandungan Kimia pada BAUK dan BAPK Sebelum Dijadikan
Bahan Jamu
Flavonoid
Flavonoid Daun Jati
Daun Lidah BuayaCina
Flavonoid Biji Adas Alkaloid Daun Jati Cina
Glikosida Antrakuinon
Glikosida Lidah
Antrakuinon Jati Buaya
Cina
Tanin Jati Cina
Tanin Lidah
Saponin LidahBuaya
Buaya
Skrining Fitokimia Kandungan Kimia pada BAUK dan BAPK dari Jamu Segar dan
Alkaloid Jamu Instan
Jamu Instan
Flavonoid
FlavonoidJamu
JamuInstan
Segar
Tanin
Tanin Jamu
Jamu Segar
Instan
Steroid
Steroid atau
atau Terpenoid
Terpenoid Jamu
Jamu Segar
Instan