Anda di halaman 1dari 53

PRAKTIKUM FARMASI BAHAN ALAM

LAPORAN AKHIR
JAMU KONSTIPASI ORAL

KELOMPOK II
Ni Kadek Sriani 1608551039
Ni Nyoman Fitria Widianti 1608551050
I Putu Yogi Astara Putra 1608551061
I Gusti Ayu Putu Sukmarani 1608551073

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah suatu negara yang kaya akan sumber daya alam yang melimpah.
Seperti yang telah di ketahui, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan
terbesar di dunia yang memiliki berbagai macam flora dan fauna. Di Indonesia juga banyak
terdapat berbagai jenis tumbuhan yang dapat dijadikan obat-obatan, rempah-rempah, dan lain
sebagainya. Banyaknya jenis tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional dapat
memberikan referensi terhadap dunia pengobatan.Pengobatan tradisional awalnya dikenal
dengan ramuan jamu-jamuan, sampai saat ini jamu masih diyakini sebagai obat mujarab untuk
mengobati berbagai penyakit bahkan telah dikembangkan dalam industri modern.
Pengetahuan mengenai tumbuhan obat memiliki karakteristik berbeda-beda pada suatu
wilayah. Pengetahuan tersebut biasanya merupakan warisan secara turun-menurun dimana
salah satu pemanfaatan pengobatan tradisional yang masih sering digunakan adalah untuk
mengobati konstipasi [1].
Konstipasi adalah kondisi di mana feses mengeras sehingga susah dikeluarkan melalui
anus, dan menimbulkan rasa terganggu atau tidak nyaman pada rektum [2]. Konstipasi dapat
terjadi pada semua lapisan usia, yang pada umumnya ditandai dengan frekuensi buang air
besar yang rendah (kurang dari 3 kali dalam satu minggu). Konstipasi masih sering dianggap
remeh oleh masyarakat. Mereka menganggap kesulitan buang air besar bukan masalah besar,
hanya akibat dari salah makan atau kurang minum air sehingga disepelekan dan dianggap
akan sembuh dengan sendirinya. Padahal, konstipasi dapat mengakibatkan kanker usus besar
(colon cancer) yang dapat berujung pada kematian [2]. Dalam perkembangannya sekitar 80%
populasi dalam setiap negara beralih menggunakan pengobatan tradisional untuk masalah
penyakit utama. Tanaman obat dan formulasi herbal sering kali dipertimbangkan karena efek
toksik yang lebih sedikit dan bebas dari efek samping dibanding dengan obat sintetik [3].
Penggunaan obat tradisional dapat digunakan sebagai pengganti obat kimia dalam menangani
konstipasi. Salah satu contoh penggunaan obat tradisional adalah sediaan jamu merupakan
salah satu jenis obat tradisional yang telah digunakan sejak lama oleh masyarakat Indonesia
sebagai upaya untuk menjaga kesehatan, menambah kebugaran, dan merawat kecantikan
[4].Jamu telah menjadi bagian dari budaya dan kekayaan alam Indonesia, hal tersebut
dibuktikan dengan hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010 menunjukkan bahwa lebih dari
50% masyarakat Indonesia masih menggunakan jamu [5]. Pembuatan sediaan jamu sangat
penting dilakukan evaluasi untuk menjamin mutu jamu. Jamu konstipasi meliputi uji
organoleptis, uji kemasan, uji hedonik. Banyak tanaman yang digunakan sebagai konstipasi
seperti kelembak, labu putih, daun jati cina, adas. Berdasarkan latar belakang di atas maka
pada praktikum ini akan dilakukan formulasi serta pengkajian secara ilmiah formulasi jamu
konstipasi dengan bahan utama yang berkhasiat untuk mengobati konstipasi.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana formula jamu yang digunakan secara oral untuk mengobati konstipasi?
1.2.2 Bagaimana hasil evaluasi sediaan obat tradisional jamu konstipasi?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui formulasi jamu yang digunakan secara oral untuk mengobati konstipasi.
1.3.2 Mengetahui hasil evaluasi sediaan obat tradisional jamu konstipasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat Tradisional


Adanya konsep back to nature menyebabkan perkembangan obat tradisional menjadi
lebih pesat. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut
yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan dan dapat diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat [6].
Penggunaan obat tradisional secara luas oleh masyarakat selain karena alami, mudah
didapat, harganya murah, penggunaan obat ramuan tumbuhan secara tradisional tidak
menghasilkan efek samping yang ditimbulkan seperti yang sering terjadi pada pengobatan
secara kimiawi serta banyak beranggapan bahwa penggunaan obat tradisional lebih aman
dibanding obat sintesis. Hal tersebut diperkuat dari rekomendasi WHO dalam penggunaan
obat tradisional termasuk herbal untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan
pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker.
Penggunaan obat tradisional secara tepat dikatakan memiliki efek samping yang lebih sedikit
(lebih aman) jika dibandingan dengan bahan kimia obat [7].

2.2 Jamu
Jamu berasal dari kata Djamoe yang bermanfaat membantu penyembuhan, meingkatkan
kesehatan, kebugaran, dan perawatan kecantikan. Jamu merupakan keluhuran budaya khas
bangsa Indonesia yang secara turun temurun telah diakui dan dimanfaatkan oleh masyarakat
Indonesia [8]. Bentuk sediaan berwujud sebagai serbuk seduhan, rajangan untuk seduhan dan
sebagainya. Jamu tradisional pada umumnya dijual tanpa label dan dijual dalam bentuk segar
(tanpa pengawet) yang dijajakan dari rumah ke rumah. Istilah penggunaanya masih memakai
pengertian tradisional seperti galian singset, sekalor, pegel linu, tolak angin [9].
Menurut Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No.
HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat
Herbal Terstandar dan Fitofarmaka pada pasal 4 disebutkan bahwa jamu harus memenuhi
kriteria aman sesuai dengan persyaratan ditetapkan, antara lain: menggunakan bahan
berkhasiat dan bahan tambahan yang memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan
kemanfaatan / khasiat, dibuat sesuai dengan ketentuan tentang Pedoman Cara Pembuatan
Obat Tradisional yang Baik atau Cara Pembuatan Obat yang Baik yang berlaku serta
penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin penggunaan obat
tradisional secara tepat, rasional dan aman sesuai dengan hasil evaluasi dalam rangka
pendaftaran [10].

2.3 Konstipasi
Konstipasi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh perubahan konsistensi feses
menjadi keras, ukurannya besar, penurunan frekuensi atau kesulitan defekasi [11]. Gejala
konstipasi umumnya adalah mengedan terlalu kuat, tinja yang keras, butuh waktu lama saat
defekasi dan frekuensi defekasi kurang dari 3 kali seminggu [12].
Berdasarkan patofisiologis, konstipasi dapat diklasifikasikan menjadi konstipasi akibat
kelainan struktur dan konstipasi fungsional. Konstipasi akibat kelainan struktual terjadi
melalui proses obstruksi aliran tinja, sedangkan konstipasi fungsional berhubungan dengan
gangguan motilitas kolon atau anorektal. Konstipasi fungsional dapat dikelompokkan menjadi
bentuk primer atau sekunder bergantung pada ada tidaknya penyebab yang mendasari.
Konstipasi fungsional primer ditegakkan bila penyebab dasar konstipasi tidak dapat
ditemukan, sedangkan konstipasi fungsional sekunder ditegakkan bila kita dapat menentukan
dasar keluhan tersebut. Klasifikasi lain yang perlu dibedakan adalah apakah keluhan tersebut
bersifat akut atau kronis. Konstipasi akut bila kejadian baru berlangsung selama 1-4 minggu,
sedangkan konstipasi kronis bila keluhan telah berlangsung lebih dari 4 minggu [13].
Penatalaksanaan farmakologi pada konstipasi adalah dengan terapi laksatif karena obat
tersebut mempunyai efek terhadap peningkatan sekresi elektrolit, penurunan absorpsi air dan
elektrolit, peningkatan osmolaritas intraluminal, dan peningkatan tekanan hisrostatik usus
[13]. Namun, penggunaan obat tradisional lebih sering digunakan selain karena masyarakat
kembali ke konsep back to nature, juga dikarenakan mudah didapat, murah, efek toksik lebih
sedikit dan memiliki efek samping yang minim dibandingkan dengan obat konvensional.
Penggunaan obat tradisional dalam mengatasi konstipasi yang telah terbukti secara ilmiah
diantaranya adalah daun jati cina (Cassia angustifolia), lidah buaya (Aloe vera) dan biji adas
(Foeniculi vulgaris).

2.4 Tinjauan Bahan Baku yang Digunakan dalam Formulasi


2.4.1 Jati Cina (Cassia angustifolia)
a. Klasifikasi tanaman
Tanamanan jati cina klasifikasi sebagai berikut [16].
Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Tracheobionata
Division : Magnoliphyta
Class : Magnoliopsida
Subclass : Rosidae
Order : Fabales
Family : Caesalpinaceae
Genus : Cassia
Spesies : Cassia angustifolia

Gambar 1. Jati Cina (Cassia angustifolia) [14].

b. Deskripsi
Tanaman jati cina memiliki tinggi sekitar 60-80 cm. Daunnya memiliki panjang 6-10,5
cm dengan 5-9 pasang selebaran berbentuk lanset dan ujung daun yang tajam, berbulu lebat
dan berwarna hijau pucat. Bunganya terdapat 5 kelopak, pedikelnya memiliki panjang 3-4 cm.
Sepal sedikit tidak rata, warna kuning-hijau dengan panjang 10-13 mm dan lebar 6-9 mm.
Kelopaknya berwarna kuning dengan panjang 14-17 mm dan lebar 7-10 mm. Tanaman ini
mekar pada bulan April-Juni. Buahnya tipe polong-polongan berbulu dengan panjang 5-6 cm
dan lebar 1,7-2,3 cm, sedikit melengkung. Buahnya berubah menjadi hitam saat dewasa [17].
c. Kandungan Kimia dan Khasiat
Kandungan kimia dari daun jati cina adalah glikosida antrakuinon, glikosida naftalen
dikenal sebagai tinnevellin glycoside (0.3%), kaempferol (3, 4’, 5, 7-trihydroxyflavone),
glukosida (kaempferin) dan isorhamnetin, β-sitosterol, kalsium oksalat, resin, saponin dan
polisakarida hidrokoloid [16].
C. angustifolia digunakan untuk pengobatan pembesaran limpa, anemia, tifoid, obat
penurun panas, sebagai pembersih darah, sebagai anthelmintik, sebagai obat untuk konstipasi,
hepatoprotektif, antioksidan, analgesik, antiinflamasi, antikanker, antialergi, efek relaksan
pada otot, immunosupressan, antidiabetes, antidepresan [14][15].

d. Peran Dalam Mengatasi Konstipasi


Efek pencahar disebabkan oleh aksi sennosides dan metabolit aktifnya, rhein-anthrone.
Antrakuinon menstimulasi sekresi Cl dan / atau menghambat penyerapan Na + menghasilkan
akumulasi cairan dan selanjutnya meningkatkan motilitas kolon. Mekanisme dari daun jati
cina ada dua, yaitu pengaruh pada motilitas usus besar: efek pencahar diwujudkan dengan
menghambat penyerapan air dan elektrolit dari usus besar, yang meningkatkan volume dan
tekanan isi usus. Ini akan merangsang motilitas usus besar yang menghasilkan kontraksi
pendorong. Mekanisme kedua yaitu pengaruh pada proses sekresi: Stimulasi sekresi klorida
aktif meningkatkan kadar air dan elektrolit usus. Perubahan dalam transpor elektrolit aktif ini
bergantung pada kalsium pada permukaan serosa [16].

2.4.2 Lidah Buaya (Aloe vera L.)


a. Klasifikasi tanaman
Tanamanan Lidah buaya klasifikasi sebagai berikut [19].
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Viridiplantae
Super Divisi : Embryophyta
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Magliopsida
Ordo : Asparagales
Famili : Asphodelaceae
Genus : Aloe
Spesies : Aloe vera L.

Gambar 2. Lidah Buaya (Aloe vera) [18]

b. Deskripsi
Tanaman ini cocok tumbuh di lahan yang gersang dan minim air, dengan ciri-ciri
berwarna hijau, daun berduri dan besar yang mengandung banyak gel. Batang tanaman
pendek, mempunyai daun yang bersap-sap melingkar. Panjang daun 40-90 cm, lebar 6-13 cm,
dengan ketebalan lebih kurang 2,5 cm dipangkal daun, serta bunga berbentuk lonceng [20].
c. Kandungan Kimia dan Khasiat
Dari segi kandungan nutrisi, gel atau egene, lidah buaya mengandung beberapa mineral,
seperti kalsium, magnesium, kalium, sodium, besi, zinc, dan kromium. Beberapa vitamin dan
mineral tersebut dapat berfungsi sebagai pembentuk antioksidan alami, seperti fenol,
flavonoid, vitamin C, vitamin E, vitamin A, dan magnesium. Secara kuantitatif, protein dalam
lidah buaya ditemukan dalam jumlah yang cukup kecil, akan tetapi secara kualitatif protein
gel lidah buaya kaya akan asam-asam amino essensial terutama leusin, lisin, valin, dan
histidin. Selain kaya akan asam-asam amino essensial, gel lidah buaya juga kaya akan asam
glutamat dan asam aspartat [20]. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa senyawa bioaktif
yang terdapat pada lidah buaya yaitu acemannan, glikoprotein, aloe emodin, lectin, aloin,
alomicin [21].
Lidah buaya dapat digunakan sebagai penyembuhan luka bakar, efek pelembab dan
anti-penuaan, pemulihan sistem kekebalan tubuh, antiinflamasi, antidiabetes, antimutagenik,
antioksidan, imunomodulator, antibakteri dan antifungi, efek pada sekresi asam lambung,
untuk nyeri sendi dan otot, laksatif serta antiseptik [22].
d. Peran Sebagai Konstipasi
Lidah buaya (Aloe vera) merupakan tanaman yang dapat mengatasi berbagai masalah
kesehatan salah satunya gangguan pada sistem pencernaan. Lidah buaya mengandung aloin
dan asam amino esensial. Lidah buaya memiliki efek pencahar (laksatif) yang disebabkan
kandungannya, berupa 1,8 dihidroksiantrasen glukosida, aloin A dan B (barbaloin). Setelah
penggunaan aloin A dan B secara oral maka akan menghasilkan aloe-emodin9-antron
(antrakinon) sebagai metabolit aktif. Antrakinon pada saluran penceranaan memiliki fungsi
sebagai stimulan dan mengiritasi saluran pencernaan sehingga menimbulkan efek pencahar
[18].
Zat yang terkandung pada eksudat daun lidah buaya adalah glikosida Hydroxy-
anthraquinone merupakan laksan yang poten, mempengaruhi motilitas usus besar
(penghambatan pompa Na+/K+dan kanal Cl pada membran kolon), mengakibatkan percepatan
waktu transit pada kolon, dan mempengaruhi proses sekresi mukus dan klorida yang
mengakibatkan peningkatan volume cairan. Turunan glikosida Hydroxy-anthraquinone yaitu
Aloe-emodin-anthrone yang dapat digunakan sebagai obat pencahar. Aloe-emodin-anthrone
akan direduksi menjadi Anthrone atau Anthranol dan akan merangsang sekresi mukosa kolon,
menghambat absorpsi air dan elektrolit sehingga feses menjadi lebih cair dan meningkatkan
peristaltik usus. Selain itu, Aloe-emodin berikatan dengan glukosa dan berkembang menjadi
molekul Barbaloin. Molekul tersebut menyebabkan pelepasan air dan elektrolit ke dalam
lumen kolon yang menyebabkan absorpsi air dan elektrolit terhambat sehingga feses lebih
cairdan volume di dalam rektum bertambah dan akan memacu tejadinya peristaltik. Kedua zat
tersebut yaitu Aloe-emodin-anthrone dan Barbaloin yang terkandung dalam daging daun lidah
buaya yang berkhasiat sebagai laksansia atau obat pencahar [18].

2.4.3 Adas (Foeniculum vulgare)


a. Klasifikasi Tanaman
Tanaman Adas klasifikasi sbagai berikut [24].
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Apiales
Famili : Apiaceae
Genus : Foeniculum P. Mill.
Spesies : Foeniculum vulgare P. Mill

Gambar 3. Adas (Foeniculum vulgare) [23].


b. Deskripsi
Tanaman adas memiliki batang berbentuk bulat. Warna pada batang muda yaitu hijau
muda atau pucat, sedangkan batang tua berwarna hijau muda kekuningan. Terdapat lapisan
sejenis lilin berwarna putih pada batang muda. Bentuk batang adas berbuku-buku dan dari
setiap bagian buku ini muncul cabang daun atau cabang bunga. Pada percabangan yang
terbentuk dari setiap buku tadi muncul daun adas yang berbentuk seperti jarum. Daun adas
muda memiliki warna hijau muda terang, sedangkan daun adas tua memiliki warna hijau
gelap. Daun adas memiliki stomata bertipe diacytic [25].
c. Kandungan Kimia dan Khasiat
Adas mengandung 9,5% protein, 10% lemak, 13,4% mineral, 18,5% serat, dan 42,3%
karbohidrat. Mineral dan vitamin yang terdapat di dalam adas yaitu kalsium, kalium, natrium,
besi, fosfor, tiamin, riboflavin, niasin, dan vitamin C. Adas juga terkenal dengan kandungan
minyak atsirinya. Komponen utama minyak atsiri adas yaitu trans-anethole, fenchone,
estragol (methyl chavicol), dan alpha-phellandrene [26]. Buah dan daun telah terbukti
mengandung sejumlah flavonoid (quercetin, isoquercetin, kaempferol 3- glucuronide, dan
kaempferol 3-arabinoside), fixed oil, protein, dan asam organik. Penggunaan adas terbanyak
yaitu bagian bijinya. Komponen penyusun biji adas yaitu golongan monoterpen, phenol, dan
golongan keton. Yang termasuk golongan phenol adalah anetol dan iso anetol 58.52%;
golongan monoterpen terdiri dari -pinen 3%, camphene 0.33%, α-limonene 3.5%; sedangkan
golongan keton adalah d-camphore 0.39%, fenchone 26.7% [27].
Beberapa ekstrak F. vulgare dan senyawa terisolasi telah diteliti yaitu sebagai
antipenuaan, antialergi, anticolitic, anti-inflamasi, antimikroba dan antivirus, antimutagenik,
antinociceptive, antipiretik, antispasmodik, antistresik, antotrombotik, anxiolitik
kardiovaskular, aksi kemomodulatori, sitoproteksi dan antitumor, sitotoksisitas, diuretik, sifat-
sifat estrogenik, ekspektoran, galaktogenik, efek gastrointestinal, hepatoprotektif,
hipoglikemik, hipolipidemik, aktivitas penambah memori, aktivitas otot [23].
d. Peran Sebagai Konstipasi
Adas digunakan sebagai pencahar dalam pengobatan gangguan pencernaan ringan
karena efek gastrointestinalnya, yaitu stimulasi motilitas dan, pada konsentrasi yang lebih
tinggi, tindakan antispasmodik [28]. Minyak atsiri adas dapat digunakan dalam mengatur
motilitas otot polos usus dan mengurangi gas usus. Adas jika dikombinasikan dengan obat-
obatan tanaman lain dapat diindikasikan sebagai pengobatan gangguan gastrointestinal
spastik, beberapa bentuk kolitis kronis, dispepsia dari atonia gastrointestinal, dyspepsias
dengan sensasi berat pada perut, dan sebagainya. Penambahan adas untuk tanaman lain yang
mengandung komponen antrakuinon dapat mengurangi sakit perut yang terjadi [23].

2.5 Teh
Penggunaan tanaman obat tradisional saat ini makin meningkat, seiring dengan
meningkatnya harga obat dan efek samping penggunaan obat modern. Kepercayaan akan
manfaat tanaman obat tersebut harus didukung data ilmiah. Teh herbal dapat dikonsumsi
sebagai minuman sehat yang praktis tanpa mengganggu rutinitas sehari-hari dan tetap
menjaga kesehatan tubuh. Definisi teh mengacu pada produk dari daun, kuncup daun dan ruas
dari tanaman. Teh ini dibuat dalam bentuk rajangan. Berdasarkan Permenkes RI no
661/MENKES/SK/VII/1994, rajangan adalah sediaan obat tradisional berupa potongan
simplisia, campuran simplisia, atau campuran simplisia dengan sediaan galenik, yang
penggunaannya dilakukan dengan pendidihan atau penyeduhan dengan air panas. Teh herbal
yang dibuat diharapkan dapat meningkatkan cita rasa dari tiap bahan yang digunakan tanpa
mengurangi khasiatnya [29].

BAB III
METODE/PROSEDUR KERJA
3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan
3.1.1 Tempat
Praktikum dilakukan di Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia Program Studi
Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA).
3.1.2 Waktu
Waktu praktikum dilaksanakan pada bulan Oktober sampai November 2019, dengan
rincian kegiatan :
Tabel 1. Jadwal Praktikum Farmasi Bahan Alam
Tanggal Kegiatan
11-10-2019 Persiapan bahan- bahan untuk praktikum
18-10-2019 Skrining Fitokimia dan Uji Secara KLT Kandungan Kimia
pada BAUK dan BAPK sebelum dijadikan bahan “Jamu”
25-10-2019 Pembuatan jamu segar dan evaluasi sediaan
01-11-2019 Optimasi jamu segar hasil evaluasi
08-11-2019 Pembuatan jamu instan
15-11-2019 Optimasi jamu instan hasil evaluasi
22-11-2019 Skrining fitokimia dan Uji Secara KLT Kandungaan Kimia
pada BAUK dan BAPK dari “Jamu Segar” dan “Jamu
Instan”
29-11-2019 Uji hedonik (kepuasan) terhadap jamu yang dibuat dan
kemasannya

3.2 Alat dan Bahan


Alat :
a. Pisau
b. Baskom
c. Timbangan
d. Aluminium foil
e. Sendok
f. Pelat silikca Gel 60 F254
g. Chamber

Bahan :
a. Daun Jati Cina
b. Daun Lidah buaya
c. Biji adas
d. Etanol 96%
e. Pereaksi Meyer
f. Pereaksi Bourchat
g. HCl pekat
h. Logam magnesium
i. FeCl3

3.3 Formula
3.3.1 Formula Jamu Konstipasi Oral
Tabel 2. Formula jamu konstipasi oral
No. Bahan Jumlah yang digunakan
1. Daun Jati Cina 1000 mg
2. Lidah buaya 330 mg
3. Biji adas 200 mg
4. Gula Pasir Secukupnya

Tabel 3. Formula jamu konstipasi oral


No. Bahan Jumlah yang digunakan
1. Daun Jati Cina 1000 mg
2. Lidah buaya 330 mg
3. Biji adas 200 mg
4. Daun Melati 150 mg

3.3.2 Fungsi Formula yang digunakan


Tabel 4. Fungsi Formula yang digunakan
Jumlah yang
No. Bahan Fungsi Khasiat
digunakan
1. Daun Jati Cina 1000 mg BAUK Laksatif
2. Lidah Buaya 330 mg BAUK Laksatif
3. Biji Adas 200 mg BAPK Antinyeri
4. Gula Pasir secukupnya BT Corigen
saporis

3.4 Cara Kerja


3.4.1 Skrining Fitokimia pada Bahan Sebelum Dijadikan Jamu
a. Pembuatan Larutan Uji Tiap Bahan Jamu
Daun jati cina, daun lidah buaya, dan biji adas dipotong-potong manjadi bagian yang
lebih kecil kemudian tiap bahan ditimbang sebanyak 5 g. Tiap bahan kemudian diekstrak
menggunakan pelarut etanol 95% sebanyak 50 mL. Campuran kemudian disonikasi selama 15
menit. Pisahkan maserat dari ampasnya kemudian uapkan pelarutnya menggunakan oven.
b. Pengujian Kandungan Alkaloid
Ekstrak ditimbang 0,5 mg kemudian ditambahkan 1 mL asam klorida 2 N dan 9 mL air
suling, dipanaskan diatas penangas air selama 2 menit. Kemudian didinginkan dan disaring.
Filtrat dipakai untuk percobaan sebagai berikut:
1. Filtrat sebayak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Meyer, akan terbentuk
endapan menggumpal bewarna putih atau kuning.
2. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Bouchardat, akan
terbentuk endapan berwarna coklat sampai hitam [30].
c. Pengujian Kandungan Flavonoid
Larutan uji dimasukan ke dalam tabung reaksi sebanyak 5 mL dan ditambahkan
beberapa tetes HCl pekat, kemudian ditambahkan 0,5 gram bubuk logam Magnesium. Hasil
positif ditunjukan dengan timbulnya warna merah muda hingga merah magenta selama 3
menit [31].
d. Pengujian Kandungan Steroid dan Triterpenoid
Sebanyak 0,5 mg ekstrak ditambahkan dengan 1 mL kloroform (CHCl3). Setelah itu
campuran dikocok, lalu ditambahkan masing-masing asetat anhidrat (C4H6O3) dan asam sulfat
(H2SO4) pekat sebanyak 2 tetes. Kemudian larutan dikocok perlahan dan dibiarkan selama
beberapa menit. Jika mengandung steroid maka larutan memberikan warna biru atau hijau dan
apabila mengandung triterpenoid maka larutan memberikan warna merah atau ungu.
e. Pengujian Kandungan Saponin
Sebanyak 0,5 g ekstrak dimasukan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml air
panas, didinginkan kemudian dikocok vertical selama 10 detik. Pembentukan busa setinggi 1-
10 cm yang stabil selama kurang dari 10 menit menunjukan adanya saponin. Pada
penambahan 1 tetes HCl 2 N, busa tidak hilang [30].
f. Pengujian Kandungan Minyak Atsiri
Terdapat beberapa cara untuk mengidentifikasi minyak atsiri, diantaranya seperti yang
tertera di bawah ini.
1) Teteskan 1 tetes minyak di atas air; permukaan air tidak keruh.
2) Pada sepotong kertas teteskan 1 minyak yang diperoleh dengan cara penyulingan uap;
tidak terjadi noda transparan
3) Kocok sejumlah minyak dengan larutan natrium klorida P jenuh volume sama, biarkan
memisah; volume air tidak boleh bertambah [32].
g. Pengujian Kandungan Tanin
Sebanyak 0,5 g ekstrak dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan
dengan 10 mL air panas, kemudian ditetesi menggunakan besi (III) klorida (FeCl 3),
keberadaan tanin dalam sampel ditandai dengan timbulnya warna hijau kehitaman.
h. Pengujian Kandungan Glikosida
Pemeriksaan glikosida dilakukan dengan reaksi Lieberman-Buchard. Ekstrak dilarutkan
dalam pelarut etanol, diuapkan di atas penangas air lalu dilarutkan dalam 5 mL asam asetat
anhidrida kemudian ditambah 10 tetes asam sulfat pekat. Terbentuknya warna biru atau hijau
menunjukkan adanya glikosida [33].
i. Pengujian Kandungan Glikosidan Antrakuinon
Sebanyak 50 mg ekstrak ditambahkan 10 mL air, kemudian dipanaskan selama 5 menit
dan disaring. Dimasukkan 3 mL larutan ke dalam 2 tabung reaksi, tabung reaksi I
ditambahkan beberapa tetes larutan NaOH 1 N, apabila positif maka terbentuk larutan
berwarna merah, sedangkan tabung reaksi II sebagai kontrol [34].
3.4.2 Uji Secara KLT Kandungan Kimia pada Bahan Sebelum Dijadikan Jamu
Uji KLT dilakukan pada ekstrak daun jati cina, ekstrak daun lidah buaya, dan ekstrak
biji adas. Uji KLT dilakukan sebagai berikut:
a. Uji KLT Ekstrak Daun Jati Cina
Disiapkan fase diam berupa pelat silika Gel 60 F254 berukuran 3 x 10 cm yang telah
dicuci dengan metanol dan diaktivasi pada suhu 110°C di dalam oven selama 10 menit.
Disiapkan fase gerak dengan mencampur 8,1 mL etil asetat P, 1,1 mL metanol P, dan 0,8 mL
air. Ekstrak daun jati cina ditimbang sebanyak 20 mg kemudian dilarutkan dalam 2 mL etanol.
Ditotolkan ekstrak daun jati cina sebanyak 5 µL kemudian dielusi menggunakan fase gerak
dalam chamber yang telah dijenuhkan. Setelah dielusi, disemprot pelat dengan kalium
hidroksida etanol LP kemudian diamati di bawah sinar UV 366 nm [35]. Adanya antrakuinon
ditunjukkan dari bercak yang berwarna merah muda [36].

b. Uji KLT Ekstrak Daun Lidah Buaya


Disiapkan fase diam berupa pelat silika Gel 60 F254 berukuran 3 x 10 cm yang telah
dicuci dengan metanol dan diaktivasi pada suhu 110°C di dalam oven selama 10 menit.
Disiapkan fase gerak dengan mencampur 7,7 mL etil asetat P, 1,3 mL metanol P, dan 1 mL
air. Ekstrak daun lidah buaya ditimbang sebanyak 2 mL kemudian dilarutkan dalam 2 mL
etanol. Ditotolkan ekstrak daun lidah buaya sebanyak 5 µL kemudian dielusi menggunakan
fase gerak dalam chamber yang tehal dijenuhkan. Setelah dielusi, disemprot pelat dengan
kalium hidroksida etanol LP kemudian diamati di bawah sinar UV 366 nm [35]. Adanya
antrakuinon ditunjukkan dari bercak yang berwarna merah muda [36].
c. Uji KLT Ekstrak Biji Adas
Disiapkan fase diam berupa pelat silika gel 60 F254 berukuran 3 x 10 cm yang telah
dicuci dengan metanol dan diaktivasi pada suhu 110°C di dalam oven selama 10 menit.
Disiapkan fase gerak dengan mencampur 9 mL toluen P dan 1 mL etil asetat P. Ekstrak biji
adas ditimbang sebanyak 0,2 mL kemudian dilarutkan dalam 2 mL etanol. Ditotolkan ekstrak
biji adas sebanyak 20 µL kemudian dielusi menggunakan fase gerak dalam chamber yang
telah dijenuhkan. Setelah dielusi diamati di bawah sinar UV 254 nm.
3.4.3 Pembuatan Jamu Segar dan Evaluasi Sediaan
Disiapkan semua bahan meliputi daun jati cina, daun lidah buaya, dan biji adas. Semua
bahan dalam keadaan segar. Dibersihkan semua bahan menggunakan air bersih. Dipotong-
potong daun jati cina dan biji adas. Dikupas kulit daun lidah buaya kemudian diambil dan
dipotong daging daunnya. Ditimbang potongan daun jati cina sebanyak 1000 mg, potongan
daging daun lidah buaya sebanyak 330 mg, dan potongan biji adas sebanyak 200 mg. Semua
bahan kemudian diseduh dalam 150 mL air minum panas (90°C) selama 3-5 menit. Pisahkan
air hasil seduhan dari ampas semua bahan.
Evaluasi sediaan dilakukan melalui uji organoleptis air hasil seduhan. Diamati warna
dan aroma serta dicicipi rasa teh. Warna teh sesuai standar adalah hijau kekuningan sampai
merah kecokelatan. Sementara rasa dan aromanya yaitu khas teh bebas asing.
3.4.4 Optimasi Jamu Segar Hasil Evaluasi
Optimasi jamu segar dilakukan dengan melakukan penambahan gula pasir jika rasanya
dianggap terlalu pahit. Penambahan gula pasir dilakukan hingga diperoleh rasa pahit air
seduhan sudah cukup tertutupi oleh rasa manis gula pasir. Aspek rasa yang diamati meliputi
kekuatan rasa dan ada tidaknya rasa asing. Kekuatan rasa adalah kombinasi rasa yang
membentuk rasa khas teh dan kekuatan rasa penyedap yang sengaja ditambahkan. Rasa asing
adalah rasa yang menyimpang dari rasa khas teh maupun rasa penyedap yang ditambahkan.
Selain rasa, juga dinilai aroma teh yang meliputi aroma khas teh dan aroma penyedap
yang sengaja di tambahkan serta ada tidaknya aroma asing bukan teh maupun bukan bau
penyedap yang sengaja ditambahkan [38].
3.4.5 Pembuatan Jamu Instan
Jamu instan yang dibuat untuk melancarkan buang air besar berupa rajangan yang
terdiri atas daun jati cina, daun lidah buaya, dan biji adas. Disiapkan semua bahan meliputi
daun jati cina, daun lidah buaya, dan biji adas. Biji adas dan daun jati cina dirajang, sementara
daun lidah buaya dikupas kulitnya kemudian diambil dan dipotong daging daunnya. Rajangan
daun jati cina, biji adas, dan potongan daging lidah buaya dikeringkan dalam oven pada suhu
50°C.
Bahan-bahan yang telah dikeringkan kemudian ditimbang. Ditimbang potongan daun
jati cina sebanyak 1000 mg, potongan daun lidah buaya sebanyak 330 mg, dan potongan biji
adas sebanyak 200 mg. Bahan yang telah ditimbang kemudian dimasukkan dalam kantung
teh. Penimbangan bahan dan pengemasan dalam kantung teh dilakukan hingga diperoleh 10
kantung teh. Kantung-kantung teh yang telah berisi bahan dimasukkan dalam kemasan
sekunder.
3.4.6 Optimasi Jamu Instan dan Evaluasi Sediaan
Optimasi jamu instan dilakukan dengan mengoptimasi bentuk jamu instan dalam bentuk
serbuk instan. membandingkan organoleptis air hasil seduhan rajangan bahan dan serbuk
bahan. Serbuk instan dibuat dengan terlebih dahulu membuat rajangan bahan seperti pada
pembuatan rajangan dalam pembuatan jamu instanmemanaskan rajangan bahan kering di atas
kompor dengan penambahan air. Air seduhan kemudian dipisahkan dari rajangan bahan
kemudian ditambahkan gula pasir sebanyak 3 sendok teh. Campuran ini kemudian terus
dipanaskan dengan api kecil dambil terus diaduk hingga diperoleh serbuk. Rajangan
kemudian direbus dengan penambahan gula pasir sebanyak yang ditambahkan pada optimasi
jamu segar. Rajangan direbus hingga seluruh air yang digunakan untuk merebus habis
menguap. Sisa rajangan ini kemudian dibuat menjadi serbuk baik menggunakan mortir dan
stamper ataupun menggunakan blender. Serbuk kemudian diayak lalu , lalu dimasukkan ke
dalam kantong teh. Serbuk dalam kantong teh ini kemudian diseduh dengan 200 mL air
minum panas (90°C) selama 3-5 menit. Rajangan dalam kantung teh yang dibuat dalam
pembuatan jamu instan juga diseduh dengan 200 mL air minum panas (90°C) selama 3-5
menit. Air hasil seduhan serbuk dan rajangan ini kemudian dievaluasi organoleptisnya dan
dibandingkan satu sama lain.
Selain itu, juga dilakukan pengukuran kadar air pada rajangan atau serbuk agar
kadarnya tidak melebihi 8%. Pengukuran kadar air dilakukan metode destilasi. Ditimbang
saksama sejumlah rajangan lalu dimasukkan ke dalam labu. Kemudian dimasukkan lebih
kurang 200 mL toluen jenuh air ke dalam labu, lalu dipasang rangkaian alat. Dimasukkan
toluen jenuh air ke dalam tabung penerima melalui pendingin sampai leher alat penampung.
Kemudian dipanaskan labu hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen mulai mendidih, diatur
penyulingan dengan kecepatan lebih kurang 2 tetes tiap detik hingga sebagian besar air
tersuling, kemudian naikkan kecepatan penyulingan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua
air tersuling, bagian dalam pendingin dicuci dengan toluen jenuh air, sambil dibersihkan
dengan sikat tabung yang disambungkan pada sebuah kawat tembaga dan telah dibasahi
dengan toluen jenuh air. Kemudian dilanjutkan penyulingan selama 5 menit, lalu didinginkan
tabung penerima hingga suhu ruang. Jika ada tetes air yang melekat, digosok tabung
pendingin dan tabung penerima dengan karet yang diikatkan pada sebuah kawat tembaga dan
dibasahi dengan toluen jenuh air hingga tetesan air turun. Kemudian dibaca volume air setelah
air dan toluen memisah sempurna, lalu dihitung kadar air dalam % v/b [35].
Selain uji organoleptis dan kadar air, sebenarnya dilakukan pengujian terhadap
parameter cemaran mikroba, aflatoksin total, cemaran logam berat, dan adanya bahan
tambahan.
a. Cemaran mikroba.
• Angka Lempeng Total : ≤ 106 koloni/g
• Angka Kapang Khamir : ≤ 104 koloni/g
• Escherichia coli : negatif/g
• Salmonella spp : negatif/g
• Pseudomonas aeruginosa : negatif/g
• Staphylococcus aureus : negatif/g d
b. Aflatoksin total (aflatoksin B1, B2, G1 dan G2)
Kadar aflatoksin total (aflatoksin B1, B2, G1 dan G2) ≤ 20 ≠ g/kg dengan syarat
aflatoksin B1 ≤ 5 ≠ g/kg.
c. Cemaran Logam Berat
• Pb: ≤ 10 mg/kg atau mg/L atau ppm
• Cd: ≤ 0,3 mg/kg atau mg/L atau ppm
• As: ≤ 5 mg/kg atau mg/L atau ppm
• Hg: ≤ 0,5 mg/kg atau mg/L atau ppm
3.4.7 Skrining Fitokimia pada Jamu Segar dan Jamu Instan
Skrining fitokimia pada jamu segar dan jamu instan dilakukan serupa dengan skrining
fitokimia pada bahan segar jamu. Namun, dalam penyiapan larutan ujinya, pada jamu segar
yang digunakan sebagai larutan uji adalah air hasil seduhan bahan segar pada saat pembuatan
jamu segar. Sementara larutan uji dalam skrining jamu instan yang digunakan adalah air hasil
seduhan rajangan bahan yang sudah dikeringkan.
3.4.8 Uji Secara KLT Kandungan Kimia pada Jamu Segar dan Jamu Instan
Uji KLT kandungan kimia pada jamu segar dilakukan pada air hasil seduhan bahan
segar, sementara uji KLT pada jamu instan dilakukan pada air hasil seduhan rajangan kering.
Uji KLT pada jamu segar dan jamu instan yang dilakukan terdiri atas uji KLT untuk
mendeteksi antrakuinon dan uji KLT untuk mendeteksi trans-anetol.
a. Uji KLT untuk Mendeteksi Antrakuinon
Disiapkan fase diam berupa pelat silika gel 60 F254 berukuran 3 x 10 cm yang telah
dicuci dengan metanol dan diaktivasi pada suhu 110°C di dalam oven selama 10 menit.
Disiapkan fase gerak dengan mencampur 8,1 mL etil asetat P, 1,1 mL metanol P, dan 0,8 mL
air. Larutan uji diukur sebanyak 0,02 mL kemudian dilarutkan dalam 2 mL metanol P.
Ditotolkan larutan uji sebanyak 5 µL kemudian dielusi menggunakan fase gerak dalam
chamber yang telah dijenuhkan [35]. Adanya antrakuinon ditunjukkan dari bercak yang
berwarna merah muda [36].
b. Uji KLT untuk Mendeteksi trans-anetol
Disiapkan fase diam berupa pelat silika gel 60 F254 berukuran 3 x 10 cm yang telah dicuci
dengan metanol dan diaktivasi pada suhu 110°C di dalam oven selama 10 menit. Disiapkan
fase gerak dengan mencampur 9 mL toluene P dan 1 mL etil asetat P. Ekstrak biji adas
ditimbang sebanyak 2 mg kemudian dilarutkan dalam 2 mL etanol. Ditotolkan ekstrak biji
adas sebanyak 20 µL kemudian dielusi menggunakan fase gerak dalam chamber yang telah
dijenuhkan. Setelah dielusi diamati di bawah sinar UV 254 nm [37].

3.5 Gambar Kemasan


a. Kemasan

b. Etiket
3.6 Cara Evaluasi Mutu Sediaan Jamu
3.6.1 Evaluasi Organoleptis
Uji organoleptis merupakan uji secara visual dengan alat indra yang mana pada
praktikum ini dilakukam pengamatan warna, bau, rasa, dan tekstur [41].
Tabel 5. Evaluasi Organoleptis
Sediaan
No. Organoleptis Jamu 1 Jamu 2
(Jamu Segar) (Jamu Instan)
1. Warna
2. Bau
3. Rasa
4. Tekstur

3.6.2 Evaluasi Kemasan


Evaluasi kemasan sediaan jamu dilakukan dengan mengamati kelengkapan pada brosur
dan penandaan pada kemasan sekunder [42]
Tabel 6. Evaluasi kemasan
No Evaluasi Kemasan Keterangan
1. Merk
2. Kemasan
3. Label
4. No. Registrasi
5. Logo Jamu
6. Nama Produsen
7. Komposisi Jamu
8. Peringatan
9. Dosis
10. Tanggal Kadaluarsa

3.6.3 Evaluasi Hedonik (Uji Kesukaan)


Evaluasi hedonik adalah uji yang berhubungan dengan tanggapan pribadi berupa atau
tanggapan senang atau tidaknya terhadap suatu produk (Dewi dan Lestari, 2016). Teknik
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah random sampling, yaitu
pengambilan sampel dilakukan secara acak sehingga subyek didalam populasi dianggap sama.
Tabel 7. Lembar Uji Hedonik
Nama Panelis : Produk : Jamu Konstipasi Oral
Pria/ Wanita : Tanggal :
Jenis Sangat Suka Suka Tidak Suka Sangat Tidak
Pengujian Suka

Penampilan
Aroma
Warna
Rasa
Kenampakan
Endapan

Saran : .........................................................................................................................
..........................................................................................................................
.........................................................................................................................

3.7 Cara Analisis Data


Jumlah panelis yang digunakan dalam uji hedonik sebanyak 50 orang. Selanjutnya
dilakukan perhitungan dari masing-masing jenis pengujian dengan :

Tabel 8. Perhitungan Uji Hedonik


Tingkat Indikator
Penampilan Aroma Warna Rasa Kenampakan Endapan
Kesukaan
F % f % f % f % f % f %
STS
TS
S
SS
Jumlah
Keterangan :
f : frekuensi
STS : Sangat Tidak Suka
TS : Tidak Suka
S : Suka
SS : Sangat Suka
Cara analisa data sesuai tabel diatas, dapat digunakan rumus [43].:
3.8 Skema Kerja
3.8.1 Skrining Fitokimia pada Bahan Sebelum dijadikan Jamu
a. Pembuatan Ekstrak Tiap Bahan Jamu

Disiapkan dan dicuci alat serta bahan yang akan digunakan

Dipotong- potong daun senna, lidah buaya, dan biji adas menjadi bagian yang lebih
kecil, kemudian ditimbang 5 gram

Diekstrak masing- masing bahan dengan pelarut etanol 95% sebanyak 50 mL

Disonikasi masing- masing campuran selama 15 menit

Dipisahkan maserat dari ampasnya kemudian diuapkan pelarutnya


menggunakan oven.

b. Pengujian Kandungan Alkaloid [30].

Ditimbang masing- masing ekstrak 0,5 mg kemudian ditambahkan 1 mL asam


klorida 2 N dan 9 mL air suling

Campuran didinginkan kemudian disaring. Dibagi campuran menjadi 2 di kaca


preparat :
Kaca Preparat I : Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan
pereaksi Meyer, akan terbentuk endapan menggumpal
bewarna putih atau kuning
Kaca Preparat II : Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan
pereaksi Bouchardat, akan terbentuk endapan berwarna
coklat sampai hitam

c. Pengujian Kandungan Flavonoid [31].

Dimasukkan larutan uji sebanyak 5 mL kedalam tabung reaksi

Ditambahkan beberapa tetes HCl pekat, kemudian ditambahkan 0,5 gram bubuk
logam Magnesium
Hasil positif ditunjukan dengan timbulnya warna merah muda hingga merah
magenta selama 3 menit

d. Pengujian Kandungan Steroid dan Triterpenoid

Ditimbang masing- masing ekstrak 0,5 mg lalu ditambahkan 1 mL kloroform


(CHCl3)

Campuran dikocok kemudian ditambahkan masing-masing asetat anhidrat (C4H6O3)


dan asam sulfat (H2SO4) pekat sebanyak 2 tetes

Dikocok campuran perlahan dan dibiarkan selama beberapa menit

Hasil positif steroid memberikan warna biru atau hijau dan apabila mengandung
triterpenoid maka larutan memberikan warna merah atau ungu

e. Pengujian Kandungan Saponin [30].

Ditimbang masing- masing ekstrak 0,5 mg kemudian dimasikkan ke dalam tabung


reaksi

Ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok vertikal selama 10


detik

Hasil positif ditandai terbentuknya busa setinggi 1-10 cm yang stabil selama kurang
dari 10 menit menunjukan adanya saponin. Pada penambahan 1 tetes HCl 2 N, busa
tidak hilang

f. Pengujian Kandungan Minyak Atsiri [30].

Diteteskan 1 tetes minyak diatas air

Hasil positif ditandai permukaan air tidak keruh

g. Pengujian Kandungan Tanin


Dimasukkan 0,5 g masing- masing ekstrak kedalam tabung reaksi
Ditambahkan dengan 10 mL air panas, kemudian ditetesi menggunakan besi (III)
klorida (FeCl3)

Hasil positif ditandai dengan terbentuknya warna hijau kehitaman

h. Pengujian Kandungan Glikosida [33].

Dilarutkan ekstrak dengan pelarut etanol

Diuapkan di atas penangas air lalu dilarutkan dalam 5 mL asam asetat anhidrida
kemudian ditambah 10 tetes asam sulfat pekat.

Hasil positif ditandai terbentuknya warna biru atau hijau menunjukkan adanya
glikosida

i. Pengujian Kandungan Glikosida Antrakuinon [34].

Ditimbang ekstrak sebanyak 50 mg kemudian ditambahkan 10 mL air

Dipanaskan selama 5 menit dipenangas air lalu disaring

Dimasukkan 3 mL larutan ke dalam 2 tabung reaksi yang berbeda yaitu tabung I dan
II

Tabung reaksi I ditambahkan beberapa tetes larutan NaOH 1 N sedangkan Tabung II


sebagai kontrol

Hasil positif terbentuk larutan berwarna merah

3.8.2 Uji Secara KLT Kandungan Kimia pada Bahan Sebelum Dijadikan Jamu
a. Uji KLT Ekstrak Daun Jati Cina

Disiapkan fase diam berupa pelat silika Gel 60 F254 berukuran 3 x 10 cm yang telah
dicuci dengan metanol dan diaktivasi pada suhu 110°C di dalam oven selama 10
menit

Ditotolkan ekstrak Daun Jati Cina sebanyak 5 µL kemudian dielusi menggunakan


fase gerak dalam chamber yang telah dijenuhkan.
Disiapkan fase gerak dengan mencampur 8,1 mL etil asetat P, 1,1 mL metanol P, dan
0,8 mL

Ditimbang ekstrak Daun Jati Cina sebanyak 20 mg kemudian dilarutkan dalam 2 mL


etanol

Adanya antrakuinon ditunjukkan dari bercak yang berwarna merah muda

b. Uji KLT Ekstrak Daun Lidah Buaya

Disiapkan fase diam berupa pelat silika xx berukuran 3 x 10 cm yang telah dicuci
dengan metanol dan diaktivasi pada suhu 110°C di dalam oven selama 10 menit

Disiapkan fase gerak dengan mencampur 7,7 mL etil asetat P, 1,3 mL metanol P, dan
1 mL air

Ditimbang ekstrak lidah buaya sebanyak 2 mL kemudian dilarutkan dalam 2 mL


etanol

Ditotolkan ekstrak daun lidah buaya sebanyak5 µL kemudian dielusi menggunakan


fase gerak dalam chamber yang telah dijenuhkan. Setelah dielusi, disemprot pelat
dengan kalium hidroksida etanol LP kemudian diamati di bawah sinar UV 366 nm

Adanya antrakuinon ditunjukkan dari bercak yang berwarna merah muda

c. Uji KLT Ekstrak Biji Adas

Disiapkan fase diam berupa pelat silika gel 60 F254 berukuran 3 x 10 cm yang telah
dicuci dengan metanol dan diaktivasi pada suhu 110°C di dalam oven selama 10
menit
Disiapkan fase gerak dengan mencampur 9 mL toluene P dan 1 mL etil asetat P

Ditimbang ekstrak biji adas sebanyak 2 mL kemudian dilarutkan dalam 2 mL etanol

Ditotolkan ekstrak biji adas sebanyak 20 µL kemudian dielusi menggunakan fase


gerak dalam chamber yang telah dijenuhkan

Setelah dielusi diamati di bawah sinar UV 254 nm

3.8.3 Pembuatan Jamu Segar dan Evaluasi Sediaan

Disiapkan semua bahan- bahan yang digunakan dalam keadaan segar meliputi daun
senna, daun lidah buaya, dan biji adas, kemudian dicuci dengan air bersih

Dipotong-potong Daun Jati Cina dan biji adas. Dikupas kulit daun lidah buaya
kemudian diambil dan dipoton daging daunnya.

Ditimbang potongan Daun Jati Cina sebanyak 6,534 g, potongan daging daun lidah
buaya sebanyak 2,155 g, dan potongan biji adas sebanyak 1,307 g

Semua bahan kemudian diseduh dalam 1 L air minum panas (90°C) selama 3-5
menit. Pisahkan air hasil hasil seduhan dari ampas semua bahan

Evaluasi sediaan dilakukan melalui uji organoleptis air hasil seduhan. Diamati warna
dan aroma serta dicicipi rasa teh. Warna teh sesuai standar adalah hijau kekuningan
sampai merah kecokelatan. Sementara rasa dan aromanya yaitu khas teh bebas asing.

3.8.4 Optimasi Jamu Segar Hasil Evaluasi


3.8.5 Pembuatan Jamu Instan

Disiapkan semua bahan meliputi daun jati cina, daun lidah buaya, dan biji adas
dalam keadaan segar
Dilayukan daun jati cina yang utuh pada suhu ruang selama 18 jam. Selama
pelayuan dilakukan pembalikkan daun sebanyak dua sampai tiga kali. itu, biji adas
dipotong-potong hingga kecil. Daun lidah buaya dikupas kulitnya kemudian diambil
dan dipotong daging daunnya.

Daun jati cina dirajang hingga menjadi bagian yang kecil. Rajangan daun jati cina,
potongan biji adas dan daun lidah buaya kemudian dikeringkan dalam oven pada
suhu 50°C hingga diperoleh kadar air seluruh bahan tidak lebih dari 8%.

Ditimbang potongan- potongan kering daun jati cina sebanyak 1.307 g, potongan
daging daun lidah buaya sebanyak 431 mg, dan potongan biji adas sebanyak 261 g.

Bahan yang telah ditimbang kemudian dimasukkan dalam kantung teh. Penimbangan
bahan dan pengemasan dalam kantung teh dilakukan hingga diperoleh 10 kantung
teh. Kantung-kantung teh yang telah berisi bahan dimasukkan dalam kemasan
sekunder.

3.8.6 Optimasi Jamu Instan dan Evaluasi Sediaan


3.8.7 Skrining Fitokimia pada Jamu Segar dan Jamu Instan

Skrining fitokimia pada jamu segar dan jamu instan dilakukan serupa dengan
skrining fitokimia pada bahan segar jamu

Larutan uji pada jamu segar digunakan air hasil seduhan bahan segar, sedangkan
larutan uji dalam skrining jamu instran yang digunakan adalah hasil seduhan
rajangan yang sudah dikeringkan

3.8.8 Uji Secara KLT Kandungan Kimia pada Jamu Segar dan Jamu Instan

Pengujian dengan KLT dilakukan pada jamu segar dengan air hasil seduhan
sementara uji KLT pada jamu instan dilakukan pada air hasil seduhan rajangan
kering.

Dilakukan uji KLT yang untuk mendeteksi antrakuinon dan mendeteksi trans-anetol

a. Uji KLT untuk Mendeteksi Antrakuinon


Pengujian KLT untuk mendeteksi Antrakuinon diawali dengan penyiapan fase diam
berupa pelat silika gel 60 F254 berukuran 3 x 10 cm yang telah dicuci dengan
metanol dan diaktivasi pada suhu 110°C di dalam oven selama 10 menit

Disiapkan fase gerak dengan mencampur 8,1 mL etil asetat P, 1,1 mL metanol P, dan
0,8 mL air

Larutan uji diukur sebanyak 0,02 mL kemudian dilarutkan dalam 2 mL metanol P.


Ditotolkan larutan uji sebanyak 5 µL kemudian dielusi menggunakan fase gerak
dalam chamber yang telah dijenuhkan

Adanya antrakuinon ditunjukkan dari bercak yang berwarna merah muda

b. Uji KLT untuk Mendeteksi Trans-anetol

Disiapkan fase diam berupa pelat silika gel 60 F254 berukuran 3 x 10 cm yang telah
dicuci dengan metanol dan diaktivasi pada suhu 110°C di dalam oven selama 10
menit

Disiapkan fase gerak dengan mencampur 9 mL toluene P dan 1 mL etil asetat P

Ditimbang ekstrak biji adas sebanyak 2 mL kemudian dilarutkan dengan 2 mL etanol

Ditotolkan ekstrak biji adas sebanyak 20 µL kemudian dielusi menggunakan fase


gerak dalam chamber yang telah dijenuhkan

Setelah dielusi diamati di bawah sinar UV 254 nm


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Penyiapan Bahan-bahan
1. Daun jati cina, biji adas diperoleh dari Pasar Badung dan lidah buaya diperoleh dari
halaman rumah masing-masing.
2. Semua bahan tersebut dicuci bersih dengan air mengalir, daun jati cina kering dan
biji adas disortasi, dan dipisahkan kulit daun lidah buaya diambil dagingnya.
3. Seluruh bahan dipotong hingga menjadi rajangan.
Tabel 9. Bahan-bahan yang digunakan
Daun jati cina 1000 mg
Biji adas 200 mg
Lidah buaya 330 mg

Penyiapan bahan-bahan sebagai berikut:


Gambar 4. Penyiapan bahan-bahan jamu

4.1.2 Skrining Fitokimia dan Uji secara KLT Kandungan Kimia pada BAUK dan BAPK
Sebelum Dijadikan Bahan Jamu
Hasil skrining fitokimia dan uji secara KLT kandungan kimia pada BAUK dan BAPK
sebelum dijadikan bahan jamu disajikan pada tabel 10.

Tabel 10.Skrining Fitokimia danUji secara KLT pada Kandungan Kimia pada BAUK dan
BAPK Sebelum Dijadikan Jamu Segar
Skrining Minyak Steroid atau Glikosida
Saponin Tanin Flavonoid Alkaloid
Fitokimia Atsiri Triterpenoid Antrakuinon
Daun Jati
Cina - - - + + - +

Daun Lidah
- - - - - - +
Buaya
Biji Adas - + - - - - -

Hasil kromatografi lapis tipis daun jati cina dan daun lidah buaya sebagai berikut:
Gambar 5. Visualisasi pelat dibawah UV 254 nm (kiri) dan 366 nm (kanan)
dengan (A) daun jati cina dan (B) daun lidah buaya

 Sampel daun jati cina:

Intepretasi: Bercak tidak mengandung antrakuinon


 Sampel daun lidah buaya: tidak teramati bercak
 Intepretasi: Sampel tidak mengandung antrakuinon
Hasil kromatografi lapis tipis biji adas sebagai berikut:

Gambar 6. Visualisasi plat sampel biji adas dibawah UV 254 nm


Nilai Rf yang dihasilkan dari kromatografi lapis tipis sebagai berikut:

Intepretasi: Karena hanya


terdapat satu bercak dan bercak memiliki Rf yang mendekati Rf trans-anetol
(yaitu 0,25), maka bercak diduga mengandung trans-anetol.

4.1.3 Pembuatan dan Evaluasi Jamu Segar


Pembuatan dan hasil evaluasi jamu segar sebagai berikut:
Tabel 11. Pembuatan dan Evaluasi Jamu Segar
Pembuatan Jamu Segar Evaluasi Jamu Segar
Daun jati cina 1000 mg Aroma : aroma didominasi oleh biji adas

Lidah buaya 330 mg Warna : coklat kemerahan


Biji Adas 200 mg
Rasa : rasa khas teh tawar

4.1.4 Optimasi Jamu Segar dan Evaluasi Hasil Optimasi


Optimasi jamu segar dan hasil evaluasi optimasi jamu segar sebagai berikut:
Table 12. Optimasi dan Evaluasi Hasil Optimasi Jamu Segar
Optimasi Pembuatan Jamu Segar Evaluasi Hasil Optimasi Jamu Segar
Daun jati cina 1000 mg Variasi A

Lidah buaya 330 mg Aroma : aroma didominasi daun jati


cina sebelum ditambahkan
Biji adas 200 mg
bunga melati, setelah
Gula dan atau madu Secukupnya dilakukan penambahan bunga

Bunga melati 1 buah bunga melati maka aromanya bunga


melati

Rasa : tawar dengan sedikit rasa


daun jati

Warna : merah kecoklatan


Variasi B

Aroma : aroma didominasi daun jati


cina sebelum ditambahkan
bunga melati, setelah
dilakukan penambahan bunga
melati maka aromanya bunga
melati

Rasa : manis pas yang diperoleh


setelah penambahan satu
sendok teh gula pasir

Warna : merah kecoklatan


Variasi C

Aroma : aroma didominasi daun jati


cina sebelum ditambahkan
bunga melati, setelah
dilakukan penambahan bunga
melati maka aromanya bunga
melati

Rasa : manis pas yang diperoleh setelah


penambahan tiga sendok teh
madu

Warna : merah kecoklatan

4.1.5 Pembuatan Jamu Instan


Diperoleh air seduhan jamu instan dengan karakteristik sebagai berikut:
Tabel 13. Hasil Evaluasi Organoleptis Jamu Instan
Parameter Keterangan
Bau Bau jati cina yang diseduh bercampur aroma melati dan adas
Warna Merah kecoklatan
Rasa Khas teh jati cina dengan rasa yang manis

4.1.6 Optimasi dan Evaluasi Hasil Optimasi Jamu Instan


Diperoleh serbuk instan dengan bobot 9,068 Gram berwarna cokelat muda. Penampakan
serbuk instan ditampilkan pada gambar 7. X.

Gambar 7. Serbuk Instan Jamu Instan


Evaluasi organoleptis jamu instan berupa serbuk dibandingkan dengan rajangan
disajikan dalam tabel 14.
Tabel 14. Hasil Evaluasi Organoleptis Optimasi Jamu Instan
Parameter Rajangan Serbuk Instan
Bau khas teh dengan bau seduhan
Bau jati cina yang diseduh
Bau daun jati cina, karamel, dan bunga
bercampur aroma melati dan adas
melati
Warna Merah kecoklatan Merah kecokelatan gelap
Khas teh jati cina dengan rasa Khas teh jati cina dengan rasa yang
Rasa
yang manis lebih manis

4.1.7 Skrining Fitokimia dan Uji secara KLT Kandungan Kimia pada BAUK dan BAPK
dari Jamu Segar dan Jamu Instan
Hasil skrining fitokimia kandungan daun jati cina, lidah buaya, dan biji adas sebagai
berikut.
Tabel 2.Skrining Fitokimia kandungan kimia pada BAUK dan BAPK dari Jamu Segar dan
Jamu Instan
Skrining Minyak Steroid atau Glikosida
Saponin Tanin Flavonoid Alkaloid
Fitokimia Atsiri Triterpenoid Antrakuinon
Jamu Segar - + - - - - -
Jamu Instan + + + + + - +

4.1.8 Hasil Kromatografi Lapis Tipis Jamu Segar dan Jamu Instan
a. Deteksi Trans-Anetol
Penampakan pelat untuk mendeteksi trans-anetol dengan tiga mode pengamatan
disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Penampakan pelat setelah elusi dengan (kiri) pengamatan sinar


tampak, (tengah) pengamatan UV 254 nm, dan (kanan) pengamatan
UV 366 nm
Perhitungan Rf pada bercak dilakukan dengan melakukan penandaan pada bercak yang
teramati. Penandaan bercak disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Penandaan bercak yang diduga mengandung trans-anetol

 Jamu instan:

 Jamu segar:

b. Deteksi Antrakuinon
Penampakan pelat untuk mendeteksi antrakuinon dengan tiga mode pengamatan
disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Penampakan pelat setelah elusi dimana (A) sebelum dan (B) setelah
penyemprotan KOH alkoholis 10%

Penandaan bercak untuk perhitungan Rf disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Penandaan bercak untuk perhitungan Rf (A) sebelum dan (B) setelah
penyemprotan KOH alkoholis 10%

 Jamu Segar
Sebelum penyemprotan KOH alkoholis 10%
 Pengamatan Visual
(Tidak teramati bercak)
 Pengamatan UV 254 nm

 Pengamatan UV 366 nm
(Tidak teramati bercak yang dapat dihitung Rf-nya)
Setelah penyemprotan KOH alkoholis 10%
 Pengamatan Visual
(Tidak teramati bercak)
 Pengamatan UV 254 nm

 Pengamatan UV 366 nm
(Tidak teramati bercak yang dapat dihitung Rf-nya)
 Jamu Instan
Sebelum penyemprotan KOH alkoholis 10%
 Pengamatan Visual
(Tidak teramati bercak)
 Pengamatan UV 254 nm

 Pengamatan UV 366 nm
(Tidak teramati bercak)
Setelah penyemprotan KOH alkoholis 10%
 Pengamatan Visual

 Pengamatan UV 254 nm

 Pengamatan UV 366 nm

4.1.9 Hasil Uji Hedonik


Hasil uji hedonik terhadap jamu instan yang dibuat, disajikan pada tabel 10.
Tabel 10. Hasil uji hedonik
Jumlah Responden Persentase
Parameter
Sangat Suka Suka Sangat Suka Suka
Penampilan 18 12 60 % 40 %
Aroma 18 12 60 % 40 %
Warna 17 13 56,6 % 43,4 %
Rasa 19 11 63,3 % 36,7 %
Kemasan 18 12 60 % 40 %

Tidak terdapat responden yang memberikan penilaian tidak suka dan sangat tidak suka.
Saran-saran yang sebagian besar diberikan oleh responden :
- Rasa teh sebaiknya dibuat lebih manis
- Produk dikembangkan menjadi serbuk instan
- Tutup kemasan sekunder diperbaiki
- Tali kantong the teh celup ditambahkan pegangan
- Kemasan dibuat lbih lebih menarik lagi
- Pada kemasan ditambahkan komposisi serta diindikasi dan kontraindikasi sesuai
literatur.

4.2 Pembahasan
Pratikum ini dilakukan pembuatan sediaan jamu konstipasi dengan komposisi bahan
antara lain daun jati cina, lidah buaya, dan biji adas. Sebelum pembuatan jamu, semua bahan
disiapkan kemudian melewati tahap sortasi dan pencucian semua bahan dengan menggunakan
air bersih mengalir. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan pengotor seperti sisa-sisa tanah
yang menempel pada bahan. Daun jati cina dan biji adas disortasi yang bertujuan untuk
memisahkan benda-benda asing seperti bagian tanaman yang tidak diinginkan dan pengotor-
pengotor lain yang masih tertinggal pada bahan. Seluruh bahan-bahan dipotong hingga
menjadi rajangan. Semua bahan disimpan dan diambil jika akan membuat jamu. Apabila akan
dilakukan pembuatan jamu, maka semua bahan ditimbang dan langsung digunakan kecuali
lidah buaya. Daging lidah buaya dikupas dari kulitnya pada saat pembuatan jamu. Sebelum
dilakukan pembuatan jamu, semua bahan diskrining fitokimia dan diidentifikasi dengan
kromatografi lapis tipis.
Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian untuk
memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam sampel [33]. Pada
praktikum ini dilakukan skrining fitokimia pada bahan-bahan yang akan dijadikan jamu untuk
memastikan kandungan berkhasiat pada bahan tersebut yang berperan penting pada jamu
konstipasi. Skrining fitokimia yang dilakukan seperti pengujian kandungan saponin, minyak
atsiri, steroid atau triterpenoid, tanin, flavonoid, alkaloid dan glikosida antrakuinon. Pada
daun jati cina menghasilkan positif pada tanin dengan megubah larutan menjadi hitam
kehijauan, mengandung flavonoid pada UV 366 nm berfluoresensi kuning intensif,
mengandung glikosida antrakuinon dibuktikan dengan berubahnya larutan menjadi merah.
Pada lidah buaya menghasilkan positif hanya pada pengujian glikosida antrakuinon. Pada biji
adas menghasilkan positif hanya pada pengujian minyak atsiri. Kandungan yang berperan
penting pada daun jati cina dan lidah buaya yaitu glikosida antrakuinon sehingga dapat
disimpulkan pada bahan yang akan digunakan positif mengandung glikosida antrakuinon
yang nantinya berperan dalam mengatasi konstipasi terjadi. Kandungan yang berperan penting
pada biji adas adalah minyak atsiri, dimana telah dibuktikan kebenarannya dengan dilakukan
pengujian minyak atsiri adanya bau khas dari biji adas sehingga terbukti memiliki khasiat
yang nantinya dapat mengurangi sakit perut yang terjadi jika ditambahkan dengan bahan yang
mengandung glikosida antrakuinon.
Analisis kromatografi lapis tipis perlu dilakukan pada sampel bahan segar jamu. Hal ini
ditujukan untuk memastikan kandungan senyawa aktif dalam masing-masing bahan. Daun jati
cina dan lidah buaya dilakukan analisis terhadap antrakuinon sementara pada biji adas
dilakukan analisis terhadap trans-anetol. Hasil analisis KLT menunjukkan bahwa pada sampel
daun jati cina terdapat bercak berwarna merah pada UV 366 nm dengan Rf bernilai 1. Nilai Rf
1 menandakan bahwa senyawa yang ingin dianalisis tidak tertambat pada fase diam.
Walaupun hasil positif antrakuinon berwarna kemerahan pada pengamatan UV 366, tidak
dapat diduga bahwa senyawa tersebut merupakan trans-anetol karena memiliki Rf yang sangat
jauh dari pustaka, yaitu sebesar 0,36. Sementara pada sampel lidah buaya tidak teramati
adanya bercak. Hal ini diduga akibat kesalahan dalam pembuatan fase diam dimana
perbandingan pelarut yang digunakan tidak sesuai. Sedangkan dalam analisis KLT biji adas,
terdeteksi satu pemadaman bercak pada pengamatan UV 254 nm dengan Rf 0,29 yang diduga
merupakan trans-anetol. Rf ini mendekati dengan nilai Rf trans-anetol dalam Farmakope
Herbal Indonesia yaitu sebesar 0,25 [38].
Ramuan jamu segar dengan formulasi daun jati cina, lidah buaya, dan biji adas telah
terbukti digunakan untuk jamu konstipasi. Daun jati cina dan lidah buaya sebagai Bahan Aktif
Utama Khasiat (BAUK) dan biji adas digunakan sebagai Bahan Aktif Pendukung Khasiat
(BAPK). Khasiat dari daun jati cina adalah sebagai pencahar dengan menghambat penyerapan
air dan elektrolit dari dari usus besar, yang meningkatkan volume dan tekanan isi usus. Ini
akan merangsang motilitas usus besar yang menghasilkan kontraksi pendorong. Kandungan
sennosides dan metabolit aktifnya rhein-anthrone yang termasuk kedalam senyawa
antrakuinon berperan sebagai pencahar dengan sekresi Cl- dan atau menghambat penyerapan
Na+ menghasilkan akumulasi cairan dan selanjutnya meningkatkan motilitas kolon sehingga
menyebabkan kontraksi pendorong dalam proses sekresi. Selain itu, lidah buaya memiliki
efek sebagai pencahar karena kandungan aloin A dan B yang akan menhasilkan aloe-
emodin9-antron apabila penggunaannya secara oral sehingga memiliki fungsi sebagai
stimulan dan mengiritasi saluran pencernaan. Bahan Aktif Pendukung Khasiat (BAPK) adalah
biji adas yang memiliki khasiat mengurangi sakit perut akibat adanya kontraksi dan iritasi
apabila dikombinasikan dengan antrakuinon. Jamu konstipasi oral dibuat dalam bentuk teh.
Hal ini dilakukan karena pengerjaannya mudah dan sederhana yaitu hanya dilakukan dengan
penyeduhan rajangan dengan air panas. Praktikum kali ini dilakukan pembuatan jamu
konstipasi oral segar dan instan, evaluasi masing- masing jamu.
Pembuatan jamu segar diawali dengan pencucian daun jati cina dan lidah buaya segar
dengan air hingga bersih. Pencucian bahan- bahan dilakukan untuk menghilangkan pengotor
yang mungkin masih terdapat pada bahan. Selanjutnya dilakukan pengupasan pada lidah
buaya untuk memperoleh daging lidah buaya. Pengupasan bertujuan untuk menghilangkan
kulit pada lidah buaya. Daun jati cina masih berupa daun utuh yang panjang, sedangkan biji
adas yang digunakan berupa biji yang masih utuh tetapi dalam keadaan kering. Biji adas
dirajang agar kandungan minyak atsirinya keluar saat dilakukan penyeduhan. Semua bahan
diseduh dengan air panas. Setelah dilakukan penyeduhan, dilakukan penyaringan untuk
memisahkan ampas dengan teh yang dibuat. Selanjutnya dilakukan penyeduhan pada semua
bahan dengan air panas kemudian dilanjutkan dengan evaluasi organoleptis jamu segar yang
dilihat dari warna, aroma, dan rasa. Jamu segar yang dibuat memiliki warna coklat kemerahan
sesuai dengan warna teh pada umumnya [39]. Hal tersebut dikarenakan daun jati cina, apabila
diseduh akan menunjukkan warna merah kecoklatan. Aroma dari jamu segar didominasi oleh
aroma biji adas dengan bau yang khas. Sementara rasa dari jamu konstipasinya adalah tawar.
Selanjutnya, dilakukan optimasi dan evluasi hasil optimasi sediaan jamu segar.
Optimasi jamu segar bertujuan untuk mendapatkan formulasi dengan rasa, aroma, warna
yang dapat diterima. Proses optimasi dilakukan dengan menambahkan atau mengurangi
jumlah bahan yang terdapat didalam komposisi jamu. Dalam formulasi ini, optimasi jamu
dibuat sebanyak tiga variasi dengan kode A, B, dan C. Variasi A dibuat tanpa pemanis apapun
termasuk gula dan madu, variasi B dibuat dengan penambahan madu, dan variasi C dengan
penambahan gula pasir. Masing- masing variasi ditambahkan bunga melati untuk
memperbaiki aroma dari jamu yang dibuat. Pembuatan jamu segar hasil optimasi dilakukan
sama seperti pembuatan jamu segar untuk menghasilkan jamu dengan rasa dan aroma yang
lebih baik. Selanjutnya dilakukan evaluasi. Variasi jamu A menghasilkan aroma yang
didominasi oleh daun jati cina sebelum dilakukan penambahan bunga melati. Rasanya tawar
dengan sedikit ada rasa daun jati cina dan warna merah kecoklatan. Setelah dilakukan
penambahan bunga melati, aroma jamu didominasi oleh bunga melati. Variasi B menunjukkan
rasa manis pas yang diperoleh setelah penambahan satu sendok teh gula pasir, sedangkan
variasi C menunjukkan rasa manis pas setelah penambahan tiga sendok teh madu. Aroma dari
variasi C dan B didominasi daun jati cina sebelum ditambahkan bunga melati dan
menunjukkan warna yang merah kecoklatan serta aroma bunga melati setelah penambahan
bunga melati. Selain jamu segar, dilakukan juga pembuatan jamu instan.
Jamu instan dibuat dari bahan-bahan yang telah dikeringkan. Bahan daun jati cina dan
biji adas telah dibeli dalam keadaan kering sehingga tidak perlu dilakukan proses
pengeringan. Sementara, daging lidah buaya perlu dikeringkan. Proses pengeringan yang
dipilih yaitu dalam oven bersuhu 80. Dipilihnya suhu yang demikian dikarenakan antrakuinon
dalam daging daun lidah buaya masih stabil pada suhu tersebut. Bahan yang telah kering
kemudian ditimbang sesuai formula dan dikemas dalam kantong teh. Pengemasan dalam
kantong the bertujuan untuk memudahkan dalam penyeduhan karena tidak perlu repot-repot
untuk menyaring ampas rajangan dari air hasil seduhan. Air yang digunakan untuk menyeduh
jamu instan ini adalah bersuhu 90ºC. Dengan suhu yang demikian, senyawa aktif yang
terkandung dalam rajangan dapat tersari dan keluar dari matriksnya.
Evaluasi organoleptis menunjukkan bahwa air seduhan jamu instan memiliki bau jati
cina yang diseduh bercampur aroma melati dan adas. Warnanya yaitu merah kecokelatan.
Sedangkan, rasanya yaitu khas teh jati cina dengan rasa yang manis. Parameter ini telah sesuai
dengan persyaratan organoleptis yang harus dimiliki teh, dimana salah satunya adalah tidak
boleh adanya rasa dan bau asing, serta warna yang dihasilkan berkisar dari kuning kehijauan
hingga merah kecokelatan [39].
Optimasi jamu instan dilakukan dengan membuat sediaan dalam bentuk serbuk instan.
Serbuk instan merupakan Serbuk Instan adalah sediaan obat tradisional berupa butiran
homogen dengan derajat halus yang sesuai, terbuat dari ekstrak yang cara penggunaannya
diseduh dengan air panas atau dilarutkan dalam air dingin [40]. Tujuan dilakukannya optimasi
ini adalah untuk membuat sediaan yang penggunaannya praktis dan cepat. Dengan
mengoptimasikannya dalam bentuk serbuk instan, maka penggunaannya hanya tinggal
melarutkan serbuk instannya saja dengan air panas sehingga tidak perlu repot lagi untuk
mencelupkan kantong teh ke dalam air panas sambil menambahkan gula. Setelah dilakukan
optimasi, hasil optimasi dievaluasi secara organoleptis yang diperoleh dari serbuk instan
ternyata berbeda dari jamu instan dalam bentuk rajangan. Jamu dari serbuk instan memilik
aroma bau khas teh dengan bau seduhan daun jati cina, karamel, dan bunga melati. Aroma
karamel ini diakibatkan karena proses pemanasan dari gula yang ditambahkan. Aroma adas
juga tidak tercium pada jamu dari serbuk instan. Hal ini disebabkan karena trans-anetol pada
biji adas habis menguap ketika proses pemanasan yang tinggi saat pembuatan serbuk. Dari
segi warna, jamu instan dalam bentuk serbuk instan memiliki warna yang lebih gelap. Hal ini
diduga karena terjadi pemekatan dari air seduhan rajangan sehingga warnanya lebih gelap
dibandingkan warna air seduhan jamu instan rajangan. Sementara itu, rasa jamu serbuk instan
juga lebih manis karena dalam proses pembuatan serbuk ini diberikan penambahan gula
dengan takaran yang lebih banyak daripada takaran gula untuk satu porsi jamu instan
rajangan. Penambahan gula bertujuan untuk mengikat senyawa aktif yang tersisa dan tidak
ikut menguap dari air seduhan. Jumlah gula yang terlalu sedikit dapat membuat serbuk
menjadi gosong. Mengingat jamu serbuk instan yang dibuat sudah kehilangan trans-anetolnya
akibat proses pemanasan yang tinggi, maka bentuk sediaan jamu instan yang dipilih adalah
dalam bentuk rajangan. Pembuatan jamu dalam bentuk rajangan, tingkat rasa manis juga
dapat diatur oleh konsumen, sehingga mereka yang tidak terlalu suka dengan rasa manis
masih dapat menikmati jamu ini tanpa penambahan gula.
Skrining fitokimia dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui senyawa metabolit
sekunder yang terdapat dalam sampel [44]. Praktikum ini dilakukan skrining fitokimia pada
bahan-bahan yang akan dijadikan jamu untuk memastikan kandungan berkhasiat pada bahan
tersebut yang berperan penting pada jamu konstipasi. Pertama-tama dibuat jamu segar dan
jamu instan terlebih dahulu. Jamu segar dibuat dengan cara merajang daun jati cina, daging
lidah buaya dan biji adasnya. Sedangkan untuk jamu instan dibuat dengan merajang daun jati
cina dan daging lidah buaya yang telah dikeringkan serta dengan biji adas. Pengujian skrining
fitokimia yang dilakukan pada praktikum kali ini adalah pengujian kandungan saponin,
minyak atsiri, steroid atau triterpenoid, tanin, flavonoid, alkaloid dan glikosida antrakuinon.
Pada praktikum kali ini, jamu segar hanya menghasilkan hasil positif pada pengujian minyak
atsiri dikarenakan adanya kandungan biji adas, sedangkan pada jamu instan menghasilkan
hasil positif pada pengujian saponin dengan terbentuknya buih 1 cm, pengujian minyak atsiri
dengan beraroma khas aromatis karena adanya kandungan biji adas, mengandung tanin karena
berwarna hijau kehitaman, mengandung glikosida antrakuinon dengan berubah menjadi
berwarna merah, mengandung steroid dengan terbentuknya warna kehijauan serta adanya
flavonoid karena larutan berfluoresensi kuning intensif pada UV 366 nm. Hal ini dikarenakan
jamu segar yang digunakan untuk skrining fitokimia menggunakan sampel daun jati cina yang
salah. Dimana daun yang digunakan memiliki fisik yang hampir sama namun ternyata
berbeda dengan daun jati cina yang sebenarnya yang mempunyai fisik ujung daun tajam dan
lebih ramping sedangkan daun yang digunakan ujung daunnya tumpul dan lebih lebar
dibanding daun jati cina yang sebenarnya, sehingga mempengaruhi hasil yang didapat. Hasil
yang diperoleh pada jamu instan disimpulkan sesuai karena saponin yang terkandung
dikarenakan adanya lidah buaya [42]. Adanya glikosida antrakuinon yang merupakan
kandungan utama berkhasiat dari lidah buaya dan daun jati cina yang nantinya dapat
mengatasi konstipasi terjadi, adanya minyak atsiri dikarenakan pada jamu instan mengandung
biji adas, mengandung flavonoid karena terdapat lidah buaya, biji adas serta daun jati cina.
Analisis KLT juga dilakukan pada jamu segar dan jamu instan. Analisis KLT yang
dilakukan tetap bertujuan untuk memastikan bahwa bahan yang sudah dalam bentuk jamu
masih mengandung senyawa aktifnya, yaitu antrakuinon dan trans-anetol. Hasil analisis KLT
menunjukkan bahwa jamu segar dan jamu instan masih mengandung trans-anetol. Hal ini
ditunjukkan dari Rf yang teramati yaitu 0,32 dengan hanya satu pemadaman bercak pada
pengamatan UV 254 nm. Sementara, antakuinon hanya terdeteksi secara jelas pada jamu
instan. Pada jamu segar tidak tejadi perubahan warna menjadi merah setelah penyemprotan
dengan KOH alkoholis sehingga pada jamu segar tidak terkandung antrakuinon. Tidak adanya
antrakuinon ini diduga karena bahan segar berupa daun jati cina yang digunakan tidaklah
tervalidasi. Praktikan menemukan tanaman yang serupa dengan daun jati cina sehingga
berinisiatif untuk mengolah daunnya menjadi jamu segar. Daun segar yang dianggap sebagai
jati cina tidak dilakukan determinasi terlebih dahulu sehingga tidak bisa dijamin keasliannya.
Hasil KLT tidak menunjukkan adanya antrakuinon, sehingga diduga daun segar yang
digunakan bukanlah daun jati cina.
Jamu yang telah dibuat dilakukan uji hedonik. Uji hedonik yang dilakukan pada
praktikum ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap produk jamu
konstipasi yang dibuat. Dalam pelaksanaan uji hedonik, panelis diminta memberikan
penilaian dalam skala yang menunjukkan tingkat dari sangat tidak suka sampai amat sangat
suka terhadap rasa, aroma, warna, penampilan dan kemasan jamu konstipasi. Pengujian
dilakukan dengan cara meminta sebanyak 30 orang panelis untuk mengisi kuisioner terhadap
produk jamu yang dibuat oleh praktikan. Panelis yang dipilih merupakan mahasiswa dan
mahasiswi farmasi dari berbagai angkatan.
Evaluasi pengujian hedonik didapatkan hasil penilaian responden yang dilihat dari
persentase terbesar terhadap penilaian rasa, warna, aroma, penampilan dan kemasan dari jamu
konstipasi. Hasil penilaian responden terhadap rasa dari jamu konstipasi yaitu sebanyak
63,3% responden menyatakan sangat suka dengan rasa teh yang dihasilkan. Hasil penilaian
responden yang diperoleh dari segi warna yaitu 56,6 % menyatakan sangat suka dengan
warna jamu konstipasi yaitu berwarna cokelat kemerahan. Dari segi aroma yaitu sebanyak
60% responden menyatakan sangat suka dengan aroma daun jati cina jamu konstipasi yang
dihasilkan. Hasil penilaian dari segi kemasan yaitu sebanyak 60% menyatakan sangat suka
dengan kemasan yang dibuat. Sebagian besar responden menyukai desain kemasan dan brosur
dilihat dari warna dan kelengkapan informasi yang diberikan. Saran yang diberikan dari
responden untuk rasa jamu konstipasi yaitu Rasa teh sebaiknya dibuat lebih manis, produk
dikembangkan menjadi serbuk instan, tutup kemasan sekunder diperbaiki, tali kantong teh
celup ditambahkan pegangan, kemasan dibuat lbih menarik lagi dan pada kemasan
ditambahkan komposisi serta diindikasi dan kontraindikasi sesuai literatur. Tingkat kesukaan
dari responden di ukur menggunakan 4 tingkat pengukuran yaitu sangat suka, suka, tidaksuka,
sangat tidak suka,. Setelah dilakukan analisis data terhadap nilai tingkat kepuasan responden
dari aspek rasa, bau, warna serta kemasan, diperoleh hasil kepuasan akhir yaitu sangat suka.
Hal ini menunjukkan bahwa jamu konstipasi “Herbasti” dapat diterima oleh responden, baik
dari segi rasa,warna, bau maupun kemasan.
BAB V
PENUTUP

5.1 Formulasi jamu konstipasi yang cocok berdasarkan praktikum ini adalah :
No Bahan Jumlah yang Fungsi Khasiat
digunakan
1 Daun jati cina 1000 mg BAUK Laksatif
2 Lidah buaya 330 mg BAUK Laksatif
3 Biji adas 200 mg BAPK Antinyeri
4 Gula pasir Secukupnya BT Corigen
odorissaporis
5 Bunga melati 1 buah bunga BT Corigen
saporisodoris

5.2 Jamu konstipasi segar dan instan dievaluasi melalui uji organoleptis yang dilihat dari air
hasil seduhan diamati warna dan aroma serta dicicipi rasa. Jamu segar dan jamu instan
yang dibuat memiliki warna coklat kemerahan sesuai dengan warna teh pada
umumnya.Hal tersebut dikarenakan daun jati cina, apabila diseduh akan menunjukkan
warna merah kecoklatan. Aroma dari jamu segar didominasi oleh aroma biji adas
dengan bau yang khas. Sementara rasa dari jamu konstipasinya adalah tawar. Hasil uji
hedonik kepada 30 panelis memberikan nilai bagus pada rasa, aroma, warna,
penampilan, dan kemasan. Hasil penilaian responden terhadap rasa dari jamu konstipasi
yaitu sebanyak 63,3% responden menyatakan sangat suka dengan rasa teh yang
dihasilkan. Hasil penilaian responden yang diperoleh dari segi warna yaitu 56,6 %
menyatakan sangat suka dengan warna jamu konstipasi yaitu berwarna cokelat
kemerahan. Dari segi aroma yaitu sebanyak 60% responden menyatakan sangat suka
dengan aroma daun jati cina jamu konstipasi yang dihasilkan. Hasil penilaian dari segi
kemasan yaitu sebanyak 60% menyatakan sangat suka dengan kemasan yang dibuat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dianto, I. dan Khumaidi. S. (2015): studi etnofarmasi tumbuhan berkhasiat obat pada
suku kaili ledo di kabupaten sigi. Journal of Pharmacy.1 (2): 85-91.
2. Sari, A. D., K. dan Wirjatmadi, B. (2016): hubungan aktivitas fisik dengan kejadian
konstipasi pada lansia di kota madiun. Media Gizi Indonesia.11 (1): 40-47.
3. Ali, Md. (2014): Cassia fistula Linn: A Review Of Phytochemical And
Pharmacological Studies. International Journal of Pharmaceutical Sciences and
Research. 5 (6): 125–2130.
4. Rahayu, M., S. Sunarti., D. Sulistarni., dan S. Prawiroatmodjo (2006): Pemanfaatan
tumbuhan obat secara tradisional oleh masyarakat lokal di pulau wawonii, sulawesi
tenggara. Biodiversitas. 7 (3): 245-250.
5. Purwaningsih, E. H. (2013): Jamu, obat tradisional asli indonesia pasang surut
pemanfaatannya di indonesia. eJKI. 1 (2): 85-89.
6. Permenkes RI. (2012): PerMenKes/007/MenKes/Per/2012 tentang Registrasi Obat
Tradisional. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
7. Sari, L. K. (2006): Pemanfaatan obat tradisional dengan pertimbangan manfaat dan
keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian. 3 (1): 01-07.
8. Permenkes RI. (2015): PerMenKes/66/MenKes/Per/2015 tentang Gerai Djamoe
Terdaftar Dan Etalase Djamoe. Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
9. Elfahmi, Woerdenbag, H. J., Kayser, O. (2014): Jamu: indonesian traditional herbal
medicine towards rational phytopharmacological use. Journal of Herbal Medicine. 4
(2): 51-73.
10. BPOM RI. (2005): Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor : HK.00.05.41.1384 tentang kriteria dan tata laksana pendaftaran
obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Badan Pengawasan Obat
Dan Makanan Republik Indonesia. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
11. Jannah, I. N., Mustika, A., Puruhito, E. F. (2017): Efektivitas pemberian dekokta buah
trengguli (Cassia fistula l.) terhadap penurunan constipation scoring system untuk
penanganan konstipasi pada wanita usia 18-25 tahun. Journal of Vocational Health
Studies. 01: 58-62.
12. Serimbing, L. P. (2015): Konstipasi pada kehamilan. Jurnal Ilmu Kedokteran. 9 (1): 7-
10.
13. Endyarni, B. dan Syarif, B. H. (2004): Konstipasi fungsional. Sari Pediatri. 6 (2): 75-
80.
14. Khare, P., Kishore, K., Sharma, D. K. (2017): A study on the standardization
parameters of Cassia angustifolia. Asian J Pharm Clin Res. 10 (7): 329-332.
15. Kaur, Ahmad S, Harikumar, S. L. (2014): Pharmacognosy, phytochemistry and
pharmacology of Cassia occidentalis Linn. International Journal of Pharmacognosy
and Phytochemical Research. 6 (2): 151-155.
16. Ramchander, Jalwal, P., Middha, A. (2017): Recent advences on senna as a laxative: A
comprehensive review. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry. 6 (2): 349-
353.
17. Săvulescu, E., Georgescu, M. I., Popa, V., Luchian, V. (2018): Morphological and
anatomical properties of the Senna alexandrina Mill. (Cassia angustifolia Vahl.).
Sciendo. 305-310.
18. Rahma, E. dan Oktafany (2018): Efektivitas lidah buaya (Aloe vera) terhadap
konstipasi. Journal Agromedicine. 5 (1): 427-432.

19. Aloe vera (L.) Burm. f. dari ITIS, data diperoleh melalui situs internet:
https://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?
search_topic=TSN&search_value=182653#null. Diunduh pada tanggal 30 September
2019.

20. Melliawati, R. (2018): Potensi tanaman lidah buaya (aloe pubescens) dan keunikan
kapang endofit yang berasal dari jaringannya. Biotrends. 9 (1): 1-6.
21. Reynolds, T. dan Dweck, A. C. (1999): Aloe vera leaf gel: a review update. Journal of
Ethnopharmacology. 68: 3-37.
22. Sharma, P, Kharkwal, A.C., Kharkwal, H., Abdin, M. Z., Varma, A. (2014): A review
on pharmacological properties of Aloe vera. International Journal of Pharmaceutical
Sciences Review and Research. 29 (2): 31-37.
23. Badgujar, S. B., Patel, V. V., Bandivdekar, H. (2014): Foeniculum vulgare Mill: a
review of its botany, phytochemistry, pharmacology, contemporary application, and
toxicology. BioMed Research International. 1-32.
24. Khan, M. dan Musharaf, S. (2014): Foeniculum vulgare Mill. a medicinal herb.
Medicinal Plant Research. 4 (6): 46–54.
25. Bermawie, N., Ajijah, N., Rostiana, O. (2017): Karakteristik morfologi dan mutu adas
(Foeniculum vulgare Mill.). Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. 13 (2): 25-
32.
26. Rather, M. A., Dar, B. A., Sofi, S. N., Bhat, B. A., Qurishi, M. A. (2012): Foeniculum
vulgare: A comprehensive review of its traditional use, phytochemistry, pharmacology,
and safety. Arabian Journal of Chemistry. 9 (2): 1574-1583.
27. Sastrawan, I. N., Sangi, M., Kamu, V. (2013): Skrining fitokimia dan uji aktivitas
antioksidan ekstrak biji adas (Foeniculum vulgare) menggunakan metode DPPH.
Jurnal Ilmiah Sains. 13 (2): 110-115.
28. Picon, P. D., Picon, R. V., Costa, A. F., Sander, G. B., Amaral, K. M., Aboy, A. L.,
Henriques, A. T. (2010): Randomized clinical trial of a phytotherapic compound
containing Pimpinella anisum, Foeniculum vulgare, Sambucus nigra, and Cassia
augustifolia for chronic constipation. BMC Complementary and Alternative Medicine.
10 (17): 2-9.
29. Mun’im, A., Hanani, E., Mandasari, A. (2008): Pembuatan teh herbal campuran
kelopak bunga rosella (Hibuscus sabdariffa) dan herba seledri (Apium graveolens).
Majalah Ilmu Kefarmasian. 5 (1): 47 – 54.
30. Depkes RI. (1989): Materia medika Indonesia. Jilid V. Direktorat Jenderal
Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta.
31. Mojab, F. Kamalinejad, M., Ghaderi, N, Vahidipour, H. R. (2003): Phytochemical
screening of some species of iranian plants, Iranian Journal of Pharmaceutical
Research. 2:77–82.
32. Depkes RI. (1979): Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 21
33. Simaremare, E. S. (2014): Skrining fitokimia ekstrak etanol daun gatal (Laportea
decumana (Roxb.) Wedd). Pharmacy, 11(01): 98-107
34. Yuda, P. S . K. ErnA, C. Winariyanthi, Y. (2017): Skring fitokimia dan analisis
kromatografi dan analisis kromatografi lapis tipis ekstrak tanaman pantikan kebo
(Euphorbia hirta L.). Medicamento. 3 (2)
35. Depkes RI. (2010): Farmakope Herbal Indonesia. Suplemen I. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
36. Sakulpanich, A., dan Gritsanapan, W. (2009): Determination of anthraquinone
glycoside content in Cassia fistula leaf extracts for alternative source of laxative drug,
International Journal of Biomedical and Pharmaceutical Sciences, 3(1): 42-45
37. Depkes RI. (2008): Farmakope Herbal Indonesia. Edisi I. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
38. BSN (2000): Teh kering dalam kemasan. Badan Standardisasi Nasional. Balai
Penelitian dan Pengembangan Industri, Departemen Perindustrian dan Perdagangan
39. Yamin, M., Ayu, D. F., Hamzah, F. (2017): Lama pengeringan terhadap aktivitas
antioksidan dan mutu teh herbal daun ketepeng cina (Cassia alata L.), Jurnal Online
Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Riau, 4(2): 1-15
40. BPOM (2014): Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor 12 tahun 2014 tentang persyaratan mutu obat tradisional. Badan
Pengawas Obat dan Makanan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
41. Dewi, I. K. dan Lestari, T. (2016): Formulasi dan uji hedonik serbuk jamu instan
antioksidan buah naga super merah (Hylocereus Costaricensis) dengan pemanis alami
daun stevia (Stevia rebaudiana bertoni M.). Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan. 5 (2):
110-237.
42. Amilia, S. (2016): Pengaruh atribut produk terhadap keputusan pembelian kacang
garuda di kota langsa. Jurnal Manajemen Dan Keuangan. 5 (2): 2252-844.
43. Dewi, I. K. dan Lestari, T. (2016): Uji hedonik sediaan instan ekstrak buah naga super
merah (Hylocereus costaricensis). Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat
Indonesia. Samarinda
44. Agustina, W. Nurhamida, Handayani, D. (2017): Skrining Fitokimia Dan Aktivitas
Antioksidan Beberapa Fraksi Dari Kulit Batang Jarak (Ricinus communis L.). Jurnal
Pendidikan dan Ilmu Kimia. 1(2): 117-122
LAMPIRAN

Skrining Fitokimia Kandungan Kimia pada BAUK dan BAPK Sebelum Dijadikan
Bahan Jamu

Flavonoid
Flavonoid Daun Jati
Daun Lidah BuayaCina
Flavonoid Biji Adas Alkaloid Daun Jati Cina

Saponin Biji Adas

Alkaloid Lidah Buaya dan Adas

Glikosida Antrakuinon
Glikosida Lidah
Antrakuinon Jati Buaya
Cina
Tanin Jati Cina

Tanin Biji Adas

Alkaloid Lidah Buaya

Tanin Lidah
Saponin LidahBuaya
Buaya
Skrining Fitokimia Kandungan Kimia pada BAUK dan BAPK dari Jamu Segar dan
Alkaloid Jamu Instan
Jamu Instan

Flavonoid
FlavonoidJamu
JamuInstan
Segar

Alkaloid Jamu Instan


Saponin
Saponin Jamu
Jamu Segar
Instan

Tanin
Tanin Jamu
Jamu Segar
Instan

Steroid
Steroid atau
atau Terpenoid
Terpenoid Jamu
Jamu Segar
Instan

Anda mungkin juga menyukai