Anda di halaman 1dari 11

A Asmara dkk.

Vehikulum dalam dermatologi topikal

Tinjauan Pustaka

VEHIKULUM DALAM DERMATOTERAPI TOPIKAL


Anjas Asmara, Sjaiful Fahmi Daili, Tantien Noegrohowati, Ida Zubaedah* Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin *Departemen Ilmu Farmasi Kedokteran FKUI/ RSCM FK Universitas Indonesia/RS. dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

ABSTRAK
Terapi untuk mengkoreksi berbagai kelainan kulit dapat dilakukan secara topikal, sistemik, intralesi, atau menggunakan radiasi ultraviolet. Terapi topikal didefinisikan sebagai aplikasi obat dengan formulasi tertentu pada kulit yang bertujuan mengobati penyakit kulit atau penyakit sistemik yang bermanifestasi pada kulit. Keberhasilannya bergantung pada pemahaman mengenai struktur sawar kulit, mekanisme absorpsi obat melalui kulit, dan pemilihan vehikulum yang sesuai. Perkembangan teknologi juga membawa perubahan yang besar dalam formulasi obat topikal. Berbagai vehikulum terbaru yang ditujukan untuk meningkatkan absorpsi obat perkutan telah ditemukan dan diteliti secara luas efektivitasnya, diantaranya emulsi ganda, nanopartikel, dan liposom. Terapi topikal merupakan cara yang sering digunakan dermatologis dalam mengobati berbagai kelainan/penyakit kulit. Sediaan topikal yang digunakan dapat berupa sediaan jadi yang diproduksi oleh produsen obat maupun sediaan topikal yang diracik sendiri oleh dermatologis. Kegagalan terapi topikal dapat disebabkan oleh kesalahan dalam pembuatan sediaan topikal oleh dermatologis. Berkaitan dengan hal itu, seorang dermatologis perlu mengetahui prinsip dasar membuat sediaan obat topikal, agar obat topikal yang digunakan dalam menangani penyakit kulit bekerja dengan baik (MDVI 2012: 39/1; 25-35) Kata kunci: Terapi topikal, vehikulum, absorpsi obat perkutan, vehihulum baru, formulasi obat topikal

ABSTRACT
Therapy to treat any skin disease can be achieved by mean of topical therapy, systemic therapy, direct injection into the lesion, and ultraviolet radiation. Topical therapy means to apply drugs in a particular formulation aimed to treat skin disease or skin manifestation of systemic disease. Whether it will be effective or not is depend on our understanding about skin barrier, mechanism of drug absorption via the skin, and consideration to choose the right vehicle. Recent technology invents many changes in topical drug formulation. Novel vehicles aimed to increase drug delivery via the skin are found and widely studied to evaluate the efficacy in treating skin disease, including multiple emulsion, nanoparticles, and liposomes. Dermatologists often use topical preparations in order to treat skin diseases. Topical drug preparations can be a product directly produced by drug industries or a preparation that dermatologists make it themselves. Failure of topical therapy can be caused by incorrect formulation of topical preparation made by dermatologists. It is important for dermatologists to understand the principal of making topical drugs preparation, so that the drugs used to treat dermatological disease can be effective. (MDVI 2012: 39/1;25-35) Keyword: Topical therapy, vehicle, drug delivery via the skin, novel vehicles, topical drug formulation Korespondensi : Jl. Diponegoro 71, Jakarta Pusat Telp. 021-31935383 Email: anjasasmara.md@gmail.com

25

MDVI

Vol.39. No.1. Tahun 2012: 25-35

PENDAHULUAN
Kulit merupakan organ tubuh terbesar dan memiliki banyak fungsi penting, di antaranya adalah fungsi proteksi, termoregulasi, respons imun, sintesis senyawa biokimia, dan peran sebagai organ sensoris. Terapi untuk mengkoreksi berbagai kelainan fungsi tersebut dapat dilakukan secara topikal, sistemik, intralesi, atau menggunakan radiasi ultraviolet.1 Terapi topikal didefinisikan sebagai aplikasi obat dengan formulasi tertentu pada kulit yang bertujuan mengobati penyakit kulit atau penyakit sistemik yang bermanifestasi pada kulit.2 Metode pengobatan topikal telah lama digunakan pada berbagai kebudayaan kuno di dunia. Bangsa Mesir kuno menggunakan sejenis rumput papyrus yang dicampur dengan berbagai minyak binatang dalam pengobatan alopesia. Sementara bangsa Indian kuno menggunakan senyawa arsen dalam pengobatan kusta. Campuran merkuri dan sulfur juga mereka gunakan dalam pengobatan pedikulosis, sedangkan pasta yang mengandung besi sulfat, empedu, tembaga sulfat, sulfur, arsen, dan antimoni digunakan dalam pengobatan pruritus.1 Terapi topikal merupakan metode yang nyaman, namun keberhasilannya bergantung pada pemahaman kita mengenai fungsi sawar kulit. Keuntungan utamanya adalah dapat memintas jalur metabolisme obat pertama (first-pass metabolism) di hati.1-5 Terapi topikal juga dapat menghindari risiko dan ketidaknyamanan seperti pada terapi yang diberikan secara intravena, serta berbagai hal yang mempengaruhi penyerapan obat pada terapi peroral, misalnya perubahan pH, aktivitas enzim, dan pengosongan lambung. Keuntungan lain, yaitu karena penyerapan sistemik pada terapi topikal dapat diabaikan maka efek samping maupun interaksi obat pada terapi topikal jarang terjadi.1,2,4 Meskipun demikian, pengobatan topikal juga memiliki berbagai kelemahan misalnya: 1) dapat menimbulkan iritasi dan alergi (dermatitis kontak), 2) permeabilitas beberapa obat melalui kulit yang relatif rendah, sehingga tidak semua obat dapat diberikan secara topikal, dan 3) terjadinya denaturasi obat oleh enzim pada kulit.2 Pada makalah ini akan dibahas mengenai stuktur dan fungsi kulit, mekanisme penyerapan obat melalui kulit, uraian tentang berbagai vehikulum yang digunakan dalam pengobatan di bidang dermatologi serta perkembangan terbaru yang telah ditemukan, prinsip pemilihan vehikulum dalam dermatoterapi, dan prinsip dasar pembuatan sediaan obat topikal.

melanosit, sel Langerhans, dan sel Merkel. Keratinosit, merupakan sel yang memiliki kemampuan berproliferasi dan mengandung keratin yang diperlukan sebagai penunjang struktur internal epidermis. Tiap lapisan pada epidermis mengekspresikan keratin yang berbeda. Keratinosit yang matang dan mengalami diferensiasi bertambah besar dan kemudian bentuknya makin gepeng sampai akhirnya inti selnya menghilang. Hasil akhir dari proses diferensiasi ini adalah terbentuknya stratum korneum.1,2,4,6,7 Pembentukan stratum korneum merupakan fungsi yang sangat penting dari epidermis. Stratum korneum, atau juga sering disebut sebagai lapisan tanduk mencegah terjadinya kehilangan air, dan mencegah penyerapan zat / agen infeksi yang berbahaya bagi tubuh. Strukturnya dapat disamakan dengan susunan batu bata dan campuran semen, dengan korneosit sebagai batu bata dan sawar lipid sebagai campuran semennya. Korneosit tersusun di bagian atas epidermis dan mengandung protein.1,2,4,6,7 Di bawah lapisan tanduk terdapat lapisan granular yang mengandung struktur basofilik yang disebut granula keratohialin. Granula tersebut mengandung prekursor protein profilagrin yang masih inaktif. Melalui proses defosforilasi dan proteolisis profilagrin diubah menjadi filagrin yang memiliki fungsi seperti lem yang merekatkan filamen keratin untuk membentuk makrofibril. Degradasi dari filagrin akan menghasilkan asam amino bebas yang berperan dalam perlindungan terhadap radiasi sinar ultraviolet dan hidrasi kulit. Dalam granula keratohialin juga terdapat berbagai prekursor protein lain, yaitu involukrin, lorikrin, elafin, envoplakin, sistatin A dan protein lain yang berperan dalam pembentukan selubung sel yang terkornifikasi.1,2,4,6,7 Selain granula keratohialin, sel pada lapisan granular juga mengandung granula lamelar, yang merupakan organel yang terikat pada membran sel yang mengandung glikolipid, glikoprotein, dan fosfolipid. Molekul yang terkandung dalam granula lamelar tersebut disekresikan di antara lapisan granular dan lapisan tanduk untuk membentuk mortar/campuran semen yang mengikat korneosit di lapisan tanduk.1,2,4,6,7 Dermis merupakan lapisan yang berfungsi menyokong epidermis. Ketebalannya 2-3 mm. Pada lapisan tersebut terdapat pembuluh darah, saraf dan struktur lain, yaitu folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebum yang juga berperan penting dalam proses penyerapan obat melalui kulit.1,2,4,6,7

FARMAKOKINETIK OBAT TOPIKAL


Pengetahuan mengenai farmakokinetik pada kulit sangat diperlukan dalam keberhasilan suatu pengobatan topikal. Farmakokinetik obat topikal menggambarkan perubahan konsentrasi obat setelah aplikasinya pada permukaan kulit, perjalanannya menembus sawar kulit dan jaringan di bawahnya, dan distribusinya ke dalam sirkulasi sistemik.8

STRUKTUR DAN FUNGSI KULIT


Kulit terdiri atas lapisan epidermis dan dermis. Kulit, terutama epidermis, berperan penting dalam penyerapan obat melalui kulit. Epidermis tersusun oleh keratinosit,

26

A Asmara dkk.

Vehikulum dalam dermatologi topikal

Senyawa yang diaplikasikan pada permukaan kulit, termasuk obat topikal, masuk ke dalam kulit mengikuti suatu gradien konsentrasi (difusi pasif). Gradien konsentrasi ditimbulkan oleh perbedaan konsentrasi obat aktif dalam sediaan yang diaplikasikan pada kulit dan konsentrasi obat aktif dalam jaringan kulit serta jaringan di bawahnya (dermis dan subkutan).2,7,8 Dalam pengobatan topikal, penyerapan obat melalui beberapa tahapan seperti dapat dilihat dalam gambar 1. Analisis farmakokinetik dari suatu sediaan topikal yang diaplikasikan pada kulit meliputi pembahasan mengenai tiga kompartemen yang dilalui obat aktif, yaitu vehikulum sebagai pembawa obat aktif, stratum korneum, dan lapisan epidermis serta dermis.2,7,8 Vehikulum sebagai pembawa obat aktif. Untuk dapat masuk ke dalam lapisan kulit, bahan/ obat aktif dalam suatu sediaan topikal harus dilepaskan dari vehikulumnya setelah sediaan obat topikal diaplikasikan. Pelepasan/ disolusi bahan aktif dari vehikulumnya ditentukan oleh koefisien partisinya. Makin besar nilai koefisien partisi, maka bahan aktif makin mudah terlepas dari vehikulum.2,4,7,8 Difusi ke dalam stratum korneum. Bahan aktif yang telah terlepas dari vehikulumnya akan berinteraksi dengan permukaan kulit/ stratum korneum. Bahan aktif yang telah berinteraksi dengan stratum korneum akan segera berdifusi ke dalam stratum korneum. Difusi yang terjadi dimungkinkan dengan adanya gradien konsentrasi. Pada awalnya, difusi bahan aktif terutama berlangsung melalui folikel rambut (jalur transfolikular). Setelah tercapai keseimbangan (steady state), difusi melalui stratum korneum menjadi lebih dominan.2,7,8 a. Jalur transfolikular. Bahan aktif yang masuk ke dalam folikel rambut akan berpartisi dan selanjutnya berdifusi ke dalam sebum yang terdapat di dalam folikel rambut hingga mencapai lapisan epitel pada bagian dalam folikel dan kemudian berdifusi menembus epitel folikel hingga mencapai lapisan epidermis.2,7,8 Untuk mengetahui adanya penyerapan obat melalui jalur ini, digunakan kombinasi teknik tape stripping dan cyanoacrylate surface biopsy.8,9 Dengan mengunakan kombinasi teknik tersebut, kadar suatu zat di dalam folikel

rambut setelah diaplikasikan pada kulit dapat ditentukan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan melakukan aplikasi molekul kecil misalnya kafein pada permukaan kulit. Setelah aplikasi dapat ditemukan kadar kafein dalam folikel rambut.8 Hasil penelitian lain dengan menggunakan nanopartikel menunjukkan keberadaan nanopartikel dalam folikel rambut bertahan sepuluh kali lebih lama dibandingkan dalam stratum korneum. Mengingat bahwa dalam folikel rambut juga terdapat sawar kulit, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kadar zat dalam folikel rambut tidak menunjukkan penyerapan obat melalui jalur transkorneal, melainkan secara eksklusif memperlihatkan hasil penyerapan obat transfolikular.8 Teichmann dkk (2005)9 menggunakan kedua teknik tersebut dalam mendeteksi penyerapan transfolikular dari sodium fluoresein. Dengan kombinasi kedua teknik tersebut, didapatkan konsentrasi sodium fluoresein dalam folikel rambut mencapai 5% setelah tiga puluh menit aplikasi zat tersebut pada kulit, dan tetap bertahan 48 jam setelah aplikasi. b. Jalur transkorneal. Hingga saat ini, penyerapan obat interselular (melalui celah di antara korneosit) menjadi jalur utama pada penyerapan obat transkorneal.2,4,7,8 Beberapa penelitian dengan menggunakan mikroskop elektron menunjukkan bukti adanya penyerapan obat melalui jalur ini. Pada aplikasi n-butanol pada kulit yang dipresipitasi dengan uap osmium, lima sampai enam puluh menit setelah aplikasi tampak peningkatan kadar alkohol tersebut di ruang antar sel. Namun, peningkatan kadar alkohol ternyata juga ditemukan intrasel dalam korneosit. Dengan bukti ini, peranan jalur penyerapan obat transkorneal intrasel (dengan cara menembus korneosit) juga tidak dapat diabaikan. Jalur tersebut terutama dilalui oleh obat dengan berat molekul yang kecil, dan berbagai zat/ obat-obatan polar serta ion.2,7 Epidermis dan dermis Difusi bahan/obat aktif melalui kedua jalur di atas pada akhirnya akan mencapai lapisan yang lebih dalam yaitu epidermis hingga kemudian dermis. Dengan adanya pembuluh darah dalam dermis, bahan aktif yang mencapai lapisan dermis kemudian akan diresorpsi oleh sistem sirkulasi.2,7,8

27

MDVI

Vol.39. No.1. Tahun 2012: 25-35

Dissolution of drug in vehicle

Diffusion of drug through vehicle to skin surface

Partitioning into stratum corneum

Partitioning into sebum

Diffusion through protein -lipid matrix in stratum corneum

Diffusion through lipids in sebaceous pore

Partitioning into viable epidermis

Diffusion through cellular mass of epidermis

Diffusion through cellular mass of dermis

Capillary uptake and systemic dilution


Gambar 1. Skema tahapan penyerapan obat melalui kulit2,7

Faktor yang mempengaruhi penyerapan obat melalui kulit Berbagai faktor mempengaruhi penyerapan suatu obat melalui kulit, antara lain: 1. Faktor fisikokimiawi obat Faktor fisikokimiawi obat yang mempengaruhi penyerapan obat topikal antara lain konsentrasi obat, koefisien partisi, dan ukuran molekul obat. Peningkatan konsen-

trasi sediaan obat topikal akan menjadi daya pendorong molekul obat, sehingga akan meningkatkan penyerapannya. Koefisien partisi menunjukkan kemampuan obat aktif terlepas dari vehikulumnya untuk kemudian berinteraksi dan berdifusi ke dalam stratum korneum dan lapisan di bawahnya. Peningkatan nilai koefisien partisi tersebut meningkatkan penyerapan obat aktif ke dalam kulit. Sementara semakin kecil ukuran molekul obat aktif akan memudahkan obat aktif melalui sawar dan lapisan kulit.2,7,8,10,11

28

A Asmara dkk.

Vehikulum dalam dermatologi topikal

2.

Penetration enhancer Penyerapan obat perkutan dapat ditingkatkan dengan penambahan bahan kimia tertentu. Bahan kimia yang memiliki kemampuan meningkatkan penyerapan obat topikal disebut sebagai penetration enhancer. Beberapa bahan kimia dapat meningkatkan permeabilitas kulit dengan cara merusak atau mengubah sifat fisikokimiawi alami stratum korneum sehingga tahanan difusinya menurun. Perubahan sifat fisiko-kimiawi tersebut misalnya perubahan status hidrasi stratum korneum dan perubahan struktur lipid dan lipoprotein pada ruang interselular.2,4,7 Bahan kimia yang memiliki efek sebagai penetration enhancer misalnya berbagai pelarut antara lain: alkohol, metanol, propylen glikol, gliserol, silikon cair, dan isopropil palmitat. Beberapa surfaktan misalnya asam linoleat, asam oleat, kalsium tioglikolat, dan sodium deoksikolat juga dapat digunakan sebagai penetration enhancer.2,4,7 Istilah optimized vehicle yang digunakan pada beberapa produk obat topikal merujuk pada penggunaan penetration enhancer dalam produk tersebut.12

pendingin merupakan contoh vehikulum trifasik. Selain ketiga kelompok besar vehikulum di atas, terdapat vehikulum lain yang tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu golongan tersebut, yaitu jel.1 Pembagian lain vehikulum adalah berdasarkan kelarutannya dalam air, yaitu vehikulum hidrofobik dan vehikulum hidrofilik. Vehikulum hidrofobik meliputi berbagai hidrokarbon, silikon, alkohol, sterol, asam karboksilat, ester dan poliester, serta eter dan polieter. Sementara vehikulum hidrofilik meliputi berbagai poliol dan poliglikol, sebagian dari golongan ester dan poliester, serta beberapa macam eter dan polieter. Berdasarkan konsistensinya, vehikulum dibagi menjadi cair, solid, dan semisolid.1,7 Selain berbagai kelompok vehikulum di atas, berbagai penelitian juga telah dilakukan untuk meningkatkan penetrasi obat topikal ke dalam kulit, seperti penggunaan liposom dan nanopartikel JENIS VEHIKULUM Bedak Bedak merupakan vehikulum solid/padat yang memiliki efek mendinginkan, menyerap cairan serta mengurangi gesekan pada daerah aplikasi.3,7,13 Sebagian besar bedak mengandung seng oksida yang memiliki efek antiseptik, magnesium silikat dengan efek lubrikasi dan mengeringkan, serta stearat yang mampu meningkatkan daya lekat bedak pada kulit.7,12 Ke dalam bedak juga ditambahkan bahan pengawet untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme dan antioksidan untuk mencegah bedak teroksidasi udara luar.14 Kemampuan penetrasinya pada kulit yang rendah, menyebabkan penggunaannya terbatas, antara lain dalam bidang kosmetik.7,13,14 Efek samping yang dapat timbul pada penggunaan bedak antara lain inhalasi bedak ke dalam saluran napas, penggumpalan bedak, iritasi, dan dapat memicu pembentukan granuloma.7,13,14 Aplikasi bedak pada kulit yang iritasi juga dapat menghambat proses penyembuhan.7,14 Para ahli telah meneliti penggunaan urea untuk menggantikan talk sebagai bahan dasar bedak. Urea merupakan bahan non alergenik dan non toksik bagi kulit, sehingga pemakaiannya jauh lebih aman dibanding bedak konvensional. Urea memiliki sifat antipruritus, antiseptik, antiinflamasi, menghambat proses oksidasi, dan dapat membantu proses penyebuhan pada kulit yang teriritasi atau mengalami peradangan. Efek yang menguntungkan tersebut memungkinkan bedak berbahan dasar urea dapat digunakan pada kulit yang mengalami iritasi.14 Salep Salep merupakan sediaan semisolid yang dapat digunakan pada kulit maupun mukosa. Bahan dasar salep yang digunakan dalam dermatoterapi dibagi dalam empat

3.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi penyerapan obat topikal antara lain oklusi dan lokasi aplikasi obat topikal. Oklusi dapat meningkatkan penyerapan obat topikal melalui peningkatan status hidrasi stratum korneum. Aplikasi obat topikal pada lokasi yang berbeda juga dapat memberikan hasil yang berbeda karena perbedaan ketebalan stratum korneum.2,7,13

DEFINISI VEHIKULUM Vehikulum adalah zat inaktif/ inert yang digunakan dalam sediaan topikal sebagai pembawa obat/ zat aktif agar dapat berkontak dengan kulit.2,13 Meskipun inaktif, aplikasi suatu vehikulum pada kulit dapat memberikan beberapa efek yang menguntungkan, meliputi efek fisik misalnya efek proteksi, mendinginkan, hidrasi, mengeringkan/ mengangkat eksudat, dan lubrikasi, serta efek kimiawi/ farmakologis, misalnya efek analgesik, sebagai astringent, antipruritus, dan bakteriostatik.2,3,7

KLASIFIKASI VEHIKULUM Berdasarkan komponen penyusunnya, vehikulum dapat digolongkan dalam monofasik, bifasik, dan trifasik.1,2,3,7 Yang termasuk vehikulum monofasik di antaranya adalah bedak, salep, dan cairan. Bedak kocok, pasta, dan krim tergolong dalam vehikulum bifasik. Sementara pasta

29

MDVI

Vol.39. No.1. Tahun 2012: 25-35

kelompok yaitu; 1) hidrokarbon, 2) bahan penyerapan, 3) bahan dasar emulsi, dan 4) bahan yang larut air (watersoluble based).1,7,13,15 Salep berbahan dasar hidrokarbon memiliki efek sebagai emolien, efek oklusi, dan mampu bertahan pada permukaan kulit dalam waktu lama tanpa mengering.1,11,13 Bahan dasar hidrokarbon yang paling banyak digunakan adalah petrolatum putih dan petrolatum kuning.1,7,13 Umumnya bersifat stabil, sehingga tidak memerlukan zat pengawet. Kelemahannya adalah dapat mewarnai pakaian.7,13 Bahan dasar penyerapan pembentuk salep terdiri atas lanolin dan turunannya, kolesterol dan turunannya, serta sebagian ester dari alkohol polihidrat. Kelompok bahan dasar ini memiliki efek lubrikasi, emolien, efek proteksi, serta karena sifat hidrofiliknya, dapat digunakan sebagai vehikulum obat/ zat aktif yang larut air.1,2,7,12,14 Salep dengan bahan dasar penyerapan bersifat lengket, namun lebih mudah dicuci dibandingkan yang berbahan dasar hidrokarbon.7,13 Bahan dasar salep yang lain, yaitu bahan dasar pengemulsi dan bahan dasar yang larut air sering digunakan untuk membentuk sediaan semisolid yang lain, yaitu krim dan jel.7,13 Konsentrasi bahan dasar salep dalam suatu sediaan berbentuk salep dapat ditingkatkan agar kemampuan penetrasi bahan aktif yang terkandung di dalamnya meningkat, misalnya sediaan salep khusus yang disebut fatty ointment. Konsentrasi bahan dasar salep dalam sediaan tersebut mencapai lebih dari 90 persen. Sediaan tersebut dapat digunakan untuk kelainan/ penyakit kulit pada daerah dengan stratum korneum yang tebal, misalnya lipat siku, lutut, telapak tangan, dan telapak kaki.16 Krim Krim merupakan sediaan semisolid yang mengandung satu atau lebih zat aktif yang terdispersi dalam suatu medium pendispersi dan membentuk emulsi. Untuk kestabilan emulsi, digunakan suatu agen pengemulsi (emulsifier). Bahan pengemulsi dapat terlarut dalam kedua fase cairan penyusun emulsi, dan mengelilingi cairan yang terdispersi membentuk titik-titik air mikro yang terlarut dalam medium pendispersi. Surfaktan maupun beberapa jenis polimer atau campuran keduanya dapat digunakan sebagai bahan pengemulsi. Beberapa contoh surfaktan yang sering digunakan dalam pembentukan emulsi adalah sodium lauril sulfat, Spans, dan Tweens.2,7,13,17 Berdasarkan fase internalnya, krim dapat dibagi menjadi krim oil-in-water dan krim water-in-oil. Krim water-in-oil mengandung air kurang dari 25 persen dengan minyak sebagai medium pendispersi. Selain surfaktan, zat pengawet juga seringkali digunakan dalam sediaan krim water-in-oil. Sediaan ini kurang lengket dibanding dua sediaan yang disebutkan sebelumnya, sehingga relatif

lebih mudah diaplikasikan. Sediaan ini juga memiliki efek sebagai emolien karena kandungan minyaknya, sedangkan kandungan air di dalamnya memberikan efek mendinginkan saat diaplikasikan. 7,13,17 Krim oil-in-water mengandung air lebih dari 31 persen. Formulasi ini merupakan bentuk yang paling sering dipilih dalam dermatoterapi. Sediaan ini dapat dengan mudah diaplikasikan pada kulit, mudah dicuci, kurang berminyak, dan relatif lebih mudah dibersihkan bila mengenai pakaian.7,13,17 Sebagai pengawet, biasanya digunakan paraben untuk mencegah pertumbuhan jamur. Bahan lain yang terkandung dalam emulsi oil-in-water adalah humektan, misalnya gliserin, propilen glikol, ataupun polietilen glikol.2,7,13,17 Fase minyak dalam sediaan ini juga menyebabkan rasa lembut saat diaplikasikan. Wiren K dkk. (2008)18 meneliti hubungan antara kandungan lemak dalam sediaan krim oil-in-water dengan kemampuan penetrasinya. Pada penelitian yang dilakukan secara in vivo tersebut menunjukkan bahwa sediaan krim dengan kandungan lemak yang rendah memiliki penetrasi yang lebih baik dibanding sediaan dengan konsentrasi lemak yang lebih tinggi. Emulsi multipel Istilah emulsi multipel digunakan untuk menggambarkan suatu sistem emulsi yang dalam droplet fase internalnya terdapat droplet lain yang berukuran lebih kecil dengan komposisi sama dengan fasa eksternalnya. Contoh emulsi multipel adalah emulsi water-in-oil-inwater (emulsi W/O/W) dan emulsi oil-in-water-in-oil (emulsi O/W/O). Untuk kestabilan sistem emulsi multipel, diperlukan pemilihan surfaktan/ bahan pengemulsi yang tepat.17 Jel Jel merupakan sediaan semisolid yang mengandung molekul kecil maupun besar yang terdispersi dalam cairan dengan penambahan suatu gelling agent. Formulasi yang dibutuhkan dalam membentuk jel adalah air, propilen glikol, dan atau polietilen glikol ditambah dengan suatu bahan pembentuk jel. Gelling agent yang biasa digunakan adalah carbomer 934 serta carboxymethylcellulose dan hydroxypropylmethyl-cellulose yang merupakan turunan dari selulosa.2,7,13 Bahan dasar pembentuk jel merupakan bahan yang larut air (water soluble based) dan tidak mengandung minyak. Bahan ini sangat mudah dicuci, tidak mewarnai pakaian, tidak memerlukan pengawet, dan kurang oklusif. Bahan dasar ini lebih sering digunakan pada sediaan topikal agar konsentrasi pada permukaan kulit lebih tinggi dan membatasi penyerapan ke dalam kulit, misalnya pada berbagai antifungal dan antibiotik topikal. 7,13

30

A Asmara dkk.

Vehikulum dalam dermatologi topikal

Jel merupakan vehikulum yang cocok untuk banyak zat aktif. Jel juga relatif mudah diaplikasikan pada kulit, dapat digunakan pada daerah berambut, serta memiliki penetrasi yang baik. Kekurangan dari sediaan dalam bentuk jel antara lain efek protektifnya yang rendah sehingga tidak dapat digunakan sebagai emolien, dan dapat menyebabkan kulit kering dan panas bila kandungan alkohol atau propilen glikolnya tinggi. 7,13 Selain jel berbahan dasar larut air, telah ditemukan juga formulasi jel terbaru berbahan dasar pelarut organik yang disebut organogel. Bahan dasar yang digunakan antara lain lesitin, jelatin, dan ester sorbitan.15 Jel dengan bahan dasar tersebut umumnya digunakan untuk zat aktif yang sukar larut di dalam air.13 Cairan/ liquid Vehikulum berbentuk cair dapat berupa air, alkohol, minyak, dan propilen glikol.1, 7,13 Penambahan suatu zat aktif ke dalam berbagai vehikulum cair tersebut dapat membentuk suatu sediaan cair yang berbeda bergantung kelarutan dan jenis zat yang terdispersi dalam medium pendispersi, yaitu solusio, emulsi, dan suspensi.1,7,13 Solusio atau larutan adalah sediaan cair yang mengandung bahan kimia terlarut (solut) yang terlarut secara homogen dalam media pelarut misalnya air, alkohol, minyak, atau propilen glikol. Contoh dari solusio adalah solusio Burrowi, yodium tingtur, dan linimen. 7,13 Suspensi atau losio adalah suatu sistem berbentuk cair yang komponennya terdiri atas dua fase zat. Fase pertama merupakan fase eksternal/ kontinu dari suspensi, yang umumnya berbentuk cair atau semisolid, dan fase kedua merupakan fase internal yang merupakan partikel yang tidak larut dalam fase kontinu, namun terdispersi di dalamnya. Dalam suatu sediaan obat topikal, fase internalnya adalah zat atau obat aktif. Karena tidak larut dalam medium pendispersinya, maka zat aktif dalam suatu sediaan berbentuk suspensi atau losio dapat mengendap bila didiamkan, sehingga sebelum digunakan harus dikocok terlebih dahulu agar dosis obat aktif yang diaplikasikan merata. Losio banyak digunakan untuk pasien anak, karena mudah diaplikasikan secara merata. Penguapan air yang terkandung dalam sediaan ini setelah aplikasinya memberikan efek mendinginkan. Dibandingkan salep, losio dapat menyebabkan kondisi kulit yang kering, dan dapat menyebabkan abrasi pada kulit. 7,13 Duweb dkk. (2003)19 membuktikan bahwa dalam konsentrasi sama (50 ug/g), salep calcipotriol lebih superior dibandingkan sediaan krim untuk pengobatan psoriasis vulgaris. Cal (2005)20 melaporkan pengaruh berbagai vehikulum dalam penyerapan terpenes pada kulit secara in vitro. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya diketahui penyerapan terpenes pada tiap vehikulum berbeda bermakna,

dan secara berurutan dari yang terendah hingga tertinggi penetrasinya adalah emulsi < solusio < hidrojel. Sementara Breneman dkk. (2005)21 melaporkan penggunaan losio klobetasol propionat 0,05% lebih efektif dibandingkan dengan sediaan dalam bentuk krim dalam pengobatan dermatitis atopik. Serupa dengan penelitian yang dilakukan Breneman dkk. tersebut, Lowe N. dkk. (2005)22 juga membuktikan penggunaan losio klobetasol propionat 0,05% dalam terapi psoriasis tipe plak lebih efektif dibanding sediaan krim. Bedak kocok Bedak kocok merupakan kombinasi antara bedak dan cairan. Bedak yang terkandung dalam suatu bedak kocok dapat memperluas area penguapan cairan penyusunnya sehingga memberikan efek mendinginkan. Umumnya bedak kocok terdiri atas seng oksida, talk, kalamin, gliserol, alkohol, dan air serta stabilizer. Karena merupakan suatu suspensi, bedak kocok bila didiamkan cenderung mengendap, sehingga sebelum pemakaian pun harus dikocok terlebih dahulu. 7,13 Pasta Pada dasarnya pasta merupakan salep yang ke dalamnya ditambahkan bedak dalam jumlah yang relatif besar, hingga mencapai 50 persen berat campuran. Konsistensinya relatif lebih keras dibanding salep karena penambahan bahan padat tersebut. Kandungan bedak yang ditambahkan ke dalamnya dapat berupa seng oksida, kanji, kalsium karbonat, dan talk. Seperti halnya salep, pasta dapat membentuk lapisan penutup/film di atas permukaan kulit, yang impermeabel terhadap air sehingga dapat berfungsi sebagai protektan pada daerah popok. Komponen zat padat dalam pasta menjadikannya dapat digunakan sebagai sunblock. Pasta relatif kurang berminyak dibandingkan salep, karena sebagian besar komponen minyak yang terkandung dalam salep telah berasosiasi dengan bahan padat yang ditambahkan. 7,13 Lacquer Lacquer merupakan sediaan topikal yang relatif baru di bidang dermatologi. Sediaan ini mulai digunakan untuk mengobati kasus-kasus onikomikosis. Nail lacquer merupakan larutan yang terdiri dari etil asetat, isopropil alkohol, dan butil monoester asam maleat. Setelah aplikasinya di atas lempeng kuku, lacquer akan membentuk lapisan film di atas tempat aplikasi. Penelitian secara in vitro pada kuku yang telah dilepaskan, menunjukkan sediaan ini mampu menembus lempeng kuku hingga kedalaman 0,4 cm. Sementara penelitian pada manusia dengan aplikasi sediaan antifungal (ciclopirox) dalam bentuk nail lacquer pada ke-20 kuku dan lima milimeter

31

MDVI

Vol.39. No.1. Tahun 2012: 25-35

pada kulit di sekitar kuku selama enam bulan, didapatkan penyerapan ciclopirox secara sistemik mencapai lima persen dosis aplikasinya. Satu bulan setelah aplikasi dihentikan, kadar ciclopirox tidak terdeteksi lagi.23,24 Foam Foam merupakan suatu dispersi cairan dan atau zat padat dalam medium berbentuk gas. Dibandingkan dengan sediaan topikal lain, foam merupakan sediaan yang paling mudah diaplikasikan pada permukaan kulit tanpa memerlukan penekanan, sehingga sediaan ini menjadi pilihan untuk digunakan pada berbagai kelainan/ penyakit kulit dengan inflamasi yang berat dan luas, karena penekanan yang berlebihan pada kulit yang mengalami inflamasi menimbulkan rasa nyeri dan dapat memperberat reaksi inflamasi.25 Sediaan topikal berbentuk foam dikemas dalam suatu wadah bertekanan yang berkatup. Hal tersebut menjadi salah satu kelemahan dari sediaan berbentuk foam, karena proses pembuatan wadah bertekanan merupakan hal yang rumit dan memerlukan biaya yang tinggi, sehingga harga sediaan berbentuk foam menjadi mahal.25 Suatu penelitian yang membandingkan kemampuan bentuk sediaan foam, salep, krim, dan jel dalam melepaskan zat aktif (betametason valerat) telah dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan sediaan foam memiliki kemampuan yang sama dengan salep dan jel dalam melepaskan komponen zat aktif, namun lebih baik dibandingkan sediaan krim.25 Penelitian lain dilakukan terhadap 25 orang anak dan bayi dengan infeksi candida pada daerah popok. Ke 25 subyek diterapi dengan sediaan berbentuk foam yang mengandung nistatin, klorheksidin, dan prednisolon. Setelah dilakukan terapi selama 13 hari, seluruh subyek penelitian, termasuk subyek dengan manifestasi klinis yang berat menunjukkan kesembuhan.25 Liposom Liposom artifisial ditemukan oleh Alec D. Bangham pada tahun 1961. Sejak saat itu penggunaannya meluas dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang dermatoterapi. Liposom merupakan vesikel buatan terkecil yang dibentuk dari fosfolipid dan kolesterol. Fosfolipid yang sering digunakan dalam menyusun liposom adalah fosfatidilkolin.8,15,26,27 Secara struktural, liposom berbentuk bulat, dengan ukuran diameter bervariasi antara 20 nm sampai 10 m, dan ketebalan membran 3 nm. Susunan membran liposom sama dengan membran sel yang terdiri atas lipid bilayer (lihat gambar 2). Liposom dapat dibedakan menjadi liposom unilamelar dan liposom multilamelar. Liposom unilamelar berukuran 0.02-0.05 um, sedangkan liposom multilamelar berukuran 0.1-0.5 um.27 Lihat gambar 2.
Protective layer against immune destruction

DNA

Horning peptide

Drug crystallized in aqueous fluid Lipid bilayer

Lipid-soluble drug in bilayer

Gambar 2. Liposom26

Dalam bidang pengobatan, liposom dapat digunakan sebagai pembawa obat atau bahkan molekul DNA ke suatu sel target. Struktur unik liposom memungkinkan suatu molekul obat baik yang bersifat hidrofilik maupun hidrofobik dan juga DNA yang dibawanya dapat menembus lipid bilayer membran sel. Lipid bilayer pada liposom dapat bergabung (fusi) dengan lipid bilayer membran sel, untuk kemudian molekul obat maupun DNA yang dibawanya dilepaskan ke dalam sel target15,26-29 (lihat gambar 3). Dalam suatu sediaan topikal, liposom dapat diformulasikan dalam berbagai bentuk sediaan misalnya suspensi, losio, krim, dan jel.15,26

Gambar 3. Mekanisme pelepasan obat dari liposom ke dalam sel target29

32

A Asmara dkk.

Vehikulum dalam dermatologi topikal

Lieb dkk. (1992)30 membandingkan penyerapan obat yang diformulasikan dalam liposom dengan formulasi standar. Pada penelitian dengan menggunakan obyek hamster tersebut diperoleh hasil bahwa sediaan topikal yang menggunakan liposom diserap lebih baik dibandingkan sediaan dengan formulasi standar. Wolf dkk. (2000)31 membuktikan bahwa liposom dapat digunakan dalam sediaan topikal pada kulit sebagai pembawa molekul protein enzim T4 Endonuclease V. Pada penelitian lain oleh Jung dkk. (2004)32 yang juga menggunakan obyek uji binatang, didapatkan hasil bahwa obat yang dibawa dengan medium liposom dapat masuk folikel rambut lebih dalam dibanding formulasi standar yang tidak menggunakan liposom. Nanopartikel Nanopartikel adalah suatu partikel berukuran nanometer, dengan dimensi 50-200 nm. Nanopartikel tersusun oleh makromolekul yang ke dalamnya dapat dilarutkan atau dimasukkan suatu zat, misalnya obat aktif. Pada beberapa dekade terakhir ini penggunaannya meluas, termasuk dalam bidang pengobatan, baik dalam bentuk sediaan oral, parenteral, bahkan topikal. Strukturnya menyerupai liposom, namun hanya memiliki satu lapis membran, sehingga berbeda dengan liposom, bagian dalam nanopartikel bersifat lipofilik, sehingga berbagai molekul yang larut dalam lemak, seperti vitamin A, vitamin D, dan vitamin E dapat dimasukkan ke dalamnya.26 Karena ukurannya yang sangat kecil, sediaan topikal yang diformulasikan dalam bentuk nanopartikel dapat berkontak dengan lebih baik pada stratum korneum sehingga penetrasi zat aktif yang ada di dalamnya pun meningkat.4,15 Baroli dkk. (2006)33 melaporkan kemampuan nanopartikel menembus masuk ke dalam folikel rambut dan lapisan epidermis. Sementara Vogt dkk. (2006)34 melaporkan bahwa hanya nanopartikel dengan ukuran 40 nm yang dapat digunakan secara efisien sebagai pembawa vaksin melalui folikel rambut, namun tidak dengan molekul nanopartikel dengan ukuran lebih besar yaitu 750 nm dan 1500 nm.

PEMILIHAN VEHIKULUM DALAM DERMATOTERAPI TOPIKAL


Berbagai hal menjadi pertimbangan dalam pemilihan vehikulum dalam dermatoterapi, antara lain 1) stadium dan tipe penyakit kulit, 2) tipe/status kulit, 3) lokasi penyakit kulit, 4) faktor lingkungan, serta 5) pertimbangan kosmetik.3 Stadium dan tipe penyakit kulit Prinsip pengobatan basah-dengan-basah serta keringdengan-kering masih merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam dermatoterapi. Misalnya, dermatosis akut yang eksudatif ditatalaksana dengan vehikulum yang bersifat mendinginkan yaitu dengan menggunakan kompres dengan atau tanpa zat aktif. Sementara dermatitis kronik dengan kelainan kulit yang kering dapat ditatalaksana dengan menggunakan vehikulum salep, lotion, dan krim.3,35 Tipe dan status kulit Vehikulum dapat mengubah keadaan fisik dan kimiawi kulit dengan cara mempengaruhi kandungan lemak dan air di dalamnya. Vehikulum yang bersifat hidrofilik sesuai untuk digunakan pada kondisi kulit normal atau berminyak, sedangkan vehikulum yang bersifat lipofilik lebih cocok untuk keadaan kulit yang kering.3,35 Lokasi penyakit kulit Pemilihan vehikulum berdasarkan lokasi anatomis kelainan kulit menjadi hal penting. Ketebalan stratum korneum dan kepadatan folikel rambut yang bervariasi pada berbagai lokasi anatomis, mempengaruhi penyerapan sediaan topikal. Misalnya sediaan berbentuk salep dapat digunakan dalam pengobatan dermatosis pada telapak tangan atau telapak kaki. Pertimbangan lain yang berkaitan dengan lokasi anatomis juga menyangkut kenyamanan pasien dan pertimbangan kosmetik. 3,35 Faktor lingkungan Faktor lingkungan, misalnya kondisi iklim yang ekstrim dapat mengubah struktur matriks suatu vehikulum, sehingga diperlukan uji untuk mengetahui kestabilan vehikulum pada berbagai keadaan iklim.3 Pertimbangan kosmetik Penampilan fisik, bau, kemudahan dalam aplikasi, serta kemampuan untuk tidak meninggalkan residu setelah aplikasi menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan vehikulum karena dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam pengobatan.3,35

Gambar 4. Nanopartikel26

33

MDVI

Vol.39. No.1. Tahun 2012: 25-35

PRINSIP DASAR PEMBUATAN SEDIAAN OBAT TOPIKAL


Secara ideal, dalam pembuatan suatu sediaan obat topikal, vehikulum yang dipilih harus mudah dalam aplikasinya, tidak menimbulkan iritasi, nontoksik, nonalergenik, stabil secara kimiawi, homogen, bersifat inert, dan secara kosmetik dapat diterima penggunanya. Di sisi lain, vehikulum yang dipilih juga memungkinkan bahan aktif tetap stabil dan mudah dilepaskan ke dalam kulit setelah diaplikasikan.1,3,7,13 Pemilihan vehikulum yang tepat dapat meningkatkan bioavailabilitas obat aktif yang terkandung di dalamnya, sehingga perannya tidak dapat diabaikan dan hampir sama penting dengan peran zat/ obat aktif yang dibawanya.7,13,35 Beberapa parameter harus dipertimbangkan dalam pembuatan sediaan obat topikal, antara lain, fungsi dari tiap materi yang akan digunakan, jumlah materi yang digunakan, dan aspek fisiko-kimiawi dari zat aktif.7,13 1. Fungsi dari tiap materi yang digunakan Pengetahuan mengenai materi yang akan digunakan harus dimiliki oleh seorang formulator/ pembuat obat, termasuk dalam pembuatan obat topikal. Pengetahuan tersebut mencakup fungsi tiap materi dalam sebuah formulasi/sediaan, misalnya fungsi sebagai vehikulum, bahan pengemulsi, penetration enhancer, bahan pembentuk jel, dan berbagai fungsi lainnya.7 Seorang formulator yang belum berpengalaman kadang mengambil contoh dari suatu sediaan dalam bentuk jadi yang sudah dikenal untuk melihat materi apa saja yang digunakan dalam sediaan tersebut. Hal tersebut sebaiknya dilakukan dengan hati-hati, karena modifikasi pada spesifikasi materi yang digunakan dapat merusak stabilitas sediaan.7 2. Jumlah materi yang akan digunakan Dalam suatu vehikulum multifase misalnya krim, jumlah tiap materi yang digunakan harus diperhitungkan dengan tepat.7,17 Hal tersebut berkaitan dengan stabilitas sediaan yang dibuat. Suatu vehikulum multifase tersusun oleh materi hidrofilik dan lipofilik. Untuk menyatukan kedua zat yang berbeda afinitasnya terhadap air dan minyak tersebut, diperlukan bahan pengemulsi. Jumlah materi yang digunakan, baik materi hidrofilik maupun lipofilik akan menentukan jumlah dan jenis bahan pengemulsi yang diperlukan.17 3. Sifat fisikokimiawi zat aktif dan vehikulum Sifat fisikokimiawi zat aktif maupun vehikulum menentukan nilai koefisien partisi zat aktif antara vehikulum dan stratum korneum dan pada akhirnya menentukan kemampuan zat aktif berdifusi ke dalam lapisan kulit. Tingkat kelarutan yang terlalu tinggi dari zat aktif dalam vehikulum sebaiknya dihindari, karena akan mencegah partisi bahan aktif ke permukaan stratum korneum setelah diaplikasikan. 7,13

PENUTUP
Terapi topikal merupakan salah satu metode pengobatan yang sering digunakan dalam bidang dermatologi. Berbagai jenis vehikulum dapat digunakan dalam formulasi suatu sediaan topikal. Pengetahuan mengenai mekanisme kerja dan sifat/ efek tiap jenis vehikulum serta teknologi terbaru yang ditemukan sangat diperlukan bagi keberhasilan terapi topikal, upaya mengurangi efek samping terapi, dan kepatuhan pasien dalam pengobatan. DAFTAR PUSTAKA
1. Wyatt EL, Sutter SH, Drake LA. Dermatological pharmacology. Dalam: Goodman and Gillmans the pharmacological basis of therapeutics. Edisi ke-10. New York: McGraw-Hill. 2001. p. 1795-8. Sharma, S. Topical drug delivery systems: A review. Diunduh dari http://www.pharmainfo.net. Last update: 10/11/2008 Surber C, Smith EW. The mystical effects of dermatological vehicles. Dermatology. 2005; 210: 157-68. Contreras JEL. Human skin drug delivery using biodegradable PLGA-Nanoparticles. Saarbrucken, 2007 Gupta P, Garg S. Recent advances in semisolid dosage forms for dermatological application. Pharmaceutical Technology, 2002. Chu DH. Development and structure of the skin. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, penyunting. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2008. p. 57-72. Barry, BW. Dermatological formulations. New York: Marcel Dekker, Inc, 1983 Schaefer H, Redelmeier TE, Nohynek GJ, Lademann J. Pharmacokinetics and topical applications of drugs. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, penyunting. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2008. p. 2097-102. Teichmann A, Jacobi U, Ossadnik M, Richter H, Koch S, Sterry W, dkk. Differential stripping: Determination of the amount of topically applied substances penetrated into hair follicles. J Invest Dermatol. 2005; 125: 264-9. Herkenne C, Naik A, Kalia YN, Hadgraft J, Guy RH. Dermatopharmacokinetic prediction of topical drug bioavailability in vivo. J Invest Dermatol. 2007; 127: 887-94. Magnusson BM, Anissimov YG, Cross SE, Roberts MS. Molecular size as the main determinant of solute maximum flux across the skin. J Invest Dermatol. 2004; 122: 993-9. Raschke, T. Topical activity of ascorbic acid: From in vitro optimization to in vivo efficacy. Skin Pharmacol Physiol. 2004; 7: 200-6. Bergstorm KG, Strobber BE. Principles of topical therapy. Dalam Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, penyunting. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2008. p. 2091-6. Lautenschlger, H. All purpose talcum free powder bases with urea. Kosmetische Medizin 2006; 2: 68-70. Gupta P, Garg S. Recent advances in semisolid dosage forms for dermatological application. Pharmaceutical Technology 2002: 144-62.

2. 3. 4. 5. 6.

7. 8.

9.

10.

11.

12.

13.

14. 15.

34

A Asmara dkk.

Vehikulum dalam dermatologi topikal

16. Advantan ointment, fatty ointment, cream, and lotion. Product information. May 2008 17. Rosoff M. Specialized pharmaceutical emulsions. Dalam: Lieberman HA, Rieger MM, Banker GS, penyunting. Pharmaceutical dosage forms: Disperse systems. New York: Marcel Dekker, Inc,1998 18. Wiren K, Fritiof H, Sjoqvist C, Loden M. Enhancement of bioavailability by lowering of fat content in topical formulations. Br J Dermatol. 2009; 160: 552-6. 19. Duweb G, Aldebani S, Elzorghany A, Benghazil M, Alhaddar J. Calcipotriol ointment versus cream in psoriasis vulgaris. Int J Clin Pharmacol Res. 2003; 23(2-3): 47-51. 20. Cal, K. How does the type of vehicle influence the in vitro skin absorption and elimination kinetics of terpenes? Arch Dermatol Res. 2006; 297: 311-5. 21. Breneman D. Clobetasol propionate 0.05% lotion in the treatment of moderate to severe atopic dermatitis: a randomized evaluation versus clobetasol propionate emollient cream. J Drugs Dermatol. 2005; 4(3): 330-6. 22. Lowe N. Clobetasol propionate lotion, an efficient and safe alternative to clobetasol propionate emollient cream in subjects with moderate to severe plaque-type psoriasis. J Dermatol Treat. 2005; 16(3): 158-64. 23. Drugs.com-Drug information and side effects online. Ciclopirox nail lacquer. Diunduh dari www.drugs.com. Last update July 2006 24. Gupta, AK; Schouten, JR; Lynch, LE. Ciclopirox nail lacquer 8% for the treatment of onychomycosis: A Canadian perspective. Diunduh dari www.emedicine.com. Published on 1 June 2006 25. Purdon CH, Haigh JM, Surber C, Smith EW. Foam drug delivery in dermatology. Am J Drug Deliv. 2003; 1(1):71-5.

26. Lautenschlger H. Active agents: liposomes, nanoparticles & co. Beauty Forum. 2003; 5: 84-86. 27. Patel SS, Liposome: A versatile platform for targeted delivery of drugs. Diunduh dari www.pharmainfo.net tanggal 20 Maret 2009 28. Lautenschlger, H. Liposomes. Dalam: Barel A. O., Paye M. Maibach H. I., editor. Handbook of cosmetic science and Technology. Boca Raton: CRC Press Taylor & Francis Group. 2006. p. 155-63. 29. Lautenschlger H. Applied corneotherapy and skincare - guidelines for the anti-aging treatment. sthetische Dermatologie. 2007; 3: 8-16. 30. Lieb LM. Topical delivery enhancement with multilamellar liposomes into pilosebaceous units: in vitro evaluation using fluorescent techniques with the hamster ear model. J. Invest. Dermatol. 1992; 99: 108-13. 31. Wolf P. Topical treatment with liposomes containing T4 endonuclease V protein protects human skin in-vivo from ultraviolet-induced upregulation of interleukin 10 and tumor necrosing factor . J Invest Dermatol. 2000; 114: 149-56. 32. Jung S. Innovative liposomes as a transfollicular drug delivery system: penetration into porcine hair follicles. J. Invest. Dermatol. 2006; 126: 172832. 33. Baroli B, Ennas MG, Loffredo F, Isola M, Pinna R, Lopez-Quintela MA. Penetration of metallic nanoparticles in human full-thickness skin. J. Invest. Dermatol. 2007; 127: 887-94. 34. Vogt A. 40 nm, but not 750 or 1,500 nm, nanoparticles enter epidermal CD1a cells after transcutaneous application on human skin. J Invest Dermatol. 2006; 126: 1316-22. 35. Vlahovic TC. Choosing the right vehicle. Podiatry management, podiatric dermatology, 2008

35

Anda mungkin juga menyukai