Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Wabah penyakit merupakan salah satu faktor penyebab terbesar kematian
penduduk. Timbulnya wabah dapat memberikan gambaran buruknya kondisi
kesehatan penduduk. Berbagai faktor yang mempengaruhi kondisi kesehatan
masyarakat meliputi gizi atau nutrisi yang tidak baik, kurang dalam hal menjaga
kebersihan lingkungan dan penyediaan air bersih maupun pelayanan kesehatan.
Kolera merupakan suatu sindrom epidemiologik klinis yang disebabkan oleh
Vibrio cholerae, dalam kasus penyakit yang berat penyakit ini ditandai oleh diare
yang hebat dengan tinja menyerupai air cucian beras yang dengan cepat
menimbulkan dehidrasi. Ada dua sifat epidemiologik yang khas dari kolera yaitu
kecenderungannya untuk menimbulkan wabah secara cepat dan kemampuannya
untuk menjadi pandemik yakni terjangkitnya penyakit menular pada banyak orang
dalam daerah geografi yang luas yang secara progresif mengenai banyak tempat
di dunia (Muslimah, 2016).
Kasus penyakit kolera hingga tahun 2015 tercatat terjadi sebanyak 172.454
kasus kolera termasuk 1.304 merupakan kasus kematian yang menghasilkan case
fatality ratio keseluruhan (CFR) sebesar 0,8% yang setiap tahunnya terjadi
peningkatan. Kasus penyakit kolera ini dilaporkan dari semua wilayah belahan
dunia. Kasus kolera di Indonesia pun sering terjadi dan sempat menjadi wabah di
suatu wilayah endemik, oleh sebab itu perlu diketahui penyebab penyakit dan cara
pengobatan dari penyakit kolera tersebut untuk mencegah (World Health
Organization, 2016).
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui klasifikasi, morfologi, dan sifat fisiologi bakteri
Vibrio cholerae.
2. Untuk mengetahui cara mendeteksi adanya bakteri Vibrio cholerae.
3. Untuk memahami mekanisme terjadinya penyakit dan penanganan
penyakit kolera.

1
BAB II
ISI

2.1 Klasifikasi Vibrio cholerae


Berikut ini klasifikasi (taksonomi) dari Vibrio cholerae sebagai berikut:
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria
Ordo : Vibrionales
Famili : Vibrionaceae
Genus : Vibrio
Spesies : Vibrio cholerae (Dutta dkk., 2013).
Bakteri Vibrio cholerae diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu serotype
dan biotype. Vibrio cholerae jenis serotype dibedakan berdasarkan atas
kemampuannya untuk mengaglutinasi antisera polivalent O. Jenis serotype terdiri
atas tiga macam yaitu Ogawa (AB), Inaba (AC), dan Hikojima (ABC). Jenis
biotype dibedakan berdasarkan sensitifitasnya terhadap bakteriofage, yaitu
Klasikal dan El-Tor. Jenis biotype Klasikal dan El-Tor termasuk ke dalam grup
O1, biotype Klasikal merupakan penyebab asiatik kolera, sedangkan biotype El-
Tor pertama tercatat pernah muncul di Sulawesi pada tahun 1961. Jenis biotype
Klasikal selain menghasilkan toksin, menghasilkan pula hemolisin yaitu suatu
protein yang dapat menyebabkan hemolysis darah sehingga penderita diare
mengalami diare yang berdarah. Grup non O1 dianggap tidak begitu berbahaya
karena hanya menyebabkan diare ringan. Tahun 1991, dunia dikejutkan oleh
wabah penyakit kolera di Bangladesh dan India yang disebabkan oleh Vibrio
cholerae non O1 yang memproduksi toksin seperti grup O1. Strain baru tersebut
selanjutnya dinamakan Vibrio cholerae O139 (Dutta dkk., 2013).
2.2 Morfologi Vibrio cholerae
Vibrio cholerae merupakan bakteri yang berbentuk batang bengkok seperti
koma dengan ukuran tubuh ± 0,5 µm x 1,5-3,0 µm. Vibrio cholerae termasuk ke
dalam golongan bakteri Gram negatif, tidak memiliki atau membentuk spora,

2
hidup secara aerob atau anaerob fakultatif, bergerak melalui flagel yang monotrik,
dan biakan tua dapat menjadi berbentuk batang lurus. Vibrio cholerae dapat
ditemukan di lingkungan sekitar seperti air sungai, air laut, air sumur, air
penampungan, bahkan pada hewan-hewan air yang biasa dikonsumsi manusia.
Morfologi dan sifat-sifat dari Vibrio cholerae ini dapat dijadikan pedoman dalam
diagnose atau identifikasi Vibrio cholerae secara konvensional. Adanya kolera
enterotoksin yang spesifik hanya terdapat pada Vibrio cholerae yang bersifat
patogen, sehingga dapat menjadi target dalam pemeriksaan laboratorium untuk
diagnosa menggunakan teknik biomolekuler seperti metode polymerase chain
reaction (PCR) (Guntina dan Kusuma, 2015).

Gambar 1. Bentuk bakteri Vibrio cholerae (Howard dan Daghlian, 2012)


2.3 Fisiologi Vibrio cholerae
Vibrio cholerae merupakan bakteri yang bersifat aerob atau anaerob
fakultatif yang tumbuh baik pada suhu antara 18-37oC (bakteri ini tidak tahan
panas), sedangkan pH lingkungan tumbuhnya harus pada pH yang sangat tinggi
yang berkisar antara 8,5-9,5 (pada pH netral kecepatan pertumbuhannya optimum,
sedangkan pada pH asam akan meningkatkan laju kematian). Apabila dibiakkan
dalam suatu media, akan tumbuh baik pada media yang mengandung garam
mineral dan asparagin sebagai penyedia sumber karbon dan nitrogen, sedangkan
apabila dibiakkan dalam media thiosulfate-citrate-bile-sucrose (TCBS)
pertumbuhannya akan menjadi lebih baik dan cepat. Saat dibiakkan dalam media,
hasil pembiakkannya berupa koloni yang berbentuk bulat, berwarna kuning,
berdiameter 1-3 mm dan mukoid, sehingga mudah dibedakan antara koloni
bakteri lain dan mudah diisolasi. Vibrio cholerae dapat melakukan proses
fermentasi sukrosa, manosa, dan maltosa tanpa menghasilkan gas pada media

3
TCBS, selain itu mampu memfermentasikan nitrit, tetapi tidak mampu
memfermentasikan arabinosa. Apabila dibiakkan pada air peptone alkali, bakteri
ini akan tumbuh dengan baik setelah 6 jam inkubasi pada suhu kamar, oleh sebab
itu media ini sering dipakai untuk mentransport sampel feses atau usapan dubur
penderita penyakit kolera (Raufman, 1998).
Vibrio cholerae dapat menghasilkan enterotoksin yang mengandung 98%
protein, 1% lipid, dan 1% karbohidrat. Setiap molekul enterotoksin Vibrio
cholerae terdapat 5 subunit B (binding) dan 1 subunit A (active). Subunit A
mempunyai 2 komponen yaitu A1 dan A2. Enterotoksin berikatan dengan reseptor
ganglion pada permukaan enterocytes melalui 5 subunit B, sedangkan subunit A2
mempercepat masuknya enteretoksin ke sel dan komponen subunit A1 bertugas
meningkatkan aktivitas adenil siklase cairan dan elektrolit, sehingga menimbulkan
diare masif dengan kehilangan cairan mencapai 20 liter per hari yang dikenal
dengan Watery Diarrhea. Apabila pada kasus berat dengan gejala dehidrasi, syok,
dan gangguan elektolit dapat menyebabkan kematian (Raufman, 1998).
2.4 Deteksi Vibrio cholerae
Tingginya angka kejadian penyakit kolera di dunia terutama di Indonesia
menuntut perlunya metode deteksi yang efektif dan akurat. Deteksi Vibrio
cholerae dapat dilakukan secara konvensional yaitu dengan menggunakan metode
strip test, agglutination test, dan dark field test maupun secara molekuler
menggunakan metode Polymerase chain reaction (PCR). Metode PCR mencakup
PCR real-time, microarray, dan PCR multiplex. Metode PCR real-time dan
microarray tergolong metode yang mahal, sedangkan PCR multiplex dapat
mendeteksi target spesies tunggal atau multiple terhitung efektif. Deteksi berbasis
PCR adalah teknik yang cepat dan sensitive untuk diagnosis primer dan kontrol
patogenitas dimana gen spesifik biotype, seperti ctxA dan tcpA yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi adanya Vibrio cholerae (Hossain dkk., 2012).
Deteksi bakteri patogen secara konvensional terutama didasarkan pada
prosedur budidaya menggunakan enrichment broth yang dilanjutkan dengan
isolasi koloni pada media selektif, identifikasi biokimia, dan konfirmasi
patogenisitas. Metode konvensional yang digunakan untuk mendeteksi dan

4
mengklasifikasikan Vibrio sp. penyebab kolera yang diisolasi dari sampel klinis
dan lingkungan memerlukan beberapa hari untuk menyelesaikan dan melibatkan
kultur dalam air peptone alkali, agar suap empedu asam tiosulfat sitrat, aglutinasi
geser dengan antisera spesifik, dan uji untuk produksi toksin kolera. Aglutination
test dilakukan dengan menggunakan antisera yang mengandung antibodi
monoklonal yang langsung direaksikan dengan bahan sampel dengan
menggunakan sediaan gelas. Tes ini juga menggunakan protein A dari bakteri
Staphylococcus aureus yang dilapisi pada antibodi monoklonal. Antigen Vibrio
cholerae akan bereaksi dengan reagen yang mengandung antibodi monoklonal
sehingga terbentuk aglutinasi. Spesimen yang digunakan dapat berupa swab tinja
atau dengan menggunakan medium pembenihan terlebih dahulu yang diinkubasi
37oC selama 4-6 jam (Guntina dan Kusuma, 2015).
Metode strip test dilakukan dengan menggunakan plastik strip yang dilapisi
kertas membran berukuran 5 mm x 80 mm, dimana pada daerah bawah dilapisi
dengan antibodi monoklonal yang diberi gold yang digunakan sebagai sistem
deteksi. Bagian tengah digunakan sebagai zona reaksi antara antigen yang
terdeteksi dengan tes kontrol, sedangkan pada bagian atas digunakan sebagai
pegangan dalam melakukan tes. Pita 1 dilapisi dengan antibodi Vibrio cholerae
sedangkan pita 2 dilapisi dengan anti mouse antibody. Antibodi Vibrio cholerae
pada pita 1 akan mengikat bagian komplek antigen Vibrio cholerae-Monoclonal
antibody, sedangkan anti mouse antibody akan mengikat bagian monoclonal
antibody, sehingga terbentuk warna merah muda pada daerah pita. Metode dark
field test (mikroskop lapangan gelap) dilakukan untuk uji skrining feses untuk
menentukan ada tidaknya Vibrio cholerae. Spesimen feses bentuk cair dapat
dilakukan pemeriksaan langsung dengan meneteskan specimen pada gelas kaca
dan ditutup dengan penutup gelas kaca dan dilihat di bawah mikroskop lapang
gelap. Spesimen juga dapat dilakukan pembenihan terlebih dahulu pada medium
alkalis pepton water (Sariadji dan Puranto, 2015).
2.5 Penyakit Kolera
Kolera merupakan penyakit infeksi usus kecil yang disebabkan oleh bakteri
Vibrio cholerae. Bakteri kolera menghasilkan racun yang menyebabkan usus

5
halus melepaskan sejumlah besar cairan yang kaya akan garam dan mineral.
Bakteri ini sensitive terhadap asam lambung, oleh sebab itu penderita yang
kekurangan asam lambung cenderung mudah diinfeksi oleh bakteri ini. Vibrio
cholerae menyebar melalui air yang diminum, makanan laut, atau makanan
lainnya yang tercemar oleh kotoran orang yang terinfeksi. Penyakit kolera dapat
disebabkan karena masih rendahnya tingkat kesadaran manusia akan pentingnya
kebersihan lingkungan, selain itu mudahnya cara penularan yang dapat terjadi
secara langsung dari satu orang ke orang lainnya, dapat pula melalui lalat, air,
makanan, dan minuman (Muslimah, 2016). Infeksi melalui makanan dan
minuman terkontaminasi yang tertelan, setelah melewati pertahanan asam
lambung Vibrio cholerae menghasilkan dua faktor virulensi yang menyebabkan
kolera yaitu toxin coregulated pilus (TCP) dan cholera toxin (CT). TCP berperan
dalam proses kolonisasi pada intestinal, sedangkan CT menyebabkan seseorang
mendapatkan gejala yang khas pada diare kolera. Gen cholera enterotoksin hanya
dimiliki Vibrio cholerae yang bersifat patogen seperti O1 dan O139 (Kharirie,
2013).

Gambar 2. Siklus hidup dan mekanisme masuknya Vibrio cholerae ke


dalam tubuh manusia (Dutta dkk., 2013).

6
Mekanisme Vibrio cholerae mampu menyebabkan penyakit kolera karena
meningkatnya sekresi enterotoksin yang merangsang aktivitas enzim adenil
siklase di dalam sel usus. Hal ini mengakibatkan pengubahan adenosin tri phospat
(ATP) menjadi adenosine mono phospat siklik (cAMP) yang menyebabkan
sekresi elektrolit ke dalam rongga usus sehingga terjadi kehilangan cairan dalam
jumlah besar dan ketidakseimbangan elektrolit. Infeksi bakteri ini dapat
mengakibatkan gastroenteritis yang ditandai dengan buang air besar berdarah
disertai muntah berdarah, demam, dan sakit kepala. Bakteri Vibrio cholerae tidak
bersifat invasif dan tidak masuk ke dalam aliran darah, tetapi tetap berada di
saluran usus. Infeksi melalui makanan dan minuman terkontaminasi yang tertelan,
setelah melewati pertahanan asam lambung Vibrio cholerae menghasilkan dua
faktor virulensi yang menyebabkan kolera yaitu toxin coregulated pilus (TCP) dan
cholera toxin (CT). (Kharirie, 2013).
Gejala yang ditimbulkan meliputi muntah, buang air besar seperti air beras
dalam jumlah banyak yang mengakibatkan dehidrasi, kehilangan elektrolit, dan
naiknya keasaman darah. Kasus kolera yang berat, penderita terus menerus buang
air besar disertai muntah, sehingga penderita akan kehilangan cairan serta
elektrolit dengan cepat dari saluran pencernaan. Hal ini menyebabkan renjatan
keasaman metabolik dan apabila tidak diobati dapat menyebabkan kematian
(Kharirie, 2013).
2.6 Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Kolera
Pencegahan penularan penyakit kolera dapat dilakukan melalui beberapa
cara. Penularan kolera melalui air oleh bakteri Vibri cholera menyebabkan salah
satu pencegahannya yaitu menyediakan air bersih dan menghindari menampung
air dalam wadah bermulut lebar jika ada salah satu warga yang terkena infeksi
Vibrio cholerae. Penularan melalui hewan-hewan yang hidup di air seperti ikan,
kerang, remis, udang, tiram, dan kepiting yang mungkin tercemar oleh bakteri
dapat diatasi dengan cara memasak hingga matang sebelum dikonsumsi.
Konsumsi makanan-makanan laut secara mentah dapat meingkatkan resiko infeksi
oleh Vibrio cholera, selain itu mencuci peralatan yang digunakan untuk makan
atau wadah yang akan diisi makanan dengan air bersih juga dapat membantu

7
mencegah penularan penyakit kolera (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, 2013).
Oralit dan zinc sangat dibutuhkan pada pengelolaan diare balita yang
terkena penyakit kolera. Oralit dibutuhkan sebagai rehidrasi yang penting saat
anak banyak kehilangan cairan akibat diare dan kecukupan zinc di dalam tubuh
balita akan membantu proses penyembuhan diare. Pengobatan dengan pemberian
oralit dan zinc terbukti efektif dalam menurunkan tingginya angka kematian
akibat diare sampai 40%. Selain itu pemberian antibiotik juga dapat dilakukan
untuk pengobatan penyakit kolera (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, 2013).
Vaksinasi juga dapat dilakukan agar tidak tertular bakteri kolera. Namun
distribusi vaksin masih sangat terbatas. Ada tiga merk vaksin kolera yang telah
lolos uji pre-kualifikasi WHO, yaitu Dukoral®, Shanchol™, dan Euvichol®.
Vaksin tersebut diberikan secara oral. Vaksin diperuntukkan bagi orang-orang
yang akan bepergian ke daerah wabah kolera dan bagi mereka yang memiliki
akses pelayanan medis terbatas (misalnya petugas bantuan kemanusiaan). Vaksin
kolera idealnya diberikan sekitar satu minggu sebelum orang tersebut pergi ke
daerah rawan kolera. Bagi yang berusia di atas enam tahun, 2 dosis vaksin kolera
dapat melindungi mereka dari infeksi bakteri kolera selama dua tahu, sedangkan
bagi anak-anak yang berusia 2-6 tahun, dibutuhkan 3 dosis vaksin kolera untuk
melindungi mereka dari serangan bakteri kolera selama enam bulan (World
Health Organization, 2016).

8
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Vibrio cholerae terdiri atas serotype dan biotype, termasuk ke dalam
golongan bakteri Gram negatif, tidak memiliki atau membentuk spora,
hidup secara aerob atau anaerob fakultatif, bergerak melalui flagel yang
monotrik, dan mampu memfermentasikan beberapa jenis gula serta
menghasilkan enterotoksin yang bersifat patogen.
2. Deteksi Vibrio cholerae dapat dilakukan secara konvensional yaitu
dengan menggunakan metode strip test, agglutination test, dan dark
field test maupun secara molekuler menggunakan metode Polymerase
chain reaction (PCR).
3. Penyakit kolera terjadi karena meningkatnya sekresi enterotoksin yang
menyebabkan kehilangan cairan dalam jumlah besar dan
ketidakseimbangan elektrolit, penyakit ini dapat dicegah dengan
menjaga sanitasi dan pengobatan bagi yang sudah terinfeksi dapat
dilakukan dengan pemberian oralit dan vaksin.

9
DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan Dasar


(RISKESDAS). Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Dutta, D., G. Chowdhury, G. P. Pazhani, S. Guin, S. Dutta, S. Ghosh, K.
Rajendran, R. K. Nandy, A. K. Mukhopadhyay, M. K. Bhattacharya, U.
Mitra, Y. Takeda, G. B. Nair, dan T. Ramamurthy. 2013. Vibrio cholerae
Non-O1, Non-O139 Serogroups and Cholera-like Diarrhea, Kolkata, India.
Emerging Infectious Diseases. 19(3):464-467.
Guntina, R. K. dan S. A. F. Kusuma. 2015. Deteksi Bakteri Vibrio cholerae.
Farmaka. 15(1): 92-104.
Hossain, M. T. dkk. 2012. Development of A GroEL Gene-Based Species-
Specific Multiplex Polymerase Chain Reaction Assay for Simultaneous
Detection of Vibrio cholerae, Vibrio parahaemolyticus, and Vibrio
vulnivicus. J. Appl. Microbiol. 144(1):448-456.
Howard, L. dan C. Daghlian. 2012. Vibrio cholerae Acrylic Print. America: Fine
Art.
Kharirie. 2013. Diagnosa Vibrio cholera dengan Metode Kultur dan Polimerase
Chain Reaction (PCR) pada Sampel Sumber Air Minum. Jurnal Biotek
Medisiana Indonesia. 2(2): 51-58.
Muslimah, A. 2016. Wabah Kolera di Jawa Timur Tahun 1918-1927. AVATARA
e-Journal Pendidikan Sejarah. 4(3):892-901.
Nelson, E. J., J. B. Harris, J. G. Morris, S. B. Calderwood, dan A. Camilli. 2009.
Cholera Transmission: The Host, Pathogen, and Bacteriophage Dynamic.
Nat Rev Microbiol. 7(10):1-24.
Raufman, M. D. 1998. Physiology in Medicine: Cholera. US: Excerpta Medica
Inc.
Sariadji, S. K. dan H. R. Puranto. 2015. Diagnostik Cepat Sebagai Metode
Alternatif Diagnosis Kolera yang Disebabkan oleh Agen Vibrio cholerae.
Jurnal Biotek Medisiana. 4(1):1-7.
World Health Organization. 2016. Weekly Epidemiological Record. Weekly
Epidemiological Record. 91(38). 433-440.

10

Anda mungkin juga menyukai