Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH FARMAKOGNOSI

GLIKOSIDA DAN TANIN

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 2
NI KADEK CORNELIA AYU TRISNA (1608551014)
NI MADE FITRIANI (1608551015)
ADE ARI SUNDARI (1608551016)
MADE DEWI WIDYASTUTI (1608551017)
NI KADEK KARYAWATI (1608551018)
NI WAYAN INTAN INDAYANTI (1608551020)
I WAYAN AGUS WIDIANTARA (1608551021)
NI PUTU YESI ANITA DEWI (1608551022)
ANDREW BORNEO SALIAN PAWARRANGAN (1608551023)
NI LUH GEDE WIWIN PEBRIANI (1608551024)
PUTU ARISTIAWATI DUARSA (1608551026)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2017
A. GLIKOSIDA
I. Definisi dan Sifat Fisika Kimia Glikosida
Glikosida merupakan salah satu kandungan kimia tanaman yang termasuk dalam
kelompok metabolit sekunder. Di dalam tanaman, glikosida tidak lagi diubah menjadi
senyawa lain, kecuali bila memang mengalami penguraian akibat pengaruh lingkungan luar
(misalnya terkena panas dan teroksidasi udara) (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Glikosida adalah senyawa yang tersusun dari molekul gula (glikon) yang berikatan
dengan molekul bukan-gula (molekul bukan gula tersebut dinamakan aglikon atau genin).
Keduanya dihubungkan oleh suatu bentuk ikatan berupa jembatan oksigen (O-glikosida),
jembatan nitogen (N-glikosida), jembatan sulfur (S-glikosida), maupun jembatan karbon (C-
glikosida). Apabila glikon dan aglikon saling terikat maka senyawa ini disebut sebagai
glikosida (Gunawan dan Mulyani, 2004). Gambar struktur ikatan glikon dan aglikon bisa
dilihat pada gambar berikut.

Glikon O Aglikon

Gambar 1. Struktur O-glikosida (Gunawan dan Mulyani, 2004).


Apabila glikon dan aglikon saling terikat, maka senyawa ini mudah terurai oleh
pengaruh asam, basa, enzim, air, dan panas. Semakin pekat kadar asam atau basa maupun
semakin panas lingkungannya maka glikosida akan semakin mudah dan cepat terhidrolisis.
Saat glikosida terhidrolisis maka molekul akan pecah menjadi dua bagian, yaitu bagian gula
dan bagian bukan gula. Dalam bentuk glikosida, senyawa ini larut dalam pelarut polar
seperti air. Namun, bila telah terurai maka aglikonnya tidak larut dalam air namun larut
dalam pelarut organik nonpolar (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Apabila bagian aglikon dari suatu glikosida juga merupakan gula, maka glikosida ini
disebut hallosida, sedangkan apabila bukan gula maka disebut heterosida. Aglikon dari
glikosida terdiri dari banyak jenis senyawa kimiawi. Senyawa-senyawa tersebut meliputi
senyawa-senyawa alkoholik dan fenolik, isotiosianat, nitrilsianogenetik, turunan antrasen,
flavonoid dan steroid. Meskipun demikian, glikosida tanaman yang banyak digunakan
secara medisial kebanyakan hanya mempunyai aglikon steroid, flavonoid atau antrasen. Ini
tidak berarti bahwa glikosida lain tidak penting, melainkan kegunaannya untuk pengobatan
sedikit (Najib, 2006).
Sifat fisika yang dimiliki oleh glikosida yaitu memiliki bentuk kristal atau amorf.
Pada umumnya mudah larut dalam air atau etanol encer (kecuali pada glikosida resin). Oleh
karenanya, banyak sediaan-sediaan farmasi mengandung glikosida umumnya diberikan
dalam bentuk eliksir, ekstrak atau tingtura dengan kadar etanol yang rendah. Larutan
glikosida dalam air kadang-kadang bisa berasa pahit. Bersifat memutar bidang polarisasi ke
kiri dan tidak mereduksi larutan Fehling, kecuali bila telah mengalami proses hidrolisis
(Gunawan dan Mulyani, 2004).
Secara kimiawi, glikosida adalah senyawa asetal dengan satu gugus hidroksi dari
gula yang mengalami kondensasi dengan gugus hidroksi dari komponen bukan gula.
Sementara gugus hidroksi yang kedua mengalami kondensasi di dalam molekul gula itu
sendiri membentuk lingkaran oksida. Oleh karena gula terdapat dalam dua konformasi, yaitu
bentuk alfa dan bentuk beta maka bentuk glikosidanya secara teoritis juga memiliki bentuk
alfa dan bentuk beta. Namun, dalam tanaman ternyata hanya glikosida bentuk beta saja yang
terkandung di dalamnya. Hal ini di dukung oleh kenyataan bahwa emulin dan enzim alami
lain hanya mampu menghidrolisis glikosida yang ada pada bentuk beta (Gunawan dan
Mulyani, 2004).

II. Penggolongan Glikosida


Banyak sistem penggolongan glikosida yang telah dilakukan. Sebagian diantaranya
penggolongan tersebut didasarkan pada gugus gulanya dan sebagian lain didasarkan pada
gugus aglikonnya. Namun, ada pula penggolongan glikosida dilakukan berdasarkan pada
aktivitas farmakologinya (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Glikosida Famili
Glikosida steroid Scrophulariaceae, Apocynaceae, Liliaceae
Glikosida antrakuinon Leguminosae, Polygonaceae, Liliaceae
Glikosida saponin Liliaceae, Leguminosae
Glikosida resin Convalaceae
Glikosida tannin Theaceae, Rubiaceae
Glikosida sianopora Euphorbiaceae, Leguminosae, Rosaceae,
Linaceae
Glikosida isotiosianat Cruciferae
Glikosida flavonol Rutin, Ginkgoaceae, Labiatae
Glikosida sianhidrin Rosaceae, Linaceae
Glikosida alkohol, aldehida, lakton, Meloidae, Ericaceae
fenol
Tabel 1. Pengelompokkan Glikosida Berdasarkan Struktur Aglikon
1. Glikosida Antrakuinon
Glikosida antrakuinon adalah glikosida yang aglikonnya berkerabat dengan antrasena
yang memiliki gugus karbonil pada kedua atom C yang berseberangan (Gunawan dan
Mulyani, 2004). Glikosida ini sering disebut sebagai glikosida hidroksi-antrasen dan
kebanyakan digunakan untuk pengobatan konstipasi. Terdapat pada berbagai tumbuhan
famili Fabaceae (Cassia sp.), Liliaceae (Aloe sp.), Polygonaceae (Rheumsp.), Rhamnaceae
(Rhamnus sp.), Rubiaceae (Rubia sp.) dan Verbenaceae (Tectona sp.) (Sukardiman, dkk.,
2014).

Gambar 2. Struktur glikosida antrakuinon (Gunawan dan Mulyani, 2004)


Quinon dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok benzokinon, naftokinon,
dan antrakinon. Kelompok antrakinon merupakan yang terbesar dan tersebar luas pada
berbagai tanaman. Aglikon antrakuinon yang paling umum adalah emodin, aloe-emodin,
krisofanol dan physcion. Dalam tumbuhan senyawa ini kebanyakan berada dalam bentuk O-
glikosida, contohnya krisofanol-8-glukosida. Ada juga sedikit yang berada sebagai C-
glikosida, contohnya adalah barbaloin (Sukardiman, dkk., 2014).

Gambar 3. Struktur Krisofanol-8-O-glukosida dan Barbaloin (Sukardiman, dkk., 2014)


Berikut ini contoh dari simplisia yang mengandung glikosida antrakuinon:
a. Daging daun Aloe vera L. (famili Liliaceae). Aloe mengandung tidak kurang 5%
ekstrak yang larut dalam air. Aloe mengandung C-glikosida dan resin, yaitu aloin,
barbaloin, dan isobarbaloin. Aloe digunakan sebagai pencahar. Aktivitasnya akan
bertambah apabila diminum bersama sedikit garam alkali. Sementara efek
kurminatifnya dapat mengurangi kecenderungan mulas. Aloe merupakan salah satu
komponen dari Compound Benzoid Tincture (Gunawan dan Mulyani, 2004).
b. Kelembak berasal dari tanaman Rheum palmatum yang mengandung antrakuinon
tanpa gugus karbosil, misalnya krisofanol, aloe-emodi, emodin, dan fision. Kelembak
digunakan sebagai stomakhikum pahit dan dalam pengobatan diare. Daya pencaharnya
diikuti dengan efek astrigensia (setelah efek urus-urus hilang muncul efek sembelit).
Kelembak cocok untuk pencahar yang sifat pemakaiannya hanya sekali-kali dan tidak
baik digunakan untuk mengobati konstipasi yang kronis (Gunawan dan Mulyani,
2004).
c. Daun sena adalah daun kering dari tanaman Cassia senna Linn. (famili Leguminosae)
yang mengandung turunan antrakuinon, aloe emodin dan rhein. Daun sena digunakan
sebagai purgativum dalam kasus konstipati (Gunawan dan Mulyani, 2004).

2. Glikosida Sianogenik
Glikosida sianogenik/sianopora adalah glikosida yang pada ketika dihidrolisis akan
terurai menjadi bagiannya dan menghasilkan asam sianida (HCN). Glikosida sianogenik
secara kimia berarti glikosida dari hydroxynitriles dan milik metabolit sekunder dari
tanaman. Mereka merupakan amino tanaman asam yang diturunkan konstituen, hadir lebih
dari 2.500 spesies tanaman. Hidrogen sianida (HCN) sebagai produk hidrolisis mereka
pertama kali diisolasi bentuk tanaman pada tahun 1802 oleh Scrade (dari almond pahit dan
dari daun peach). Pelepasan HCN oleh tanaman pertama berasal dari senyawa tertentu
dengan Robiquet dan Charland yang terisolasi amygladin dari almond pahit. Pada hidrolisis
enzimatik glikosida sianogen menghasilkan aglikon dan bagian gula yang mana aglikon
dapat dikelompokkan menjadi compound alifatik dan aromatik (Sukardiman, dkk., 2014).
Cara menguji adanya HCN yaitu dengan cara bahan dimasukkan ke dalam erlenmeyer,
lalu diberi asam sulfat encer dan mulut erlenmeyer kemudian dipanaskan pelan-pelan
sehingga uap yang mengandung HCN akan menyentuh kertas pikrat yang berwarna kuning
dan segera akan berubah menjadi coklat kemerahan (merah bata). Dalam reaksi ini, natrium
pikrat yang berwarna kuning akan diubah menjadi natrium isopurpurat yang berwarna
cokelat kemerahan (merah bata). Fungsi asam sulfat adalah penghidrolisis (Gunawan dan
Mulyani, 2004).

Gambar 4. Proses deteksi adanya gas HCN (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Sejak lama orang telah mengenal sifat racun dari akar Manihot sp. (singkong hutan).
Mereka menggunakannya sebagai cadangan makanan setelah terlebih dahulu mengolah dan
dihilangkan racunnya. Pada tahun 1830, racun singkong telah berhasil diisolasi dan
diketahui bahwa senyawanya berupa glikosid manihotoksin. Bersamaan dengan itu, telah
berhasil diisolasi glikosida-glikosida sejenis yang menghasilkan HCN, antara lain yaitu
amigladin dan Prunus amygladus, linamarin dari biji Linum usitatissinum, dan faseolutanin
(Phaseolus lutanus). Ketika dihidrolisis akan menghasilkan asam prusat, gula, dan HCN
(Gunawan dan Mulyani, 2014).
a. Sumber Glikosida Sianogenik
1) Wild Cherry Bark
Wild cherry bark adalah kulit kayu kering dari tanaman Prunus serotia (famili
Rosacecae) yang dikumpulkan dalam musim rontok, lalu disimpan dalam bejana yang
kedap udara. Tanaman ini berupa semak yang simplisianya berupa potongan-potongan
melengkung tipis, mudah mengelupas dan berwarna coklat merah serta apabila dibasahi
akan memberikan bau benzaldehida yang khas, rasa kelat, dan pahit (Gunawan dan
Mulyani, 2014). Kandungan kimia yang terdapat pada wild cherry bark yaitu glikosida
sianogenik prunasin dan enzim prunase. Pada hidrolisis akan menghasilkan senyawa
fluoresensi dan juga terkandung asam benzoat, asam trimetilgalat, asam kumarat, dan
beberapa jenis tannin. Wild cherry bark digunakan terutama dalam sediaan obat batuk
karena memiliki khasiat antitusivum dan sedatif lemah serta rasanya segar (Gunawan dan
Mulyani, 2014).
2) Singkong
Singkong mengandung racun linamarin dan lotaustralin, yang keduanya termasuk
golongan glikosida sianogenik. Linamarin terdapat pada semua bagian tanaman, terutama
terakumulasi pada akar dan daun. Singkong dibedakan menjadi dua tipe yaitu pahit dan
manis. Singkong tipe pahit mengandung kadar racun yang lebih tinggi daripada tipe manis.
Jika singkong mentah atau yang dimasak kurang sempurna dikonsumsi, maka racun
tersebut akan berubah menjadi senyawa kimia yang dinamakan hidrogen sianida. Singkong
manis mengandung sianida kurang dari 50 mg per kilogram, sedangkan yang pahit
mengandung sianida lebih dari 50 mg per kilogram. Kandungan glikosida sianogeniknya
sangat bervariasi, dari yang hanya berjumlah sedikit hingga berjumlah 1000 ppm. Namun,
sejauh ini belum pernah ditemukan singkong yang berpotensi untuk menyintesis zat-zat
sianogenik (Arisman, 2008).
Gejala keracunan sianida seperti pada singkong diantaranya penyempitan
kerongkongan, mual, muntah, sakit kepala, bahkan pada kasus beratdapat menimbulkan
kematian. Untuk mencegah keracunan singkong, sebelum dikonsumsi sebaiknya singkong
(terutama singkong pahit) dicuci untuk menghilangkan tanah yang menempel, kulitnya
dikupas, dipotong-potong, direndam dalam air bersih yang hangat selama beberapa hari,
dicuci, lalu dimasak sempurna, baik itu dibakar atau direbus, namun untuk singkong tipe
manis sebenarnya hanya memerlukan pengupasan dan pemasakan untuk mengurangi kadar
sianida kr tingkat non toksik. Zat sianogenik dalam singkong akan terhidrolisis oleh enzim
linimarase dan hidroksinitrit menjadi D-glukosa, HCN, dan aseton (Arisman, 2008).
3) Pucuk Bambu (Rebung)
Semua rebung bambu mengandung HCN (sianida) yang dihasilkan karena
mengandung glikosida sianogenik. Rebung bambu selain memiliki kandungan HCN yang
tinggi serta rasa yang pahit, rebung juga sangat berbahaya untuk dikonsumsi. Rebung
bambu yang memiliki kandungan HCN di bawah ambang berbahaya dapat dimakan
sebagai sayuran atau campuran bahan makanan lainnya. Bambu yang menghasilkan rebung
dengan kandungan HCN rendah dan dapat dimakan tidak sampai 10% dari spesies bambu
yang ada (Handoko, 2004).

b. Struktur Glikosida Sianogenik


Banyak diantara glukosida sianogenik berasal dari senyawa nitrit dan asam mandelat.
Meskipun mengandung nitrogen, tetapi strukturnya sebagai glikosid adalah O-glikosida dan
bukan N-glikosida. Bagian gula dari molekul tersebut adalah monosakarida atau disakarida,
seperti gentiobiosa atau visianosa.

Gambar 5. Hidrolisis amidaglin menjadi prunasin, lalu berlanjut menjadi benzaldehida,


glukosa, dan gas HCN.

c. Kegunaaan dalam Bidang Farmasi


Digunakan sebagai sediaan obat batuk karena memiliki khasiat antitusivum dan
sedative lemah serta rasanya yang segar (Gunawan dan Mulyani, 2014).

3. Glikosida Isothiosionat/Glukosinaolat
Glikosida yang terdiri dari aglikon isothiosianat ditemukan pada beberapa bii-bijian
dari tanaman Cruciferae atau Brassicaceae. Contoh glikosida isothiosianat yang menonjol
adalah sinigrin (mustar hitam), sinalbin (mustar putih), dan glukonapin (biji sawi). Bila
dihidrolisis dengan enzim myrosin, menghasilkan minyak mustar yang memiliki bau khas
dan berasa pahit getir. Walaupun minyak lemak dalam biji lebih banyak daripada minyak
atsiri yang dihasilkan dengan hidrolisis, namun aktivitas diakibatkan oleh minyak atsiri
(Samuellsson, 1999; Sukardiman, dkk., 2014).

Gambar 6. Struktur glikosida isothiosianat

4. Glikosida Flavonol
Glikosida flavonol dan aglikon biasanya dinamakan flovonoid. Glikosida ini
merupakan senyawa yang sangat luas penyebarannya di dalam tanaman. Di alam dikenal
dengan adanya sejumlah besar flavonoid yang berbeda-beda dan merupakan pigmen kuning
yang tersebar luas di seluruh permukaan tanaman tingkat tinggi. Kandungan flavonoid yang
paling dikenal adalah rutin, kuersitrin, dan sitrus bioflavonoid (termasuk hesperidin,
hesperetin, diosmin dan naringenin).
Rutin dan hesperidin dinamakan vitamin P atau faktor permeabilitas. Rutin dan
hesperidin pernah digunakan dalam pengobatan berbagai kondisi yang ditandai oleh
pendarahan kapiler dan peningkatan kerapuhan kapiler. Bioflavonoid sitrus pernah
diusulkan dalam pengobatan gejala-gejala penyakit demam. Bukti kemanjuran terapetik dari
rutin, sitrus bioflavonoid dan senyawa yang sekerabat, terutama diarahkan kepada beberapa
sediaan penunjang diet (food supplement).

Gambar 7. Struktur Rutin (Gunawan dan Mulyani, 2004)

5. Glikosida Lakton
Glikosida lakton merupakan glikosida yang mengandung aglikon lakton. Lakton
merupakan senyawa ester siklik. Salah satu contoh senyawa lakton di alam adalah kumarin.
a. Sumber Kumarin
Kumarin yang dapat ditemukan dalam tanaman adalah scopolamine dalam
Belladonne, limettin dalam pohon citrus, serta skimming dalam Japanese Star anise
(Fessenden dan Fessenden, 1997) . Meskipun kumarin tersebar luas dalam tanaman,
tetapi glikosida yang mengandung kumarin (glikosida lakton) sangat jarang
ditemukan. Beberapa glikosida dari turunan hidroksi kumarin ditemukan dalam bahan
tanaman seperti skimin dari tanaman Star anise Jepang, aeskulin dalam horse chesnut,
daphnin dalam tanaman mezereum, fraksin, skopolamin, dan limettin. Diantara
glikosida hidroksi kumarin ini tidak ada yang penting untuk pengobatan (Gunawan
dan Mulyani, 2004).
b. Kegunaan Kumarin dalam Bidang Farmasi
Kumarin adalah salah satu senyawa metabolik sekunder yang memiliki
kerangka dasar α-benzo pyron. Beberapa kelompok senyawa kumarin memiliki efek
farmakologis dan fisiologis tertentu seperti senyawa furanokumarin dapat menghambat
efek karsinogen serta mempunyai nilai ekonomi sebagai komponen aktif racun ikan
(Adfa, 2006).
Kumarin dan tonka bean, adalah biji yang mengandung kumarin dari Dipteryx
odorata dan Dipteryx oppositifolia (family Leguminosae). Dahulu digunakan dalam
farmasi sebagai bahan aroma. Beberapa turunan kumarin masih digunakan karena sifat
antikogulansianya. Khasiat antispasmodik dari kulit Viburnum prunifolium dan
Viburnum opulus dianggap diakibatkan oleh adanya kandungan skopoletin (6-metoksi-
7-hidroksikumarin) dan kumarin lain (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Produk alami lain yang mengandung kumarin adalah kantaridin dan santonin.
Kantaridin digunakan untuk tujuan dermatologi. Santonin berasal dari bongkol bunga
Artemisia cbina, Artemesia maritima (Famili Compositae) yang belum terbuka.
Santonin dahulu digunakan sebagai obat cacing, tetapi karena kemungkinan
menimbulkan keracunan di AS maka saat ini tidak lagi digunakan (Gunawan dan
Mulyani, 2004).

6. Glikosida Alkohol
Glikosida alkohol ditunjukkan oleh aglikonnya yang memiliki gugus hidroksil. Salah
satu senyawa yang termasuk senyawa glikosida alkohol adalah salisin. Salisin dapat
ditemukan di beberapa tanaman dari spesies Salix dan Populus. Salisin terdapat di kulit kayu
dari tanaman spesies Salix dan Populus. Salix purpurea da Salix fragilis adalah tanaman
yang merupakan penghasil salix yang utama. Glikosida populin (benzoilsalisin) juga
merupakan salisin yang ditemukan pada kulit Salicaceae (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Emulsin menghidrolisis salisin menjadi salisin menjadi glukosa dan saligenin
(salisilalkohol). Salisin memiliki khasiat antirematik. Daya kerja dari salisin sangat mirip
dengan asam salisilat. Kemungkinan di dalam tubuh manusia, salisin dioksidasi menjadi
asam salisilat. Pengenalan sifat salisin yang demikian ini memberikan penjelasan terhadap
pemakaian korteks saliv dan populus oleh masyarkat awam (Gunawan dan Mulyani, 2004).

Gambar 8. Reaksi pembentukan saligenin

7. Glikosida Fenolik
Glikosida fenolik merupakan senyawa yang memiliki struktur kimia sederhana yaitu
sebuah inti aromatik dengan substitusi gugus –OH dan gugus alkil/alkinela (Sukardiman
dkk., 2014).
Glikosida fenol dari glikosida alami yang mempunyai kandungan bercirikan senyawa
fenol, arbutin yang terkandung dalam uva ursi dan tanaman Ericaceae lain menghasilkan
hidrokuinon sebagai aglikonnya. Hesperidin dalam buah jeruk juga dapat digolongkan
sebagai glikosida fenol (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Uva ursi adalah daun kering dari Arctostaphyios uva ursi famili Ericaceae. Daun uva
ursi berwarna hijau sampai hijau cokelat. Uva ursi merupakan senyawa yang mengandung
glikosida arbutin, metil arbutin, tannin, asam gallat, asam ellagat, katekhol, ursona, dan
turunan flavon kuersetin (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Glikosida fenolik memiliki berbagai aktivitas farmakologik seperti antipiretik,
antiseptik, laksan ringan, perbaikan permeabilitas kapiler, dan anti-oksidan (Sukardiman
dkk., 2014).
Gambar 9. Struktur arbutin dan hidrokuinon

8. Glikosida Aldehida
Salinigrin yang terkandung dalam Salix discolor terdiri dari glukosa yang terikat oleh
m-hidroksibenzaldehida sehingga merupakan glikosida yang aglikonnya suatu aldehida.
Salinigrin adalah suatu isomer dari helisin (o-hidroksibenzaldehida dan glukosa) dan dapat
juga diperoleh melalui proses oksidasi lemah dari salisin. Amigdalin yang menghasilkan
benzaldehida pada hidrolisisnya dapat pula digolongkan ke dalam glikosida kelompok
aldehida. Salah satu contoh tanaman glikosida aldehida adalah vanilla (vanili) (Gunawan
dan Mulyani, 2004).
Vanili merupakan aglikon yang terjadi selama pengolahan buah vanili melalui
fermentasi. Buah vanili didapatkan dari tanaman rambat epifit Vanilla planifolia yang
banyak tumbuh di dataran tinggi tropis, termasuk Indonesia. Vanili ini adalah bentuk
aldehida dari metal-protokatekhuat (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Buah vanili yang biasanya dipanen adalah buah yang belum masak, namun sudah
tumbuh sepenuhnya yang ditandai dengan ujung atas buah telah berubah warnanya dari
hijau menjadi kuning. Buah hasil panen ini tidak berbau harum karena bau harum
ditimbulkan oleh senyawa vanili (4-hidroksi-3-metoksi-benzaldehida) yang mana akan
terbentuk selama proses fermentasi. Selama proses fermentasi, vanili akan dibebaskan dari
bentuk glikosidanya. Pengeringan dan pemanasan dilakukan secara berganti-gantian dalam
jangka waktu 2-3 bulan sehingga buah akan berubah warna menjadi coklat tua atau hitam
selam (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Buah vanili segar akan mengandung glikosida, yaitu glukovanilin (vanillosida) dan
bentuk alkohol dari glukovanillat. Selama fermentasi, senyawa-senyawa tersebut akan
mengalami oksidasi dan hidrolisis oleh enzim yang terdapat dalam semua bagian tanaman.
Pada proses hidrolisis bentuk alkohol glukovanilat akan dihasilkan molekul glukosa dan
vanilik alkohol yang pada proses oksidasi lebih lanjut akan diubah menjadi vanilik aldehida
atau vanillin. Vanilin juga telah bisa disintesis menggunakan bahan baku eugenol (berasal
dari komponen penyusun minyak cengkeh) atau guniacol (metal catechol). Dalam tanaman,
terbentuknya vanilli melewati jalur biosintesis asam ferulat. Biosintesis dimulai ketika buah
tidak bertambah panjang lagi yaitu kira-kira 8 bulan setelah penyerbukan (Gunawan dan
Mulyani, 2004).
Karakteristik dari vanili yaitu berwarna hijau sampai hijau kekuningan, bau khas yang
menyenangkan, memiliki rasa tajam dan astringent. Vanili banyak digunakan dalam parfum,
industri makanan dan minuman serta sebagai koringen pada sediaan farmasi ataupun sebagai
pereaksi pembentuk warna dalam analisis farmasi (Gunawan dan Mulyani, 2004).

9. Glikosida Saponin
Glikosida saponin adalah glikosida yang aglikonnya berupa sapogenin. Pola glikosida
saponin terdiri dari lima satuan gula seperti asam glukuronat. Nama saponin terkait dengan
sifat glikosida ini yang berbuih di dalam air. Sering digukanan sebagi racun ikan dan untuk
mencuci pakaian. Sifat lainnya adalah dapat menyebabkan hemolisis darah. Aglikonnya
dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu inti triterpen (glikosida saponin triterpen), inti
kardenolida (glikosida jantung), dan inti steroid (saponin steroid). Kegunaan dari glikosida
saponin bagi bidang farmasi cukup banyak, yaitu:
1. Bahan baku untuk sintesis hormon steroid. Tanaman yang mengandung glikosida
dengan inti steroid umumnya tidak digunakan langsung untuk obat namun diisolasi
aglikonnya (diosgenin, solasodina dan lain-lain) sebagai bahan baku sintesis hormon
steroid yang banyak digunakan untuk pil KB. Tanaman yang mengandung glikosida
saponin antara lain Dioscorea sp., Agave sp., Solanum sp., dan Costus sp.
2. Digunakan langsung sebagai obat. Sebagai Tonikum contohnya adalah ginseng; untuk
obat jantung (Digitalis sp.); Glycyrrhizae Radix dan Abri Folium dan sebagai diuretik.
3. Untuk bahan pencuci dan pengemulsi: buah rerak (Sapindus rerak), koteks Quallaia
saponaria.
4. Untuk minuman: Sarsaparillae Radix (akar Smilax medica- Liliaceae).
5. Memiliki efek anti inflamasi, anti fungi dan anti moluska.
(Sukardiman, dkk., 2014)

a. Simplisia yang mengandung glikosida triterpen


 Ginseng Radix
Ginseng Radix adalah akar yang dikeringkan dari Panax ginseng C.A Meyer
(Araliaceae). Spesies Panak lain penghasil ginseng adalah Panax quinquefolius L.
(Ginseng Amerika), Panax notoginseng Burk. (Ginseng San-chi), Panax
pseudoginseng Wall. Ssp. Japonicus C.A. Meyer dan Panax notoginseng ssp.
Himalaicus.
1. Panax ginseng menghasilkan ‘ Asian Gingseng’
2. Eleutherococcus senticocus menghasilkan ‘Siberian ginseng’
3. Panax quenquefolium menghasilkan ‘American Ginseng’
Panax ginseng merupakan herba/perdu menahun, tinggi mencapai 70 cm, memiliki
akar yang menyerupai bentuk tubuh manusia. Akar dipanen setelah tumbuhan berumur
6-7 tahun. Tumbuhan ini hidup di daerah pegunungan di Manchuria , Korea Utara,
Siberia. Di perdagangan dikenal dua jenis ginseng putih dan ginseng merah. Ginseng
putih diperoleh dengan cara membuang lapisan gabus akar yeng kemudian
dikeringkan di sinar matahari sedangkan ginseng merah diperoleh dengan cara akar di
kukus terlebih dahulu baru dijemur. Kandungan utama glikosida saponin triterpen
adalah protopanaxadiol dan protopanaxatriol (sekitar 30 jenis persenyawaan)
(Sukardiman, dkk., 2014).
Kegunaan yang didukung data klinik: perbaikan kapasitas mental dan fisik,
pengobatan diabetes, ganguan gastrointestinal seperti gastritis dan tukak lambung.
Juga sebagai hepatoprotektor. Kegunaan berdasarkan pengobatan tradisional yakni
pengobatan mual kehamilan, penyakit liver, rematik dan demam. Diduga gingseng
bekerja melalui efek “adaptogenik” yang menghasilkan peningkatan ion non spesifik
dari kemampuan tubuh melawan berbagai bentuk stress eksogen. Dosisnya yaitu 0,5-2
g akar kering dalam bentuk dekoktum satu kali sehari (Sukardiman, dkk., 2014).
 Glycyrrhizae Radix (Radix Liquiritae/Akar Manis)
Merupakan akar dan stolon kering yang tidak dikupas dari Glycyrrhiza glabra L,
familia Fabaceae. Terdapat beberapa varietas pengkhas yaitu, var.typica;
var.glandulifera; var.β-violacea yang dibudidayakan atau tumbuh liar di Eropa, Asia
Tengah, Rusia, dan Cina. Akar dan stolon dipanen setelah tumbuhan berumur 3-4
tahun. Kandungan utama adalah glikosida saponin triterpen yang disebut glycyrrhizin
(glycyrrhizin acid atau glycyrrhizinic acid) (2-9%). Glycyrrhizin berada dalam bentuk
campuran garam K dan garam Ca. Pada hidrolisis akan dihasilkan dua molekul asam
D-glukoronat dan sebuah aglikon glycyrrhetic acid (glycyrrhetinic acid). Glycyrrhizin
berasa manis (50 x sukrosa) dipercaya sebagai kandungan utama yang berkhasiat.
Kandungan lain adalah glikosida flavonoid; liquiritin dan isoliquiritin yang berwarna
kuning, gula, asparagin, dan zat pahit glycyramarin (Sukardiman, dkk., 2014).
Gambar 10. Struktur glikosida saponin triterpen glycyrrhizin
Kegunaan sebagai demulsen, ekspektoran, anti-inflamasi dan obat tukak
lambung. Kegunaan lain adalah sebagai flavor. Kontra indikasinya yaitu hipertensi,
kehamilan, hipokalemia, dan gangguan fungsi hati dan ginjal. Pemakaian dosis tinggi
(> 50 g/hari) dan jangka panjang (> 6 minggu) dapat menyebabkan retensi air
sehingga menimbulkan pembengkakan di tangan dan kaki. Juga dapat menimbulkan
menurunnya eksresi natrium dan meningkatknya eksresi kalium sehinga dapat
menyebabkan kenaikan tekanan darah. Dosisnya 5-15 g simplisia per hari (setara 200-
800 mg glycyrrhizin/hari). Pemakaian tidak boleh lebih dari 6 minggu. (Sukardiman,
dkk., 2014).
 Abri Folium (Daun Saga)
Abri folium diperoleh dari daun Abrus precatorius (Papilionaceae) yang
dikeringkan. Tumbuhan ini juga mengandung glikosida saponin triterpen (abrusosida
A) dalam daunnya. Glikosida ini memiliki rasa manis 50 x gula. Abrus precatorius
(saga) terebar di daerah Asia tropik dan merupakan tumbuhan memanjat. Daun Saga
(Abri Folium) digunakan sebagai obat sariawan dan ekspektoran. Biji saga tergolong
extremely toxic. Biji saga mengandung senyawa yang sangat beracun yaitu abrin yang
merupakan senyawa glikoprotein. 10 butir biji saga sudah dapat menyebabkan
kematian orang dewasa (Sukardiman, dkk., 2014).

b. Simplisia yang mengandung glikosida inti kardenolida


Beberapa tanaman yang mengandung glikosida dengan inti kerdenolida memiliki efek
sebagai obat jantung dijelaskan sebagai berikut.
 Digitalis
Digitalis (USP=United State of Pharmacopeia sejak tahun 1820 sampai
sekarang) adalah serbuk daun Digitalis purpurea Linne atau D. lanata (famili
Scrophulariaceae) yang telah dikeringkan pada suhu tidak lebih dari 60ºC (Gunawan
dan Mulyani, 2004).
Secara umum daun digitalis adalah tanaman obat yang berpotensi keras dan
berbahaya bagi manusia karena aksinya langsung menuju ke jantung. Dosis yang
terlalu besar akan memberikan gejala keracunan berupa hilangnya selera makan
(anorexia), mual (nausea), ludah membaniir keluar (salivation), muntah (vomiting),
diare, kepala pening (headache), mengantuk (drowsiness), bingung (disorientation),
gangguan konsentrasi (delirium), menghadapi bayangan fatamorgana (ballucination),
bahkan kematian (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Kegunaan dari digitalis adalah sebagai kardiotonikum. Efek penggunaannya
terutama ditimbulkan oleh bagian aglikon digitalis. Sementara bagian gula hanya
berfungsi sebagai penambah kelarutan, meningkatkan absorpsi, dan sedikit menambah
potensi (dan juga toksisitas) sebagai glikosida jantung. Mekanisme kardiotonikum
adalah meningkatkan tonus otot jantung yang mengakibatkan pengosongan jantung
lebih sempurna dan curah jantung meningkat (Gunawan dan Mulyani, 2004).
 Strophanthus
Strophanthus merupakan biji yang telah dikeringkan dari tanaman Strophanthus
kombe Oliver atau Straphanthus hispidus DeCandoile (famili Apocynaceae).
Strofantin merupakan serbuk putih atau putih kekuningan, mengandung 10% air tanpa
mengalami dekomposisi, berpotensi sangat keras, stabil di udara, tetapi tidak stabil
bila dikenai sinar matahari. Senyawa ini larut dalam air dan etanol encer, kurang larut
dalam etanol absolut, sukar larut dalam kloroform, eter, dan benzena. Larutan dalam
air memberi reaksi netra terhadap lakmus. Dalam penetapan hayatinya, potensi
strofantin setara dengan standar pembanding ouabain USP 0,5 mg. Sebagai
kardiotonikum, strofantin diberikan secara i.v. dengan dosis 600 mg. Sediaan farmasi
strofantin adalah Strophosid® (Gunawan dan Mulyani, 2004).
 Squill (Urginea maritima)
Squill Urginea maritima mengandung glikosida jantung skilaren A 60% dari
jumlah seluruh glikosida yang ada. Skilaren-A terdiri dari aglikon skilarenin (tipe
bufadienolida) dan bagian gula ramnosa+glukosa. Kadang-kadang juga mengikat gula
lain misalnya skilabiosa. Kegunaan Urginea maritima sebagai glikosida jantung.
Dosis pemakaian 100 mg oral. Sebagai catatan, skilaren juga memiliki sifat emetikum
dan diuretikum (Gunawan dan Mulyani, 2004).
 Convallaria (Convallaria majalis)
Konvalaria adalah akar dan rimpang kering dari tanaman Convallaria majalis
Linne (famili Liliaceae). Tanaman ini telah dimuat di farmakope sejak tahun 1882.
Setiap 100 mg akar konvalaria setara dengan 3 Unit USP Digitalis.
Kandungan kimia dari Konvalaria antara lain konvalatoksin, konvalarin,
konvalamarin, konvalatoksol, dan konvalosida. Kandungan kimia tersebut merupakan
kelompok glikosida jantung. Kandungan yang lain antara lain minyak atsiri dan
berbagai macam gula hasil hidrolisisnya. Konvalamarin memiliki aglikon yang disebut
konvalamarogenin (Gunawan dan Mulyani, 2004).
c. Simplisia yang mengandung glikosida saponin steroid
Glikosida golongan ini umumnya tidak digunakan langsung sebagai bahan obat namun
sangat penting karena mengandung bahan baku utama untuk sintesis senyawa steroid.
Saponin steroid terdapat pada tumbuhan monokotil maupun dikotil, contohnya
diosgenin yang terdapat pada Dioscorea hispida, dan heksogenin yang terdapat pada
Agave americana (Sukardiman, dkk., 2014)

B. Tanin
Istilah tanin diperkenalkan oleh Seguil pada tahun 1796. Tanin merupakan senyawa
organik yang terdiri dari campuran senyawa polifenol kompleks, dibangun dari elemen C,H,O
yang memiliki berat molekul cukup tinggi (lebih dari 1000) dan dapat membentuk kompleks
dengan protein (Harborne, 1996). Senyawa-senyawa tanin juga dapat diartikan sebagai suatu
senyawa-senyawa dengan bobot molekul antara 500-3000, serta mempunyai sejumlah gugus
hidroksi fenolik dan membentuk ikatan yang stabil dengan protein dan biopolimer lain,
misalnya selulosa dan pektin.
I. Sumber
Tanin merupakan metabolit sekunder yang banyak dijumpai pada tumbuhan. Tanin
terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam
jaringan kayu. Dalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma, bila
jaringan tumbuhan rusak, misalnya dimakan hewan (Harborne, 1996). Tanin dapat
ditemukan pada jaringan tumbuhan pada organ daun, tunas, akar, batang dan biji (Ashok dan
Upadhyaya, 2012).
II. Sifat Fisika Kimia Tanin
Tanin berupa massa seperti serbuk, serpihan, dan spons berwarna kekuningan hingga
coklat muda. Pada mikroskop, tanin biasanya tampak sebagai massa butiran bahan berwarna
kuning atau cokelat (Ashok dan Upadhyaya, 2012). Sifat fisika kima tanin sebagai berikut :
a. Sifat kimia tanin
- Merupakan senyawa kompleks dalam bentuk campuran polifenol yang sukar
dipisahkan sehingga sukar mengkristal.
- Tanin dapat diidentifikasi dengan kromatografi.
- Senyawa fenol dari tanin mempunyai efek astringensia, antiseptik dan pemberi warna.
b. Sifat fisika tanin
- Jika dilarutkan ke dalam air akan membentuk koloid dan memiliki rasa asam dan
sepat.
- Jika dicampur dengan alkaloid dan glatin akan terjadi endapan.
- Tidak dapat mengkristal.
- Mengendapkan protein dari larutan dan bersenyawa dengan protein tersebut sehingga
tidak dipengaruhi oleh enzim protiolitik.
III. Klasifikasi Tanin
Berdasarkan strukturnya tanin dibedakan menjadi dua kelas yaitu tanin terkondensasi
(condensed tannins) dan tanin terhidrolisis (hydrolysabletannins) (Hagerman, 1998).
a. Tanin Terkondensasi
Tanin terkondensasi terdiri dari beberapa unit flavonoid (flavan-3-ol)
dihubungkan oleh ikatan-ikatan karbon. Tanin jenis ini tidak dapat dihidrolisis, tetapi
dapat terkondensasi menghasilkan asam klirida. Tanin jenis ini kebanyakan terdiri dari
polimer flavonoid yang merupakan senyawa fenol. Nama lain dari tanin terkondensasi
adalah proantosianidin. Proantosianidin merupakan polimer dari flavonoid yang
dihubungkan melalui C8 dengan C4. Salah satu contohnya adalah Sorghum procianidin,
senyawa ini merupakan trimer yang tersusun dari epikatekin dan katekin. Tanin
terkondensasi banyak terdapat dalam paku-pakuan, gymnospermae, dan tersebar luas
dalam angiospermae, terutama pada jenis tumbuhan berkayu (Robinson, 1991). Makin
murni tanin terkondensasi, makin kurang kelarutannya dalam air dan makin mudah
diperoleh dalam bentuk kristal. Tanin larut dalam pelarut polar dan tidak larut dalam
pelarut non polar (Robinson, 1991).

Gambar 10.Tanin Terkondensasi Epikatekin dan Katekin (Hagerman, 1998).


Gambar 11.Reaksi Kondensasi Sorghum procianidin (Hagerman, 1998).

b. Tanin Terhidrolisis
Tanin terhirolisis merupakan derivat dari asam galat (3,4,5-trihidroxyl benzoic
acid). Tanin ini biasanya berikatan dengan karbohidrat dengan membentuk jembatan
oksigen, maka dari itu tanin ini dapat dihidrolisis dengan menggunakan asam sulfat atau
asam klorida. Salah satu contoh jenis tanin ini adalah galotanin yang merupakan
senyawa gabungan karbohidrat dan asam galat (Hagerman, 1998).

Gambar 12.Struktur Kimia Asam Galat dan Galotanin (Hagerman, 1998).


Selain membentuk galotanin, dua asam galat akan membentuk tanin terhidrolisis
yang disebut elagitanin. Elagitanin sederhana disebut juga ester asam
hexahydroxydiphenic (HHDP). Senyawa ini dapat terpecah menjadi asam galat jika
dilarutkan dalam air (Hagerman, 1998).
Gambar 13. Struktur Eligatanin (Hagerman, 1998).
Tanin terhirolisis biasanya berupa senyawa amorf, higroskopis, dan berwarna
coklat kuning yang larut dalam air (terutama air panas) membentuk larutan koloid
bukan larutan sebenarnya. (Harborne, 1996).

IV. Pemanfaatan Tanin


a. Antidiare dan Antibakteri oleh Daun Beluntas (Plunchea indica L.)
Pengobatan diare dapat menggunakan obat-obat kimia seperti loperamid, akan
tetapi dapat menimbulkan efek samping seperti nyeri abdominal, mual, muntah, mulut
kering, mengantuk, dan pusing. Adanya efek samping tersebut menyebabkan
masyarakat lebih memilih tanaman obat berkhasiat sebagai alternatif pengobatan. Salah
satu tanaman yang berpotensi sebagai obat tradisional adalah daun beluntas (Pluchea
indica L.). golongan senyawa aktif teridentifikasi dalam daun beluntas antara lain
fenolhidrokuinon, tanin, alkaloid, steroid, dan minyak atsiri (Nurhalimah dkk., 2015).
Uji antibakteri dilakukan dengan menggunakan ekstrak etanol daun beluntas
secara in vitro dengan metode kertas cakram. Kontrol positif yang dipergunakan adalah
amoxilin sedangkan ekstrak etanol daun beluntas divariasikan konsentrasinya yaitu 5%,
10%, dan 15%. Hasil dari pengujian didapatkan bahwa ekstrak daun beluntas dapat
menghambat pertumbuhan salmonella typhimurium yang ditandai dengan terbentuknya
diameter zona hambat. Senyawa yang berperan sebagai antibakteri adalah tanin, efek
tanin sebagai antibakteri disebabkan kemampuan tanin untuk mengaktifkan enzim
adhesion, enzim dan protein transport cell envelope. Tanin juga membentuk kompleks
polisakarida yang dapat merusak dinding sel bakteri. Sebagai akibatnya metabolisme
bakteri terganggu dan menyebabkan kematian bakteri (Nurhalimah, 2015).
Senyawa tanin bersifat sebagai astringent, mekanisme tanin sebagai astringent
adalah dengan menciutkan permukaan usus atau zat yang bersifat proteksi terhadap
mukosa usus dan dapat menggumpalkan protein. Hydrolyzed tannin memiliki
kemampuan astringent lebih besar terhadap diare yang disebabkan infeksi. Protein
tannat yang dipecah akan berikatan dengan hydrolyzed tannin yang melewati intestine
dan menurunkan sekresi dari usus kecil sehingga menyebabkan konstipasi. Condense
tannin mempunyai efek sebagai proteksi. Tanin merupakan astringent yang dapat
berikatan dengan membran mukosa, kulit dan jaringan lain sehingga dapat berikatan
dengan protein yang dapat membentuk pembatas yang resisten terhadap reaksi mikroba,
sehingga condense tannin dapat digunakan untuk pengobatan diare karena mengurangi
jumlah cairan yang hilang dari saluran cerna. Condense tannin juga dapat membantu
mengembalikan keseimbangan flora di usus dengan menginduksi T sel untuk
berekspansi ke sel usus yang dapat meningkatkan sistem imun dari mukosa jaringan
untuk menghambat pertumbuhan bakteri pathogen (Nurhalimah dkk., 2015).
b. Penyembuh Luka Bakar oleh Daun Jambu Biji (Psidiumguajava Linn.).
Jambu biji mengandung pektin tinggi sehingga dapat menurunkan kolesterol,
tanin yang berfungsi untuk memperlancar sistem pencernaan, flavonoid yaitu quersetin
berkhasiat diantaranya untuk mengobati kerapuhan pembuluh kapiler pada manusia.
(Oktiarni dkk., 2012).
Uji efektivitas ekstrak daun jambu biji terhadap luka bakar dilakukan terhadap
mencit betina, yang telah dilukai pada bagian punggungnya dengan penginduksi panas
berupa lempengan logam berukuran 2 x 2 cm dengan suhu 80°C selama 5 detik. Kontrol
positif yang digunakan yaitu Bioplacenton dan ekstrak daun jambu biji digunakan
dengan konsentrasi 1%, 3%, 5%, dan 7%. Perubahan rata-rata persentase kesembuhan
luka bakar ini diperoleh dengan menghitung rata-rata perubahan luas luka dengan
interval waktu pengukuran setiap hari (Oktiarni dkk., 2012).
Hasil yang diperoleh, konsentrasi ekstrak daun jambu biji tersebut dapat
mempercepat penyembuhan luka bakar dibandingkan perlakuan kontrol negatif (tanpa
perlakuan). Konsentrasi ekstrak daun jambu biji 7% dapat bekerja lebih cepat untuk
penyembuhan luka bakar dibandingkan dengan perlakuan kontrol positif yang
menyembuhkan luka bakar pada hari ke-23. Tanin memiliki efek penyembuhan
terhadap luka bakar sebagai antiseptik yang digunakan untuk pengobatan luka bakar,
membentuk lapisan pelindung yang mengalami regenerasi jaringan baru, dan
mempresipitasikan protein (Masduki, 1996).
DAFTAR PUSTAKA

Adfa, M. 2006. 6-Metoksi, 7-Hidroksi Kumarin dari Daun Pacar Air (Impatiens balsamina
Linn.). Jurnal Gradien, Vol. 2(2):183-186.

Arisman.2008. Keracunan Makanan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC,
hal. 150-151.

Ashok, P. K., and Upadhyaya, K.. 2012. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry.
Phytojournal, Vol. 1(3): 1-3.

Fessenden dan Fessenden. 1997. Dasar-Dasar Kimia Organik. Jakarta: Binarupa Aksara, Hal.
116.

Gunawan, D. dan Mulyani, S.. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid I. Jakarta:
Penebar Swadaya. Hal. 66-103.

Hagerman. 1998. Tannin Chemistry. USA: Departement of Chemistry and Biochemistry.

Handoko, A. 2004. Budi Daya Bambu Rebung. Yogyakarta: Kanisiu. Hal. 11.

Harborne, J. B. 1996. Metode Fitokimia. Edisi II. Terjembahan Kosasih Padmawinata.


Bandung: ITB.

Masduki, I.. 1996. Efek Antibakteri Ekstrak Biji Pinang (Areca catechu) Terhadap S.aureus
dan E.coli In Vitro. Cermin Dunia Kedokteran. 109:21-24.

Najib, A. 2006. Ringkasan Materi Kuliah Fitokimia II. Makassar: Fakultas Farmasi
Universitas Muslim Indonesia.

Nurhalimah, H., Novita W., dan Tri Dewanti W.. 2015. Efek Antidiare Ekstrak Daun Beluntas
(Pluchea indica L.) Terhadap Mencit Jantan yang Diinduksi Bakteri Salmonella
thypimurium. Jurnal Pangan dan Agroindsutri. Vol 3(3): 1083-1094.

Oktiarni, D., Syalfinaf M., dan Suripno. Pengujian Ekstrak Daun jambu Biji (Psidium guajava
Linn.) Terhadap Penyembuhan Luka Bakar Pada Mencit (Mus musculus). GRADIEN
Journal, Vol 8:752-755.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi Kedua. Bandung: ITB.

Sukardiman, Mangestuti Agil, Bambang Prajogo, dan Abdul Rahman. 2014. Farmakognosi
Jilid 1. Surabaya: Airlangga University Press. Hal.43-56.
Samuelsson, G.. 1999. Drugs of Natural Origin.A Textbook of Pharmacognosy. 4thed.
Stockholm: Apotekarsocieten.

Anda mungkin juga menyukai